Anda di halaman 1dari 4

A.

Ejaan
Pengertian
Ejaan adalah kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya)
dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca.

Sejarah ejaan
1. Ejaan Van Ophuijsen (1901-1947)
Sejarah ejaan Bahasa Indonesia diawali dengan ditetapkannya Ejaan van Ophuijsen
pada 1901. Ejaan ini menggunakan huruf Latin dan sistem ejaan Bahasa Belanda
yang diciptakan oleh Charles A. Van Ophuijsen. Ejaan van Ophuijsen berlaku sampai
dengan tahun 1947.

2. Ejaan Republik/Ejaan Soewandi (1947-1956)


Ejaan Republik berlaku sejak tanggal 17 Maret 1947. Pemerintah berkeinginan untuk
menyempurnakan Ejaan van Ophuijsen. Adapun hal tersebut dibicarakan dalam
Kongres Bahasa Indonesia I, pada tahun 1938 di Solo. Kongres Bahasa Indonesia I
menghasilkan ketentuan ejaan yang baru yang disebut Ejaan Republik/Ejaan
Soewandi.

3. Ejaan Pembaharuan (1956-1961)


Kongres Bahasa Indonesia II digelar pada tahun 1954 di Medan. Kongres ini digagas
oleh Menteri Mohammad Yamin. Dalam Kongres Bahasa Indonesia II ini, peserta
kongres membicarakan tentang perubahan sistem ejaan untuk menyempurnakan
ejaan Soewandi.

4. Ejaan Melindo (1961-1967)


Ejaan ini dikenal pada akhir 1959 dalam Perjanjian Persahabatan Indonesia dan
Malaysia. Pembaruan ini dilakukan karena adanya beberapa kosakata yang
menyulitkan penulisannya. Akan tetapi, rencana peresmian ejaan bersama tersebut
gagal karena adanya konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada 1962.

5. Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) (1967-1972)


Pada 1967, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang sekarang bernama Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengeluarkan Ejaan Baru. Pembaharuan
Ejaan ini merupakan kelanjutan dari Ejaan Melindo yang gagal diresmikan pada saat
itu.

6. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) (1972-2015)


Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan berlaku sejak 23 Mei 1972 hingga 2015
pada masa menteri Mashuri Saleh. Ejaan ini menggantikan Ejaan Soewandi yang
berlaku sebelumnya. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini mengalami
dua kali perbaikan yaitu pada 1987 dan 2009.

7. Ejaan Bahasa Indonesia (2015-sekarang)


Pemerintah terus mengupayakan pembenahan terhadap Ejaan Bahasa Indonesia
melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia. Pasalnya,
pemerintah meyakini bahwa ejaan merupakan salah satu aspek penting dalam
pemakaian Bahasa Indonesia yang benar.
Ejaan Bahasa Indonesia ini diresmikan pada 2015 di masa pemerintahan Joko
Widodo dan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.

PUEBI
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) ditetapkan melalui Peraturan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia.
Menurut peraturan tersebut, PUEBI dipakai oleh instansi pemerintah, swasta, dan
masyarakat secara umum agar dapat menerapkan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Dalam artian, PUEBI adalah pedoman atau kaidah yang digunakan untuk mengeja unsur kata
dalam bahasa Indonesia secara tepat.

B. Bentuk Kata
Ada empat macam bentuk kata:
1. Kata dasar
adalah kata yang tidak berimbuhan. Kata dasar pada umumnya mempunyai
potensi untuk dikembangkan menjadi kata turunan. Perubahan kata dasar
menjadi kata turunan mengakibatkan perubahan makna kata.
Contoh kata dasar: satu, lebar, cerdas, malas, rumah.

2. Kata berimbuhan
Kata berimbuhan adalah kata yang sudah berubah dari bentuk dasarnya, atau
kata yang telah mendapat imbuhan (afiksasi). Disebut juga kata turunan.
Contoh: disatukan, kecerdasan, pelebaran, pemalas, perumahan.

3. Kata ulang
adalah kata dasar/ turunan yang mendapat pengulangan. Penulisan kata ulang
menggunakan tanda (-). Contoh: satu-satu, lari-lari, hati-hati, dipuja-puja.
4. Kata mmajemuk
adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu pengertian. Contoh:
beasiswa, matahari, saputangan.

C. Makna kata
1. Makna leksikal
Makna leksikal merupakan makna kata sebelum mengalami perubahan bentuk.
Makna leksikal adalah makna kata berdasarkan kamus.

2. Makna gramatikal
Makna gramatikal adalah makna kata setelah mengalami proses perubahan sesuai
tata bahasa (gramatikal). Proses perubahan tersebut misalnya dalam bentuk
imbuhan, pengulangan, dan sebagainya. Makna gramatikal bergantung dengan
struktur kalimatnya sehingga bisa saja sama atau berubah dari makna leksikalnya.
Oleh sebab itu, makna gramatikal juga biasa disebut sebagai makna struktural.
Misalnya, kata baju dan berbaju. Sebelum mendapatkan imbuhan,
kata baju mengandung makna leksikal, yaitu pakaian penutup badan bagian atas
(banyak ragam dan namanya). Nah, kata tersebut jadi memiliki makna gramatikal
saat mendapatkan imbuhan ber- dan berubah menjadi berbaju. Kata berbaju berarti
memakai baju.

3. Makna denotatif
Makna denotatif adalah makna kata apa adanya alias tidak mengalami penambahan
makna.
Makna denotatif disebut juga dengan makna lugas atau makna yang sebenarnya.
Contohnya, makna denotatif kata kursi adalah tempat duduk yang biasanya berkaki.

4. Makna konotatif
Makna konotatif adalah makna kaya yang merujuk pada pikiran atau perasaan
seseorang. Makna konotatif merupakan makna denotatif yang sudah mengalami
proses penambahan makna seperti kiasan atau perbandingan. Untuk mengetahui
makna konotatif suatu kata, bisa dilihat dari konteksnya dalam kalimat. Misalnya
kata kursi dalam kalimat, “Sekarang ini banyak orang merebutkan kursi”.

Nah, kursi disitu bukanlah kursi untuk duduk, tetapi jabatan atau kedudukan.

5. Makna konseptual
dapat diartikan sebagai sebuah makna atas suatu kata yang tidak tergantung
dari konteks. Makna konseptual sering disebut juga sebagai makna kamus
karena maknanya tergantung dari maknanya dalam kamus. Selain makna
kamus, makna konseptual juga sama dengan makna denotatif, sama dengan
makna leksikal, dan juga sama dengan makna referensial. Contoh: “Ibu”
memiliki makna konseptual seorang wanita yang telah melahirkan seseorang.

6. Makna kontekstual
Makna kontekstual dapat diartikan sebagai makna yang muncul berdasarkan
konteks. Makna kontekstual dapat muncul karena situasi, tempat, lingkungan
atau waktu.
Contoh:

 Kaki ibu terluka karena tidak sengaja menginjak pecahan gelas.

 Ketika baru sampai di kaki Gunung Merapi, Andi sudah memutuskan


untuk pulang.

 Ayah memotong kaki meja di ruang belajar karena terlalu tinggi.

Perhatikanlah ketiga kalimat di atas. Ketiga kalimat tersebut menggunakan


satu kata yang sama yaitu “kaki”. Akan tetapi, berdasarkan konteks dari
masing-masing kalimat, kata “kaki” akan memiliki makna yang berbeda pula.

Anda mungkin juga menyukai