Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SEJARAH SASTRA INDONESIA


“POLEMIK SASTRA DI INDONESIA”

DOSEN PENGAMPU:
Diah Irawati S,S,M.Pd

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4:


1. Dewi Lestari (21541007)
2. Dinda Lidra Maharani (21541009)
3. Pika Wulandari (21541021)
4. Rivku Rivaldo. S (21541027)

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Karena dengan rahmat
dan karuniah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Polemik Sastra di Indonesia” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Sastra Indonesia.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu Diah Irawati S,S,M.Pd


selaku guru Mata Kuliah Sejarah Sastra Indonesia. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah
ini.

Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Rejang Lebong, Juni 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR iii
ISI ....................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................... 2
BAB II 3
PEMBAHASAN ..................................................................... 3
A. Pengertian Polemik 5
Sastra ....................................................... 6
B. Polemik-Polemik Sastra di 8
Indonesia ...................................... 8
BAB III
PENUTUP .............................................................................
A. Kesimpulan .............................................................................
B. Saran .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Polemik adalah sejenis diskusi atau perdebatan sengit yang diadakan di


tempat umuk atau media massa berbentuk tulisan. Polemik biasa digunakan untuk
menyangkal atau mendukung suatu pandangan agama atau politik. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), polemik adalah perdebatan mengenai
suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam media massa.

Sedangkan polemik sastra adalah tukar pikiran antara dua pihak yang
berbeda paham tentang masalah sastra, jika berbentuk tulisan disebut perang pena.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang terjadi di polemik Hari Sastra?


2. Apa yang terjadi di polemik Sastra Maya/Cybersastra?
3. Apa yang terjadi di polemik Metode Ganzheit?
4. Apa yang terjadi di polemik Sastra Kontekstual?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui kejadian polemik Hari Sastra.


2. Untuk mengetahui kejadian polemik Sastra Maya/Cybersastra.
3. Untuk mengetahui kejadian polemik Metode Ganzheit.
4. Untuk mengetahui kejadian polemik Sastra Kontekstual.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Polemik Hari Sastra
Pemerintah melalui Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wiendu
Nuryanti telah menetapkan bahwa hari sastra Indonesia jatuh pada tanggal 3 Juli.
Tanggal tersebut merupakan tanggal lahirnya Abdul Moeis, penulis novel Salah
Asuhan. Penetapan tanggal lahir tersebut sebagai hari sastra Indonesia digagas dan
dikoordinatori oleh Taufiq Ismail.
Selang beberapa waktu setelah penetapan tersebut, kelompok sastra
Boemipoetra menolak tanggal 3 Juli dijadikan sebagai hari sastra Indonesia.
Mereka memproklamirkan hari lahir Pramoedya Ananta Toer, penulis tetralogi
Buru, sebagai hari sastra Indonesia yang sah, yaitu pada tanggal 6 Februari. Salah
satu penggagasnya adalah Saut Situmorang.
Secara legalitas, tentu saja hari sastra Indonesia yang ditetapkan oleh
pemerintah merupakan hari sastra Indonesia yang sah. Sebelum membahas hal
tersebut, mari kita lihat dari nama terlebih dahulu. Dari nama saja hari sastra
Indonesia sudah menimbulkan masalah. Hari sastra Indonesia terkesan arogan.
Hari sastra Indonesia dimaknai sebagai sastra yang menggunakan bahasa
Indonesia. Lalu, bagaimana dengan sastra daerah atau sastra yang menggunakan
bahasa ibu mereka. Maka dari itu akan lebih baik jika hari sastra tersebut mulanya
hari sastra nasional.
Kembali kepada rasionalisasi pemilihan hari sastra. Bila ditinjau dari
sastra modern, secara garis besar sastra dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu
puisi, prosa dan drama. Apakah Abdul Moeis dan Pramoedya Ananta Toer sudah
mewakili tiga jenis sastra tersebut? Dua-duanya tidak memenuhi. Lantas siapakah
sastrawan yang dapat mewakili ketiga jenis sastra tersebut?
Selain dapat mewakili ketiga jenis sastra, bila dikaitkan kembali dengan
sastra nasional, tokoh sastra ini pun harus dapat mewakili sastra daerah. Kembali
lagi ke pertanyaan besar, siapakah sastrawan tersebut?
Mas Marco Kartodikromo. Marco adalah novelis bahasa Jawa pertama.
Resia Kraton adalah novel berbahasa Jawa karya Marco yang terbit pada tahun
1914. Dalam kesusasteraan yang menggunakan bahasa Indonesia, Marco telah
menghasilkan roman Mata Gelap yang juga terbit pada tahun yang sama.
Novelnya yang lain adalah Student Hidjo, Rasa Merdika, dan Matahariah. Dalam
Matahariah ada drama yang berjudul Kromo Bergerak. Dalam dunia kepenyairan
pun Marco tak kalah dahsyat. Sama Rata Sama Rasa, Sjair Sentot, dan Sjair
Rempah Rempah adalah puisinya. Selain itu Marco juga menulis cerpen
Semarang Hitam, Roesaknja Kehidoepan di Kota Besar dan Tjermin Boeah
Kerojolan.

Bila menggunakan rasionalisasi di atas, serta paradigma sastra nasional


dan jenis sastra, maka pantaslah bila hari sastra nasional diambil dari hari lahir
Marco Kartodikromo. Namun, sayangnya hari lahir Marco Kartodikromo tidak
diketahui. Hanya hari kematiannyalah yang dapat dilacak jejaknya, yaitu 18 Maret
1935.
B. Polemik Sastra Maya (Cybersastra)
Pada awal tahun 2000 sastra mendapatkan pengaruh yang begitu besar dari
kemajuan teknologi. Pengaruh tersebut membuat sastra mengikuti perkembangan
zaman dengan teknologi sebagai wadah untuk memperkenalkannya kepada
masyarakat. Kemunculan sastra maya (cybersastra) dimulai dengan hadirnya
komunitas-komunitas sastra maya. Mereka memanfaatkan teknologi seperti
mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan blog yang menawarkan kebebasan
berpendapat tanpa adanya sensor. 
Sastra maya atau cybersastra adalah suatu kegiatan sastra yang
memanfaatkan media komputer atau internet sebagai wadahnya (Enraswara,
2006:182). Perkembangan sastra maya di Indonesia dimulai dengan peluncuran
buku antologi puisi siber yang berjudul Graffiti Gratitude pada 9 Mei 2001 yang
dipimpin oleh Nanang Suryadi dkk. Dengan berkembangnya dunia internet,
masyarakat berlomba-lomba untuk memuat karyanya ke dalam beberapa situs,
blog, dan milis.
Sastra maya juga berkembang dengan adanya situs yang menjadi awal
sastra di Indonesia, yaitu cybersastra.com. Situs ini dikelola oleh Masyarakat
Sastra Indonesia (MSI) dengan redaktur utamanya Nanang dkk. Hadirnya situs
tersebut diikuti oleh banyaknya lembaga kesenian dan kebudayaan yang membuat
situs sastra, diantaranya; Yayasan Lontar, Yayasan Taraju, KSI, Akubaca, Aksara,
dan Aikon.
Ada pula satrawan dan masyarakat yang memuat karyanya di laman situs
mereka sendiri, seperti Taufiq Ismail dengan alamatnya www.taufiq.ismail.com.
Shobron Aidit yang beralamat di www.lalemement.com. Afrinal Malna, Hamid
Jabbar, Saut Situmorang, dan Pramoedya Ananta Toer yang beralamat di
www.geocities.com. Adapun situs-situs yang berbahasa Inggris tapi memuat
sastrawan Indonesia beralamat di www.poetry.com dan www.everypoetry.com.
Situs-situs tersebut dibuat secara profesional, namun ada juga yang
sifatnya amatiran, hanya menggunakan hosting gratis yang disediakan di internet.
Kemunculan dan perkembangan sastra maya dinilai mampu memudahkan para
sastrawan untuk mempublikasi karyanya. Meskipun begitu, kehadiran sastra maya
juga menuai polemik yang cukup kompleks bagi para sastrawan dan masyarakat.
Ada yang berpendapat bahwa karya sastra yang ditulis di media maya
tidak bermutu karena terlalu bebas menggunakan bahasa Indonesia. Sutardji
Calzoum Bachri pun mempertanyakan kualitas dari karya sastra maya dan para
sastrawannya. Hal itu dipertanyakan karena adanya sistem seleksi yang kurang
ketat di internet, sehingga apa pun dan siapa pun dapat masuk di dalamnya.
C. Metode Ganzheit
Kritik Ganzheit merupakan suatu kritik seni (sastra) yang diperkenalkan
Arief Budiman lewat esainya “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” yang dimuat
majalah Horison No.4 Th.III, April 1968.
Pada akhir tahun 1960-an terjadi perdebatan dan polemik kritik sastra
antara golongan pengikut kritik sastra Ganzheit dan pengikut kritik sastra
akademik (yang kemudian menamakan dirinya kritikus Kritik Sastra Aliran
Rawamangun). Di antara tokoh kritik sastra Ganzheit itu sebagaimana
dikemukakan di atas adalah Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, sedangkan
kritikus aliran Rawamangun di antaranya ialah M.S. Hutagalung, J.U. Nasution,
M. Saleh Saad, dan Boen Sri Oemarjati. Dari mereka itu yang lebih-lebih
bersemangat adalah M.S. Hutagalung. Pada 31 Oktober 1968 Pusat Bahasa
Jakarta mempertemukan kelompok kritikus Ganzheit dengan kritikus aliran
Rawamangun dalam sebuah simposium (seminar). Kertas kerja mereka dan
ulasan-ulasannya dibukukan oleh Pusat Bahasa dengan editor Lukman Ali
berjudul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978). Perdebatan mereka itu
masih berlanjut sampai pada pertengahan tahun 1970-an. Polemik M.S.
Hutagalung dengan Arief Budiman dibukukan dengan judul Kritik atas Kritik atas
Kritik (1975). Sayang esai-esai Arief Budiman tidak atau belum dibukukan. Pada
9 Oktober 1972 Dewan Kesenian Jakarta juga mengadakan diskusi kritik sastra
dengan pembicara Kuntowijoyo, kertas kerjanya berjudul “Prosedur Lingkaran
dalam Kritik Sastra” yang membicarakan dan membandingkan metode kritik
sastra Ganzheit.
Kritik Ganzheit tidak tepat apabila disebut sebagai salah satu metode
analisis dalam kritik sastra sebab kritik semacam ini tidak menekankan analisis
dalam kerjanya. Ia mempunyai cara tersendiri yang khas dalam pendekatan suatu
cipta sastra atau cipta seni pada umumnya. Pada dewasa ini ada beberapa macam
ilmu jiwa yang dicernakan dalam seni dengan hasil yang memuaskan. Bidang
kritik sastra pun tidak ketinggalan. Ilmu jiwa “Gestalt” yang pertama kali
dikemukakan oleh Wilhelm Wundt (1832—1920) telah dipergunakan sebagai
dasar landasan metode kritik Ganzheit. Beberapa pengarang yang telah menulis
tentang peranan ilmu jiwa Gestalt dalam seni, antara lain, ialah H.E. Roose (A
Psychology of Artistic Greation), Worner Wolff (The Expressions of Personality),
dan Rudolf Arnheim (Gestalt and Art).
Ilmu jiwa Gestalt yang menjadi dasar kritik Ganzheit itu pada asasnya
memiliki dua prinsip (pokok pendirian) yaitu:
1. Penghayatan terhadap sesuatu objek pertama sekali berupa keseluruhan,
dan keseluruhan (totalisme) itu memiliki sifat (kualitas) baru yang tidak
sama dengan jumlah semua unsurnya. Apabila kita berjumpa dengan
seseorang, maka yang pertama kita hayati adalah bentuk keseluruhan
orang itu, bukan bagaimana bentuk bibirnya, matanya, hidungnya, dan
sebagainya. Unsur-unsur itu kita ketahui sesudah kita mengadakan refleksi
dan analisa, dan unsur-unsur yang timbul kemudian terlepas dari sifat
universal dan merupakan suatu keseluruhan tersendiri yang memiliki sifat
lain dari semula. Unsur-unsur dalam keseluruhan mengadakan interferensi
dinamik sehingga menjelma sifat keseluruhan itu.
2. Penghayatan tiap manusia terhadap satu objek yang sama berbeda-beda
sifat atau kualitasnya. Tiap penghayatan dari tiap manusia adalah unik,
mewujudkan sifat keseluruhan yang berlain-lainan. Faktor manusia yang
menghayati suatu objek merupakan satu unsur yang ikut menentukan sifat
keseluruhan (kualitas totalitas) objek itu.
Berdasarkan dua prinsip tersebut, kemudian orang menerapkan prinsip-
prinsip itu dalam kritik sastra atau kritik seni pada umumnya. Kutipan uraian
Arief Budiman tentang metode Ganzheit itu adalah sebagai berikut “Metode kritik
Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritikus terhadap
karya seni yang dihadapinya. Mula-mula tanpa konsepsi apriori apapun juga, sang
kritikus membiarkan karya seninya berbicara sendiri kepada mereka. Kemudian,
terjadilah sebuah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamik antara
kedua subjek yang hidup dan merdeka itu. Sebuah proses refleksi dan analisa
terjadi kemudian. Di sini elemen-elemen menjadi ‘terang dan jelas’ dalam
hubungannya dengan penyatuan keseluruhan tersebut. Elemen-elemen itu
mendapatkan nilainya dari penyatuan total tersebut. Elemen-elemen yang tadinya
tampak kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi dinamik, seakan-akan
mencair dan menjadi hidup penuh warna-warni. Pada saat sang kritikus
menuliskan pengalaman-pengalamannya ini, maka lahirlah sebuah kritik seni yang
merupakan hasil sebuah percintaan atau sebuah persengketaan antara seorang
manusia dan sebuah karya seni”.
Pertama kali Goenawanlah yang mengemukakan gagasan atau teori kritik
Ganzheit dalam tulisannya yang berjudul “Tema Bukan Sebuah Utopia Kecil”
(1966) kemudian ditulis kembali dengan judul “Tentang Tema & Machiavelisme
Kesusastraan” (1972) dan dengan nama samaran Sutisna Adji tulisannya berjudul
“Pengertian yang Salah terhadap Metode Analitik dalam Kritik Puisi” (1965).
Kemudian baru pada tahun 1968, teori atau metode Ganzheit itu secara eksplisit
dikemukakan oleh Arif Budiman dengan judul “Metode Ganzheit dalam Kritik
Seni”.
Arif Budiman dengan tulisannya “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni”
lebih menjelaskan teori kritik Ganzheit yang dikemukakan oleh Goenawan.
Dikatakannya bahwa aliran psikologi Gestaltlah yang menyatakan suatu
keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah
semua unsurnya (1968). Sebuah totalitas bukan elemen yang disusun satu per
satu, melainkan dihayati sebagai keseluruhan. Unsur-unsur itu secara dinamis
mengadakan interferensi yang menghasilkan sebuah kualitas baru. Kualitas baru
inilah yang langsung ditangkap pertama oleh pembaca (penanggap). Elemen baru
muncul pada tahap kedua setelah pembaca (penanggap) mengadakan refleksi dan
analisis. Sebuah elemen yang terlepas dari totalitas akan merupakan totalitas
sendiri yang akan lain daripada bila bersama dalam sebuah totalitas yang baru.
D. Polemik Sastra Kontekstual
Sastra Kontekstual merupakan sastra yang menyuarakan manusia dan
persoalan zamannya atau yang mengungkapkan konteks zamannya. Dalam sastra
kontekstual, tercermin realitas zaman dan kehidupan sosial zaman yang
bersangkutan. Dengan sastra kontekstual, akan terbaca dan terdengar suara
manusia zamannya itu yang dibatasi oleh waktu dan lingkungan tertentu.
Menurut Arief Budiman (Minggu, 6 Januari 1985), sastra kontekstual
adalah sastra yang tidak mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusastraan,
melainkan hanya mengakui nilai-nilai sastra, terikat oleh waktu dan tempat.
Dalam bayangan Arief Budiman kesusastraan Indonesia modern selama ini sudah
terlalu lama dicekoki kriteria estetisme dan universalisme kelas menengah Barat
sehingga menjadi begitu berat sebelah menganggap hanya yang ditulis dengan
selera begitulah yang pantas dianggap sastra. Padahal, sastra yang demikian hanya
mewakili pandangan serta selera kelas menengah kota Indonesia yang kebarat-
baratan itu.
Jacob Sumardjo (Kompas, 23 Juni 1985) menegaskan bahwa munculnya
gagasan “sastra kontekstual” akhir-akhir ini menarik perhatian, bukan karena
ribut-ributnya, tetapi karena mengundang pertanyaan: mengapa gagasan itu bisa
timbul? Sastra, kontekstual itu menarik karena memperhitungkan konteks sosial,
konteks geografis, dan konteks historis sebagai sebab utama timbulnya sastra, dan
bukan faktor kesekian dari sastra. Penulis bukan berasal dari kelompok gagasan,
ini tetapi mereka hanya ingin mencoba menjawab secara empiris mengapa
gagasan semacam itu bisa timbul. Jadi, kalau sastra kontekstual seperti diinginkan
oleh kaum pencetusnya mau nyata di Indonesia, syarat-syarat yang membentuk
kondisi itu harus dibangun, yakni domisili sastrawan-sastrawan nasional yang
cukup banyak dalam konteks yang dimaksud. Kedua, dibangun pusat penerbitan
besar dengan para sastrawan senior atau dibangunnya pusat-pusat kesenian
dengan modal yang cukup. Ketiga, pusat baru itu harus memiliki mekanisme
komunikasi secara nasional, seperti Jakarta. Dengan demikian, dalam benak kita
terbayang bahwa sastrawan-sastrawan semacam Arifin C Noer, Putu Wijaya,
Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., dan Rendra berdomisili di Medan
atau Ujung Pandang dengan memiliki TIM, Kompas, dan Horison, bahkan Tempo
atau Femina terbit di kota-kota propinsi itu. Kalau demikian kondisinya, tentu
akan muncul sastra kontekstual yang berbeda dengan konteks Jakarta.
Menurut Ariel Haryanto (Pikiran Rakyat, 21—22, Mei 1985), apa yang
belakangan disebut-sebut “sastra kontekstual” akan lebih jelas disebut
“pemahaman atas kesusastraan secara kontekstual”, yakni pemahaman atas
kesusastraan dalam kaitannya dengan konteks sosial-historis yang bersangkutan.
Untuk singkatnya, pemahaman seperti itu selanjutnya disebut pemahaman
kontekstual. Pemahaman itu muncul belakangan ini sebagai sebagai salah satu
perlawanan awal terhadap paham universal yang kini dominan dalam kesusastraan
Indonesia. Dalam paham universal, konteks kesusastraan dianggap tidak penting
atau dianggap tidak sepenting “kesusastraan” itu “sendiri”. Perbedaan kedua
paham itu bukan sekadar perbedaan dua macam selera berkesusastraan, melainkan
perbedaan pemahaman tentang kehidupan sosial serta sikap dan tindakan
masyarakat. Oleh karena itu, perlawanan paham kontekstual tidak hanya tertuju
pada persoalan kesusastraan itu “sendiri” saja.
Penulisan karya sastra memang harus diarahkan kepada pencapaian yang
indah. Akan tetapi, persoalannya adalah apakah yang disebut indah itu sama untuk
semua orang. Di sinilah muncul gagasan tentang apa yang disebut sebagai sastra
kontekstual. Untuk itu, perlu ditegaskan ihwal ‘yang indah’ dan ‘yang berarti’.
Yang indah memberi kesan nilai yang indrawi, sedangkan yang berarti
mengandung pengertian yang lebih luas. Sastra yang baik adalah sastra yang
berarti bagi seseorang. Apakah arti sastra tersebut didasarkan pada rasa
keindahan, atau rasa pengalaman relegius, atau rasa rangsangan untuk lebih
bersemangat dalam menghadapi hidup yang berat ini, semua ini terpulang kembali
pada si penikmat sastra. Sastra yang baik jadinya adalah sastra yang punya arti
bagi penikmatnya. Itulah yang menjadi gagasan dasar Arief Budiman.
Pendekatan tentang sastra kontekstual selama paruh pertama tahun 1985
disebabkan tiga faktor, yaitu momen historis yang tepat, penampilan seorang
(yang dapat dibedakan dari orangnya sendiri) Arief Budiman di garis depan
perdebatan, dan dukungan media massa cetak dari kota-kota besar di Pulau Jawa,
khususnya bagian barat dan tengah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Polemik sastra adalah tukar pikiran antara dua pihak yang berbeda paham
tentang masalah sastra, jika berbentuk tulisan disebut perang pena.
Banyak polemik-polemik sastra yang terjadi di Indonesia, salah satunya
adalah polemik hari sastra, polemik sastra maya (cybersastra), polemik metode
Ganzheit, dan polemik kontekstual.
B. Saran
Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan, penyusun
memohon untuk diberikan kritik, saran, san masukkan yang bersifat membangun
untuk kemajuan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kritik Ganzheit. diunduh 30 Juni 2022. https://ekspresionline.com/polemik-hari-
sastra/#:~:text=Marco%20yang%20terbit-,pada,-tahun%201914.%20Dalam
Punkaz Singaraksa. 2013. Polemik Hari Sastra. diunduh 30 Juni 2022.
https://www.kompasiana.com/tririzkyramadhan216516/62a3528dfca4e45bab1fb6
92/polemik-sastra-maya#:~:text=internet%2C%20masyarakat
%20berlomba--,lomba,-untuk%20memuat%20karyanya
Sastra Kontekstual. diunduh 30 Juni 2022.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Kritik_Ganzheit#:~:text=Rawa
mangun).%20Di%20antara-,tokoh,-kritik%20sastra%20Ganzheit
Tri Rizky Ramadhan. 2022. Polemik Sastra Maya. Diunduh 30 Juni 2022.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sastra_Kontekstual

Anda mungkin juga menyukai