Anda di halaman 1dari 4

Pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam

Mengatasi kelaparan dan kesadaran gizi di Indonesia

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 70 pada bulan September


2015 di New York, Amerika Serikat, menjadi titik sejarah baru dalam pembangunan global.
Sebanyak 193 kepala negara dan pemerintahan dunia hadir untuk menyepakati agenda
pembangunan universal baru yang tertuang dalam dokumen berjudul Transforming Our
World: the 2030 Agenda for Sustainable Development berisi 17 Tujuan dan 169 Sasaran
yang berlaku mulai tahun 2016 hingga tahun 2030. Dokumen ini dikenal dengan istilah
Sustainable Development Goals atau SDGs.

SDGs merupakan kelanjutan Millennium Development Goals (MDGs) yang


disepakati oleh negara anggota PBB pada tahun 2000 dan berakhir pada akhir tahun 2015.
Namun keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, baik dari segi substansi maupun
proses penyusunannya. MDGs yang disepakati lebih dari 15 tahun lalu hanya berisi 8
Tujuan, 21 Sasaran, dan 60 Indikator. Sasarannya hanya bertujuan mengurangi separuh dari
tiap-tiap masalah pembangunan yang tertuang dalam tujuan dan sasaran.

MDGs memberikan tanggung jawab yang besar pada target capaian pembangunan
bagi negara berkembang dan kurang berkembang, tanpa memberikan peran yang seimbang
terhadap negara maju. Secara proses MDGs juga memiliki kelemahan karena penyusunan
hingga implementasinya eksklusif dan sangat birokratis tanpa melibatkan peran dari sektor
non-pemerintah, seperti Civil Society Organization, Universitas/Akademisi, sektor bisnis
dan swasta, serta kelompok lainnya.

Berbeda dengan pendahulunya, SDGs mengakomodasi masalah-masalah


pembangunan secara lebih komprehensif baik kualitatif (dengan mengakomodir isu
pembangunan yang tidak ada dalam MDGs) maupun kuantitatif dengan menargetkan
penyelesaian tuntas terhadap setiap tujuan dan sasaranya. SDGs juga bersifat universal
memberikan peran yang seimbang kepada seluruh Negara, baik negara maju, negara
berkembang, dan negara kurang berkembang untuk berkontribusi penuh terhadap
pembangunan, sehingga masing-masing negara memiliki peran dan tanggung jawab yang
sama antara satu dengan yang lain dalam mencapai SDGs.

SDGs membawa 5 prinsip-prinsip mendasar yang menyeimbangkan dimensi


ekonomi, sosial, dan lingkungan, yaitu 1) People (manusia), 2) Planet (bumi), 3) Prosperity
(kemakmuran), 4) Peace (perdaiaman), dan 5) Partnership (kerjasama). Kelima prinsip
dasar ini dikenal dengan istilah 5 P dan menaungi 17 Tujuan dan 169 sasaran yang tidak
dapat dipisahkan, saling terhubung, dan terintegrasi satu sama lain guna mencapai
kehidupan manusia yang lebih baik.

Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut andil dalam melaksanakan tujuan
dan sasaran dari SDGs guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pencapaian Indonesia
dalam mewujudkan SDGs telah mencapai hasil yang baik dengan berhasil mengurangi
kesenjangan melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, perluasan lapngan pekerjaan dan
akses terhadap pendidikan, dan penguatan langkah-langkah pencegahan tanggap darurat
serta ketahanan terhadap bencana, keberhasilan ini telah di paparkan dalam laporan
Voluntary National Reviews (VNR) Indonesia pada pertemuan High Level Political Forum
(HLPF) yang diadakan di kantor pusat PBB di New York (15/7).

Namun, keberhasilan Indonesia dalam meujudkan SDGs tidak semuanya dapat


dirasakan, masalah-masalah yang sering dijumpai pada lingkup masyarakat pun masih
menjadi pertanyaan bagi banga ini kepada Sang Ibu Pertiwi. Salah satu masalah di
Indonesia yang masih banyak terjadi hingga saat ini adalah masalah kelaparan, Kelaparan
adalah suatu kondisi dimana tubuh masih membutuhkan makanan, biasanya saat perut telah
kosong untuk waktu yang lama.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pada 2018 ada lebih dari 821 juta orang
menderita kelaparan, kerawanan pangan, dan gizi buruk di seluruh dunia. PBB mencatat
jumlah ini terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Berdasarkan data dari Global Hunger
Index 2017 Indonesia masih mengalami kelaparan yang di derita oleh 19 juta penduduknya.
Menurut Global Hunger Index 2018, Indonesia dinilai memiliki masalah kelaparan tingkat
serius yang memerlukan perhatian lebih. Dalam laporan tersebut, lembaga nirlaba
Welthungerhilfe dan Concern Worldwide menghitung indeks global kelaparan berdasarkan
empat indikator. Di antaranya adalah kasus kurang gizi dari populasi penduduk, stunting
pada anak usia di bawah 5 tahun, kematian anak di bawah usia 5 tahun, dan anak usia di
bawah 5 tahun yang tidak dirawat dengan baik.

Adapun indeks kelaparan di Indonesia mendapat skor 21,9 dan Indonesia berada di
peringkat 73 global dalam mengatasi masalah kelaparan, tentu saja hal ini harus serius
ditangani. Namun pengurangan kemiskinan di Tanah Air dinilai masih rendah. Sementara
di kawasan Asia Tenggara, Thailand dan Malaysia memiliki indeks kelaparan paling rendah
atau paling baik. Nilai indeks pada kedua negara tersebut berada pada level moderat.
Sedangkan Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Laos. Indonesia berada pada
kelompok negara dengan tingkat penurunan kelaparan yang terbilang relative rendah sejak
tahun 2000 bersama India, Iraq, Pakistan, dan sejumlah negara di kawasan afrika.

Beberapa faktor yang menyebabkab masalah kelaparan di Indonesia adalah


pemborosan makanan, pemborosan makanan menjadi hal yang serinng dijumpai di lingkup
Masyarakat, hal ini terjadi karena berlebihannya keinginan masyarakat yang memang
memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi, namun keinginan tersebut tidak sepadan dengan
hasil akhir yang didapat, alhasil begitu banyak makanan yang terbuang begitu saja, padahal
makanan tersebut dapat di peruntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan. Permasalahan
berikutnya adalah perubahan ekstrem cuaca dan iklim di Indonesia, perubahan ekstrem ini
menyebabkan masalah yang berdampak besar bagi pangan di Indonesia , khususnya bagi
petani, para petani seringkali mengalami gagal panen dan akibatnya, produksi pangan
seperti beras semakin menurun. Kekeringan terus menerus akibat curah hujan yang tidak
pasti juga menyebabkan kurangnya ketersediaan air yang lama kelamaan bisa menimbulkan
penyakit bagi masyarakat di daerah tersebut.

Masalah selanjutnya yang pasti menyebabkan kelaparan dan kurang gizi adalah
kemampuan ekonomi yang rendah dari masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat ada 25,14 juta penduduk Indonesia yang termasuk kategori miskin pada maret
2019, indicator kemiskinan tersebut dihitung dari pendekatan pengeluaran per kapita
sebesar Rp 425.250 per bulannya. Hal tersebut tentu saja menjadi penghalanga untuk
mendapatkan gizi yang cukup dan bahkan di daerah daerah pedalaman di Indonesia yang
jarang terakses oleh pemerintah pastinya memiliki kondisi yang harus segera di perhatikan.
Namun dari semua faktor-faktor yang menyebabkan kelaparan dan kurangnya gizi pada
masyarakat Indonesia, faktor kesadaran masyakatlah yang menjadi masalah utama.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengatasi kelaparan dan kurangnya gizi atau
stunting khususnya pada balita membuat masalah seperti ini susah untuk diselesaikan.
Kemudian kesadaran masyarakat akan potensi di Indonesia yang melimpah dan harganya
yang sangat terjangkau masih rendah, masyarakat Indonesia masih banyak yang berpikiran
bahwa makanan yang bergizi itu mahal dan susah untuk didapatkan, padahal makanan yang
sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat Indonesia memiliki nilai
gizi yang tinggi, seperti tempe yang merupakan makanan yang begitu ekonomis dan dapat
diterima di kalangan masyarakat.

Kemudian masalah pangan pokok masih terus ada di Indonesia, seperti ketahanan
pangan pokok beras sebagai bahan pangan utama masyarakat yang tidak terpenuhi dan
meningkatnya permintaan akan pangan pokok seiring berkembangnya zaman, masalah
seperti ini dapat teratasi jikalau masyarakat memiliki kesadaran akan potensi makanan
pokok yang lain, seperti ubi kayu, jagung, kentang dan bahan pokok lainnya yang
mengandung karbohidrat sebagai pengganti nasi. Gizi dari makanan tersebut pun tinggi dan
bervariasi yang dapat melengkapi kebutuhan gizi dan vitamin bagi tubuh manusia,
disamping itu proses peralihan masyarakat ataupun diversifikasi pangan, dapat menekan
kuantitas impor yang terus dilakukan oleh negara, sehingga anggaran

Anda mungkin juga menyukai