MDGs memberikan tanggung jawab yang besar pada target capaian pembangunan
bagi negara berkembang dan kurang berkembang, tanpa memberikan peran yang seimbang
terhadap negara maju. Secara proses MDGs juga memiliki kelemahan karena penyusunan
hingga implementasinya eksklusif dan sangat birokratis tanpa melibatkan peran dari sektor
non-pemerintah, seperti Civil Society Organization, Universitas/Akademisi, sektor bisnis
dan swasta, serta kelompok lainnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut andil dalam melaksanakan tujuan
dan sasaran dari SDGs guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pencapaian Indonesia
dalam mewujudkan SDGs telah mencapai hasil yang baik dengan berhasil mengurangi
kesenjangan melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, perluasan lapngan pekerjaan dan
akses terhadap pendidikan, dan penguatan langkah-langkah pencegahan tanggap darurat
serta ketahanan terhadap bencana, keberhasilan ini telah di paparkan dalam laporan
Voluntary National Reviews (VNR) Indonesia pada pertemuan High Level Political Forum
(HLPF) yang diadakan di kantor pusat PBB di New York (15/7).
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pada 2018 ada lebih dari 821 juta orang
menderita kelaparan, kerawanan pangan, dan gizi buruk di seluruh dunia. PBB mencatat
jumlah ini terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Berdasarkan data dari Global Hunger
Index 2017 Indonesia masih mengalami kelaparan yang di derita oleh 19 juta penduduknya.
Menurut Global Hunger Index 2018, Indonesia dinilai memiliki masalah kelaparan tingkat
serius yang memerlukan perhatian lebih. Dalam laporan tersebut, lembaga nirlaba
Welthungerhilfe dan Concern Worldwide menghitung indeks global kelaparan berdasarkan
empat indikator. Di antaranya adalah kasus kurang gizi dari populasi penduduk, stunting
pada anak usia di bawah 5 tahun, kematian anak di bawah usia 5 tahun, dan anak usia di
bawah 5 tahun yang tidak dirawat dengan baik.
Adapun indeks kelaparan di Indonesia mendapat skor 21,9 dan Indonesia berada di
peringkat 73 global dalam mengatasi masalah kelaparan, tentu saja hal ini harus serius
ditangani. Namun pengurangan kemiskinan di Tanah Air dinilai masih rendah. Sementara
di kawasan Asia Tenggara, Thailand dan Malaysia memiliki indeks kelaparan paling rendah
atau paling baik. Nilai indeks pada kedua negara tersebut berada pada level moderat.
Sedangkan Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Laos. Indonesia berada pada
kelompok negara dengan tingkat penurunan kelaparan yang terbilang relative rendah sejak
tahun 2000 bersama India, Iraq, Pakistan, dan sejumlah negara di kawasan afrika.
Masalah selanjutnya yang pasti menyebabkan kelaparan dan kurang gizi adalah
kemampuan ekonomi yang rendah dari masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat ada 25,14 juta penduduk Indonesia yang termasuk kategori miskin pada maret
2019, indicator kemiskinan tersebut dihitung dari pendekatan pengeluaran per kapita
sebesar Rp 425.250 per bulannya. Hal tersebut tentu saja menjadi penghalanga untuk
mendapatkan gizi yang cukup dan bahkan di daerah daerah pedalaman di Indonesia yang
jarang terakses oleh pemerintah pastinya memiliki kondisi yang harus segera di perhatikan.
Namun dari semua faktor-faktor yang menyebabkan kelaparan dan kurangnya gizi pada
masyarakat Indonesia, faktor kesadaran masyakatlah yang menjadi masalah utama.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengatasi kelaparan dan kurangnya gizi atau
stunting khususnya pada balita membuat masalah seperti ini susah untuk diselesaikan.
Kemudian kesadaran masyarakat akan potensi di Indonesia yang melimpah dan harganya
yang sangat terjangkau masih rendah, masyarakat Indonesia masih banyak yang berpikiran
bahwa makanan yang bergizi itu mahal dan susah untuk didapatkan, padahal makanan yang
sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat Indonesia memiliki nilai
gizi yang tinggi, seperti tempe yang merupakan makanan yang begitu ekonomis dan dapat
diterima di kalangan masyarakat.
Kemudian masalah pangan pokok masih terus ada di Indonesia, seperti ketahanan
pangan pokok beras sebagai bahan pangan utama masyarakat yang tidak terpenuhi dan
meningkatnya permintaan akan pangan pokok seiring berkembangnya zaman, masalah
seperti ini dapat teratasi jikalau masyarakat memiliki kesadaran akan potensi makanan
pokok yang lain, seperti ubi kayu, jagung, kentang dan bahan pokok lainnya yang
mengandung karbohidrat sebagai pengganti nasi. Gizi dari makanan tersebut pun tinggi dan
bervariasi yang dapat melengkapi kebutuhan gizi dan vitamin bagi tubuh manusia,
disamping itu proses peralihan masyarakat ataupun diversifikasi pangan, dapat menekan
kuantitas impor yang terus dilakukan oleh negara, sehingga anggaran