Anda di halaman 1dari 18

FENOMENA ORGANISASI KEPENDIDIKAN

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

1. Ika Mulia Sari (2020203017)

2. Fatimah Azzahra (2030203084)

3. Hafizon Dinata (2020203062)

DOSEN PENGAMPUH :

Dr., KMS BADARUDDIN, M.Ag

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022

i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. yang telah memberikan begitu
banyak limpahan nikmat sehingga di antara nikmat-Nya tersebut kami dapat
menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah dalam rangka menuntut ilmu.

Shalawat beriringan salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada


baginda kita yang telah menuntut umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman
ilmiah a’ni Nabi besar Muhammad SAW. juga kepada keluarganya, para
sahabatnya, tabi’i dan tabi’atnya, serta sampai kepada kita selaku umatnya hingga
hari kiamat, Aamiin.

Selanjutnya makalah yang berada di hadapan pembaca merupakan uraian


materi yang disusun mengacu kepada Kepemimpinan Pendidikan, dengan dosen
pengampu Bapak Dr., Kms Badaruddin, M.Ag. yaitu tentang Fenomena
Organisasi Kependidikan yang Alhamdulillah telah selesai disusun. Tidak akan
ada kata selesai disusun makalah ini melainkan dukungan dari semua pihak baik
segi moril maupun materil. Untuk itu penyusun sampaikan banyak terima kasih.

Sudah barang tentu dalam makalah ini tidak luput dari kekeliruan ataupun
kekurangan baik dalam materi maupun dalam hal ikhwal penyusunan. Untuk itu
penyusun memohon maaf dan tak lupa untuk sedia menerima berbagai masukan
yang bersifat membangun untuk penyempurnaannya.

Palembang, Mei 2022

Penyusun

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Fenomena Organisasi Kependidikan (Lembaga Pendidikan Negeri dan Swasta;
Visi, Misi, Tujuan).........................................................................................................3
B. Solusi Mengatasi Fenomena Organisasi Kependidikan........................................10
BAB III PENUTUP.........................................................................................................14
Kesimpulan..................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai salah satu pusat kebudayaan dan peradaban, dunia pendidikan tak
pernah bisa terlepas dari dinamika dan perkembangan masyarakatnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut masyarakat untuk
melakukan perubahan sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Peran
pengetahuan sangat penting bagi setiap masyarakat yang mau meningkatkan
kemampuannya mengikuti persaingan yang kompetitif dalam krisis multi
dimensional. Oleh karena itu, dunia pendidikan juga perlu bersikap lentur dan
adaptif terhadap perubahan.

Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang
akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat
dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan
melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Pendidikan adalah usaha
sadar yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan
pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan, sebab tanpa tujuan
yang jelas proses pendidikan menjadi tanpa arah (Kartini Kartono, 2002: 214).
Dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dibutuhkan guru sebagai
tenaga pendidik yang profesional, kreatif dan menyenangkan. Karena peranan
guru yang sangat penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan
kurikulum, sehingga guru merupakan barisan pengembang kurikulum yang
terdepan maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan
terhadap kurikulum (E. Mulyasa, 2005: 4).

Terkait dengan guru, secara umum tantangan yang dihadapi guru di era
globalisasi dan multicultural ini adalah bagaimana pendidikan mampu mendidik
dan menghasilkan siswa yang memiliki daya saing tinggi (qualified), atau justru
malah “mandul” dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan yang penuh
dengan kompetensi dalam berbagai sector, mampu menghadapi tantangan di
bidang politik dan ekonomi, mampu melakukan risett secara koperhensif di era

1
reformasi serta mampu membangun kualitas kehidupan sumber daya manusia. Di
samping itu, dilihat dari segi aktualisasinya pendidikan merupakan proses
interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik) untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Guru, siswa dan tujuan
pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk
triangle, yang jika hilang salah satunya, maka hilang pulalah hakikat pendidikan.
Namun demikian, dalam situasi tertentu tugas guru dapat dibantu oleh unsur lain,
seperti media teknologi tetapi tidak dapat digantikan. Oleh karena itulah, tugas
guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik professional (Nana
Syaodih Sukmadinata, 1997: 191)

Oleh karena itu, guru sebagai tenaga pendidikan mempunyai fungsi, peran,
dan kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik
merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional
mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan
prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga
negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fenomena organisasi kependidikan yang terjadi pada lembaga
pendidikan?
2. Bagaimana solusi yang dilakukan untuk mengatasi fenomena organisasi
kependidikan tersebut dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui fenomena organisasi kependidikan yang terjadi pada
lembaga pendidikan
2. Untuk mengetahui solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi fenomena
yang terjadi guna peningkatan kualitas pendidikan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fenomena Organisasi Kependidikan (Lembaga Pendidikan Negeri dan


Swasta; Visi, Misi, Tujuan)
Secara etimologis, istilah fenomena berasal dari kata Yunani: phaenesthai,
artinya adalah memunculkan, meninggikan, menunjukkan dirinya sendiri.
Menurut Heidegger (Moustakas, 1994:26). Istilah fenomena, yang juga dibentuk
dari istilah Phaino yang artinya membawa pada cahaya, menunjukkan dirinya
sendiri di dalam dirinya, totalitas dari apa yang tampak di balik kita dalam cahaya.
Fenomena adalah suatu tampilan objek, peristiwa, dalam persepsi. Sesuatu yang
tampil dalam kesadaran.

Organisasi adalah institusi atau wadah tempat orang berinteraksi dan


bekerjasama sebagai suatu unit terkoordinasi yang terdiri dari setidaknya dua
orang atau lebih yang berfungsi mencapai sasaran (Sagala, 2009: 13). Merujuk
analisis Robinson (1981) keberadaan organisasi merupakan hal yang tak
terpisahkan dalam kehidupan manusia. Ini dikarenakan organisasi merupakan
suatu wadah bagi masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu yang sebelumnya
tidak dapat dicapai secara perorangan. Tujuan menjadi penting dalam organisasi
karena turut menentukan arah dan jenis organisasi, misalnya suatu organisasi
digolongkan organisasi pendidikan bila tujuan yang ingin dicapai berorientasi
pada bidang pendidikan. Pada dasarnya organisasi ini bertujuan untuk mendidik
dan melatih sumber daya manusia yang ada di dalamnya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki.

Secara singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi


logis dari taraf perkembangan masyarakat yang perangkat-perangkat pengetahuan
dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-
masing keluarga. Perlunya pihak lain yang secara khusus mengurusi organisasi
dan apresiasi pengetahuan serta mengupayakan untuk ditransformasikan kepada
para generasi muda agar terjamin kelestariannya merupakan cetak biru kekuatan
yang melatarbelakangi berdirinya sekolah sebagai lembaga pendidikan. Walaupun

3
wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara, keberadaan sekolah merupakan
salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern.

Organisasi kependidikan adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang


sangat mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pendidikan. Dalam  proses
penyelenggaraan  program pendidikan, para pihak dalam organisasi pendidikan
terkait langsung dengan pelayanan pendidikan yang pasti selalu menghadapi
permasalahan. Berbagai permasalahan timbul karena masyarakat membutuhkan
pelayanan pendidikan yang bermanfaat dan aplikatif sesuai tuntutan zaman. Oleh
karena itu, organisasi pendidikan harus efektif dan dinamis dalam pelayanannya
demi perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan.

Keberhasilan suatu organisasi pendidikan dalam mencapai tujuan yang


telah ditetapkan dapat dilihat dari efektifitas organisasi tersebut. Namun, dalam
mencapai tujuan pendidikan tidaklah mudah dan masalah seringkali muncul dalam
proses pencapaian. Ada masalah yang akhirnya dapat diselesaikan dengan baik
tapi tidak sedikit juga masalah yang dibiarkan terkatung-katung tanpa solusi yang
tepat. Jika hal seperti ini tidak segera dicari jalan keluarnya maka dapat
mempengaruhi kinerja organisasi pendidikan.

Menurut statusnya, sekolah terbagi dari sekolah negeri dan sekolah swasta.
Sekolah negeri, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, mulai dari
sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sekolah
menengah kejuruan dan perguruan tinggi. Sekolah swasta, yaitu sekolah yang
diselenggarakan oleh non-pemerintah/swasta, penyelenggara berupa badan berupa
yayasan pendidikan yang sampai saat ini badan hukum penyelenggara pendidikan
masih berupa rancangan peraturan pemerintah.

1.Perbedaan Sekolah Swasta dan Sekolah Negeri

Perbedaan pertama dan utama antara sekolah negeri dan sekolah swasta,
terletak pada dasar hukum. Meskipun sekolah negeri dan sekolah swasta melayani
bidang jasa serta masyarakat yang sama, tapi payung hukumnya berbeda. Sekolah
swasta diharuskan tunduk pada UU Yayasan (UU No.28 Tahun 2008), sedangkan

4
sekolah negeri mengacu pada UU Sistim Pendidikan Nasional (UU No.20 Tahun
2003) Pasal 50 ayat 6.

a) Sekolah swasta mengalami diskriminasi struktural :


- Diskriminasi pada penerimaan siswa baru (Pendaftaran siswa baru di
sekolah swasta harus menunggu selesainya pendaftaran siswa baru di
sekolah negeri, sehingga sekolah swasta dikondisikan menjadi “buangan”
anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri).
- Diskriminasi bagi keberlanjutan studi alumninya (Quota terbatas yang
diberikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bagi lulusan sekolah swasta
- Diskriminasi pada pengembangan SDM-nya (Quota terbatas pada
program sertifikasi dan diklat – hal itupun harus menunggu jatah setelah
sebagian besar SDM di sekolah negeri selesai merampungkan progam
sertifikasi dan diklatnya)
b) Sekolah swasta menjadi “anak tiri” karena kucuran dana dan fasilitasnya
berbeda dari sekolah negeri – hanya sekolah negeri yang mendapat
kelimpahan dana 20% APBN (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas)
c) Pengembangan sekolah swasta terhambat dan kreativitasnya terpasung
karena Permendiknas No.22, No.23, No.24 Tahun 2006 yang
memungkinkan semua sekolah menerapkan kurikulumnya sendiri, menjadi
semua sekolah wajib menerapkan kurikulum (KTSP) yang sudah
ditetapkan oleh Dinas Pendidikan setempat.
Sedangkan keuntungan dan kerugian dari sekolah swasta dan negeri adalah
sebagai berikut ini:
Sekolah Negeri:
1. Keuntungan:
1) biaya sekolah lebih murah
2) jauh dari gaya hidup mewah (biasanya di sekolah swasta
lingkungan pergaulannya mewah)
2. Kerugian:
1) fasilitas kurang memadai karena keterbatasan sumber dana

5
2) guru yang kurang berperan aktif dalam mendidik siswa,
kebanyakan mengajar seadanya saja, tidak mencoba mengenal
dekat siswanya
Sekolah Swasta
a. Keuntungan:
1) kualitas gurunya lebih baik, cara mengajar lebih variatif
dan gurunya mendidik dengan lebih baik.
2) fasilitas lebih memadai karena sumber dananya lebih
memadai daripada SMA negeri
3) ekstrakurikuler lebih banyak dan pengelolaannya pun
lebih serius, bahkan di beberapa sekolah swasta ada match
club dan ekskul lain yang menunjang ilmu eksakta
mereka.
b. Kerugian:
1) biaya mahal
2) orang tua harus mengawasi anaknya agar tidak terjerumus
ke pengaruh negatif gaya hidup mewah
Peranan lembaga pendidikan swasta: 1. Lembaga ini sangat dekat dengan
masyarakat, karena pendirian dan sumber biayanya berasal dari masyarakat
langsung, organisasi sosial dan yayasan milik masyarakat atau kelompok orang. 2.
Walaupun kurikulum dan evaluasinya sesuai manajemen dan pendanaannya
sesuai standar nasional pendidikan, tetapi dalam hal-hal khusus terutama yang
berhubungan dengan suasana busana dan kulturalnya bisa diatur oleh yayasan atau
kelompok pendiri sekolah itu. 3. Penyebaran lembaga pendidikan swasta meliputi
wilayah perkotaan sampai ke desa-desa. 4. Jenjang pendidikan swasta sudah
mencakup sekolah taman kanakkanak sampai perguruan tinggi. 5. Peminat
sekolah dan perguruan tinggi swasta sangat banyak, bahkan pada tingkat
perguruan tinggi, peminatnya melebihi mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal merupakan satuan pendidikan


yang dirancang sedemikian rupa untuk mampu membentuk manusia yang

6
berkepribadian dalam mengembangkan intelektual peserta didik dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah suatu organisasi tempat penyelenggara
pendidikan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang saling berkaitan.
Komponen tersebut yaitu: kepala sekolah, guru, pegawai, konselor, siswa, serta
komite sekolah yang digolongkan sebagai sumber daya manusia yang saling
bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Fattah (2003:1) yang menyatakan sekolah merupakan wadah tempat
proses pendidikan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Sementara
Wahjosumidjo (1999:145) menyebutkan sekolah sebagai organisasi di dalamnya
terhimpun kelompok-kelompok manusia yang masing-masing baik secara
perseorangan maupun kelompok, melakukan hubungan kerja sama untuk
mencapai tujuan. Selanjutnya dikatakan kelompok-kelompok manusia yang
dimaksud, adalah sumber daya manusia yang terdiri dari: kepala sekolah, guru,
tenaga administrasi kelompok peserta didik atau siswa, dan kelompok orang
tuasiswa. Oleh karena itu seharusnya sekolah mampu mencermati kebutuhan
peserta didik yang bervariasi, agar mereka dapat mandiri, produktif, potensial dan
berkualitas.

Kegiatan pendidikan di sekolah menempatkan sekolah sebagai salah satu


institusi sosial yang keberadaannya melaksanakan kegiatannya mengadakan
pembinaan potensi guru dan transformasi nilai budaya bangsa yang bertanggung
jawab terhadap proses pengembangan kemampuan individualitas, moralitas dan
sosialitas guru di sekolah. Kegiatan inti sekolah mengelola SDM yang diharapkan
menghasilkan lulusan yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Lulusan sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan
bangsa. Sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang membutuhkan
pengelolaan oleh orang-orang yang profesional.

Tenaga guru adalah salah satu tenaga pendidikan yang mempunyai peran
sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan tujuan pendidikan, karena guru
yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk memberikan bimbingan
yang akan menghasilkan lulusan yang diharapkan. Guru merupakan sumber daya

7
manusia yang menjadi perencana, pelaku dan penentu tercapainya tujuan
pendidikan. Guru merupakan tulang punggung dalam kegiatan pendidikan
terutama yang berkaitan dengan kegiatan proses belajar mengajar. Tanpa adanya
peran guru maka proses belajar mengajar akan terganggu bahkan gagal. Dalam
manajemen pendidikan peranan guru dalam keberhasilan pendidikan selalu
ditingkatkan, kinerja atau prestasi guru harus selalu ditingkatkan mengingat
tantangan di dunia pendidikan untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia
yang mampu bersaing di era global.

Disamping sebagai tugas mengajar guru juga bertugas mendidik dan


melatih para peserta didik yang menekankan ke arah usaha pendidikan yang
berhubungan dengan pertumbuhan kepribadian peserta didik. Dengan
demikian,betapa penting, mulia dan beratnya tugas-tugas seorang guru untuk
mendidik, mengajar dan melatih para peserta didik demi kelangsungan dan
keberhasilan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu guru sebagai tulang
punggung pendidikan diharapkan mampu melaksanakan tugas-tugas dan
fungsinya sebagai seorang guru demi tercapainya tujuan pendidikan.

Kepala sekolah yang berhasil adalah kepala sekolah yang dapat mencapai
tujuan sekolah, serta tujuan dari para individu yang ada dalam lingkungan
sekolah. Kepala sekolah harus memahami dan menguasai peranan organisasi dan
hubungan kerjasama antar individu. Kepala sekolah yang efektif mengelola
program dan kegiatan pendidikan adalah yang mampu memberdayakan seluruh
potensi kelembagaan dalam menentukan kebijakan, pengadministrasian dan
inovasi kurikulum di sekolah yang dipimpinnya (Sagala,2010;117).
Memberdayakan seluruh potensi kelembagaan berarti mendayagunakan seluruh
potensi secara proporsional, benar dan jujur atau tidak pilih kasih. Memberikan
tugas kepada orang dengan prioritas utama sesuai bidangnya, jika tidak terpenuhi
barulah dipertimbangkan yang mendekati bidangnya. Cara kerja yang demikian
adalah cara kerja profesioanal dan beretika, mengedepankan cara kerja yang
objektif menghindari cara kerja yang subjektif. Dalam upaya mewujudkan
kepemimpinan yang efektif, maka tugas kepala sekolah tersebut harus dijalankan

8
sesuai dengan fungsinya. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hadari
Nawawi (1995:74), fungsi kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi
sosial dalam kehidupan kelompok masingmasing yang mengisyaratkan bahwa
setiap pemimpin berada didalam, bukan berada diluar situasi itu. Kepala sekolah
harus berusaha agar menjadi bagian didalam situasi sekolahnya. Pemimpin dapat
menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut
digunakan manakala kepala sekolah dalam usaha menetapkan keputusan yang
memerlukan bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang
dipimpinnya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan, masih minimnya kepala sekolah


untuk melakukan pengambilan keputusan konsultatif antara lain dengan
mempertimbangkan pendapat dari para guru. Sehingga keputusan kepala sekolah
lebih banyak merupakan keputusan mutlak yang kadangkala tidak sesuai dengan
inpirasi para guru. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa pengambilan
keputusan oleh kepala sekolah masih bermasalah. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pengambil keputusan kepala sekolah seharusnya mampu meningkatkan
komitmen afektif guru terutama dalam melaksanakan 8 (delapan) standar
pendidikan yaitu: standar isi, standar proses, standar kurikulum, standar kelulusan,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana, dan
standar penilaian, baik dalam tugasnya sebagai guru maupun tugas tambahan
sebagai pembantu kepala sekolah di bidang kurikulum, kesiswaan, laboratorium,
perpustakaan maupun sarana prasarana.

Robbins (2006:719) menyatakan bahwa setiap organisasi mempunyai


budaya, dan bergantung kepada kekuatannya, budaya dapat mempunyai pengaruh
yang bermakna pada sikap dan perilaku anggota-anggota organisasi. Sebagai
suatu lembaga ilmiah sekolah mempunyai budaya ilmiah. Dalam kamus bahasa
Indonesia, ilmiah diartikan sesuatu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah lembaga yang bersifat ilmiah terdiri dari anggota-anggota
organisasi yang bersifat ilmiah, yakni terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa, dan

9
pegawai. Kesemuanya unsur ini harus mentaati norma, nilainilai, dan kepercayaan
yang berlaku di dalam organisasi sekolah yang berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dewasa ini permasalahan yang menyangkut siswa pada Sekolah


Menengah Pertama sangat memprihatinkan. Permasalahan tersebut antara lain:
seringnya terjadi tawuran antar pelajar, maraknya penggunaan dan peredaran
narkoba, kegiatan seks pranikah, dan kurangnya kepedulian para siswa dalam
tugasnya sebagai pelajar. Permasalahan ini disebabkan para siswa tidak
menggunakan waktu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat
meningkatkan kualitas diri sebagai seorang pelajar. Sementara guru itu sendiri
tidak mengaktualisasikan diri dalam berbagai kegiatan yang bersifat ilmiah
(melakukan penelitian, laporan ilmiah, makalah). Bagaimana mungkin guru yang
demikian dapat menuntut siswa melakukan berbagai kegiatan ilmiah. Pada
akhirnya tentu saja berdampak pada siswa. Sikap dan prilaku guru yang tidak
menunjukkan budaya ilmiah tentu saja terimbas pada perilaku para siswa.
Keadaan akan semakin rumit bila kepala sekolah tidak peduli pada keadaan di
lingkungan sekolahnya.

Perlu adanya usaha pihak sekolah dalam hal ini guru dan kepala sekolah
untuk mengatasi permasalahan di atas diantaranya dengan melaksanakan budaya
ilmiah. Melalui budaya ilmiah, diharapkan para guru dan siswa dapat melakukan
kegiatan yang bersifat keilmuan seperti membaca ( di kelas, di rumah, di
perpustakaan, maupun di mana saja berada) , menulis (karangan, karya ilmiah),
diskusi dan sebagainya. Dalam hal ini pihak sekolah atau dinas pendidikan
memberikan penghargaan (reward) kepada siswa dan guru yang berprestasi.

B. Solusi Mengatasi Fenomena Organisasi Kependidikan


Dalam sejumlah aturan yuridis-formal, setiap organisasi profesional di
Indonesia memiliki tiga fungsi, kewenangan, tugas, yaitu: (1) pengembangan
profesi (UU no.14/2005; PP no.37/2009; dan PP no74/2008); (2) regulasi (UU
no.14/2005; UU no.20/2003; UU no.19/2005; UU no.12/2012); dan advokasi (UU
no.14/2005; PP no.42/2004; PP no74/2008; UU no.20/2005). Hasil analisis
terhadap AD/ART, agenda, atau aktivitas organisasi-organisasi profesional

10
kependidikan di Indonesia, sejauh yang bisa dilacak, menunjukkan bahwa ketiga
kewenangan, tugas dan fungsi organisasi belum seluruhnya terlaksana, kecuali
fungsi pengembangan profesionalisme dan advokasi.
Sementara kewenangan, tugas dan fungsi regulasi (standarisasi dan
akreditasi, sertifikasi, dan/atau lisensi) hanya dilakukan oleh beberapa organisasi
profesional. Sampai saat ini fungsifungsi setifikasi, akreditasi, dan/atau lisensi
masih dikendalikan dan dikoordinasikan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan/atau Lembaga Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan (LPTK).
Beberapa fungsi organisasi profesional kependidikan di Indonesia, di
antaranya adalah pengembangan profesi, regulasi, dan advokasi. Fungsi-fungsi
tersebut akan dijelaskan dalam paparan berikut ini.
Fungsi pertama adalah pengembangan profesi. Fungsi ini merupakan
salah satu fungsi pokok bagi setiap organisasi profesional, terutama bagi
pengembangan profesionalisme anggotanya secara berkelanjutan (Thiyagarajah,
2009). Sejumlah fungsi organisasi telah dilaksanakan secara mandiri dan/atau
bekerja sama dengan lembaga lain dalam dan/atau luar negeri, seperti: (1)
program atau kegiatan/aktivitas seminar, konvensi, konferensi atau temu ilmiah
nasional dan/atau internasional yang dilaksanakan secara berkala; (2) memberikan
memotivasi dan penghargaan (baik berupa materi maupun nonmateri) kepada
anggota yang berjasa atau memiliki prestasi secara proporsional sesuai dengan
kaidah profesi; (3) pendidikan dan latihan, workshop, penelitian ilmiah; (4)
publikasi (buku referensi, panduan, jurnal ilmiah, artikel, dll) seperti Sosio
Humanika, Educare, Atikan, Tawarikh (ASPENSI); Jurnal Pendidikan Sejarah
(AGSI); Jurnal Manajemen Pendidikan (ISMaPI); Jurnal Evaluasi Pendidikan
(HEPI); Jurnal Ilmu Pendidikan, Cakrawala Pendidikan, dan Jurnal Seni Budaya
Mudra ((ISPI)); TEFLIN Journal (TEFLIN); Majalah Ilmu Faal Indonesia
(IAIFI); dan Jurnal Penelitian Tindakan Kelas (AGPAIIJawa Timur); dan (5)
berbagai bentuk kerja sama dengan instansi pemerintah, perusahaan atau
korporasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pemegang profesi yang

11
dilakukan oleh PGRI, IGI dan HEPI (PGRI, 2012; IGI, 2012; HEPI, 2012;
Rigmalia & Sensus, 2010; UNY, 2012; Hasan, 2008).
Fungsi kedua adalah regulasi. Implementasi kewenangan, tugas, dan
fungsi regulasi yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi profesional
kependidikan adalah penetapan dan penegakan kode etik profesi guru (PGRI),
bimbingan dan konseling (ABKIN), penilik (IPI), pengawas (APSI), guru
independen (FGII), evaluasi pendidikan (HEPI), pengembang kurikulum
(HIPKIN), psikologi Indonesia (HIMPSI); tenaga perpustakaan (ATPUSI);
pengendalian mutu layanan profesi; sertifikasi (guru, konselor) pengalokasikan
anggaran pendidikan 20 persen (cukup alot dan beberapa kali diuji materi oleh
MK) (PGRI, 2012); memberikan lisensi bagi para konselor dan/atau masyarakat
umum (Wikipedia, 2012e). Fungsi-fungsi regulasi yang sampai kini ‘belum
pernah’ ditunaikan oleh organisasiorganisasi kependidikan di Indonesia, yaitu
pengawasan atas pelaksanaan dan sanksi atas pelanggaran kode etik profesi,
seperti: (1) tindakan bullying (fisik, verbal, atau mental/ psikis); plagiarisme;
menjadi ’agen penerbit’ dalam pemasaran buku-buku pelajaran, dll., yang
dilakukan oleh guru atau tenaga kependidikan; (2) ketidakjujuran/kecurangan
dalam UN/UASBN yang melibatkan guru (Wilonoyudho, 2011; Sholihin, 2012;
Munir, 2012); (3) plagiarisme di kalangan guru dan dosen (Suhendra, 2010;
detik.com, 2012). Terhadap berbagai bentuk pelanggaran etika profesi tersebut
hingga kini baru sebatas wacana (Kania, 2012).
Fungsi ketiga adalah advokasi. Implementasi kewenangan, tugas, dan
fungsi advokasi oleh organisasi-organisasi pendidikan seperti: advokasi dalam
bidang hukum atau regulasi terkait anggaran pendidikan, pengakuan dan
kesejahteraan guru tidak tetap (GTT) dan guru wiyata-bakti; evaluasi kebijakan
pendidikan nasional seperti Ujian Nasional dan RSBI (Kania, 2012); evaluasi dan
rekomendasi terhadap draft kurikulum 2013; peninjauan kembali pemberlakuan
jam kerja guru dari 24 jam/minggu menjadi 27.5 jam/minggu (Kompas. com,
2011); redesain sistem dan desentralisasi pendidikan (manajemen, kurikulum,
pendanaan, sarpras, dan evaluasi (ISPI, 2012); rekomendasi terhadap konsep,
implementasi, dan desain kurikulum baru 2013 (HEPI, 2012; HIPKIN);

12
mengkritisi dan memberikan saran terhadap materi ajar IPS (kurikulum dan silabi)
sesuai Permendiknas no.22/2006 tentang standar ISI untuk satuan pendidikan
dasar dan menengah (UNY, 2012); merekomendasikan solusi terbaik bagi
permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan tugas kepenilikan (IPI); memberi
pertimbangan akademis dan profesional serta rekomendasi kepada kementerian
pendidikan nasional dan kementerian lain yang relevan serta pemerintah daerah
mengenai kurikulum, bahan ajar, strategi pembelajaran, pendidikan guru dan
sertifikasi guru administrasi perkantoran di sekolah dan di luar sekolah (ASPAPI)
Untuk lebih meningkatkan kinerja pelaksanaan fungsi-fungsi organisasi, setiap
organisasi profesional kependidikan secara berkelanjutan perlu lebih menguatkan
kepemimpinan organisasi, profesionalisme, dan komitmen berorganisasi (AMA,
2007); kerja sama dengan institusi/lembaga pemerintah dan nonpemerintah
(Komba & Nkumbi, 2008); penguatan kesadaran kolektif melalui intensifikasi
kerjasama antaranggota (Sachs, 2003); pengembangan ”socioeconomic regimes
framework” sebagai model stabilisasi organisasi dalam mengantisipasi kontestasi
kekuatan sosial dan politik eksternal (Wittneben, et al., 2012).

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Organisasi kependidikan dan pola pendidikan adalah satu mata uang
dengan dua sisi yang saling inheren-melekat. Di dalam suatu organisasi
pendidikan tergambar dengan jelas pola pendidikannya; demikian pula di dalam
pola pendidikan terkandung dengan jelas organisasi pendidikannya. Organisasi
kependidikan adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang sangat
mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pendidikan.
Dalam  proses penyelenggaraan  program pendidikan, para pihak dalam
organisasi pendidikan terkait langsung dengan pelayanan pendidikan yang pasti
selalu menghadapi permasalahan. Berbagai permasalahan timbul karena
masyarakat membutuhkan pelayanan pendidikan yang bermanfaat dan aplikatif
sesuai tuntutan zaman. Oleh karena itu, organisasi pendidikan harus efektif dan
dinamis dalam pelayanannya demi perkembangan dan kemajuan dunia
pendidikan. 
Fenomena organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor akademik-profesional,
yuridis-formal, serta konteks sosial-politik organisasi. Secara umum, organisasi
profesi pendidikan di Indonesia masih fokus pada fungsi pengembangan
profesional. Sementara, fungsi advokasi hanya dilakukan oleh beberapa organisasi
profesional; dan fungsi regulasi (standarisasi, akreditasi, sertifikasi, dan lisensi)
masih dikoordinasikan dan dikendalikan oleh lembaga yang ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan/atau LPTK. Masalah yang dihadapi
oleh organisasi terkait dengan pelaksanaan fungsi dan kewenangan organisasi di
bidang regulasi.

14
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unimed.ac.id/4043/7/9.%208106131037%20Bab%20I.pdf diakses
pada 17 mei 2022 pukul 20.09 WIB.
Mohammad Imam Farisi Lembaran Ilmu Kependidikan
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/LIK DINAMIKA ORGANISASI
PROFESIONAL KEPENDIDIKAN DI INDONESIA
Buku Analisis Organisasi Pendidikan  dan Pola Pendidikan
http://ebook.unika.ac.id/tarunatukiman/chapter/chapter-1/

15

Anda mungkin juga menyukai