Anda di halaman 1dari 10

Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.

Pintu tertutup.
Ada langkah seorang pria yang tak mungkin datang kemari, namun kehadirannya mungkin saja bisa
terjadi.
“Yo.” Dengan sedikit malu-malu, Nanadaime Hokage – Uzumaki Naruto memberikan senyuman
canggung pada kedua anaknya.
**
Saat itu nampak seperti sebuah mimpi.
Sang ayah sedang di sana, ibunya juga berada di sana, sedangkan sang adik tersenyum sumringah.
Tak ada seorangpun yang kesepian.
Roti isi ayam yang besar dan terlihat lezat dikeluarkan dari oven.
Mata Himawari berbinar-binar.
Confetti berhamburan di mana-mana.
Pertama kalinya ibunya terlihat begitu senang setelah sekian lama.
Dan sang ayah melihat ekspresi ibunya itu dengan tatapan yang hangat.
Akan sangat menyenangkan jika suasana seperti ini bisa berlangsung untuk selamanya.
Jika saja segalanya bisa terus-menerus seperti ini. Pikir Boruto.
Dia menaruh harap.
**
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Akan tetapi.
Di pertambangan dan di departemen pengembangan alat ninja dan di stasiun TV, dan di stasiun
kereta api, dan di penjara, dan dalam arsip, dan di setiap tempat kau bisa memikirkan…….
Untuk melindungi kepentingan keluarganya, orang- orang yang bahkan tak dia kenal. Demi
kepentingan melindungi kehangatan dari ‘rumah-rumah’ yang lainnya.
Orang yang sama yang terus berjuang dan bekerja tanpa henti juga dapat terganggu arus
kesadarannya secara tiba-tiba.
**
Rasanya seperti melihat percikan bunga api yang mulai padam.
Sosok Naruto yang ‘gemerlap’ tiba-tiba menghilang.
Dengan segera, kue buatan sang ibu yang berada di tangan Naruto terjatuh ke tanah dan bersuara
‘plop’.
Wajah Himawari yang tersenyum kini dipenuhi dengan air mata.
Boruto tak benar-benar menyadari apa yang terjadi setelahnya.
Dia bisa merasakan air mata kemarahan tumpah begitu saja. Kakinya menghentak ke lantai.
Seluruh tubuhnya terbungkus dengan amarah.
Dia tak dapat memaafkan sang ayah.
Tak ada kemungkinan jika dia akan termaafkan.
Cinta sang ayah pada anak-anaknya tak lebih dari ilusi Kage Bunshin semata.
**
“Boruto!”
Sang ibu setengah memeluk Boruto saat menahannya.
Mungkin wajah Boruto saat ini memang terlihat mengerikan.
“Biarkan aku pergi Bu!”
“Ayahmu selalu melakukan yang terbaik untuk orang-orang di desa ini.” Ucap Hinata, “Bukan berarti
dia mengabaikanmu!”
Mata Hinata nampak bergetar.
Boruto tahu jika ibunya juga tengah menanggung beban.
Tapi.
Tapi , bagaimana ini?
“Semua orang di desa ini.” ……. Apakah tidak termasuk mereka juga?
Jika mereka tidak termasuk, lalu Hokage itu orang macam apa?
Monumen Hokage, wajah mereka terpahat di gunung.
Apakah mereka adalah orang-orang yang baru saja terhisap ke dalam sistem?
“Kenapa?”
Boruto menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu di dalam dirinya, tanpa harus mengucapkannya
dengan keras. Tapi akhirnya semuanya meledak dari dalam dirinya, seperti magma yang menyembul
dari gunung berapi.
“Kenapa ayahku harus menjadi Hokage?” Dia berteriak. “Dia hanya berada di balik mejanya
sepanjang hari, terlihat arogan. Iya kan? Paman Shikamaru ataupun bibi Sakura, semuanya akan
baik- baik saja bukan?!!”
“Hokage itu sangat penting.” Ibunya menunduk,
“……..selama beberapa generasi, keberadaan mereka sangatlah berharga bagi desa.”
“Kalau begitu.. anak-anak Hokage harus menerima keadaan ini dengan penuh terimakasih, merasa
baik- baik saja untuk generasi-generasi juga?”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Dia sudah tak mampu mengendalikan dirinya.
Dia mengetahui hal itu.
Dia tahu, tapi dengan mengetahuinya tidak membuat semuanya lebih baik. Tentu saja tidak.
Masih ada yang lebih.
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
“Yang kau katakan sekarang ini. Kakekmu juga seorang Hokage, tapi saat masih kecil ayahmu pernah
berkata jika kakek Hokage sudah tidak lagi ada di dunia ini.”
Dia memekik.
“Itu berarti ayah dibesarkan dengan tak mengetahui hubungan ayah-anak yang menyenangkan
bukan? Ayah satu-satunya orang yang tak mengetahui bagaimana rasanya.” Berteriak.
“Jika dia menjadi seperti ini-“
Mengutuk.
“Lebih baik jika dia tak pernah ada sejak awal-“
“Aku paham kesedihan itu.” Ucap sang ibu,
“Ketika ayahmu tak ada disini untuk sebuah momen penting, tapi….”
Air mata sang ibu menetes ke pipinya.
“!”
Boruto tahu jika ibunya adalah manusia biasa.
Dia tahu jika ibunya sama-sama manusia, seperti dia.
Ada sebuah ‘garis’ yang tak bisa diseberangi.
Hari ini, dia telah mengutuk orang yang sangat berharga di hidup ibunya.
Bahkan Boruto tak banyak mengerti.
Tapi.
Itu karena dia memahaminya.
Karena dia paham.
Karena dia adalah anak seorang pahlawan.
Ternyata shinobi tetap mempunyai batas, bertahan setelah semuanya.
“Boruto, kau berbeda dengan ayahmu dulu….” Ucap sang ibu, “Kau masih punya ayah di dunia ini.”
Dia tahu jika ayahnya yatim-piatu.
Dia tahu jika ayahnya telah kehilangan kedua orang tuanya saat bencana hebat melanda desa, dan
dia hidup sebatang kara.
Dia tahu itulah sebabnya dia harus lebih berbahagia daripada ayahnya.
Namun, ketidakbahagiaan satu orang tak dapat disembuhkan hanya dengan bersimpati kepada
orang lain.
Kesedihannya tetap menjadi miliknya sendiri.
“……. Aku bisa mengatasinya.. tapi Himawari..”
Bahu Boruto melemas, tinjunya mengepal dan gemetaran.
Tidak, bukan itu.
Dia bahkan tak mengerti apa itu.
Bagian yang dia inginkan untuk bertindak layaknya orang dewasa, dan bagian yang dia inginkan
untuk bertindak layaknya anak kecil. Kedua sisi itu serasa merobek-robek hati Boruto sampai
terpisah.
“Lupakan saja!” Gumam Boruto.
Dia menurunkan bahunya, kemudian berjalan ke kamarnya.
Di belakangnya, dia bisa merasakan jika ibunya sedang memeluk lekat Himawari sembari menangis.
**
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Keselarasan memori saat Kage Bunshinnya menghilang membebani hati Naruto.
Namun dia masih bertahan.
Dia menahannya karena dia tak mampu melupakan kesedihan yang tergambar di wajah anak
anaknya yang sekilas dia lihat sebelum menghilang.
Ketika kau menciptakan beberapa Kage Bunshin untuk melakukan pekerjaan. Itu akan benar-benar
memberatkan tubuh aslimu. Ini yang bisa dia lakukan untuk menangani semua pekerjaan kantor dan
terus berbincang-bincang. Itu karena dia harus tetap menggunakan kekuatan dan konsentrasi chakra
untuk mempertahankan kage bunshin dalam waktu lama.
“Apa kau baik-baik saja?”
Orang yang membantu Naruto kembali naik ke kursinya adalah teman lama sekaligus asistennya,
Shikamaru.
Naruto menenggelamkan diri di kursinya, seolah sedang melipat dirinya sendiri.
“Aku benar-benar kacau.”
“…….”
Naruto tahu bahwa Shikamaru menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
“Aku akan mengurus sisanya.” Kata Shikamaru,
“Kau harus pulang dan istirahat.”
“Ya.. Aku harus.”
**
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Yang Boruto tahu, dia sedang berada di kamar sang ayah.
Dia biasanya tidak bisa masuk ke tempat ini, entah bagaimana pintu yang terbuka seakan
mengundangnya untuk masuk.
Dia disambut dengan berbagai foto dengan wajah yang tersenyum.
Itu adalah wajah yang tak asing buatnya.
Itu adalah wajah ayahnya ketika dia masih muda, wajah saat ayahnya masih bocah.
Diantara foto-foto itu, ada pula foto Boruto yang baru saja lahir. Ada foto yang menunjukkan saat dia
mulai tumbuh. Ayahnya pasti banyak terlihat di foto Tertentu, menggendong mereka satu per satu.
Dapat dilihat sebab bingkai foto itu sudah tampak usang.
Dan foto-foto yang lebih baru, terlihat lebih usang lagi.
“Begitu bodoh, yang dia kenakan semuanya terlihat kuno!”
Boruto melihat sesuatu yang nampaknya penting, sebuah pakaian yang tergantung di akhir barisan
foto-foto tersebut.
Itu adalah pakaian yang dikenakan Naruto dimasa lampau, pada saat masih tergabung dengan
‘kelompok 7’. Saat dimana Naruto seumuran dengan Boruto sekarang.
Pakaian ini sudah jelas terkoyak, kotor dan basah oleh keringat di masa lalu. Meskipun sudah
berupaya dibersihkan dan ditambal dengan hati-hati, pakaian ini jelas akan tetap dipakai dan
terkoyak walau sebentar saja.
Kenapa menyimpan barang usang macam itu? Boruto marah.
“Kuno!”
Dia melemparkannya ke luar.
Dia tidak bisa melihat makna dari pakaian itu, bagi Boruto yang dia lemparkan itu tak lebih dari
sebuah kain usang.
Dia sudah tak tahan lagi.
Dia tidak suka cara ayahnya yang terus saja setia merawat kain usang macam itu.
**
Dan ketika bel pintu berbunyi.
Hal yang mengubah takdir Boruto terdengar bergenta layaknya bel pintu tersebut.
**
Boruto berlari ke arah pintu, sebab dia mengira jika orang yang membunyikan bel adalah sang ayah.
Dia memutuskan untuk memukul ‘orang bodoh’ itu.
Itulah kenapa Boruto bersiap-siap melayangkan pukulan telak bersamaan dengan dibukanya pintu
rumahnya.
Dia tak akan menahan dirinya sama sekali.
Tapi.
Orang yang berdiri di belakang pintu dengan mudahnya menghentikan pukulan Boruto.
Pria yang terlihat seperti sebuah pedang yang menjelma menjadi manusia. Auranya dan segala
tentangnya terlihat mirip dengan gadis berkacamata yang dia kenal.
“A-astaga…” Ucap Boruto. “Eh, aku.. kira kau adalah ayahku.”
Itu adalah alasan bagus dan tepat karena telah mencoba memukul orang yang tak kau kenal. Namun
dia tak bisa berkata apa-apa lagi.
“…….Jadi, kau anak Naruto ya? Namamu?.......”
Tatapan pria itu lebih tajam daripada ujung jarum.
Tatapan itu bahkan lebih kuat dan intens daripada tatapan pria-pria lain yang pernah Boruto kenal.
Tipe mata ini membuatmu bertanya-tanya medan perang macam apa yang telah berhasil dilalui
olehnya.
“Uzumaki Boruto..” Dia menjawab.
“Oh begitu.”
“Apakah mungkin…….” Sang ibu keluar dari dapur,
“Sasuke…kun?”
“Apa Naruto ada di sini?”
“Ku kira dia masih ada di kantor Hokage.”
“Ya.. maaf mengganggu.”
Secara keseluruhan, percakapan mereka begitu bermakna bagi Boruto.
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Pria ini bernama Sasuke. Dia adalah teman ibunya, dia juga bisa memanggil ayahnya tanpa panggilan
‘kehormatan’.
Dengan kata lain, tidak salah lagi.. pria ini tak lain adalah sang Shinobi legendaris, Uchiha Sasuke.
Keren sekali…!!
Dia tahu.
Inilah pahlawan yang benar-benar ingin dia temui.
**
Sudah lama sejak terakhir kalinya kembali ke desa, wajah Sasuke masih tetap sama. Terlihat ‘masam’
seperti biasa. Karena Sasuke telah kembali ke Konohagakure artinya Naruto tidak bisa segera pulang
dengan cepat.
“Ini dari kastil Kaguya.” Kata Sasuke.
Gulungan yang dia lempar pada Naruto berselimutkan dengan rancauan. Naruto bukanlah murid
yang pandai di kelasnya dulu, juga sangat tidak mungkin jika dia dapat menebak apa yang tertulis di
dalam gulungan itu.
“Aku tak paham apa maksud tulisan ini.” Kata Naruto, “Tapi firasatnya kok buruk ya?”
“Aku bahkan tak bisa membacanya dengan Rinneganku.” Ucap Sasuke.
Rinnegan Sasuke mempunyai kemampuan khusus, salah satunya adalah dapat mengenali beberapa
macam pola. Ini membantunya untuk menganalisa pola dalam kode dan membandingkannya dengan
pola yang sama, menguraikan apa yang tertulis di sana.
Ketika kemampuan itu mulai diaktifkan, salah satu kemampuannya adalah mengambil sejumlah
besar informasi dari teks yang sangat terbatas. Teknik yang bisa memanfaatkan kemampuan yang
telah ditinggalkan untuk diajarkan dalam monumen batu Uchiha.
Namun kenyataannya, Sasuke tak bisa membacanya.
Menandakan jika gulungan itu tidak mempunyai pola yang diketahui oleh Sasuke.
“…Begitu ya?” Naruto berpikir sejenak. Dan kemudian kembali ke tempat duduknya. “Pulang
kerumah bukanlah pilihan, dia harus menguraikan isi gulungan itu terlebih dahulu.”
Departemen Analisis Studi adalah departemen yang diciptakan oleh Naruto, tujuan departemen ini
adalah menyelidiki peradaban kuno. Hal utama yang mereka tangani adalah hal-hal yang
berhubungan dengan kode kuno dan karakter hieroglif kuno. Bahkan jika Sasuke tak bisa
membacanya, kemungkinan tim mereka bisa menghasilkan upaya yang lebih baik.
“Ku serahkan ini padamu.” Kata Sasuke, dengan berkata demikian berarti Sasuke juga mempercayai
kinerja departemen ini.
“Ngomong-ngomong…..” Dengan mendesah, Sasuke menaruh kain compang-camping di meja. Itu
adalah jaket yang penuh dengan kenangan, yang telah dibanjiri dengan lumpur, darah, dan keringat
yang tak bisa terhapuskan.
“!? Bagaimana bisa benda ini ada bersamamu?”
“Aku memungutnya di jalan, ketika aku sedang kemari.”
“Oh, begitukah…..”
“Aku juga bertemu dengan puteramu…” Ucap Sasuke. Ekspresi Sasuke sedikit melembut, “Dia
benar-benar mirip denganmu..”
“Dia berbeda denganku saat masih seumurannya.. Jika kau bertanya padaku, aku pikir dia malah
lebih mirip denganmu…” Ujar Naruto sembari menggelengkan kepalanya, entah mengapa, dia jadi
terlihat sedikit kesepian.
Dia sedang memikirkan Uchiha Sasuke yang selalu jelas di depan matanya, sosok yang dingin.
Seseorang yang ingin dia kejar.
“Tidak..” Naruto menggelengkan kepalanya, “Pada akhirnya dia juga tak sama dengan dirimu yang
dulu.. Pakaian yang dia kenakan selalu terlihat baru kau tahu?”
Naruto menatap jaket yang dipegangnya, jaket ini adalah jaket yang telah dikenakan Naruto pada
masa lalunya.
Ini adalah peninggalan yang tertinggal dari era Naruto.
Hidup setiap minggu, setiap hari, dengan menempatkan hidup dalam resiko yang berkepanjangan.
Tak pernah tahu kapan kau akan mati. Ingatan inilah yang tertinggal dari era semacam itu.
Sekarang, segalanya telah berbeda.
Naruto dan Sasuke telah mempertaruhkan hidup mereka untuk mencoba mengubah era itu. Itulah
alasannya Naruto berpikir, tidak akan bisa terbantu jika puteranya tak bisa memahaminya.
“Kita mungkin berada di balik waktu..” Naruto berkomentar.
“Bukan.. tentu bukan seperti itu..” Sasuke dengan dingin menggoyangkan kepalanya, seperti
biasanya,
“Pada hakikatnya Shinobi tidak berubah, itu bahkan berlaku untuk anakmu.”
“Aku heran.” Renung Naruto. “Aku pikir pemenang argumentasi ini mungkin saja aku, kau tahu?”
“Feh.” Sasuke mendengus.
Naruto selalu mengejar senyumannya.
"Kau usuratonkachi."
**
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Bahkan di malam hari, desa Konohagakure terlihat bersinar.
Sasuke mengingat bahwa desa dulunya terlihat lebih gelap saat ia masih kecil. Semua berubah
seiring detik berlanjut. Setiap kali ia kembali ke desa, selalu terlihat ada perubahan di desa. Bukan
hanya desanya saja. Bisa dikatakan, orang-orangnya juga.
“!”
Sasuke seperti mendengar suara angin yang terpotong.
Suara itu berasal dari sebuah shuriken. Sepertinya berasal dari orang yang sudah memiliki
kemampuan yang cukup, dengan maksud untuk menjatuhkannya dalam satu serangan.
Shuriken tersebut dilemparkan dengan tingkat akurasi yang sempurna, mengarah langsung ke arteri
di belakang leher Sasuke.
Tapi, hal yang disayangkan adalah kurangnya pengalaman dari si pelempar. Itu jelas merupakan
gerakan yang disalin dari teknik orang lain, tidak lebih.
Itu bukanlah tipe gerakan yang seharusnya digunakan di pertarungan sesungguhnya ketika
menghadapi lawan yang berpengalaman.
Terutama ketika musuhmu adalah Uchiha Sasuke si pengguna Mangkeyou Sharingan.
"Menghilang?!" Si pelempar shuriken tadi merasa terkejut.
Sasuke sama sekali tidak mengangkat tangannya untuk memberikan pukulan. Ia hanya menganggap
hal tersebut sebagai keusilan anak kecil.
Ia bergerak melingkar di area di belakangnya, dengan tangan tetap berada disaku celana, menyapu
kaki si pelempar shuriken.
Itu adalah gerakan yang sederhana, tapi keindahan dari pergerakannya membuat musuhnya
kehilangan keseimbangan serta kemampuan untuk bergerak, tipe pergerakan yang tidak
mengijinkan musuh untuk memberikan tanggapan.
"L-luar biasa..... !"
Si pelempar shuriken yang tengah terjatuh tersebut ternyata hanyalah seorang anak kecil. Anak yang
ia jumpai di rumah Naruto.
"Seperti yang kuduga, kau luar biasa!" Ucapnya, "Kau dulunya adalah rival ayahku kan? Kalau
begitu...."
Rambut pirang. Struktur wajah yang lebih mirip Hinata ketimbang Naruto. Dan akhirnya, pakaian rapi
dengan tanpa ada noda.
"Aku paham apa yang ia maksud..." Gumam Sasuke.
"Seperti baru, huh."
Bahkan jika pertanyaan si anak itu diabaikan, pakaiannya terlihat seperti dibuat dengan penuh kasih
sayang. Naruto sepertinya sangat menyayangi anaknya, dengan caranya sendiri.
Dan itulah mengapa Sasuke sangat terkejut ketika anak tersebut membungkuk di hadapannya.
"Kalau begitu, tolong jadikan aku sebagai muridmu! Ada seseorang yang ingin aku kalahkan tak
peduli bagaimanapun caranya!"
Ia terlihat begitu serius ketika mengatakan hal tersebut. Untuk membuat tatapan seperti itu, ia
mungkin saja sudah memantapkan jalannya sendiri.
Keringat bercucuran dari wajahnya. Ia sedang gugup.
Tatapan dari seseorang yang tidak dapat mengatakan apapun melintas di pikiran Sasuke layaknya
pasir.
".... Jika kau bisa mempelajari Rasengan." Jawab Sasuke, lalu pergi.
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Ia dapat menduga bahwa anak itu mengepalkan tinjunya di belakangnya, dengan ekspresi penuh
semangat.
Naruto... Sasuke pikir, sepertinya masih belum jelas siapa yang akan memenangkan debat tadi.
**
Konohamaru akhirnya dapat merebahkan diri di kasur setelah menyelesaikan semua urusannya,
kemudian harus terbangun lagi di tengah malam.
"Ada apa tiba-tiba begini..." Gerutunya,
"apa apaan-“
Boruto berlari ke dalam. Konohamaru baru saja ingin bertanya apakah ia membuat keisengan
lainnya, tapi sebelum ia dapat mengatakannya, Boruto mulai mengeluarkan semua hal dalam
pikirannya dalam satu kali napas, seperti seekor anak anjing kepada majikannya.
"Jadi, ajarkan aku Rasenganmu, sensei! Sekarang juga! Aku akan menguasainya dengan sangat
cepat!"
"Rasengan.." Melirik ke arah mata Boruto yang tengah berapi-api, ia segera mengerti maksud dan
tujuan anak itu. "Jadi maksudmu... Kau ingin menggunakan Rasengan sebagai kartu ASmu untuk
ujian chuunin, dan mengejutkan Nanadaime kan? Ah akhirnya kau bertindak seperti seorang
Shinobi!"
"Kira-kira.... seperti itulah, kurasa." Angguk Boruto.
Melihat muridnya bertindak seperti itu membuat Konohamaru merasa emosional, seakan listrik tiba-
tiba menjalar di seluruh tubuhnya. Kau tidak dapat menjadi ninja dan tidak merasa bersemangat
dengan hal seperti ini.
Nnhh.... Akhirnya aku akan mewariskan jutsu ini kepadanya!! Ohhhh, Yondaime, Nanadaime! Akan
kupastikan aku berhasil dalam tugas penting ini!
Jiwa Konohamaru dipenuhi semangat.
**
Walaupun dipenuhi semangat, tubuh manusia tidak dapat menahan kondisi tersebut untuk waktu
yang lama.
Bukan berarti semangatnya beberapa saat yang lalu hanyalah kebohongan semata, tapi perasaan
termotivasi dengan terus termotivasi adalah dua hal yang berbeda.
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Boruto, yang baru saja diberikan sebuah balon air dari sebuah stand diberitahu untuk
meledakkannya dengan chakra miliknya, saat ini merasakan perbedaannya.
“Gahhhh….”
"Apa yang terjadi dengan semangatmu beberapa saat yang lalu? Ayo, coba sekali lagi! Perhatikan
lagi apa yang aku lakukan dengan lebih seksama dan coba lakukan dengan persis sekali lagi, ini, ini!!"
Konohamaru-lah saat ini satu-satunya yang sedang berjuang.
"Aku paham dengan apa yang kau maksud!" Ucap Boruto, "Hanya saja entah kenapa aku tidak dapat
melakukan semua ini.... Ini, ini!"
"Kau tak perlu mengikuti ucapanku!"
"Tidak, aku tidak berkata 'ini' karena aku mengikuti cara bicaramu, lalu bicara tentang ini, benda ini
di tanganku!"
"Kau sungguh menjengkelkan terus mengulangi ini, ini!"
"Siapa yang lebih menjengkelkan disini?!!" Balas Boruto.
Kelelahan akibat debat berkepanjangan tentang perbedaan antara maksud kata yang diucapkan
dengan yang dimaksud secara linguistik, Boruto duduk di tanah sebagai bentuk protes, kemudian
melempar balon air di tangannya.
"Kenapa kita harus mulai dengan balon air?!" Ucap Boruto, "Apa hubungannya dengan teknik itu?!
Tidak adakah cara yang lebih efisien untuk melakukannya?!"
Konohamaru melenguh panjang, dan kemudian menggunakan Rasengan untuk menghancurkan
balon air di tangannya.
"Dibutuhkan waktu tiga tahun bagi Yondaime Hokage untuk mengembangkan jutsu ini. Dibutuhkan
waktu sekitar setengah tahun bagi Nanadaime Hokage, ayahmu, untuk menguasainya. Tingkat
kesulitannya dapat dikategorikan sebagai jutsu peringkat A. Pikirkan lagi. Pelajari secara bertahap.
Begitulah juga caraku menguasainya."
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Bakat alami dan kerja keras yang Konohamaru tunjukkan dalam menguasai jutsu memang diatas
rata-rata, tapi ia mengatakan hal tersebut bukan bermaksud untuk sombong. Ia hanya ingin
memberitahu Boruto tentang sejarah jutsu tersebut.
Boruto berpikir sejenak. Lalu, ia mengambil kembali balon air tersebut.
Konohamaru tersenyum. Sarada, yang tengah melihat latihan tersebut dari balik bayangan pohon,
juga merasa bahagia.
**
Dan kemudian.
Hari demi hari berlalu.
Lagi dan lagi, lagi dan lagi, Boruto berkonsentrasi dengan pertarungannya melawan balon air.
Ketika ia menghancurkan balon itu, tahap selanjutnya adalah balon karet.
Ia hanya berkonsentrasi pada satu hal. Bisa dikatakan Boruto belum pernah bekerja sekeras ini
selama hidupnya.
Dan kemudian, masa kerja kerasnya berakhir.
**
"Ba-bagaimana dengan ini....!" Ucap Boruto.
Saat Boruto menunjukkan kepada Sasuke tentang 'teknik itu' di hutan Konoha, hal yang pertama
Sasuke rasakan adalah keterkejutan.
Bentuknya kecil, layaknya cahaya sebuah kembang api, tapi benda yang melayang di atas telapak
tangan Boruto tidak salah lagi adalah Rasengan.
Ia mungkin berhasil sampai tahap ini karena mewarisi darah Naruto yang memiliki Bijuu dalam
dirinya serta darah Hyuga dari ibunya, tapi hal itu tidaklah begitu benar.
Ia telah bekerja keras.
Anak itu sendiri mungkin sudah begitu bersemangat lebih dari yang ia pahami, dan juga berkat
latihan dari Konohamaru.
Hasil latihannya adalah Rasengan kecil yang melayang layaknya kembang api di depan matanya.
"Itu, agak kecil, kan" Ucap Sasuke sepenggal demi sepenggal.
Ia sedang tidak mengolok-olok.
Uchiha Sasuke jujur kepada semua orang. Ia selalu 'to the point' ketika menghadapi orang-orang.
Komentarmya merupakan bukti bahwa ia telah mengakui Boruto sebagai seorang lelaki.
"Sebenarnya tak terlalu bisa dikatakan sebagai Rasengan juga..."
Terlebih, apa yang Sasuke berikan apresiasi adalah keadaan Boruto sendiri. Tidak ada udara, tidak
ada kepura-puraan. Jelas itu hasil dari bentuk latihan mengendalikan chakra. Itu jelas merupakan
bukti bahwa ia berusaha mempelajati seni Rasengan seorang diri.
Tapi, Boruto tidak melihat seperti itu. Ia mengira bahwa sikap Sasuke merupakan bentuk
kekecewaan.
"Sial!" Air mata mengalir dari matanya, lalu ia melempar Rasengan di tangannya.
“!”
Rasengan tersebut menghilang dan berubah menjadi udara yang tipis, dan kemudian Boruto berlari.
Sasuke tidak mengejarnya. Ia ingin memastikan apa yang telah ia lihat dengan mata kepalanya.
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
Anak perempuan Sasuke muncul dihadapannya, melenguh sambil memainkan bahunya, melirik ke
arah Boruto yang tengah berlari karena merasa kecewa. Sepertinya ia telah melihat semuanya.
"Hn... Kau dingin seperti biasanya, huh, Papa... Aku hanya akan mengatakan satu hal karena kupikir
kau tidak tahu tentang Boruto, oke!"
Sepertinya Sarada begitu memperhatikan Boruto. Ia terus bicara tanpa henti.
Bahkan jikapun Sasuke tidak mengenal Boruto, ia dapat menarik kesimpulan yang sama: kerja keras
bukanlah hal yang sering ia lakukan.
Tetapi, sebelum menjelaskan apa yang Sasuke tahu, ada satu hal yang harus Sasuke lakukan terlebih
dulu.
"Boruto bukanlah tipe pekerja keras! Keajaiban ia terus melakukannya untuk waktu yang cukup
lama! Kau mengerti apa yang aku maksud kan? Hey? Dengarkan aku sedikit-"
Sasuke mendekat ke Sarada, kemudian mendekap bahunya.
“!? Papa?!”
Suara seperti benda terpotong menggema di udara.
Pohon tempat Sarada berdiri beberapa saat lalu hancur.
"Apa- apa itu tadi..?!" Ucap Sarada.
Ia benar-benar tidak paham. Si usuratonkachi."
Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Dengarkan apa yang orang ucapkan hingga akhir.
"Eh?" Ucap Sarada.
"Aku tak pernah berkata itu tidak baik. Kupikir aku akan mengangkatnya sebagai muridku..."
Ekpresi kegirangan terpancar dari wajah Sarada saat ayahnya berkata demikian.
Berpikir bahwa ia belum paham dengan kemampuan Rasengan yang ia miliki... Pikir Sasuke.
Boruto memiliki bakat jenius yang mengerikan.
Sasuke menatap anak perempuan kesayangannya dari belakang untuk waktu yang lama saat
anaknya pergi mencari Boruto.
**
Boruto The Movie Novelization Chapter 2 | Translate by Dunia Naruto Indonesia.
".... Jadi akhirnya, bekerja keras itu hanya sia-sia, dan tidak memberikan hasil apapun."
Boruto tengah memegang secangkir coklat panas di tangannya ketika ia bicara. Ia kini sedang berada
di laboratorik Divisi Peralatan Ninja Ilmiah.
"Ah, begitu. Cerita yang menyedihkan."
Katasuke berusaha membuat Boruto nyaman. Untuk Boruto, Katasuke adalah satu-satunya orang
yang mendengar apa yang ia ucapkan tanpa tertawa, seseorang yang begitu berharga.
“?!”
Katon, Raiton, dan Fuuton. Telah muncul di atas telapak tangan Katasuke ini. Dia tidak membuat
segel ataupun mengakumulasikan chakranya.
Sarung tangan – alat ninja yang pernah digunakan oleh Konohamaru sedang berada di tangannya.
“Ini adalah peralatan Ninja untuk generasi baru. Bukankah kau berpikir demikian?”
Sembari Katasuke menunjukkan beberapa pose, beberapa bola yang bersinar muncul di telapak
tangannya.
“A-apakah itu…..?”
“Ya.. Ini adalah Rasengan.” Katasuke tersenyum lebar. “Jika kau menggunakan ini, kau bisa menjadi
ninja yang melampaui ayahmu!”
“…..Aku bisa menggunakan Rasengan….”
“Kalau begitu tuan muda…” Katasuke mengulurkan Tangannya. “Kenapa tidak memilih ‘teknik
membunuh’ yang tepat untuk dirimu?”
Boruto menyambut uluran tangannya.
Dia bahkan tidak meragu.
**
“Aku heran, kemana perginya Boruto ya..”
Sarada yang mencari Boruto kemana-mana, sangat berharap agar bisa bertemu dengan Boruto
untuk menyampaikan sebuah kabar baik, dia menendangkan batu. Ekspresi wajahnya tampak
kesepian.
Dia berpikir, bagaimana bisa dia sampai tidak tahu kegiatan sehari-hari Boruto. Sosok yang bahkan
sering bersamanya dari dulu hingga saat ini. Dia sepertinya berubah.
Apakah Sarada juga akan berubah?
Orang-orang berkata jika di masa lalu ayahnya, Ibunya dan Nanadaime selalu melaksanakan misi
mereka bersama-sama sebagai sebuah tim.
Namun semuanya sudah tak seperti itu lagi sekarang.
Tidak, bahkan saat ini.. melihat ayahnya pulang dan melihat ibunya berseri-seri adalah sebuah
kesempatan yang jarang terjadi.
Tanpa dia sadari, Sarada mengulurkan tangannya dan menyentuh rambutnya sendiri. Rambutnya
sudah sedikit lebih panjang sekarang.
Dia mulai tumbuh dewasa.

Anda mungkin juga menyukai