Anda di halaman 1dari 170

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI PADA LAHAN ULTISOL

YANG DIAPLIKASI AZOTOBACTER sp., MIKORIZA DAN KOMPOS

GROWTH AND PRODUCTION OF SOYBEAN IN ULTISOL APPLIED


AZOTOBACTER sp., MYCORRHIZAL, AND COMPOST

YUSUF SABILU
P0100310025

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

i
DISERTASI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI PADA LAHAN ULTISOL


YANG DIAPLIKASI AZOTOBACTER sp., MIKORIZA DAN KOMPOS

GROWTH AND PRODUCTION OF SOYBEAN IN ULTISOL APPLIED


AZOTOBACTER sp., MYCORRHIZAL, AND COMPOST

Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor


disusun dan diajukan oleh

YUSUF SABILU
P0100310025

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

1
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yusuf Sabilu


Nomor Mahasiswa : P0100310025
Program Studi : Ilmu Pertanian

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau

pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa

sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia

menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Maret 2015


Yang menyatakan

Yusuf Sabilu

1
ABSTRAK

Pertumbuhan dan produksi kedelai pada lahan ultisol yang diaplikasi


Azotobacter sp., Mikoriza dan kompos. Percobaan dilaksanakan dalam dua tahap,
tahap I di rumah plastik dari Agustus sampai Desember 2013, dengan rancangan
acak lengkap (RAL) pola faktorial. Percobaan tahap I terdiri dari tiga faktor yaitu faktor
Azotobacter sp., faktor Mikoriza dan faktor varietas. Faktor Azotobacter terdiri dari
tiga perlakuan yaitu : tanpa Azotobacter sp., Azotobacter sp. kerapatan 103 CFU mL-
1
dan Azotobacter sp. kerapatan 106 CFU mL-1; faktor Mikoriza terdiri dari empat
perlakuan yaitu: tanpa mikoriza, mikoriza 10g, mikoriza 20g dan mikoriza 30g; faktor
varietas yaitu varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan. Tujuan untuk mempelajari
pengaruh Azotobacter sp. dan mikoriza terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan dan memilih varietas dan kombinasi
perlakuan terbaik untuk dilanjutkan pada percobaan tahap II. Percobaan tahap II
dilaksanakan di lahan ultisol Kelurahan Kambu Kecamatan Kambu Kota Kendari
Sulawesi Tenggara dari Januari sampai Juni 2014, dengan menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) pola faktorial. Percobaan tahap II terdiri dari dua faktor yaitu
faktor kombinasi Azotobacter sp. + mikoriza dan faktor kompos. Faktor kombinasi
Azotobacter sp.+mikoriza terdiri dari tiga perlakuan yaitu : Azotobacter 103 CFU mL-
1
+ mikoriza 30g; Azotobacter 104 CFU mL-1+ mikoriza 25; Azotobacter 105 CFU mL-
1
+ mikoriza 35g; faktor kompos terdiri dari empat perlakuan yaitu : tanpa kompos,
kompos 2 ton ha-1, kompos 4 ton ha-1, dan kompos 6 ton ha-1. Semua perlakuan
pada percobaan tahap II diberikan zeolit 3,5 ton ha-1. Hasil percobaan tahap I
menunjukkan bahwa aplikasi Azotobacter sp. dan mikoriza memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan.
Inokulasi Azotobacter sp. kerapatan 103 CFU mL-1 dan mikoriza 30g memberikan
pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro,
kecuali pada biomasa akar, biomasa batang, dan kadar protein biji. Hasil percobaan
tahap II menunjukkan bahwa inokulasi kombinasi Azotobacter 103 CFU mL-1+
mikoriza 30g; Azotobacter 104 CFU mL-1+ mikoriza 25; Azotobacter 105 CFU mL-1+
mikoriza 35g tidak memberikan perbedaaan pengaruh terhadap pertumbuhan dan
produksi kedelai varietas Anjasmoro. Aplikasi kompos pada kedelai varietas
Anjasmoro menunjukkan perbedaan pengaruh pada semua parameter pertumbuhan
dan produksi, kecuali pada indeks panen. Pertumbuhan dan produksi tertinggi adalah
pemberian kombinasi Azotobacter 105 CFU mL-1+Mikoriza 35g dan kompos 6 ton ha-
1
. Pertumbuhan dan produksi tertinggi tanpa pemberian kompos adalah perlakuan
kombinasi Azotobacter 103 CFU mL-1+Mikoriza 30g, sedangkan terendah untuk
parameter pertumbuhan adalah pada pemberian Azotobacter 104 CFU mL-1+Mikoriza
25g, tanpa kompos dan terendah untuk parameter produksi adalah pemberian
Azotobacter 105 CFU mL-1+Mikoriza 35g dan tanpa kompos.

Kata kunci: Azotobacter sp., mikoriza, dan kompos

2
ABSTRACT

Growth and production of soybean in ultisol soil applied Azotobacter sp.,


Mycorrhizal, compost. The experimen was conducted in two phases. The first phase
was conducted in the green house from August to December 2013, by completely
randomized design (CRD) factorial, The aims to study the effect of Azotobacter sp.
and Mycorrhizae on growth and production of soybean Anjasmoro varieties and
grobogan varieties and choice the variety and combination treatment of Azotobacter
sp. and mycorrhizae the best in influencing the growth and production of soybean.
The second phase was conducted on ultisol soil in District Kambu Kendari City,
Southeast Sulawesi from January to June 2014, by randomized block design (RBD)
factorial, aims to study the influence of a combination of Azotobacter sp. with
mycorrhiza and compost with zeolite on growth and production of varieties Anjasmoro
.
The results of the first phase showed that the application of Azotobacter sp.
and mycorrhizae influence on the growth and production of soybean Anjasmoro
varieties and grobogan varieties. Response of growth and reproduction Anjasmoro
varieties better than the grobogan varieties on all parameters of growth and
production, except the dry weight of 100 seeds, harvest index and protein content.
Inoculation of Azotobacter sp. density of 103 CFU mL-1 and mycorrhizae 30g gives
the best effect of the growth and production of soybean varieties Anjasmoro, except
on root biomass, stem biomass and seed protein content. The first phase experiment
showed that the growth and production of varieties Anjasmoro better than the varieties
Grobogan, so Anjasmoro varieties used in the experiment second phase.
The results experiment of second phase showed that inoculation the
combination of Azotobacter 103 CFU mL-1 + mycorrhiza 30g; Azotobacter 104 CFU
mL-1 + mycorrhiza 25; Azotobacter 105 CFU mL-1 + Mycorrhiza 35g do not give a
different effect on soybean varieties Anjasmoro . Application of compost on soybean
varieties Anjasmoro showed the effect on the growth and production of all
parameters, except at harvest index. No interaction both factors in influencing the
growth and production of soybean. Treatment compost gives the best effect is
organic fertilizer 6 tons ha-1 and the lowest effect is without compost. Growth and
production the highest is a combination of Azotobacter 105 CFU mL-1+ mycorrhiza
35g and compost 6 tons ha-1, and the lowest is the provision of Azotobacter 104 CFU
mL-1 + Mycorrhiza 25g and without compos to growth parameters and provision of
Azotobacter 105 CFU ml-1 + mycorrhiza 35g and without compost to production
parameters. To achieve optimum results in the cultivation of soybean varieties
Anjasmoro on ultisol should be applied to the combination of Azotobacter 105 CFU
mL-1+mycorrhizal 35g, compost 6 tons ha-1, and zeolite ameliorant 3.5 tons ha-1.

Keywords : Azotobacter sp., Mycorrhizal and compost

3
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebagai hamba Allah patutlah kiranya saya memanjatkan puji syukur

kehadirat Allah S.W.T., karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya sehingga

penyusunan disertasi yang berjudul “Pertumbuhan dan produksi kedelai pada lahan

ultisol yang diaplikasi Azotobacter sp., Mikoriza dan kompos” dapat diselesaikan.

Dalam rangkaian penyelesaian disertasi ini mulai dari penyusunan proposal,

pelaksanaan penelitian, pengambilan data dan penyusunan disertasi, telah banyak

bantuan dan arah-arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis

menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

Prof.Dr.Ir. Nadira Rani Sennang, M.S. selaku Promotor, Prof.Dr.Ir. Badron Zakaria,

M.S. dan Prof.Dr.Ir. Elkawakib Syam’un, M.P. masing-masing selaku Co-Promotor,

atas perhatian yang telah dicurahkan, petunjuk, bimbingan dan bersedia meluangkan

waktu dan tenaga sampai ke lapangan, semoga jerih payahnya mendapatkan pahala

setimpal disisi Allah S.W.T. Selaku penulis hanya bisa berdoa semoga segala upaya

tim promotor yang mengantarkan penulis dapat menyelesaian disertasi ini sampai

mencapai doktor dapat menjadi amal jariah dihadapan Allah S.W.T. Ucapan terima

kasih penulis sampaikan kepada penilai: Prof.Dr.Ir. Kaimuddin, M.S., Dr. Ir. Ade

Rosmana, M.Sc., Dr. Ir. Muhammad Riadi, M.P., Dr. Ir. Novaty Enny Dungga, M.S.,

yang telah memberikan saran-saran dan masukan untuk perbaikan disertasi ini,

semoga kebaikan dan keihlasannya diridhai Allah S.W.T. Kami sampaikan terima

kasih kepada Prof. Dr. Ir. Yusmina Hala, M.S. yang telah bersedia untuk menjadi

penguji eksternal dalam rangka ujian promosi.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Rektor Universitas Hasanuddin,

4
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan Ketua Program Studi S3

Ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin telah menerima penulis untuk mengikuti

Program Doktor di Universitas Hasanuddin. Kami sampaikan terima kasih kepada

Rektor Universitas Halu Oleo Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S. yang telah

memberikan kesempatan melanjutkan studi Program Doktor di Universitas

Hasanuddin dengan status ijin belajar. Ucapan terima kasih pula sampaikan kepada

Dekan FMIPA dan Dekan FKM Universitas Halu Oleo yang telah banyak memberikan

keluasan waktu yang kadang-kadang tugas pokok menjadi terganggu.

Kami sampaikan pula terima kasih kepada Dr. Ir. Andi Khaeruni, M.Si., Dr.

Halim, SP., M.P. dan Fitner SP., M.Si. yang telah memberikan bantuan terutama

dalam menyediakan Azotobacter sp. dan Mikoriza sehingga percobaan dapat

dilaksanakan. Kepada Dr. Ine Fausayana, S.E, M.Si., Dr. Ir. Aminuddin Kandari, M.Si.,

Ir. La Nalefo, M.Si., Ir. Muhidin, M.Si., Ir. Rosmarlinasia, MP., Ir. Umarsul, MP., saya

menyampaikan terima kasih atas motivasi, dorongan, bantuan dan semangat yang

diberikan.

Kepada ayahanda saya La Sabilu (almarhum) dan ibunda Wa Enso, yang telah

mendidik, membesarkan dan menyekolahkan serta mendoakan menjadi orang yang

berguna, semoga keihlasan dan pengorbanannya akan menjadi amal jariah

dihadapan Allah SWT. Kepada istri tercinta Ramlah dan anak-anakku Milawati Yusuf,

Rezki Purnama Yusuf, Putri Karunia Nursyahban, Amanah Amaliah dan Zafira Nur

Aliyah, terima kasih atas pengorbanannya dan keihlasannya karena pada saat

menyelesaikan disertasi ini kalian kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang.

Kepada adik-adik saya Kaharuddin Sabilu, S.Pd., M.M., Ali Bahri, S.Sos. M.Si., Murni

Sabilu, S.Pd., M.Pd., Kadir Sabilu, S.Pi., M.Si., Al Harun, S.Si., M.Si., La Sudu, S.Pd.

M.Hum, terima kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan studi program doktor.
5
Terima kasih penulis sampaikan juga kepada rekan-rekan ditim mata kuliah

taksonomi tumbuhan di jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo yang telah

memberikan dukungan terutama dalam menggantikan memberi kuliah taksonomi,

biosistematik, dan pengeringan spesimen kedelai, sehingga pelaksanaan percobaan

dan penyusunan disertasi dapat diselesaikan.

Disadari disertasi ini belum sempurna, tetapi insyah Allah dengan karya ini

menjadi modal awal bagi penulis untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan

teknologi di bidang pertanian dalam rangka meningkatkan produktivitas kedelai untuk

memenuhi kebutuhan nasional melalui peningkatan produktivitas tanah ultisol, semoga

Allah S.W.T. meridhainya. Amin.

Makassar, Maret 2015

Yusuf Sabilu

6
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN …….…………………………………........... i
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ............................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................ iii
ABSTRACT ......................................................................................... iv
KATA PEGANTAR ……..………..…....................................................... v
DAFTAR ISI.......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii

BAB I. PENDAHULUAN……………………………...…………………... 1
A. Latar belakang…………………………………………...….. 1
B. Rumusan masalah……………………..………….....…....... 6
C. Tujuan penelitian…………………………………....………. 8
. D. Kegunaan penelitian…………………………………......…. 9
E. Ruang lingkup penelitian…………………..………............ 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …..………………………….................... 11


A. Kedelai ………………….………………………................... 11
1. Botani …………………………………….........…............ 11
2. Lingkungan tumbuh optimal tanaman kedelai............ 13
3. Budidaya ............…………………………….................. 15
B. Mikroorganisme tanah ……………………………….…….. 19
1. Azotobacter ..........................................…….................. 19
2. Mikoriza...........................................………................... 23
C. Permasalahan tanah ultisol untuk pertanaman kedelai .. 31
D. Zeolit ................................................................................. 35
E. Perbaikan produktifitas tanah ultisol .……....................... 40
1. Perbaikan sifat fisika tanah ........................................ 41
2. Perbaikan sifat kimia tanah ........................................ 43
3. Perbaikan sifat biologi tanah ...................................... 44
F. Kerangka pikir penelitian ................................................. 47
G. Hipotesis .......................................................................... 48
BAB III. METODOLOGI PERCOBAAN………………………............... 49
A. Percobaan tahap I .......................................................... 49
1. Waktu dan tempat penelitian ...................................... 49
2. Bahan dan alat ............................................................ 49
3. Metode ........................................................................ 50

7
4. Pelaksanaan percobaan................................................ 50
5. Pengamatan .................................................................. 53
B. Percobaan tahap II .......................................................... 54
1. Waktu dan tempat penelitian ..................................... 54
2. Bahan dan alat ............................................................ 54
3. Metode ........................................................................ 55
4. Pelaksanaan percobaan .............................................. 56
5. Pengamatan dan pengukuran...................................... 59
C. Teknik analisis data ....................................................... 60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 61
A. Hasil penelitian tahap I ................................................ 61
1. Kondisi Lingkungan ................................................... 61
2. Mikroba ...................................................................... 61
3. Analisis tanah............................................................. 62
4. Biomasa kering akar ................................................ 64
5. Biomasa kering batang ............................................ 66
6. Biomasa kering daun ............................................... 67
7. Biomasa kering total ................................................ 69
8. Jumlah cabang ........................................................ 70
9. Jumlah polong ........................................................ 72
10. Jumlah polong batang utama ................................. 73
11. Jumlah polong cabang ........................................... 75
12. Jumlah polong berisi .............................................. 76
13. Berat polong ........................................................... 77
14. Jumlah biji ............................................................... 79
15. Berat biji ................................................................. 80
16. Berat 100 biji ........................................................... 82
17. Indeks panen .......................................................... 84
18. Kadar protein biji ..................................................... 86
B. Hasil penelitian tahap II ................................................. 87
1. Kondisi lingkungan ..................................................... 87
2. Analisis tanah dan analisis kompos ........................... 87
3. Variabel panen ............................................................ 91
a. Biomasa kering batang .......................................... 91
b. Biomasa kering kulit polong ................................... 92
c. Jumlah cabang ...................................................... 93
d. Jumlah ruas produktif ............................................ 95
e. Jumlah polong ........................................................ 96
f. Jumlah polong berisi ............................................... 97
8
g. Jumlah polong hampa ............................................ 98
h. Jumlah biji .............................................................. 99
i. Berat biji total 12 tanaman ..................................... 101
j. Berat 100 biji .......................................................... 102
k. Produksi biji kering per hektar ............................... 103
l. Indeks panen .......................................................... 104
C. Pembahasan Tahap I........................................................ 106
1. Pengaruh Azotobacter sp. dan Mikoriza Terhadap
pertumbuhan dan produksi kedelai varietas anjasmoro
dan varietas grobogan .............................................. 106
2. Indeks panen ............................................................ 118
3. Protein biji ................................................................. 118
D. Pembahasan Tahap II ..................................................... 121
1. Pengaruh Azotobacter sp., mikoriza dan kompos
terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas
Anjasmoro .................................................................. 121
2. Zeolit dan perbaikan tanah ultisol untuk budidaya 130
kedelai ........................................................................
3. Pertumbuhan kedelai .................................................... 133
4. Biomasa kering kedelai ................................................ 136
5. Produksi kedelai .......................................................... 137
6. Indeks panen ............................................................... 141
7. Kondisi lingkungan optimum untuk pertumbuhan 141
kedelai
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 145
A. Kesimpulan ...................................................................... 145
B. Saran ............................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….…. 146
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................... 159

9
DAFTAR TABEL

No. Teks Hal


1 Analisis tanah sebelum penanaman percobaan tahap I 63

2 Rata-rata biomasa kering akar (g) dua varietas kedelai yang 65


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

3 Rata-rata biomasa kering batang (g) dua varietas kedelai yang 66


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

4 Rata-rata biomasa kering daun (g) dua varietas kedelai yang 68


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

5 Rata-rata biomasa kering total (g) dua varietas kedelai yang 69


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

6 Rata-rata jumlah cabang dua varietas kedelai yang diinokulasi 71


dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

7 Rata-rata jumlah polong (buah) dua varietas kedelai yang 72


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

8 Rata-rata jumlah polong pada batang utama (buah) dua yang 74


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

9 Rata-rata jumlah polong cabang (buah) dua varietas kedelai yang 75


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

10 Rata-rata jumlah polong berisi (buah) dua varietas kedelai yang 77


diinokulasi dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

11 Rata-rata berat polong (g) dua varietas yang diinokulasi dengan 78


Azotobacter sp. dan Mikoriza

12 Rata-rata jumlah biji dua varietas kedelai yang diinokulasi dengan 79


Azotobacter sp. dan Mikoriza

13 Rata-rata berat biji (g) dua varietas kedelai yang diinokulasi 81


dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

14 Berat 100 biji (g) kedelai dua varietas kedelai yang diinokulasi 83
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza

15 Rata-rata indeks panen dua varietas kedelai diinokulasi dengan 85


Azotobacter sp. dan Mikoriza

16 Kadar protein biji (%) dua varietas kedelai yang diinokulasi dengan 86
Azotobacter sp. dan Mikoriza
10
17 Analisis tanah sebelum penanaman tahap II dan setelah panen
tahap II (lokasi penanaman di Kelurahan Kambu Kota Kendari) 88

18 Analisis kandungan kompos dan KTK zeolit 89

19 Rata-rata biomasa kering batang (g) varietas anjasmoro yang


diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp.
dan Mikoriza 92

20 Rata-rata biomasa kering kulit polong (g) varietas Anjasmoro yang


diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp.
dan Mikoriza 93

21 Rata-rata jumlah cabang varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan


kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza 94

22 Rata-rata jumlah ruas produktif varietas Anjasmoro yang diberi


perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan
Mikoriza 95
23 Rata-rata jumlah polong (buah) varietas Anjasmoro yang diberi
perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan
Mikoriza 96

24 Rata-rata jumlah polong berisi (buah) varietas Anjasmoro yang


diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp.
dan Mikoriza 98

25 Rata-rata jumlah polong hampa (buah) varietas Anjasmoro yang


diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp.
dan Mikoriza 99

26 Rata-rata jumlah biji varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan


kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza 100

27 Rata-rata berat biji total 12 tanaman (g) varietas Anjasmoro yang


diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp.
dan Mikoriza 101

28 Rata-rata berat 100 biji (g) varietas Anjasmoro yang diberi


perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan 102
Mikoriza

29 Rata-rata produksi biji kering per hektar (ton ha-1) varietas


Anjasmoro yang diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi
Azotobacter sp. dan Mikoriza 104

30 Rata-rata indeks panen varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan


kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza 105

11
DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Hal

1 Deskripsi kedelai varietas Anjasmoro ............................................. 160

2 Deskripsi kedelai varietas Grobogan ............................................ 161

3 Dena percobaaan pada tahap I (rumah plastik) ................................ 162

4 Dena percobaan pada tahap II( di kebun) ...................................... 163

5 Hasil analisis ragam pertumbuhan dan produksi kedelai pada


percobaan tahap I ............................................................................. 164

6 Hasil analisis ragam pertumbuhan dan produksi kedelai pada


percobaan tahap II............................................................................. 165

7 Rata-rata biomasa kering batang (g), biomasa kering kulit polong


(g), biomasa kering total (g), jumlah cabang, jumlah ruas
produktif, jumlah polong (buah), jumlah polong berisi (buah), jumlah
polong hampa (buah), jumlah biji, berat biji total (g), berat 100 biji
(g), produksi biji kering (t ha-1), dan indeks panen dari perlakuan 166
kompos ........................................................................................

8 Kriteria kesuburan tanah mineral 167

12
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Hal


1 Cendawan ektomikoriza 27

2 Cendawan endomikoriza 27

3 Kerangka pikir 47

13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Indonesia merupakan negara agraris, memiliki lahan potensial untuk

pengembangan kegiatan pertanian guna memenuhi kebutuhan kedelai. Oleh karena

itu upaya peningkatan ketersediaan kedelai menjadi salah satu sasaran

pembangunan nasional di bidang pertanian. Kebutuhan kedelai nasional terus

meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Permintaan kedelai

meningkat karena kebutuhan masyarakat untuk dikonsumsi langsung dan

kebutuhan sektor industri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi.

Kedelai dibutuhkan oleh seluruh masyarakat sehingga pencapaian swasembada

pada komoditi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan bidang

pertanian. Kedelai merupakan salah satu kebutuhan pokok dan sumber protein

nabati utama bagi sebagian penduduk Indonesia. Kedelai merupakan sumber bahan

baku industri tahu, tempe, dan pakan ternak berupa bungkil kacang kedelai.

Kementerian Pertanian pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) tahap kedua yaitu tahun 2010-2014, mentargetkan untuk

berswasembada dalam artian minimal 90 persen kebutuhan kedelai akan tercukupi

oleh produksi dalam negeri pada tahun 2014 dengan produksi sebesar 2,70 juta ton,

tetapi kenyataannya sampai saat ini target tersebut tidak tercapai. Produksi kedelai

Indonesia pada tahun 2013 sebesar 867,16 ribu ton biji kering, kebutuhan nasional

mencapai 2,95 juta ton, inpor 2,128 juta ton (BPS, 2013). Produksi nasional hanya

dapat memenuhi kebutuhan sebanyak 29,39 %. Pemenuhan kebutuhan kedelai yang

terus meningkat, harus diiringi peningkatan produksi. Peningkatan produksi kedelai

di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,47% dari tahun 2012. Peningkatan produksi
14
kedelai adalah kontribusi perluasan areal tanam sebesar 0,69 % (BPS, 2013). Luas

lahan untuk pengembangan kedelai di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 4.101 ha

dengan produktivitas rata-rata 930 kg ha-1 (BPS, 2008) lebih rendah bila

dibandingkan dengan produktivitas nasional yaitu 1,3 ton ha -1. Produksi kedelai

Sulawesi Tenggara tahun 2013 sebesar 3.874 ton (BPS, 2013). Salah satu kedelai

yang ditanam oleh petani adalah varietas Anjasmoro, karena varietas ini memiliki

potensi produksi 2,02-2,25 ton ha-1 (Suhartina, 2005).

Pemenuhan kedelai yang terus meningkat harus diiringi dengan strategi

peningkatan produksi tanaman pangan baik melalui intensifikasi maupun

ekstensifikasi. Strategi tersebut menghadapi masalah karena lahan-lahan subur

untuk budidaya tanaman pangan khususnya kedelai sudah dimanfaatkan secara

penuh, oleh karena itu perluasan lahan pertanian dilakukan pada lahan-lahan yang

lebih marjinal, terutama tanah ultisol.

Upaya peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan peningkatan

produktivitas kedelai dan luas tanam. Luas lahan potensial untuk pertanaman

kedelai di Indonesia yaitu 1,4 juta ha, tetapi lahan yang diamanfaatkan baru sekitar

567.871 ha, dengan produktivitas 1,5 ton ha -1 (BPS, 2013). Upaya Intensifikasi dapat

meningkatkan produksi dari 1,3 juta ton ha-1 menjadi 2,0 - 2,5 ton/ha. Intensifikasi

dapat dilakukan dengan penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk yang ramah

lingkungan (kompos), mikoriza dan bakteri, penggunaan pupuk kimia secara efisien.

Upaya ekstensifikasi yaitu diarahkan pada perluasan areal pertanaman kedelai, tetapi

masalah yang timbul adalah keterbatasan lahan subur, sehingga perluasan diarahkan

pada tanah ultisol, karena potensi ultisol sangat besar.

Ultisol tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya

(Hardjowigeno, 2007), mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan
15
Indonesia (Subagyo, Suharta, dan Siswanto, 2004). Luas lahan kering di Sulawesi

Tenggara adalah sekitar 22.997,29 km2 atau 60 % dari luas lahan di Sulawesi

Tenggara, pada umumnya adalah ultisol (BPS Sultra, 2012), oleh karena itu perlu

dilakukan kajian sehingga lahan ultisol pemanfaatanya optimal untuk meningkatkan

produksi pangan khususnya kedelai.

Status hara tanah pada tanah ultisol sangat rendah (Buurman dan Dai, 1976),

kandungan bahan organik rendah yang sangat labil dan menurun secara cepat

setelah pembukaan lahan (Sudjadi, 1984), kejenuhan Al tinggi (Hakim dan Suwardjo,

1987), kemasaman tanah tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan

Mg, kemampuan menyangga pupuk rendah, oleh karena pemupukan pada tanah ultisol

tidak efisien (Suwardjo, Mulyadi, dan Sudirman, 1987), daya menahan air yang rendah

(Soepardi, 1983). Ultisol memiliki kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K,

kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993)

Pertumbuhan dan produksi kedelai pada ultisol dapat ditingkatkan melalui

perbaikan fisik dan biologi tanah. Mikoriza adalah salah satu cendawan yang hidup di

dalam tanah dan berasosiasi dengan tanaman tingkat tinggi yang saling

menguntungkan (Nuhamara 1994), yang dapat meningkatkan kapasitas dalam

menyerap unsur hara dan air (Brundrett, Mellville, and Peterson, 1994), seperti

unsur fosfat (Bolan, 1991) yang ketersediaannya pada tanah-tanah masam dan tanah

dengan pH tinggi terbatas, sehingga P menjadi unsur pembatas utama dalam

produktifitas tanaman, termasuk kedelai.

Unsur hara yang membatasi produktivitas tanaman adalah nitrogen.

Penambahan atau inokulasi Azotobacter bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan

nitrogen tanah telah sering dilakukan namun dengan hasil yang bervariasi, bahkan

kadang-kadang tidak meningkatkan hasil tanaman. Kontribusi rizobakteri hidup bebas


16
terhadap nitrogen tanah hanya sekitar 15 kg N ha-1 tahun-1 yang jauh lebih rendah

daripada kontribusi bakteri pemfiksasi nitrogen simbiosis yang mencapai 24-584 kg N

ha-1 tahun-1 (Shantharam and Mattoo, 1997). Namun demikian, inokulasi Azotobacter

perlu dilakukan karena rizobakteri ini berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan

tanaman melalui produksi fitohormon yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman

(Hindersah dan Simarmata, 2004).

Lapisan atas ultisol pertumbuhan tanaman baik apabila mengandung 5%

bahan organik. Kandungan bahan organik tanah relatif kecil, yaitu kurang dari 5%,

tetapi pengaruhnya cukup besar. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisika, kimia,

dan biologi tanah, baik langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu aplikasi

bahan organik pada tanah ultisol sangat perlu dilakukan untuk mendukung

pertumbuhan mikroba tanah.

Pemanfaatan zeolit di bidang pertanian selama ini adalah: (1) bahan untuk

meningkatkan kualitas kompos, (2) bahan campuran untuk membuat pupuk lambat

tersedia, (3) soil conditioner dan (4) pengontrol cadangan air. Zeolit alam mempunyai

kemampuan yang sangat baik untuk menjerap dan menukarkan kation (Budiono,

2003). Zeolit bersifat tidak asam, sehingga dapat menyangga keasaman tanah,

sehingga dapat mengurangi takaran kapur (Fuji, 1974).

Berdasarkan penelusuran penelitian yang telah dilakukan melalui referensi

terhadap aplikasi Azotobacter untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai

masih jarang dilakukan, karena Azotobacter adalah bakteri hidup bebas di sekitar akar

dan kemampuan menfiksasi nitrogen bebas sangat rendah jika dibanding dengan

bakteri simbiotik, tetapi Azotobacter memiliki kemampuan menghasilkan fitohormon

untuk memacu pertumbuhan tanaman. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk

mengkaji peran Azotobacter untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman


17
budidaya, tetapi pada tanaman yang tidak bersimbiosis dengan bakteri penambat

nitrogen, dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan dan serapan nitrogen oleh

tanaman. Penelitian terhadap peran Azotobacter pada kepadatan berbeda dan

dikombinasikan dengan mikoriza dosis berbeda pada kedelai yang diaplikasi pada

lahan ultisol yang diberikan amelioran zeolit, dalam upaya meningkatkan

pertumbuhan dan produksi kedelai belum banyak diteliti.

Berdasarkan berbagai penjelasan yang telah dikemukakan maka pemanfaatan

tanah ultisol untuk pertanaman kedelai perlu dilakukan perbaikan sifat fisika dan sifat

kimia serta sifat biologi tanah yaitu dengan pemberian bahan organik, pemberian

mikrorganisme tanah yang berasosiasi dengan akar tanaman, pemberian amelioran

tanah yang berfungsi sebagai penyangga air dan unsur hara tanah, dan penggunaan

varietas yang unggul. Oleh karena itu dilakukan penelitian tentang “pertumbuhan dan

produksi kedelai pada lahan ultisol yang diaplikasi Azotobacter sp., mikoriza dan

kompos” penting untuk dilakukan sebagai upaya pengembangan pemanfaatan tanah

ultisol dalam budidaya kedelai varietas yang sesui.

B. Rumusan masalah

Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat sesuai dengan peningkatan

jumlah penduduk. Kedelai merupakan sumber protein nabati bagi sebagian besar

penduduk Indonesia, bahan baku industri tahu, tempe, dan pakan ternak berupa

bungkil kacang kedelai. Luas lahan ultisol di Indonesia sangat luas, sehingga punya

potensi untuk untuk pengembangan budidaya kedelai, tetapi menghadapi kendala

dengan kesuburan rendah. Peningkatan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan

aplikasi pupuk hayati berupa mikroba tanah seperti Azotobacter, mikoriza, dan

pemberian kompos sebagai bahan organik, serta bahan yang dapat memperbaiki
18
sifat fisik dan kimia tanah seperti zeolit. Oleh karena itu upaya intensifikasi dan

ekstensifikasi untuk peningkatan produktivitas kedelai pada tanah ultisol dapat

dilakukan dengan perbaikan tanah melalui pemupukan hayati antara lain dengan

Azotobacter, mikoriza pemberian kompos dan amelioran zeolit.

Berdasarkan uraian tersebut maka untuk meningkatkan produksi kedelai dapat

dilakukan ekstensifikasi dan intensifikasi kedelai pada tanah ultisol dengan aplikasi

Azotobacter sp., mikoriza, kompos dan zeolit. Rumusan masalah yang dikemukakan

adalah:

Percobaan tahap I

1. Bagaimana pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro dan

Grobogan dengan inokulasi Azotobacter sp. dan mikoriza pada tanah ultisol.

2. Bagaimana interaksi Azotobacter sp. dengan mikoriza pada tanah ultisol dalam

mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro dan

Grobogan.

Percobaan tahap II

1. Bagaimana pengaruh kombinasi Azotobacter sp.+ mikoriza pada tanah ultisol

terhadap pertumbuhan dan produksi varietas Anjasmoro.

2. Bagaimana pengaruh pemberian kompos takaran berbeda terhadap

pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro.

3. Bagaimana interaksi kombinasi Azotobacter sp. dengan mikoriza dan kompos

dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro.

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian dari rumusan masalah tersebut,

dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut :

19
Percobaan tahap I

1. Mempelajari pengaruh inokulasi Azotobacter sp. dan inokulasi mikoriza pada

tanah ultisol terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro dan

varietas Grobogan.

2. Mempelajari interaksi antara Azotobacter sp. dengan mikoriza pada tanah ultisol

dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro dan

varietas Grobogan.

Percobaan tahap II

1. Mempelajari pengaruh Inokulasi Azotobacter sp.dengan mikoriza pada tanah

ultisol terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro.

2. Mempelajari pengaruh kompos pada tanah ultisol terhadap pertumbuhan dan

produksi kedelai varietas Anjasmoro.

3. Mempelajari pengaruh interaksi Inokulasi Azotobacter sp. Dengan mikoriza dan

kompos pada tanah ultisol terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas

Anjasmoro.

D. Kegunaan penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai berikut :

1. Bagi peneliti untuk pengembangan IPTEK, sebagai acuan :

a. Penelitian dan pengembangan dalam upaya intesifikasi dan ektensifikasi

pertanian pada tanah ultisol dalam rangka peningkatan produktivitas kedelai.

b. Penelitian dan pengembangan biofertilizer terutama Azotobacter sp.,

Mikoriza, dan kompos dengan menggunakan pembenah tanah dari zeolit pada

tanah ultisol terutama dalam peningkatan pertumbuhan dan produksi kedelai

khususnya varietas Anjasmoro dan Grobogan.

20
c. Pengembangan pembenah tanah dari zeolit dalam rangka pengembangan

pemanfaatan lahan ultisol untuk lahan budidaya kedelai

2. Bagi pemerintah, sebagai acuan dalam penentuan kebijakan :

a. Perencanaan dan pengembangan budidaya tanaman pangan terutama kedelai

dengan mengoptilmalkan pemanfaatan tanah ultisol untuk memenuhi

kebutuhan kedelai lokal dan nasional yang dari tahun ke tahun terus

meningkat.

b. Penggunaan zeolit yang potensinya di Indonesia cukup besar untuk

meningkatkan produksi kedelai pada tanah marginal terutama tanah ultisol.

E. Ruang lingkup penelitian

1. P engaruh Azotobacter sp.dan mikoriza dan bagaimana interaksinya keduanya

pada tanah ultisol terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas

Anjasmoro dan Grobogan.

2. P engaruh pemberian kombinasi Azotobacter sp.dan mikoriza dengan pemberian

pupuk kompos takaran berbeda pada tanah ultisol dengan pembenah zeolit

terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro dan Grobogan.

3. Parameter yang diamati pada percobaan tahap I adalah biomasa kering akar,

biomasa batang, biomasa kering daun, biomasa total, jumlah cabang, jumlah

polong batang utama, jumlah polong cabang, jumlah polong total, jumlah polong

berisi, berat polong, jumlah biji, berat biji kering, berat 100 biji kering, indeks

panen, dan kadar protein. Semua parameter dihitung setelah panen.

4. Parameter yang diamati pada percobaan Tahap II meliputi: biomasa kering

batang, biomasa kering kulit polong, jumlah cabang, jumlah ruas produktif (buku

subur), jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, jumlah biji,

21
berat 100 biji, berat biji kering 12 tanaman, produksi biji kering per hektar dan

indeks panen.

22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedelai
1. Botani
Tanaman kedelai merupakan tanaman polong-polongan yang memiliki

beberapa nama botani yaitu Glycine max (kedelai kuning) dan Glycine soja

(kedelai hitam). Menurut Pitojo (2003) tanaman kedelai yaitu batang tanaman

kedelai berkayu dan tingginya berkisar antara 30-100 cm, memiliki 3-5

percabangan. Tipe pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas

(determinit), tidak terbatas (indeterminit). Tipe determinit memiliki ciri berbunga

serenpak dan mengakhiri pertumbuhan meninggi jika sudah berbunga, tanaman

pendek sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian

tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe indeterminit

memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah keatas, tanaman berpostur

sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah (Adisarwanto

2005).

Daun kedelai merupakan tanaman majemuk yang terdiri dari tiga helai anak

daun dan umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning-kuningan, bentuk

umumnya berbentuk bulat (oval) dan lancip serta berbulu, pada saat sudah tua

daun-daunnya akan rontok (Adisarwanto, 2005). Bunga kedelai termasuk

bunga sempurna dimana setiap

bunga mempunyai alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Penyerbukan

terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin

silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, cabang,

berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun

23
terjadi penyerbukan secara sempurna karena sekitar 60% bunga rontok sebelum

membentuk polong. Buah kedelai berbentuk polong, setiap tanaman mampu

menghasilkan 100-250 polong. Polong kedelai berbulu dan berwarna kuning

kecoklatan atau abu-abu. Selama proses pematangan buah, polong yang mula-

mula berwarna hijau akan berubah menjadi coklat (Adisarwanto 2005).

Tanaman kedelai harus dipanen pada tingkat kematangan biji yang

tepat. Ciri-ciri kedelai siap untuk dipanen adalah daunnya telah menguning, dan

mudah rontok, polong biji mengering dan berwarna kecoklatan. Hasil produksi

kedelai lokal optimal mencapai 2 ton per hektar dengan masa tanam sekitar 75

hari atau maksimal tiga bulan (Purwono dan Purnawati, 2007). Fachrudin (2000)

menjelaskan bahwa perakaran tanaman kedelai terdiri dari akar tunggang dan

akar cabang, bulu akar yang dapat membentuk bintil akar dan merupakan koloni

bakteri Rhizobium sp. Akar tunggang dapat menembus tanah yang gembur

sedalam 150 cm sedangkan bintil akarnya mulai terbentuk pada umur 15-20 hari

setelah tanam. Bakteri Rhizobium sp. dan tanaman kedelai terjadi simbiosis yang

saling menguntungkan. Tanaman kedelai memberikan karbohidrat dan

perlindungan pada bakteri, dan sebaliknya bakteri mengkonversi nitrogen atmosfir

menjadi bentuk yang komplek yang dapat diserap oleh tanaman.

2. Lingkungan tumbuh optimal

Kedelai merupakan tanaman hari pendek, yaitu tidak akan berbunga

secara optimal apabila lama penyinaran melebihi batas kritis. Bila varietas yang

berproduksi tinggi dari daerah subtropik dengan panjang hari 14 – 16 jam

ditanam di daerah tropik dengan rata-rata panjang hari 12 jam maka

varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi karena masa bunganya

24
menjadi pendek, yaitu dari umur 50 – 60 hari menjadi 35 – 40 hari setelah tanam

(Irwan, 2006).

Tanah dan iklim merupakan dua komponen lingkungan tumbuh

yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman kedelai. Kedelai cocok ditanam

pada jenis tanah berstruktur lempung berpasir atau liat berpasir. Pada jenis

tanah yang bertekstur remah dengan kedalaman olah lebih dari 50 cm, akar

tanaman kedelai dapat tumbuh mencapai kedalaman 5 m, dan pada jenis

tanah dengan kadar liat yang tinggi, pertumbuhan akar hanya mencapai

kedalaman sekitar 3 m. Suhu tanah yang optimal dalam proses

perkecambahan yaitu 30°C. Suhu lingkungan optimal untuk pembungaan bunga

yaitu 24-25°C. Bila suhu lingkungan mendekati 40°C pada masa tanaman

berbunga, bunga tersebut akan rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai

yang terbentuk juga menjadi berkurang. Suhu terlalu rendah (10°C), seperti pada

daerah subtropik, dapat menghambat proses pembungaan dan pembentukan

polong kedelai. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan kedelai berkisar 350 –

450 mm. Tanaman kedelai menghendaki huan merata selama 3 bulan dengan

curah hujan 200 mm sampai 400 mm per bulan, dengan drainase yang baik

(Sumarno dan Hartono, 1983). Kebutuhan air semakin bertambah seiring

dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling tinggi terjadi pada

saat masa berbunga dan pengisian polong, kekeringan maksimal 50%

dari kapasitas lapang atau kondisi tanah yang optimal. Selama masa stadia

pemasakan biji, tanaman kedelai memerlukan kondisi lingkungan yang kering

pada saat pemasakan biji, agar diperoleh kualitas biji yang baik (Irwan, 2006).

Di Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. pada pH

tanah 5,8-7, drainase dan aerasi tanah cukup baik. Kedelai merupakan salah satu
25
tanaman yang peka terhadap pH rendah (Margarettha, 2002). Kesesuain pH

pada tanah dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman.

Kedelai dapat tumbuh optimal pada pH 6,0 sampai 6,8 dan pada tanah ultisol

dengan pH 5,0 tanaman kedelai tumbuh kerdil karena keracunan Al atau Fe

(Sumarno dan Hartono, 1983). Hakim et.al. (1986), melaporkan pH tanah

dipengaruhi oleh kejenuhan basa, sifat misel (koloid) dan macam kation yang

terjerap pada lapisan tanah. Kedelai berproduksi dengan baik pada dataran

rendah sampai ketinggian 900 m dpl, dan mampu beradaptasi didataran tinggi

sampai 1.200 m dpl, tumbuh baik pada daerah yang memiliki curah hujan 100-400

mm setiap bulan, suhu yang cocok antara 23oC – 30oC, kelembaban antara 60 –

70 %.

Keberhasilan pertanaman kedelai ditentukan oleh keadaan lingkungan dan

susunan genetik suatu varietas. Hal tersebut terjadi karena interaksi antara

tanaman dan lingkungan tumbuhnya. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh

Mayers dan Lawn (1991) mengungkapkan bahwa temperatur, lokasi, musim, dan

radiasi dapat mempengaruhi adaptasi berbagai kultivar kedeai di suatu daerah.

3. Budidaya

Tanaman kedelai dapat tumbuh di berbagai agroekosistem dengan jenis

tanah, kesuburan tanah, iklim dan pola tanam yang berbeda, sehingga kendala

satu agroekosistem akan berbeda dengan agroekosistem yang lain. Hal ini akan

mengindikasikan adanya spesifikasi cara bertanam kedelai. Bertanam kedelai hal

yang perlu diperhatikan adalah pemilihan benih, persiapan lahan, penanaman,

pemeliharaan. Tanaman kedelai biasanya ditanam pada tanah kering (tegalan)

atau tanah persawahan. Pengolahan tanah bagi pertanaman kedelai di lahan

kering dilakukan pada akhir musim kemarau, sedangkan pada lahan sawah
26
umumnya dilakukan pada awal musim kemarau. Apabila areal penanaman

kedelai yang digunakan berupa lahan kering atau tegalan, maka dilakukan

pengolahan tanah terlebih dahulu. Tanah dicangkul atau dibajak sedalam 15 cm –

20 cm. Di sekeliling lahan dibuat parit selebar 40 cm dengan kedalaman 30 cm.

Selanjutnya, dibuat petakan-petakan. Petak-petak penanaman dengan lebar 3 m -

10 m, yang panjangnya disesuaikan dengan kondisi lahan. Diantara petak

penanaman dibuat saluran drainase selebar 25-30 cm, dengan kedalaman 20-30

cm. Setelah didiamkan selama 7-10 hari, tanah siap ditanami. Sebelum dilakukan

kegiatan penanaman, terlebih dahulu diberi pupuk dasar. Pupuk yang digunakan

berupa SP36 sebanyak 75 kg – 200 kg ha-1, KCl 50 kg – 100 kg ha-1, dan urea 50

kg ha-1. Pupuk disebar secara merata di lahan, atau dimasukkan ke dalam lubang

di sisi kanan dan kiri lubang tanam sedalam 5 cm. Jarak tanam tergantung pada

kesuburan tanah (Irwan, 2006).

Cara tanam yang terbaik untuk memperoleh produktivitas yang baik

yaitu dengan membuat lubang tugal dengan kedalaman antara 1,5 – 2 cm. Setiap

lubang tugal diisi sebanyak 3 – 4 benih dan diupayakan 2 biji yang dapat tumbuh.

Kebutuhan benih yang optimal dengan daya tumbuh lebih dari 90% yaitu 50 – 60

kg ha-1. Penanaman ini dilakukan dengan jarak tanam 40 cm x 10 – 15 cm. Pada

lahan subur, jarak dalam barisan dapat diperjarang menjadi 15 – 20 cm. Untuk

mengurangi penguapan tanah pada lahan, dapat digunakan mulsa kering. Mulsa

ditebarkan di antara barisan tempat penanaman benih dengan ketebalan antara 3

cm – 5 cm. Satu minggu setelah penanaman, dilakukan kegiatan penyulaman.

Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih kedelai yang mati atau tidak

tumbuh. Keterlambatan penyulaman akan mengakibatkan tingkat pertumbuhan

tanaman yang jauh berbeda (Irwan, 2006).


27
Tanaman kedelai sangat memerlukan air saat perkecambahan (0 – 5

hari setelah tanam), stadium awal vegetatif (15 – 20 hari), masa pembungaan dan

pembentukan biji (35 – 65 hari). Untuk menjamin ketersediaan air dapat dilakukan

dengan pengairan. Pengairan dilakukan dengan menggenangi saluran drainase

selama 15 – 30 menit. Penempatan arah tanam di daerah tropik tidak

menunjukkan perbedaan antara ditanam arah timur-barat dengan utara-selatan,

tetapi arah tanam harus sejajar dengan arah saluran irigasi sehingga air tidak

menggenang dalam petakan. Untuk menghindari hama lalat bibit, sebaiknya pada

saat penanaman benih diberikan pula furadan, curater, atau indofuran ke dalam

lubang tanam (Irwan, 2006).

Upaya untuk meningkatkan produksi tanaman kedelai adalah melalui

pemupukan. Pemupukan merupakan usaha penyediaan unsur hara yang

dibutuhkan tanaman pada tanah. Pemupukan sebaiknya dilakukan berdasarkan

asas keseimbangan. Pemberian pupuk yang mengandung unsur hara tertentu

secara berlebihan akan mengganggu penyerapan unsur hara lainnya. Hasil

maksimal dari suatu upaya pemupukan akan diperoleh jika dilakukan dengan

tepat meliputi dosis, jenis, waktu, dan cara pemberiannya. Nitrogen yang

terkandung dalam urea dilepas dalam bentuk amonium. Amonium dalam keadaan

oksidatif akan diubah menjadi nitrit (NO2-) melalui proses nitrifikasi, sedangkan N

yang dalam bentuk ammonium dapat dijerap oleh koloid tanah sehingga tidak

mudah hilang tercuci dari daerah perakaran (Lingga 2005). Novisan (2005)

menjelaskan keuntungan lain menggunakan pupuk urea adalah cepat tersedia

bagi tanaman, dan memiliki kandungan N tinggi yang dibutuhkan tanaman pada

awal pertumbuhan.

28
Pemberian pupuk nitrogen dalam bentuk urea lebih cepat tersedia

dibanding dengan pupuk majemuk dan reaksinya mudah dapat diamati pada hari

ke 15 setelah aplikasi (Winarno et al., 2000). Sumber nitrogen pada tanah selain

dari pemupukan, juga berasal dari kegiatan jazad renik yang mengikatnya dari

udara. Unsur ini juga bertambah akibat loncatan listrik di udara. Nitrogen dapat

masuk melalui air hujan dalam bentuk nitrat. Besarnya pertambahan ini

tergantung kepada tempat dan iklim daerah tersebut (Hakim et al., 1986)

Nitrogen yang berada dalam tanah ini dapat berbentuk organik maupun

anorganik. Nitrogen yang ada dalam tanah berbentuk organik dapat berupa

protein, asam amino yang akan diubah menjadi amonium (NH4+), kemudian

diubah lagi menjadi nitrit dan selanjutnya dalam bentuk nitrat yang dapat diserap

oleh akar tanaman, sedangkan nitrogen yang berbentuk anorganik yang tersedia

dapat diserap dalam bentuk ion ammonium dan nitrat (Haryono, 2000).

Kegunaan pupuk urea pada tanaman adalah merangsang pertumbuhan

tanaman secara keseluruhan, merupakan bagian dari sel (organ) tanaman itu

sendiri, berfungsi untuk sintesa asam amino dan protein dalam tanaman, dan

mempercepat pertumbuhan tanaman terutama organ vegetatif dan perakaran

serta menambah kandungan protein tanaman. Nitrogen juga berperan penting

sebagai bagian dari protoplasma dan klorofil, oleh sebab itu nitrogen berperan

penting dalam penentuan produksi dan kualitas tanaman (Sudarno et al., 2002).

Nurzal dan Yunizar (1995), melaporkan inokulasi Rhizobium dan pemupukan

nitrogen berpengaruh terhadap tinggi dan berat kering tanaman kedelai pada

umur 45 HST, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah dan bobot bintil

akar.

29
B. Mikroorganisme tanah

1. Azotobacter

Azotobacter adalah bakteri penambat N yang hidup bebas, banyak

dijumpai di daerah rizosfer (dalam tanah 20 – 8000 sel g-1), pada pH tanah antara

5,9 – 8,4 (tidak jumpai jika pH masam). Pada tanah dimana Azotobacter tidak

ditemukan, maka bakteri penambat N yang hidup bebas lainnya dapat dijumpai

(Beijerinckia) yang tumbuh aerob pada tanah tropik masam. Pseudomonas sp.

adalah bakteri penambat N untuk tanah masam.

Azotobacter dapat diintroduksi masuk ke dalam tanah guna meningkatkan

produksi tanaman. Para pakar Rusia melaporkan adanya kenaikan produksi

serealia, tembakau dan kapas sebesar 20 % pada tanah yang diinokulasi dengan

Azotobacter. Ada 3 spesies Azotobacter yang terkenal yaitu A. chroococcum, A.

vinelandii, dan A. agite. Azotobacter adalah organisme penambat N yang hidup

bebas yang paling efisien, dapat mengoksidasi 1 g gula untuk menambat 5 – 20

mg N (Wedhastri, 2002).

Bakteri Azotobacter sp. adalah species rizobakteri yang dikenal sebagai

agen penambat nitrogen yang mengkonversi dinitrogen (N2) ke dalam bentuk

ammonium (NH4), yang mampu menambat nitrogen dalam jumlah yang cukup

tinggi. Azotobacter diketahui pula mampu mensintesis substansi yang secara

biologis aktif dapat meningkatkan perkecambahan biji, tegakan dan pertumbuhan

tanaman seperti vitamin B, asam indol asetat, giberelin, dan sitokinin (Wedhastri,

2002; Husen, 2003; Ahmad, Ahmad, and Khan, 2005; Adiwiganda, Tarigan dan

Purba, 2006). Sebagian besar strains Azotobakter untuk oksidasi memerlukan

sekitar 1000 kg bahan organik untuk mengikat 30 kg N ha-1.

30
Azotobacter sp. hanya bertahan di daerah rizosfer dan tidak di daerah

bebas akar. Jumlah inokulan yang diperlukan agar diperoleh hasil yang baik

adalah 104 sel bakteri perbiji. Perlakuan biji dengan Azotobacter karena bakteri

mampu bermigrasi sepanjang pertumbuhan akar. Migrasi dan perbanyakannya

berlangsung karena stimulasi eksudat akar muda berupa berbagai gula. Sel–sel

bakteri tidak dapat memperbanyak diri pada bagian akar yang dewasa.

Inokulasi Azotobacter pada tanaman dimaksudkan untuk meningkatkan

produksi, laju pekecambahan, pertumbuhan akar dan perkembangan tanaman

misalnya pada tanaman tomat. Pengaruh peningkatan produksi tersebut terjadi

akibat Azotobacter dapat menambat N, dapat menghasilkan pemacu tumbuh, dan

dapat menghambat patogen tanaman. Azotobacter menggunakan nitrogen bebas

untuk sintesis sel protein, kemudian sel protein ini mengalami proses mineralisasi

dalam tanah setelah Azotobacter mengalami kematian, dengan demikian

berkontribusi terhadap ketersediaan nitrogen bagi tanaman budidaya. Azotobacter

sp. cukup sensitif terhadap pH asam, kadar garam yang tinggi dan temperatur di

atas 350C.

Azotobacter secara alamiah menfiksasi nitrogen bebas di dalam rizosfer.

Terdapat perbedaan pada masing-masing strain Azotobacter yang bervariasi

dalam kimia, biologi dan karakter lainnya. Beberapa strains memiliki kemampuan

memfiksasi nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan strains lainnya. Azotobacter

menggunakan karbon untuk proses metabolismenya dari substansi sederhana

atau substansi senyawa dari karbon yang ada di dalam tanah. Azotobacter

memerlukan keberadaan nitrogen organik, mikro nutrisi dan garam untuk

meningkatkan kemampuan fiksasi nitrogen.

31
Kemampuan Azotobacter dalam memfiksasi N2 menyebabkan peningkatan

hasil yang tidak selalu konsisten jika dibandingkan dengan kapasitas fiksasi

bakteri pemfiksasi nitrogen simbiotik. Karena itu, diduga terdapat faktor lain yang

berperan dalam pengendalian pertumbuhan tanaman seperti produksi fitohormon

yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Hindersah, Arief, dan Sumarni, 2000),

pemutusan siklus penyakit maupun hama melalui perubahan karakteristik

mikroba, fisik atau kimia tanah, atau melalui peningkatan aktivitas makrofauna

tanah seperti cacing tanah (Peoples, Herridge, dan Ladha, 1995). Penurunan

penggunaan pupuk nitrogen dapat dicapai jika agen biologis pemfiksasi nitrogen

diintegrasikan dalam sistem produksi tanaman.

Pada medium yang sesuai, Azotobacter mampu menambat 10-20 mg

nitrogen g-1 gula (Wedhastri,2002). Azotobacter mensintesis substansi biologis

aktif dapat meningkatkan perkecambahan biji, tegakan dan pertumbuhan tanaman

seperti vitamin B, asam indol asetat, giberelin, dan sitokinin (Wedhastri, 2002;

Ahmad, Ahmad, and Khan, 2005; Husen, 2003; Adiwiganda, Tarigan dan Purba,

2006). Azotobacter juga memiliki kemampuan dalam metabolisme senyawa fenol,

halogen, hidrokarbon, dan berbagai jenis pestisida (Munir, 2006).

Bakteri Azotobacter yang diaplikasikan pada tanah pertanian akan terus

mempersubur tanah karena bakteri tersebut akan semakin banyak jumlahnya di

dalam tanah dan terus bekerja memfiksasi nitrogen, dan menaikkan biomassa

tanaman pertanian (Hindersah dan Simarmata, 2004). Inokulasi Azotobacter sp.

dijadikan salah satu faktor dari managemen nitrogen dalam suatu sistem tanam

sehingga akan bersifat sinergis dengan input nitrogen lainnya seperti pupuk dan

bahan organik yang selanjutnya dapat menjamin kesehatan tanah.

32
2. Mikoriza

Mikoriza merupakan bentuk simbiosis mutualisma antara fungi alami dengan

akar tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis antara akar tumbuhan dengan fungi pertama

kali diamati oleh Vittadini pada tahun 1842 (Sudhir dan Harbans, 2006), dan oleh

ilmuwan Jerman yang bernama Albert Bernard Frank pada tahun 1885 simbiosis

tersebut diberi nama mikoriza yang secara harfiah berarti fungi-akar (Gonzalo dan

Miguel, 2006). Mikoriza merupakan struktur yang mencerminkan adanya interaksi

fungsional yang saling menguntungkan antara akar tumbuhan dengan fungi dalam

ruang dan waktu tertentu (Nuhamara, 1994).

Jenis-jenis mikoriza yang telah diketahui adalah Gigaspora margarita,

Glomus mossae, Scutellospora castanea, Acalauspora sp. (Forbes et al., 1998).

Mikoriza termasuk dalam familia Endogenaceae, Ordo Mucorales, Class

Phycomycetes (Mosse, 1981). Mikoriza membentuk spora dalam tanah dan dapat

memperbanyak diri jika berasosiasi dengan tumbuhan inang (Miyasaka et al.,

2003). Spora-spora mikoriza mampu hidup beberapa bulan bahkan beberapa tahun,

tetapi fungi ini tidak dapat berkembang bila tidak ada jaringan akar yang hidup

(Barea, 1991).

Jenis cendawan endomokoriza memiliki jaringan hifa yang masuk ke dalam

sel korteks, membentuk struktur yang khas seperti oval yang disebut vesikula atau

bercabang yang disebut arbuskula. Dengan demikian, jenis cendawan

endomokoriza disebut pula sebagai cendawan mikoriza arbuskula atau mikoriza

vesikula. Jenis ektomikoriza memiliki jaringan hifa yang tidak masuk sampai ke sel

korteks, tetapi berkembang di antara sel tersebut membentuk mantel pada

permukaan akar. Ciri lain dari cendawan endomokoriza adalah tidak memiliki

batang tubuh dan tidak dapat diperbanyak tanpa tanaman inang, sedangkan
33
cendawan ektomikoriza memiliki batang tubuh dengan bentuk dan warna yang

beragam dan dapat diperbanyak tanpa tanaman inang.

Infeksi endomikoriza yang terjadi dalam sel dicirikan oleh adanya

pembentukan vesikula dan arbuskula. Vesikula berbentuk seperti kantung, biasanya

terdapat pada ujung hifa internal yang banyak mengandung lemak, berfungsi

sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Sedangkan arbuskula adalah

hifa yang masuk ke dalam sel korteks tumbuhan inang, kemudian hifa tersebut

bercabang-cabang (Brundrett, 1999). Arbuskula umumnya terbentuk sekitar 2

sampai 3 hari setelah akar terinfeksi dan berfungsi sebagai tempat terjadinya

translokasi unsure hara P antara endomikoriza dengan tumbuhan inang (Barea,

1991). Berdasarkan struktur tubuh dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza

dapat dikelompokan menjadi tiga tipe yaitu ektomikoriza, endomikoriza,

ektendomikoriza (Rao dan Shuba 1994; Brundrett 2004). Jenis ektomikoriza

memiliki jaringan hifa yang tidak masuk sampai ke sel korteks, tetapi berkembang

di antara sel tersebut membentuk mantel pada permukaan akar (Gambar 1).

Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang kena infeksi membesar,

bercabang, rambut-rambut akar tidak ada, hifa menjorok keluar dan berfungsi

sebagai alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak masuk ke

dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel jaringan korteks

membentuk struktur seperti pada jaringan hartiq.

Jenis cendawan endomikoriza memiliki jaringan hifa yang masuk ke dalam

sel korteks, membentuk struktur yang khas seperti oval yang disebut vesikula dan

jika bercabang-cabang disebut arbuskula. Jenis cendawan endomokoriza disebut

pula sebagai cendawan mikoriza arbuskula atau mikoriza vesikula (Gambar 2).

Arbuskula berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara tanaman inang dengan
34
jamur. Ciri lain dari cendawan endomokoriza adalah tidak memiliki batang tubuh

dan tidak dapat diperbanyak tanpa tanaman inang, sedangkan cendawan

ektomokoriza memiliki batang tubuh dengan bentuk dan warna yang beragam dan

dapat diperbanyak tanpa tanaman inang.

Ektendomikoriza merupakan bentuk antara kedua jenis mikoriza

(endomikoriza dan ektomikoriza). Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar

yang tipis berupa jaringan hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan

juga sel-sel korteksnya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan

sehingga pengetahuan tentang mikoriza tipe ini terbatas. Hifa eksternal dari

mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara, ukuran hifa lebih halus dari

bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil

(mikro) sehingga menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah

(Marshner, 1995). Mikoriza memiliki spora yang merupakan propagul, terdapat pada

ujung-ujung hifa eksternal yang dapat hidup berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.

Ekosistem alami CMA di daerah tropis dicirikan oleh keanekaragaman

spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza. CMA dapat hidup

dalam tanah yang berdrainase baik hingga yang tergenang seperti lahan sawah.

CMA banyak dijumpai pada tanah dengan kadar mineral tinggi, baik pada hutan

primer, hutan sekunder, kebun, padang alang-alang, pantai dengan salinitas

tinggi, dan lahan gambut (Soelaiman dan Hirata 1995). Karena lingkungan hidup

CMA yang sangat luas, CMA sering dijadikan dasar dalam upaya bioremediasi

lahan kritis.

35
Gambar 1. Cendawan ektomikoriza Gambar 2. Cendawan endomikoriza
(Invam, 2005 dalam Musfal, 2010 ). (Invam, 2005 dalam Musfal, 2010).

CMA yang banyak ditemukan berasal dari genus Acaulospora dan Glomus

(Delvian et al., 2001). Konversi hutan untuk pertanian akan mengurangi

keragaman jenis dan jumlah CMA karena jenis tanaman, unsur hara yang tersedia,

dan kandungan bahan organik tanah telah berubah. Praktek pertanian seperti

pengolahan tanah, ameliorasi bahan organik, pemupukan, dan penggunaan

pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan CMA dan pengolahan tanah

yang intensif akan merusak jaringan hifa eksternal, sebaliknya pengolahan tanah

minimal akan meningkatkan populasi CMA (Zarate dan de la Cruz, 1995).

Keberadaan tanaman yang cocok dan kompatibel terhadap suatu spesies

mikoriza arbuskula berlanjut dengan peningkatan pertumbuhan hifa dan infeksi

mikoriza arbuskula, selanjutnya hifa mengadakan pertumbuhan terpolarisasi dan

membentuk apresorium. Apresorium akan tumbuh menjadi hifa dan masuk ke

dalam epidermis akar tanaman inang membentuk hifa interseluler dan

intrasesluler, vesikula dan arbuskula (Bagyaraj, 1991; Bionciotto dan Bonfante,

1998). Dengan terbentuknya apresorium, vesikula dan arbuskula maka

endomikoriza mampu mentrasfer karbon dan unsur hara P ke tanaman inang,

penggunaan P anorganik menjadi lebih efisien karena P eksternal yang diberikan

36
hanya dimanfaatkan dalam jumlah kecil dan tanaman mampu bertahan dalam

kondisi P eksternal rendah (Sinwin, Mulyati, dan Lotita, 2005).

Infeksi mikoriza arbuskula pada akar tanaman inang, terutama pada jaringan

korteks dan mengakibatkan jaringan tidak rusak. Infeksi dapat terjadi di antara sel

atau dalam sel. Hifa yang tumbuh di luar akar berfungsi sebagai perluasan

permukaan penyerapan akar dan hifa ini membantu fungsi rambut-rambut akar

dalam penyerapan hara. Hifa eksternal berhubungan dengan hifa internal,

memasuki tanah dan menyerap unsur hara serta mengangkutnya ke dalam hifa

internal yang selanjutnya dilepaskan ke sel akar (Preston, 2007).

Manfaat mikoriza bagi ekosistem dilaporkan oleh Bolan (1991). bahwa

mikoriza menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan unsur P yang

terikat unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga

P akan tersedia bagi tanaman. Mikoriza berperan dalam memperbaiki sifat fisik

tanah, yaitu membuat tanah menjadi gembur. Menurut Wright dan Uphadhyaya

(1998), mikoriza melalui akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein

glomalin dan asam-asam organik yang akan mengikat butir-butir tanah menjadi

agregat mikro. Selanjutnya melalui proses mekanis oleh hifa eksternal, agregat

mikro akan membentuk agregat makro. Dengan demikian inokulasi mikoriza dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai.

Fungsi utama infeksi mikoriza adalah penyerapan fosfor tidak tersedia bagi

tanaman atau fosfor yang terserap partikel lempung (Mosse, 1981). Hifa dapat

masuk ke rongga tanah yang diameternya lebih kecil dari rambut akar diameter

rambut akar. Apabila fosfor dalam bentuk tidak tersedia, hifa mikoriza akan

mengeluarkan enzim fosfatase melepaskan fosfor menjadi bentuk tersedia

sehingga fosfor dapat diserap tanaman. Fosfor sangat penting dalam


37
pembentukan ATP. Dengan terbentuk ATP maka unsur hara lain selain fosfor

dapat diserap tanaman seperti Mg, Ca, K (Fakuara, 1994). Mikoriza arbuskula

juga dapat membantu penyerapan unsur hara makro terutama N, unsur hara

mikro dan air (George et al., 1992; Killham, 1999). Mikoriza dapat menyerap

unsur hara N dalam bentuk NO3- dan NH4+, meningkatkan penyerapan unsur hara

N ke dalam sel-sel akar tanaman dan meningkatkan kandungan senyawa nitrogen

dalam tanaman (Barrea et al., 1992). Mikoriza arbuskula dapat meningkatkan

serapan air, unsur hara serta melindungi tumbuhan inang dari pathogen dan

unsur toksik (Newsham, Fitter and Walkinson, 1995), menyediakan kebutuhan

fosfat tanaman sekitar 50 %, nitrogen 40 %, dan kalium 50 % (Setiadi, 1996),

berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara, dan

berperan dalam pelapukan bahan induk (Subranian et al., 1995). Mikoriza

arbuskula dapat memperoleh karbon dari eksudat akar tumbuhan inang sebagai

sumber energi (Juge et al., 2002).

Musfal (2010) melaporkan bahwa infeksi CMA pada akar tanaman jagung

sangat dipengaruhi oleh dosis CMA atau pupuk yang diberikan. Tanpa pemberian

pupuk, infeksi CMA meningkat sejalan dengan bertambahnya dosis CMA hingga

15 g tanaman-1. Hal yang sama juga terlihat pada pemberian 100% pupuk NPK, di

mana infeksi akar meningkat pada pemberian CMA sampai 20 g/tanaman.

Pemberian 50% pupuk NPK ditambah 5 g CMA memberikan persentase infeksi

akar yang sama dengan 100% pupuk NPK ditambah 15 g CMA. Hasil yang sama

dilaporkan Muzar (2006), bahwa tinggi rendahnya persentase infeksi CMA pada

akar tanaman jagung dipengaruhi oleh banyaknya CMA dan pupuk yang

diberikan.

38
Infeksi mikoriza arbuskula pada akar tanaman akar mempengaruhi

populasi mikroba lain, misalnya Rhizobium dalam rhizosfir tanaman inang. Infeksi

mikoriza ini dapat meningkatkan populasi mikroba di dalam rizosfer. Tanaman

Leguminosae merupakan tanaman yang sangat kuat dalam menggunakan unsur

fosfor (P). Fosfor diperlukan dalam penyematan N2 di dalam bintil akar tanaman

Leguminosae (Paulitz dan Linderman, 1991). Fosfor yang tinggi diperlukan oleh

bintil akar untuk penyematan N2, sedangkan mikoriza memerlukan nitrogen untuk

sintesis dinding selnya dan keduanya memerlukan karbon untuk sumber

energinya (Bethlenfalvay, 1992).

Perkembangan mikoriza dihambat unsur hara N dan P tersedia dalam

kosentrasi tinggi, pH rendah, kelembaban tanah terlalu tinggi dan terlalu rendah.

Kelembaban tanah tinggi berhubungan dengan kondisi anaerob, karena mikoriza

arbuskula merupakan obligat aerob. Kelembaban tanah rendah berhubungan

dengan kandungan air pada tanah rendah, yang secara langsung tanaman inang

dan mikoriza arbuskula. Semua faktor-faktor pertumbuhan tanaman inang juga

mempengaruhi perkembangan mikoriza arbuskula (Killham, 1999).

C. Permasalahan tanah ultisol untuk pertanaman kedelai

Utomo (2002) melaporkan bahwa lahan kering di Indonesia cukup luas,

yang telah dijadikan pertanian di Indonesia sekitar 60,7 juta hektar atau 88,6%

dari luas lahan pertanian, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau

11,4% dari luas lahan pertanian. Tanah pertanian lahan kering di Indonesia

umumnya terdiri atas tanah ultisol.

Ultisol tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya

(Hardjowigeno, 2007), mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas

daratan Indonesia (Subagyo, Suharta dan Siswanto, 2004). Sebaran terluas


39
terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha),

Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),

dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Lahan kering podzolik merah kuning beriklim basah didominasi oleh tanah

masam, dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al., 1994).

Oleh karena itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat produktivitasnya

rendah. Status hara tanah pada tanah ultisol sangat rendah (Buurman dan Dai,

1976), dan sangat tergantung pada kandungan bahan organik yang berada pada

lapisan atas yang sifatnya sangat labil dan menurun secara cepat setelah

pembukaan lahan (Sudjadi, 1984). Produktivitas lahan ultisol akan menurun

setelah pertanaman pertama, karena kandungan bahan organik menurun secara

drastis, reaksi tanah semakin masam, kejenuhan Al tinggi (Hakim dan Suwardjo,

1987). Masalah yang dijumpai pada tanah ultisol adalah kemasaman tanah,

miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, rendah kandungan

bahan organik, miskinnya kandungan hara terutama fosfor dan daya menahan air

yang rendah, oleh karena itu pemupukan dan pemberian bahan organik

diharapkan dapat memperbaiki kesuburan tanah ultisol (Soepardi, 1983).

Kekurangan P pada tanah ultisol disebabkan oleh kandungan P dari bahan

induk tanah yang memang sudah rendah, atau kandungan P tinggi tetapi tidak

tersedia untuk tanaman karena diserap dan terikat oleh unsur lain seperti Al dan Fe

dan mineral-mineral liat tanah. Tanah dengan pH rendah, ion P dapat bereaksi

dengan Al dan Fe membentuk mineral seperti dufvenit, vivianit, wavelit, kraudalit,

atau terikat secara absorptif pada permukaan oksida-oksida hidrat besi,

aluminium, dan liat. Bentuk aluminium fosfat meliputi barlinit, varisit, K-taranakit,

dan NH4-taranakit (Lindsay, 1979). Pada tanah masam banyak dijumpai ion Al3+,,
40
Fe3+, dan Mn2+ yang larut dan dapat dipertukarkan. P yang diberikan akan

terjerap oleh permukaan koloid yang mengandung ion Al3+, Fe3+, dan Mn2+

menjadi senyawa yang sukar larut (Hardjowigeno, 2007).

Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan

sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi

tanah. Kesuburan tanah ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan

organik pada lapisan atas dan bila lapisan tersebut tererosi maka tanah menjadi

miskin bahan organik dan hara (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Ultisol umumnya

mengandung bahan organik dan bersifat liat sehingga kemampuan menyangga

pupuk rendah, oleh karena pemupukan pada tanah ultisol tidak efisien (Suwardjo,

Mulyadi dan Sudirman, 1987).

Ultisol miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar

seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka

terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993). Pada umumnya Ultisol

berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Warna tanah dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau

hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang

memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang

memberikan warna kecoklatan hingga merah. Ultisol dicirikan dengan horizon

tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon

argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar

tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan

hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi, Retno dan Hikmatullah,

1993).

41
Reaksi tanah ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5-

3,10), kecuali tanah ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga

agak masam (pH 6,80-6,50). Umumnya ultisol rata-rata mempunyai pH kurang

dari 5,0 (Soepardi, 1992). Kemasaman atau pH optimum untuk larutan tanah

adalah 6,0-7,0 (Mengel dan Kirkby, 1978). Kapasitas tukar kation pada tanah

ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar

antara 2,90-7,50 cmol/kg, 6,11-13,68 cmol/kg, dan 6,10-6,80 cmol/kg, sedangkan

yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg)

(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada

tanah ultisol dari bahan sedimen dan granit (>60%), dan nilai yang rendah pada

tanah ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping (0%). Ultisol dari bahan tufa

mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5-8%), tetapi tinggi

pada lapisan bawah (37-78%).

Kandungan hara pada tanah ultisol umumnya rendah karena pencucian

basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena

proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah ultisol

yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada

bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi

kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation

hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Kandungan bahan

organik tanah ultisol rendah, menyebabkan terhambatnya beberapa golongan

mikroba termasuk bakteri. pH rendah dan kandungan bahan organiknya rendah

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan aktifitas organisma tanah.

42
D. Zeolit

Mineral zeolit berbentuk kristal yang terdapat di dalamnya rongga-rongga.

Zeolit berasal dari kata zein dan lithos yang berarti batu api atau boiling stone

(Hendritomo, 1984). Jumlah cadangan deposit mineral zeolit di Indonesia sekitar

400 juta ton yang tersebar di Provinsi Sumatera Utara (Tapanuli Utara), Sumatera

Selatan (Lahat), Lampung (Lampung Barat dan Lampung Selatan), Jawa Barat

(Sukabumi, Bogor, Tasikmalaya), Banten (Lebak), Jawa Tengah (Banjarnegara),

Jawa Timur (Malang, Pacitan, Blitar, Trenggalek, NTB (Flores), NTT (Sikka),

Maluku dan Sulawesi Selatan (Polmas) (Husaini, 2007).

Zeolit termasuk golongan mineral tektosilikat, yaitu mineral alumino silikat

terhidrasi dengan struktur dalam tiga dimensi yang tidak terbatas dengan rongga-

rongga (Sujarwadi,1997). Di dalam rongga-rongga tersebut terisi oleh ion-ion

logam alkali dan alkali tanah khususnya kalium (K), natrium (Na), kalsium (Ca),

dan magnesium (Mg) serta molekul air dan jumlah air yang berada pada mineral

zeolit bervariasi antara 5-10% (Suwardi, 2002). Molekul air dalam struktur zeolit

dapat bereaksi timbal balik dan mampu melakukan pertukaran kation tanpa

merubah struktur zeolit (Ming dan Mumpton, 1989). Zeolit merupakan mineral

yang berstruktur tiga demensi, bermuatan negatif, yang dapat dinetralkan oleh

logam-logam alkali atau alkali tanah seperti Na+, K+, Ca2+, dan Mg2+. Kation-

kation ini, akan menduduki kisi-kisi permukaan di dalam struktur zeolit yang dapat

dipertukarkan. Selain sebagai penukar kation, zeolit juga berfungsi sebagai

penyerap kation-kation yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan seperti

Pb, Al, Fe, Mn, Zn, dan Cu.

Zeolit merupakan mineral yang berstruktur tiga demensi, bermuatan

negatif, yang dapat dinetralkan oleh logam-logam alkali atau alkali tanah seperti
43
Na+, K+, Ca2+, dan Mg2+. Kation-kation ini, akan menduduki kisi-kisi permukaan

di dalam struktur zeolit yang dapat dipertukarkan. Selain sebagai penukar kation,

zeolit juga berfungsi sebagai penyerap kation-kation yang dapat menyebabkan

pencemaran lingkungan seperti Pb, Al, Fe, Mn, Zn, dan Cu.

Zeolit sebagai pembenah yang diberikan ke dalam tanah dengan jumlah

relatif banyak dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga

produksi pertanian dapat ditingkatkan (Torii, Hotta, and Asaka, 1979; Townsend,

1979; Pond dan Mumpton, 1984; Suwardi, 2007). Sifat khas adalah memiliki pori-

pori yang terisi ion-ion K, Na, Ca, Mg dan molekul H2O, sehingga memungkinkan

terjadinya pertukaran ion dan pelepasan air secara bolak-balik. Zeolit mempunyai

kerangka terbuka dengan jaringan pori-pori yang mempunyai permukaan

bermuatan negatif dapat mencegah pencucian unsur hara NH4+, -Urea dan kation

K+, -KCl keluar dari daerah perakaran, sehingga pupuk Urea dan KCl yang

diberikan lebih efisien. Aplikasi zeolit tidak sama dengan pembenah tanah lainnya

(kaptan dan gypsum), sebab zeolit tidak mengalami kerusakan dan jumlahnya

masih tetap dalam tanah untuk meretensi unsur hara.

Aplikasi zeolit berikutnya akan lebih memperbaiki kemampuan tanah untuk

menahan unsur hara dan memperbaiki hasil. Zeolit tidak asam dan

penggunaannya dengan pupuk dapat menyangga pH tanah, sehingga dapat

mengurangi takaran kapur. Pemberian zeolit tidak hanya digunakan sebagai

pembawa hara tanaman, tetapi juga sebagai perangkap logam-lagam Cu, Cd, Pb

dan Zn sehingga masuknya kedalam rantai makanan dicegah atau berkurang

(Fuji, 1974).

Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H2O) apabila

dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut, akan tetapi
44
kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan secara nyata. Di sini molekul H 2O

seolah-olah mempunyai posisi yang spesifik dan dapat dikeluarkan secara

reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben dan penyaring molekul, dimungkinkan

karena struktur zeolit yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah

besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya.

Selain itu, kristal zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif

dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang tinggi.

Zeolit sangat baik sebagai suatu tempat penyimpanan air, memperpanjang

penyediaan kelembaban (kadar air) selama masa-masa kering. Zeolit juga dapat

mempercepat proses pembasahan kembali (re-wetting) dan memperbaiki

penyebaran lateral air ke dalam sumber irigasi. Hasilnya dapat menyimpan air

dalam jumlah yang diperlukan pada irigasi. Lebih lanjut, kapasitas absorpsi yang

tinggi membuat zeolit digunakan sebagai pembawa (carrier) dari pestisida-

pestisida pertanian (Polat et al., 2004).

Sifat kimia zeolit yang sering dimanfaatkan dibidang pertanian adalah sifat

adsorbsi dan sifat pertukaran kation. Pertukaran kation zeolit pada dasarnya

adalah fungsi dari derajat substitusi silika oleh aluminium dalam struktur kristal

zeolit. Semakin banyak jumlah aluminium menggantikan posisi silika, maka

semakin banyak muatan negatif yang dihasilkan, sehingga makin tinggi

kemampuan tukar kation zeolit tersebut (Mumpton, 1999). Struktur zeolit yang

terbentuk menghasilkan muatan netto negatif oleh kehadiran Al dipusat tetraeder

dan diimbangi oleh kation dan alkali tanah dalam pori yang ada. Kation-kation

yang dapat dipertukarkan dari mineral zeolit tidak terikat secara kuat dalam

kerangka kristal yang berbentuk tetraeder, oleh karena itu zeolit mempunyai

kapasitas tukar kation yang tinggi (200 - 300 meq 100g-1) (Husaini, 2002).
45
Kapasitas tukar kation dari zeolit ini terutama merupakan fungsi dari tingkat

penggantian atom aluminium (Al) terhadap silikon (Si) dalam struktur kerangka

zeolit (Mumpton, 1999).

Prihatini, Moersidi dan Hamid (1987) melaporkan bahwa zeolit sebagai

pembenah tanah dengan takaran ≥ 1.000 ppm atau ≥ 2 ton/ha dapat

meningkatkan KTK tanah mineral masam. Perbaikan struktur tanah dan daya

pegang tanah terhadap air karena sifat fisik zeolit yang berongga, sehingga

pemberian zeolit pada tanah bertekstur liat dapat memperbaiki struktur tanah,

pori-pori udara tanah ditingkatkan, sedangkan zeolit yang diberikan pada tanah

berpasir dapat meningkatkan daya pegang tanah terhadap air (Al-Jabri, 2008).

Takaran zeolit yang diberikan bergantung pada tingkat degradasi lahan dari

ringan sampai berat sebanyak 5-20 ton ha-1 jika zeolit disebar dan masuk

kedalam tanah pada luas lahan 1 hektar (panjang 100 m x lebar 100 m x dalam

0.20 m), sehingga keuntungan dari analisis ekonomi jangka pendek relatif masih

rendah (Al-Jabri, 2008). Oleh karena itu, masalah ini diantisipasi dengan cara

menempatkan zeolit di daerah perakaran, sehingga takarannya diprediksi sekitar

200 – 600 kg ha-1 setiap kali tanam selama 5 tahun (Al-Jabri, 2008).

E. Perbaikan produktivitas tanah ultisol

Masalah yang dijumpai pada tanah ultisol adalah kemasaman tanah yang

tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, rendah

kandungan bahan organik, miskinnya kandungan hara terutama fosfor daya

menahan air yang rendah, kandungan Al dan Fe tinggi, dan mineral-mineral liat

tanah oleh karena itu pemupukan dan pemberian bahan organik diharapkan dapat

memperbaiki kesuburan tanah ultisol (Soepardi, 1983).

46
Pemberian bahan organik di dalam tanah akan membantu mengurangi

erosi, mempertahankan kelembaban tanah, mengendalikan pH tanah,

memperbaiki drainase, mencegah pengerasan dan retakan, menigkatkan KTK

dan meningkatkan aktivitas biologi Tanah (Vidyarthy dan Misra, 1982). Tanah

Lapisan atas lahan kering yang baik untuk pertumbuhan tanaman mengandung

45% bahan mineral, 5% bahan organik, 20% sampai 30% air, dan 20% sampai

30% udara (Hardjowigeno, 2007). Serasah tanaman, baik yang baru maupun

yang sudah melapuk, merupakan sumber bahan organik terbesar tanah.

Walaupun kandungan bahan organik tanah relatif kecil, yaitu hanya sekitar 5%,

pengaruhnya cukup besar. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisika, kimia,

dan biologi tanah, baik langsung maupun tidak langsung.

1. Perbaikan sifat fisika tanah

Untuk memperbaiki kondisi fisik tanah ultisol dapat diupayakan dengan

perbaikan stabilitas agregat tanah, perbaikan aerasi tanah yang memadat.

Erfandi, Kurnia dan Juarsah (2004) melaporkan bahwa pemberian bahan organik

pada tanah ultisol dapat memperbaiki berat isi, pori aerasi, air tersedia, dan

stabilitas agregat tanah lapisan 0-20 cm. Bahan organik berupa sisa-sisa

tanaman, pupuk organik dapat menambah kandungan bahan organik tanah,

sedangkan bahan organik itu sendiri merupakan bahan paling aktif di dalam

tanah.

Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam humat yang berfungsi

sebagai bahan perekat antar partikel tanah (Soepardi, 1983). Bahan organik juga

dapat memperbaiki tanah berstruktur kompak karena bahan organik dapat

mengurangi daya ikat antar partikel tanah (Sumadi, Pasaribu dan

Izumiyama.,1989). Asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik dapat


47
mengikat logam Al dan Fe sehingga membebaskan P yang terikat oleh Al dan Fe.

Bahan organik di dalam tanah dapat mengabsorbsi kation-kation, yaitu Mn, Zn,

Cu, dan Fe. Bahan organik tanah merupakan energi utama sebagian

mikroorganisme tanah, terutama golongan dekomposer. Perombakan kompos

oleh mikroba tanah akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti karbohidrat,

protein, asam amino, dan berbagai asam organik yang merupakan sumber energi

mikroba.

Dekomposisi bahan organik dari tanaman dapat menghasilkan humus

yang berperan aktif untuk memperbaiki struktur tanah, meningkatkan porositas

tanah, memperbaiki drainase, meningkatkan kemampuan mengikat air,

menurunkan bobot isi, mempertahankan stabilitas suhu tanah, dan meningkatkan

kapasitas tukar kation. Humus sebagai hasil akhir dekomposisi bahan organik

tanah merupakan hasil sintesis dari jasad mikro. Humus biasanya bersifat koloid

dengan kemampuan menahan air dan hara melebihi kemampuan liat. Humus

mempunyai KTK tinggi yaitu 150 sampai 300 cmol kg-1, sedangkan liat hanya 80

sampai 90% dari bobotnya (Soepardi, 1983).

Sifat kimia zeolit dapat dimanfaatkan dibidang pertanian karena sifat

adsorpsi dan sifat pertukaran kation. Aplikasi zeolit pada tanah ultisol dapat

meningkatkan produktifitas tanah ultisol karena dapat meningkatkan KTK tanah,

karena zeolit mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (200 - 300 meq 100g-
1
) (Husaini, 2002). Kapasitas tukar kation dari zeolit ini terutama merupakan fungsi

dari tingkat penggantian atom aluminium (Al) terhadap silikon (Si) dalam struktur

kerangka zeolit (Mumpton, 1999).

48
2. Perbaikan sifat kimia tanah

Pupuk organik merupakan sumber hara kompleks karena selain

mengandung unsur hara makro, juga unsur hara mikro. Dekomposisi bahan

organik oleh mikroorganisme akan melepaskan sejumlah unsur hara dan hormon

tumbuh yang dibutuhkan tanaman. Asam-asam organik hasil dekomposisi bahan

organik tanaman dapat mengikat logam Al dan Fe sehingga membebaskan P

yang terikat oleh Al dan Fe. Kemampuan asam organik dalam mengikat Al dan Fe

dan melepaskan P sangat ditentukan oleh gugus karboksilnya (Soepardi, 1983).

Asam organik seperti asam sitrat, asam malonat, asam oksalat, asam tartrat, dan

asam malat sangat efektif bereaksi dengan Al dan Fe. Dengan demikian,

pemberian bahan organik cukup efektif menekan kelarutan Al yang dapat

merugikan pertumbuhan tanaman. Pemberian humus 2% dapat menekan Al aktif

sebanyak 40% (Hasse, 1984).

Dekomposisi bahan organik tanaman juga menghasilkan senyawa bukan

humus, yaitu karbohidrat, protein, asam amino, lemak lilin, alkaloid, dan asam

organik dengan bobot molekul rendah. Humus merupakan komponen utama

bahan organik dan dekomposisinya berjalan sangat lambat. Bahan organik di

dalam tanah dengan komposisi kimia yang berbeda sangat aktif dalam

pertukaran kation (Stanley, 1984). Selanjutnya ditambahkan bahwa bahan organik

di dalam tanah dapat mengabsorbsi kation-kation, yaitu Mn, Zn, Cu, dan Fe

(Soepardi, 1983). Bahan organik penting sebagai gudang penyimpan dan

pengatur pelepasan unsur hara dalam tanah. Umumnya bahan organik bermuatan

negatif sehingga mempunyai kapasitas adsorbsi 250 mg sampai 450 mg per 100

gr bahan. Selain itu, bahan organik dapat bertindak sebagai penyangga di dalam

larutan tanah.
49
3. Perbaikan sifat biologi tanah

Bahan organik tanah merupakan energi utama sebagian mikroorganisme

tanah, terutama golongan dekomposer. Perombakan bahan organik oleh mikroba

tanah akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti karbohidrat, protein, asam

amino, dan berbagai asam organik yang merupakan sumber energi mikroba.

Bahan organik, selain merupakan sumber energi mikroba, juga mengeluarkan zat

spesifik seperti kuinon atau benzokuinon yang dapat meningkatkan kapasitas

adsorbsi dan perpanjangan akar tanaman. Hasil dekomposisi bahan organik

ternyata dapat mengurangi penyakit akar. Bahan organik juga merupakan sumber

N dan C bagi mikroba tanah, terutama golongan kemoheterotrof (Soedarsono,

1982). Tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi berkolerasi positif

dengan jumlah dan aktivitas mikroba tanah. Tanah lapisan tanah atas biasanya

mempunyai jumlah mikroorganisme tanah yang lebih banyak dibandingkan

dengan lapisan tanah bawah yang kurang mengandung bahan organik.

Bahan organik tanah merupakan energi utama sebagian mikroorganisme

tanah, terutama golongan dekomposer (Subowo, 2010). Perombakan bahan

organik oleh mikroba tanah akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti

karbohidrat, protein, asam amino, dan berbagai asam organik yang merupakan

sumber energi mikroba (Subowo, 2010). Mikroba tanah sangat penting untuk

memperbaiki sifat biologi tanah. Tanpa adanya aktivitas organisme tanah, bahan

organik tetap utuh atau tidak terurai di dalam tanah, dan dapat mengganggu

produksi tanaman.

Bahan organik dapat meningkatkan kehadiran mikrofauna tanah, misalnya

cacing-cacing tanah. Cacing dapat meningkatkan unsur hara tanah melalui

pelepasan sisa-sisa metaboliknya ke tanah, meningkatkan porositas tanah melului


50
lubang-lubang tanah yang dibentuk, menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan

potensi ketersediaan air bagi tanaman (Subowo, 2010). Pemberian cacing tanah

dan bahan organik sampai pada lapisan argilik tanah ultisol dapat meningkatkan

pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai, karena aktivitas cacing tanah

meningkatkan aerasi tanah, yang selanjutnya meningkatkan populasi Rhizobium

dalam bintil akar kedelai yang selanjutnya untuk melakukan aktivitas penambatan

N (Subowo et al., 2002).

Pemberian bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroba tanah.

Populasi mikroba dalam tanah dapat mempercepat proses mineralisasi bahan

organik, hara yang terkandung dalam bahan organik dilepaskan menjadi hara

yang tersedia bagi tanaman baik hara makro maupun hara mikro. Selama

dekomposisi bahan organik unsur hara Na, Ca, Mg, dan K terus dilepaskan

sebagai kation bebas, Fe dan Al dalam ikatan oleh asam-asam organik, dan N

diasimilasi dalam sel mikroba (Coleman dan Crossley, 1995). Aplikasi beberapa

organisme tanah mampu memanfaatkan hara dari udara seperti N bebas yang

hidup bebas ataupun yang bersimbiosis dengan tanaman dan selanjutnya N

tersebut menjadi tersedia bagi tanaman. Bakteri yang hidup bebas adalah

Azotobacter, dan bakteri yang bersimbiosis dengan tanaman legum adalah

Rhizobium.

51
F. Kerangka pikir penelitian

Kedelai
Keledai

Pangan Nasional,
Kebutuhan dalamNegeri
Kebutuhan Dalam negeri
tidak tidak
cukup, produksi
Cukup
rendah

Ultisol
Ultisol
luas

Lahan
Luasanmarginal cukup
Lahan Marginal Ketersediaan air
Ketersediaan Air Kesuburan tanah
Kesuburan Tanah
tersedia
Cukup Tersedia tanah
Tanah terbatas
Terbatas rendah
Rendah

 Ketersediaan
KetersediaanHara
hara tanah
Tanah rendah
Rendah
 Bahan organikRendah
Bahan Organik rendah
 Sifat fisika, Kimia,
Sifat Fisika, kimia, Biologi
biologi Tanah
tanah
jelek
Jelek

Produktivitas lahanultisol
Produktivitas lahan ultisol
Rendah
rendah

Perbaikan :
Azotobacter sp.

 Mikoriza
Azotobacter sp.
 Mikoriza
 Kompos
 Kompos
 Zeolit
 Zeolit


Tersedia lahan Pertanian


Tersedia Lahan pertanian
untuk Pertanaman
Untuk budidaya kedelai
Kedelai

Produktivitas
Peningkatan kedelai pada
Pertumbuhan dan
Produksi Kedelai pada Tanah
tanah ultisol ditingkatkan
Ultisol

Gambar 3. Kerangka pikir penelitian

52
G. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Percobaan tahap I

3. Terdapat perbedaan pengaruh inokulasi Azotobacter sp. terhadap

pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro dan Grobogan pada

tanah ultisol.

4. Terdapat perbedaan pengaruh inokulasi Mikoriza terhadap pertumbuhan dan

produksi kedelai varietas Anjasmoro dan Grobogan pada tanah ultisol.

5. Terdapat interaksi antara keduanya dalam mempengaruhi pertumbuhan dan

produksi kedelai varietas anjasmoro dan grobogan.

Percobaan tahap II

4. Terdapat perbedaan pengaruh inokulasi kombinasi Azotobacter sp.+ mikoriza

terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro pada tanah

ultisol.

5. Terdapat perbedaan pengaruh pemberian kompos terhadap pertumbuhan

dan produksi kedelai varietas Anjasmoro pada tanah ultisol.

6. Terdapat interaksi kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza dan kompos dalam

mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedela varietas Anjasmoro.

53
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Percobaan Tahap I

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Percobaan tahap I dilaksanakan selama 6 bulan mulai Juli sampai dengan

Desember 2013, di rumah plastik berlokasi di Kampus Universitas Haluoleo

Kendari.

2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas anjasmoro dan grobogan

yang diperoleh dari Balai benih Yogyakarta; mikoriza yang digunakan adalah

mikoriza indigenous di daerah Sindang Kasih Kecamatan Ranomeeto Konawe

Selatan. yang koleksi Halim (2009).

Azotobacter sp. diperoleh dari Laboratorium Agroteknologi dan IHPT Fakultas

Pertanian Universitas Halu Oleo. Isolasi rizobacteri (Azotobacter sp.) isolat LP7

penfiksasi nitrogen dari sampel tanah ultisol yang diperoleh dari Desa Endanga

Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan. Pertimbangan menggunakan

isolat ini karena memiliki nilai absorbansi (OD) tertinggi dari semua isolat yang

diperoleh yaitu 0,661dan Diameter Zona Halo (cm) 1,2; mampu stabil pada pH

5,6,dan 7. Berdasarkan uji pemacu pertumbuhan isolat LP7 pada tanaman

jagung dan kedelai ini memicu daya kecambah ± 98,3 % dan memiliki

kemampuan menghasilkan IAA sebesar 1,706 ppm (Uji Laboratoriun pada

Laboratorium Agroteknologi dan IHPT Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo);

Kapur dolomit {CaMg(CO3)2}; kompos; furadan; cypermax, polibag hitam/kantung

plastik ukuran 25 x 30 cm; pupuk urea, pupuk KCL, pupuk SP36, timbangan

elektrik ketelitian 0,01 gr. neraca ohaus (ketelitian 0,001 gram), oven, sprayer.
54
Tanah ultisol yang digunakan sebagai media tumbuh diambil dari lokasi

Laboratorium Lapangan Fakultas Peternakan Universitas Haluoleo

3. Metode

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial

yang terdiri dari 3 faktor. Faktor I adalah Azotobacter sp. dengan 3 taraf, yaitu

tanpa Azotobacter sp (A0), Azotobacter sp dengan kerapatan 103 CFU mL-1 (A1),

dan Azotobacter sp dengan kerapatan 106 CFU mL-1 (A2); Faktor II adalah

Mikoriza dengan 4 perlakuan yaitu tanpa pemberian Mikoriza (M0), pemberian

Mikoriza 10 gram (M1), pemberian Mikoriza 20 gram (M2) dan pemberian

Mikoriza 30 gram (M3). Faktor III adalah varietas kedelai terdiri dari 2 varietas

yaitu varietas Anjasmoro (VA) dan Grobogan (VG). Keseluruhan terdapat 24

kombinasi perlakuan, dengan 4 ulangan. Jadi secara keseluruhan terdapat 96

polibag. Kedelai yang dicobakan adalah varietas yaitu anjasmoro dan grobogan

dengan pertimbangan bahwa kedua varitas tersebut adalah kedelai unggul

nasional yang potensi produksinya lebih dari 2,0 ton/ha (Suhartina, 2005,

Litbang Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, 2010) .

4. Pelaksanaan Percobaan

Analisis tanah

Analisis tanah percobaan tahap I: pH, C-organik, N-total, P-total, P-tersedia, K-

total, K-tersedia, KTK, Ca, Mg, Na, Al-dd, Fe, kadar pasir, debu, liat, dan kelas

tekstur. Analisis tanah dilakukan pada UPT Laboratorium terpadu Universitas

Halu Oleo.

Perbanyakan mikoriza
55
Mikoriza selanjutnya diperbanyak dengan cara sebagai berikut : (1) tanah yang

menjadi media tumbuh dijemur dan dikering anginkan dalam rumah plastik

selama 14 hari dengan suhu siang dalam rumah plastik 320C-380C, (2) tanah

yang telah disiapkan sebanyak 6 kg dimasukan dalam polibag ukuran 25x30 cm

sebanyak 80 polibag, (3) benih jagung direndam selama 6 jam, dan dilanjutkan

dengan pencucian alkohol 70 % selama 1 menit, (4) propagul endomikoriza

dimasukan dalam polibag dengan kedalaman 5 cm, (5) dilakukan penanaman

benih jagung 3 biji/polibag, (6) dilakukan penyiraman sekali seminggu sampai

berumur 30 hari, (7) setelah jagung berumur 30 hari bagian atas jagung dipotong

dan dibiarkan selama 3 hari, (8) polibag dibongkar untuk mengambil tanah

bersama akar tanaman. Tanah bersama akar tanaman disebut propagul. Propagul

yang diinokulasikan pada tanaman kedelai.

Penyiapan media tumbuh pada polibag

Tanah ultisol yang diambil pada kedalaman 0-20 cm, diambil di Laboratorium

Lapangan Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo. Selanjutnya tanah

dikeringkan dengan dijemur pada matahari dalam rumah plastik selama 3 minggu

dengan suhu siang hari 380C, dihaluskan dan disaring dengan menggunakan

saringan pasir. Tanah sebanyak 6 kg dimasukan dalam polibag, kemudian

ditambahkan dengan dengan kompos sebanyak 12 gram atau setara dengan 4 ton

ha-1, kapur dolomit sebanyak 9 gram atau setara dengan 3 ton ha-1, pupuk dasar

yaitu pupuk urea, KCl, dan SP36 masing-masing sebanyak 0,225 gram/polibag

atau setara dengan 75 kg ha-1, furadan 72 mg (setara dengan 17 ton ha-1, yang

diberikan 7 hari sebelum tanam.

Penyemaian benih kedelai varietas anjasmoro dan grobogan pada polibag

56
Benih kedelai varietas anjasmoro dan grobogan direndam dalam air selama 6

jam, kemudian dikering anginkan. Ke dalam tanah dalam setiap polibag

ditanamkan tiga butir benih kedelai disertai pemberian perlakuan mikoriza dengan

4 taraf yaitu tanpa pemberian mikoriza (M0), pemberian mikoriza 10 gram (M1),

pemberian mikoriza 20 gram (M2) dan pemberian mikoriza 30 gram (M3). Pada

umur 9 hari setelah tanam, tanaman kedelai yang tumbuh dijarangkan sehingga

hanya satu tanaman yang tumbuh terus. Pada hari ke 10 setelah tanam tanaman

kedelai akan diinokulasi dengan Azotobacter sp dengan 3 taraf yaitu tanpa

Azotobacter sp (A0); Azotobacter sp dengan kerapatan 103 CFU mL-1 (A1), dan

Azotobacter sp dengan kerapatan 106 CFU mL-1 (A2), inokulasi Azotobacter sp.

masing-masing sebanyak 20 cc; pesemaian dipolibag kemudian disiran setiap dua

hari dengan jumlah air yang sama pada semua polibag (penyiraman secara

merata).

Pemeliharaan

Pengendalian gulma dilakukan secara manual. Pengendalian hama dan

penyakit daun dengan penyemprotan insektisida dengan merek Cypermax pada

umur 35 hari setelah tanam. Pengendalian hama ulat dilakukan secara manual.

Penyiangan tumbuhan pengganggu di sekitar polibag dilakukan setiap 10 hari

sekali hingga umur 80 hari setelah tanam.

Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah biji masak fisiologis dengan ciri daun sebagian

besar telah menguning atau berumur 80 hari setelah tanam.

5. Pengamatan

Sebagai respon atau variabel dependen dari pengaruh Azotobacter sp dan

Mikoriza adalah pertumbuhan dan produksi kedelai varietas anjasmoro dan


57
grobogan. Parameter yang diamati dan diukur adalah :

a. Biomasa kering akar, biomasa kering batang, biomasa kering daun, biomasa

total

Biomasa kering meliputi akar (g), batang (g) dan daun (g) dan total tanaman

(g). Bahan tanaman dikeringkan dalam oven dengan temperatur 800 C selama

96 jam. Selanjutnya material kering ditimbang dengan timbangan elektrik.

Pengukuran biomasa pada saat panen (82 hari). Biomasa daun diperoleh dengan

cara mengumpulkan semua daun gugur sejak daun gugur pertama sampai daun

yang terbentuk saat panen.

b. Jumlah Cabang

Jumlah cabang dihitung dengan berdasarkan seluruh cabang yang terbentuk,

dilakukan pada saat panen.

c. Produksi Tanaman

Pengukuran produksi dilakukan setelah panen. Panen dilakukan setelah biji

mencapai masak fisiologis yang ditandai dengan sebagian besar daun telah

menguning atau yaitu setelah berumur 82 hari. Produksi tanaman yang diamati

dalam percobaan adalah jumlah polong (buah), jumlah polong pada batang

utama (buah), jumlah polong pada cabang (buah), jumlah polong berisi (buah),

berat polong (g), jumlah biji (seluruh biji yang terbentuk setiap tanaman), berat

biji kering (g), berat 100 biji kering (g) setiap tanaman yang diambil secara acak),

indeks panen, dan kadar protein biji (%).

B. Percobaan Tahap II

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Percobaan tahap II dilaksanakan selama 6 bulan mulai Januari sampai

dengan Juni 2014, pada kebun milik masayarakat berlokasi di Kelurahan


58
Kambu Kecamatan Kambu Kota Kendari. Lahan kebun masyarakat tersebut

secara dominan ditumbuhi oleh alang-alang dan Melastoma sp. Lahan yang

tersebut lima tahun sebelumnya digunakan untuk menanam ubi kayu

sebanyak satu musim penanaman. Setelah itu lahan tersebut diberakan (tidak

digunakan untuk menanam) selama 2 tahun, kemudian diolah kembali dan

ditanami jagung selama satu musim tanam. Tanah tersebut diberakan selama

dua tahun, selanjutnya diolah lagi dan ditanami jagung. Pemilik lahan tidak

menanami tanah tersebut secara terus menerus, oleh karena lahan tersebut

sempit (20 x 40 m 2), pemilik lahan memiliki aktifitas lain, dan juga lahan

tersebut termasuk lahan tidak subur (kurang mendukung pertumbuhan)

2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Anjasmoro yang

diperoleh dari Balai benih Yogyakarta; Mikoriza yang digunakan adalah

Mikoriza indigenous di Kelurahan Sindang Kasih Kecamatan Ranomeeto

Konawe Selatan. Azotobacter sp. yang digunakan adalah Azotobacter sp. di

peroleh dan di perbanyak di Laboratorium Agroteknologi dan IHPT Fakultas

Pertanian Universitas Halu Oleo. Azotobacter sp. tersebut hasil isolasi dari

sampel tanah ultisol di Desa Endanga Kecamatan Landono Kabupaten Konawe

Selatan, Kapur dolomit {CaMg(CO3)2}; kompos; zeolit merek Ze-Agro mesh

250; furadan; cypermax, polibag hitam/kantung plastik ukuran 25 x 30 cm;

pupuk urea, pupuk KCL, pupuk SP36, timbangan elektrik ketelitian 0,01 gr.

neraca ohaus (ketelitian 0,01 gram), oven, sprayer, tendong air dan jaringannya,

kasa pelindung.

3. Metode

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola


59
faktorial yang terdiri dari 2 faktor.

Faktor I adalah Kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza (K) dengan 3

perlakuan, yaitu: kombinasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 103 CFU mL-1

dan Mikoriza 30 gram (K1), kombinasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 104

CFU mL-1 dan Mikoriza 25 gram (K2), dan kombinasi Azotobacter sp. dengan

kerapatan 105 CFU mL-1 dan Mikoriza 35 gram (K3).

Faktor II adalah kompos (P) dengan 4 perlakuan yaitu: tanpa diberi

kompos (P0); pemberian kompos 0,8 kg setiap petak setara dengan 2 ton ha-1

(P1); pemberian kompos 1,6 kg setiap petak setara dengan ton ha-1 (P2);

pemberian kompos 2,4 kg setiap petak setara dengan 6 ton ton ha-1 (P3).

Percobaan ini terdapat 12 kombinasi perlakuan, 6 ulangan. Kedelai yang

ditanam adalah varietas Anjasmoro karena varietas ini merupakan varietas

yang sesuai yang diperoleh dari percobaan tahap pertama. Percobaan tahap II

dilaksanakan pada lahan tanah ultisol dengan petak-petak percobaan yang

berukuran 2 x 2 meter. Keseluruhan petak adalah 72 petak percobaan.

Semua petak kombinasi perlakuan diberikan kapur dolomit sebanyak 1,2

kg setiap petak atau setara dengan 3 ton ha-1 dan diberikan zeolit sebanyak 1,4

kg setiap petak atau setara dengan 3,5 ton ha-1. Pemberian kompos, kapur

dolomit, dan zeolit diberikan 1 bulan sebelum tanam pada petak-petak

percobaan sesuai perlakuan. Pemberian kombinasi Azotobacter sp dan

Mikoriza diberikan sesuai kosentrasi perlakuan yang ditentukan pada saat

tanaman berumur 10 hari setelah tanam, diinokulasi disekitar perakaran setiap

tanaman melalui lubang masing-masing sekitar sedalam 7-10 cm pada seluruh

tanaman pada petak-petak percobaan. Pemberian Azotobacter sp sebanyak

20 cc pertanaman sesuai perlakuan yang telah ditetapkan.


60
4. Pelaksanaan Percobaan

Analisis tanah, analisis kompos.

Analisis tanah percobaan tahap II: pH, C-organik, N-total, P-total, P-

tersedia, K-total, K-tersedia, KTK, Ca, Mg, Na, Al-dd, Fe, kadar pasir, debu, liat,

dan kelas tekstur. Kompos yang digunakan pada percobaan tahap II dianalisis

unsur-unsur makro (% BK) yaitu : N, P, K, C-organik, Ca, Mg, Na. Tanah pada

lahan percobaan tahap II setelah panen kedelai dianalisis kembali : pH, N-total,

P-total, P-tersedia, KTK, Fe, Al-dd, tekstur, pasir, debu, liat dan kelas tekstur.

Persiapan Lahan

Lahan tanam yang digunakan adalah lahan kering (tegalan), dengan

jenis tanah ultisol di Kelurahan Kambu Kecamatan Kambu Kota Kendari. Tanah

dibajak dan diaduk dengan traktor sedalam 20-30 cm, digemburkan secara

manual dengan menggunakan pacul. Dibuat petak percobaan dengan panjang

2 m dan lebar 2 meter sebanyak 72 petak. Setiap petak diantarai parit dengan

lebar 25 cm dengan kedalaman 30 cm. Semua petak diberikan kapur dolomite

1,2 kg setiap petak atau setara dengan 3 ton ha-1 dan diberikan zeolit sebanyak

1,4 kg setiap atau setara dengan 3,5 ton ha-1. Pemberian kompos dengan 4

perlakuan yaitu sebanyak 18 petak tanpa diberi kompos (P0); sebanyak 18

petak diberikan kompos 0,8 kg setiap petak setara dengan 2 ton ha-1 (P1);

sebanyak 18 petak diberikan kompos 1,6 kg setiap petak atau setara dengan 4

ton ha-1 (P2); sebanyak 18 petak diberikan kompos 2,4 kg setiap setara

dengan 6 ton ha-1 (P3). Kapur dolomite, zeolit, dan pupuk organik (kompos),

furadan 68 mg (17 kg ha-1), diberikan pupuk dasar yaitu pupuk urea, KCL, dan

SP36 masing-masing sebanyak 30 gram setiap petak atau setara dengan 75 kg

ha-1 diberikan pada petak-petak percobaan diberikan satu bulan sebelum


61
tanam. Untuk menghindari hama bibit, maka pada saat penanaman benih

diberikan pula Furadan dengan cara mencampurkannya dengan benih.

Penyemaian benih

Cara tanam dilakukan dengan membuat lubang tanam memakai tugal

dengan kedalaman antara 3-4 cm. Setiap lubang tanam diisi sebanyak 3 biji,

dan 9 hari setelah tanam dilakukan penjarangan dengan 1 tanaman setiap

lubang yang dibiarkan tumbuh terus. Penanaman dilakukan dengan jarak

tanam 30 cm x 30 cm, dengan demikian setiap petak terdapat 49 tanaman.

Setelah kedelai berumur 10 hari maka dilakukan inokulasi dengan pemberian

takaran kombinasi Azotobacter sp dan Mikoriza yang telah ditetapkan sesuai

perlakuan. Pemberian dilakukan pada sekeliling tanaman dekat dengan

perakaran dengan cara ditugal pada kedalaman 7-10 cm.

Pemeliharaan

Pada masa perkecambahan dilakukan penyiraman pagi dan sore (tidak

ada hujan pada awal penanaman) sampai pada awal minggu ketiga. Pada saat

tanaman berumur 20 – 30 hari setelah tanam, dilakukan kegiatan penyiangan

terhadap gulma secara manual. Selain itu, dilakukan pula penggemburan

tanah. Penggemburan dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak perakaran

tanaman. Untuk menghindari serangga pemakan maka pada 35 dan 45 HST

dilakukan penyemprotan dengan insektisida merek Cypermax dengan 10 ml

per 20 liter air.

Pemanenan

Pemanenan dilakukan pada 90 umur setelah tanam dengan tanda-

tanda sebagian besar daun sudah menguning, buah berwarna kecoklatan, atau

polong sudah kelihatan tua yaitu dan batang berwarna kuning agak coklat dan
62
gundul. Pemanenam dilakukan dengan cara memotong batang pada pangkal

batang, selanjutnya mengambil 12 tanaman pada luasan 1 m 2 untuk setiap

petak, dan setiap tanaman (batang dan polong) pada setiap petak dimasukan

kedalam amplok besar. Setelah pemanenan selesai, maka seluruh hasil panen

yang menjadi sampel penelitian dilakukan pengeringan dengan menggunakan

oven pada suhu 80 0C selama 96 jam.

5. Pengamatan dan pengukuran

Sebagai respon atau variabel dependen dari pengaruh Kombinasi

Azotobacter sp + Mikoriza (K) dan kompos (P) adalah pertumbuhan dan

produksi kedelai varietas Anjasmoro. Parameter yang diamati adalah :

a. Biomasa kering batang (g), biomasa kering kulit polong (g), jumlah
cabang, jumlah ruas produktif setelah panen.

Biomasa kering batang adalah berat kering batang beserta cabang-

cabangnya setiap tanaman dalam gram setelah dilakukan pengeringan dengan

oven pada suhu 80 0C selama 96 jam. Berat kering kulit polong adalah berat

dalam gram kulit polong (tanpa biji) dalam gram setelah dilakukan pengeringan

dengan oven pada suhu 80 0C selama 96 jam. Jumlah cabang adalah seluruh

cabang yang terbentuk pada setiap tanaman. Ruas produktif adalah jumlah

ruas pada batang dan cabang tempat keluarnya polong pada setiap tanaman.

b. Jumlah polong (buah), jumlah polong berisi (buah), jumlah polong


hampa (buah), jumlah biji (biji), berat 100 biji (g), berat biji total 12
tanaman (g), hasil biji per hektar (ton ha-1) dan indeks panen setelah
panen.
Panen dilakukan setelah biji mencapai masak fisiologis yang ditandai

dengan sebagian besar daun telah menguning atau yaitu setelah berumur

90 hari. Produksi tanaman yang diamati dalam penelitian adalah jumlah polong
63
(polong/tanaman), jumlah polong berisi (jumlah polong yang berisi biji setiap

tanaman), jumlah polong hampa (jumlah polong yang tidak berisi biji setiap

tanaman), berat polong (berat seluruh polong dalam gram setiap tanaman),

jumlah biji (seluruh biji yang terbentuk setiap tanaman), berat biji kering (berat

seluruh biji kering dalam gram setiap tanaman), berat 100 biji kering (berat 100

biji dalam gram setiap tanaman yang diambil secara acak), berat biji total 12

tanaman (berat seluruh biji dari 12 tanaman dalam gram), indeks panen, hasil

biji per hektar (konversi berat biji dalam ton ha -1 berdasarkan berat biji total 12

tanaman).

C. Teknik Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis

deskriptif yaitu dengan rata-rata. Analisis inferensial yaitu dengan menggunakan sidik

ragam (ANAVA) dengan α 0,05 dan α 0,01 untuk mengetahui pengaruh Azotobacter

sp (A), mikoriza (M), varietas (V) dan interaksinya terhadap pertumbuhan dan

produksi kedelai varietas anjasmoro dan grobogan (percobaan tahap I) dan

mengetahui pengaruh inokulasi kombinasi Azotobacter sp+ Mikoriza (K) dan kompos

(P) terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai varietas anjasmoro. Apabila terjadi

pengaruh perlakuan pada percobaan tahap I dan percobaan tahap II, maka

dilanjutkan dengan uji lanjut BNT dengan taraf uji α 0,05 dan α 0,01 untuk

mengetahui perbedaan pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya.

64
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian tahap I


1. Kondisi lingkungan
Selama pelaksanaan penelitian suhu rata-rata siang hari di dalam rumah

kaca adalah 36-39 0C dengan kelembaban rata-rata 46 %. Suhu di dalam rumah

plastik termasuk tinggi dengan kelembaban yang rendah. Hal ini menyebabkan

tanaman mengalami etiolasi pada varietas Grobogan sehingga tanaman terlihat lebih

tinggi, batang ramping dan lemah, lebar daun cenderung sempit. Untuk varietas

Anjasmoro pertumbuhan vegetatif normal.

2. Mikroba
a. Azotobacter sp.
Azotobacter sp. yang digunakan adalah Azotobacter indigenous diperoleh dari

Laboratorium Agroteknologi dan IHPT Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo,

merupakan isolat LP7 penfiksasi nitrogen dari sampel tanah ultisol yang diperoleh dari

Desa Endanga Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan. Pertimbangan

menggunakan isolat ini karena memiliki nilai absorbansi (OD) tertinggi dari semua

isolat yang diperoleh yaitu 0,661dan diameter zona halo (cm) 1,2; pada uji coba

secara invitro mampu hidup sampai pada suhu ekstrim (40oC), mampu stabil pada pH

5, 6, dan 7 (Nurmas et al., 2014). Berdasarkan uji pemacu pertumbuhan isolat LP7

pada tanaman jagung dan kedelai ini memicu daya kecambah ± 98,3 % dan memiliki

kemampuan menghasilkan IAA sebesar 1,706 ppm (uji laboratoriun pada

Laboratorium Agroteknologi dan IHPT Universitas Halu Oleo).

b. Mikoriza

Mikoriza yang digunakan adalah mikoriza indigenous koleksi Halim (2009).

Berdasarkan pengamatan spora endomikoriza indigenous terdiri atas 3 jenis yaitu :


65
Acaulospora sp., Gigaspora sp., dan Glomus sp. Mikoriza indigenous tersebut

dikoleksi di daerah Sindang Kasih Kecamatan Ranomeeto Konawe Selatan. Menurut

Musfal (2010) bahwa aplikasi mikoriza sebaiknya berasal dari beberapa spesies,

diperbanyak di lapangan atau di rumah kaca dengan menggunakan media batuan

zeolit dan tanaman indikator jagung. Mikoriza diberikan di dekat perakaran tanaman

atau dalam lubang benih.

3. Analisis tanah

Tanah yang digunakan adalah tanah dari Laboratorium Lapangan Fakultas

Peternakan Universitas Halu Oleo, tergolong tanah ultisol. Komponen mineral tanah

tergolong sangat rendah, dengan pH masam, sehingga kurang mendukung

pertumbuhan kedelai. Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat

hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK rendah menyebabkan

tanah kurang menyediakan unsur hara yang dapat diserap tanaman (Hardjowigeno,

2007). Bahan organaik tanah sangat rendah, kandungan fosfat total dan fosfat

tersedia sangat rendah. Analisis tanah ultisol yang digunakan untuk media tumbuh

dapat dilihat pada Tabel 1.

66
Tabel 1. Analisis tanah sebelum penanaman tahap I

No. Parameter Satuan Hasil Uji Kriteria


1. pH - 4,62 Masam
2. C- organik % 1,18 Rendah
3. N-total % 0,78 Tinggi
4. C/N rasio 1,51 Rendah
5. P-total mg/100g 5,55 Sangat rendah
6. P-tersedia ppm 3,29 Sangat rendah
7. K-total mg/100g 8,70 Rendah
8. K-tersedia me/100g 0,31 Rendah
9. KTK me/100g 26,57 Tinggi
10. Ca mg/100g 2,6 Sangat rendah
11. Mg me/100g 0,87 Rendah
12. Na me/100g -
13. Al-dd me/100g 2,32 -
14. Fe me/100g 0,30 -
15. Pasir % 22,53 -
16. Debu % 62,17 -
17. Liat % 15,29 -
18. Kelas tekstur - Lempung -
berdebu
Analisis : di UPT Laboratorium Terpadu, Unit Analitik Universitas Haluoleo, 2014

Berdasarkan Tabel 1, tanah yang digunakan merupakan tanah masam. Nilai

pH tanah menunjukan banyaknya kosentrasi ion hidrogen (H+) dalam tanah. Makin

tinggi kadar ion H+ di dalam tanah maka semakin masam tanah tersebut. Selain ion H +

dalam tanah juga ditemukan ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan

banyaknya ion H+. Semakin banyak kandungan OH - dalam tanah maka semakin

alkalis tanah tersebut. Bila kandungan H+ sama dengan kandungan OH- maka tanah

bereaksi netral yaitu mempunyai pH 7. Pada pH sekitar netral unsur hara mudah

diserap oleh tanaman, karena unsur hara tersebut kebanyakan larut dalam air. Pada

tanah masam unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman karena diikat (difiksasi) oleh
67
Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena

difiksasi oleh Ca. Tanah dengan kondisi masam unsur-unsur mikro juga mudah

menjadi larut, sehingga ditemukan unsur mikro yang terlalu banyak dalam tanah.

Unsur mikro adalah unsur yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang sangat

sedikit, sehingga kalau banyak maka merupakan racun bagi tanaman. Unsur-unsur

mikro tersebut adalah Fe, Mn, Zn, Cu, Co, Mo. Tanah yang terlalu alkalis

mengandung garan tinggi sehingga merupakan racun bagi tanaman (Hardjowigeno,

2007).

Kondisi tanah masam juga mempengaruhi perkembangan mikroorganisme

tanah. Bakteri berkembang dengan baik diatas pH 5,5 dan terhambat

perkembangannya bila pH kurang dari 5,5. pH diatas 5,5 bakteri akan bersaing

dengan jamur. Bakteri pengikat nitrogen dari udara dapat berkembang baik pada pH

diatas 5,5 (Hardjowigeno, 2007).

4. Biomasa kering akar


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas berpengaruh sangat

nyata, sedangkan faktor mikoriza, faktor Azotobacter dan interaksi varietas dan

Azotobacter berpengaruh nyata terhadap biomasa kering akar tanaman (Lampiran 5).

Biomasa kering akar varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan

perbedaan yang sangat nyata, hal ini dapat dilihat dari rata-rata biomasa kering akar

kedua varietas. Varietas Anjasmoro rata-rata biomasa kering akar adalah 1,69 dan

varietas grobogan rata-rata biomasa kering akar adalah 1,12. Biomasa kering akar

varietas Anjasmoro lebih tinggi dibanding biomasa kering akar varietas Grobogan.

Hasil pengamatan terhadap rata-rata biomasa kering akar pada perlakuan kedua

varietas dapat dilihat pada Tabel 2.

68
Tabel 2. Rata-rata biomasa kering akar (g) dua varietas kedelai yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 0.90 1.62 2.07 1.92 1.63a 0.82 0.80 0.85 0.67 0.78a
ab cde e de ab ab ab a
3
A1(10 ) 1.35 2.40 1.82 2.02 1.90a 1.00 1.27 1.02 0.85 1.03a
abc e cde de ab ab ab ab
6
A2(10 ) 1.37 1.42 1.82 1.57 1.55a 1.32 0.85 2.57 1.45 1.55b
abc bc cde cde abc ab e bc
Rata-rata 1.20a 1.81b 1.90b 1.84b 1.69b 1.05a 0.97a 1.48a 0.99a 1.12a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda nyata
pada dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa pada varietas Anjasmoro rata-

rata biomasa kering akar tertinggi adalah pada perlakuan A1M1 yaitu 2,40 dan

terrendah adalah A0M0 yaitu 0,90. Perlakuan Mikoriza rata-rata tertinggi adalah 1,90

(M2), perlakuan Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 1,90 (A1).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata biomasa kering akar

tertinggi adalah 2,57 (A2M2), dan terrendah adalah 0,80 (A0M1). Perlakuan mikoriza

rata-rata tertinggi adalah 1,48 (M2), dan terendah adalah 0,97 (M1). Perlakuan

Azotobacter rata-rata biomasa kering akar tanaman tertinggi adalah 1,55 (A2).

5. Biomasa kering batang

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas memberikan pengaruh

sangat nyata sedangkan faktor Azotobacter memberikan pengaruh nyata terhadap

biomasa kering batang tanaman (Lampiran 5). Analisis terhadap biomasa kering

batang varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan adanya perbedaan,

hal tersebut dapat dilihat pada rata-rata biomasa kering batang pada kedua varietas.

69
Hasil pengamatan terhadap rata-rata biomasa kering batang kedelai varietas

anjasmoro dan varietas grobogan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata biomasa kering batang (g) dua varietas kedelai yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 2.45 2.20 3.37 2.75 2.69a 1.42 1.92 1.42 1.22 1.50a
ab ab bcd ab a a a a
3
A1(10 ) 1.72 4.82 4.70 5.30 4.13ab 2.40 1.90 1.72 2.02 2.01ab
a cd bcd cd ab a a a
6
A2(10 ) 2.52 6.70 4.87 4.45 4.63b 1.97 2.07 2.67 1.75 2.11b
abc d cd bcd a ab abc a
Rata-rata 2.23 4.57 4.31 4.16 3.82b 1.93 1.96 1.94 1.66 1.87a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata dengan taraf uji 5 %.

Varietas Anjasmoro rata-rata biomasa kering batang adalah 3,82 dan varietas

Grobogan rata-rata biomasa kering batang adalah 1,87. Biomasa kering batang

varietas Anjasmoro lebih tinggi dibanding dengan varietas Grobogan.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata biomasa kering batang

tertinggi adalah 6,70 (A2M1), terrendah adalah 1.72 (A1M0). Pada perlakuan mikoriza

rata-rata tertinggi adalah 4,57 (M1), dan terendah adalah M0 (2,23). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 4,63 (A2), dan terendah 2,69 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata biomasa kering batang

tertinggi adalah 2,67 (A2M2) dan terrendah adalah 1,22 (A0M3). Perlakuan mikoriza

rata-rata tertinggi adalah 1,96 (M1) dan terendah adalah 1,66 (M3). Perlakuan

Azotobacter rata-rata biomasa kering batang tertinggi adalah 2,11 (A2) dan terendah

1,50 (A0).

70
6. Biomasa kering daun

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas, faktor mikoriza, dan faktor

Azotobacter memberikan pengaruh sangat nyata terhadap biomasa kering daun,

sedangkan sedangkan interaksi faktor varietas dan mikoriza memberikan pengaruh

nyata terhadap biomasa kering daun (Lampiran 5). Analisis terhadap biomasa kering

batang varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan adanya perbedaan,

hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata biomasa kering batang pada kedua varietas.

Varietas Anjasmoro rata-rata biomasa kering daun adalah 10,095 dan varietas

Grobogan rata-rata biomasa kering daun adalah 4,858. Rata-rata biomasa kering

daun Varietas Anjasmoro biomasa kering daun lebih tinggi dibanding varietas

grobogan. Hasil pengamatan terhadap biomasa kering daun pada perlakuan kedelai

varietas anjasmoro dan varietas grobogan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata biomasa kering (g) daun dua varietas kedelai yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 7.10 4.45 6.37 8.87 6.70a 3.57 4.12 4.70 3.85 4.06a
c a bc d a a a a
3
A1(10 ) 6.40 10.35 15.15 16.95 12.21b 4.95 5.15 4.77 5.40 5.06ab
bc de f f ab ab a bc
6
A2(10 ) 5.17 12.37 16.20 11.75 11.37b 4.75 5.37 6.75 4.90 5,44b
ab e f e a bc c a
Rata-rata 6.22a 9.05ab 12.57b 12.52b 10.09b 4.42a 4.88a 5.40a 4.71a 4.85a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata biomasa kering daun

tertinggi adalah 16,95 (A1M3), terrendah adalah 4.45 (A0M1). Perlakuan Mikoriza

71
rata-rata tertinggi adalah 12,57 (M2) dan terendah adalah M0 (6,22). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 12,21 (A1) dan terendah 6,70 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata biomasa kering daun

tertinggi adalah 6.75 (A2M2) dan terrendah adalah 3,57 (A0M0). Perlakuan Mikoriza

rata-rata tertinggi adalah 5.40 (M2) dan terendah adalah 4,42 (M0). Perlakuan

Azotobacter rata-rata biomasa kering daun tertinggi adalah 5,44 (A2) dan terendah

4,06 (A0).

7. Biomasa kering total


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas, faktor mikoriza, dan faktor

Azotobacter memberikan pengaruh sangat nyata terhadap biomasa kering daun,

sedangkan sedangkan interaksi faktor varietas dan mikoriza memberikan pengaruh

nyata terhadap biomasa kering daun (Lampiran 5).

Analisis terhadap biomasa kering total pada varietas Anjasmoro dan varietas

grobogan menunjukan perbedaan. Hasil pengamatan terhadap rata-rata biomasa

kering total varietas anjasmoro dan varietas grobogan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata biomasa kering total (g) dua varietas kedelai yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 13.07 12.62 19,97 27.05 18.18a 11.15 12.57 17.85 14.90 14.11a
a a cd e a a bc ab
3
A1(10 ) 13.35 34.02 40.42 52 34.95b 15.45 16.17 19.35 21.37 18.08b
a f g h de b cd cd
6
A2(10 ) 19.77 40.02 35.65 33.75 32.30b 17.17 23.77 23.40 15.90 20.06b
c g g f b de de b
Rata-rata 15.40a 28.89b 32.01b 37.60b 28.47b 14.59a 17.50ab 20.20b 17.39ab 17.42a

Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap
varietas tidak berbeda nyata dengan taraf uji 5 %.

72
Varietas Anjasmoro rata-rata biomasa kering total setiap tanaman adalah 28,47

dan varietas Grobogan rata-rata biomasa kering total adalah 17,42. Rata-rata

biomasa kering total varietas Anjasmoro lebih tinggi dibanding varietas Grobogan.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata biomasa kering total

tertinggi adalah 52 (A1M3), terrendah adalah 12,62 (A0M1). Pada perlakuan mikoriza

rata-rata tertinggi adalah 37,60 (M3) dan terendah adalah 15,40 (M0). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 34,95 (A1) dan terendah 18,18 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata biomasa kering total

tertinggi adalah 23,77 (A2M1) dan terrendah adalah 11,15 (A0M0). Perlakuan

mikoriza rata-rata tertinggi adalah 20,20 (M2) dan terendah adalah 14,59 (M0).

Perlakuan Azotobacter rata-rata biomasa kering total tertinggi adalah 20,06 (A2), dan

terendah 14,11 (A0).

8. Jumlah cabang

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas dan faktor mikoriza

memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah cabang, sedangkan interaksi

varietas dan mikoriza berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang (Lampiran 5).

Analisis terhadap jumlah cabang varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan

menunjukan perbedaan jumlah cabang. Varietas Anjasmoro rata-rata jumlah cabang

adalah 6,54 dan varietas Grobogan rata-rata jumlah cabang adalah 4,43. Jumlah

cabang kedelai varietas Anjasmoro lebih banyak dibanding varietas grobogan.

Hasil pengamatan terhadap rata-rata jumlah cabang pada varietas anjasmoro

dan varietas grobogan dapat dilihat pada Tabel 6.

73
Tabel 6. Rata-rata jumlah cabang dua varietas kedelai yang diinokulasi dengan
Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 4 5.25 5.25 7.25 cd 5.43a 4.25 4.25 5.75 3.75 4.50a
a ab ab ab ab b a
3
A1(10 ) 4.50 7.50 9.75 6.25 7ab 5 3.25 4.50 4 4.18a
ab cd d bc ab a ab ab
6
A2(10 ) 6.25 9.25 9 5.25 7.18b 4.25 4.50 5.50 4.25 4.62a
ab d cd ab ab ab b ab
Rata-rata 4.58a 7.33b 8b 6.25ab 6.54b 4.50a 4a 5.25a 4a 4.43a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata jumlah cabang tanaman

tertinggi adalah 9,75 (A1M2) dan terrendah adalah 4,00 (A0M0). Perlakuan Mikoriza

rata-rata tertinggi adalah 8.00 (M2 dan terendah adalah M0 (4,58). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 7,18 (A2), dan terendah 5,43 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata jumlah cabang tertinggi

adalah 5,75 (A0M2), terrendah adalah 3,25 (A1M1). Perlakuan mikoriza rata-rata

tertinggi adalah 5,25 (M2) dan terendah adalah M1 dan M3 adalah 4.00. Perlakuan

A0, A1, dan A2 memberikan pengaruh terhadap jumlah cabang varietas grobogan.

9. Jumlah polong
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas, faktor mikoriza, faktor

Azotobacter dan interaksi varietas dan mikoriza berpengaruh sangat nyata terhadap

jumlah polong (Lampiran 5). Analisis terhadap rata-rata jumlah polong pada kedelai

varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan perbedaan jumlah polong.

Varietas Anjasmoro rata-rata jumlah polong adalah 39.41 dan varietas Grobogan

rata-rata jumlah polong adalah 21.18. Rata-rata jumlah polong varietas Anjasmoro
74
lebih banyak dibanding varietas Grobogan. Hasil pengamatan terhadap rata-rata

jumlah polong varietas Anjasmoro dan varietas grobogan seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata jumlah polong (buah) dua varietas kedelai yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 14.50 17 33.75 48.75 28.50a 13 18 22 14.74 16.93a
ab abc abcd cd a abc abc ab
3
A1(10 ) 14.25 52.50 53.75 69.50 47.50b 21.25 20.50 20,50 22.75 21.25ab
ab de de e abc abc abc abc
6
A2(10 ) 27.25 53 35.50 53.25 42.25ab 19.50 26.25 32.25 25.50 25.37b
abc de cd de abc abc bcd abc
Rata-rata 18.66a 40.83b 41b 57.16b 39.41b 17.91a 21.58a 24.91a 20.33a 21.18a

Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda nyata
pada uji-t dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong tertinggi

adalah 69,50 (A1M3), terrendah adalah 14,50 (A0M0). Pada perlakuan Mikoriza rata-

rata tertinggi adalah 57,16 (M3) dan terendah adalah 18,66 (M1). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 47,50 (A1), dan terendah 28,50 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong tertinggi

adalah 32,25 (A2M2), terrendah adalah 13 (A0M0). Pada perlakuan Mikoriza rata-rata

tertinggi adalah 24,91 (M2 dan terendah adalah 17,91 (M0). Perlakuan Azotobacter

rata-rata tertinggi adalah 25,37 (A2) dan terendah 16,93 (A0).

10. Jumlah polong batang utama

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas berpengaruh sangat nyata

terhadap jumlah polong pada batang utama, sedangkan faktor mikoriza dan interaksi

varietas dan mikoriza berpengaruh nyata terhadap jumlah polong pada batang utama
75
(Lampiran 5). Analisis terhadap jumlah polong pada batang kedelai varietas

Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan perbedaan. Varietas Anjasmoro

jumlah polong pada batang utama adalah 16,08 dan varietas Grobogan rata-rata

jumlah polong pada batang utama adalah 9,50. Jumlah polong pada batang utama

varietas Anjasmoro lebih banyak dibanding varietas grobogan (Lampiran 26). Rata-

rata jumlah polong batang utama pada perlakuan kedelai varietas anjasmoro dan

varietas grobogan dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata jumlah polong (buah) pada batang utama dua yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 6.50 5.25 18.25 23.25 13.31a 10 9.25 8.50 7.75 8.87a
a a abc c ab ab ab ab
3
A1(10 ) 8.25 24 19.75 28.75 20.18a 5.50 9.50 8 14 9.25a
ab c bc c a ab ab abc
6
A2(10 ) 10.75 9.50 14.50ab 24.25 14.75a 11 11 13 6.5 10.37a
ab ab c c ab ab abc a
Rata-rata 8.50a 12.91a 17.50ab 25.41b 16.83b 8.83a 9.91a 9.83a 9.41a 9.50a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata pada dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong pada

batang utama tanaman tertinggi adalah 28,75 (A1M3) dan terrendah adalah 5,25

(A0M1). Perlakuan Mikoriza rata-rata tertinggi adalah 25,41(M3) terendah adalah M0

(8,50). Perlakuan Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 20,18 (A1) dan terendah

13,31 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong pada

batang utama tanaman tertinggi adalah 14 (A1M3), terrendah adalah 5,50 (A1M0).

Perlakuan Mikoriza rata-rata tertinggi adalah 9,91 (M3 dan M1), terendah adalah 8,83
76
(M0). Perlakuan Azotobacter rata-rata jumlah polong pada batang utama tanaman

tertinggi adalah 10,37 (A2) dan terendah 8,87 (A0).

11. Jumlah polong cabang

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas, faktor mikoriza, faktor

Azotobacter dan interaksi varietas dan mikoriza berpengaruh sangat nyata terhadap

jumlah polong (Lampiran 5).

Analisis terhadap jumlah polong cabang varietas Anjasmoro dan varietas

Grobogan menunjukan perbedaan. Varietas Anjasmoro rata-rata jumlah polong

cabang adalah 23,33 dan varietas Grobogan rata-rata jumlah polong cabang adalah

11,66. Rata-rata jumlah polong cabang varietas Anjasmoro lebih banyak dibanding

varietas Grobogan.

Rata-rata jumlah polong cabang varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan

seperti pada Tabel 9.

Tabel 9. Rata-rata jumlah polong (buah) cabang dua varietas kedelai yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 8 11.75 15.50 25.50 15.18a 3 8.75 13.50 7 8.06a
ab ab bc cde a ab abc ab
3
A1(10 ) 6 28.50 34 40.75 27.31b 15.75 10.75 12.50 8.75 11.93b
ab de de e bc ab abc ab
6
A2(10 ) 16.50 43.50 21 29 27.50b 8.50 15.25 19.25 17 15b
bc e cd de ab bc cd cd
Rata-rata 10.16a 27.91b 23.50b 31.75b 23.33b 9.08a 11.58ab 15.08b 10.91ab 11.66a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata dengan taraf uji 5 %.

77
Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong cabang

tertinggi adalah 43,50 (A2M1) dan terrendah adalah 8,00 (A0M0). Perlakuan Mikoriza

rata-rata tertinggi adalah 31,75 (M3), dan terendah adalah 10,16 (M0). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 27,50 (A2) dan terendah 15,18 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong cabang

tertinggi adalah 19,25 (A2M2), dan terrendah adalah 3,00 (A0M0). Perlakuan

mikoriza rata-rata tertinggi adalah 15.08 (M2) dan terendah adalah 9,08 (M0).

Perlakuan Azotobacter rata-rata jumlah polong cabang tanaman adalah 15 (A2) dan

terendah 8,06 (A0).

12. Jumlah polong berisi

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas, faktor mikoriza, dan

interaksi varietas dan mikoriza berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong

berisi per tanaman, sedangkan faktor Azotobacter berpengaruh nyata (Lampiran 5).

Analisis terhadap rata-rata jumlah polong berisi kedelai varietas Anjasmoro dan

varietas Grobogan menunjukan perbedaan. Varietas Anjasmoro rata-rata jumlah

polong setiap tanaman adalah 36.02 dan varietas Grobogan rata-rata jumlah polong

adalah 18.45. Rata-rata jumlah polong berisi varietas Anjasmoro lebih banyak

dibanding varietas Grobogan.

Rata-rata jumlah polong berisi varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan

seperti pada Tabel 10.

78
Tabel 10. Rata-rata jumlah polong berisi (buah) dua varietas kedelai yang diinokulasi
dengan Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 13.25 14.50 27.75 46.50 25.25a 12.50 14.25 21.25 13.25 15.31a
(tanpa) ab ab abc cd ab ab ab ab
3
A1(10 ) 11.25 48.75 50 63.25 43.31b 17.25 19 16 20 18.06ab
a cd cd d ab ab ab ab
6
A2(10 ) 26 51 31.25 50.25 39.62ab 17.25 26 28.50 16.25 22b
abc cd bc cd ab abc abc ab
Rata-rata 16.83a 38.08b 36.33b 53b 36.02b 15.66a 19.75a 21.91a 16.50a 18.45a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata pada dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong tertinggi

adalah 63,25 (A1M3), terrendah adalah 11,25 (A1M0). Pada perlakuan mikoriza rata-

rata tertinggi adalah 53 (M3) dan terendah adalah 16,83 (M0). Perlakuan Azotobacter

rata-rata tertinggi adalah 43,31 (A1), dan terendah 25,25 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata jumlah polong berisi

tertinggi adalah 28,50 (A2M2) dan terrendah adalah 12,50 (A0M0). Pada perlakuan

mikoriza rata-rata tertinggi adalah 21,91 (M2) dan terendah adalah 15,66 (M0).

Perlakuan Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 22 (A2) dan terendah 15,31(A0).

13. Berat Polong


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas dan interakasi varietas

dan mikoriza memberikan pengaruh nyata terhadap berat polong per tanaman,

sedangkan faktor mikoriza dan Azotobacter memberikan pengaruh yang sangat nyata

(Lampiran 5). Analisis terhadap rata-rata berat polong varietas Anjasmoro dan

varietas Grobogan menunjukan perbedaan. Varietas Anjasmoro rata-rata jumlah

polong setiap tanaman adalah 12.97 dan varietas Grobogan rata-rata jumlah polong
79
adalah 9,56. Rata-rata berat polong varietas Anjasmoro lebih tinggi dibanding varietas

Grobogan. Rata-rata berat polong varietas anjasmoro dan varietas grobogan dapat

dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rata-rata berat polong (g) dua varietas yang diinokulasi dengan
Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 3.97 4.35 8.15 13.50 7.49a 5.32 5.72 10.87 9.15 7.76a
a a ab bc a ab bc ab
3
A1(10 ) 3.37 16.45 18.75 27.72 16.70b 7.10 7.85 11.82 13.10 9.96ab
a c cd d ab ab bc bc
6
A2(10 ) 10.70 19.52 12.75 15.97 14.73b 9.12 15.47 11.40 7.80 10.95b
ab cd bc c ab c bc ab
Rata-rata 6.18a 13.44ab 13.21ab 19.06b 12.97b 7.18a 9.68ab 11.36b 10.01ab 9.56a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata berat polong tertinggi

adalah 27,72 (A1M3), terrendah adalah 3,87 (A1M0). Pada perlakuan mikoriza rata-

rata tertinggi adalah 19,06 (M3) dan terendah adalah 6.18 (M0). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 16,70 (A1), dan terendah 7,49 (A0)

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata berat polong tertinggi

adalah 15,47 (A2M1), terrendah adalah 3,32 (A0M0). Pada perlakuan mikoriza rata-

rata tertinggi adalah 11,36 (M2) dan terendah adalah 7,18 (M0). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 10,95 (A2) dan terendah 7,76 (A0).

14. Jumlah biji


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas, mikoriza, Azotobacter,

Interaksi varietas dan mikoriza, interaksi mikoriza dan Azotobacter memberikan

80
pengaruh sangat nyata terhadap jumlah biji per tanaman (Lampiran 5). Analisis

terhadap jumlah biji varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan

perbedaan. Rata-rata jumlah biji varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan dapat

dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Rata-rata jumlah biji dua varietas kedelai yang diinokulasi dengan
Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 19.50 16.50 39 83 39.56a 21.50 15.75 37.75 28.25 25.81a
ab a abc de abc a abc abc
3
A1(10 ) 16.75 77.50 77.75 133.5 76.37b 25.75 39.25 38.50 44.25 36.93b
a d de e abc bcd abc abcd
6
A2(10 ) 53.75 92.75 60 82.25 72.18b 30.25 49.25 42.50 17.25 34.81b
bcd de cd de abc bcd abcd a
Rata-rata 30a 62.25a 58.91a 99.66b 62.70b 25.83a 34.75ab 39.58b 29.91ab 32.52a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata dengan taraf uji 5 %.

Varietas Anjasmoro rata-rata jumlah biji adalah 62.70 dan varietas Grobogan

rata-rata jumlah biji setiap tanaman adalah 32,52. Rata-rata jumlah biji varietas

Anjasmoro lebih banyak dibanding varietas Grobogan. Pada varietas Anjasmoro

menunjukan bahwa rata-rata jumlah biji tertinggi adalah 133.50 (A1M3), dan terrendah

adalah 16.50 (A1M0). Pada perlakuan mikoriza rata-rata tertinggi adalah 99,66 (M3)

dan terendah adalah 30 (M0). Perlakuan Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 76,37

(A1) dan terendah 39,56 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata jumlah biji tertinggi

adalah 44,25 (A1M3), terrendah adalah 15,75 (A0M1). Pada perlakuan mikoriza rata-

81
rata tertinggi adalah 39,58 (M2) dan terendah adalah 25,83 (M0). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 36,93 (A1), dan terendah 25,81(A0).

15. Berat biji


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas, mikoriza, Azotobacter,

Interaksi varietas dan mikoriza, memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah

biji per tanaman, sedangkan interaksi mikoriza dan Azotobacter memberikan

pengaruh nyata (Lampiran 5). Analisis terhadap berat biji setiap tanaman pada

kedelai varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan perbedaan. Varietas

Anjasmoro rata-rata berat biji setiap tanaman adalah 8,20 dan varietas Grobogan

rata-rata berat biji setiap tanaman adalah 5,62. Rata-rata berat biji varietas Anjasmoro

lebih tinggi dibanding varietas Grobogan. Rata-rata jumlah biji varietas Anjasmoro dan

varietas Grobogan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rata-rata berat biji (g) dua varietas kedelai yang diinokulasi dengan
Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 2.48 2,25 5,41 7.97 4.53a 3.80 2.72 6.97 5.91 4.85a
a a a bc a a abc ab
3
A1(10 ) 2.28 8.80 12.31 18.92 10.58b 4.28 6.80 6.95 6.38 6.10a
a bc bc d a abc abc abc
6
A2(10 ) 5.19 12.85 8.68 11.26 9.49b 5.46 9.07 6.35 2.76 5.91a
a cd bc bc a bc abc a
Rata-rata 3.32a 7.97ab 8.80b 12.72b 8.20b 4.51a 6.20ab 6.76b 5.01ab 5.62a
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata pada uji-t dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata berat biji tertinggi

adalah 18.92 (A1M3), terrendah adalah 2.25 (A0M1). Pada perlakuan mikoriza rata-

82
rata tertinggi adalah 18.92 (M3) dan terendah adalah 3.32 (M0). Perlakuan

Azotobacter rata-rata tertinggi adalah 10.58 (A1), dan terendah 4,53 (A0).

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata berat biji tertinggi

adalah 9,07 (A2M1), terrendah adalah 2,72 (A0M1). Perlakuan mikoriza rata-rata

tertinggi adalah 6,76 (M2), dan terendah adalah 4,51 (M0). Perlakuan Azotobacter

rata-rata tertinggi adalah 6,10 (A1) dan terendah 4,85 (A0).

Pada periode pengisian biji (seed filling period) merupakan fase paling

kritis pada tanaman kedelai dalam mengoptimalkan pencapaian hasil. Bila

pada fase tersebut terjadi kekurangan air, maka akan berpengaruh buruk

terhadap proses pengisian biji. Sejumlah hasil penelitian menyatakan bahwa

kekeringan akan menyebabkan penurunan hasil biji 34-55% (Soegiyatni dan

Suyamto 2000; Suhartina dan Arsyad 2005; Suhartina dan Nur 2005). Lama

pengisian biji menyebabkan terjadinya perbedaan umur masak. Perbedaan umur

masak disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi lengas tanah dan

kesuburan tanah. Pada kondisi lengas tanah yang agak kurang tetapi

unsur hara di dalam tanah mencukupi akan menyebabkan percepatan

umur masak kedelai. Sebaliknya pada kondisi tanah yang lengas tanah di

atas cukup dan terjadi pada fase generative dan pengisian polong, maka umur

masak akan menjadi lebih lama.

16. Berat 100 biji

Berat 100 biji per tanaman kedua varietas tidak dilakukan uji statistik, hal

tersebut disebabkan karena sebagian tanaman menghasilkan biji tidak mencapai 100

biji. Pengukuran berat 100 biji hanya dilakukan satu kali, dengan cara mengumpulkan

seluruh biji tanaman pada masing-masing perlakuan kombinasi dan mengambil

83
secara acak sebanyak 100 biji. Berat 100 biji menunjukkan efektivitas pengisian

polong kedelai pada saat pertumbuhan generatif, menggambarkan aktivitas

fotosintesis dari tanaman kedelai serta ukuran biji. Rata-rata berat 100 biji pada

perlakuan Azotobacter dan perlakuan mikoriza varietas Anjasmoro dan varietas

Grobogan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Berat 100 biji (g) kedelai dua varietas kedelai yang diinokulasi dengan
Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 12.9 14.7 14.3 13.6 13.87 18.9 21.6 20.6 21.0 20.52
3
A1(10 ) 14.3 14.4 15.4 15.6 14.92 18.2 17.7 17.4 18.4 17.92
6
A2(10 ) 13.9 16.2 15.1 15.2 15.10 19.5 18.1 18.2 18.1 18.47
Rata-rata 13.70 15.10 14.93 14.80 14.63 18.86 19.13 18.73 19.16 18.97

Pada Tabel 14 menunjukan bahwa rata-rata berat 100 biji kedua varietas

berbeda yaitu varietas Anjasmoro adalah 14,63 gram dan varietas Grobogan

adalah 18,89 gram. Berat 100 biji kedua varietas Grobogan lebih tinggi dari pada

varietas anjasmoro. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karena perbedaan sifat

genetis. Ukuran biji varietas Anjasmoro lebih kecil dibanding ukuran varietas

Grobogan.

Pada varietas anjasmoro perlakuan tertinggi adalah A1M3 (15,6) dan

terrendah adalah A0M0 (12,9). Berdasarkan berat 100 biji menunjukan bahwa faktor

Azotobacter dengan kerapatan yang meningkat maka akan menyebabkan

peningkatan berat 100 biji, secara berturut-turut yaitu perlakuan A0, A1, dan A2.

Pengaruh faktor mikoriza terhadap rata-rata berat 100 biji menunjukan bahwa

terrendah adalah 13,7 (M0) selanjutnya M1 (15,10) menunjukan peningkatan,

kemudian menurun menjadi 14,93 (M2) dan 14,80 (M3).

84
Pada varietas grobogan perlakuan tertinggi adalah A0M1 (21,6), kemudian

diikuti oleh A0M3 (21,0), dan A0M2 (20,6) dan terrendah adalah A1M2 (17,4).

Berdasarkan rata-rata berat 100 biji menunjukan bahwa pemberian faktor

Azotobacter dengan kerapatan yang meningkat maka akan menyebabkan

penurunan berat 100 biji, secara berturut-turut yaitu

perlakuan A1 (terrendah), A2, dan A0 (tertinggi). Pengaruh faktor mikoriza terhadap

rata-rata berat 100 biji menunjukan bahwa M0 adalah 18,86, selanjutnya M1 (19,13),

kemudian menurun menjadi 18,73 (M2), dan tertinggi 19,16 (M3)

Berat 100 biji varietas grobogan lebih tinggi dari varietas anjasmoro. Berat 100

biji tanaman kedelai dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor

lingkungan berkaitan dengan kebutuhan tanaman untuk pertumbuhan. Nilai bobot 100

biji, seperti dilaporkan oleh Finlay dan Wilkinson (1963) dan Byth, Elsemann, De

Lacy (1976) bahwa bobot 1000 butir lebih dikendalikan oleh faktor genetis,

namun demikian Darsiman (2000) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa

perlakuan pengairan yang dikombinasikan dengan mulsa berpengaruh terhadap

bobot 100 butir, dengan demikian bobot biji dipengaruhi oleh ketersediaan air pada

masa pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan generatif. Potensi genetik tidak akan

tercapai jika tidak didukung oleh faktor lingkungan pertumbuhan.

17. Indeks panen


Indeks panen dalam percobaan ini adalah hasil ekonomis dibagi hasil non

ekonomis. Hasil ekonomis adalah berat biji dan hasil non ekonomis meliputi biomasa

kering akar, batang, daun dan biomasa kering kulit polong.

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa faktor varietas memberikan pengaruh

sangat nyata terhadap indeks panen, sedangkan interaksi varietas dan mikoriza

85
memberikan pengaruh nyata terhadap indeks panen (Lampiran 5). Analisis terhadap

nilai indeks panen kedelai varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan menunjukan

perbedaan. Varietas Anjasmoro rata-rata indeks panen adalah 0,251 dan varietas

Grobogan rata-rata indeks panen adalah 0,315. Indeks panen varietas Grobogan

lebih tinggi dibanding varietas Anjasmoro. Rata-rata indeks panen pada perlakuan

kedelai varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan dapat dilihat pada tabel Tabel 15.

Tabel 15. Rata-rata indeks panen dua varietas kedelai diinokulasi dengan
Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 0.09 0.19 0.23 0.31 0.22a 0.30 0.22 0.38 0.38 0.32a
a ab ab bc bc ab cd cd
3
A1(10 ) 0.15 0.23 0.30 0.35 0.26a 0.26 0.43 0.34 0.28 0.33a
a ab bc cd abc d cd abc
6
A2(10 ) 0.23 0.29 0.22 0.31 0.26a 0.33 0.37 0.27 0.17 0.28a
ab bc ab cd cd cd abc ab
Rata-rata 0.18a 0.23a 0.25a 0.32b 0.25a 0.30a 0.34a 0.33a 0.28a 0.31b
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada rata-rata kedua varietas berbeda sangat nyata
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata-rata pada setiap varietas tidak berbeda nyata
dengan taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi pada setiap varietas tidak berbeda
nyata dengan taraf uji 5 %.

Pada varietas Anjasmoro menunjukan bahwa rata-rata indeks panen tertinggi

adalah 0,35 (A1M3) terrendah adalah 0.09 (A0M0). Perlakuan mikoriza rata-rata

tertinggi adalah 0,32 (M3) dan terendah adalah M0 (0,18). Perlakuan Azotobacter

rata-rata tertinggi adalah A1 dan A2 masin-masing 0,26, terendah A0 masing-masing

0,22.

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa rata-rata indeks panen tertinggi

adalah 0,43 (A1M1), terrendah adalah 0,17 (A2M3). Perlakuan Mikoriza rata-rata

tertinggi adalah 0,34 (M1), terendah adalah 0,28 (M3).

86
18. Kadar protein biji

Kadar protein biji tidak dilakukan uji statistik, hal disebabkan karena dalam

analisis masing-masing perlakuan hanya dilakukan satu kali. Kadar protein biji setiap

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Kadar protein biji (%) dua varietas kedelai yang diinokulasi dengan
Azotobacter sp. dan Mikoriza
Anjasmoro Grobogan
Azoto- Mikoriza Mikoriza
bacter M0 M1 M2 M3 Rata- M0 M1 M2 M3 Rata-
(0g) (10g) (20g) (30g) rata (0g) (10g) (20g) (30g) rata
A0 (tanpa) 38.97 43.23 45.63 36.96 41.19 32.55 26.15 35.23 35.78 32.42
3
A1(10 ) 30.96 36.89 26.42 28.42 30.67 43.96 46.43 30.42 35,49 39.07
6
A2(10 ) 34.96 26.15 34.43 39.9 33.86 34.72 32.56 38.69 40.57 36.63
Rata-rata 34.96 35.42 35.49 35.09 35.24 37.07 35.04 34.78 37.28 36.04
Keterangan : Analisis di UPT Laboraorium Terpadu Universitas Haluoleo, 2014

Pada Tabel 16 menunjukan bahwa kadar protein kedua varietas berbeda.

Pada varietas Anjasmoro kadar protein tertinggi adalah A0M2 (45,63 %) dan

terrendah adalah A2M1 (26,15). Berdasarkan rata-rata kadar protein biji menunjukan

bahwa tanpa pemberian Azotobacter memiliki kadar protein biji tertinggi, kemudian

menurun pada perlakuan A1 dan A2, hal tersebut diduga bahwa unsur N pada

perlakuan A1 dan A2 difokuskan pada pertumbuhan vegetatif dan generatif,

sedangkan pada perlakuan A0 unsur N lebih banyak digunakan untuk membentuk

protein biji, walaupun pertumbuhan dan produksi biji kering rendah. Pengaruh faktor

mikoriza terhadap rata-rata kadar protein biji menunjukan bahwa pemberian mikoriza

dengan takaran berbeda menunjukan kadar protein relatif sama, hal tersebut

disebabkan karena unsur P bukan merupakan penyusun utama protein, tetapi unsur P

mempengaruhi penyerapan unsur hara lain termasuk unsur N. Pada varietas

grobogan kadar protein biji tertinggi adalah A1M1 (46,43), kemudian diikuti oleh A1M0

(43,96), A2M3 (40,57), dan terrendah adalah A0M1 (26,15). Berdasarkan rata-rata
87
kadar protein biji menunjukan bahwa pemberian faktor Azotobacter dengan

kerapatan yang berbeda menunjukan perbedaan kadar protein biji, yaitu tanpa

Azotobacter (A0) 32,427, kemudian meningkat pada perlakuan A1 sebesar 39,075,

selanjutnya menurun pada perlakuan A3 sebesar 36,635. Pengaruh faktor mikoriza

terhadap kadar protein biji menunjukan bahwa tanpa pemberian mikoriza memiliki

kadar protein tertinggi yaitu 37,076 % (M0), kemudian menurun pada pemberian

mikoriza M1 (35,046), M2 (34,78), selanjutnya meningkat lagi menjadi 37,28 (M3).

B. Hasil penelitian tahap II


1. Kondisi lingkungan
0
Selama pelaksanaan penelitian suhu rata-rata siang hari adalah 23-32 C

dengan kelembaban udara 78-89 %.

2. Analisis tanah, analisis kompos


Tanah yang digunakan dalam penelitian tahap II adalah lahan masyarakat di

Kelurahan Kambu Kecamatan Kambu Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Berdasarkan

analisis sifat kimia dan sifat fisik tanah sebelum penanaman dan setelah panen

dapat dilihat pada Tabel 17.

88
Tabel 17. Analisis tanah sebelum penanaman tahap II dan setelah panen tahap II
(lokasi penanaman di Kelurahan Kambu Kota Kendari)

No. Parameter Satuan Hasil Uji Kriteria Hasil Uji Kriteria


Sebelum Setelah
Tanam Tanam
1. pH - 5,14 Masam 5,85 Sedang
2. C- organik % 2,86 Rendah - -
3. N-total % 0.052 Sangat rendah 1,13 Tinggi
4. C/N rasio 55 Sangat tinggi - -
5. P-total mg/100g 8,78 Sangat rendah 30 Sedang
6. P-tersedia ppm 1,11 Sangat rendah 2,78 Sangat rendah
7. K-total mg/100g 4,5 Sangat rendah - -
8. K-tersedia me/100g 0,17 Rendah - -
9. KTK me/100g 7,92 Rendah 65 Sangat tinggi
10. Ca mg/100g 1,32 Sangat rendah - -
11. Mg me/100g 1,84 Sedang - -
12. Na me/100g 0.119 Rendah - -
13. Al-dd me/100g 1,024 - 0,80
14. Fe me/100g 0,32 - 0,0652
15. Pasir % 22,87 - 19,73
16. Debu % 67,69 - 55,29
17. Liat % 4,43 - 24,98
18. Kelas - Lempung - Lempung -
tekstur berdebu berdebu
Analisis : di UPT Laboratorium Terpadu, Unit Analitik Universitas Haluoleo, 2014

Berdasarkan analisis tanah yang dijadikan lokasi penelitian tergolong tanah

ultisol dengan pH masam (5,1), bahan organik rendah (2,86), N-total sangat rendah

(0,052), P-total sangat rendah (8,78), P-tersedia sangat rendah (1,11), K-total sangat

rendah (54,5), K tersedia rendah (0,17), KTK rendah (7,92), Calsium sangat rendah

(1,32), Magnesium sedang (1,8), Natrium rendah (0,119), Al-dd 1,024, Fe 0,32, Pasir

22,87, debu 67,69, liat 9,43 %, dan tanah dengan tekstur lempung berdebu.

Setelah panen kedelai penelitan, tanah dianalisis kembali dengan hasil yaitu:

pH menjadi 5,85 (agak masam), N-total tinggi (1,13), P-total sedang (30), P-tersedia

masih sangat rendah (2,78), KTK meningkat menjadi sangat tinggi (65), Al-dd

89
menurun menjadi 0,80, Fe menurun menjadi 0,0652, struktur pasir menurun menjadi

19,73, struktur debu menurun menjadi 55,69 dan struktur liat meningkat menjadi

24,98.

Peningkatan nilai pH, KTK, peningkatan N, P, penurunan Al dan Fe, dan

meningkatnya fraksi liat disebabkan oleh pengaruh pemberian zeolit, kompos, dan

aplikasi mikoriza dan Azotobacter sp. Analisis kompos yang digunakan dengan

komposisi yaitu: Nitrogen 2,08 (tinggi), Phospor 6,67 (rendah), Kalium 0,62 (tinggi), C-

organik 5,60 (tinggi), KTK 41, 28 (sangat tinggi), Ca 0,029 (sangat rendah), Mg 18,07

(tinggi), Na 0,004 (sangat rendah) dan KTK zeolit 96,2 (sangat tinggi). Analisis

kompos dan KTK zeolit yang digunakan dapat dilihat pada tabel 18

Tabel 18. Analisis kandungan kompos dan KTK zeolit

Parameter Satuan Hasil Uji


No.
Kompos
1. Nitrogen % 2,08 Tinggi
2. Phospor % 6,67 Rendah
3. Kalium % 0,62 Tinggi
4. C-Organik % 5,60 Tinggi
5. C/N Rasio 2,69 Rendah
6. KTK me/100g 41,28 Sangat tinggi
7. Ca % 0,029 Sangat rendah
8. Mg % 18,07 tinggi
9. Na % 0,004 Sangat rendah
Zeolit
10. KTK me/100g 96,2 Sangat tinggi
Analisis : di UPT Laboratorium Terpadu, Unit Analitik Universitas Haluoleo, 2014

Al-dd dan Fe menurun setelah tanam oleh karena pemberian kapur dan zeolit.

pH masam menyebabkan Fosfor (P) terfiksasi oleh Al dan Fe menjadi bentuk P tidak

tersedia bagi tanaman, tetapi dengan inokulasi mikoriza, pemberian kompos dan

zeolit meningkatkan pH sehingga P terikat menjadi P tersedia bagi tanaman dan

masukan P dari kompos organik tidak langsung terfiksasi oleh Al dan Fe pada tanah.

90
Unsur P merupakan energi utama bagi tanaman karena P merupakan bahan untuk

pembentukan energi dan pembentuk DNA dan RNA.

Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg+, K+, Na+, NH4+, H+, Al3+.

Dalam tanah kation-kation tersebut terlarut dalam air atau dijerap oleh koloid-koloid

tanah. Banyaknya kation (miliekivalen) yang dapat dijerap oleh persatuan berat tanah

(biasanya 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation yang telah

dijerap oleh koloid-koloid tanah tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat

diganti oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. Apabila jumlah kation

asam (H+, Al3+) tinggi maka merupakan racun bagi tanaman (Hardjowigeno, 2007).

Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya

dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan

menyediakan unsur hara lebih baik daripada KTK rendah. Tanah dengan kandungan

bahan organik dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah

dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno,

2007).

Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman tanah atau alkalisitas tanah yang

dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH tanah menunjukan banyaknya kosentrasi ion

hidrogen (H+) dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah maka semakin

masam tanah tersebut. Selain ion H+ dalam tanah juga ditemukan ion OH- yang

jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya ion H +. Semakin banyak kandungan

OH- dalam tanah maka semakin alkalis tanah tersebut. Bila kandungan H+ sama

dengan kandungan OH- maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH 7. Pada pH

sekitar netral unsur hara mudah diserap oleh tanaman, karena unsur hara tersebut

kebanyakan larut dalam air. Pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap oleh

tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak
91
dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Ca. Tanah dengan kondisi masam

unsur-unsur mikro juga mudah menjadi larut, sehingga ditemukan unsur mikro yang

terlalu banyak dalam tanah. Unsur mikro adalah unsur yang diperlukan oleh tanaman

dalam jumlah yang sangat sedikit, sehingga kalau banyak maka merupakan racun

bagi tanaman. Unsur-unsur mikro tersebut adalah Fe, Mn, Zn, Cu, Co, Mo. Tanah

yang terlalu alkalis mengandung garan tinggi sehingga merupakan racun bagi

tanaman (Hardjowigeno, 2007). Kondisi tanah masam juga mempengaruhi

perkembangan mikroorganisme tanah. Bakteri berkembang dengan baik diatas pH 5,5

dan terhambat perkembangannya bila pH kurang dari 5,5. pH diatas 5,5 bakteri akan

bersaing dengan jamur. Bakteri pengikat nitrogen dari udara dapat berkembang baik

pada pH diatas 5,5. (Hardjowigeno, 2007).

3. Variabel panen
a. Biomasa kering batang
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap biomasa kering batang kedelai, sedangkan faktor

kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi

Azotobacter sp.+mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap biomasa kering

batang kedelai varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

Rata-rata biomasa kering batang kedelai varietas Anjasmoro yang diberi

perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat

dilihat pada Tabel 19.

92
Tabel 19. Rata-rata biomasa kering batang (g) varietas Anjasmoro yang diberi
perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 6.58 ab 8.80 ab 13.18 bc 13.26 bc 10.46
K2 :(A=104;M=25g) 5.75 a 10.61 b 13.63 bc 15.34 cd 11.33
K3 :(A=105;M=35g) 5.90 a 11.33 b 13.04 bc 18.62 d 12.22
Rata-rata 6.08 a 10.25 b 13.28 c 15.74 d 11.34
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 19, memperlihatkan bahwa biomasa kering batang kedelai

tertinggi adalah pada perlakuan P3K3 (18,62) dan terendah adalah P0K2 (5,75). Rata-

rata tertinggi Perlakuan kompos adalah 15,74 (P3) dan terrendah adalah 6,08 (P0).

Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 12,22 (K3) dan

terrendah adalah 10,46 (K1).

Rata-rata biomasa kering batang semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1

dan 6 ton ha-1 dan meningkatnya pemberian Azotobacterdan Mikoriza.

b. Biomasa kering kulit polong


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap biomasa kering kulit polong, sedangkan faktor

kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi

Azotobacter sp.+mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap biomasa kering

kulit polong kedelai varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

Rata-rata biomasa kering kulit polong tanaman kedelai varietas Anjasmoro

yang diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza

dapat dilihat pada Tabel 20.


93
Tabel 20. Rata-rata biomasa kering kulit polong (g) varietas Anjasmoro yang diberi
perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 10.03 a 13.05 b 14.41 b 15.87 b 13.29
K2 :(A=104;M=25g) 9.75 a 14.28 b 15.19 b 15.70 b 13.73
K3 :(A=105;M=35g) 9.84 a 14.62 b 15.09 b 19.41 c 14.74
Rata-rata 9.87a 13.98b 14.90b 16.93c 13.92
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 59, memperlihatkan bahwa biomasa kering kulit polong

kedelai tertinggi adalah pada perlakuan P3K3 (19,41) dan terendah adalah P0K2

(9,75). Rata-rata tertinggi Perlakuan komposadalah 19,41 (P3) dan terrendah adalah

9,75 (P0). Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza tertinggi adalah 14,74

(K3) dan terrendah adalah 13,29 (K1).

Rata-rata biomasa kering kulit polong semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1

dan 6 ton ha-1 dan meningkatnya pemberian Azotobacter dan mikoriza. Peningkatan

populasi Azotobacter pada perlakuan kombinasi Azotobacter dan mikoriza tidak

meningkatkan biomasa kering kulit polong yang dihasilkan pada perlakuan tanpa

pemberian kompos.

c. Jumlah cabang
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap jumlah cabang, sedangkan faktor kombinasi

Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza dengan

kompos tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah cabang kedelai varietas

Anjasmoro (Lampiran 6).


94
Rata-rata jumlah cabang kedelai varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan

kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat dilihat pada

Tabel 21.

Tabel 21. Rata-rata jumlah cabang varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan
kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 9,47 ab 10.19 abc 11.80 c 11.19 abc 10.66
K2 :(A=104;M=25g) 8.53 a 10.75 abc 11.74 c 10.52 abc 10.38
5
K3 :(A=10 ;M=35g) 9.00 ab 11.47 bc 11.86 c 12.05 c 11.09
Rata-rata 9.00 a 10.80 ab 11.80 b 11.25 b 12.32
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 21 memperlihatkan bahwa jumlah cabang tertinggi adalah

pada perlakuan P3K3 (12,05), dan terendah adalah P0K2 (8,53). Rata-rata tertinggi

perlakuan kompos adalah 11,80 (P2) dan terrendah adalah 9,00 (P0). Perlakuan

kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 11,09 (K3) dan terrendah

adalah 10,38 (K2).

Jumlah cabang menunjukan pertumbuhan tanaman, karena pertambahan

jumlah cabang menunjukan bertambahnya jumlah sel yang terbentuk dan

meningkatnya aktivitas fotosintesis. Rata-rata jumlah cabang semakin meningkat

seiring dengan meningkatnya takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton

ha-1, 4 ton ha-1 dan 6 ton ha-1. Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza

Azotobacter 104 CFU ml-1 dan Mikoriza 25g/tanaman (K2) memberikan pengaruh

jumlah cabang terrendah (10,38) pada umur panen, hal tersebut diduga karena

takaran mikoriza yang diberikan paling sedikit yaitu 25 g/tanaman.

95
d. Jumlah ruas produktif
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap jumlah ruas produktif, sedangkan faktor kombinasi

Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi Azotobacter

sp.+mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah ruas produktif kedelai

varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

Rata-rata jumlah ruas produktif kedelai varietas Anjasmoro yang diberi

perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat

dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Rata-rata jumlah ruas produktif varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan
kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
-1 -1 -1 -1
(0 t ha ) (2 t ha ) (4 t ha ) (6 t ha ) rata
K1: (A=103;M=30g) 20.64 a 25.25 ab 30.36 bc 30.36 bc 26.65
K2 :(A=104;M=25g) 19.91 a 28.16 b 30.91 bc 29.97 bc 27.24
K3 :(A=105;M=35g) 20.22 a 27.61 b 30.44 bc 34.44 c 28.18
Rata-rata 20.25 a 27.00 b 30.57 c 31.59 c 27.35
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 22 memperlihatkan bahwa jumlah ruas produktif tertinggi

adalah pada perlakuan P3K3 (43,44), dan terendah adalah P0K2 (19,91). Rata-rata

tertinggi perlakuan kompos adalah 31,59 (P3) dan terrendah adalah 20,25 (P0).

Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 28,18 (K3) dan

terrendah adalah 26,65 (K1).

Jumlah ruas produktif menunjukan pertumbuhan tanaman, karena

pertambahan jumlah ruas produktif menunjukan bertambahnya jumlah sel yang

terbentuk dan meningkatnya aktivitas fotosintesis. Rata-rata jumlah ruas produktif


96
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya takaran pemberian kompos dan

meningkatnya pemberian kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza.

e. Jumlah polong
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap jumlah ruas produktif, sedangkan faktor kombinasi

Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi Azotobacter

sp.+mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah polong kedelai

varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

Rata-rata jumlah polong kedelai varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan

kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat dilihat pada

Tabel 23.

Tabel 23. Rata-rata jumlah polong (buah) varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan
kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-rata
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1)
K1: (A=103;M=30g) 70.38 ab 92.61 abc 112.50 c 127.97 cd 98.20
K2 :(A=104;M=25g) 66.69 a 99.26 bc 125.22 cd 128.83 cd 105.00
K3 :(A=105;M=35g) 66.61 a 106.86 c 117.25 cd 154.00 d 111.18
Rata-rata 64.34 a 99.57 b 118.32 c 136.93 d 104.79
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 23 memperlihatkan bahwa jumlah polong tertinggi adalah

pada perlakuan P3K3 (154), dan terendah adalah P0K3 (66,61). Rata-rata tertinggi

perlakuan kompos adalah 136,93 (P3) dan terrendah adalah 6,34 (P0). Perlakuan

kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 111,18 (K3) dan terrendah

adalah 98,20 (K1).

97
Polong merupakan merupakan komponen hasil yang penting karena

menentukan hasil biji tanaman kedelai. Jumlah polong dapat menunjukan pesatnya

pertumbuhan kedelai, karena polong merupakan tempat penimbunan hasil-hasil

fotosintesis, oleh karena itu jumlah polong menunjukan pertumbuhan generatif

tanaman.

Rata-rata jumlah polong semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1 dan 6 ton ha-1

dan meningkatnya Azotobacter sp. dan mikoriza. Peningkatan kombinasi Azotobacter

sp. dan mikoriza menyebabkan penurunan jumlah yang dihasilkan pada perlakuan

tanpa pemberian kompos, hal tersebut disebabkan karena pada populasi Azotobacter

terjadi kompetisi terhadap bahan organik, sehingga aktivitas Azotobacter dalam

menfiksasi N menjadi rendah, demikan juga pada Mikoriza tidak optimal untuk

menyediakan P untuk tanaman.

f. Jumlah polong berisi


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong berisi, sedangkan faktor kombinasi

Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi Azotobacter

sp.+mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah polong berisi kedelai

varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

Rata-rata jumlah polong berisi kedelai varietas Anjasmoro yang diberi

perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat

dilihat pada Tabel 24.

98
Tabel 24.Rata-rata jumlah polong berisi (buah) varietas Anjasmoro yang diberi
perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 68,55 ab 91.27 bc 130.69 de 123.97 cde 103.62
K2 :(A=104;M=25g) 65.02 a 101.97 bc 122.22 cd 125.50 cde 103.68
K3 :(A=105;M=35g) 64.80 a 105.52 bc 114.36 bcd 140.69 e 108.59
Rata-rata 66.12 a 99.59 b 122.42 c 133.05 c 105.30
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 24, memperlihatkan bahwa jumlah polong berisi tertinggi

adalah pada perlakuan P3K3 (140), dan terendah adalah P0K3 (64,80). Rata-rata

tertinggi perlakuan kompos adalah 133,05 (P3) dan terrendah adalah 66,12 (P0).

Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 108,59 (K3) dan

terrendah adalah 103,62 (K1).

Rata-rata jumlah polong berisi semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1

dan 6 ton ha-1 dan meningkatnya pemberian kombinasi Azotobacter dan mikoriza.

g. Jumlah polong hampa

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong hampa, sedangkan faktor kombinasi

Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi Azotobacter

sp.+mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah polong hampa

kedelai varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

Rata-rata jumlah polong hampa kedelai varietas Anjasmoro yang diberi

perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat

dilihat pada Tabel 25.


99
Tabel 25. Rata-rata jumlah polong hampa (buah) varietas Anjasmoro yang diberi
perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 1.83 a 1.41 a 2.88 ab 4.13 b 2.56
K2 :(A=104;M=25g) 1.66 a 2.66 ab 3.08 ab 2.77 ab 2.54
K3 :(A=105;M=35g) 1.80 a 2.37 ab 2.33 ab 4.30 b 2.70
Rata-rata 1.76 a 2.15 a 2.76 ab 3.74 b 2.60
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 25 memperlihatkan bahwa jumlah polong hampa tertinggi

adalah pada perlakuan P3K3 (4,30), dan terendah adalah P0K1 (1,83). Rata-rata

tertinggi perlakuan kompos adalah 3,74 (P3) dan terrendah adalah 1,76 (P0).

Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 2,70 (K3) dan

terrendah adalah 2,54 (K2). Jumlah polong hampa meningkat seiring dengan

meningkatnya pemberian jumlah kompos.

h. Jumlah biji
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan

pengaruh sangat nyata terhadap jumlah biji, sedangkan faktor kombinasi Azotobacter

sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah biji kedelai varietas Anjasmoro

(Lampiran 6). Rata-rata jumlah biji kedelai varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan

kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dilihat pada Tabel 26.

100
Tabel 26. Rata-rata jumlah biji varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan kompos
dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 146.69 a 197.58 b 245.27 c 252.77 c 210.58
K2 :(A=104;M=25g) 136.77 a 215.96 bc 250.86 c 258.36 cd 215.49
K3 :(A=105;M=35g) 137.14 a 210.77 bc 240.14 bc 307.50 d 223.88
Rata-rata 140.20 a 208.10 b 245.42 c 272.87 d 216.65
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Tabel 26, memperlihatkan bahwa jumlah biji tertinggi adalah pada perlakuan

P3K3 (307,50) dan terendah adalah P0K2 (136,77). Rata-rata tertinggi perlakuan

kompos adalah 272,87 (P3) dan terrendah adalah 140,20 (P0). Perlakuan kombinasi

Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 223,88 (K3) dan terrendah adalah

210,58 (K1).

Rata-rata jumlah biji semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1 dan 6 ton ha-1

dan meningkatnya pemberian dosis kombinasi Azotobacter dan mikoriza.

Peningkatan populasi Azotobacter pada perlakuan kombinasi Azotobacter dan

mikoriza tidak meningkatkan jumlah biji yang dihasilkan pada perlakuan tanpa

pemberian kompos, hal tersebut disebabkan karena pada populasi Azotobacter terjadi

kompetisi terhadap bahan organik, sehingga aktivitas Azotobacter dalam menfiksasi N

menjadi rendah, demikan juga pada mikoriza tidak optimal untuk menyediakan P

untuk tanaman.

101
i. Berat Biji Total 12 Tanaman
Berat biji total 12 tanaman ditimbang pada kadar air biji 18,92 %. Hasil sidik

ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan pengaruh sangat nyata

terhadap berat biji total 12 tanaman, sedangkan faktor kombinasi Azotobacter

sp.+mikoriza dan interaksi kompos dengan kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah cabang kedelai varietas Anjasmoro

(Lampiran 6).

Rata-rata berat biji total 12 kedelai varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan

kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat dilihat pada

Tabel 27.

Tabel 27. Rata-rata berat biji total 12 tanaman (g) varietas Anjasmoro yang diberi
perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 217.36 a 319.01 bc 375.43 bc 419.13 d 332.73
K2 :(A=104;M=25g) 202.83 ab 351.10 bc 393.28 bc 423.70 d 342.72
K3 :(A=105;M=35g) 196.73 a 339.76 bc 414.65 cd 510.50 d 365.41
Rata-rata 205.64 a 336.62 b 394.45 c 451.11 d 346.95
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Berdasarkan Tabel 66, memperlihatkan bahwa berat biji total 12 tanaman

tertinggi adalah pada perlakuan P3K3 (510,50) dan terendah adalah P0K3 (196,73).

Rata-rata tertinggi Perlakuan komposadalah 451,11 (P3) dan terrendah adalah 205,6

(P0). Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan Mikoriza tertinggi adalah 365 (K3)

dan terrendah adalah 32,73 (K1).

102
Rata-rata berat biji total 12 tanaman semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1

dan 6 ton ha-1 dan meningkatnya dosis pemberian Azotobacter dan mikoriza.

Peningkatan populasi Azotobacter pada perlakuan kombinasi Azotobacter dan

mikoriza tidak meningkatkan berat biji total 12 tanaman yang dihasilkan pada

perlakuan tanpa pemberian kompos, hal tersebut disebabkan karena pada populasi

Azotobacter terjadi kompetisi terhadap bahan organik, sehingga aktivitas Azotobacter

dalam menfiksasi N menjadi rendah, demikan juga pada Mikoriza tidak optimal untuk

menyediakan P untuk tanaman.

j. Berat 100 biji


Berat 100 biji diukur pada kadar air biji kedelai 18,92 %. Hasil sidik ragam

menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan pengaruh sangat nyata terhadap

berat 100 biji, sedangkan faktor kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza dan interaksi

kompos dengan kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap jumlah cabang kedelai varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

. Rata-rata berat 100 biji kedelai varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan

kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat dilihat pada

Tabel 28.

103
Tabel 28. Rata-rata berat 100 biji (g) varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan
kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 13.50 a 14.84 b 15.07 b 16.04 c 14.86
K2 :(A=104;M=25g) 14.46 ab 15.44 bc 14.81 b 15.43 bc 15.03
K3 :(A=105;M=35g) 13.76 a 15.14 b 15.83 c 16.30 c 15.26
Rata-rata 13.91 a 15.14 b 15.24 b 15.92 c 15.05
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Tabel 28 memperlihatkan bahwa berat 100 biji kedelai tertinggi adalah pada

perlakuan P3K3 (16,30) dan terendah adalah P0K1 (13,50). Rata-rata tertinggi

perlakuan kompos adalah 15,92 (P3) dan terrendah adalah 13,91 (P0). Perlakuan

kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 15,26 (K3) dan terrendah

adalah 14,86 (K1).

Rata-rata berat 100 biji semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1 dan 6 ton ha-1

dan meningkatnya pemberian dosis kombinasi Azotobacter dan mikoriza.

j. Produksi biji kering per hektar (ton ha-1)

Konversi produksi biji kering per hektar diukur pada kadar air biji kedelai

18,92 %, dengan diasumsikan jarak taman adalah 30 x 30 cm. Dengan jarak 30 x 30

cm maka jumlah tanaman per hektar adalah 110.889 tanaman (333 x 333). Hasil sidik

ragam menunjukan bahwa dari faktor kompos memberikan pengaruh sangat nyata

terhadap produksi biji kering per hektar, sedangkan faktor kombinasi Azotobacter

sp.+mikoriza dan interaksi kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza dengan kompos tidak

104
memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah cabang kedelai varietas Anjasmoro

(Lampiran 6).

Rata-rata konversi produksi biji kering per hektar (ton) kedelai varietas

Anjasmoro yang diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp.

dan mikoriza dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 memperlihatkan bahwa produksi

biji kering per hektar (ton) tertinggi adalah pada perlakuan P3K3 (4,717) dan

terendah adalah P0K3 (1,817). Rata-rata tertinggi perlakuan kompos adalah 4,168

(P3) dan terendah adalah 1,90 (P0). Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan

mikoriza tertinggi adalah 3,376 (K3) dan terrendah adalah 3,074 (K1).

Tabel 29. Rata-rata produksi biji kering per hektar (ton ha-1) varietas Anjasmoro
yang diberi perlakuan kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp.
dan Mikoriza (hasil konversi)
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 2,008 a 2,947 b 3,469 bc 3,873 c 3,074
K2 :(A=104;M=25g) 1,874 a 3,224 bc 3,634 bc 3,915 c 3,167
K3 :(A=105;M=35g) 1,817 a 3,139 bc 3,831 c 4,717 d 3,376
Rata-rata 1,900 a 3,110 b 3,645 c 4,168 d 3,206
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Rata-rata produksi biji kering per hektar (ton ha-1) semakin meningkat seiring

dengan meningkatnya takaran pemberian kompos yaitu tanpa kompos, 2 ton ha-1, 4

ton ha-1 dan 6 ton ha-1 dan meningkatnya dosis pemberian Azotobacter dan mikoriza.

Peningkatan populasi Azotobacter pada perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan

mikoriza tidak meningkatkan rata-rata produksi biji kering per hektar (ton ha-1) yang

dihasilkan pada perlakuan tanpa pemberian kompos, hal tersebut disebabkan karena

pada populasi Azotobacter terjadi kompetisi terhadap bahan organik, sehingga


105
aktivitas Azotobacter dalam menfiksasi N menjadi rendah, demikan juga pada

mikoriza tidak optimal untuk menyediakan P untuk tanaman. Keadaan demikian

menyebabkan fotosintesis terganggu atau tidak optimal.

k. Indeks panen
Indeks panen dalam hasil penelitian adalah hasil ekonomis dibagi hasil non

ekonomis. Hasil ekonomis adalah berat biji dan hasil non ekonomis meliputi

biomasa kering batang dan biomasa kering kulit polong. Hasil sidik ragam

menunjukan bahwa dari faktor kompos, faktor kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza

dan interaksi kompos dengan kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap indeks panen varietas Anjasmoro (Lampiran 6).

Rata-rata indeks panen kedelai varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan

kompos dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza dapat dilihat pada

Tabel 30.

Tabel 30. Rata-rata indeks panen varietas Anjasmoro yang diberi perlakuan kompos
dan inokulasi kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza
Kompos
Perlakuan P0 P1 P2 P3 Rata-
(0 t ha-1) (2 t ha-1) (4 t ha-1) (6 t ha-1) rata
K1: (A=103;M=30g) 1.28 1.35 1.34 1.41 1.34
K2 :(A=104;M=25g) 1.36 1.39 1.31 1.30 1.34
K3 :(A=105;M=35g) 1.26 1.27 1.39 1.33 1.31
Rata-rata 1.30 1.34 1.35 1.34 1.33
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris rata- rata tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom kombinasi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %

Tabel 30, memperlihatkan bahwa indeks panen tanaman kedelai tertinggi

adalah pada perlakuan P3K1 (1,41) dan terendah adalah P0K3 (1,26). Rata-rata

tertinggi perlakuan kompos adalah 1,35 (P3) dan terrendah adalah 1,30 (P0).
106
Perlakuan kombinasi Azotobacter sp. dan mikoriza tertinggi adalah 1,34 (K3 dan K2)

dan terrendah adalah 1,31 (K3). Berdasarkan nilai indeks panen menunjukan bahwa

rasio komponen ekonomi (biji) dan komponen non ekonomi (komponen selain biji)

pada kedelai merupakan rasio yang konstan tanpa dipengaruhi tingkat pertumbuhan

tanaman. Pertumbuhan kedelai yang rendah maka menyebabkan produksi biji yang

rendah, dan jika pertumbuhan kedelai tinggi maka produksi biji meningkat, dengan

demikian maka indeks panen tidak berbeda pada semua perlakuan.

C. Pembahasan Tahap I
1. Pengaruh Azotobacter sp. dan Mikoriza terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan

Hasil analisis ragam pertumbuhan dan produksi kedelai yang diberikan

perlakuan Azotobacter sp. dan Mikoriza pada varietas Anjasmoro dan varietas Grobogan

menunjukan perbedaan yang sangat nyata. Kedua varietas menunjukan perbedaan

yang sangat nyata pada biomasa kering akar, biomasa kering batang, biomasa kering

daun, biomasa kering total, jumlah cabang, jumlah polong cabang, jumlah polong, jumlah

polong berisi, jumlah biji, berat biji, dan indeks panen, dan berbeda nyata pada berat

polong. Tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 menunjukan bahwa pertumbuhan

dan produksi varietas Anjasmoro lebih tinggi dibanding varietas Grobogan pada variabel

biomasa kering akar, biomasa kering batang, biomasa kering daun, biomasa kering

total, jumlah cabang, jumlah polong cabang, jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah

biji, berat biji. Tabel 14, 15, dan 16 menujukan bahwa pada variabel berat 100 biji,

indeks panen, dan kadar protein varietas Grobogan lebih tinggi dibanding varietas

Anjasmoro. Perbedaan respon pertumbuhan dan produksi kedua varietas dipengaruhi

oleh perbedaan genetis kedua varietas sehingga memiliki kemampuan adaptasi yang
107
berbeda terhadap faktor lingkungan. Perbedaan adaptasi tersebut sejalan dengan

pendapat Gardner, Pearce and Mitchell (1991) bahwa setiap kultivar kedelai

mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mengubah dan beradaptasi terhadap pH

tanah tergantung pada eksudat akar yang dihasilkan oleh masing-masing kultivar.

Perbedaan respon morfologi tanaman kedelai varietas Anjasmoro dan varietas

Grobogan (Tabel 2, 3, dan 4) menyebabkan perbedaan adaptasi kedua varietas, hal

tersebut sesuai pendapat Gardner, Pearce and Mitchell (1991) bahwa kemampuan

adaptasi dipengaruhi oleh respon morfologi kedelai. Kedelai kultivar “Heresoy 63”

mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan kedelai kultivar

“Aoda”, oleh karena itu kedua kultivar tersebut mempunyai kemampuan adaptasi yang

berbeda, yaitu kultivar Heresoy 63 adaptasinya lebih baik dibanding kultivar Aoda

(Gardner, Pearce and Mitchell (1991). Berat 100 biji dan indeks panen varietas

Grobogan lebih tinggi dibanding varietas Anjasmoro disebabkan karena perbedaan

sifat genetis pada ukuran biji, yaitu ukuran biji varietas Grobogan lebih besar

dibanding ukuran biji pada varietas Anjasmoro, hal tersebut sesuai dengan deskripsi

varietas bahwa varietas Anjasmoro dengan bobot 100 biji yaitu sekitar 14,8-15,3g

(Suhartina, 2005) dan varietas Grobogan dengan bobot biji sekitar 18g (Puslitbang

Tanaman pangan Kementerian Pertanian RI, 2010).

Kombinasi Azotobacter dan mikoriza pada varietas Anjasmoro menunjukan

bahwa perlakuan Azotobacter 103 CFU mL-1 dan mikoriza 30g memberikan pengaruh

tertinggi pada parameter biomasa kering batang, biomasa kering daun, biomasa

kering total, jumlah polong, jumlah polong batang utama, jumlah polong cabang,

jumlah polong berisi, berat polong, jumlah biji, berat biji per tanaman, berat 100 biji,

dan indeks panen (Tabel 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15). Sedangkan

perlakuan Azotobacter 103 CFU mL-1 dan mikoriza 10g memberikan pengaruh
108
tertinggi pada parameter biomasa kering akar (Tabel 2), perlakuan Azotobacter 103

CFU mL-1 dan mikoriza 20g memberikan pengaruh tertinggi pada parameter jumlah

cabang (Tabel 6). Perlakuan Azotobacter 103 CFU mL-1 dan mikoriza 30g pada

merupakan perlakuan yang memberikan pertumbuhan dan produksi optimal pada

kedelai varietas Anjasmoro.

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa inokulasi Azotobacter sp.

memberikan pengaruh nyata pada biomasa akar, biomasa batang, jumlah polong berisi,

dan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap biomasa daun, biomasa total, jumlah

polong cabang, jumlah polong, berat polong, jumlah biji, dan berat biji, hal tersebut

menunjukan bahwa variabel-variabel sangat peka terhadap perlakuan Azotobacter sp..

Sedangkan inokulasi Azotobacter sp. tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang,

jumlah polong batang utama, dan indeks panen, hal tersebut menunjukan bahwa ketiga

variabel tidak peka terhadap perlakuan Azotobacter sp.

Berdasarkan Tabel 2, 4, 5, 7, 8, 11, 12, dan 13, menunjukan bahwa pada

varietas Anjasmoro, aplikasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 103 CFU mL-1

memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibanding aplikasi Azotobacter sp. dengan

kerapatan 106 CFU mL-1 pada variabel biomasa kering akar, biomasa kering daun,

biomasa kering total, jumlah polong, jumlah polong batang utama, jumlah polong berisi,

berat polong, jumlah biji, berat biji pertanaman. Tabel 3, 6, 10 dan 14, menunjukan

bahwa pada biomasa kering batang, jumlah cabang, jumlah polong, dan berat 100 biji

aplikasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 106 CFU mL-1 memberikan pengaruh yang

lebih tinggi dibanding aplikasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 103 CFU mL-1. Aplikasi

Azotobacter sp. dengan kerapatan 103 CFU mL-1 dan 106 CFU mL-1 pertumbuhan dan

produksi kedelai lebih tinggi pada semua parameter dibanding tanpa pemberian

Azotobacter sp.
109
Berdasarkan Tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 14, menunjukan bahwa

pada varietas Grobogan aplikasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 106 CFU mL-1

memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibanding Aplikasi Azotobacter sp. dengan

kerapatan 103 CFU mL-1 pada parameter biomasa kering akar, biomasa kering batang,

biomasa kering daun, biomasa kering total, jumlah cabang, jumlah polong, jumlah polong

batang utama, jumlah polong cabang, jumlah polong berisi, berat polong pertanaman.

Pada tabel 12 dan 13 menunjukan jumlah biji pertanaman dan berat biji pertanaman

aplikasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 103 CFU mL-1 memberikan pengaruh yang

lebih tinggi dibanding aplikasi Azotobacter sp. dengan kerapatan 106 CFU mL-1.

Inokulasi Azotobacter sp. pada kedua varietas menyebabkan peningkatan pertumbuhan

dan produksi, hal tersebut sejalan dengan pendapat Singh dan Dixit ( 2001) bahwa

inokulasi Azotobacter menyebabkan peningkatan pertumbuhan dan hasil padi 1%

sampai 20% dan gandum 10% sampai 30%. Azotobacter juga telah di inokulasikan

tebu, jagung, kapas, padi-padian, tomat, terong, cabe, kubis, kentang dan tanaman

perkebunan seperti kopi, teh, kakao, kelapa, kapulaga dapat meningkatkan

pertumbuhan dan produksi (Mahajan et al., 2003)

Hasil percobaan pada kedua varietas menunjukan bahwa perlakuan

inokulasi Azotobacter memberikan stimulus positif terhadap pertumbuhan dan

produksi kedelai, dibanding tanpa aplikasi Azotobacter sp., hal tersebut disebabkan

karena Azotobacter sp. mampu mengkonversi dinitrogen (N2) ke dalam bentuk

ammonium (NH4), mampu mensintesis vitamin B, asam indol asetat, giberelin, dan

sitokinin yang diperlukan oleh tanamana (Wedhastri, 2002; Ahmad, Ahmad dan Khan,

2005; Husen, 2003; Adiwiganda, Tarigan dan Purba, 2006), dan mampu mensintesis
o
sitokinin lebih banyak pada suhu kamar sampai 30 C (Hindersah dan Sudirja, 2010).

110
Pendapat tersebut sejalan dengan Saharan dan Nehra (2011) bahwa Azotobacter sp.

dapat meningkatkan ketersediaan N dalam tanah dan menghasilkan asam indol

asetat (AIA), mampu menghasilkan sitokinin dan giberelin serta meningkatkan

ketersediaan hara t a n a h seperti; P, S, Fe Cu dan dapat mengendalikan penyakit

yang disebabkan oleh bakteri dan fungi.

Tabel 13 menunjukan produksi kedelai pada percobaan rumah plastik

(percobaan tahap 1) belum optimal, hal ini ditandai dengan masih rendahnya berat biji

pertanaman tertinggi yang dihasilkan pada kedua varietas yaitu pada varietas

Anjasmoro 18,92g (A1M3) atau 2,098 ton ha-1 dan varietas Grobogan 9,07g (A2M1)

atau 1,005 ton ha-1, namun demikian berat biji paling rendah pada kedua varietas

adalah perlakuan tanpa Azotobacter sp.. Rendahnya produksi disebabkan oleh

karena tanah yang digunakan sebagai media memiliki pH masam (4,62), bahan

organik rendah (1,18%) (Tabel 1) dan suhu pada siang antara 32-38oC menyebabkan

aktivitas Azotobacter tidak optimal. pH tanah dan suhu yang baik untuk aktivitas

Azotobacter adalah pH 5,9 – 8,4 dan suhu dibawah 320C. Azotobacter sp. tidak dapat

beraktifitas optimal pada pH asam dan temperatur diatas 350C, sehingga pada kondisi

demikian dapat menghambat aktifitas Azotobacter sp.. pH media tanam yang masam

dan suhu pada siang hari yang mencapai 38oC pada saat percobaan menyebabkan

aktifitas Azotobacter sp. terhambat sehingga pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan

produksi kedelai rendah. Kelembaban tanah mempengaruhi laju penambatan

nitrogen. Kelembaban sangat rendah menyebabkan aktivitas Azotobacter tidak

optimal. Suhu optimum bagi penambatan nitrogen adalah 23-300C. Penambatan

terhenti pada suhu beberapa derajat di atas suhu optimum. Kelembaban rendah dan

suhu tinggi pada saat pelaksanaan percobaan menyebabkan aktivitas Azotobacter

tidak optimal sehingga pertumbuhan dan produktivitas kedelai juga tidak optimal.
111
Menurut Isminarni, et al. (2007), bahan organik merupakan sumber energi

dan mineral bagi Azotobacter sp. dan mikroba tanah lainnya yang sangat diperlukan

untuk mendukung pertumbuhan populasi dan aktivitasnya dalam fiksasi N2 atmosfir.

Aplikasi Azotobacter sp. dengan kerapatan yang tinggi harus dibarengi dengan

ketersediaan bahan organik yang cukup untuk mendukung pertumbuhan populasi

Azotobacter sp. Sumber nutrisi bagi Azotobacter sp. adalah eksudat akar tanaman

yang banyak mengandung asam amino dan karbohidrat sebagai sumber energi dan

pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang rendah menyebabkan

eksudat yang dihasilkan akar tanaman belum cukup untuk pertumbuhan Azotobacter

sp, oleh karena itu aplikasi Azotobacter sp. dengan bahan organik tanah rendah

menyebabkan pertumbuhan dan dan produksi kedelai yang tidak optimal.

Azotobacter sp. dapat meningkatkan ketersediaan hara nitrogen tanah, oleh

karena itu inokulasi Azotobacter sp. memacu pertumbuhan vegetatif kedelai. Nitrogen

merupakan senyawa dasar pembentukan fitohormon dalam tanaman khususnya

auksin dan sitokinin. Azotobacter sp. yang diaplikasikan pada tanah pertanian akan

meningkatkan kesuburan tanah, sehingga menaikkan biomassa tanaman (Hindersah

dan Simarmata, 2004). Peningkatan ketersedian hara nitrogen tanah disebabkan oleh

karena Azotobacter sp. dapat menggunakan nitrogen bebas untuk sintesis sel protein,

selanjutnya sel protein mengalami proses mineralisasi dalam tanah setelah

Azotobacter mengalami kematian, dengan demikian berkontribusi terhadap

ketersediaan nitrogen bagi tanaman budidaya .

Efisiensi penambatan nitrogen oleh Azotobacter sp. relatif rendah

dibandingkan dengan bakteri simbiotik. Jumlah nitrogen yang dapat diikat oleh

Azotobacter sp. dipengaruhi oleh ketersediaan karbon organik dalam tanah, apabila

bahan organik cukup, maka penambatan nitrogen oleh Azotobacter sp. akan lebih
112
optimal. Sumbangan rizobakteri hidup bebas terhadap nitrogen tanah dapat mencapai
-1
15 kg N ha tahun-1, jauh lebih rendah dibanding kontribusi bakteri pemfiksasi

nitrogen simbiosis Rhizobium yang mencapai 24-584 kg N ha-1 tahun-1 (Shantharam &

Mattoo, 1997).

Pertumbuhan kedelai rendah menunjukan aktifitas fotosintesis kedelai tidak

optimal. Fotosintesis menghasilkan glukosa. Rajan (2002) menyatakan bahwa glukosa

merupakan hasil awal dari proses fotosintesis, dibentuk menjadi berbagai macam

karbohidrat yang mempunyai peranan penting dalam metabolisme tanaman.

Karbohidrat bersama dengan N dan hara anorganik lainnya dari dalam tanah

berperan dalam pembentukan lemak dan protein. Sebagian besar karbohidrat, lemak

dan protein disimpan dalam biji sebagai bahan makanan cadangan. Semakin pesat

pembentukan dan penyimpanan karbohidrat maka jumlah, ukuran dan berat dari biji

juga mengalami peningkatan. Dengan demikian aplikasi Azotobacter sp. dapat

meningkatkan produksi kedelai, karena dapat menyediakan nitrogen untuk

pertumbuhan kedelai.

Azotobacter mengubah nitrogen bebas menjadi amonia melalui proses

fiksasi nitrogen, setelah itu ammonia diubah menjadi protein. Azotobakter untuk

oksidasi memerlukan sekitar 1000 kg bahan organik untuk mengikat 30 kg N ha -1.

Bahan organik tersebut masih sedikit, karena pada tanah juga banyak terdapat

mikroba lain yang memerlukan bahan organik untuk sumber energi dan sumber

nutrien sehingga terjadi kompetisi. Azotobacter hidup di daerah rizosfer sekitar 20 –

8000 sel g-1 tanah. Jumlah inokulan yang diaplikasi pada biji agar diperoleh hasil yang

baik adalah 104 sel bakteri perbiji. Aplikasi pada biji dengan Azotobacter sp. lebih

efektif karena mampu bermigrasi sepanjang pertumbuhan akar. Migrasi dan

perbanyakan sel berlangsung dengan efektif karena stimulasi eksudat akar muda
113
yang mengandung gula. Sel-sel Azotobacter tidak dapat memperbanyak diri pada

bagian akar yang dewasa. Inokulasi Azotobacter sp. pada kedelai dapat

meningkatkan populasi Azotobacter tersebut di daerah perakaran tanaman apabila

kondisi lingkungan optimal, sehingga aktivitas fiksasi N2 didaerah perakaran tanaman

juga dapat meningkat. Fiksasi N2 dipengaruhi oleh dengan jumlah koloni Azotobacter

sp yang terdapat dalam tanah. Pada kondisi daerah perakaran dengan tersedianya

sumber energi dan mineral dari bahan organik, maka pertumbuhan dan

perkembangan mikroba serta aktivitas fiksasi N dapat berlangsung dengan optimal

Kedelai dapat mengabsorbsi N dalam bentuk NH4+ yang dapat memberikan

efek fungsi metabolisme dalam respirasi dan fotosintesis. Nitrogen memicu

pertumbuhan daun, sehingga luas permukaan untuk fotosintesis meningkat. Aktivitas

fotosintesis akan menghasilkan karbohidrat dan meningkatkan produksi kedelai.

Bakteri Azotobacter sp. penting dalam peningkatan produksi pertanian karena mampu

menggunakan nitrogen bebas dari udara menjadi bentuk nitrat dan amonium.

Penyerapan NO3- dan NH4+ oleh kedelai memungkinkan membentuk berbagai

senyawa nitrogen, terutama protein. Pupuk hayati, tumbuhan yang mati, dan

mikroorganisme mati seperti Azotobacter merupakan sumber penting nitrogen yang

dikembalikan ke tanah, perombakan bahan organik oleh mikroba dan pengeluaran

dari akar (Salisbury dan Ross, 1992).

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa inokulasi mikoriza memberikan

pengaruh nyata terhadap biomasa akar, jumlah polong batang utama, dan berpengaruh

sangat nyata terhadap biomasa daun, biomasa kulit polong, biomasa total, jumlah

cabang, jumlah polong cabang, jumlah polong, jumlah polong berisi, berat polong, jumlah

biji, dan berat biji. Aplikasi mikoriza memberikan pengaruh tidak nyata terhadap biomasa

batang dan indeks panen.


114
Berdasarkan Tabel 2, 3, 4, 6 dan 14, menunjukan bahwa inokulasi

mikoriza 20g pada varietas Anjasmoro memberikan pengaruh tertinggi pada parameter

biomasa kering akar, biomasa kering batang, biomasa kering daun, jumlah cabang dan

berat 100 biji, namun perbedaannya dengan inokulasi mikoriza 30g sangat kecil. Tabel

5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, menunjukan bahwa inokulasi 30g pada varietas Anjasmoro

memberikan pengaruh tertinggi pada biomasa kering total, jumlah polong, jumlah polong

batang utama, jumlah polong cabang, jumlah polong berisi, berat polong, jumlah biji,

berat biji per tanaman. Berdasarkan data menunjukan bahwa inokulasi mikoriza 30g

memberikan pengaruh terbaik terhadap parameter produksi sedangkan inokulasi

mikoriza 20g memberikan pengaruh terbaik terhadap parameter vegetatif. Tabel 2, 3, 4,

5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, Inokulasi mikoriza 20g pada varietas Grobogan memberikan

pengaruh tertinggi pada parameter biomasa kering akar, biomasa kering batang,

biomasa kering daun, biomasa kering total, jumlah cabang, jumlah polong, jumlah

polong cabang, jumlah polong berisi, berat polong pertanaman, jumlah biji, dan berat biji

pertanaman. Mikoriza dapat meningkatkan ketersediaan fostat dalam tanah yang dapat

diserap tanaman dan dapat meningkatkan kemampuan kedelai dalam menyerap hara

fosfat dari dalam tanah, sehingga dapat memberikan stimulasi terhadap pertumbuhan

kedelai. Pertumbuhan kedelai yang optimal dapat meningkatkan produksi. Perlakuan

tanpa mikoriza memberikan pertumbuhan dan produksi terendah pada semua parameter

pertumbuhan dan produksi kedelai. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

Nasaruddin (2012), bahwa perlakuan inokulasi mikoriza arbuskula perpengaruh baik

terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, biomasa tanaman, berat segar

akar, berat segar kering akar pada bibit kakao. Mikoriza yang menginfeksi akar

tanaman akan membentuk hifa internal di dalam sel epidermis dan korteks akar,

arbuskula terbentuk di dalam korteks akar, dan hifa eksternal berada di luar akar
115
tanaman. Hifa eksternal sangat penting dalam penyerapan unsur hara karena panjang

hifa eksternal dapat mencapai beberapa kali panjang akar sehingga memperluas

permukaan akar dalam menyerap larutan nutrisi dalam tanah (Douds and Millner,

1999). Mikoriza dapat meperpanjang dan memperluas jangkauan akar terhadap

penyerapan unsur hara, sehingga serapan hara tanaman meningkat dan

menyebabkan aktivitas metabolisme berlangsung dengan baik (Husin dan Marlis,

2002 dalam Nasaruddin, 2012)

Mikoriza meningkatkan serapan hara, khususnya unsur fosfat (P).

Kecepatan masuknya hara P ke dalam hifa CMA dapat mencapai enam kali lebih

cepat pada akar tanaman yang terinfeksi CMA dibandingkan dengan yang tidak

terinfeksi CMA (Bolan, 1991), hal ini terjadi karena jaringan hifa eksternal CMA mampu

memperluas bidang serapan. Hifa yang sangat halus pada bulu-bulu akar

memungkinkan hifa dapat menyusup ke pori-pori tanah yang paling halus sehingga

hifa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Kilham 1999).

Mikoriza arbuskula meningkatkan kemampuan sistem perakaran tanaman untuk

menyerap hara mineral melalui perluasan miselium, dan berperan dalam serapan

hara tanaman (Cavagnaro et. al., 2006; Cavagnaro dan Martin, 2010). Mikoriza

dapat meningkatkan serapan air oleh kedelai sehingga dapat membawa unsur hara

seperti N, P, dan K. Hasil penelitian serapan hara dilaporkan oleh Kabirun (2002),

Hasanudin (2003), dan Musfal (2010), yaitu CMA dapat meningkatkan serapan

nitrogen (N) dan kalium (K). Tarafdar dan Rao (1997) melaporkan bahwa pemberian

CMA pada tanaman kacang-kacangan dapat meningkatkan serapan unsur mikro Cu

dan Zn.

116
Mikoriza dapat meningkatkan hara fosfat dalam tanah, karena mikoriza

menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan unsur P yang terikat unsur Al

dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga P akan tersedia bagi

tanaman (Bolan, 1991). Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998), CMA melalui akar

eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin dan asam-asam organik yang

akan mengikat butir-butir tanah menjadi agregat mikro. Selanjutnya melalui proses

mekanis oleh hifa eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang

mudah diserap tanaman. Mikoriza yang digunakan dalam percobaan ini adalah

mikoriza campuran, hal ini sesuai pendapat Musfal (2010) bahwa aplikasi CMA

digunakan adalah starter yang berasal dari campuran beberapa spesies. Starter

diperbanyak dengan media batuan zeolit dan melalui tanaman jagung (Musfal, 2010).

CMA diberikan dekat perakaran tanaman atau di dalam lubang benih untuk

meningkatkan efektivitasnya. Musfal (2010) dan Kabirun (2002) melaporkan bahwa

tanaman yang terinfeksi CMA mampu menyerap unsur P yang lebih tinggi

dibandingkan tanaman yang tidak terinfeksi, disebabkan karena tanaman yang

terinfeksi CMA disebabkan hifa CMA mengeluarkan enzim fosfatase sehingga P yang

terikat di dalam tanah akan terlarut dan tersedia bagi tanaman. Fosfor (P) adalah unsur

utama yang dibutuhkan tanaman, umumnya menyerap unsur ini dalam bentuk H2PO4-.

Fosfat dibebaskan dari dekomposisi bahan organik ataupun pupuk organik

akan diikat oleh liat, aluminium, besi ataupun kalsium tergantung dari pH tanah. Pada pH

tinggi P akar diikat oleh kalsium, pada pH rendah P diikat oleh Al dan Fe menjadi Al-P dan

Fe-P (Hardjowigeno, 2007), tetapi dengan adanya mikoriza P dapat dilepaskan dari ikatan

Al dan Fe menjadi tersedia bagi tanaman. Fosfor berperan dalam pemecahan karbohidrat

untuk energi, penyimpanan dan peredarannya keseluruh tubuh tanaman dalam bentuk

ADP dan ATP. Fosfor juga berperan dalam pembelahan sel melalui peranan nukleoprotein
117
yang ada dalam inti sel, selanjutnya berperan dalam mewariskan sifat dari generasi

kegenerasi melalui DNA. Fosfor adalah sebagai sumber energi untuk kegiatan biokimia

dalam sel hidup. Ikatan adenosin trifosfat (ATP) yang berenergi tinggi melepaskan

energi untuk kegiatan bila diubah menjadi adenosin difospat (ADP) (Salisbury dan

Ross, 1992). Kekurangan P tanaman menyebabkan terhambatnya laju fotosintesis

karena terhambatnya pembentukan ATP sebagai sumber energi fotosintesis, hal

terjadi karena tidak tersedianya P yang cukup untuk membentuk ATP. Fosfor sangat

penting dalam pembentukan energi, Adenosin monofosfat (AMP) dengan tersedianya

P akan membentuk Adenosin difosfat (ADP), dan selanjutnya dibentuk menjadi

Adenosin trifosfat (ATP) (Salisbury dan Ross, 1992). Peningkatan Fosfor pada kedelai

dapat meningkatkan pertumbuhan daun (jumlah daun) sehingga aparat fotosintesis

meningkat dan pada akhirnya meningkatkan laju fotosintesis kedelai. Daun berperan

penting dalam penyerapan radiasi untuk fotosintesis karena daun mengandung paling

banyak klorofil yang mampu menyerap radiasi (Egli, Guffy dan Legget, 1985). Peran

lain P adalah sebagai pengendali aktivitas ATP-ase yang berperan dalam

metabolisme tanaman yaitu pada proses respirasi tanaman. Kedelai yang kekurangan

P laju fotosintesis rendah karena tidak mampu membentuk ATP yang dibutuhkan pada

respirasi (Lauer et al., 1989). Pada daun ATP sangat diperlukan untuk proses

pemecahan pati dan translokasi triosefosfat keluar dari kloroplas. Tingginya respon

tanaman terhadap unsur P disebabkan karena unsur P sangat penting dalam

pertumbuhan, baik pertumbuhan vegetatif maupun pertumbuhan generatif. Unsur P

merupakan unsur penting untuk pembentukan fosfolipid, membran, gula fosforilasi,

protein, asam nukleat, dan juga penyusun ATP, PEP, dan NADPH.

Mikoriza adalah kelompok jamur, adalah organisme yang membutuhkan

kelembaban tinggi. Apabila kelembaban tanah tinggi maka infeksi mikoriza terhadap
118
juga akan meningkat. Muis, Indradewi, dan Widada (2013) melaporkan bahwa

penyiraman tanaman kedelai tiap hari dalam kondisi rumah kaca persentase infeksi

mikoriza mencapai 47,33 % dibanding interval penyiraman 3 dan 6 hari yaitu: 32,67 %

dan 26,67 %.

2. Indeks Panen

Indeks panen merupakan ratio bobot biji dengan bobot biomasa. Indeks

panen dalam penelitian ini adalah merupakan rasio berat biji dengan biomasa kering

akar, batang, daun dan biomasa kering kulit polong. Indeks panen kedua varietas

berbeda. Indeks panen kedelai varietas Grobogan berbeda nyata dengan Indeks

panen kedelai varietas Anjasmoro. Indeks panen varietas Grobogan lebih tinggi

daripada indeks panen varietas Anjasmoro (Tabel 15). Perbedaan Indeks panen pada

kedua varietas disebabkan oleh pengaruh faktor varietas. Pengaruh faktor

Azotobacter dan faktor mikoriza tidak berbeda nyata terhadap indeks panen kedelai

kedua varietas. Pada varietas Anjasmoro indeks panen perlakuan mikoriza 30g

berbeda nyata dengan perlakuan mikoriza 20g dan 10g, sedangkan pada varietas

Grobogan indeks panen tidak berbeda nyata. Pada Varietas Grobogan menunjukan

bahwa nilai indeks panen merupakan rasio yang konstan tanpa dipengaruhi perlakuan

mikoriza dan Azotobacter, sehingga pertumbuhan kedelai yang rendah maka

menyebabkan produksi biji yang rendah, dan jika pertumbuhan kedelai tinggi maka

produksi biji tingggi, dengan demikian indeks panen tidak berbeda nyata pada semua

perlakuan. Indeks panen menunjukan perbandingan distribusi hasil asimilasi antara

biomasa ekonomi dengan biomasa total (Gardner, Pearce, dan Mitchell, 1991).

119
3. Protein Biji

Pada varietas Anjasmoro kadar protein tertinggi adalah A0M2 (45,63 %)

dan terrendah adalah A2M1 (26,15). Berdasarkan rata-rata kadar protein biji

menunjukan bahwa tanpa pemberian Azotobacter memiliki kadar protein biji tertinggi,

kemudian menurun pada perlakuan Azotobacter 103 CFU mL-1 (A1) dan Azotobacter

106 CFU mL-1 (A2), hal tersebut diduga bahwa unsur N pada perlakuan A1 dan A2

difokuskan pada pertumbuhan vegetatif dan generatif, sedangkan pada perlakuan

tanpa Azotobacter (A0) unsur N lebih banyak digunakan untuk membentuk protein biji

walaupun pertumbuhan dan produksi biji kering rendah. Pengaruh faktor mikoriza

terhadap rata-rata kadar protein biji menunjukan bahwa pemberian mikoriza dengan

takaran berbeda menunjukan kadar protein relatif sama, hal tersebut disebabkan

karena unsur P bukan merupakan penyusun utama protein, tetapi unsur P

mempengaruhi penyerapan unsur hara lain termasuk unsur N

Pada varietas Grobogan menunjukan bahwa pemberian faktor Azotobacter

dengan kerapatan yang berbeda menunjukan perbedaan kadar protein biji, yaitu

tanpa Azotobacter (A0) 32,427, kemudian meningkat pada perlakuan A1 sebesar

39,075, selanjutnya menurun pada perlakuan A3 sebesar 36,635. Pengaruh faktor

mikoriza terhadap kadar protein biji menunjukan bahwa tanpa pemberian mikoriza

memiliki kadar protein tertinggi yaitu 37,076 % (M0), kemudian menurun pada

pemberian mikoriza M1 (35,046), M2 (34,78), selanjutnya meningkat lagi menjadi

37,28 (M3).

Protein terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, kadang-kadang

sulfur, dan fosfor. Protein adalah satu-satunya senyawa organik yang mengandung

nitrogen, Asam amino merupakan unit dasar struktur protein. Protein adalah senyawa

organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-
120
monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida.

Nitrogen berperan dalam pembentukan sel, jaringan , dan organ tanaman. Nitrogen

berfungsi sebagai sebagai bahan sintetis klorofil, protein, dan asam amino. Unsur

Nitrogen yang terdapat pada protein adalah 16% dari protein tersebut. Pada tanaman

polong atau kacang-kacangan yang mayoritas mengandung protein yaitu protein

globulin, tetapi kekurangan systein dan methionin. Kedelai merupakan salah satu

sumber protein nabati bagi masyarakat. Kandungan protein yang terkandung di dalam

setiap varietas kedelai berbeda antara satu sama lain. Ketersediaan hara nitrogen

pada media tanam juga mempengaruhi kandungan protein pada biji kedelai.

Pengaruh N terhadap protein dalam tanaman, terutama, pada biji-bijian serealia

merupakan sesuatu yang sangat penting dalam masalah pangan. Daun sebagai

organ fotosintesis sangat berpengaruh pada fotosintat berupa gula reduksi. Fotosintat

berupa gula diproduksi sebagai sumber energi untuk tanaman (akar, batang, daun)

serta diakumulasikan dalam buah, biji atau organ penimbun lain (sink), hasil

fotosintesis yang tertimbun dalam bagian vegetatif sebagian dimobilisasikan kebagian

generatif (polong). Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi

yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan

satu sama lain dengan ikatan peptida. Kedelai mengandung protein 40% dari bobot

biji.

Nitrogen masuk kedalam tanaman dari tanah atau dari bintil-bintil pada

akar legum sebagai nitrat (NO3-) atau ammonium (NH4+). Di dalam tanaman NO3

direduksi ke NH4+ dan kemudian digabungkan dengan kerangka C untuk membentuk

asam-asam amino yang berbeda. Asam amino ini mengandung N dalam bentuk -NH2

dengan pengikat N pada C alfa dari suatu asam organik. Sekitar 20 dari asam – asam

amino yang berbeda tersebut kemudian digabungkan kedalam rantai panjang yang
121
disebut rantai polipeptida. Rantai ini dapat mengandung beberapa ratus rangkaian

asam amino.

D. Pembahasan Tahap II

1. Pengaruh Azotobacter sp. dan mikoriza dan kompos terhadap pertumbuhan


dan produksi kedelai varietas anjasmoro

Hasil analisis ragam pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro yang

diberikan perlakuan Azotobacter sp. dan Mikoriza dan kompos menunjukan bahwa

perlakuan kompos pada tanah ultisol yang diberikan Azotobacter+mikoriza dan

amelioran zeolit berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan produksi

kedelai, kecuali pada indeks panen. Sedangkan perlakuan kombinasi

Azotobacter+mikoriza dan interaksi Azotobacter+mikoriza dan kompos tidak

menunjukan pengaruh yang berbeda nyata.

Tabel 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, dan 30 menunjukan bahwa

inokulasi kombinasi Azotobacter sp. 103 CFU mL-1+mikoriza 30g, Azotobacter sp. 104

CFU mL-1+mikoriza 25g dan Azotobacter sp. 105 CFU mL-1+mikoriza 35g memberikan

pengaruh tidak berbeda nyata terhadap biomasa kering batang, biomasa kering kulit

polong, jumlah cabang, jumlah ruas produktif, jumlah polong, jumlah polong berisi,

jumlah polong hampa, jumlah biji, berat biji total 12 tanaman, berat 100 biji, produksi

biji kering per hektar, dan indeks panen kedelai varietas Anjasmoro pada tanah ultisol.

Kombinasi Azotobacter+mikoriza dengan taraf yang berbeda sesuai percobaan

memberikan efek pertumbuhan dan produksi yang tidak berbeda nyata. Hasil tersebut

sejalan dengan pendapat Shantharam & Mattoo (1997), bahwa sumbangan

rizobakteri hidup bebas seperti Azotobacter terhadap nitrogen tanah mencapai 15 kg

122
-1
N ha tahun-1, jauh lebih rendah dibanding kontribusi bakteri pemfiksasi nitrogen

simbiosis Rhizobium yang mencapai 24-584 kg N ha-1 tahun-1. Kemampuan

Azotobacter dalam memfiksasi N2 menyebabkan peningkatan hasil yang tidak

konsisten jika dibandingkan dengan kapasitas fiksasi bakteri pemfiksasi nitrogen

simbiotik, hal tersebut diduga terdapat faktor lain yang berperan dalam pengendalian

pertumbuhan tanaman seperti produksi fitohormon yang dapat dimanfaatkan oleh

tanaman untuk pertumbuhan (Hindersah, Arief, dan Sumarni, 2000), dan pemutusan

siklus penyakit maupun hama melalui perubahan karakteristik mikroba, sifat fisik atau

kimia tanah melalui peningkatan aktivitas makrofauna tanah seperti cacing tanah

(Peoples, Herridge dan Ladha, 1995). Pemberian kompos pada kedelai varietas

Anjasmoro dengan taraf berbeda (kompos 0 ton ha-1, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1 dan 6 ton

ha-1) pada tanah ultisol dengan amelioran zeolit memberikan pengaruh yang sangat

nyata terhadap biomasa kering batang, biomasa kering kulit polong, biomasa kering

total, jumlah cabang, jumlah ruas produktif, jumlah polong, jumlah polong berisi,

jumlah polong hampa, jumlah biji, berat biji pertanaman, berat 100 biji, produksi biji

per hektar. Tidak terjadi interaksi antara kombinasi Azotobacter sp.+mikoriza dengan

pemberian kompos dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai varietas

Anjasmoro, hasil sesuai dengan penelitian Hasanuddin (2003) melaporkan bahwa

inokulasi mikoriza dan Azotobacter serta pemberian bahan organik tidak menunjukan

adanya pengaruh interaksi yang nyata terhadap serapan N dan P serta hasil pipilan

jagung, namum secara mandiri masing-masing berpengaruh nyata. Hasil penelitian

Dachlan et al. (2012), bahwa jenis kompos, perlakuan konsentrasi Azotobacter dan

interaksi keduanya tidak berpengruh nyata terhadap jumlah anakan padi per rumpun,

jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah gabah hampa per malai, dan berat gabah

1000 butir.
123
Pemberian kompos 6 ton ha-1 memberikan pengaruh tertinggi pada semua

parameter pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro, kecuali jumlah

cabang dan indeks panen yaitu pada pemberian kompos 4 ton ha -1 (Tabel 21 dan

30). Perlakuan tanpa kompos memberikan pengaruh terendah pada semua parameter

pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Anjasmoro. Pertumbuhan dan produksi

kedelai akan semakin tinggi dengan peningkatan pemberian kompos sampai 6 ton ha-
1
. Pada perlakuan kompos, pertumbuhan dan produksi kedelai tertinggi adalah pada

pemberian kompos 6 ton ha-1, dan terendah tanpa pemberian kompos. Pada

perlakuan kombinasi Azotobacter+Mikoriza, pertumbuhan dan produksi tertinggi pada

pemberian kombinasi Azotobacter 105 CFU mL-1+Mikoriza 35g. Perlakuan kombinasi

Azotobacter 105 CFU mL-1+Mikoriza 35g dan kompos 6 ton ha-1 memberikan

pengaruh tertinggi pada pertumbuhan dan produksi.

Bila hanya dilihat pada perlakuan tanpa kompos perlakuan Azotobacter

103 CFU mL-1+Mikoriza 30g memberikan pengaruh tertinggi pada parameter

pertumbuhan dan produksi (Tabel 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, dan 29), dan

terendah pada perlakuan Azotobacter 104 CFU mL-1+Mikoriza 25g untuk parameter

biomasa kering batang, biomasa kering kulit polong, jumlah cabang, jumlah ruas

produktif, jumlah polong hampa dan jumlah biji (Tabel 19, 20, 21, 22, 25, 26), serta

terendah pada perlakuan 105 CFU mL-1+Mikoriza 35g untuk parameter jumlah polong,

jumlah polong berisi, berat biji total 12 tanaman, produksi biji kering per hektar (Tabel

23, 24, 27, 29). Dari data tersebut menunjukan bahwa peningkatan jumlah populasi

Azotobacter dan mikoriza akan meningkatkan kompetisi mikroba untuk memperoleh

sumber energi dari bahan organik yang sangat terbatas, sehingga peningkatan

populasi menyebabkan efektifitasnya yang menurun dalam mempengaruhi

pertumbuhan dan produksi kedelai.


124
Perlakuan Azotobacter+mikoriza dan kompos secara statistik tidak menunjukan

adanya interaksi kedua faktor, tetapi kombinasi Azotobacter 105 CFU mL-1+mikoriza

30g dan kompos 6 ton ha-1 memberikan rata-rata tertinggi pada parameter biomasa

kering batang, biomasa kering kulit polong, jumlah cabang, jumlah ruas produktif,

jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, jumlah biji, berat biji total

12 tanaman, berat 100 biji, dan produksi biji kering per hektar (Tabel 19, 20, 21, 22, 23,

24, 25, 26, 27, 28, 29, dan 30). Pertumbuhan dan produksi kedelai yang tinggi

dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor ekternal. Faktor genetik adalah kemampuan

adaptasi varietas Anjasmoro yang baik terhadap tanah ultisol dan didukung oleh faktor

eksternal berupa perlakuan yang diberikan yaitu aplikasi Azotobacter sp., mikoriza, dan

kompos serta pemberian amelioran zeolit yang dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, sifat

kimia dan sifat biologi, serta ketersediaan hara pada tanah ultisol. Faktor eksternal

lainnya yang mendukung pertumbuhan dan produksi adalah ketersediaan air dan suhu

udara yang optimal. Ketersediaan air yang cukup didukung curah hujan yang cukup dan

merata selama pelaksanaan penelitian (Januari – Mei 2014) dan suhu udara siang hari

adalah 23-32 0 C dengan kelembaban udara 78-89 %.

Aktivitas Azotobacter dan mikoriza yang optimal akan memberikan stimulus

yang optimal terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, demikian juga pertumbuhan

kedelai yang optimal akan mempengaruhi populasi Azotobacter dalam tanah dan

mikoriza pada akar tanaman. Aktivitas Azotobacter dan mikoriza serta pertumbuhan

kedelai pada tanah ultisol dapat distimuli oleh adanya kompos dan amelioran zeolit.

Kompos berperan sebagai sumber energi utama Azotobacter sp. dan juga

menyediakan sumber hara bagi tanaman. Pemberian bahan organik dapat

meningkatkan pH tanah, hara P, KTK tanah dan hasil tanaman, serta dapat

menurunkan kadar Al, Fe, dan M (Kasno, 2009). Peningkatan bahan organik pada
125
tanah berpasir dapat meningkatkan KTK, siklus hara, kemampuan mencadang air, dan

mengurangi erosi lahan (Gilbert et al., 2008). Yaseen, Burni dan Hussain (2011),

melaporkan bahwa inokulasi mikoriza dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah

bunga, dan meningkatkan serapan N, P, K, Ca, dan Mg pada Vigna unguiculata.

Hasanuddin (2003) melaporkan bahwa secara mandiri inokulasi mikoriza dan

Azotobacter serta pemberian bahan organik berpengaruh nyata terhadap serapan N,

P, dan hasil pipilan jagung. Inokulasi Azotobacter dapat meningkatkan

perkecambahan biji, pertumbuhan, dan meningkatkan hasil sampai 30 % pada

gandum (Gholami, Shahsavani dan Nerarat, 2009). Zeolit tidak menyediakan hara

bagi kedelai, tetapi zeolit dapat meningkatkan pH dan KTK tanah ultisol sehingga

pertumbuhan kedelai optimal. KTK dan pH tanah yang digunakan untuk penanaman

kedelai sebelum tanam dengan pH 5,14 (masam) dan setelah panen pH tanah

menjadi 5,85 (mendekati netral), dan KTK dari 7,92 sebelum tanam menjadi 65

setelah panen (Tabel 17). Pada pH tanah 5,85 dan KTK 65 telah dapat memberikan

pertumbuhan dan produksi kedelai yang optimal. Peningkatan pH pada tanah ultisol

karena zeolit mengalami proses hidrolisis silikat yang menghasilkan ion OH

(Andyanta, Atmojo dan Khairun, 2000), dan peningkatan KTK tanah ultisol karena KTK

zeolit yang digunakan dengan KTK 96,2, hal sesuai dengan pendapat Winarso et al.,

(2001) bahwa meningkatnya KTK tanah yang diberikan zeolit karena zeolit memiliki

KTK lebih dari 75 me 100g-1 tanah. KTK zeolit secara teori sekitar 225 cmol (+) kg (Al-

Jabri, 2009).

Akar tanaman merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan bakteri

rhizosfer termasuk Azotobacter. Interaksi antara Azotobacter dan akar kedelai akan

meningkatkan ketersediaan nutrien bagi keduanya. Rhizosfer merupakan habitat yang

126
sangat baik bagi pertumbuhan Azotobacter oleh karena akar tanaman menyediakan

berbagai bahan organik yang umumnya menstimulir pertumbuhan mikroba. Akar

dapat mengeluarkan bahan organik yang dibutuhkan oleh Azotobacter, sedangkan

Azotobacter dapat menambat nitrogen bebas dari udara menjadi nitrogen yang dapat

diserap tanaman. Bahan organik yang dikeluarkan oleh akar tanaman dapat berupa:

(1) eksudat akar adalah bahan yang dikeluarkan dari aktivitas sel akar hidup berupa

gula, asam amino, asam organik, asam lemak dan sterol, faktor tumbuh, nukleotida,

flavonon; (2) sekresi akar adalah bahan yang dipompakan secara aktif keluar dari

akar; (3) lisat akar adalah bahan yang dikeluarkan secara pasif saat autolisis sel akar

(4) musigel adalah bahan sekresi akar, sisa sel epidermis, sel tudung akar yang

bercampur dengan sisa sel mikroba, produk metabolit, koloid organik dan koloid

anorganik (Sumarsih, 2003).

Azotobacter dapat menstimuli bagi pertumbuhan kedelai, oleh karena

Azotobacter dapat melarutkan dan menyediakan mineral seperti Nitrogen, vitamin,

asam amino, auxin dan giberelin yang dapat menstimulir pertumbuhan tanaman, serta

dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain yang patogenik dengan

menghasilkan antibiotik (Metting, 1993). Kecepatan penambatan N2 udara oleh

Azotobacter lebih tinggi di daerah rhizosfer dari pada dalam tanah di luar daerah

perakaran, hal ini disebabkan karena adanya bahan organik dari eksudat akar.

Mikoriza dapat menstimuli pertumbuhan kedelai, karena mikoriza dapat

meningkatkan serapan P oleh kedelai sehingga dapat membantu pertumbuhan kedelai

terutama pada tanah kahat P seperti ultisol. Perakaran tanaman yang terinfeksi

mikoriza mempunyai daya serap yang lebih besar terhadap air dan unsur hara,

khususnya P, hal ini disebabkan adanya miselium jamur mikoriza yang tumbuh keluar

127
dari akar sehingga daya jangkau dan luas permukaan perakaran meningkat, akibatnya

dapat memperbesar daya serap akar. Tanaman bermikoriza mempunyai daya serap

akar yang lebih besar sehingga mengakibatkan unsur hara yang dapat diserap oleh

tanaman juga meningkat. Fosfor merupakan unsur penting penyusun ATP, dan ATP

merupakan bentuk energi tinggi yang sangat berperanan dalam penyerapan unsur

hara secara aktif, sehingga peningkatan serapan fosfor memungkinkan peningkatan

serapan unsur hara lain yang diserap secara aktif oleh perakaran tanaman (Madigan,

Martinko dan Parker, 2000). Simbiosis antara kedelai dengan mikoriza terjadi dengan

adanya pemberian karbohidrat dari kedelai kepada mikoriza dan pemberian unsur

hara terutama P dari mikoriza kepada kedelai.

Perkembangan mikoriza pada akar kedelai dipengaruhi oleh tingkat

fotosintesis kedelai. Mikoriza membutuhkan senyawa karbon yang dihasilkan oleh

kedelai dan kedelai untuk mensuplai senyawa karbon dari hasil fotosintesis untuk

mikoriza, sehingga simbiosis mutualisme kedelai dan mikoriza sangat optimal. Akar

tanaman dapat menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan VAM,

yaitu berupa flavonoid yang disebut eupalitin (3,5-dihidroksi-6,7-dimetoksi-4-hidroksi

flavon) yang dapat merangsang pertumbuhan hifa VAM. Bagian penting dari VAM

adalah adanya hifa eksternal yang dibentuk diluar akar tanaman. Hifa tersebut

membantu memperluas daerah penyerapan akar tanaman. Dengan semakin luasnya

daerah penyerapan akar maka semakin besar pula daya serap akarnya, sehingga

adanya mikoriza pada perakaran kedelai dapat meningkatkan penyerapan unsur hara.

Penyerapan air oleh akar juga menjadi lebih besar, sehingga tanaman lebih tahan

terhadap kekeringan dan terlarutnya hara yang masuk ke tanaman akan meningkat.

Mikoriza meningkatkan pertumbuhan dengan cara meningkatkan penyerapan unsur

hara dari dalam tanah, terutama unsur P, dan unsur P merupakan hara utama untuk
128
pertumbuhan tanaman. Dengan demikian respon pertumbuhan tanaman merupakan

akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbaikan penyerapan P. Selain itu juga

didukung oleh peningkatan serapan unsur-unsur lain, seperti N, S, Zn dan Cu

(Madigan, Martinko dan Parker, 2000).

CMA yang menginfeksi akar tanaman akan membentuk hifa internal di

dalam sel epidermis dan korteks akar, arbuskula terbentuk di dalam korteks akar, dan

hifa eksternal berada di luar akar tanaman. Hifa eksternal sangat penting dalam

penyerapan unsur hara karena panjang hifa eksternal dapat mencapai beberapa kali

panjang akar sehingga memperluas permukaan akar dalam menyerap larutan nutrisi

dalam tanah (Douds dan Millner, 1999). Hasil percobaan memperlihatkan bahwa

perlakuan inokulasi Azotobacter chroococcum dan mikoriza arbuskula berpengaruh

nyata sampai sangat nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun, luas daun,

biomassa tanaman, berat segar dan berat kering akar bibit tanaman kakao umur 4

BST (Nasarudin, 2012).

Aktivitas Azotobacter dan mikoriza serta pertumbuhan kedelai pada tanah

ultisol dapat distimuli oleh adanya kompos dan amelioran zeolit. Kompos berperan

sebagai sumber energi utama Azotobacter sp. dan juga menyediakan sumber hara

bagi tanaman. Bahan organik juga merupakan sumber N dan C bagi mikroba tanah,

terutama golongan kemoheterotrof (Soedarsono, 1982). Bahan organik tanah

merupakan energi utama mikroorganisme tanah (Subowo, 2010). Perombakan bahan

organik oleh mikroba tanah akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti

karbohidrat, protein, asam amino, dan berbagai asam organik yang merupakan

sumber energi mikroba (Subowo, 2010). Mikroba tanah sangat penting untuk

memperbaiki sifat biologi tanah. Bahan organik dapat meningkatkan kehadiran

mikrofauna tanah, misalnya cacing-cacing tanah. Cacing dapat meningkatkan unsur


129
hara tanah melalui pelepasan sisa-sisa metaboliknya ke tanah, meningkatkan

porositas tanah melului lubang-lubang tanah yang dibentuk, menurunkan kepadatan

tanah, meningkatkan potensi ketersediaan air bagi tanaman (Subowo, 2010).

Pemberian cacing tanah dan bahan organik sampai pada tanah ultisol dapat

meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai, karena aktivitas

cacing tanah meningkatkan aerasi tanah, yang selanjutnya meningkatkan populasi

Rhizobium dalam bintil akar kedelai yang selanjutnya untuk melakukan aktivitas

penambatan N (Subowo et al., 2002). Pemberian bahan organik dapat meningkatkan

populasi mikroba tanah. Meningkatnya populasi mikroba dalam tanah dapat

mempercepat proses mineralisasi bahan organik, hara yang terkandung dalam bahan

organik dilepaskan menjadi hara yang tersedia bagi tanaman baik hara makro

maupun hara mikro (Subowo, 2010). Selama dekomposisi bahan organik unsur hara

Na, Ca, Mg, dan K terus dilepaskan sebagai kation bebas, Fe dan Al dalam ikatan

oleh asam-asam organik, dan N diasimilasi dalam sel mikroba (Coleman dan

Crossley, 1995).

Kompos atau bahan organik berperan penting dalam menentukan

kemampuan tanah ultisol untuk mendukung pertumbuhan kedelai, karena bahan

organik dapat ketersedian unsur hara dalam tanah, memperbaiki struktur tanah,

meningkatkan kemampuan tanah memegang air, meningkatkan pori-pori tanah, dan

memperbaiki media perkembangan mikroba tanah. Hasil dekomposisi bahan organik

berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara mikro

sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kedelai. Bahan organik dapat mengikat

butiran primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang

mantap, sehingga pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air,

aerasi tanah, dan suhu tanah. Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006, bahan
130
organik memiliki fungsi kimia yaitu : (1) penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan

S) dan mikro (Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe), meskipun jumlahnya relatif sedikit; (2)

meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah; dan (3) dapat membentuk

senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn;

(4) menyediakan makanan sebagai sumber energi mik roba tanah sehingga dapat

meningkatkan aktivitas mikroba dalam penyediaan hara tanaman. Dekomposisi bahan

organik menghasilkan asam humat yang berfungsi sebagai bahan perekat antar

partikel tanah (Soepardi, 1983). Bahan organik juga dapat memperbaiki tanah

berstruktur kompak karena bahan organik dapat mengurangi daya ikat antar partikel

tanah (Sumadi, Pasaribu dan Izumiyama.,1989).

2. Zeolit dan perbaikan tanah ultisol untuk budidaya kedelai

Tabel 17 menunjukan bahwa sebelum pemberian kompos dan zeolit pada

tanah ultisol yang digunakan pada percobaan tahap II, KTK tanah dan pH tanah yang

digunakan untuk penanaman kedelai sebelum tanam pH 5,14 (masam) dan setelah

panen pH tanah menjadi 5,85 (mendekati netral), dan KTK dari 7,92 (sangat rendah)

sebelum tanam menjadi 65 setelah panen (sangat tinggi). Peningkatan pH dan KTK

diduga disebabkan pemberian Zeolit. KTK zeolit yang digunakan dengan pada

percobaan II yaitu 96,2. pH tanah meningkat karena zeolit mengalami proses

hidrolisis silikat yang menghasilkan ion OH (Andyanta, Atmojo dan Khairun, 2000), dan

meningkatnya KTK karena zeolit memiliki KTK sangat tinggi lebih dari 75 me 100g-1
(+)
tanah (Winarso, et al, 2001). KTK zeolit secara teori sekitar 225 cmol kg (Al-Jabri,

2009).

Sifat-sifat tanah yang dipengaruhi zeolit antara lain adalah: (1)

meningkatkan KTK tanah selama KTK zeolit diatas 100 cmol(+) kg-1, (2)
131
meningkatkan K tanah, hal ini disebabkan kandungan K2O dalam zeolit klinoptilolite

sekitar 3%, sehingga pemberian 5 ton zeolit klinoptilolite ha-1 dapat mengkontribusi

150 kg K2O jika semua kalium tersedia, (3) meningkatkan ketersediaan P, dari hasil

percobaan bahwa pemberian zeolit pada tanah ultisol meningkatkan P dari 5.28

menjadi 20.1 mg P2O5 kg-1, dimana mekanisme peningkatan P diduga karena Ca

dalam zeolit mengikat P dalam tanah yang semula diikat oleh Fe dan Al, dan karena

Ca dalam zeolit mudah dilepaskan dalam bentuk dapat dipertukarkan, maka P yang

diikat Ca menjadi tersedia, (4) memperbaiki sifat-sifat fisik tanah seperti struktur tanah

dan daya pegang tanah terhadap air (Suwardi, 2007). Aplikasi zeolit memiliki

kelebihan karena zeolit tidak mengalami degradasi sehingga jumlahnya relatif tetap

dalam tanah. Aplikasi zeolit berikutnya lebih memperbaiki kemampuan tanah untuk

menahan unsur hara dan memperbaiki hasil. Zeolit tidak asam dan penggunannya

dengan pupuk dapat menyangga pH tanah sehingga mengurangi takaran kapur (Al-

Jabri 2009).

Menurut Estiaty et al. (2006) zeolit berperan dalam meningkatkan efisiensi

pupuk N, tetapi bersama-sama dengan pupuk kandang juga meningkatkan

ketersediaan P dan K dalam tanah. Al-Jabri (2009), melaporkan bahwa pemberian

zeolit dapat meningkatkan hasil padi dan konsentrasi N dan K yang diserap tanaman

padi tertinggi pada umur 6 MST pada perlakuan zeolit 125 kg ha-1. Serapan N

menurun seiring makin tingginya takaran zeolit, hal tersebut menunjukan semakin

banyak N yang memasuki pori-pori zeolit dan akan dilepaskan kembali secara

perlahan untuk diserap tanaman. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak terjadi

interaksi antara takaran zeolit dan pupuk organik padat bottom ash terhadap tinggi

tanaman, jumlah cabang produktif, KTK tanah, jumlah bintil akar, nisbah pupus akar,

132
kadar P tanaman, jumlah polong bernas per tanaman, bobot polong isi per tanaman,

bobot polong kering per tanaman, bobot biji kering per tanaman, bobot 10 butir biji

kacang tanah, tetapi secara mandiri pemberian zeolit dengan takaran 1,5 ton ha -1

memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi tanaman umur 14 HST, umur

21 HST, bobot polong isi per tanaman dan bobot 10 butir biji kering (Sariningsih,

2013).

Meningkatnya pH dapat melepaskan P terikat dari koloid-koloid tanah,

terutama yang terikat oleh Fe dan Al. KTK adalah kapasitas tanah untuk menjerap

dan mempertukarkan kation, sehingga memegang peranan penting dalam

penyediaan unsur hara yang diberikan ke dalam tanah tidak terikat oleh permukaan

koloid tanah (Hakim et al. 1986). Pemberian zeolit dapat meningkatkan kadar K total

dan K tersedia karena pemberian zeolit dapat menyumbangan K2O ke dalam tanah

dan kation-kation dalam zeolit didorong keluar oleh H+ dan dilepaskan ke dalam tanah

yang menyebabkan suplai basa-basa ion Ka dan Ca (Yuliana et al., 2005). Dengan

demikian zeolit dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai. Hasil

penelitian menunjukan bahwa zeolit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat

sehingga mampu meningkatkan hasil sampai 35%, peningkatan hasil yang baik pada

tanaman kedelai 19 %, jagung 11 % dan kacang tanah 18 % (Suwardi 2007).

Pemberian 1750 kg ha-1 zeolit mampu meningkatkan produksi kering kedelai sebesar

20% dibanding tanpa zeolit (Ernawanto, Noeriwan dan Sugiono, 2011).

Kation Al dan Fe tanah yang masuk dalam rongga-rongga dan ditahan

dalam struktur zeolit yang bermuatan negatif, sehingga anion H2PO4- dari pupuk

SP-36 sangat sedikit atau belum sempat diikat Al atau Fe sehingga akhirnya mudah

diserap akar tanaman. Pemberian zeolit dapat memperangkap logam berat (Cu, Cd,

Pb, Zn) sehingga penyerapan kedalam rantai makanan dapat dicegah atau berkurang
133
+
(Fuji, 1974). Prihatini, Moersidi dan Hamid (1987) melaporkan bahwa zeolit sebagai

pembenah tanah dengan takaran ≥ 1.000 ppm atau ≥ 2 ton ha-1 dapat meningkatkan

KTK tanah mineral masam. Pemberian zeolit dapat memperbaiki struktur tanah dan

daya pegang tanah terhadap air karena sifat fisik zeolit yang berongga, sehingga

pemberian zeolit pada tanah bertekstur liat dapat memperbaiki struktur tanah, pori-pori

udara tanah ditingkatkan, sedangkan zeolit yang diberikan pada tanah berpasir

dapat meningkatkan daya pegang tanah terhadap air (Al-Jabri, 2009). Pemberian

zeolit sebagai pembenah tanah diberikan dalam bentuk campuran antara ukuran

halus dan kasar agar pengaruhnya dapat bertahan untuk beberapa tahun, sebab jika

semua zeolit yang diberikan 100% berukuran halus, akan memberikan pengaruh yang

semakin baik akan tetapi daya tahannya lebih pendek (Al-Jabri 2009).

3. Pertumbuhan kedelai

Parameter pertumbuhan vegetatif kedelai dalam percobaan meliputi biomasa

kering batang, biomasa kering kulit polong, jumlah cabang, jumlah ruas produktif.

Berdasarkan Tabel 19, 20, 21, 22, menunjukan bahwa pertumbuhan tertinggi terjadi

pada perlakuan kombinasi Azotobacter 105 + Mikoriza 35g dan kompos 6 ton ha-1 dan

pertumbuhan terendah pada perlakuan kombinasi Azotobacter 104 + Mikoriza 25g dan

tanpa kompos, yaitu pada parameter biomasa kering batang, biomasa kering kulit

polong, jumlah cabang, dan jumlah ruas produktif. Pada perlakuan tanpa kompos,

pertumbuhan tertinggi adalah pada kombinasi Azotobacter 103 + Mikoriza 30g, dan

selanjutnya diikuti oleh perlakuan kombinasi Azotobacter 105 + Mikoriza 35g dan

kombinasi Azotobacter 104 + Mikoriza 25g. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa

terjadi kompetisi sesama Azotobacter sp., karena kurangnya bahan organik untuk

nutrisi dan energi menyebabkan aktivitas mikroba untuk menfiksasi nitrogen bebas

134
sangat rendah. Rendahnya unsur hara N menyebabkan terganggunya pertumbuhan

kedelai. Aktivitas Azotobacter dan mikoriza akan terus meningkat dengan

meningkatnya penambahan kompos dalam tanah, karena kompos merupakan sumber

nutrisi dan energi bagi mikroba.

Selama fase pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai sebagian besar hasil

fotosintesis dialokasikan untuk pertumbuhan daun, batang, akar, cabang dan nodula

(Egli, Guffy dan Legget, 1985). Faktor genetik juga berpengaruh terhadap pertumbuhan

tanaman kedelai. Pertumbuhan dipengaruhi oleh ketersediaan P dan N yang cukup. Jika

kandungan N tanah tinggi, 90 % hasil fotosintesis didistribusikan ke bagian ujung akar

dan ujung batang, akan tetapi jika kandungan N rendah, maka hanya 50 % yang

didistribusikan ke bagian ujung akar dan ujung batang (Gardner, Pearce dan Mitchell,

1991). Daun merupakan organ vegetatif yang memegang peranan penting dalam

fotosintesis. Pada awal pertumbuhan distribusi hasil fotosintesis ke daun relatif kecil jika

dibanding dengan distribusi fotosintesis ke akar dan batang, selanjutnya porsi hasil

fotosintesis ke daun semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman karena

hasil fotosintesis meningkat dan setelah kedelai memasuki pembentukan polong

pendistribusian hasil fotosintesis kedaun menurun (Sarawa, 1998). Tanaman kedelai

yang kekurangan P maka pembentukan cabang lebih sedikit, daun yang terbentuk relatif

kecil dan tipis (Sarawa, 1998). Distribusi hasil fotosintesis ke daun menurun pada saat

pembentukan polong dan pengisian biji, karena distribusi hasil fotosintesis diarahkan

pada pembentukan polong dan pengisian biji (Sarawa, 1998).

Unsur P berpengaruh terhadap pertumbuhan daun tanaman kedelai karena

unsur P berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara mikro. Kekurangan unsur P

menyebabkan terhambatnya penyerapan Zn, Fe, dan Cu (Mengel dan Kirkby, 1978).

Kandungan Ca, Mg, dan K daun muda kedelai akan meningkat dengan meningkatnya
135
dosis P yang diberikan, daun tua kandungan Ca dan Mg meningkat dengan

meningkatnya dosis P yang diberikan (Blevin, 1994). Ca berfungsi sebagai pengikat

fosfolipid dengan protein membran dan Mg merupakan unsur yang berperan dalam

pembentukan klorofil, Kalium (K) berperan penting dalam mengaktifkan berbagai enzim

dan berperan membuka dan menutupnya stomata, sehingga fungsinya berkaitan dengan

laju fotosintesis, respirasi dan translokasi fotosintat (Salisbury dan Ross, 1992).

Apabila P dalam tanah melebihi kebutuhan optimum tanaman maka P tidak

akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan dan hasil biji, bahkan terjadi penurunan,

hal tersebut sesuai pendapat Marschner (1995) menyatakan bahwa konsentrasi P

yang tinggi dapat menghambat Fe dan Zn. Pada saat bersamaan ketersediaan unsur

hara P dan unsur hara lain seperti Calsium dan Kalium berada dalam keseimbangan

unsur bagi tanaman. Kandungan Kalium yang optimum berpengaruh sangat baik

terhadap hasil tanaman, karena Kalium berperan penting dalam pembentukan,

pemecahan dan translokasi hasil fotosintesis, metabolisme Nitrogen dan sintesis protein,

mempercepat pertumbuhan jaringan meristem dan berperan dalam membuka dan

menutupnya stomata. Calsium berpengaruh pada aktivitas fiksasi N dalam bintil akar,

penyusun dinding sel sebagai subtansi perekat yaitu Ca-pektat. Terry dan Ulrich (1993)

yang menyatakan bahwa P berfungsi dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman,

maka kekurangan P dapat mengindikasikan penurunan proses metabolisme sehingga

menghambat pembelahan dan pembesaran sel, menghambat perluasan daun,

menghambat pembentukan klorofil. Kekurangan P pada tanaman menyebabkan

kemunculan tunas baru terhambat, jumlah cabang sedikit, cabang pendek, dan daun

yang terbentuk sedikit, serta tanaman terlihat pendek dan bila kelebihan P maka

terjadi laju pertumbuhan akan semakin rendah (Liferdi, 2010). Hasil penelitian Liferdi

(2010) menyimpulkan bahwa Fosfor memberikan pengaruh nyata terhadap


136
pertumbuhan bibit manggis, terutama untuk peubah tinggi tanaman, panjang cabang,

jumlah cabang, dan jumlah daun dan P optimum, yaitu 130 ppm/tanaman.

Di dalam tanaman unsur hara K dan P ada saling ketergantungan. Unsur K

berfungsi sebagai media transportasi yang membawa hara-hara dari akar termasuk

hara P ke daun dan mentranslokasi asimilat dari daun ke seluruh jaringan tanaman.

Kurangnya hara K dalam tanaman dapat menghambat proses transportasi dalam

tanaman, oleh karena itu, agar proses transportasi unsur hara maupun asimilat dalam

tanaman dapat berlangsung optimal maka unsur K dalam tanaman harus optimal

(Taufiq, 2002). Kalium yang diserap oleh tanaman dinyatakan sebagai K-total.

Kebutuhan K pada fase vegetatif jauh lebih besar dari pada kebutuhan P, sebab K

penting dalam pembentukan daun sedangkan P penting dalam pembentukan biji

(Harsono, 2002). Hasil penelitian Silohoy (2008), menyimpulkan bahwa pemupukan

Kalium pada tanah berpengaruh terhadap pH tanah, Kalium tersedia (K), serapan

kalium, tinggi tanaman, diameter batang dan berat kering biji kacang tanah.

4. Biomasa kering kedelai

Bobot kering tanaman kedelai mencerminkan pertumbuhan tanaman dan

banyaknya unsur hara yang terserap per satuan bobot biomasa yang dihasilkan.

Semakin berat bobot kering tanaman kedelai yang dihasilkan, maka pertumbuhan

kedelai semakin baik dan unsur hara yang terserap tanaman semakin banyak.

Rendahnya bobot kering tanaman pada perlakuan tanpa kompos dan dengan mikoriza

akan tetap rendah walaupun menyerap hara P dan K yang cukup tersedia dalam tanah,

karena ketersediaan unsur N dalam tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan

tanaman. Meningkatnya biomasa kering menunjukan meningkatnya aktivitas asimilasi

(fotosintesis). Peningkatan biomasa kering sejalan dengan peningkatan takaran

137
kompos yang diberikan dan pemberian kombinasi Azotobacter dan Mikoriza (Tabel 19,

20,). Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan unsur P dan N dalam kompos dan

tersedianya N dan P yang dapat diserap tanaman karena hasil aktivitas dari

Azotobacter sp. dan Mikoriza. Unsur P berperan dalam memacu terjadinya fotosintesis,

sedangkan unsur N memacu pertumbuhan tanaman. Dalam tanaman P merupakan

komponen penting fosfolipid membran, komponen ATP, PEP, dan NADPH yang

penting dalam penggunaan dan penyimpanan energi (Blevin, 1994).

Kedelai yang kekurangan fosfor tidak efisien dalam penyerapan radiasi

sehingga menjadi tidak menguntungkan bagi tanaman (Lauer et al., 1989).

Peningkatan ketersediaan P melalui kompos dan aktivitas mikoriza dapat

meningkatkan pertumbuhan daun, sehingga dapat meningkatkan laju fotosintesis

tanaman.

5. Produksi kedelai

Produksi kedelai dapat ditunjukan dengan jumlah polong, jumlah polong isi,

jumlah polong hampa kedelai, jumlah polong hampa, jumlah biji, bobot biji kering 12

tanaman, bobot 100 biji, bobot biji kering per hektar. Produksi kedelai tertinggi terjadi

pada perlakuan kombinasi Azotobacter 105 + Mikoriza 35g dan kompos 6 ton ha-1 untuk

semua parameter produksi (Tabel 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29) dan produksi terendah

pada perlakuan kombinasi Azotobacter 104 + Mikoriza 25g dan tanpa kompos yaitu

pada parameter jumlah polong hampa dan jumlah biji pertanaman (Tabel 25, 26) dan

perlakuan kombinasi Azotobacter 105 + Mikoriza 35g dan tanpa kompos pada

parameter berat biji kering 12 tanaman dan bobot biji kering per hektar (Tabel 27, 29).

Pada perlakuan tanpa kompos dengan jumlah populasi Azotobacter yang tinggi akan

menyebabkan kompetisi sesama Azotobacter sp., karena kurangnya bahan organik

138
untuk nutrisi dan energi menyebabkan aktivitas mikroba untuk menfiksasi nitrogen

bebas sangat rendah. Aktivitas Azotobacter dan mikoriza akan terus meningkat

dengan meningkatnya penambahan kompos dalam tanah, karena kompos merupakan

sumber nutrisi dan energi bagi mikroba. Dengan peningkatan pemberian kompos

sampai pada 6 ton ha-1 menyebabkan meningkatnya produksi tanaman.

Polong merupakan komponen hasil paling penting yang menentukan hasil

tanaman kedelai. Pertumbuhan polong ditandai dengan meningkatnya bobot polong

melalui pertambahan ukuran dan bobot biji. Pada saat pengisian polong hasil

fotosintesis sangat pesat didistribusi kepolong, yang pada akhirnya bobot biji yang

dihasilkan menjadi lebih tinggi. Pada fase pengisian biji sebagian besar hasil

fotosintesis ditranslokasi kepengisian biji, sedangkan hasil fotosintesis yang didistribusi

ke bagian vegetatif semakin melambat. Pesatnya pertumbuhan generatif, khususnya

pembentukan polong dan pengisian biji, menyebabkan permintaan hasil fotosintesis ke

polong meningkat. Pesatnya partisi fotosintat lebih tinggi ke polong menyebabkan

pesatnya pengisian biji dan pada akhirnya meningkatkan hasil biji tanaman kedelai.

Egli, Guffy dan Legget (1981) melaporkan bahwa biji dan polong kedelai mulai

berkembang pada saat sel telur sudah dibuahi, selanjutnya polong dan biji

mendapatkan partisi fotosintat yang bersifat linear. Periode pengisian biji pada kedelai

berlangsung lama pada fase linear. Ukuran maksimum lebar polong tercapai 20 hari

setelah pembuahan dan ukuran maksimun biji tercapai 45 hari setelah pembuahan

(Brovo et al., 1980), namun lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pengisian polong

sangat ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan (Mayers dan Lawn, 1991).

Bila partisi fotosintat lebih besar ke organ tanaman yang bernilai ekonomi,

hasil akan lebih tinggi. Hasil fotosintesis sangat ditentukan oleh sifat genetik dan

kondisi lingkungan lingkungan tempat tumbuh. Partisi hasil fotosintesis ke batang,


139
cabang, daun, bunga dan polong sangat berpengaruh terhadap produksi biji kedelai.

Pertumbuhan akar, batang, daun, cabang yang optimal juga akan menghasilkan

produksi biji yang tinggi. Kondisi optimalnya ketersediaan unsur hara dan kondisi

lingkungan untuk mendukung pertumbuhan tanaman, akan meningkatkan

pertumbuhan vegetatif maupun pertumbuhan generatif tanaman. Pertumbuhan

vegetatif yang optimal akan meningkatkan laju fotosintesis. Laju fotosintesis yang

tinggi akan menghasilkan karbohidrat. Karbohidrat akan ditrasnlokasikan ke bagian

tanaman yang membutuhkan sebagai sumber energi dan disimpan pada biji. Pada

saat pertumbuhan vegetatif hasil fotosintesis lebih banyak didistribusi ke organ

vegetatif, sedangkan pada saat pertumbuhan generatif hasil fotosintesis lebih banyak

ditranslokasi untuk pertumbuhan generatif terutama polong dan biji dan translokasi ke

organ vegetatif akan semakin menurun bahkan terhenti sama sekali pada biji telah

mencapai masak fisiologis.

Produksi biji kering kedelai sangat dipengaruhi oleh komponen hasil, yaitu

jumlah polong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, jumlah polong hampa,

jumlah biji per tanaman, berat 100 biji. Semakin tinggi nilai komponen hasil biji maka

semakin tinggi hasil biji. Komponen-komponen hasil sangat ditentukan oleh aktivitas

fotosintesis kedelai. Fotosintat yang tinggi dicapai apabila faktor pendukung

pertumbuhan mencapai kondisi optimum yaitu dipengaruhii oleh sifat genetik, kondisi

lingkungan yang optmal, dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Jumlah biji

berhubungan dengan hasil biji kering, karena jumlah biji per tanaman mempengaruhi

hasil biji. Biji berasal dari polong, oleh karena itu semakin banyak polong terbentuk

semakin besar potensi untuk menghasilkan biji semakin banyak. Banyaknya biji sangat

tergantung pada banyaknya polong yang terbentuk. Setiap polong berisi 1 – 3 biji,

tetapi juga terdapat polong hampa. Bobot 100 biji akan mempengaruhi hasil biji total
140
per hektar. Bobot 100 biji menunjukan pengaruh akfivitas fotosintesis dalam distribusi

fotosintat kepengisian biji. Bobot 100 biji juga dipengaruhi oleh sifat genetis kedelai.

Bobot 100 biji tinggi karena sifat genetis, tidak akan meningkatkan total hasil per

hektar apabila jumlah polong dan jumlah biji yang terbentuk sedikit. Jumlah polong,

jumlah biji, berat 100 biji, jumlah biji dalam polong dipengaruhi oleh hasil fotosintesis.

Fotosintesis sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang diperlukan dan

kondisi lingkungan yang optimal.

Komponen yang mempengaruhi produksi biji adalah jumlah cabang, ruas

produktif, jumlah polong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, jumlah

polong hampa, jumlah biji per tanaman, berat 100 biji sangat ditentukan oleh sifat

genetis dan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan vegetatif dan

pertumbuhan generatif tanaman. De la Cruz (1991) menyatakan, meningkatnya hasil

pipilan kering jagung dengan penambahan CMA karena tanaman yang terinfeksi CMA

melalui jaringan hifa eksternalnya mampu memperluas bidang serapan akar sehingga

tanaman mendapatkan pasokan hara yang cukup untuk pertumbuhan dan

peningkatan hasil. Peningkatan hasil pipilan kering tanaman jagung dengan

pemberian CMA juga dilaporkan oleh Muzar (2006) dan Hasanudin (2003) dan pada

tanaman kacang tanah dilaporkan oleh Endang dan Santosa (2005).

6. Indeks Panen

Indeks panen merupakan ratio bobot biji dengan bobot biomasa. Indeks

panen dalam penelitian ini adalah merupakan rasio berat biji dengan biomasa kering

batang dan biomasa kering kulit polong. Inokulasi kombinasi Azotobacter sp. 103 CFU

mL-1+mikoriza 30g, Azotobacter sp. 104 CFU mL-1+mikoriza 25g dan Azotobacter sp.

105 CFU mL-1+mikoriza 35g memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap
141
Indeks panen, demikian juga pemberian kompos 0 ton ha-1, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1 dan

6 ton ha-1 memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap Indeks panen (Tabel

30). Pemberian kombinasi Azotobacter+mikoriza dan kompos tidak menunjukan

perbedaan indeks panen. Berdasarkan nilai indeks panen menunjukan bahwa rasio

komponen ekonomi (biji) dan komponen non ekonomi (komponen selain biji) pada

kedelai merupakan rasio yang konstan tanpa dipengaruhi tingkat pertumbuhan

tanaman. Pertumbuhan kedelai yang rendah maka menyebabkan produksi biji yang

rendah, dan jika pertumbuhan kedelai tinggi maka produksi biji meningkat, dengan

demikian maka indeks panen tidak berbeda pada semua perlakuan. Indeks panen

menunjukan perbandingan distribusi hasil asimilasi antara biomasa ekonomi dengan

biomasa total (Gardner, Pearce dan Mitchell, 1991).

7. Kondisi Lingkungan Optimun untuk Pertumbuhan Kedelai

Pertumbuhan dan produksi kedelai yang baik apabila didukung oleh kondisi

lingkungan yang optimum bagi kedelai. Percobaan tahap I dilaksanakan pada musim

kemarau dalam rumah plastik. Berdasarkan hasil pengukuran suhu siang hari saat

mulai penelitian sampai pada umur kedelai 60 hari yaitu antara 32-38oC dan pada

siang hari suhu dapat mencapai 36-380C. Kelembaban udara pada siang hari dengan

rata-rata 46 %. Suhu dan kelembaban tersebut merupakan kondisi lingkungan yang

kurang mendukung untuk pertumbuhan kedelai. Kondisi yang menyebabkan rata-rata

pertumbuhan dan produksi pada percobaan tahap I relatif rendah. Penyebab lain

rendahnya pertumbuhan dan produksi pada percobaan tahap I adalah rendahnya

bahan organik dan tingginya kemasaman tanah ultisol sebagai media tumbuh kedelai.

Toleransi pH yang baik sebagai syarat tumbuh kedelai yaitu antara 5,8–7. pH tanah

kurang dari 6,0 dapat membatasi pertumbuhan akar tanaman kedelai, karena

142
tingginya kadar Al dan Fe dalam tanah ultisol maka menyebakan fosfat tidak tersedia

bagi tanaman. Keracunan Al menyebabkan akar menjadi kaku, pembelahan sel

terhambat, bahkan sebagian akar mengalami kerusakan (Hardjowigeno, 2007).

Tingginya kemasaman media tanam dan suhu di atas 350C bakteri Azotobacter

aktivitasnya menurun. Menurut Adisarwanto (2005), suhu optimum untuk

pertumbuhan kedelai adalah suhu 20–25ºC. Suhu tinggi lebih dari 30ºC sampai

mendekati 40°C pada masa tanaman berbunga, maka bunga tersebut akan

rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai yang terbentuk juga menjadi

berkurang (Adisarwanto, 2005).

Pada percobaan tahap II pertumbuhan dan produksi kedelai sangat optimal

pada perlakuan Azotobacter sp.+mikoriza dan pemberian kompos. Pertumbuhan dan

produksi yang optimal tersebut merupakan kontribusi dari pemberian Azotobacter sp,

mikoriza, pemberian kompos, zeolit dan didukung oleh faktor lingkungan yang optimal

mendukung pertumbuhan dan produksi kedelai. Pelaksanaan percobaan tahap II

pada musim penghujan dengan curah hujan merata sejak kedelai berumur 21 hari

setelah tanam sampai panen. Pemberian kompos berperan dalam menambah bahan

organik tanah, sebagai sumber energi dan nutrisi bagi Azotobacter sp. dan juga

memperbaiki sifat kimia, biologi dan fisika tanah (Subowo, 2010). Pemberian kompos

juga akan meningkatkan pH tanah dan ketersediaan unsur hara yang tersedia bagi

tanaman. Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara pada siang hari

saat pelaksanaan penelitian tahap II yaitu 23-32oC dan 78-89%. Menurut Sumarno

dan Hartono (1983), bahwa kedelai akan tumbuh dan berproduksi baik apabila hujan

merata selama 3 bulan dengan curah hujan 200-400 mm per bulan dan dengan

drainase yang baik. Air merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan tanaman

karena berfungsi sebagai pelarut hara, berperan dalam translokasi hara dan
143
fotosintesis. Fotosintesis membutuhkan air sebagai bahan baku dalam pembentukan

fotosintat, khususnya karbohidrat. Air diperlukan pada fase cahaya sebagai sumber

elektron untuk membentuk energi kimia dalam bentuk NADPH2 dan ATP. Energi

NADPH2 dan ATP digunakan untuk mereduksi CO dalam fase gelap untuk

menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Jika tanaman kekurangan air maka laju

fotosintesis terus menurun karena tidak mampu membentuk NADPH2 dan ATP yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan energi untuk mereduksi CO (Sarawa, 2009),

sehingga pertumbuhan dan produksi biji menjadi rendah.

Inokulasi mikoriza dengan ketersediaan air yang optimum dapat

meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai telah dilaporkan oleh Muis,

Indradewi dan Widada (2013) bahwa panjang akar, luas permukaan akar, tinggi

tanaman, luas daun, bobot kering total, bobot kering total saat panen, jumlah polong

per tanaman, jumlah biji per tanaman, bobot 100 biji, bobot biji per tanaman dan

Indeks panen kedelai varietas Willis yang aplikasi dengan mikoriza dengan

penyiraman setiap hari, pertumbuhan dan produksinya lebih tinggi dibanding dengan

penyiraman tanaman dengan interval 3 hari dan 6 hari. Cekaman kekeringan yang

terjadi pada saat pertumbuhan generatif, akan menurunkan produksi. Kekeringan juga

menurunkan bobot biji, sebab bobot biji sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang

diberikan pada musim tanam. Kedelai dapat tumbuh baik di tempat yang berhawa

panas, di tempat yang terbuka dan bercurah hujan 200–400 mm per bulan, oleh

karena itu, kedelai kebanyakan ditanam di daerah yang terletak kurang dari 400 m di

atas permukaan laut. Tanaman kedelai akan tumbuh baik, jika ditanam di daerah

beriklim kering. Kedelai merupakan tanaman berhari pendek, yakni apabila

penyinaran terlalu lama melebihi 12 jam, tanaman tidak akan berbunga. Hampir

semua varietas tanaman kedelai berbunga dari umur 30–60 hari (Adisarwanto, 2005).
144
Kedelai banyak memerlukan air, tetapi pada stadia awal tumbuh, berbunga,

pembentukan dan pengisian polong, ketersediaan air sangat diperlukan. Setiap

kultivar kedelai mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mengubah dan

beradaptasi terhadap pH tanah tergantung pada eksudat akar yang dihasilkan oleh

masing-masing kultivar (Gardner, Pearce dan Mitchell, 1991).

145
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

1. Pertumbuhan dan produksi tertinggi pada kedelai varietas Anjasmoro yaitu

pada aplikasi Azotobacter dengan kerapatan 103 CFU mL-1 dan mikoriza 30g.

Aplikasi Azotobacter dan mikoriza meningkatkan pertumbuhan dan produksi

kedelai varietas Anjasmoro dan Grobogan.

2. Pertumbuhan dan produksi varietas Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan

dengan varietas Grobogan pada semua parameter pertumbuhan dan produksi,

kecuali pada parameter berat 100 biji kering, indeks panen dan kadar protein

varietas Grobogan lebih tinggi dibanding dengan varietas Anjasmoro.

3. Pemberian kompos dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai

varietas Anjasmoro pada tanah ultisol yang diaplikasi Azotobacter dan mikoriza.

4. Inokulasi Azotobacter sp. 105 CFU mL-1+mikoriza 35g dan kompos 6 ton ha-1

memberikan pertumbuhan dan produksi tertinggi pada varietas Anjasmoro.

B. Saran

Berdasaran hasil penelitian maka disarankan bahwa untuk mendapatkan

produksi optimal dalam budidaya kedelai pada lahan ultisol dan kondisi iklim di

Sulawesi Tenggara maka hendaknya menanam kedelai varietas Anjasmoro

dengan mengaplikasi kombinasi Azotobacter 10 5 CFU mL-1+Mikoriza 35g dan

kompos 6 ton ha-1.

146
DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, 2005. Budidaya kedelai dengan pemupukan yang efektif dan


pengoptimalan peran bintil akar. Penebar Swadaya . Jakarta.

Adiwiganda, Y.T ., B. Tarigan & B. Purba. 2006. Effect of biofertilizer on mature oil
palm in North Sumatera and Riau. Indonesian J. of Agric sci. 7(1):20-26.

Ahmad, F., I. Ahmad, & M.S. Khan. 2005. Indole acetic acid production by the
indigenous isolates of Azotobacter and flourescent Pseudomonas in the
presence and absence of tryptophan. Departement of Agricultural Microbiology,
Faculty of Agricultural Sciences, Aligarh Muslim University. 29: 29-34.

Al-Jabri, M. 2009. Peningkatan produksi tanaman pangan dengan pembenah tanah


zeolit. Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian: Bogor.

Al-Jabri, M., 2008. Tantangan dan peluang pengembangan pembenah tanah zeolit
pada lahan terdegradasi untuk produksi tanaman pangan. Balai Penelitian
Tanah, Pusat Penelitian dan pengembangan Departemen Pertanian, Bogor.
http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/prosiding2008pdf/aljabri_
zeolit. pdf. Diakses 15 Januari 2013.

Andyanta, S. Atmojo, dan Khairun. 2000. Pemanfaatan zeolit alam untuk menurunkan
kejenuhan alumunium tanah ultisol dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan
dan produksi kedelai. J.Penelitian Pertanian Unsoed. Purwokerto, 8(4):41-47

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2013. Data strategis BPS. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Sultra. 2012. Sulawesi Tenggara dalam angka. Kendari.

Badan Pusat Statistik Sultra. 2008. Sulawesi Tenggara dalam angka. Kendari

Bagyaraj, D.J. 1991. Ecology of vesicular-arbuscular mycorrhiza. In D.K. Arora (eds.)


Handbook of Applied Mycology : Soil and Plants, Volume I, Marcel Dekker, Inc.
New York.

Barea, J.M. 1991. Vesikular-arbuscular mycorhizas as modifiers of soil fertility. Adv. Soil
Sciences.

Bethlenfalvay, G.J. 1992. Mycorrhiza and crop productivity. In Belhlenfalvay G.J. and
R.G. Linderman (eds), Mycorrhizae in sustainable agriculture, Am. Soc. Agron.
Special Publication 54, American Society of Agronomy, Madison, pp. 1-25.
Bionciotto, V. and P. Bonfante. 1998. Presymbiotic versus symbiotic phase in
arbuscular endomycorrhizal fungi. In. Varma, A. dan B. Hock (eds.), Mycorrhiza
: Structure, Function, Molecular Biology and Biotechnology, Second Edition.
Springer Verlag Berlin Heidelberg, Germany.

Blevins, D. G. and K. M. Lukaszewski. 1998. Boron in plant structure and function.


Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 49:481-500.
147
Bolan, N.S. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of
phosphorus by plants. Plant Soil 134:189-207.

Bravo, R., A. Celis, D. Mosses, and J.E. Celis. 1980. Distribution of HeL a cells
polypeptides in cytoplasts and karyoplasts. J.Cell Biol. Int. Rep. 5(5) : 479-489.

Brundrett, M.C. 2004. Diversity and classification of myccorhizal associations. Biol.


Rev.79:473-495.

Brundrett, M.C. 1999. Arbuscular Mycorrhizas. CSIRO Forestry and Forest product..

Brundrett, M.C. L. Melville, and R.L. Peterson, 1994. Practical methods in mycorrhizal
research. Mycologue Publications, Waterloo. 161 p.

Buurman, R., and J. Dai.1976. Research on podzolik soil in central and north lampung
(Sumatera) and its bearing on agricultur development. Soil Res. Inst., Bogor.

Byth, D.E Elsemann, R.R.I. De Lacy. 1976. Two way pattern analysis o f a large
data set to evaluate genotypic adaptation. Heredity 37:215-230.

Cavagnaro, T.R., L.E.Jackson, J. Six, H. Ferris, S. Goyal, D. Asami, K.M. Scow.


2006. Arbuscular mycorrhizas, microbial communities, nutrient availability,
dansoil aggregates in organic tomato production. Plant and soil 282:209-
225.

Cavagnaro, T.R., and A.W. Martin. 2010. The role of mycorrhizas in plant nutrition:
field dan mutant based approaches.19th World Congress of Soil Science,
Soil Solutions for a Changing World 1–6 August 2010, Brisbane,
Australia.Published on DVD.

Coleman D.C., and D.A., Crossley. 1995. Fundamental of soil ecology. Academic
Press, San Diego, New York.

Dachlan, A., B. Zakaria, A.K. Pairunan, E. Syam’un. 2012. Inokulasi azotobacter sp.
dan kompos limbah pertanian terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah,
J. Agrivigor 11(2):117-128.
Darsiman B. 2000. Pengaruh pemberian air dan mulsa terhadap pertumbuhan
dan hasil kedelai (Glycine max [L.] Merr.). J. Penelitian Pertanian.
Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara Medan. 19 (2): 100-
106.

De la Cruz, R.E. 1991. Final report of the consultant on mycorrhizal program devel-
opment in the iuc biotechnology center. Pusat Antar universitas Institut
Pertanian Bogor.

Delvian, Y. Setiadi, I. Mansur, and Soedarmadi. 2001. Correlation between soil salinity
with arbuscular mycorrhiza fungi distribution, population and seasonal

148
dynamics in coastal forest. Paper of Seminar and Workshop on Mycorrhiza in
Agriculture, University of Bengkulu, 11-13 June 2001.

Douds D.D., P.D. Millner. 1999. Biodiversity of arbuscular mycorrhizal fungi in


agroecosystems. Agriculture, Ecosystems and Environment 74: 77–93.

Egli, D.G., R.D. Guffy, J.E. Legget. 1985. Partitioning of assimilate beetwen vegetative
and reproductive growth in soybean. Agron.J., 77, 917-922.

Erfandy, D., Kurnia, dan Juarsah. 2004. Pemanfaatan bahan organik dalam perbaikan
sifat fisik dan kimia tanah ultisol. Dalam Pros. Seminar Nasional:
Pendayagunaan Tanah Masam. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Ernawanto, Q.D., B.S. Noeriwan, Sugiono. 2011. Pengaruh pemberian zeolit terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Pros. Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Jawa Timur.

Estiaty. L.M., Suwardi, D. Fatimah, I. Maruya. 2006. Pengaruh zeolit dan pupuk
kandang terhadap residu unsur hara dalam tanah. Zeolit Indonesia 5(1):4-6.

Fachruddin, L. 2000. Budidaya kacang-kacangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Fakuara, Y. 1994. Peranan mikoriza dalam peredaran hara dan peningkatan kualitas
semai. Laporan Pelatihan Biologi dan Bioteknologi Mikoriza. SEAMEO
BIOTROP, Bogor.

Finlay, K.W., G.N. Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in plant breeding
Programme.Australian. J. Agric. Res.14:742- 754.

Fuji, S. 1974. Heavy metal adsorption by pulverized zeolites: Japan. Kokai


74,079,849, 2 pp.

Forbes, P.J., S. William, J.E. Hooker, and L.A. Harrier. 1998. Transformation of the
arbuscular mycorrhizal fungus Gigaspora rosea. Mycol. Res. 102:497-501.

Gardner, F.P., R.B. Pearce and R.L. Mitchell. 1991. Physiology of crop plants
(Fisiologi Tanaman Budidaya, alih bahasa: H. Susilo). Universitas Indonesia
Press, Jakarta.

George, F., K. Hanssler, S.K. Kothari, X.L. Li, and H. Marschner. 1992. Contribution
of micorrhizal hyphae to nutrient and water uptake of plants. In D.J. Read et.al.
(ed.), Mycorrhizae in Ecosystems. C.A.B. International, United Kingdom.

Gholami, A., S. Shahsavani, S. Nezarat. 2009. The effect of plant growth promoting
rhizobacteria (PGPR) on germination, seedling growth and yield of maize. Inter.
J. of Biol. Life Sci. 1 (Suppl. 1):35-40.

149
Gilber, R.A., D.R. Morris, C.R. Rambelt, J.M. McCrey, R.E. Perdomo, B. Eiland,
G.Powel, G. Montes. 2008. Sugarcane response to mill mud, fertilizer, and
soybean nutrient source on sandy soil. Agron. J. 100:845 - 854

Gonzalo, B.E., and A. Miguel. 2006. Mycorrhiza : An ecological alternative for


sustainable agriculture. http://www.micorrhiza.html. diakses 18 September 2013.

Hakim, L. S. dan Suwardjo. 1987. Penerapan pola tanam dalam usaha perawatan
tingkat produktivitas tanah. Laporan Penelitian Pola Usaha tani Terpadu di
Daerah Transmigrasi, Jambi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Hakim, N., N. Yusup, A.M. Lubis, G.N. Sutopo, M. Amin, Go Ban Hong dan H.H.
Bailey. 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Penerbit Universitas Lampung.

Halim. 2009. Peran Endomikoriza indigenous gulma Imperata Cylindrica (L) Beauv.
dan Eupatorium odorata L. terhadap kompetisi gula dan tanaman jagung.
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu tanah. Edisi Keenam, Penerbit Akademika Pressindo.


Jakarta.

Harsono, A. 2002. Kajian kendala produksi kacang tanah lahan kering tanah
mediteran merah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pros. Seminar Nasional dan
Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. 16-
17 Desember 2002. Hal. 144-150. Malang.

Haryono B. 2000. Pemupukan tanaman jarak. Monograp Balittas Agro Inovasi, No 6 :


25-33.

Hasanudin. 2003. Peningkatan ketersediaan dan serapan N dan P serta hasil


tanaman jagung melalui inokulasi mikoriza, Azotobakter dan bahan organik
pada ultisol. J. Ilmu Pertanian Indonesia 5(2): 83-89.

Hasse, P.R. 1984. Potential of organic material for soil improvement. In : Organic
matter and rice. International Rice Research Institute, Ed. Los Banos, Laguna,
Philippines.

Hendritomo. 1984. Suatu kemungkinan aplikasi zeolit untuk meningkatkan produksi


pertanian, peternakan, dan perikanan. Majalah BPTP No. VII/1984

Hindersah, R., D.H. Arief, dan Y. Sumarni. 2000. Kontribusi hormonal Azotobcter
chroococcum pada pertumbuhan kecambah jagung sistem kultur cair. Pros.
Seminar Nasional Bioteknologi Pertanian.

Hindersah, R. dan T. Simarmata. 2004. Potensi rizobakteri azotobacter dalam


meningkatkan kesehatan tanah. J. Natur Indonesia 5(2):127-133.

150
Hindersah, R. dan R. Sudirja. 2010. Suhu dan waktu inkubasi untuk optimasi kandungan
eksopolisakarida dan fitohormon inokulan cair Azotobacter sp. LKM6. J. Natur
Indonesia 13(1):67-71

Husaini. 2007. Karakteristik dan deposit pembenah tanah zeolit di Indonesia.


Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Bandung. Dipresentasikan pada
Semiloka Pembenah Tanah Menghemat Pupuk, Mendukung Peningkatan
Produksi Beras, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Deptan. Bekerjasama
dengan konsorsium Pembenah Tanah Indonesia pada 5 April 2007, Jakarta.

Husaini. 2002. Genesis, proses pengolahan dan produk mineral. Makalah


disampaikan pada seminar pemanfaatan zeolit, pertanian organik dan
vermikompos dalam menunjang pertanian berkelanjutan. Diselenggarakan
Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. 12 Mei 2002. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Husen, E. 2003. Screening of soil bacteria for plant growth promotion activities in vitro.
Indonesian J. of Agric. Sci. 4(1):27-31.

Irwan A.W. 2006. Budidaya tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill), Universitas
Padjadjaran, Jatinangor.

Isminarni, F., S. Wedhastri, J. Widada, dan B.H. Purwanto. 2007. Penambatan N


dan penghasilan indol asam asetat oleh isolate-Azotobacter pada pH rendah
dan Al tinggi. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan. 7(1): 23-30

Juge, C., J. Samson, C. Bestien, H. Vierheilig, A. Coughlan, and Y. Pieche. 2002.


Breaking dormancy in spores of the arbuscular mycorrhizal fungus glomus
intraradies. A critical cold storage period. J. of Mycorrhiza, 12:37-42.

Kabirun, S. 2002. Tanggap padi gogo terhadap inokulasi mikoriza arbuskula dan
pemupukan fosfat di entisol. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan 3(2): 49-56.

Kasno. 2009. Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah. Balai Penelitian
tanah, Litbang. Deptan.

Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014, Jakarta

Killham, K. 1999. Soil ecology. Cambridge University, New York.

Lauer, M.J., S.G. Pallardy, D.G. Blevin, and D.D. Ranal. 1989. Whole leaf carbon
exchange characteristic of phosphate deficient soybean (Glycine max (L)
Merril) Plant Physiol. 91:848-854.

Liferdi L. 2010. Efek pemberian fosfor terhadap pertumbuhan dan status hara pada
bibit manggis. J. Hort. 20(1):18-26.

Lindsay, W.L. 1979. Chemical equilibria in soils. John Wiley & Sons, New York, USA,
449 p.
151
Lingga, L. 2005. Panduan budidaya sansevieria, Agromedia Pustaka, Jakarta.

Madigan, M.E., J.M. Martinko, and J. Parker. 2000. Biology of microorganisms. 9th
ed. Prentice Hall, Inc., New Jersey p.992.

Mahajan, A., A.K. Choudhary, R.C. Jaggi, dan R.K. Dogra. 2003. Importance of
biofertilizers in sustainable agriculture. Farmers’ Forum 3 (4): 17–19

Margarettha. 2002. Pengaruh Molybdenum terhadap nodulasi dan hasil kedelai yang
diinokulasi Rhizobium pada tanah ultisol. J. MAPETA. Vol. X No. 2 hal 4-7.

Marshner H. 1995. Mineral nutrition of higher plants. 2 nd ed. Academic Press, New
York p. 748 p

Mayers, D.J. and R.J. Lawn. 1991. Adaptation of SOYBEAN (Glycine max (L) Merril) to
the dry season of the tropics: Effect of genotype and environment of biomass and
seed yield. Aust. J. Agric.42:517-530.

Mengel, H. and A. Kirkby. 1978. Principles of Plant Nutrition. 2nd Ed. International Potash
Institute. Worfblaufen, Switzerland.
Metting, F.B.Jr. 1993. Soil microbial ecology. Marcel Dekker Inc. New York, p. 11-17.

Ming, D. W., and F.A. Mumpton. 1989. Zeolites in soils. Dalam J. B. Dixon dan S. B.
Weed (ed). Mineral in soil environments. Second Ed. Soil science society of
America, Madison, Wisconsin.

Miyasaka, S.S., M. Habte, J.B. Friday, and E.V. Johnson. 2003. Manual on arbuscular
myccorhizal fungus production and inoculation techniques. Cooperative extension
service, college of tropical agriculture and human resource, University of Hawai,
Manoa.

Mosse, B. 1981. Vesicular arbuscular mycorrhyza research for tropical agriculture. Res.
Bull. 194. Hawai Institut for Tropical Agriculture.

Muis, A., D. Indradewi, dan J. Widada. 2013. Pengaruh inokulasi mikoriza arbuskula
terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine max (L.) Merrill) pada
berbagai interval penyiraman. Vegetalika 2(2):7-20

Mumpton FA. 1999. La roca magica : Uses of natural zeolite in agriculture and
industry. Proc Natl Acad Sci 96: 3463-3470.

Munir, E. 2006. Pemanfaatan mikroba dalam bioremediasi: suatu teknologi alternatif


untuk pelestarian lingkungan. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Musfal. 2010. Potensi cendawan mikoriza arbuskula untuk meningkatkan hasil


tanaman jagung. J.Litbang Pertanian 29(4):154-158.

152
Muzar, A. 2006. Respons tanaman jagung (Zea mays L.) kultivar Arjuna dengan
populasi tanaman bervariasi terhadap mikoriza vesicular arbuskular (MVA) dan
kapur pertanian superfosfat (KSP) pada ultisol. J. Akta Agrosia 9(2): 75−85.

Nasaruddin. 2012. Respon pertumbuhan bibit kakao terhadap inokulasi azotobacter


dan mikoriza. J. Agrivigor 11 (2):300-315.

Newsham, K.K., A.H. Fitter and A.R. Walkinson. 1995. Multifunctionality and
biodiversity in arbuscular mycorrhizas. Journal of Trends in Ecology and
Evolution, 10:407-412.

Novisan. 2005. Petunjuk pemupukan yang efektif. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Nuhamara, S.T. 1994. Peranan mikoriza untuk reklamasi lahan kritis. Program
pelatihan biologi dan bioteknologi mikoriza. Universitas Sebelas Maret, Solo.

Nurmas, A., A. Nofianti, Rahman, A. Khaeruni. 2014. Eksplorasi dan karakterisasi


azotobacter indigenous untuk pengembangan pupuk hayati tanaman padi gogo
lokal di lahan marginal. J. Agroteknos 4(2):127-133.

Nurzal J. dan Yunizar S. 1995. Inokulasi Rhizobium dan takaran pupuk urea pada
tanaman kedelai. Risalah seminar : Balai penelitian tanaman pangan sukarami,
VIII : 128-134

Partohardjono, S., I.G. Ismail, Subandi, M.O. Adnyana dan D.A. Darmawan. 1994.
Peranan sistem usahatani terpadu dalam upaya pengentasan kemiskinan di
berbagai agroekosistem. Pros. simposium panelitian tanaman pangan III.
Puslitbangtan Deptan. Hal 143-182.

Paulitz, T.C. and R.G. Linderman. 1991. Mycorrhizal interaction with soil organism. In
Arora, D.K., et al. (eds.) Handbook of applied mycology : soil and plants, Vol. I,
Marcel Dekker, Inc. New York.

Peoples, M.B., D.F. Herridge, and J.K. Ladha. 1995. Biological nitrogen fixation: An
efficient source of nitrogen for sustainable agricultural production. Plant and
Soil 174: 3-28.

Pitojo, S. 2003. Benih kedelai. Kanasius . Yogyakarta

Polat E, M. Karaca, H. Demir, A.N. Onus. 2004. Use of natural zeolite (clinoptilolite) in
agriculture. J Fruit Ornamental Plant Res 12.

Pond, W. G., and F. A. Mumpton. 1984. Zeo-agriculture: use natural zeolites in


agriculture and aquaculture. International committee on natural zeolite,
Westview Press, Boulder, CO.

Prasetyo, B.H., dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi
pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di
Indonesia. J. Litbang Pertanian, 25(2):39-47
153
Preston, S. 2007. Alternative soil amendements. NCAT Agriculture Specialist National
Sustainable Agriculture Information Service. ATTRA Publication.
<http://www.attra.ncat.org>. Diakses tanggal 1 Maret 2013.

Prihatini, T., S. Moersidi, dan A. Hamid. 1987. Pengaruh zeolit terhadap sifat tanah
dan hasil tanaman. Pemberitaan penelitian tanah dan pupuk. No.7: 5-8. Pusat
penelitian tanah. Badan litbang pertanian. Departeme Pertanian.

Purwono dan Purnamawati H. 2007. Budidaya 8 jenis tanaman pangan unggul.


Penebar Swadaya. Jakarta.

Rajan, S.S. 2002. Plant physiology. Anmol Publications PVT. LTD, New Delhi-110
002, India

Rao, N. dan S. Shuba. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Edisi
2,Universitas Indonesia, Jakarta.

Saharan, B.S. and V. Nehra. 2011. Plant growth promoting rhizo-bacteria: A


Critical review. J. Life Science and Medicine Research 21:1-30

Salisbury, F. B. and C.W. Ross. 1992. Plant Physiology (Diterjemahkan oleh : Diah R,
Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung

Sarawa, M.J., Arma, dan M. Mattola. 2014. Pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine
max (L.) Merr.) pada berbagai interval penyiraman dan takaran pupuk kandang.
J. Agroteknos, 4(2): 78-86.

Sarawa. 2009. Fisiologi Tanaman : Pendekatan Praktis. Unhalu Press

Sarawa. 1998. Pola distrubusi fotosintat dan hasil kedelai (Glycine max (L). Merr.)
pada ultisol yang dipupuk dengan pupuk hijau dan fosfat alam. Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.

Sariningsih, J. 2013. Pengaruh takaran zeolit dan pupuk organik padat bottom ash
terhadap KTK tanah, kadar P tanaman, pertumbuhan dan hasil tanaman
kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada inceptisol Jatinangor. e-journal.
winayamukti.ac.id /download. php?pdf. Diakses tanggal 8 Nopember 2013.

Setiadi, B. 1996. Gambut, tantangan dan peluang. Himpunan Gambut Indonesia


(HGI). Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 60 hal.

Shantharam, S. and A.K. Mattoo. 1997. Enhancing biological Nitrogen fixation: An


appraisal of current and alternative technologies for N input into plants. Plant
and Soil 194:205-216.

Silahooy. 2008. Efek pupuk KCl dan SP-36 terhadap Kalium tersedia, serapan kalium
dan hasil kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada tanah brunizem. Bul.
Agron. 36(2):126–132.
154
Singh, T. and S.K. Dixit. 2001. Use of biofertlizers for higher crop yield. Farm
Information Unit, New Delhi, India.

Sinwin, R.M., Mulyati dan E.S. Lotita. 2005. Peranan kascing dan inokulasi jamur
mikoriza terhadap serapan hara tanaman jagung. Universitas Mataram.

Soedarsono, J. 1982. Mikrobiologi tanah II. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.


Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Soegiyatni S, dan Suyamto. 2000. Uji daya hasil pendahuluan kedelai toleran
kekeringan. Laporan penelitian balai penelitian tanaman kacang-kacangan
dan umbi-umbian. Malang.

Soekardi, M., M.W. Retno, dan Hikmatullah. 1993. Inventarisasi dan karakterisasi
lahan alang-alang. hlm. 1-18. dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih,
H. Subagjo, H. Suhardjo, Y. Prawirasumantri. (ed.). Pemanfaatan lahan alang-
alang untuk usaha tani berkelanjutan. Pros. seminar lahan alang-alang, Bogor,
Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian.

Soelaiman, M.Z., and H. Hirata. 1995. Effect of indigenous arbuscular mycorrhizae


fungi in paddy fields rice growth and NPK nutrition under different water
regimes. Soil Sci. Plant Nutri. 41(3): 505−514.

Soepardi, G. 1992. Pemanfaatan tanah podsolik merah kuning melalui konservasi


tanah dan air. Makalah ceramah umum di depan sivitas akademika Universitas
Haluoleo Kendari, 12 Agustus 1992.

Soepardi. 1983. Sifat dan ciri tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 591 hal.

Sri Adiningsih, J., dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan
lahan alang-alang. Hal. 29-50. dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih,
H. Subagjo, H. Suhardjo, Y. Prawirasumantri (ed.). Pemanfaatan lahan alang-
alang untuk usaha tani berkelanjutan. Pros. seminar lahan alang-alang, Bogor,
Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian.

Stanley, B.A. 1984. Soil nutrient bioavailability. John Wiiley and Sons. New York.

Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di


Indonesia. hlm. 21-66. dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin
(ed.). Sumberdaya lahan indonesia dan pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Subowo, G. 2010. Strategi efisiensi penggunaan bahan organik untuk kesuburan dan
produktivitas tanah melalui pemberdayaan sumber daya hayati tanah. J.
Sumberdaya Lahan, 4(1):13-25

155
Subowo, G., I. Anas, G. Djajakirana, A. Abdulrachman, dan S. Hardjowigeno. 2002.
Pemanfaatan cacing tanah untuk meningkatkan produktivitas ultisol lahan
kering. J. Tanah dan Iklim 20:35-46.

Subranian, K.S., C. Charest, L.M. Dwyear and R.I. Hamilton. 1995. Arbuscular
mycorrhizas and water relations in maize under drought stress at tasseling. J.
of New Phytologi. 129:643-650.

Sudarno, H., Rusin, Marjono dan Supri. 2002. Pengaruh smber Nitrogen, dosis dan
waktu pemberian terhadap produksi dan mutu benih jarak. dalam Pros.
Seminar pengembangan wilayah dalam rangka otonomi daerah, 16 Oktober
2002, Malang.

Sudhir, C. and K.K. Harbans. 2006. Biotechnology of VA mycorrhiza. Indian Scenario,


New India Publication. New Delhi.

Sudjadi, M. 1984. Masalah kesuburan tanah podsolik merah kuning dan kemungkinan
pemecahannya. Hal. 3-10 dalam Pros. pertemuan teknis penelitian pola
usahatani menunjang transmigrasi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai


Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang.

Suhartina, dan D . M . Arsyad. 2005. Toleransi galur dan varietas kedelai


terhadap cekaman lingkungan. Lokakarya dan Seminar Nasional:
Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan Dan Umbi-Umbian Mendukung
Kemandirian Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan.

Suhartina, dan A . Nur. 2005. Evaluasi galur-galur harapan kedelai hitam toleran
terhadap kekeringan. Laporan Akhir Tahun. Hasil Penelitian Komponen
Teknologi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Tahun 2005.
Balitkabi. Malang.

Sujarwadi. 1997. Sekilas tentang zeolit. Pusat Pengembangan Teknologi Mineral.


Bandung.

Sumadi, S., D. Pasaribu, dan Y. Izumiyama. 1989. Pertumbuhan kedelai dalam


hubungannya dengan varitas dan populasi tanaman. Penelitian Pertanian 9:45-
48.

Sumarno dan Hartono. 1983. Kedelai dan cara bercocok tanamnya. Balai Penelitian
Tanaman Pangan, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi dasar. Fakultas Pertanian UPN Veteran


Yogyakarta.

156
Suriadikarta dan Simanungkalit. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati, ed: R.D.M.
Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.

Sutedjo, M. M., dan A.G. Kartasapoetra. 1987. Pengantar ilmu tanah. Bina Aksara,
Jakarta.

Suwardi. 2007. Pemanfaatan zeolit untuk perbaikan sifat-sifat tanah dan peningkatan
produksi pertanian. Disampaikan pada Semiloka Pembenah Tanah Menghemat
Pupuk Mendukung Peningkatan Produksi Beras, Departemen Pertanian,
Jakarta 5 April 2007

Suwardi. 2002. Pemanfaatan zeolit untuk meningkatkan produksi tanaman pangan,


peternakan dan perikanan. Makalah disampaikan pada seminar pemanfaatan
zeolit, pertanian organik dan vermikompos dalam menunjang pertanian
berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor. 12 Mei 2002.. Bogor.

Suwarjo, H., Mulyadi, dan Sudirman. 1987. Prospek tanaman benguk (Mucuna sp.)
untuk rehabilitasi tanah podsolik merah kuning yang dibuka secara mekanis di
Kumang Kuning Jambi. Pros. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Tarafdar, J.C., and A.V. Rao. 1997. Response of arid legumes to VAM fungal
inoculation. Symbiosis 22: 265-274.

Taufiq, A. 2002. Status P dan K lahan kering tanah alfisol pulau Jawa dan Madura
serta optimasi pemupukannya untuk tanaman kacang tanah. Pros. Seminar
Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah
Indonesia. 16-17 Desember 2002. Hal. 94-103. Malang.

Terry, N., and A. Ulrich. 1993. Effect of Phosphorus deficiency on the photosynthesis
and respiration of leaves in sugar beet. Plant Physiol. 51:43-47.

Torii, K. M., M. Hotta, and M. Asaka. 1979. quantitative estimation of mordenite and
clinoptilolite in sedimentary rock. J. Japan Association Mineral Economic
Geology 74(8).

Townsend, R. P. 1979. The properties and application of zeolites. The proceeding of A


Conference Organized Jointly by the Inorganic Cehemicals Group of the
Chemical Society and the Chemical Industry. The City University, London, April
18th – 20th.

Utomo, M. 2002. Pengelolaan lahan kering untuk pertanian berkelanjutan. Makalah


utama pada seminar nasional IV, pengembangan wilayah lahan kering dan
pertemuan ilmiah tahunan himpunan ilmu tanah Indonesia di Mataram, 27-28
Mei 2002.

157
Vidyarthy, G.S., and Misra. 1982. The role and importance of organik material and
biological nitrogen fixation in rational improvement of agricultural production.
FAO Soil Bulletine, No. 45.

Wedhastri, S. 2002. Isolasi dan seleksi Azotobacter spp. penghasil faktor tumbuh dan
penambat nitrogen dari tanah masam. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan . 3
(1):45-51.

Winarno, S., E.S., Sutarto, R. Yuliasari., dan Z Poelongan. 2000. pelepasan hara
pupuk majemuk kelapa sawit, J. Penelitian Kelapa Sawit 9(2):103-109...

Winarso, S., T.C. Setyawati, A. Mudjiharjati dan B. Sanyoto. 2001. Perubahan basa-
basa dapat ditukar dan air tercuci pada tanah yang diberi zeolit. Agri. jurnal
Fakultas Pertanian Universitas Jember. 7(1) 1-12.

Wright, S.F. and A. Uphadhyaya. 1998. Survey of soils for aggregate stability and
glomalin, a glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi.
Plant Soil 198:97-107.

Yassen T., Burni, T., and Hussain, F. 2011. Effect of arbuscular mycorrhizal inoculatio
on nutrient uptake, growth and productivity of cowpea (Vigna unguiculata)
varities, African J. of Biotecnology 10(43):8593-8598.

Yuliana, I. Suwardi, L.M. Estiaty, D. Fatimah, P. Suherman. 2005. Pengaruh zeolit


terhadap effisiensi unsur hara pada pupuk kandang dalam tanah. J. Zeolit
Indonesia, 4(2).

Zarate, J.T., and R.E. de la Cruz. 1995. Pilot testing the effectiveness of arbuscular
mycorrhizal fungi in the reforestation of marginal grassland. Biotrop. Spec.
Publ. 56:131-137.

158
LAMPIRAN-LAMPIRAN

159
Lampiran 1. Deskripsi kedelai varietas Anjasmoro

Dilepas tahun : 2001


SK Mentan : 357/Kpts/TP.240/10/2001
Asal : Seleksi massa dari populasi galur murni Mansuria
Daya hasil : 2,03-2,25 ton/ha
Warna hipokotil : Ungu
Warna epikotil : Ungu
Warna daun : Hijau
Warna bulu : Putih
Warna bunga : Ungu
Warna kulit biji : Kuning
Warna polong masak : Coklat Muda
Warna hilum : Kuning kecoklatan
Bentuk daun : Oval
Tipe tumbuh : Determinit
Umur berbunga : 35,7-39,4 hari
Umur polong masak : 82,5-92,5 hari
Tinggi tanaman : 64-68 cm
Percabangan : 2,9-5,6 cabang
Jumlah buku batang utama : 12,9-14,8
Bobot 100 biji : 14,8-15,3 gr
Kandungan protein : 41,8-42,1%
Kandungan lemak : 17,2-18,6%
Kerebahan : Tahan rebah
Ketahanan terhadap : Moderat terhadap karat daun
penyakit
Sifat-sifat : Polong tidak mudah pecah
Sumber : Suhartina, 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan Umbi-
Umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian.
Malang.

160
Lampiran 2. Deskripsi kedelai varietas Grobogan

Dilepas tahun : 2008


SK Mentan : 238/Kpts/SR.120/3/2008
Asal : Pemurnian populasi lokal Malabar Grobogan
Potensi hasil : 3,40 ton/ha
Rata-Rata hasil : 2,77 ton/ha
Warna hipokotil : Ungu
Warna epikotil : Ungu
Warna daun : Hijau agak tua
Warna bulu : Coklat
Warna bunga : Ungu
Warna kulit biji : Kuning muda
Warna polong masak : Coklat
Warna hilum : Coklat
Bentuk daun : Lanceolate
Tipe tumbuh : Determinit
Umur berbunga : 30-32 hari
Umur polong masak : 76 hari
Tinggi tanaman : 50-60 cm
Percabangan : -
Bobot 100 biji : 18 gr
Kandungan protein : 43,9%
Kandungan lemak : 18,4%
Kerebahan : Tahan rebah
Daerah sebaran : Beradaptasi baik pada beberapa kondisi lingkungan
pada musim hujan dan daerah beririgasi baik
Sifat-sifat : Polong tidak mudah pecah, pada saat panen daun
luruh 95-100%, vegetatifnya lebih pendek
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembanagan Tanaman Pangan 2010,
Kementerian Pertanian RI

161
Lampiran 3. Denah percobaan pada tahap I (rumah plastik)

A2M2 A1M0 A1M2 A0M2 A1M1 A2M3 A1M1 A1M1


.3 .3 .3 .2 .1 .1 .4 .2

A2M1 A0M0 A0M3 A2M1 A2M2 A0M1 A0M3 A2M0


.4 .2 .1 3 .4 .4 .1 .3

A1M3 A0M0 A1M3 A1M2 A0M2 A0M3 A0M1 A0M3


.3 .1 .4 .1 .1 .1 .1 .1

A0M1 A2M3 A1M2 A2M3 A2M0 A1M0 A2M1 A1M0


.3 .3 2 .4 .4 .1 2 .2

A2M2 A1M0 A1M3 A2M2 A1M1 A0M2 A2M1 A0M2


.2 .4 .1 .1 .3 .3 .1 .4

A0M1 A2M0 A1M2 A2M0 A0M0 A2M3 A0M0 A1M3


.2 .1 4 .2 .4 .2 .3 .2

Varietas Anjasmoro

A0M2 A0M1 A0M0 A0M2 A2M0 A1M1 A2M0 A1M1


.4 .1 .2 .1 .4 .1 .1 .4

A2M1 A1M0 A1M2 A1M0 A2M2 A1M1 A2M0 A2M2


.4 .1 .1 .3 .3 .3 .2 .4

A0M3 A1M1 A0M3 A0M2 A2M3 A0M3 A2M3 A2M1


.3 .2 .2 .3 .4 .4 .3 .1

A0M1 A0M1 A0M2 A0M1 A1M2 A1M2 A0M0 A1M2


.2 .3 .2 .4 .2 .4 .3 .3

A0M3 A1M1 A2M3 A1M1 A2M2 A2M1 A2M0 A2M1


.1 .1 .1 .2 .2 .3 .3 .2

A0M0 A2M3 A0M0 A1M0 A1M1 A2M2 A1M1 A1M0


.1 .2 .4 .2 .4 .1 .3 .4

Varietas Grobogan

Keterangan : A0 = tanpa Azotobacter sp. M0 = tanpa mikoriza


A1 = Azotobacter sp. 103 CFU mL-1 M1 = dengan mikoriza 10g
A2 = Azotobacter sp. 106 CFU mL-1 M2 = dengan mikoriza 20g
M3 = dengan mikoriza 30g

162
Lampiran 4. Denah percobaan tahap II (di kebun)
Barat

P0K2 P1K2 P2K2 P3K2


1 1 1 6
P0K1 P1K1 P2K2 P3K1
2 5 4 6
P0K2 P1K2 P2K1 P3K1
4 2 3 5
P0K1 P1K1 P2K2 P3K2
1 1 2 3
P0K1 P1K1 P2K1 P3K2
4 2 1 1
P0K1 P1K3 P2K1 P3K2
3 5 2 2
P0K2 P1K2 P2K3 P3K1
3 3 1 1
P0K2 P1K2 P2K3 P3K1
2 4 2 2
P0K3 P1K1 P2K1 P3K3
Selatan 2 3 4 6 Utara
P0K3 P1K2 P2K1 P3K3
3 6 5 4
P0K3 P1K3 P2K3 P3K1
1 6 5 4
P0K3 P1K1 P2K2 P3K2
4 6 3 5
P0K1. P1K3 P2K2 P3K3
5 4 5 3
P0K1 P1K1 P2K3 P3K2
6 4 6 4
P0K2 P1K3 P2K2 P3K3
6 1 6 2
P0K3 P1K3 P2K1 P3K1
5 2 6 3
P0K3 P1K2 P2K3 P3K2
6 5 3 2
P0K2 P1K3 P3K3 P3K3
5 3 5 1
Timur
Keterangan
P0 = Tanpa Kompos
P1 = 0,8 Kg Kompos/Petak (2 Ton/Ha)
P2 = 1,6 Kg Kompos/Petak (4 Ton/Ha)
P3 = 2,4 Kg Kompos/Petak (6 Ton/Ha)
K1 = Kombinasi Azotobacter 103 CFU mL-1, Mikoriza 30 Gram/Tanaman
K2 = Kombinasi Azotobacter 104 CFU mL-1, Mikoriza 25 Gram/Tanaman
K3 = Kombinasi Azotobacter 105 CFU mL-1, Mikoriza 35 Gram/Tanaman
Petak 2 x 2 M ditambahkan : 1,2 kg dolomite (3 ton/ha), zeolit 1,4 kg (3,5 ton/ha),
furadan 6,8 gr/petak (17 kg/ha), UREA, KCl, SP36 = 30 gr/petak (75 kg/petak)

163
Lampiran 8. Kriteria kesuburan tanah mineral

Kategori
No. Sifat tanah Rendah Sedang Tinggi
Sifat fisika
1 Pori aerasi (%) 5-10 11-15 > 15
2. Pori pemegang air tersedia (%) 5-10 11-15 16-20
3. Permeabilitas (cm/jam) < 2,00 2,02-6,35 6,36-
12,70
4. Erodibilitas < 0,200 0,21-0,32 > 0,33
Sifat kimia
5. C (%) 1,0-2,0 2,01-3,00 3,01-5,00
6. N (%) 0,1-0,2 0,21-0,50 0,51-0,75
7. C/N 6-10 11-16 16-25
8. P2O5 HCL 25% (me/100g) = total 15-20 21-40 41-60
P2O5 Bray (ppm P) = tersedia 5-7 8-10 11-15
P2O5 Olsen (ppm P) = tersedia 5-10 11-15 16-20
9. K2O5 HCL 25% (me/100g) = total 10-20 21-40 41-60
10. KTK (me/100g) 5-6 17-24 25-40
11. Susunan kation :
K (me/100g) 0,1-0,3 0,40-0,50 0,60-1,00
Na (me/100g) 0,1-0,3 0,40-0,70 0,80-1,00
Mg (me/100g) 0,4-1,0 1,10-2,00 2,10-8,00
Ca (me/100g) 2-5 6-10 11-20
12. Kejenuhan basa (%) 20-40 41-60 61-80
13. Kejenuhan aluminium (%) 5-10 11-20 20-40
14. Cadangan mineral (%) 5-10 11-20 20-40
3
15. Salinitas DHL ECE x 10 (mmhos/cm) 1-2 2-3 3-4
16. Persentase Natrium dapat tukar 2-5 5-10 10-15
(ESP)
17. Kemasaman / pH (H2O) Masam Agak Agak
(4,5-5,5) masam alkalis
(5,6-6,5) (7,6-8,5)
Sumber : Pusat penelitian tanah (1983) dalam Subowo G. (2010)

164
Lampiran 5. Hasil analisis ragam pertumbuhan dan produksi kedelai pada percobaan tahap I

Kuadrat tengah
Sumber keragaman 0,05 0,01 Db Biomasa Biomasa Biomasa Biomasa Biomasa Jumlah Jumlah polong
akar batang daun kulit polong Total cabang batang utama
Ulangan (U) 2,742 4,084 3 0,0398 tn 0,1719 tn 0,2989 tn 0,5886 tn 2,0315 * 0,0432 tn 0,4062 tn
Varietas (V) 3,942 7,018 1 1,0929 ** 5,4401 ** 8,1208 ** 0,1458 tn 16,95 ** 4,3914 ** 8,9954 **
Mikoriza (M) 2,742 4,084 3 0,1351 * 0,3710 tn 0,7990 ** 1,5746 ** 5,3708 ** 0,7333 ** 2,9185 *
Azotobacter (A) 3,132 4,928 2 0,1331 * 0,9056 * 1,3183 ** 2,3051 ** 7,4603 ** 0,2846 tn 1,0125 tn
V*M 2,742 4,084 3 0,0792 tn 0,3580 tn 0,5149 * 0,2266 tn 2,2871 * 0,5559 * 2,7659 *
V*A 3,132 4,928 2 0,2071 * 0,1260 tn 0,4607 tn 0,1801 tn 1,6208 tn 0,3096 tn 0,9728 tn
M*A 2,232 3,074 6 0,0843 tn 0,1117 tn 0,2342 tn 0,3502 tn 1,1895 tn 0,1440 tn 0,6701 tn
V*M*A 2,232 3,074 6 0,0412 tn 0,1756 tn 0,1989 tn 0,1467 tn 0,4262 tn 0,2714 tn 0,6476 tn
U*V*M*A 69 0,0433 0,1922 0,1827 0,2258 0,6512 0,1514 0,8450
Total 95 0,0661 0,2652 0,3339 0,3247 1,2507 0,2370 1,0258
KK (%) 14,76 15,38 5,71 13,25 3,5 7,09 7,18
Transformasi √x +0,5 √x +0,5 √x +10 √x +0,5 √x +10 √x √x +10

Lampiran 5. Lanjutan
Sumber Kuadrat tengah
keragaman Jumlah Jumlah Jumlah Berat Jumlah biji Berat biji Indeks panen
0,05 0,01 Db polong polong polong polong
cabang berisi
Ulangan (U) 2,742 4,084 3 0,8110 tn 1,3824 tn 1,8845 tn 1,4320 * 8,9954 * 0,7028 * 0,00495 tn
Varietas (V) 3,942 7,018 1 23,7324 ** 37,5639 ** 37,1466 ** 2,0117 * 61,8294 ** 1,5711 ** 0,09907 **
Mikoriza (M) 2,742 4,084 3 5,9378 ** 10,3149 ** 8,9106 ** 3,0308 ** 21,4591 ** 1,4855 ** 0,01838 tn
Azotobacter (A) 3,132 4,928 2 7,0362 ** 8,1972 ** 7,1937* 3,4330 ** 22,2128 ** 1,6014 ** 0,00475 tn
V*M 2,742 4,084 3 3,5784 ** 7,1453 ** 7,6366 ** 1,1142 * 17,7020 ** 1,1086 ** 0,03327 *
V*A 3,132 4,928 2 0,5321 tn 1,6999 tn 2,073 tn 0,8740 tn 4,1368 tn 0,5871 tn 0,01419 tn
M*A 2,232 3,074 6 0,5131 tn 0,8467 tn 1,517 tn 1,1409 * 9,3812 ** 0,6470 * 0,02856 tn
V*M*A 2,232 3,074 6 2,1031 * 1,7052 tn 1,6148 tn 0,2264 tn 1,5071 tn 0,1393 tn 0,01136 tn
U*V*M*A 69 0,8169 1,4591 1,4824 0,3836 2,9606 0,2175 0,009220
Total 95 1,4938 2,4198 2,4423 0,6529 5,5643 0,3743 0,012448
KK (%) 5,164 4,07 4,46 5,49 24,88 6,74 26
Transformasi √x +10 √x +10 √x +10 √x +10 √x +10 √x +10 -
Lampiran 6. Hasil analisis ragam pertumbuhan dan produksi kedelai pada percobaan Tahap II

Kuadrat tengah
Sumber Biomasa Biomasa Biomasa Jumlah Jumlah ruas Jumlah Jumlah
keragaman Db 0,05 0,01 kering kering kulit kering cabang produktif polong polong
batang polong total berisi
Ulangan (U) 5 2,38 3,37 4,5428 tn 0,05984 tn 0,1217 tn 2,7569 tn 20,6871 tn 0,5907 tn 186,323 tn
Kombinasi 2 3,17 5,01 18,7181 tn 0,2554 tn 0,4715 tn 3,3883 tn 14,2187 tn 1,1553 tn 195,627 tn
Azotobacter +
Mikoriza (K)
Kompos (P) 3 2,78 4,16 311,934 ** 3,1652 ** 9,7074 ** 27,2154 ** 472,793 ** 39,1561 ** 15783,9 **
K*P 6 2,27 3,15 12,3306 tn 0,08925 tn 0,2874 tn 1,3495 tn 12,7650 tn 0,8615 tn 603,601 tn
U*K*P 8,9215 0,1041 0,2524 3,7262 23,1982 0,2815 501,695
Total 21,9106 0,23339 0,6518 3,7262 40,8837 2,4378 1125,20
KK (%) 3,26 2,325 1,999 6,21 26,76 0,502 4,012
Transformasi - √x √x - - √x -

Lampiran 6. Lanjutan
Sumber Kuadrat tengah
keragaman Jumlah Jumlah biji Berat Berat 100 biji Produksi biji Indeks panen
0,05 0,01 Db polong hampa biji/tanaman ha-1

Ulangan (U) 5 2,38 3,37 0,1417 tn 1,1047 tn 3,1794 tn 1,1514 tn 0,1092 tn 0,01209 tn
Kombinasi 2 3,17 5,01 0,01362 tn 0,7826 tn 2,6339 tn 0,9539 tn 0,4305 tn 0,006949 tn
Azotobacter +
Mikoriza (K)
Kompos (P) 3 2,78 4,16 0,9515 ** 73,1178 ** 35,0413 ** 12,6904 ** 12,7412 ** 0,008864 tn
K*P 6 2,27 3,15 0,1447 tn 1,7630 tn 3,6212 tn 1,3114 tn 0,2933 tn 0,02086 tn
U*K*P 0,2089 1,9242 3,2726 0,8230 0,3324 tn 0,01595
Total 0,2246 3,8452 3,8452 1,3925 0,8405 0,01554
KK (%) 17,530 6,400 5,213 6,94 1,798 26,63
Transformasi √x + 0,5 √x - - - -
Lampiran 7. Rata-rata biomasa kering batang, biomasa kering kulit polong, biomasa kering total, jumlah cabang, jumlah ruas
produktif, jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, jumlah biji, berat biji total, berat 100 biji,
produksi biji ton ha-1, dan indeks panen dari perlakuan kompos

Perlakuan Biomasa Biomasa Biomasa Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah


Kompos kering kering kulit kering total cabang ruas polong polong
batang polong produktif berisi
Po (0 ton ha-1) 6,08 a 9,87 a 15,95 a 9,00 a 20,25 a
64,34 a 66,12 a
P1 (2 ton ha-1) 10,25 b 13,98 b 24,23 b 10,80 ab 27 b99,57 b 99,59 b
-1
P2 (4 ton ha ) 13,28 c 14,90 b 28,18 c 11,80 b 30,57 c
118,32 c 122,42 c
P3 (6 ton ha-1) 15,74 d 16,93 c 32,67 d 11,25 b 31,39 c
136,93 d 133,05 c
BNT 1,99 0,2155 0,3355 1,2894 3,2173
0,76045 14,9614
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (kolom variabel) berbeda sangat nyata.

Lampiran 7. Lanjutan

Perlakuan Jumlah Jumlah biji Berat biji Berat 100 Produksi biji Indeks
Kompos polong total biji ton ha-1 panen
hampa
Po (0 ton ha-1) 1,76 a 140,20 a 205,64 a 13,91 a 1,90 a 1,30a
P1 (2 ton ha-1) 2,15 a 208,10 b 366,62 b 15,14 b 3,11 b 1,34a
-1
P2 (4 ton ha ) 2,76 ab 245,42 c 394,45 c 15,24 b 3,64 c 1,35a
P3 (6 ton ha-1) 3,74 b 272, 87 d 451,11 d 15,92 c 4,16 d 1,34a
BNT 0,3053 0,9265 1,0069 0,6059 0,3851 0,8437
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (kolom variabel) berbeda sangat nyata .

Anda mungkin juga menyukai