Anda di halaman 1dari 4

PRAKTIK KONSELING MENGGUNAKAN PENDEKATAN EKSISTENSIAL

Dr. R Budi sarwono, M.A.

Konseling eksistensial adalah sebuah proses kerjasama antara konselor dan konseli, untuk mengatasi
persoalan persoalan yang terkait dengan keniscayaan (kepastian) hidup, dengan mengoptimalkan
potensi potensi kemanusiaan konseli. Dalam membantu konseli, konselor tidak terlalu mengandalkan
penggunaan teknik teknik konseling, namun menggantungkan pada ketrampilan konselor dalam
menciptakan relasi dengan konseli, sehingga menghasilkan perubahan perubahan dalam diri konseli.

Tujuan utama konseling eksistensial adalah untuk membantu konseli menemukan nilai, makna dan
tujuan hidupnya. Konseling bukan semata mata untuk menyembuhkan konseli, tetapi membuat ia
paham akan apa yang ia lakukan dan mengeluarkannya dari perasaan menjadi korban dari sebuah
permasalahan. Untuk mencapai tujuan tersebut konselor membimbing konseli untuk ‘ melawan’
ketakutan dan kecemasan yang mendalam pada keniscayaan perubahan dalam hidup, seperti kematian,
isolasi (alienasi), ketakbermaknaan hidup dan absennya tanggungjawab pribadi. Mereview dan
merefleksikan pengalaman konseli dapat menjadi jalan menuju tujuan tersebut, terlebih jika review dan
refleksi itu dapat membawa konseli pada hidup yang lebih autentik, bermakna dan membuat ia paham
akan kebebesasan yang telah ia gunakan untuk menentukan segala sesuatu. Lebih dari itu, review dan
refleksi pengalaman tadi dapat menyadarkan konseli akan pilihan pilihan dalam mengaktualisasikan
dirinya, dan membangun kehidupan yang merefleksikan nilai nilai tersebut.

KONSELOR : Nilai nilai diri dan self disclosure konselor yang menggunakan pendekatan eksistensial
sangat penting karena menjadi bagian yang tak terpisah dari mekanisme konseling. Tugas konselor
adalah menegaskan kebebebasan, autentisitas, mengajak konseli untuk ‘melawan’ katakutan
ketakutannya, dan mendorong mereka membuat pilihan pilihan bermakna dalam hidupnya. Untuk
menegaskan arti pentingnya kebebasan pribadi atas pilihan pilihan, konselor tidak memaksakan nilai
nilai pribadi kepada konseli, namun konselor boleh membrikan pandangan-pandangan, nasihat dan
sharing akan hal hal yang bernilai bagi konselor, tetapi tetap membiarkan konseli membuat pilihannya
sendiri.

Konselor adalah co-eksplorer bagi konseli yang ‘hadir sepenuhnya’, empatik tanpa kehilangan dirinya
ketika mendengarkan pengalaman konseli, ketia ia menceritakan ketakutan ketakutannya tentang
kematian, pengalaman terisolasi (alienasi), rasa bersalah dan ketiadaan eksistensi. Konselor adalah
orang yang selalu memberikan perhatian pada belief system konseli, memberi perhatian seberapa
dalam ia mencintai, mempertanyakan seberapa tinggi keinginan-keinginannya, dan mengekplorasi
seberapa kuat ia mengejar cita citanya secara kreatif. Mereka berkomunikasi dengan saling
menghormati, komunikasi yang penuh dengan dukungan, dan penuh dengan perhatian dan
keterbukaan. Konseling eksistensial tidak memiliki ekspektasi tentang hasil konseling, tidak harus
menghasilkan kesepakatan konseli harus berbuat apa, tetapi sebuah pertemuan yang mempertanyakan
soal kebebasan yang telah mereka pilih untuk membangun kehidupan yang bermakna. Fokus mereka
adalah proses, bukan hasil.

Relasi Ko-Ki dalam konseling eksistensial harus mencapai realasi aku dan engkau. Yakni sebuah relasi
yang menunjukkan respek yang dalam satu sama lain, sehingga mencapai sensasi keterhubungan yang
dalam. Dengan terbentuknya relasi semacam ini, konselor akan mampu menguatkan konseli hingga ia
menemukan dirinya sendiri.

1
Proses Konseling Eksistensial. Karena konseling eksistensial tidak fokus pada masalah, tetapi fokus pada
kedalaman relasi Ko-Ki, maka konseling ini relatif tidak berbatas waktu dan perlakuannya tidak memiliki
pola pola serta transisi yang jelas. Proses konseling umumnya dimulai dari langkah mengembangkan
pemahaman terhadap kesadaran konseli tentang diri dan dunianya. Pertama tema klien didorong untuk
menjelaskan nilai nilai yang digenggam, beliefe system-nya, asumsi asumsinya, pengalaman dan latar
belakangnya. Selain itu konselor mendorong konsel untuk menceritakan pilihan pilihan yang sudah
dipilihnya, serta pilihan pilihan yang tidak dapat dipilihnya. Konselor mendengarkan dengan penuh
perhatian, sungguh sungguh dan mencoba memahami secara menyeluruh, termasuk pemahaman
konseli tentang dunianya. Lalu secara perlahan konselor mendorong konseli untuk menyadari
ketakutan-ketakutan atau kecemasannya yang mendalam dan mengambil tanggungjawab tertinggi atas
hal itu.

Fase pertengahan dalam proses konseling eksistensial ini, ditandai dengan langkah konselor mengajak
konseli untuk menggunakan seluruh informasi dan hasil percakapan yang telah terjadi untuk
menemukan tujuan, menemukan makna dan nilai hidupnya. Sessi konseling akan diakhiri ketika konseli
telah mampu mengimplementasikan kesadarannya untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya.
Mungkin konseli tidak mampu mengeliminasi semua ketakutannya, akan tetapi setidaknya ia memiliki
pengalaman untuk menyingkirkan ketakutan akan keniscayaan yang ada pada setiap makhluk hidup.
Dengan demikian konseli diharapkan dapat melakukan langkah progressif dengan berjalan di jalan yang
wajar (natural) dengan demikian aktualisasi dirinya semakin terwujudnyatakan.

Lima Hal Penting Dalam Konseling Eksistensial. Di dalam pikiran setiap konseli selalu terdapat dua
dunia, yakni dunia objektif dan dunia subjektif. Dunia objektif adalah dunia nyata yang juga dialami oleh
orang lain. Dunia subjektif adalah dunia yang hanya dialamai dirinya sendiri. Contoh; Kita sedang belajar
di kelas Konseling eksistensial yang diampu oleh Pak Budi (dunia objektif). Kita sedang belajar di kelas
yang membosankan (dunia subjektif). Konselor harus mampu memahami kedua jenis “dunia” tersebut
dengan kiat khusus, yakni being in the world. Dengan being in the world, konselor dapat melihat tiga
dimensi keberadaan konseli, yakni; 1). Berada pada dunia fisik 2). Berada dalam dunia hubungan
interpersonal, dan 3). Berada dalam dunia personal dan psikologis. Tugas konselor adalah menjaga
keharmonisan di antara ketiga keberadaan konseli tersebut. Konseli yang terlalu fokus pada salah satu,
misalnya fokus pada dunia nyata atau fokus pada dunia relationship, atau fokus pada dunia diri, ia akan
berkembang menjadi individu yang tidak sehat. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang mengalami
harmonisasi diantara ketiga keberadaan tersebut. Itu adalah hal penting yang pertama.

Kedua, puncak pencapaian konseli dalam sebuah konseling eksistensial adalah ketika ia mengalami peak
experiences (Maslow), atau chatartic experiences (Frankl). Ahli-ahli berikutnya (Frick)menyebutnya SGE
(Symbolic Growth Experiences). SGE adalah pengenalan dan interpretasi secara sadar atas dimensi
simbolik dari sebuah pengalaman yang baru saja terjadi, yang menuntun konseli pada kesadaran yang
lebih tinggi, menuntun pada penemuan makna hidup dan menuntun pada perkembangan personalnya.
Untuk menciptakan SGE dibutuhkan empat tahap:

1. Edukasi konseli tentang SGE


2. Konseli memilih satu pengalaman yang menonjol, lalu mengeksplorasi arti penting dan arti
simbolik dalam hidupnya.
3. Konselor membantu konseli mengeksplorasi makna makna tersembunyi dari pengalaman
tersebut.

2
4. Jika konseli memiliki pandangan yang jernih tentang makna yang ditemukan, ia memiliki
kemampuan mengulang strategi itu untuk menggali makna pada pengalaman yang lain.

Contoh SGE

Ko Budi, Bruder melihat kesedihan di wajahmu, apa yang sedang terjadi pada dirimu?
Ki Saya merasa malu, terhina dan frustrasi Der, ketika praktik mengajar pramuka di
SDN 2 sekumpulan pemuda berdiri di luar pagar sekolah mentertawakan saya,
mereka bilang “gak jelas mana guru mana murid” karena suara saya masih suara
kanak kanak kayak begini Der
Ko Kapan pertama kali kamu mengalami perasaan serupa ?
Ki Waktu SD Der, pada waktu itu saya sering dibully, rambut saya diuyek dengan
permen karet yang sudah sepah habis manisnya. Saya menangis setiap hari, malu,
terhina dan frustrasi. Saya murid paling kecil sejak SD Der
Ko Bruder paham perasaanmu saat itu, kamu sedih, teralienasi, terkucil dan frustrasi
Ko Benar Der
Ko Kamu membawa perasaan lamamu kepada pengalaman saat ini saat mengajar
pramuka, betulkah begitu Bud?
Ki Iya Der saya merasa terhina
Ko Nah, pada waktu kamu SD dulu pilihan apa yang kamu ambil untuk keluar dari
situasi itu?
Ki Saya pindah sekolah Der, tapi jauh, harus mengayuh sepeda 14 kilo pulang pergi
Ko Bagaimana kamu menyikapi keputusanmu untuk pindah sekolah itu ?
Ki Saya senang, bahagia sekali Der, dapat lepas dari pembullyan.
Ko Dengan perjalanan 14 km sehari?
Ki Itu kan risiko dari keputusan Der, semua sudah saya perhitungkan sebelumnya
Ko Bagus
Ki Capek sih Der, tapi karena hati senang jadi tidak merasa capek
Ko Jadi makna apa yan gbisa kamu petik dari pengalaman masa kecilmu itu?
Ki Hmm ya setiap keputusan mengandung risiko Der. Terus, kalau melakukan sesuatu
dengan cara yang sama tak ada hasilnya, sebaiknya cari cara yang berbeda, tidak
terus menerus berada pada cara yang sama.
K Coba kamu terapkan cara berpikir dan bersikapmu itu untuk menangani peristiwa
O yang baru saja terjadi saat ini ketika kamu praktik mengajar pramuka
Ki Bla bla bla bla….

Tiga, premis mayornya adalah the fear of fear increase fear (Frankl), maka gunakanlah teknik paradoxal
intention. Apa itu paradoxal intention ? Konselor mendorong konseli untuk melakukan sesuatu yang
paling ditakuti. Misalnya seorang yang takut kehujanan, justru disuruh berhujan hujan. Setelah berhujan
hujan ia akan menemukan makna yang lain dari peristiwa kehujanan dan mereduksi ketakutannya
terhadap hujan. Konseli yang takut pada guru matematika, justru diminta mencari cari alasan untuk bisa
bertemu dengan guru matematika. Maka ketakutan akan guru matematika akan tereduksi, dan ia
memahami rasa takutnya, dan mencari makna baru dari relasi dengan guru matematika.

Empat, dereflection. Dereflection adalah salah satu tipe dari intervensi paradoksal yang memanfaatkan
dua kualitas esensial dari eksistensi manusia, yakni, kapasitas manusia untuk melakukan transendensi

3
diri dan self detachment. Berbeda dengan hyperreflection yang mengakibatkan individu terserap pada
pemikirannya sendiri. Dereflektion menempatkan fokus jauh dari konseli dan membantunya untuk tidak
terkonsentrasi pada dirinya sendiri serta lebih memfokuskan diri pada orang lain atau tujuan untuk
menciptakan kebermaknaan hidup. Dereflection bermanfaat untuk mereduksi dorongan untuk
mengobservasi diri terus menerus, kemudian membimbing konseli untuk fokus pada hal hal yang lebih
positif. Hal ini akan memudahkan konseli untuk menemukan present moment, dan keluar dari jebakan
kecemasan yang obsesif.

Lima, ketrampilan menangani empat dimensi kondisi konseli. Di atas sudah dikemukakan bahwa empat
hal yang dapat mengakibatkan krisis pada individu adalah kecemasan akan kematian, kecemasan akan
isolasi (alienasi), ketidak bermaknaan hidup dan kebebasan yang bertanggungjawab. Berikut ini adalah
prinsip prinsip utama dalam menangani empat hal tersebut;

1. Keyakinan pada eksistensi diri pada present moment akan menghilangkan ketakutan pada
kematian
2. Cinta adalah respon yang autentik pada kecemasan akan isolasi (alaienasi)
3. Mengembangkan kreatifitas dalam membangun potensi diri, dapat melawan kecemasan akan
ketidakbermaknaan hidup.
4. Bertanggungjawab dan berkomitmen terhadap pilihan pilihan hidup akan membantu konseli
dalam menangani kecemasan yang timbul karena berlimpahnya pilihan hidup.

Anda mungkin juga menyukai