Anda di halaman 1dari 21

BAB III

PROSES PENYELENGGARAAN KLHS

3.1 Persiapan
3.1.1 Identifikasi Para Pemangku Kepentingan
Penyusunan KLHS RTRW Kabupaten Bekasi akan ditempuh melalui proses komunikasi
yang intensif untuk mencapai kesepakatan bersama yang melibatkan berbagai pemangku
kepentigan agar KLHS yang tersusun dapat memenuhi aspek legalitas dan legitimasi.
Berdasarkan PP No 46 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS (Pasal 32)
Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dalam membuat KLHS melibatkan masyarakat
dan pemangku kepentingan.
Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayai
(1) meliputi:
a. Pemberian pendapat, saran, dan usul;
b. Pendampingan tenaga ahli;
c. Bantuan teknis; dan
d. Penyampaian informasi dan/atau pelaporan.

Sedangkan masyarakat dan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud meliputi:


a. Masyarakat dan pemangku kepentingan yang terkena dampak langsung dan tidak
langsung dari Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; dan
b. Masyarakat dan pemangku kepentingan yang memiliki informasi dan/atau keahlian yang
relevan dengan substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program.

Teknik komunikasi yang akan digunakan dalam penyusunan KLHS RTRW Kabupaten
Bekasi adalah pemanfaatan dokumen atau kajian yang ada, melaksanakan konsultasi publik
(FGD), pelaksanaan lokakarya serta pembentukan tim ahli dan wakil-wakil komunitas yang ada,
diantaranya.
a. Pembuatan keputusan dan/atau penyusun KRP adalah Pejabat Perangkat Daerah tertentu.
Pejabat Perangkat Daerah tertentu:
 DPRD Provonsi/Kabupaten/Kota
 Instansi yang membidangi LH
 Instansi yang membidangi kehutanan, pertanian, perikanan, pertambangan
 Perangkat Daerah terkait lainnya
b. Masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian (perorangan/tokoh/kelompok)’
 Perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya
 Asosiasi profesi
Forum-forum PB dan LH (DAS, air)
LSM
Perorangan/tokoh/kelompok yang mempunyai data dan informasi berkaitan
dengan SDA
 Pemerhati LH
c. Masyarakat yang terkena dampak
 Lembaga adat
 Asosiasi pengusaha
 Tokoh masyarakat
 Organisasi masyarakat
 Kelompok masyarakat tertentu (nelayan, petani, dll)

3.1.2 Penyusunan Kerangka Acuan Kerja


Kerangka Acuan Kerja (KAK) penyusunan KLHS RTRW Kabupaten Bekasi disusun
sesuai ketentuang yang telah ditetapkan yaitu memuat:
a. Latar belakang;
b. Maksud dan tujuan;
c. Sasaran;
d. Lingkung kegiatan;
e. Referensi hukum;
f. Hasil yang diharapkan;
g. Cara pembuatan dan pelaksanaan;
h. Rencana kerja yang mencakup jadwal kerja;
i. Kebutuhan tenaga ahli yang diperlukan; dan
j. Pembiayaan.

3.2 Tahap Pelaksanaan


Tahap pelaksaan didasari PP No 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
KLHS, tahap pelaksanaan KLHS (Pasal 5) yang meliputi:
a. Pembuatan dan pelaksanaan KLHS
Tahap pembuatan dan pelaksanaan KLHS, sesuai Pasal 6 PP No. 46 Tahun 2016,
dilakukan dengan mekanisme:
 Pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi LH (pasal 7), yaitu melaksanakan
identifikasi dan perumusan Isu PB, melaksanakan identifikasi materi muatan KRP
yang berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap kondisi LH, dan menganalisis
pengaruh hasil Identifikasi dan perumusan Isu PB dan hasil Identifikasi materi
muatan KRP yang berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap kondisi LH
 Perumusan alternatif penyempurnaan KRP
 Penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan KRP yang
mengintegrasikan prinsip PB.
b. Penjaminan kualitas dan pendokumentasian
c. Validasi KLHS

3.2.1 Pengkajian Pengaruh Kebijakan, Rencana dan/atau Program terhadap kondisi


lingkungan hidup
A. Identifikasi dan Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan Berkelanjutan (dikumpulkan
Saat FGD 1)Pasal 7a PP No. 46 Tahun 2016
Kegiatan identifikasi dan perumusan isu PB dilakukan dengan menghimpun
masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan melalui konsultasi publik dengan
mengundang masyarakat dan para pemangku kepentingan di Kabupaten Bekasi.
Identifikasi isu PB berfokus pada isu lingkungan. Hasil diskusi dikumpulkan menjadi Isu
PB dalam daftar panjang, lalu ditelaah berdasar kesamaan dan sebab akibat isu, lalu
dipusatkan. Hasil pemusatan Isu PB dalam daftar panjang, dijadikan dasar untuk telaahan
lebih lanjut. Lebih jelasnya sebagaimana contoh pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan

No Nama Isu Lingkungan


1 Banjir…
2 Longsor…
dst …

B. Identifikasi dan Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan Berkelanjutan Strategis


(Hasil FGD 1 ditapis dengan Pasal 9 (1) )
Tahap identifikasi dan perumusan isu PB Strategis dilakukan dengan melakukan
penapisan antara hasil pemusatan Isu PB dalam daftar panjang (diperoleh dari kegiatan 1)
dengan unsur-unsur paling sedikit yang dijelaskan pada Pasal 9 ayat (1) PP No. 46 Tahun
2016, yaitu:
1. Karakteristik wilayah Kabupaten Bekasi.
Analisis isu PB Strategis terhadap karakteristik wilayah, dilaksanakan dengan
cara menumpangsusunkan Isu PB dengan peta topografi dan peta penutupan
lahan. Hasil tumpangsusun dapat diketahui bahwa isu PB berada pada topografi
yang bagaimana dan kelas penutupan lahan yang bagaimana dan selanjutnya
ditelaah sesuai dengan aturan yang berlaku.
2. Tingkat pentingnya potensi dampak Kabupaten Bekasi.
Analisis isu PB Strategis terhadap tingkat pentingnya potensi dampak,
dilaksanakan dengan cara mencari informasi dari para pemangku kepentingan
terhadap luas dan frekuensi Isu PB Strategis. Hasil informasi luas dan frekuensi
kejadian Isu PB Strategis, dituangkan dalam peta sebaran dan ditelaah sesuai
dengan aturan yang berlaku.
3. Keterkaitan antar isu strategis PB.
Analisis isu PB Strategis terhadap isu strategis PB lainnya, dilaksanakan dengan
cara mencari informasi sebab akibat dan ditelaah sesuai dengan aturan yang
berlaku.
4. Keterkaitan dengan materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi.
Analisis isu PB Strategis terhadap materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi,
dilaksanakan dengan cara menumpang susunkan isu PB Strategis dengan Peta
RTRW Kabupaten Bekasi. Hasil tumpang susun dapat diketahui bahwa isu PB
berada pada Struktur atau Pola Ruang apa berdasarkan Peta RTRW Kabupaten
Bekasi
5. Keterkaitan dengan Muatan RPPLH Kabupaten Bekasi.
Analisis isu PB Strategis terhadap materi muatan RPPLH Kabupaten Bekasi
dilaksanakan dengan menumpangsusunkan isu PB Strategis dengan Peta RPPLH
Kabupaten Bekasi. Hasil tumpang susun dapat diketahui bahwa isu PB berada
pada RPPLH yang bagaimana
6. Keterkaitan dengan KRP pada hierarki diatasnya yang harus diacu, serupa dan
berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau
relevansi langsung KLHS RTRW Jawa Barat yang harus diacu.
Analisis dilaksanakan dengan cara menelaah sinkronisasi isu dengan struktur dan
pola ruang yang terdapat pada hasil KLHS RTRW Jawa Barat, hasil KLHS
RTRW Kabupaten Jabodetabekkarpur, hasil KLHS RPJMD Jawa Barat, dan hasil
KLHS RPJMD Kabupaten Bekasi.

Hasil telaahan dapat diketahui bahwa isu PB Strategis apakah juga menjadi isu PB
Strategis pada KRP lainnya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Identifikasi dan Perumusan Isu PB Strategis

Unsur-unsur pasal 9 (1) PP 46/2016


No Isu Lingkungan Ket.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Banjir…
2 Longsor…
dst
Keterangan:
(1) Karakteristik wilayah Kabupaten Bekasi
(2) Tingkat pentingnya potensi dampak Kabupaten Bekasi
(3) Keterkaitan antar isu strategis PB
(4) Keterkaitan dengan materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi
(5) Muatan RPPLH Kabupaten Bekasi
(6) Keterkaitan dengan KRP pada hierarki diatasnya yang harus diacu, serupa dan berada pada wilayah yang
berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau relevansi langsung KLHS RTRW Jawa Barat yang harus
diacu.
C. Identifikasi dan Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan (PB) Prioritas Hasil No. B.2
ditapis dengan Pasal 9 (2)
Tahap identifikasi dan perumusan isu PB Prioritas dilakukan dengan cara
melakukan pembobotan antara hasil isu PB Strategis yang diperoleh dari kegiatan 2
dengan memuat daftar yang paling sedikit berkaitan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 9
ayat (2) PP No. 46 Tahun 2016, yaitu:
a. Kapasitas DDDT-LH untuk pembangunan;
b. Perkiraan dampak dan resiko LH;
c. Kinerja layanan atau jasa ekosistem;
d. Intensitas dan cakupan wilayah bencana alam;
e. Status mutu dan ketersediaan SDA;
f. Ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati;
g. Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
h. Tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau penghidupan sekelompok
masyarakat serta terancamnya keberlanjutan penghidupan masyarakat;
 Resiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat; dan/atau
 Ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu secara
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat hukum adat.
Analisis isu PB prioritas dilakukan dengan tehnik uji silang pembobotan. Bobot
terendah bernilai 1 (satu), dan tertinggi bernilai 5 (lima). Nilai 1 (satu) merupakan yang
tidak memiliki pengaruh dan nilai 5 (lima) merupakan yang sangat berpengaruh. Hasil
akhir dari identifikasi isu PB prioritas ditentukan berdasarkan nilai pengaruh yang sangat
tidak berpengaruh, hingga nilai bobot yang sangat berpengaruh. Untuk menentukan isu
PB prioritas ditentukan berdasarkan kesepakatan pada saat pelaksanaan Konsultasi Publik
(KP) yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan.Hasil kesepakatan para pemangku
kepentingan terhadap isu PB prioritas, dirumuskan dalam Berita Acara (BA) yang
ditetapkan oleh Ketua Kelompok Kerja.Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel
3.3.

Tabel 3.3 Identifikasi dan Perumusan Isi PB Prioritas

Unsur-unsur pasal 9 (1) PP 46/2016


No Isu Lingkungan Ket.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 Banjir…
2 Longsor…
dst
Keterangan:
(1) Kapasitas DDDT=LH untuk pembangunan;
(2) Perkiraan dampak dan resiko LH;
(3) Kinerja layanan atau jasa ekosistem;
(4) Intensitas dan cakupan wilayah bencana alam;
(5) Status mutu dan ketersediaan SDA;
(6) Ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati;
(7) Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
(8) Tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau penghidupan sekelompok masyarakat serta terancamnya
keberlanjutan penghidupan masyarakat;
(9) Resiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat; dan/atau
(10) Ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat
dan masyarakat hukum adat,

D. Identifikasi Materi Muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (dari dokmen RTRW
Kabupaten Bekasi)
Kegiatan identifikasi materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi dilaksanakan
dengan cara penapisan materi muatan yang terdapat pada Bab VII Dokumen Rancangan
RTRW Kabupaten Bekasi Tahun 2016 – 2036, dengan kriteria yang menimbulkan
dampak dan/atau resiko LH sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 3 ayat (2) PP No. 46
Tahun 2016, meliputi:
a. Perubahan iklim;
b. Kerusakan, kemerosotan dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
c. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan
dan/atau kebakaran hutan dan lahan;
d. Penurunan mutu dan kelimpahan SDA;
e. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan
penghidupan sekelompok masyarakat, dan/atau
f. Peningkatan resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia;
Materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi yang menimbulkan dampak dan/atau
resiko LH ditentukan berdasarkan kesepakatan pada saat pelaksanaan KP yang dihadiri
oleh para pemangku kepentingan. Hasil kesepakatan para pemangku kepentingan
terhadap materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi yang menimbulkan dampak dan/atau
resiko LH, dirumuskan dalam BA yang ditetapkan oleh Ketua Kelompok Kerja. Untuk
lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Identifikasi Materi Muatan Dokumen RTRW Kabupaten Bekasi

Materi Muatan Unsur-unsur pasal 3 (2) PP 46/2016


No Ket.
Dokumen RTRW (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 KRP 1
2 KRP 2
dst
Keterangan:
(1) Perubahan iklim;
(2) Kerusakan, kemerosotan dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
(3) Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan dan/atau kebakaran hutan dan
lahan;
(4) Penurunan mutu dan kelimpahan SDA;
(5) Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat,
dan/atau
(6) Peningkatan resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia;

E. Analisis Pengaruh Hasil Identifikasi dan perumusan isu pembangunan berkelanjutan


Prioritas dan hasil identifikasi Materi Muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
(hasil No. B.3 dan Hasil No, B.4)
Analisis ini dilaksanakan dengan cara penapisan hasil identifikasi dan perumusan
isu PB Prioritas yang didapat dari langkah B.3, dengan hasil identifikasi materi muatan
RTRW Kabupaten Bekasi yang didapat dari langkah B.4. Apakah materi muatan RTRW
Kabupaten Bekasi berpengaruh pada isu PB Prioritas yang telah ditetapkan. Hasil dari
analisis pengaruh ini ditentukan berdasarkan kesepakatan pada saat pelaksanaan KP yang
dihadiri oleh para pemangku kepentingan.Hasil kesepakatan para pemangku kepentingan
terhadap materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi yang menimbulkan dampak dan/atau
resiko LH, dirumuskan dalam BA yang ditetapkan oleh Ketua Kelompok Kerja.Untuk
lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 3.5

Tabel 3.5 Analisis Pengaruh Hasil Identifikasi Materi Muatan Dokumen RTRW
Kabupaten Bekasi dengan Hasil Identifikasi dan Perumusan Isu PB Prioritas

Materi Muatan Isu PB Prioritas


No Ket.
Dokumen RTRW (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 KRP 1
2 KRP 2
dst
Keterangan:
(1) Isu PB Prioritas 1
(2) Isu PB Prioritas 2
(3) Isu PB Prioritas 3
(4) Isu PB Prioritas 4
(5) Isu PB Prioritas 5
(6) Isu PB Prioritas 6

3.2.2 Kajian Muatan KLHS (Pasal 13 PP No 46 Tahun 2016)


Tahap kajian muatan KLHS adalah tahap melaksanakan kajian secara spasial, kuantitatif
dan kualitatif. Pada tahap kajian ini dilakukan dengan cara mengkaji masing-masing materi
muatan RTRW Kabupaten Bekasi yang telah disepakati, dikaji terhadap muatan KLHS
sebagaimana Pasal 13 PP No. 46 Tahun 2016, adalah sebagai berikut:
a. Kapasitas DDDT-LH untuk pembangunan;
b. Perkiraan mengenai dampak dan risiko LH;
c. Kinerja layanan atau jasa ekosistem;
d. Efisiensi pemanfaatan SDA;
e. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
f. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
A. Kapasitas Daya Dukung Daya Tampung -Lingkungan Hidup untuk pembangunan (KRP
hasil No. 3.2.1 (B.5) , dioverlay dengan peta RTRW lama dan Peta RTRW PK);
Untuk menentukan kapasitas DDDT-LH dilakukan beberapa tahap kajian, yaitu:
a. Analisis perkiraan jumlah penduduk Kabupaten Bekasi pada tahun 2036. Hal ini
karena masa berlaku RTRW Kabupaten Bekasi berakhir pada Tahun 2036;
b. Analisis kebutuhan air untuk jumlah populasi pada Tahun 2036;
c. Analisis kebutuhan lahan untuk jumlah populasi pada Tahun 2036;
d. Dari hasil analisis kebutuhan air untuk jumlah populasi pada Tahun 2036,
selanjutnya dilakukan analisis kebutuhan lahan untuk Kawasan Lindung, Kawasan
Budidaya dan Kawasan Strategis Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana
Pasal 4 PP No. 26 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa kebijakan dan strategi
penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan
struktur dan pola ruang.
Sedangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penyusunan RTRW Kabupaten, menyatakan bahwa rencana umum tata ruang
kabupaten/kota adalah penjabaran RTRW provinsi ke dalam kebijakan dan strategi
pengembangan wilayah kabupaten/kota yang sesuai dengan fungsi dan peranannya di
dalam rencana pengembangan wilayah provinsi secara keseluruhan. Strategi
pengembangan wilayah ini selanjutnya dituangkan ke dalam rencana struktur dan rencana
pola ruang operasional.
Dalam operasionalisasinya, rencana umum tata ruang dijabarkan dalam rencana rinci
tata ruang yang disusun dengan pendekatan nilai Strategis kawasan dan/atau kegiatan
kawasan dengan muatan subtansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan
subblok yang dilengkapi peraturan zonasi sebagai salah satu dasar dalam pengendalian
pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana
umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
Rencana rinci tata ruang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis (RTR-
KS) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Kawasan strategis adalah kawasan yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena memiliki pengaruh penting terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budidaya,
dan/atau lingkungan termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
RTR-KS adalah upaya penjabaran rencana umum tata ruang ke dalam arahan
pemanfaatan ruang yang lebih spesifik sesuai dengan aspek utama yang menjadi latar
belakang pembentukan kawasan strategis tersebut. Tingkat kedalaman RTR-KS
sepenuhnya mengikuti luasan fisik serta kedudukannya di dalam sistem administrasi.
RTR-KS tidak mengulang hal-hal yang sudah diatur atau menjadi kewenangan dari
rencana tata ruang yang berada pada jenjang diatasnya maupun dibawahnya.
Penetapan Kawasan Lindung.
Penetapan kawasan lindung ditentukan berdasarkan Pasal 6 PP No. 13 Tahun 2017 yang
menyatakan bahwa kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang meliputi:
a. Kebijakan dan strategi pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan
lindung.
b. Kebijakan dan strategi pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan
budidaya; dan
c. Kebijakan dan strategi pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan
strategis nasional.
Pasal 1 PP No. 26 Tahun 2008 menyatakan bahwa:
a. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian LH yang mencakup SDA sumber daya buatan.
b. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi SDA, sumber daya manusia dan
sumber daya buatan.
c. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Pasal 7 PP No. 13 Tahun 2017 menyatakan bahwa kebijakan pengembangan,
pemanfaatan dan pengelolaan kawasan Lindung meliputi:
a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi LH dan
b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan LH;
Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi LH meliputi:
a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi;
b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam wilayah: Kepulauan Nusa
Tenggara dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau
tersebut sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar
secara proporsional;
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung akibat
pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan memelihara
keseimbangan ekosistem wilayah;
 mengendalikan pemanfaatan dan penggunaan kawasan yang berpotensi
mengganggu fungsi lindung; dan
 mewujudkan, memelihara, dan meningkatkan fungsi kawasan lindung
dalam rangka meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan kerusakan LH meliputi:
a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi LH;
b. melindungi dan meningkatkan kemampuan LH dari tekanan perubahan dan/atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. melindungi dan meningkatkan kemampuan LH untuk menyerap zat, enersi
dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung
menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan LH tidak
berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan SDA secara bijaksana untuk menjamin kepentingan
generasi masa kini dan generasi masa depan;
f. mengelola SDA tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana
dan SDA yang terbarukan untuk menjamin ke sinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya; dan
g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di
kawasan rawan bencana dan kawasan risiko perubahan iklim.
Selanjutnya Pasal 51, 52 PP No. 13 Tahun 2017 menyatakan bahwa Kawasan
Lindung Nasional terdiri atas:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; terdiri
dari kawasan hutan lindung, kawasan gambut dan kawasan resapan air;
b. kawasan perlindungan setempat, terdiri dari sempadan pantai, sempadan sungai,
kawasan sekitar danau atau waduk, dan ruang terbuka hijau kota.
c. kawasan konservasi, terdiri dari (1) kawasan suaka alam (kawasan margasatwa,
suaka margasatwa laut, cagar alam, dan cagar alam laut), (2) kawasan pelestarian
alam (taman nasional, taman nasional laut, taman hutan raya, taman wisata alam,
dan taman wisata alam laut), (3) kawasan taman buru, dan (4) kawasan konservasi
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (kawasan suaka pulau-pulau kecil, taman
pesisir dan taman pulau kecil), (kawasan konservasi maritim (daerah perlindungan
adat maritim dan daerah perlindungan budaya maritim dan kawasan konservasi
perairan;
d. kawasan lindung geologi, terdiri dari kawasan cagar alam geologi dan kawasan
yang memberikan perlindungan terhadap air tanah; dan
e. kawasan lindung lainnya, terdiri atas cagar biosfir, ramsar, cagar budaya, kawasan
perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan ekosistem
mangrove.

Pasal 53 PP No. 13 Tahun 2017 menjelaskan lebih rinci bahwa kawasan cagar
alam geologi terdiri atas:
a. kawasan keunikan batuan dan fosil,
b. kawasan keunikan bentang alam, dan
c. kawasan keunikan proses geologi.
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah terdiri atas: kawasan
imbuhan air tanah dan sempadan mata air Demikian juga pada Pasal 55 PP No. 13 Tahun
2017 menjelaskan lebih rinci bahwa kawasan hutan lindung ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan
yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima)
atau lebih;
b. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat
puluh persen);
c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) m.dpl;
atau
d. kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
kelerengan diatas atau lebih dari 15% (lima belas persen).
Kawasan gambut ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa kubah gambut; dan
b. ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa.

Kawasan resapan air ditetapkan dengan kriteria kawasan yang mempunyai


kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan
Pasal 56 PP No 26 Tahun 2008 menjelaskan bahwa :
a. sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria: daratan sepanjang tepian laut dengan
jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah
daratan atau daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya
curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik
pantai.
b. Sempadan sungai ditetapkan dengan kriteria: (1) daratan sepanjang tepian sungai
bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah
luar, (2) daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan
pemukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai dan
(3) daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan
permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai.
c. Kawasan sekitar danau atau waduk, ditetapkan dengan kriteria: (1) daratan dengan
jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang
air danau atau waduk tertinggi, atau (2) daratan sepanjang tepian danau atau
waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau
waduk.
d. Ruang terbuka hijau kota, ditetapkan dengan kriteria: (1) lahan dengan luas paling
sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) meter persegi, (2) berbentuk satu hamparan,
atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur, dan (3) didominasi
komunitas tumbuhan.
Demikian juga pada Pasal 57 PP No. 13 Tahun 2017 menjelaskan Kawasan Suaka
Margasatwa dan Kawasan Suaka Margasatwa Laut ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa langka
dan/ atau hampir punah;
b. memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; atau
d. memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
Cagar alam dan cagar alam laut ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung
dalam suatu tipe ekosistem;
b. memiliki formasi biota tertentu dan/ atau unit penyusunnya;
c. mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan maupun satwa liar yang secara fisik
masih asli dan Bekasim terganggu;
d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang
pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara
alami;
e. mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan/atau
f. terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka
dan/ atau keberadaannya terancam punah.
Taman nasional dan taman nasional laut ditetapkan dengan kriteria:
a. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara
alami;
b. memiliki SDA hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami
serta gejala alam yang unik;
c. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; dan
d. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona
rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Taman hutan raya ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan pada wilayah yang
ekosistemnya masih utuh ataupun witayah yang ekosistemnya sudah berubah;
b. memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam; dan
c. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi
tumbuhan dan/ atau satwa.

Taman wisata alam dan taman wisata alam laut ditetapkan dengan kriteria:
a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala
alam, serta formasi geologi yang unik;
b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik
alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata
alam.

Taman buru ditetapkan dengan kriteria:


a. memiliki luas yang cukup dan tidak membahayakan untuk kegiatan berburu; dan
b. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan yang memungkinkan perburuan secara
teratur dan berkesinambungan dengan mengutamakan aspek rekreasi, olahraga, dan
kelestarian satwa.
c. Kawasan suaka pesisir atau suaka pulau kecil ditetapkan dengan kriteria:
d. merupakan wilayah pesisir atau pulau kecil yang menjadi tempat hidup dan
berkembang biaknya suatu jenis atau SDA hayati yang khas, unik, langka, dan
dikhawatirkan akan punah, dan/atau merupakan tempat kehidupan bagi jenis biota
migrasi tertentu yang keberadaannya memerlukan upaya perlindungan, dan/atau
pelestarian;
e. mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di wilayah pesisir atau
pulau kecil yang masih asli dan/ atau alami;
f. mempunyai luas wilayah pesisir atau pulau kecil yang cukup untuk menjamin
kelangsungan habitat jenis sumber daya ikan yang perlu dilakukan upaya
konservasi dan dapat dikelola secara efektif; dan
g. mempunyai kondisi fisik wilayah pesisir atau pulau kecil yang rentan terhadap
perubahan dan/atau mampu mengurangi dampak bencana.

Kawasan taman pesisir atau taman pulau kecil, ditetapkan dengan kriteria:

a. merupakan wilayah pesisir atau pulau kecil yang mempunyai daya tarik SDA
hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk
kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan
dan peningkatan kesadaran konservasi SDA hayati, wisata bahari, serta rekreasi;
b. mempunyai luas wilayah pesisir atau pulau kecil yang cukup untuk menjamin
kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pesisir yang berkelanjutan; dan
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari
dan rekreasi.
d. Kawasan daerah perlindungan adat maritim, ditetapkan dengan kriteria:
e. wilayah pesisir dan/atau pulau kecil yang memiliki kesatuan masyarakat hukum
adat dan/atau kearifan lokal, hak tradisional, dan lembaga adat yang masih berlaku;
f. mempunyai aturan lokal/ kesepakatan adat masyarakat yang diberlakukan untuk
menjaga kelestarian lingkungan; dan
g. tidak bertentangan dengan hukum nasional.

Kawasan daerah perlindungan budaya maritim, ditetapkan dengan kriteria:


a. tempat tenggelamnya kapal yang mempunyai nilai arkeologi-historis khusus;
b. situs sejarah kemaritiman yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan pelestarian dan
pemanfaatan guna memajukan kebudayaan nasional; dan
c. tempat ritual keagamaan atau adat.

Kawasan konservasi perairan, ditetapkan dengan kriteria:


a. perairan laut nasional dan perairan kawasan strategis nasional yang mempunyai
daya tarik SDA hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat
dikembangkan pemanfaatan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan,
penelitian, pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi SDA hayati;
b. perairan laut nasional dan perairan kawasan strategis nasional yang mempunyai
luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta
pengelolaan SDA hayati yang berkelanjutan;
c. perairan laut daerah yang mempunyai daya tarik SDA hayati, formasi geologi,
dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan pemanfaatan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan
kesadaran konservasi SDA hayati; dan
d. perairan laut daerah yang mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian
potensi dan daya tarik serta pengelolaan SDA hayati yang berkelanjutan.

Pasal 59 PP No. 13 tahun 2017 menjelaskan lebih rinci:


(1) Cagar biosfer ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki keterwakilan ekosistem yang masih alami, kawasan yang sudah
mengalami degradasi, mengalami modifikasi, atau kawasan binaan;
b. memiliki komunitas alam yang unik, langka, dan indah;
c. merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara
komunitas alam dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; atau
d. berupa tempat bagi pemantauan perubahan ekologi melalui penelitian dan
pendidikan.
(2) Ramsar ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa lahan basah baik yang bersifat alami atau mendekati alami yang
mewakili langka atau unik yang sesuai dengan biogeografisnya;
b. mendukung spesies rentan, langka, hampir langka, atau ekologi komunitas yang
terancam;
c. mendukung keanekaragaman populasi satwa dan/ atau flora di wilayah
biogeografisnya; atau
d. merupakan tempat perlindungan bagi satwa dan/ atau flora saat melewati masa
kritis dalam hidupnya.
(3) Kawasan cagar budaya ditetapkan dengan kriteria sebagai satuan ruang geografis
yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/
atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
(4) Kawasan perlindungan plasma nutfah ditetapkan dengan kriteria: memiliki jenis
plasma nutfah tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses
pertumbuhannya; dan memiliki luas tertentu yang memungkinkan kelangsungan
proses pertumbuhan jenis plasma nutfah.
(5) Kawasan pengungsian satwa ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut;
b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan
c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan
kehidupan serta berkembangbiaknya satwa.
(6) Kawasan ekosistem mangrove ditetapkan dengan kriteria koridor di sepanjang
pantai dengan lebar paling sedikit 130 (seratus tiga puluh) kali nilai rata-rata
perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut
terendah ke arah darat.
Kawasan Budidaya.
Setelah menetapkan Kawasan Lindung, maka selanjutnya adalah menetapkan
Kawasan Budidaya. Pasal 8 PP No. 13 Tahun 2017 menyatakan bahwa kebijakan
pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan budidaya meliputi:
a. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan
budidaya; dan
b. pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui DDDT-
LH.
Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar
kegiatan budidaya meliputi:
a. menetapkan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis nasional untuk
pemanfaatan SDA di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan
ruang wilayah;
b. mengembangkan kegiatan budidaya unggulan di dalam kawasan beserta
prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan
perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya;
c. mengembangkan kegiatan budidaya untuk menunjang aspek politik, pertahanan
dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan, dan mempertahankan kawasan
pertanian pangan berkelanjutan untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan;
e. mengembangkan pulau-pulau kecil sebagai sentra ekonomi wilayah yang
berbasis kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan;
f. mengelola kekayaan sumber daya kelautan di wilayah perairan, wilayah
yurisdiksi, laut lepas, dan wilayah dasar laut internasional untuk kedaulatan
ekonomi nasional; dan
g. mengembangkan pemanfaatan ruang udara nasional sebagai aset pembangunan
dengan tetap menjaga fungsi pertahanan dan keamanan serta keselamatan
penerbangan.
Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak
melampaui DDDT-LH meliputi:
a. membatasi dan mengendalikan perkembangan kegiatan budidaya terbangun di
kawasan rawan bencana dan resiko tinggi bencana serta dampak perubahan iklim
untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat
bencana dan perubahan iklim;
b. mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan
mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak;
c. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari luas kawasan perkotaan;
d. membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan metropolitan dan kota
besar untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan
perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya;
e. mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan
pulau-pulau kecil;
f. membatasi dan mengendalikan kegiatan budidaya pada lokasi yang memiliki
nilai konservasi tinggi;
g. menetapkan lokasi rusak dan tercemar untuk dipulihkan;
h. mengendalikan keseimbangan DDDT-LH di kota sedang sebagai kawasan
perkotaan penyangga arus urbanisasi desa ke kota;
i. mengendalikan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk alokasi lahan
pembangunan bagi sektor non kehutanan dengan mempertimbangkan kualitas
lingkungan, karakter SDA, fungsi ekologi, dan kebutuhan lahan untuk
pembangunan secara berkelanjutan;
j. mendorong pembangunan hutan rakyat untuk mendukung kecukupan tutupan
hutan khususnya bagi wilayah daerah aliran sungai atau pulau yang tutupan
hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen); dan
k. mengembangkan kegiatan budidaya dengan memperhatikan bioekoregion yang
merupakan bentang alam yang berada di dalam satu atau lebih daerah aliran
sungai.

Kawasan budidaya terdiri atas:


a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan hutan rakyat;
c. kawasan peruntukan pertanian;
d. kawasan peruntukan perikanan;
e. kawasan peruntukan pertambangan;
f. kawasan peruntukan panas bumi;
g. kawasan peruntukan industri;
h. kawasan peruntukan pariwisata;
i. kawasan peruntukan permukiman; dan/atau
j. kawasan peruntukan lainnya.

Pasal 64 menjelaskan tentang peruntukan kawasan Hutan Produksi adalah:


a. Kawasan peruntukan hutan produksi merupakan kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
b. Kawasan peruntukan hutan produksi ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor
kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling
besar 174 (seratus tujuh puluh empat).
c. Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi ditetapkan oleh menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan.

B. Perkiraan mengenai dampak dan risiko Linkungan Hidup (hasil KRP No. 5 di overlay
dengan Peta Topografi, Tutupan Lahan, Kawasan Hutan, Kawasan Lindung, Kawasan
Rawan Bencana,Visi Misi Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bekasi);
Pada tahap ini, hasil pada tahap 5, ditumpangsusunkan dengan Peta Rawan
Bencana. Berdasarkan hasil tumpangsusun akan diketahui apakah materi muatan RTRW
Kabupaten Bekasi, berada pada areal yang rawan bencana atau tidak? Dan apakah materi
muatan RTRW Kabupaten Bekasi dapat dilanjutkan atau tidak? Jika tidak dapat
dilanjutkan apa saja rumusan alternatif yang dapat disepakati?
C. Kinerja layanan atau jasa ekosistem (overlay dengan peta jasa Ekosistem pangan, dan air
P3E (minimal air dan pangan);
Pada tahap ini, hasil pada tahap 5, ditumpangsusun dengan Peta DDDT Jasa
Ekosistem Pengatur Air dan Penyediaan Pangan. Berdasarkan hasil tumpangsusun akan
diketahui apakah materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi, berada pada wilayah yang
memiliki ketersediaan air tinggi dan/atau memiliki ketersediaan pangan yang tinggi atau
tidak? Apakah materi RTRW Kabupaten Bekasi sudah berada pada wilayah yang
memiliki Jasa Ekosistem Pengaturan Air dan Pangan yang rendah? Dan apakah materi
muatan RTRW Kabupaten Bekasi dapat dilanjutkan atau tidak? Jika tidak dapat
dilanjutkan apa saja rumusan alternatif yang dapat disepakati?
D. Efisiensi pemanfaatan Sumber Daya Alam (jenis sumber daya alam dan sebaran jenis
sumber alam)—( overlay dengan peta ijin tambang, ijin kebun, ijin perindustrian, ijin
hutan dan ijin pemanfaatan sumber daya alam lainnya);
Pada tahap ini, hasil pada tahap 5, ditumpangsusun dengan Peta SDA (Peta
potensi tambang, atau peta SDA lainnya). Berdasarkan hasil tumpangsusun akan
diketahui apakah materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi, berada pada wilayah yang
memiliki potensi SDA yang tinggi atau tidak. Apakah materi muatan RTRW Kabupaten
Bekasi berada pada areal yang kritis atau tidak. Apakah materi muatan RTRW Kabupaten
Bekasi berada pada areal yang memiliki Izin Tambang, Ijin Kebun, Ijin Perindustrian,
Ijin Hutan, dan Ijin pemanfaatan SDA lainnya. Dan apakah materi muatan RTRW
Kabupaten Bekasi dapat dilanjutkan atau tidak? Jika tidak dapat dilanjutkan apa saja
rumusan alternatif yang dapat disepakati?
a. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim (overlay
dengan peta iklim atau atau data iklim);
Pada tahap ini, hasil pada tahap 5, ditumpangsusunkan dengan Peta
Penutupan Lahan terkini. Berdasarkan hasil tumpangsusun akan diketahui apakah
materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi berada pada areal yang bervegetasi atau
pada lahan terbuka? Jika berada pada areal yang masih memiliki tutupan lahan
bervegetasi, bagaimanakah dampaknya pada perubahan iklim? Apakah akan
semakin panas atau akan semakin sejuk iklim di Kabupaten Bekasi? Dan apakah
materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi dapat dilanjutkan atau tidak? Jika tidak
dapat dilanjutkan apa saja rumusan alternatif yang dapat disepakati?
b. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati (Hasil overlay dengan peta
keanekaragaman hayati (Peta Kawasan Hutan, Peta Tutupan Lahan dan/atau peta
lainnya yang memiliki vegetasi).
Pada tahap ini, hasil pada tahap 5, ditumpangsusun dengan Peta Kawasan
Hutan terkini. Berdasarkan hasil tumpangsusun akan diketahui apakah materi
muatan RTRW Kabupaten Bekasi berada pada kawasan hutan dengan fungsi yang
bagaimana? Apakah masih bervegetasi tinggi atau tidak?Jika berada pada areal
yang masih memiliki tutupan lahan bervegetasi, bagaimanakah dampaknya pada
potensi keanekaragaman hayati? Apakah keanekaragaman hayati-nya akan
terancam menuju kepunahan? Dan apakah materi muatan RTRW Kabupaten
Bekasi dapat dilanjutkan atau tidak? Jika tidak dapat dilanjutkan apa saja rumusan
alternatif yang dapat disepakati?
3.2.3 Perumusan Alternatif Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
Tahap perumusan alternatif penyempurnaan Rancangan RTRW Kabupaten Bekasi,
dilaksanakan dengan metode diskusi kelompok yang melibatkan tenaga ahli/narasumber sesuai
dengan isu PB prioritas serta mempertimbangkan kebutuhan PB, perbaikan lokasi, proses,
metode dan teknologi. Bahan diskusi adalah rekapitulasi hasil dari kajian muatan KLHS
sebagaimana pada tahap sebelumnya. Rekapitulasi alternatif hasil kajian muatan KLHS
dilakukan dengan menggunakan analisis sistem dengan mengintegrasikan analisis PB. Hasil
analisis sistem yang mengintegrasikan prinsip PB didiskusikan pada forum konsultasi publik.
Hasil dari rumusan alternatif yang telah mengintegrasikan prinsip PB menjadi rekomendasi
perbaikan untuk dokumen rancangan RTRW Kabupaten Bekasi
3.2.4 Penyusunan Rekomendasi Perbaikan untuk pengambilan keputusan Kebijakan,
Rencana, dan/atau Program yang mengintergasikan prinsip pembangunan berkelanjutan
Tahap rekomendasi perbaikan dokumen RTRW Kabupaten Bekasi yang
mengintegrasikan prinsip PB, dilakukan dengan melaksanakan perubahan pada dokumen
rancangan RTRW Kabupaten Bekasi. Hal ini dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Penyusun
KLHS. Rekomendasi penyempurnaan dokumen Rancangan RTRW Kabupaten Bekasi, memuat
materi perbaikan serta informasi jenis usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui DDDT-LH
dan tidak diperbolehkan lagi.
3.2.5 Pengintegrasian
Hasil KLHS diintegrasikan kedalam materi muatan RTRW Kabupaten Bekasi.
3.2.6 Penjaminan Kualitas
Penjaminan kualitas KLHS dilakukan melalui penilaian mandiri oleh penyusun dokumen
RTRW Kabupaten Bekasi untuk memastikan bahwa kualitas dan proses pembuatan dan
pelaksanaan KLHS dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai