Artikel Tentang Ilmu Kalam: Lembaga Pendidikan Ma'Arif Kabupaten Banyumas
Artikel Tentang Ilmu Kalam: Lembaga Pendidikan Ma'Arif Kabupaten Banyumas
Disusun oleh :
1. Iis Adkiyah (7)
2. Istianah (9)
3. Nailatul Umniah (14)
4. Tanzihan M.W (17)
2. Hadist
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga disinggung dalam banyak
hadits, Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan tentang iman, islam, dan
ihsan termasuk menyinggu ilmu kalam,salah satu di antaranya juga. Adapula
beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian umat sebagai prediksi
Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam,
diantaranya :
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “ Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi
tujuh puluh dua golongan.”
“Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa Bani
Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka,
kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya
para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang mengikuti jejakku
dan sahabat-sahabatku’.
3. Pemikiran Manusia
Sebagai salah satu sumber ilmu kalam, pemikiran manusia berasal
dari pemikiran umat islam sendiri dan pemikiran yang berasal dari luar umat
islam. Di dalam al-Qur’an, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang
memerintahkan manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Dalam hal
ini biasanya Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur, tadabbur, tadzakkur,
tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu al-abshar, dan
ulu an-nuha. Diantara ayat-ayat tersebut yaitu :
Artinya : “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan. Dia diciptakan dari air yang memancar. Yang keluar dari antara
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” ( Q.S. At-Thariq Ayat 5-7
)
Ayat-ayat yang lain dapat ditemukan pada Surah Muhammad : 24,
An-Nahl : 68-69, Al-Isra’ : 44, Al-An’am : 97-98, At-Taubah : 122, Shad : 29,
Az-Zummar : 9, Adz-Dzariyat : 47-49, Al-Ghatsiyah : 7-20, dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk
memaksimalkan penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh
dari pihak luar saja, melainkan karena adanya perintah langsung dari ajaran
agama mereka. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat jelasnya
penggunaan rasio dan logika dalam pembahasan ilmu kalam. Adapun sumber
kalam berupa pemikiran dari luar Islam, Ahmad Amin menyebutkan
setidaknya ada tiga faktor penting.
Pertama, kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam setelah
kemenangannya, pada awalnya mereka memeluk berbaga agama yaitu
Yahudi, Nasrani, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan lain-
lain.Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran-ajaran agama ini.
Bahkan diantara mereka ada yang benar-benar memahami ajaran agama
aslinya. Setelah fikiran mereka tenang dan mereka benar-benar teguh
memeluk agama Islam, mulailah mereka memikirkan ajaran-ajaran agama
mereka sebelumnya dan mengangkat persoalan-persoalanya lalu memberinya
corak baju keislaman.
Kedua, golongan Mu’tazilah memusatkan perhatianya untuk dakwah
Islam dengan membantah argumentasi-argumentasi orang-orang yang
memusuhi Islam. Untuk itu, mereka tidak akan bias menolak lawa-lawannya
kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat-pendapat serta alas an-alasan
lawan mereka. Maka terjadilah perdebatan-perdebatan yang rasional antar
agama saat itu.
Ketiga, sebagaimana pada faktor kedua dimana para mutakallimun
sangat membutuhkan filsafat Yununi untuk mengalahkan lawan-lawannya,
maka mereka terpaksa mempelajari dan mengambil manfaat dari ilmu logika,
terutama dari sisi ketuhanannya. Misalnya An-Nadham, seorang tokoh
Mu’tazilah, ia mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa
pendapatnya, demikian juga Abu al-Hudzail al-‘Allaf.
4. Insting
Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu,
kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama.
Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan
asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif. Tylor justru mengatakan
bahwa animism-anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati-
merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer
mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek
moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap
bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul
kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih
dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka
mengalami mimpi. Didalam mimpi, seorang dapat bertemaan terhadap,
bercakap-cakap, bercengkerama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan
dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu
bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah membentuk
intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang
telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada
masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh
berkembang ke pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada
pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah
berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar
kalau William L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan
ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak
lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos
(thelogia was originally viewed as concerned with myth). Selanjutnya, teologi
itu berkembang menjadi “ theology natural “ (teologi alam) dan “revealed
theology “ (teologi wahyu).
b. Fi’il
Menurut etimologi, fi’il berarti peristiwa. Menurut terminologi ahli nahwu,
fi’il berarti kata yang menunjukkan satu makna (pekerjaan) dan terkait
dengan salah satu dari tiga batasan waktu, yaitu masa lampau (fi’il madhi),
masa sekarang (fi’il mudhari‘), dan masa yang akan datang-yaitu waktu
yang terjadi setelah terucapnya kata tersebut (fi’il mudhari‘ dan fi’il amr-
bermakna perintah). Sebagai contoh: ( كتمممبtelah menulis) – يكتمممب
(sedang/akan menulis) – ( أكتبtulislah!).
c. Harf
Menurut etimologi, harf berarti ujung/tepi, sedangkan menurut terminologi
ahli nahwu, harf berarti satu kata yang hanya mempunyai makna jika
digabung bersama kata lain. Misalnya, huruf من. Huruf ini menunjukkan
makna “permulaan’ / “dari”, dan ia hanya mempunyai makna jika digabung
dengan kata lain.
Beberapa contoh dari Harf: حتى, سوف, بل, بلى, أن, إن, لكن, إل, على, عن, إلى, من-
(hingga, akan, bahkan, ya, untuk, sesungguhnya, akan tetapi, kecuali, atas,
dari, ke, dari) dan yang lainnya.
Contoh dalam kalimat: “ ذهبت من البيتsaya (telah) berangkat dari rumah.
Sumber :
https://www.google.com/search?q=artikel+ilmu+kalam+&ie=utf-8&oe=utf-8
http://www.khasanah-islam.com/2012/07/pengertian-ilmu-kalam.html