Anda di halaman 1dari 137

Yuana Ryan Tresna

Catatan YRT
TERKAIT
KHILAFAH DAN
MASALAH KEUMATAN
Pengantar

‫السالم عليكم ورحمة الله وبركاته‬


‫الحمــد للــه رب العاملــن والصــاة والســام عــى أرشف االنبيــاء واملرســلني ســيدنا محمــد‬
‫الفاتــح ملــا أغلــق والخاتــم ملــا ســبق نــارص الحــق بالحــق والهــادي اىل رصاطــك املســتقيم‬
‫وعــى آلــه حــق قــدره ومقــداره العظيــم‬.

Pada momen bulan Rajab 1444 H dan akan memasuki bulan Maret 2023 ini, saya
kumpulkan catatan-catatan ringan seputar topik Khilafah dan masalah keumatan.
Bulan Rajab 1342 H atau bertepatan dengan Maret 1924 adalah momen pilu bagi
umat Islam di dunia. Pada bulan tersebut khilafah yang terakhir, yaitu Turki Utsmani
dihapus oleh Kemal Ataturk yang bersekongkol dengan negara-negara kafir penjajah.
Risalah ini berisi catatan-catatan saya dalam tahun-tahun terakhir yang rata-rata
merupakan permintaan menulis di majalah dan website tertentu. Antara satu artikel
dengan artikel lainnya mungkin ada beberapa irisan karena memang diperuntukkan
untuk tujuan dan sasaran berbeda, serta di waktu yang berbeda pula.
Semoga bisa menjawab keraguan bagi siapa saja yang masih ragu, dan semoga
bermanfaat untuk umat yang merindukan kejayaan Islam, hadirnya junnah umat
Islam dan tegaknya peradaban Islam.

Di Bumi Para Nabi,


20 Rajab 1444 H / 11 Februari 2023 M

Yuana Ryan Tresna

Catatan YRT terkait Khilafah dan Masalah Keumatan i


Daftar Isi

Halaman

9 Topik Khilafah 1

1. ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH



__________________________________________________________________________________ 3
2. KHILAFAH BUKAN SISTEM BAKU DAN BERSIFAT DINAMIS?

__________________________________________________________________________________ 11
3. MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH

__________________________________________________________________________________ 19
4. APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF?
(TANGGAPAN ATAS PERNYATAAN AGUS MAFTUH ABEGABRIEL)

__________________________________________________________________________________ 25
5. PENDAPAT OTORITATIF DAN MAYORITAS TENTANG WAJIBNYA HANYA SATU
KHALIFAH

__________________________________________________________________________________ 31
6. KRIMINALISASI KHILAFAH, PENISTAAN TERHADAP AJARAN ISLAM

__________________________________________________________________________________ 39
7. PENYEBUTAN “KHILAFAHISME” ADALAH PENISTAAN

__________________________________________________________________________________ 45
8. PERAN ULAMA DALAM MENEGAKKAN KHILAFAH

__________________________________________________________________________________ 51
9. ULAMA, PENEGAKKAN KHILAFAH, DAN JEBAKAN PENJAJAH

__________________________________________________________________________________ 57

ii Catatan YRT terkait Khilafah dan Masalah Keumatan


Halaman

63 9 Topik Keumatan
1. BAHAYA GAGASAN DIALOG ANTARAGAMA

__________________________________________________________________________________ 65
2. MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT

__________________________________________________________________________________ 73
3. PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM

__________________________________________________________________________________ 79
4. TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI AGAMA

__________________________________________________________________________________ 85
5. UMMAT[AN] WASATH[AN] BUKAN DALIL MODERASI ISLAM

__________________________________________________________________________________ 91
6. MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK ISLAM NUSANTARA

__________________________________________________________________________________ 97
7. POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI

__________________________________________________________________________________ 105
8. MEMPELAJARI TSAQAFAH ISLAM HARUS MENDALAM

__________________________________________________________________________________ 117
9. PENTINGNYA KEYAKINAN DI JALAN DAKWAH

__________________________________________________________________________________ 123

Catatan YRT terkait Khilafah dan Masalah Keumatan iii


iv
9 Topik Khilafah
1. ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH
2. KHILAFAH BUKAN SISTEM BAKU DAN BERSIFAT DINAMIS?
3. MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH
4. APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA
KHILAFAH DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS PERNYATAAN AGUS
MAFTUH ABEGABRIEL)
5. PENDAPAT OTORITATIF DAN MAYORITAS TENTANG
WAJIBNYA HANYA SATU KHALIFAH
6. KRIMINALISASI KHILAFAH, PENISTAAN TERHADAP
AJARAN ISLAM
7. PENYEBUTAN “KHILAFAHISME” ADALAH PENISTAAN
8. PERAN ULAMA DALAM MENEGAKKAN KHILAFAH
9. ULAMA, PENEGAKKAN KHILAFAH, DAN JEBAKAN
PENJAJAH

1
2 9 Topik Khilafah
1 ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN
MENEGAKKAN KHILAFAH

Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat Al-Nahl Ayat 89. Abdullah
Ibn Mas›ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam
tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua
hal".1
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua
hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang
pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran
Islam ini. Nabi Saw bersabda,
،‫ـاس بِالَّ ِتــي تَلِي َهــا‬ ِ ْ ‫لتُ ْنقَضَ ـ َّن ُع ـ َرى‬
ْ ‫ فَ ُكلَّـ َـا انْتَقَضَ ـ‬،ً‫ ُع ـ ْر َو ًة ُع ـ ْر َوة‬،‫ال ْسـ َـا ِم‬
ُ ‫ تَشَ ـبَّثَ ال َّنـ‬،ٌ‫ـت ُع ـ ْر َوة‬
َّ ‫ َوآخ ُر ُهـ َّن‬،‫َوأَ َّولُ ُهـ ّن نَقْضً ــا الْ ُح ْكـ ُم‬
‫الصـ َـا ُة‬ ِ
"Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul
terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang
pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat" (HR.
Ahmad).
Lafazh (ً‫ ) ُعــ ْر َو ًة ُعــ ْر َوة‬menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan
kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.2
Adapun maksud kalimat (‫ ) َوأَ َّولُ ُهــ ّن نَقْضً ــا الْ ُحكْــ ُم‬adalah ajaran pertama di dalam Islam yang
mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu
pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani
dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.3

Definisi Khalifah dan Khilafah


Al-Khalifah (‫ )الخليفــة‬secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa
bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti
Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.4 Jamak dari kata khalifah adalah khulafa
1 Abul Fida› Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur›an al-Azhim, juz IV, hlm. 594.
2 Al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
3 Al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
4 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174-168.

ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH 3


dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran, seperti QS.
Al-Baqarah: 30, QS. Al-An’âm: 165, dan QS. Al-Naml: 62.
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad
Saw dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”5 Demikian juga Imam al-
Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-
pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di
muka bumi, yang menggantikan mereka.”6
Adapun makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam
yang teragung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
‫ ىف حراسة الدين وسياسة الدنيا‬,‫ القائم بخالفة النبوة‬,‫الخليفة هو اإلمام األعظام‬
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam
melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”7
Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih
praktis,
‫ ويف تنفيذ أحكام الرشع‬،‫الخليفة هو الذي ينوب عن األمة يف الحكم والسلطان‬
”Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan
dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”8
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata
kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah
digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam, dan
amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah khilafah
dan Imamah.9
Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah sebagai,
‫اإلمامة موضوعة لخالفة النبوة يف حراسة الدين وسياسة الدنيا به‬
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta
politik yang sifatnya duniawi”10
Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,
‫ وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة يف مهامت الدين والدنيا‬،‫اإلمامة رياسة تامة‬
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang

5 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
6 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke19-, hlm. 485.
7 Al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al
Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
8 Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
9 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
10 Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
4 9 Topik Khilafah
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan
agama maupun dunia.”11
Definisi yang jami’ dan mani’ adalah,
،‫الخالفــة هــي رئاســة عامــة للمســلمني جميع ـاً يف الدنيــا إلقامــة أحــكام الــرع اإلســامي‬
‫وحمــل الدعــوة اإلســامية إىل العــامل‬
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah
Islam ke seluruh penjuru dunia.”12
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah
memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil
syariah.

Kewajiban Menegakkan Khilafah


Kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak
Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, al-Quran menyatakan
perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah. Nash-nash yang
berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah, makna kontekstualnya
telah melekat dengan makna tekstualnya. Allah Swt berfirman,
ِ ُ‫ول َوأ‬
‫ول ْالَ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا أَ ِطي ُعوا اللَّ َه َوأَ ِطي ُعوا ال َّر ُس‬
“Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di
antara kalian.” (QS. Al-Nisa’: 59)
Pada ayat ini Allah memerintahkan kita menaati ulil amri. Di sisi lain Allah tidak
pernah memerintahkan taat kepada yang tidak ada. Termasuk tidak memerintahkan
taat kepada yang keberadaanya hanya sunnah. Maka berdasarkan dalalah al-
iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya,
sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Ayat tersebut juga mengandung petunjuk
(dalalah), keberadaanulil amri adalah wajib dan wajib pula mengadakan ulil amri
(khalifah) dan s‎ istem syar’inya (khilafah).‎ Adanya ulil amri memiliki konsekuemsi
tegaknya hukum syara, dan diam tidak mewujudkanulil amri membawa konsekuensi
lenyapnya hukum syara.
Pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman,
‫فَا ْح ُك ْم بَ ْي َن ُه ْم بِ َا أَنْ َز َل اللَّ ُه َولَ تَتَّ ِب ْع أَ ْه َوا َء ُه ْم َع َّم َجا َء َك ِم َن الْ َح ِّق‬
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah

11 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyatsi al-Dzulam, hlm.15.


12 Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 230-225.

ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH 5


datang kepadamu.” (QS. al-Maidah: 48).
َ ‫َوأَنِ ا ْح ُكـ ْم بَ ْي َن ُهـ ْم بِ َــا أَنْـ َز َل اللَّـ ُه َولَ تَتَّ ِبـ ْع أَ ْه َوا َء ُهـ ْم َوا ْح َذ ْر ُهـ ْم أَ ْن يَ ْف ِت ُنـ‬
ِ ‫ـوك َعـ ْن بَ ْعـ‬
‫ـض َمــا‬
‫أَنْـ َز َل اللَّـ ُه إِلَ ْيـ َـك‬
”(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang
telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49).
Seruan Allah Swt untuk Rasulullah –untuk memutuskan perkara menurut apa yang
Allah turunkan- pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-
nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah
Rasulullah Saw untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah. Perintah dalam
ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal
ini menurupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim
(penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya
Rasulullah adalah khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah khilafah.
Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik
(kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau
perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, mu›amalah, dan
lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum
muslimin telah diwajibkan untuk menerapkan hukum berdasarkan al-Quran dan
al-Sunnah.
Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud
dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan
pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat,
seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya,
tanpa keberadaan imam (penguasa). Atas dasar itu, mengangkat seorang
penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara
menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah khalifah dan sistem
pemerintahannya adalah khilafah.
Adapun dalil al-Sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang menjelaskan
secara rinci wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin negara yang
akan mengurusi urusan mereka. Nash-nash ini jumlahnya sangat banyak dan
diriwayatkan dalam banyak kitab hadits. Rasulullah bersabda,
‫ـس ِ ْف ُع ُن ِقـ ِه‬ َ ‫َمـ ْن َخلَـ َع يَــدا ً ِمـ ْن طَا َعـ ٍة لَ ِقـ‬
َ ‫ َو َمـ ْن َمــاتَ َولَيْـ‬،‫ـي اللـ َه يَـ ْو َم الْ ِقيَا َمـ ِة الَ ُح َّجـ ًة لَـ ُه‬
‫بَيْ َعـ ٌة َمــاتَ ِميْتَـ ًة َجا ِهلِيَّـ ًة‬
“Barangsiapa yang melepaskan (tangan) dirinya dari ketaatan, maka (dia) akan
berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa
6 9 Topik Khilafah
mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan
jahiliyah.” (HR. Muslim)
Nabi Saw mewajibkan kepada setiap kaum muslim agar di pundaknya terdapat
baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati sementara di pundaknya tidak ada
baiat sebagai orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Baiat adalah hak umat dalam
melaksanakan akad penyerahan mandat kekhilafahan. Nabi Saw telah mewajibkan
adanya baiat di pundak setiap muslim, dengan qarinah jazimah “mati seperti mati
jahiliyah”, yang menurut penjelasan para ulama merupakan mati dalam keadaan
bermaksiat13 atau tersesat.14 Hadits ini berbentuk umum. Artinya apabila khalifah
ada, seorang muslim wajib berbaiat, dan dalam keadaan tidak adanya khalifah
seorang muslim harus melakukan aktivitas yang bisa mewujudkannya. Disamping
itu, mafhum dari hadits tersebut juga menyatakan demikian, yakni nash tersebut
menyatakan wajibnya membaiat khalifah yang jika tidak dilakukan, maka dia akan
mati dalam keadaan jahiliyah. Ini merupakan dalil (penunjukkan) yang jelas, bahwa
jika tidak ada (khalifah), maka wajib menjalankan aktivitas untuk mewujudkannya.
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda,
‫ال َما ُم ُج َّن ٌة يُقَات َُل ِم ْن َو َرائِ ِه َويُتَّقَى ِب ِه‬
ِ ْ ‫إِنَّ َا‬
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR.
Muttafaq ’Alaih)
Hadits ini mengandung pujian terhadap sosok imam atau khalifah yakni junnah
(perisai) atau wiqayah (pelindung).15 Pada hadits ini juga terdapat ungkapan qashr
(pengkhususan) dan tasybih mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan
khalifah sebagai perisai kaum muslim. Al-Hafizh Ibn al-Atsir menjelaskan bahwa
junnah dalam hadits ini, berkonotasi sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal
dari keburukan.16 Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama lainnya, di antaranya al-
Hafizh al-Nawawi. Sabda Rasulullah (‫ )اإلمام جنة‬yakni seperti al-sitr (pelindung), karena
Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslim, dan
mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman), memelihara kemurnian ajaran
Islam, rakyat berlindung kepadanya dan mereka tunduk kepada kekuasaannya.17
Sifat yang diberikan Rasulullah Saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar
(pemberitahuan) yang mengandung pujian kepada keberadaan imam (khalifah).
Ikhbar disini bermakna tuntutan untuk melakukan, karena datang dari Allah dan
Rasul-Nya dengan disertai pujian. Demikian juga karena aktivitas yang dituntut
13 Ahmad bin Ali al-Asqalani, Fath al-Bari, juz XIII, hlm. 7.
14 Imam as-Sindi, Syarah Sunan an-Nasa’i, juz V, hlm. 434.
15 Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz
VI, hlm. 2391.
16 Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, juz IV, hlm. 63.
17 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, juz. XII, hlm. 230.

ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH 7


tersebut pelaksanaannya memiliki konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariah,
maka pujian tersebut merupakan qarinah jazimah (indikasi tegas) bahwa perkara
tersebut hukumnya wajib, yakni diangkatnya khalifah dan tegaknya sistem khilafah.
Rasulullah Saw juga bersabda,
‫َو َم ـ ْن بَايَ ـ َع إِ َما ًمــا فَأَ ْعطَــا ُه َص ْف َق ـ َة يَـ ِـد ِه َوثَ َ ـ َر َة قَلْ ِب ـ ِه فَلْ ُي ِط ْع ـ ُه إِ ْن ْاس ـتَطَا َع فَ ـ ِإ ْن َجــا َء آ َخ ـ ُر‬
ِ ْ ‫يُ َنا ِز ُع ـ ُه ف‬
‫َاضبُــوا ُع ُنـ َـق ْال َخ ـ ِر‬
"Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran
tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menaatinya jika ia mampu. Apabila ada orang
lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu". (HR. Muslim)
Rasulullah Saw memerintahkan untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa
saja yang hendak merebut jabatan dalam kekhilafahan. Perintah Rasulullah Saw ini
berarti perintah untuk mengangkat khalifah dan menjaga eksistensi kekhilafahan
dengan cara memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya. Ini juga
merupakan indikasi (qarinah) yang tegas mengenai keharusan mewujudkan hanya
satu orang khalifah saja.
Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw,
‫ـي بَ ْعـ ِـدي‬ َّ ‫ـي َو ِإنَّ ـ ُه لَ نَ ِبـ‬ ٌّ ‫وس ـ ُه ْم الْ َنْ ِب َيــا ُء كُلَّـ َـا َهلَـ َـك نَ ِبـ‬
ٌّ ‫ـي َخلَ َف ـ ُه نَ ِبـ‬ ُ ‫سائِيـ َـل ت َُس‬ َ ْ ‫ـت بَ ُنــو ِإ‬
ْ ‫كَانَـ‬
َ ‫ـر قَالُــوا فَـ َـا تَأْ ُم ُرنَــا قَـ‬
‫ـال فُــوا ِب َب ْي َعـ ِة ْالَ َّو ِل فَــالْ َ َّو ِل َوأَ ْعطُو ُهـ ْم َح َّق ُهـ ْم فَ ِإ َّن‬ ُ ُ ‫َو َسـتَكُو ُن ُخلَ َفــا ُء ت َ ْكـ‬
ْ َ ‫اللَّـ َه َســائِلُ ُه ْم َعـ َّـا ْاسـ‬
‫ـر َعا ُه ْم‬
"Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap
kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak
akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah." Para shahabat
bertanya, "Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau menjawab,
"Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama itu saja." Berikanlah kepada
mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka
terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka." (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas, tentang
wajibnya kaum muslim mengangkat (membaiat) seorang kepala negara (khalifah).
Adapun dalil Ijmak Shahabat, sungguh para shahabat radhiyallahu ‘anhum
telah berijmak atas wajibnya mengangkat khalifah. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra
mengomentari peristiwa yang terjadi di Tsaqifah bani Sa’idah dengan: “Jika al-
Imamah (khilafah) itu tidak wajib, maka tak akan berlangsung diskusi alot tersebut
dan dialog tentangnya.”18 Indikasi kewajiban ini adalah ketika para shahabat lebih
mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman jenazah Rasulullah
Saw.
18 Abu Ya’la al-Farra, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juz I, hlm. 19.
8 9 Topik Khilafah
Imam al-Khaththabi menegaskan, “Dan dalil tersebut (ijmak shahabat) merupakan
sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya menegakkan al-khilafah dan bahwa harus ada
seorang imam (khalifah) bagi masyarakat yang berdiri memerintah dan mengatur
mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari keburukan,
menghalangi mereka saling menzhalimi dan merusak.”19
Imam al-Haitami dalam menyatakan, «Ketahuilah, bahwasanya para shahabat ra
telah bersepakat, bahwa hukum mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya
zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan, mereka telah menjadikan hal
ini sebagai kewajiban yang terpenting. Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri
dengan kewajiban tersebut, dan menunda penguburan jenazah Rasulullah Saw.» [
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Shawa`iq al-Muhriqah, hlm. 17.]

Penutup
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban dari
Allah Swt, syariat nabi Muhammad Saw, dan sunnah para al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Siapa saja yang mengingkarinya meskipun dengan mengajukan berbagai dalih
dan retorika, hakikatnya tidak mengerti bagaimana istinbath al-ahkam kewajiban
tersebut dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Kewajiban tersebut bukanlah perkara ijtihadi.
Khilafah juga memiliki pilar-pilar (al-qawa’id) sistem pemerintahan Islam yang
bersifat baku. Memang benar pada perkara perinciannya ada perkara-perkara yang
ijtihadi. Tetapi perlu ditegaskan bahwa hasil ijtihad (fikih) juga merupakan hukum
syara’. Wallahu a’lam. []

19 Abu Sulaiman al-Khathabi, Ma’alim al-Sunan, juz III, hlm. 6.

ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH 9


10 9 Topik Khilafah
2 KHILAFAH BUKAN SISTEM BAKU
DAN BERSIFAT DINAMIS?

Pendahuluan
Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat Al-Nahl Ayat 89. Abdullah
Ibn Mas'ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam
tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua
hal".1 Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua
hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Hanya saja, sebagaimana dikabarkan dalam hadits Nabi, simpul (urwah) penting
pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi
asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Maksud kalimat (‫ ) َوأَ َّولُ ُهــ ّن نَقْضً ــا الْ ُحكْــ ُم‬dalam
hadits riwayat Imam Ahmad adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami
penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan.
Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan
frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.2 Namun masih ada yang
menolak konsep pemerintahan Islam karena dianggap tidak baku. Benarkah tidak
ada konsep baku tentang pemerintah Islam (khilafah)? Inilah persoalan yang harus
diberikan penjelasan.

Definisi Khalifah dan Khilafah


Makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang
teragung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
‫ ىف حراسة الدين وسياسة الدنيا‬,‫ القائم بخالفة النبوة‬,‫الخليفة هو اإلمام األعظام‬
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam
melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”3
Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih
praktis,
1 Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, juz IV, hlm. 594.
2 Lihat al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
3 Lihat al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala
Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.

KHILAFAH BUKAN SISTEM BAKU DAN BERSIFAT DINAMIS? 11


‫ ويف تنفيذ أحكام الرشع‬،‫الخليفة هو الذي ينوب عن األمة يف الحكم والسلطان‬
”Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan
dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”4
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata
kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah
digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan
amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah khilafah
dan Imamah.5
Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah sebagai,
‫اإلمامة موضوعة لخالفة النبوة يف حراسة الدين وسياسة الدنيا به‬
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta
politik yang sifatnya duniawi”6
Definisi yang jami’ dan mani’ adalah,
،‫الخالفــة هــي رئاســة عامــة للمســلمني جميع ـاً يف الدنيــا إلقامــة أحــكام الــرع اإلســامي‬
‫وحمــل الدعــوة اإلســامية إىل العــامل‬
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah
Islam ke seluruh penjuru dunia.”7
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah
memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil
syariah.

Konsep Baku Khilafah


Kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak
Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, al-Quran menyatakan
perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah. Nash-nash yang
berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah, makna kontekstualnya
telah melekat dengan makna tekstualnya Pada dalil al-Sunnah, banyak dituturkan
riwayat-riwayat yang menjelaskan secara rinci wajibnya kaum muslim mengangkat
seorang pemimpin negara yang akan mengurusi urusan mereka. Adapun dalil Ijmak
Shahabat, sungguh para shahabat ra telah berijmak atas wajibnya mengangkat
khalifah.

4 Lihat Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
5 Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
6 Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
7 Lihat Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 230-225.
12 9 Topik Khilafah
Anggapan tidak ada konsep baku khilafah adalah tidak benar. Jika dikatakan tidak
ada konsep baku karena tidak ada dalil kewajiban dalam al-Quran dan al-Sunnah,
maka hal itu menunjukkan yang bersangkutan tidak paham bagaimana istinbath
hukum dari al-Quran dan al-Sunnah, dan terjebak dengan pengambilan hukum hanya
secara mantuq (tekstual). Jika dikatakan tidak ada konsep baku khilafah karena
tidak ada bentuk dan struktur rinci tentang khilafah yang dicontohkan Rasulullah,
maka hal itu menunjukkan ketidakcermatan memahami al-Sunnah (perkataan,
perbuatan dan persetujuan Rasulullah) dan ijmak shahabat. Jika dikatakan tidak
ada bentuk baku khilafah karena di dalamnya terdapat ikhtilaf di kalangan ulama,
maka ini menunjukkan ketidakpahaman tentang syariat dan fikih, dimana dalam
fikih apapun selalu ada perkara yang muttafaq alaihi (disepakati) dan mukhtalaf fihi
(diperselisihkan). Namun hal itu bukan alasan menolak fikih tersebut.
Berikut adalah bukti kebakuan konsep khilafah:8
Pertama, asas dan pondasi kepemimpinan khilafah dalam Islam. Asas dan
fondasi kepemimpinan Khilafah dalam Islam adalah tauhid atau akidah Islam, asas
dan fondasi inilah yang akan menentukan tata letak bangunan kehidupan di atasnya,
begitu pula bangunan kehidupan Islam wajib dibangun di atas asas akidah Islam.
Hal ini sebagaimana prinsip kehidupan yang digariskan Rasulullah Saw dan para
shahabatnya dalam kepemimpinan Islam.
Al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani menegaskan: Akidah Islam adalah dasar negara.
Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan
atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah Islam
menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Segala sesuatu
yang berkaitan dengan undang-undang dasar (dustur) dan perundang-undangan
(qanun) harus terpancar dari akidah Islam.9
Kedua, pedoman dan standar konstitusi negara khilafah. Al-Qadhi Taqiyuddin
al-Nabhani menegaskan bahwa Islam memandang segala bentuk perundang-
undangan dalam negara Khilafah; mencakup Undang-undang Dasar (dustur) dan
perundang-undangan (qanun) harus terpancar dari akidah Islam. Maksudnya, harus
bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak Shahabat, Qiyas Syar’i.10 Al-Qur’an dan
al-Sunnah menjadi pedoman dan standar utama dalam perumusan konstitusi dan
kebijakan negara. Mencakup persoalan pokok; standar baku menentukan apa yang
diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan
menurut Allah dan Rasul-Nya, mengingat manusia tak berhak mengharamkan apa
yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau menghalalkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya.

8 Lihat Irfan Rhamdan Wijaya dan Yuana Ryan Tresna, Konsep Baku Khilafah Islamiyyah, Yogyakarta: Penerbit
Quwwah, hlm. 202-143.
9 Lihat Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hlm. 5.
10 Lihat Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, hlm. 8.

KHILAFAH BUKAN SISTEM BAKU DAN BERSIFAT DINAMIS? 13


Beberapa prinsip dasar dalam menyusun konstitusi negara dalam pandangan Islam
adalah sebagai berikut
a) Konstitusi dan undang-undang syariah harus selalu merujuk kepada al-Quran
dan al-Sunnah –serta yang ditunjuki oleh keduanya sebagai pedoman yakni
ijmak shahabat dan qiyas syar’i-. Konstitusi syariah harus dijiwai oleh akidah
Islam dan hukum-hukum syara’;
b) Khalifah adalah pihak yang berwenang melakukan legalisasi hukum tertentu
(hukum Islam) bagi negara. Dengan kata lain, khalifah adalah pemegang
kewenangan tertinggi dalam penetapan konstitusi syariah;
c) Agar proses ijtihad tidak berhenti, konstitusi syari’ah hanya memuat aturan-
aturan pokok yang bersifat luwes dan tidak kaku. Ini ditujukan agar khalifah,
ataupun aparatus negara lainnya; semisal mu’awin, wali, dan qadhi, tetap bisa
melakukan proses ijtihad berdasarkan kaidah-kaidah umum yang termaktub
dalam konstitusi. Jika konstitusi syariah tersebut berisikan aturan-aturan
yang sangat terperinci, hal semacam ini tentu akan mematikan kreatifitas dari
aparatus negara, terutama pada qadhi, untuk melakukan proses ijtihad. Jika
ini terjadi, lambat laun proses ijtihad akan terhenti, bahkan bisa terhenti sama
sekali;
d) Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum tertentu yang menyangkut masalah
akidah dan ibadah. Ini didasarkan pada kenyataan, pertama, pengalaman sejarah
telah membuktikan; ketika khalifah menetapkan hukum tertentu untuk dua
masalah ini (akidah dan ibadah), timbul fitnah besar yang sangat membahayakan
eksistensi kaum muslim. Kedua, motif utama dari adopsi hukum tertentu oleh
kepala negara (tabanni), adalah untuk mengatur urusan kaum muslim dengan
sebuah hukum, dan untuk menjaga eksistensi dan kesatuan Khilafah Islamiyyah;
e) Akan tetapi, jika ada nash-nash qath’i yang menjelaskan prinsip-prinsip akidah,
maka khalifah mesti mentabanni (memasukkannya dalam konstitusi) perkara-
perkara tersebut. Meskipun hal itu menimbulkan fitnah di kalangan muslim
dan bertentangan dengan fakta tabanni. Misalnya, perkara akidah tidak boleh
ditetapkan berdasarkan dalil-dalil zhanni (dugaan). Begitu juga perkara-
perkara ibadah yang mesti dipersatukan untuk menjaga keutuhan daulah Islam
dan kaum muslim; maka, khalifah harus mengadopsi hukum tertentu untuk
mengatur masalah ini. Misalnya, penetapan waktu haji, puasa, dan hari raya;
f) Dalam penyusunan konstitusi syariah ini, khalifah tidak boleh mendesainnya
sebagai konstitusi syariat berdasarkan madzhab tertentu, atau malah
menjadikan negara Khilafah sebagai negara madzhab, atau kelompok. Untuk itu,
konstitusi negara harus inklusif dan berdiri di atas semua kelompok, madzhab,
dan keragaman lainnya.

14 9 Topik Khilafah
Ketiga, kekuasaan dalam kepemimpinan Islam bukan tujuan, namun metode
mewujudkan visi ukhrawi yang jauh melampaui unsur-unsur.
Kekhilafahan adalah amanah, amanah untuk menegakkan aturan Allah sebagaimana
digambarkan dalam QS. Fathir [39 :]35. Allah Swt pun menegaskan amanah tersebut
dalam ayat-ayat al-Qur’an lainnya: QS. Al-An’am [165 :]6, QS. Al-Naml [62 :]27. Kata
khala’if (atau khulafa’) dalam ayat-ayat mulia ini adalah jamak dari kata khalifah.11
Secara bahasa (haqiqah lughawiyyah) kata khalifah bermakna pengganti. Imam
al-Farra menegaskan bahwa umat Muhammad Saw dijadikan khala’if (pemimpin
pengganti) setiap umat-umat.12 Hal senada ditegaskan Imam al-Baghawi,13 Imam
al-Sam’ani merinci: Yakni: Dia menjadikan sebagian kalian sebagai pemimpin-
pemimpin pengganti untuk sebagian lainnya, dikatakan: Dia menjadikan generasi-
generasi penerus kalian sebagai pengganti kalian, dan sebagian ulama lainnya
mengatakan maknanya: Dia menjadikan kalian sebagai pemimpin pengganti Bangsa
Jin di muka bumi.14
Maka sebagai khalifah di muka bumi, setidaknya umat manusia ditugaskan untuk:
pertama, mengabdi kepada Allah; dan kedua, mengatur kehidupan dunia ini, dan
memakmurkannya dengan ilmu dan tuntunan Allah Swt.15
Keempat, visi kepemimpinan dalam Islam. Visi kepemimpinan dalam Islam
mencakup paling tidak tiga hal sebagai berikut:
a) Visi melanjutkan kehidupan Islam (isti’naf al-hayah al-Islamiyyah),
menggambarkan visi untuk kembali hidup di bawah naungan Islam, dengan
cara menegakkan hukum-hukum Islam dalam setiap sendi kehidupan dengan
landasan akidah Islam. Visi ini meniscayakan tegaknya kembali peradaban
Islam, yang berdiri kokoh di atas landasan tauhid (akidah Islam), sebagaimana
tegaknya kehidupan Islam di masa Rasulullah Saw dan para shahabatnya.
Dengan ungkapan lain, Khilafah bukan tujuan, khilafah adalah metode syar’i
untuk menegakkan syari’ah, dimana tegaknya syari’ah merupakan kunci meraih
keridhaan-Nya, dan meraih keridhaan-Nya adalah kunci kebaikan dunia dan
akhirat.
b) Visi menyatukan kaum muslim di atas asas akidah Islam. Islam secara tegas
mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi persatuan di atas asas
akidah Islam, dan diikat dalam institusi kepemimpinan Islam (al-khilafah al-
islamiyyah), hal itu tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwal
para ulama muktabar. Al-Hafizh al-Qurthubi misalnya, menegaskan bahwa
11 Lihat Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174.
12 Lihat Abu Manshur al-Azhari, hlm. 174.
13 Lihat Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, juz XIV, hlm. 218.
14 Lihat Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani al-Syafi’i, Tafsir al-Qur’an, juz III, hlm. 370.
15 Lihat Dr. Majid ‘Irsan al-Kailani, Tathawwuru Mafhum al-Nazhriyyah al-Tarbawiyyah al-Islamiyyah: Dirasah
Manhajiyyah fi al-Ushul al-Tarikhiyyah li al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Beirut: Dar Ibn Katsir, cet. II, 1405 H, hlm.
26-25.

KHILAFAH BUKAN SISTEM BAKU DAN BERSIFAT DINAMIS? 15


Imam atau Khalifah itu menyatukan kalimat kaum Muslim, ketika menafsirkan
QS. Al-Baqarah [30 :]2, ia menyatakan bahwa khalifah yang dita’ati dan didengar
perintahnya, untuk menyatukan kalimat kaum muslim.16
c) Visi menegakkan dakwah Islam meraih kembali predikat khairu ummah. Visi ini
seiring dan sejalan dengan tugas Rasulullah Saw yang diutus untuk seluruh umat
manusia, bersifat universal, dimana hal ini meniscayakan visi dakwah tanpa
melihat warna kulit (suku bangsa) dan asal-usul (wilayah). Wajib dipahami,
bahwa Allah Swt menjadikan kaum muslim sebagai umat terbaik, manakala
Allah Swt menunjukkan kemuliaan tersebut berikut karakteristik yang harus
melekat padanya, salah satunya aktivitas dakwah berdasarkan firman Allah
dalam QS. Ali Imran [11 :]3.
Kelima, pilar-pilar negara khilafah. Para ulama telah menjelaskan empat pilar
politik Islam dalam sistem Khilafah sebagai berikut:
a) Kedaulatan di tangan syara’ (al-siyadah li al-syar’i), yang menjamin penegakkan
hukum al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan, mengundang keberkahan
dari Allah, menebarkan rahmat bagi alam semesta;
b) Kekuasaan milik umat (al-sulthan li al-ummah), yakni dengan adanya hak
baiat untuk mengangkat khalifah hanyalah pada umat Islam. Khalifah dibait
oleh umat untuk menegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, yang menjamin
terealisasinya kepemimpinan yang amanah menegakkan syari’at Islam;
c) Kewajiban adanya satu kepemimpinan khalifah untuk seluruh umat (wujub
al-khalifah al-wahid li al-muslimin), yang menjamin realisasi kesatuan kaum
muslim dalam satu institusi super power untuk menegakkan Islam dalam
kehidupan;
d) Khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalifah haq al-tabanni), yang
menjamin kesatuan kaum muslim, menjaganya dari ancaman perpecahan.
Adopsi hukum yang berkaitan dengan kesatuan kaum muslim, dimana tanpa
kesatuan ini kaum muslim akan berpecah belah.
16 Lihat Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz I, hlm.
264.

16 9 Topik Khilafah
Konsep Baku Ketatanegaraan Islam (Khilafah)17

No Profil Karakteristik
1 Asas dan Pondasi Akidah Islam
2 Pedoman & Standar Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas Syar’i
Konstitusi
3 Esensi Kepemimpinan Menjadi wasilah terwujudnya tujuan utama hidup
manusia untuk beribadah kepada-Nya
4 Visi Kepemimpinan Islam • Melanjutkan kehidupan Islam
• Mewujudkan persatuan dan kesatuan kaum muslim
• Dakwah menyebarkan risalah Islam
5 Pilar-Pilar Kepemimpinan • Kedaulatan di tangan syara’ (al-siyadah li al-syar’i)
Islam
• Kekuasaan milik umat (al-sulthan li al-ummah)
• Kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah
untuk seluruh umat (wujub al-khalifah al-wahid li
al-muslimin)
• Khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalifah
haq al-tabanni)
6 Politik Dalam Negeri Menegakkan hukum-hukum syari’ah dalam setiap
aspek kehidupan
7 Politik Luar Negeri Menegakkan dakwah dan jihad fi sabilillah

Penutup
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa konsep baku khilafah itu nyata, dan
menegakkannya adalah kewajiban dari Allah Swt, syariat nabi Muhammad Saw, dan
sunnah para al-Khulafa’ al-Rasyidun. Siapa saja yang mengingkarinya meskipun
dengan mengajukan berbagai dalih dan retorika, hakikatnya tidak mengerti
bagaimana istinbath al-ahkam kewajiban tersebut dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kewajiban tersebut bukanlah perkara ijtihadi. Khilafah juga memiliki pilar-pilar
(al-qawa’id) sistem pemerintahan Islam yang bersifat baku. Memang benar pada
perkara perinciannya ada perkara-perkara yang ijtihadi. []

17 Lihat Irfan Rhamdan Wijaya dan Yuana Ryan Tresna, Konsep Baku Khilafah Islamiyyah, hlm. 200.

KHILAFAH BUKAN SISTEM BAKU DAN BERSIFAT DINAMIS? 17


18 9 Topik Khilafah
3 MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA
KHILAFAH

Hadits tentang Kabar Gembira Kembalinya Khilafah


Hadits yang mengabarkan berita gembira kembalinya khilafah sangatlah banyak.
Adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian)
akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih
banyak hadits-hadits lain yang secara makna sejalan dengan hadits tersebut. Misalnya
hadits riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman
yang akan ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadits tentang
akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Thabarani,
al-Baihaqi); dan hadits tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan
melinggkupi dari timur hingga barat (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud). Hadits ini
didukung oleh banyak hadits lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam
ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, penaklukan kota Roma,
dst. Makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan oleh
sekitar 25 shahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh sekitar 39 tabi’in, kemudian
diriwayatkan oleh sekitar 62 tabi’ al-tabi’in.
Berikut adalah hadits dari Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
«ُ‫ت َ ُكــو ُن ال ُّنبُ ـ َّو ُة ِفي ُك ـ ْم َمــا شَ ــا َء الل ـ ُه أَ ْن تَ ُكــو َن ث ُ ـ َّم يَ ْرفَ ُع َهــا إِذَا شَ ــا َء أَ ْن يَ ْرفَ َع َهــا ث ُ ـ َّم ت َ ُكــون‬
‫ِخالَفَ ـ ٌة َعـ َـى ِم ْن َهــا ِج ال ُّنبُ ـ َّو ِة فَتَ ُكــو ُن َمــا شَ ــا َء الل ـ ُه أَ ْن تَ ُكــو َن ث ُـ َّم يَ ْرفَ ُع َهــا إِذَا شَ ــا َء الل ـ ُه أَ ْن‬
‫يَ ْرفَ َع َهــا ث ُ ـ َّم ت َ ُكــو ُن ُملْ ـكًا َعاضًّ ــا فَ َي ُكــو ُن َمــا شَ ــا َء اللــ ُه أَ ْن يَ ُكــو َن ث ُ ـ َّم يَ ْرفَ ُع َهــا إِذَا شَ ــا َء أَ ْن‬
‫يَ ْرفَ َع َهــا ث ُ ـ َّم ت َ ُكــو ُن ُملْ ـكًا َج ْ ِبيَّ ـ ًة فَتَ ُكــو ُن َمــا شَ ــا َء الل ـ ُه أَ ْن ت َ ُكــو َن ث ُ ـ َّم يَ ْرفَ ُع َهــا إِذَا شَ ــا َء أَ ْن‬
‫»يَ ْرفَ َع َهــا ث ُ ـ َّم ت َ ُكــو ُن ِخالَفَ ـ ًة َعـ َـى ِم ْن َهــا ِج ال ُّن ُب ـ َّو ِة‬
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu
Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada
khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap
ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian
akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada.
Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan
ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan
tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.”

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH 19


(HR Ahmad, Abu Dawud al-Thayalisi dan al-Bazzar).
Hadits ini merupakan hadits maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai
hujjah. Al-Hafizh al-‘Iraqi mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad
meriwayatkannya dalam Musnad-nya.”1
Periode terakhir pada hadits di atas adalah periode kembalinya khilafah yang
mengikuti metode (manhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya
kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam
banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadits ini bukan dalil pokok kewajiban
menegakkan khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dalilnya adalah al-Quran
terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapakan hukum-hukum
Allah; dan hadits-hadits yang mewajiban adanya baiat dan adanya imam sebagai
junnah (perisai).

Menjawab Keraguan terkait Otentisitas dan Validitas


Hadits
Sebagian pihak mengatakan bahwa hadits tentang akan datangnya khilafah dari segi
kritik sanad dan matan telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah
dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini
juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadits yang dijadikan landasan
utama oleh pejuang khilafah, dalam perspektif kritik sanad bermasalah karena
ada seorang rawi bernama Habib bin salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah
(terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang
negatif (al-jarh) dari imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”,
dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, mereka menyimpulkan, bahwa
hadits tentang kekuasaan khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib
bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh
oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama
Habib bin Salim. Oleh karenanya, peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah
setiap ungkapan tersebut.
Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari sudah pasti dha’if?
Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari
imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak bisa
memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.
Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya).
Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa
memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar”

1 al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176


20 9 Topik Khilafah
oleh imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk
penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari
“fihi nazhar”.
Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, tetapi masih membuka ruang
penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima
rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits
lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung
rawi yang ditelitinya. Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan
mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat
lebar.
Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari. Ini baru
yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi
nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man
bin Basyir, dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2606/2), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-
Uqaili, 66/2) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 405/2), imam al-Bukhari
menilainya“fihi nazhar”.
Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai
seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”.2 Imam
Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah.
Imam Ahmad dan al-Darimi juga meriwayatkannya.
Meski demikian, imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim,
sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, imam al-
Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin
Nu’man bin Basyir.3
Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa
Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah
Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 644-621.
Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha
adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua
ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli
hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil.
Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu
rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang
bacaan pada shalat ‘ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut
Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau
tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa Ibnu

2 Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 102/3; al-Tsiqat, 138/4; al-Kamil, 405/2; al-Taqrib, 151/1
3 Tarikh al-Kabir, 365/8

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH 21


Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan “la ba’sa bihi”.
Adapun tuduhan pada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh
telah ditsiqahkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi
tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.
Dengan demikian, tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya
khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin Salim. Para
ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi
nazhar” dari imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan
untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits
dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya khilafah
adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-
Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, juz 4 No. 18.430 dan dinilai
shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (17/2).

Sikap yang Benar terhadap Kabar Gembira Kembalinya


Khilafah
Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang mukmin terkait janji
kekhilafahan adalah: Pertama, seorang mukmin wajib menyakini sepenuhnya janji
akan berkuasaanya kembali umat Islam (QS. Al-Nur: 55), karena Allah SWT pasti
menunaikan janji-janji-Nya. (QS. (108:)18 dan (18:)73). Yakin kepada janji Allah
termasuk bagian keimanan; dan siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah
SWT, keimanannya telah rusak; Kedua, seorang mukmin harus membenarkan
kabar gembira dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam
banyak hadits shahihnya; Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira
tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya;
dan Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau
sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.
Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah
menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan khilafah islamiyyah: Pertama,
mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk khilafah Islamiyyah
adalah kewajiban.4; Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya
zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting.5; Ketiga, Allah SWT telah
menjanjikan kekhilafahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman.6; Keempat,
menegakkan kekuasaan Islam (khilafah Islamiyyah) termasuk sarana mendekatkan
diri kepada Allah SWT yang paling agung.7
4 al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 6, hlm. 291
5 al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, juz 1, hlm. 25
6 al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 5, hlm. 241
7 Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar›iyyah, hlm. 161
22 9 Topik Khilafah
Dalam menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban syariat, sikap yang
seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh, dan berusaha menunaikan
kewajiban itu dengan sebaik-baiknya. Seorang mukmin dilarang mempertanyakan,
meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apapun.
Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan.
Alasannya, kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah sama kedudukannya dengan
kewajiban-kewajiban lain, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.
Sedangkan dalam konteks menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban
paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka
seorang mukmin harus menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini,
dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum
muslim. Alasannya, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar'iyyah (metode syar'i)
untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan
kaum muslim di seluruh penjuru dunia.
Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa
adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakkan
khilafah Islamiyyah. Padahal, sikap putus asa, pesimis, dan mencemooh kewajiban
yang dibebankan Allah SWT termasuk perbuatan dosa. Nabi SAW bersabda:

،ُ‫ َر ُجـ ٌـل نَــا َز َع اللـ َه َعـ َّز َو َجـ َّـل ِر َدا َء ُه فَـ ِإ َّن ِر َدا َء ُه الْ ِك ْ ِبيَــا ُء َوإِزَا َر ُه الْ ِعـ َّزة‬:‫َو�ثَالَث َـ ٌة الَ ت ُْسـأَ ُل َع ْن ُهـ ْم‬
‫ َوالْ ُق ُنـ ْو ُط ِمـ ْن َر ْح َمـ ِة اللـ ِه‬،‫َو َر ُجـ ٌـل شَ ـ َّـك ِف أَ ْمـ ِر اللـ ِه‬
"Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia
yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah
kesombongan dan kainnya adalah al-›izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan
perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah." (HR. Ahmad,
Thabarani, al-Bazar)
Diantara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah
mengabaikan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan
menunggu datangnya imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat, karena
menegakkan khilafah Islamiyyah adalah kewajiban syariat. Seorang muslim
tidak boleh abai dengan kewajiban ini, atau tidak berupaya memperjuangkannya
dengan sungguh-sungguh. Sebab, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar›i untuk
menerapkan Islam secara sempurna.
Adapun hadits-hadits yang berbicara tentang turunnya imam Mahdi, sama sekali tidak
menafikan kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah atas kaum muslim. Hadits-
hadits tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu
datangnya imam Mahdi, dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan khilafah
Islamiyyah.
MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH 23
Penutup
Kaum muslim wajib bersungguh-sungguh menyongsong kabar gembira Rasulullah
SAW. Tegaknya khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat
Islam. Apa yang terjadi sekarang ini, menggambarkan bahwa kita hidup saat
ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Maka perlu ada upaya
serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan
kehidupan Islam dengan tegaknya al-khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka
bumi. Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan, dimana mereka
terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Imam Ibn Muflih al-
Hanbali (w. 763 H) menuturkan:

ُ ‫يس ِف الْ َب ْي َدا ِء يَ ْقتُلُ َها الظ ََّم * َوال َْم ُء فَ ْو َق ظُ ُهو ِر َها َم ْح ُم‬
‫ول‬ ِ ‫كَالْ ِع‬
“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan * Dan air di atas punggungnya
tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, juz III, hlm. 104). []

24 9 Topik Khilafah
APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA
AKAN KEMBALINYA KHILAFAH
4 DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS
PERNYATAAN AGUS MAFTUH
ABEGABRIEL)

Pendahuluan
Dalam pengamatan penulis, Agus Maftuh Abegabriel (AMA) pertama kali menulis
topik tentang kritik otentisitas dan validitas hadits tentang khilafah pada 27 Oktober
2017 di Harian Jawa Pos dengan tajuk “Teologi Kekuasaan”. Akhir-akhir ini kembali
tersiar video wawancara AMA yang salah satu kontennya adalah kritik terhadap
hadits tersebut.1 Pertanyaannya adalah benarkah hadits tentang kembalinya khilafah
statusnya dha’if? Sebenarnya pendahulu kami telah menulis bantahan terkait topik
ini. Namun tidak salah jika penulis memberikan tanggapan secara lebih fokus dan
jelas pada aspek kritik sanad hadits.
AMA mengatakan bahwa hadits tentang akan datangnya khilafah dari segi kritik
sanad dan matan gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan
sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga
sangat tergesa-gesa, dan membuktikan yang bersangkutan awam terhadap ilmu
hadits, khususnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Masih menurut AMA, bahwa hadits yang
dijadikan landasan utama oleh pendiri HT itu jika dilakukan penelaahan akan tampak
jelas bahwa dalam perspektif kritik sanad hadits tersebut ternyata ada seorang
rawi bernama Habib bin salim al-Anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah
(terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang
negatif (al-jarh) dari Imam Bukhari yang menilainya “fihi nazhar”, dan juga komentar
yang senada dari Ibn Adi. Lalu, dia menyimpulkan, dengan demikian hadits tentang
kekuasaan khilafah Islamiyyah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.

Pembahasan
Jika tuduhan diarahkan pada aspek kritik matan, sangatlah lemah dan sama sekali
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat
tergesa-gesa, dan membuktikan yang bersangkutan awam terhadap ilmu hadits,
khususnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Masih para pengkritik, bahwa hadits yang
dijadikan landasan utama oleh pendiri HT itu jika dilakukan penelaahan akan tampak
jelas bahwa dalam perspektif kritik sanad hadits tersebut ternyata ada seorang
rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah

1 Lihat: https://20.detik.com

APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS 25
PERNYATAAN AGUS MAFTUH ABEGABRIEL)
(terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang
negatif (al-jarh) dari Imam Bukhari yang menilainya “fihi nazhar”, dan juga komentar
yang senada dari Ibn Adi. Lalu, dia menyimpulkan, dengan demikian hadits tentang
kekuasaan khilafah Islamiyyah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib berkata, “Abu Hatim berkata tsiqah,
al-Bukhari berkata fihi nazhar, Ibnu Adi berkata laisa fi mutun ahaditsihi hadits[un]
munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma ruwiya ‘anhu (pada matan-matan haditnya
tidak ada hadits munkar, tapi telah terjadi idhthirab pada sanad-sanad (hadits) yang
diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh berkata, “saya nyatakan, bahwa al-
Ajiri berkata dari Abu Dawud bahwa ia tsiqah, dan Ibn Hibban menyebutkan dalam
(kitab) al-Tsiqqat.” Adapun dalam kitab yang lebih kecil, Taqrib al-Tahdzib Ibnu Hajar
berkata, “la ba’sa bihi.“
Tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim ditsiqahkan oleh sebagian ulama jarh
wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara
ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Seharusnya adil dan objektif meneliti
setiap ungkapan tersebut.
Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari sudah pasti
dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian
jarh dari Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana
itu. Tidak bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi
nazhar”.
Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya).
Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa
memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar”
oleh Imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk
penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari
“fihi nazhar”.
“fihi nazhar” seperti ungkapan hipotesis dari seorang peneliti, bahwa rawi ini perlu
diperhatikan atau diteliti lebih lanjut. Tetapi yang jelas, Imam al-Bukhari tidak
sedang menunjukkan ta’dil dengan ungkapan tersebut, melainkan jarh ringan yang
masih membuka ruang interpretasi para nuqqad (kritikus hadits). Termasuk potensi
jarh syadid (penilaian negatif yang parah) bahkan ta’dil, ketika pada tempat lain
Imam al-Bukhari menerimanya.
Bahkan ada yang mengajukan pendapat bahwa ungkapan “fihi nazhar” bermakna
pertengahan, dengan alasan ungkapan al-Hafizh Ibnu Hajar saat membahas Abu Balj
di kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadhli al-Tha’un hlm. 117:
‫وقال البخاري فيه نظر وهذه عبارته فيمن يكون وسطا‬
Menurut sebagian kalangan, penilaian imam al-Bukhari “fihi nazhar” untuk Abu Balj
26 9 Topik Khilafah
bukan jarh yang sifatnya menjatuhkan. Namun bermakna bahwa Imam al-Bukhari
memiliki sedikit keraguan terhadapnya. Bisa jadi Imam al-Bukhari menilai Abu Balj
shaduq, namun ada sedikit keraguan terhadapnya.
Buktinya, Imam al-Bukhari berhujjah dengan keterangan Abu Balj saat membahas
rawi lain. Dalam biografi Muhammad bin Hatib al-Qurasyi di Tarikh al-Kabir (18/1),
Imam al-Bukhari berhujjah dengan ini:
…‫ َح َّدث َ َنا أَبُو بلج ق ََال لنا ُم َح َّمد بْن حاطب ولدت ِف الهجرة األوىل بالحبشة‬.
Hanya saja, saya sedikit keberatan ketika dikatakan bahwa asal dari istilah “fihi
nazhar” itu adalah pertengahan jarh dan ta’dil. Dengan alasan: (1) Itu sangat kasuistik
tergantung rawi yang ditelitinya; (2) makna pertengahan adalah interpretasi al-
Hafizh Ibnu Hajar pada kasus tertentu. Adapun interpretasi ulama lainnya berbeda;
(3) adanya penjelasan langsung dari Imam al-Bukhari tentang “fihi nazhar”.
Berikut ini adalah penjelasan Imam al-Bukhari terhadap istilah“fihi nazhar”:
1. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal (hlm. 544), al-Mizzi menyebutkan:
‫ قــال‬:‫قــال الحافــظ أبــو محمــد عبــد اللــه ابــن أحمــد بــن ســعيد بــن يربــوع اإلشــبييل‬
‫ وإذا قلــت فيــه نظــر‬،‫ كل مــن مل أبــن فيــه جرحــة فهــو عــى االحتــال‬: ‫البخــاري يف التاريــخ‬
‫فــا يحتمــل‬.
Secara jelas Imam al-Bukhari menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (‫)ال يحتمل‬.
2. Imam al-Bukhari menyebutkan dalam biografi Suwaid bin Abdul Aziz bin
Numair al-Sulamiy Abi Muhammad al-Dimasqi2:
‫فيه نظر ال يحتمل‬
Imam al-Bukhari menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (‫ )ال يحتمل‬sebagaimana
yang disebutkan sebelumnya.
3. Al-Khathib al-Baghdadi3 dengan sanad kepada Abu Ja’far Muhammad bin Abi
Hatim, bahwasannya dia berkata: Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) ditanya
tentang informasi suatu hadits, maka al-Bukhari berkata:

‫ وتركــت مثلهــا‬،‫يــا أبــا فــان! تـراين أدلــس وقــد تركــت عــرة آالف حديــث لرجــل فيــه نظــر‬
‫أو أكــر منهــا لغــره يل فيــه نظــر‬.
Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa beliau meninggalkan hadits yang di
dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar”.

2 al-Dhu’afa al-Shaghir, hlm. 57; lihat Tahdzib al-Tahdzib,  242/4


3 Tarikh Baghdad, 25/2; lihat Taghliq al-Ta’liq, 10/2; dan al-Hady, 481

APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS 27
PERNYATAAN AGUS MAFTUH ABEGABRIEL)
Dengan demikian, dugaan awal atau hipotesis dari ungkapan “fihi nazhar” adalah
cela ringan. “fihi nazhar” ini masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari
sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi
nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya
bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya.
Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab
hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.
Istilah yang tercakup dalam bahasan ‫فيه نظر‬  diantaranya adalah:
‫ يف صحتــه‬،‫ فيــه بعــض نظــر‬،‫ منكــر الحديــث فيــه نظــر‬،‫ يف إســناده نظــر‬،‫يف حديثــه نظــر‬
‫ يف حفظــه‬،‫ يف يعــض حديثــه نظــر‬،‫ يف إســناده نظــر فيــا يرويــه‬،‫ إســناده فيــه نظــر‬،‫نظــر‬
‫ الــخ‬،‫…نظــر‬
Para muhaddits (ahli hadits) dan para nuqqad telah meneliti persoalan ini. Mereka
tidak satu suara dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar” atau istilah yang
semisalnya oleh Imam al-Bukhari.
Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari. Ini baru
yang “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi
ba’dhu nazhar, dll”. Untuk contoh, dalam hadits bisyarah nabawiyah “khilafah ‘ala
minhaj al-nubuwah”, yakni rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir.
Dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2606/2), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 66/2)
dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 405/2), Imam al-Bukhari menilainya “fihi
nazhar”.
Imam Ibnu Adi menilai Habib bin Salim munkar dan idhthirab dalam sanad, tetapi
Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Al-Hafizh Ibnu
Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”.4 Imam Muslim menggunakan dalam hadits
cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi meriwayatkannya.
Informasi tambahan yang cukup berharga adalah bahwa meski Habib bin Salim
dinilai “fihi nazhar”, namun Imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim
di ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152,
‫ َعــن أَبِيــه عــن‬، ‫ َح َّدث َنــا أبــو عوانــة عــن إبراهيــم بــن محمــد بــن املنتــر‬، ‫َح َّدث َنــا قتيبــة‬
‫حبيــب بــن ســامل عــن النعــان بــن بشــر أن النبــي صــى اللــه عليــه وســلم كان يقــرأ يف‬
‫َاش ـيَ ِة} ورمبــا‬ َ ‫{س ـبِّ ِح ْاس ـ َم َربِّـ َـك األَ ْعـ َـى} و { َهـ ْـل أَتَـ‬
ِ ‫ـاك َح ِديــثُ الْغ‬ َ ‫العيديــن والجمعــة ب‬
‫اجتمعــا يف يــوم فيقــرأ بهــا‬
‫ هــو حديــث صحيــح وكان ابــن عيينــة يــروي‬: ‫ فقــال‬، ‫َســأل ُْت ُم َحم ـ ًدا عــن هــذا الحديــث‬
‫هــذا الحديــث عــن إبراهيــم بــن محمــد بــن املنتــر فيضطــرب يف روايتــه قــال مــرة حبيــب‬
4 Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 102/3; al-Tsiqat, 138/4; al-Kamil, 405/2; al-Taqrib, 151/1
28 9 Topik Khilafah
‫ َعــن أَبِيــه عــن النعــان بــن بشــر وهــو وهــم والصحيــح حبيــب بــن ســامل عــن‬، ‫بــن ســامل‬
‫النعــان بــن بشــر‬
Indikasi lainnya, meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, tapi imam al-Bukhari
berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin
Basyir5, al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim:
‫ق ََال حبيب بْن سامل يزيد بن أصحاب ُع َمر بْن َع ْبد العزيز‬
Demikian juga kalau memperhatikan penilaian para imam nuqqad mutaqaddimin,
semisal Imam Yahya bin Ma’in, Abu Hatim al-Razi dan Ibnu Adi, ketiganya selalu
berbeda dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar”. Mulai dari kadzdzab,
munkar, syaikh, shalih, la ba’sa bihi, hingga tsiqah. Jadi sekali lagi, jangan tergesa-
gesa.
Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa
Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah
Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 644-621.
Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha
adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua
ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian
ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai hujjah. Bagi para pengkaji, ini (jarh
dan ta’dil) salah satu medan penelitian yang sangat penting. Kita bisa meneliti,
membandingkan dan mengambil suatu kesimpulan.
Dalam menilai rawi Habib bin Salim misalnya, para ulama tidak satu suara. Tetapi
sebagian besar menerimanya. Bahkan para ulama hadits telah menerima hadits
yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim, termasuk hadits bisyarah nabawiyah
sebagaimana disebutkan di atas.
Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu
rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang
bacaan pada shalat ‘Ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir, melalui sanad Yahya
bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah
memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir dari bapaknya
dari Habib bin Muslim Maula al-Nu’man bin Basyir dari al-Nu’man bin Basyir. 
Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang
telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya.  Maka bisa dimengerti
mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan la ba’sa bihi.
Imam al-Tirmidzi (IV/54) mengomentari tentang hadits seorang laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits al-
Nu’man di dalam isnadnya terjadi idhthirab. Beliau juga berkata, “saya mendengar
5 Tarikh al-Kabir, 365/8

APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS 29
PERNYATAAN AGUS MAFTUH ABEGABRIEL)
Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari
Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah”. Dalam
kitab Aun al-Ma’bud disebutkan bahwa al-Tirmidzi berkata, “saya bertanya pada
Muhammad bin Isma’il (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah maka
beliau berkata: saya menahan diri  terhadap hadits ini.” Penjelasan al-Tirmidzi ini
bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari diatas.
Terkait pernyataan Imam Ibnu Adi, dalam kitab al-Kamil fi Dhua’afa al-Rijal, Ibnu Adi
berkata: “…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang diimla’kan untuknya telah
berbeda-beda sanadnya, meski pada matan-matan haditsnya bukan hadits munkar
tapi terjadi idhthirab sanad-sanadnya apa yang diriwayatkan darinya Habib bin
Abi Tsabit…“. Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian
tidak ada alasan yang kuat untuk mendha’ifkan Habib bin Salim Al-Anshari. Adapun
indikasi idhthirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan
al-Tirmidzi di atas.
Adapun rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi ditsiqahkan oleh Abu
Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rawi sisanya adalah para rawi yang tsiqah.
Dengan demikian adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan
datangnya khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin
Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun
ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari dan “idhthirab” dari Ibnu Adi sudah
terjawab dalam penjelasan sebelumnya.
Adalah juga tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah
hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain
yang secara makna sejalan dengan hadits diatas. Misalnya hadits riwayat Muslim,
Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’
harta yang tidak terhitung jumlahnya. Selain itu masih banyak  hadits-hadits yang
lain, misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu
Dawud, Ahmad, al-Thabarani, dan al-Baihaqi).

Penutup
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan
untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits
dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam ahmad tentang akan datangnya khilafah
adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-
Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, Juz 4 No. 18.430 dan dinilai
shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (17/2).
Terlebih lagi, masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna menegaskan hal
yang sama. []

30 9 Topik Khilafah
PENDAPAT OTORITATIF DAN
5 MAYORITAS TENTANG WAJIBNYA
HANYA SATU KHALIFAH

Pendahuluan
Dalam sidang gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kepada Menkumham di
Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) Kamis, 18/3/15 lalu, pihak pemerintah
menghadirkan Ahmad Ngisomudin, M.Ag. alias Ahmad Ishomuddin sebagai ahli. Ada
banyak pernyatan ahli tersebut yang bermasalah. Namun di antara yang mendesak
untuk ditanggapi adalah pernyataannya tentang kewajiban mengangkat hanya satu
orang khalifah hanyalah pendapat Hizbut Tahrir.1 Ungkapan tersebut juga menarik
untuk ditanggapi karena dia dengan tanpa sadar telah menyerang pendapat
madzhabnya sendiri. Padahal kalau mau cermat dan teliti, tentu saja pendapat
Hizbut Tahrir sangat sejalan dengan pendapat madzhabnya, Madzhab Syafi'i.
Padahal kalau kita perhatikan uraian Imam al-Mawardi menunjukkan dengan jelas
bahwa pendapat yang dipegang Hizbut Tahrir adalah pendapat terkuat yang ada
dalam Madzhab Syafi’i, bahkan ia menjadi pendapat jumhur ulama lintas madzhab.

Definisi Khalifah dan Khilafah


Mengawali bagian pertama dari tulisan ini, penulis hendak memberikan gambaran
terkait definisi khalifah, khilafah dan istilah lain yang sinonim. Hal tersebut sebagai
bantahan terhadap anggapan Ahmad Ngisomudin bahwa istilah ”imam” itu berbeda
dengan ”khalifah”.
Al-Khalifah (‫ )الخليفــة‬secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa
bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti
Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.2 Jamak dari kata khalifah adalah khulafa
dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran.
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad
Saw dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”3 demikian juga Imam al-
Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-

1 Dia mengatakan, “Padahal tidak ada seorang pun dari ulama madzhab Sunni dalam kitab-kitab mereka
yang mewajibkan hanya ada satu negara yang sah di dunia yang sangat luas ini yang wajib berada dalam
genggaman kekuasaan satu orang khalifah” (Ahmad Ngisomudin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah
Menuju Khilafah Islamiyyah)
2 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174-168.
3 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.

PENDAPAT OTORITATIF DAN MAYORITAS TENTANG WAJIBNYA HANYA SATU KHALIFAH 31


pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di
muka bumi, yang menggantikan mereka.”4
Adapun makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam
yang teragung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
‫ ىف حراسة الدين وسياسة الدنيا‬,‫ القائم بخالفة النبوة‬,‫الخليفة هو اإلمام األعظام‬
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam
melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”5
Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih
praktis,
‫ ويف تنفيذ أحكام الرشع‬،‫الخليفة هو الذي ينوب عن األمة يف الحكم والسلطان‬
”Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan
dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”6
Para ulama’ mengklasifikasikan kata imam, khalifah, sebagai bentuk sinonim
(taraduf). Imam Imam al-Nawawi menyatakan,
‫ وأمري املؤمنني‬، ‫ واإلمام‬، ‫ الخليفة‬: ‫يجوز أن يقال لإلمام‬
“Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul mukminin.”7
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja
khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan
untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Khilafah dan Imamah adalah sinonim.
Imam al-Mawardi mendefinisikan sebagai,
‫اإلمامة موضوعة لخالفة النبوة يف حراسة الدين وسياسة الدنيا به‬
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta
politik yang sifatnya duniawi.”8
Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,
‫ وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة يف مهامت الدين والدنيا‬،‫اإلمامة رياسة تامة‬
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan
agama maupun dunia.”9

4 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, juz ke19-, hlm. 485.
5 Al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al
Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
6 Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
7 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
8 Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
9 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15.
32 9 Topik Khilafah
Definisi yang jami’ dan mani’ (menyeluruh dan mengeluarkan yang tidak perlu)
adalah,
،‫الخالفــة هــي رئاســة عامــة للمســلمني جميع ـاً يف الدنيــا إلقامــة أحــكام الــرع اإلســامي‬
‫وحمــل الدعــوة اإلســامية إىل العــامل‬
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah
Islam ke seluruh penjuru dunia.”10
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah
memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil
syariah.

Landasan Normatif Kesatuan Khalifah dan Khilafah


Dalam sistem politik Islam, khalifah harus satu untuk seluruh kaum muslim.
Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat shahih.
Imam Muslim menuturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,
‫َو َم ـ ْن بَايَ ـ َع إِ َما ًمــا فَأَ ْعطَــا ُه َص ْف َق ـ َة يَـ ِـد ِه َوثَ َ ـ َر َة قَلْ ِب ـ ِه فَلْ ُي ِط ْع ـ ُه إِ ْن ْاس ـتَطَا َع فَ ـ ِإ ْن َجــا َء آ َخ ـ ُر‬
‫َاضبُــوا ُع ُنـ َـق‬ِ ْ ‫يُ َنا ِز ُع ـ ُه ف‬
“Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran
tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menta›atinya jika ia mampu. Apabila ada
orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, dari Sa›id al-Khudri, bahwasanya Rasulullah
Saw bersabda,
‫إِذَا بُو ِي َع لِ َخلِي َفتَ ْ ِي فَاقْتُلُوا ْال َخ َر ِم ْن ُه َم‬
“Jika dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR.
Muslim)
Dalam riwayat lain dari ‹Urfajah, dituturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Siapa
saja yang hendak merebut kekuasaan kalian, atau hendak memecah belah jama›ah
kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang laki-laki (khalifah), maka
bunuhlah dia." (HR. Muslim)
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan,
َ ‫ـي َصـ َّـى اللَّـ ُه َعلَ ْيـ ِه َو َسـلَّ َم قَـ‬
‫ـال‬ ِّ ‫ـس ِسـ ِن َني ف ََسـ ِم ْعتُ ُه يُ َحـ ِّدثُ َعـ ْن ال َّن ِبـ‬ َ ‫قَا َعـدْتُ أَبَــا ُه َريْـ َر َة َخ ْمـ‬
‫ـي بَ ْعـ ِـدي‬َّ ‫ـي َوإِنَّ ـ ُه لَ نَ ِبـ‬
ٌّ ‫ـي َخلَ َف ـ ُه نَ ِبـ‬ ٌّ ‫وس ـ ُه ْم ْالَنْ ِب َيــا ُء كُلَّـ َـا َهلَـ َـك نَ ِبـ‬
ُ ‫سائِيـ َـل ت َُس‬ َ ْ ِ‫ـت بَ ُنــو إ‬
ْ ‫كَانَـ‬
10 Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 230-225.

PENDAPAT OTORITATIF DAN MAYORITAS TENTANG WAJIBNYA HANYA SATU KHALIFAH 33


‫ـالَ َّو ِل َوأَ ْعطُو ُه ـ ْم َح َّق ُه ـ ْم‬ َ ‫ـر قَالُــوا فَـ َـا تَأْ ُم ُرنَــا قَـ‬
ْ ‫ـال فُــوا ِب َب ْي َع ـ ِة الْ َ َّو ِل فَـ‬ ُ ُ ‫َو َس ـتَكُو ُن ُخلَ َفــا ُء ت َ ْكـ‬
ْ َ ‫فَـ ِإ َّن اللَّـ َه َســائِلُ ُه ْم َعـ َّـا ْاسـ‬
‫ـر َعا ُه ْم‬
“Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun. Aku pernah mendegarnya
menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. yang bersabda: "Dahulu, Bani Israil selalu
dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan
oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan
ada banyak khalifah." Para shahabat bertanya, "Apakah yang engkau perintahkan
kepada kami?" Beliau menjawab, "Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama
itu saja." Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut
pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada
mereka.” (HR. Muslim)

Pendapat Imam al-Mawardi tentang Kesatuan Khalifah


dan Khilafah
Beliau adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Dia adalah
seorang ulama besar dari Madzhab Syafi’i. Banyak karya besar yang lahir darinya.
Ada kitab aqidah, fiqh, tafsir, dan sastra. Di antara kitabnya yang monumental adalah
al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Sebuah kitab yang membahas seputar hukum-hukum
pemerintahan. Sebagaimana kitab-kitabnya yang lain, kitab ini pun mendapatkan
kedudukan yang tinggi di hadapan para ulama.
Imam al-Mawardi di dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyah, beliau mengatakan,
‫وإذا عقــدت اإلمامــة إلمامــن يف بلديــن مل تنعقــد إمامتهــا ألنــه ال يجــوز أن يكــون لألمــة‬
‫إمامــان يف وقــت واحــد وإن شــذ قــوم فجــوزوه‬
“Apabila akad Imamah ditetapkan untuk dua imam di dua negeri, maka keimamahan
keduanya tidak sah. Karena, tidak boleh ada dua imam bagi ummat pada satu waktu,
meskipun ada segolongan orang nyeleneh yang membolehkannya.”11
Masih dalah kitab yang sama, beliau menyatakan bahwa imam dan khalifah adalah
sinonim,
‫ فَ َي ُجــو ُز أَ ْن‬،‫ ِف أُ َّم ِت ـ ِه‬-‫صـ َّـى اللَّ ـ ُه َعلَ ْي ـ ِه َو َس ـلَّ َم‬- َ ‫َويُ َس ـ َّمى َخلِي َف ـ ًة ِلَنَّ ـ ُه َخلَـ َـف َر ُسـ‬
َ ‫ـول اللَّ ـ ِه‬
‫ الْ َخلِي َف ـ ُة‬:‫ـال‬ ِ ْ ‫ َو َعـ َـى‬،‫ يَــا َخلِي َف ـ َة َر ُســو ِل اللَّ ـ ِه‬:‫ـال‬
ُ ‫الطْـ َـاقِ فَ ُي َقـ‬ َ ‫يُ َقـ‬.
“(Imam) juga dinamai khalifah karena menggantikan Rasulullah Saw dalam umatnya.
Boleh juga disebut khalifah Rasulillah. Namun secara umum disebut khalifah saja.”12
Kemudian, makna pernyataan al-Mawardi itu bisa kita dapatkan lebih gamblang
dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din. Beliau menyatakan,
11 Ali bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam, hlm. 29.
12 Ali bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam, hlm. 39
34 9 Topik Khilafah
‫ فأمــا يف بلــدان‬.‫ وبلــد واحــد فــا يجــوز إجامعــا‬،‫فأمــا إقامــة إمامــن أو ثالثــة يف عــر واحــد‬
‫شــتى وأمصــار متباعــدة فقــد ذهبــت طائفــة شــاذة إىل جــواز ذلــك‬
“Adapun mengangkat dua imam atau tiga, pada satu masa, dan pada satu negeri,
maka tidak boleh menurut ijma›. Adapun (mengangkat dua imam atau lebih) di
berbagai negeri yang berbeda dan saling berjauhan maka ada pendapat segolongan
orang syadz (menyelisihi pendapat yang lebih kuat) yang membolehkan hal itu.”13
Setelah mengutip beberapa pendapat tentang masalah tersebut, Imam al-Mawardi
menegaskan,
ِ ْ ‫ــك َو َمــا َعلَيْــ ِه الْ ُف َق َهــا ُء الْ ُم َح ِّققُــو َن أَ َّن‬
،‫ال َما َمــ َة ِلَ ْســبَ ِقه َِم بَيْ َعــ ًة َو َعقْــ ًدا‬ َ ِ‫يــح ِف َذل‬ ُ ‫الص ِح‬ َّ ‫َو‬
َ
َّ ‫ فَـ ِإذَا ت َ َع َّ َي‬.‫َاح ِل ْسـ َب ِقه َِم َع ْقـ ًدا‬
‫الســاب ُِق‬ ُ ‫ـن كَا َن ال ِّنـك‬ َ
ِ ْ ‫ـن ِف نِـكَا ِح الْ َمـ ْرأ ِة إذَا َز َّو َجا َهــا بِاث ْ َنـ‬ ِ ْ ‫كَالْ َولِ َّيـ‬
ُ ‫ َو َعـ َـى الْ َم ْس ـ ُبوقِ ت َْس ـلِي ُم الْ َ ْم ـ ِر إلَ ْي ـ ِه َوال ُّد ُخـ‬،ُ‫ال َما َم ـة‬
‫ـول ِف بَ ْي َع ِت ـ ِه‬ ِ ْ ‫ِم ْن ُهـ َـا ْاس ـتَ َق َّرتْ لَ ـ ُه‬
“Dan pendapat yang benar dan ini merupakan pendapat para fuqaha, bahwa
kepemimpinan itu diberikan kepada orang yang lebih dahulu baiat dan akadnya. Hal
itu seperti dua orang wali dalam pernikahan seorang wanita. Apabila dia dinikahkan
dengan dua orang pria, maka pernikahan yang sah adalah yang lebih dahulu akadnya.
Sehingga jika telah diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu diangkat menjadi
imam, maka kepemimpinan itu tetap menjadi miliknya; dan orang yang didahului
harus menyerahkan urusan kepemimpinan itu kepadanya dan berbaiat kepadanya.”
Penyamaan akad imamah dengan akad nikah yang disampaikan al-Mawardi
menunjukkan dengan jelas bahwa tidak boleh ada dua orang khalifah dalam satu
waktu. Seandainya ada, maka sebagaimana pernikahan seorang wanita, yang sah
adalah pernikahan pada akad yang pertama. Sedangkan akad yang kedua adalah
tidak sah.

Pendapat Ulama Lainnya tentang Kesatuan Khalifah dan


Khilafah
Banyak ulama yang berpendapat serupa. Para ulama menyatakan bahwa tidak
boleh mengangkat lebih dari seorang khalifah atau imam. Imam Ibnu Katsir, ketika
menerangkan QS. al-Baqarah [2] ayat 30, beliau menegaskan,
‫فأمــا نصــب إمامــن يف األرض أو أكــر فــا يجــوز لقولــه عليــه الصــاة والســام «مــن جاءكــم‬
‫ وقــد‬،‫وأمركــم جميــع يريــد أن يفــرق بينكــم فاقتلــوه كائنـاً مــن كان» وهــذا قــول الجمهــور‬
‫حــى اإلجــاع عــى ذلــك غــر واحــد منهــم إمــام الحرمــن‬،.
“Adapun mengangkat dua orang imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak
boleh, berdasarkan Sabda Nabi Saw: “Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan

13 Ali bin Muhammad Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, hlm 136.

PENDAPAT OTORITATIF DAN MAYORITAS TENTANG WAJIBNYA HANYA SATU KHALIFAH 35


urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecah belah kalian maka
bunuhlah siapapun dia.” Ini merupakan pendapat jumhur dan tidak hanya satu orang
yang meriwayatkan bahwa itu merupakan ijma’ (konsensus), di antaranya adalah
Imam al-Haramain”.”14
Syaikh Abdurrahman al-Jazairi juga menyatakan,
‫ أن اإلمامــة فــرض وأنــه ال بــد للمســليمن مــن إمــام‬: ‫اتفــق األمئــة رحمهــم اللــه تعــاىل عــى‬
‫يقيــم شــعائر الديــن وينصــف املظلومــن مــن الظاملــن وعــى أنــه ال يجــوز أن يكــون عــى‬
‫املســلمني يف وقــت واحــد يف جميــع الدنيــا إمامــان ال متفقــان وال مفرتقــان‬
“Para imam (madzhab) rahimahullah sepakat bahwa al-imamah (kepemimpinan) itu
fardhu; dan kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menegakkan syiar-
syiar agama dan membela orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan
bahwa tidak boleh ada dua orang imam atas kaum muslim pada waktu yang sama di
seluruh dunia, baik keduanya bersepakat atau bertentangan.”15
Imam al-Nawawi rahimahullah ketika menerangkan Hadits Nabi Saw riwayat Imam
Muslim tentang memenuhi baiat yang pertama saja dengan memberikan penjelasan,
‫ إِذَا بُو ِيـ َع لِ َخلِي َفـ ٍة بَ ْعــد َخلِي َفــة فَ َب ْي َعــة ْالَ َّول َص ِحي َحــة يَ ِجــب الْ َوفَــاء‬: ‫و َم ْع َنــى َهـذَا الْ َح ِديــث‬
ِ ‫ َو َس ـ َواء َع َق ـ ُدوا لِلثَّـ‬، ‫ َويَ ْح ـ ُرم َعلَ ْي ـ ِه طَلَب َهــا‬، ‫ـان بَ ِاطلَــة يَ ْح ـ ُرم الْ َوفَــاء ِب َهــا‬
‫ـان‬ ِ ‫ َوبَ ْي َعــة الثَّـ‬، ‫ِب َهــا‬
ِ ْ ‫ أَ ْو أَ َحدهـ َـا ِف بَلَــد‬، ‫ َو َسـ َواء كَانَــا ِف بَلَ َديْــنِ أَ ْو بَلَــد‬، ‫َعالِ ِمـ َن ِب َع ْقـ ِـد الْ َ َّول أَ ْو َجا ِهلِـ َن‬
‫ال َمــام‬
‫الصـ َواب الَّـ ِـذي َعلَيْـ ِه أَ ْص َحاب َنــا َو َج َم ِهــر الْ ُعلَـ َـاء‬ َّ ‫ َهـذَا ُهـ َو‬، ‫الْ ُم ْنف َِصــل َو ْال َخــر ِف َغـ ْـره‬
“Makna hadits ini adalah apabila seorang khalifah dibaiat setelah setelah ada khalifah,
maka baiat yang pertamalah yang benar dan wajib dipenuhi. Sedangkan baiat yang
kedua adalah batil dan haram dipenuhi. Haram pula baginya (orang yang dibaiat
yang kedua itu) menuntut baiat, sama saja apakah orang yang membaiat orang
kedua itu mengetahui atau tidak. Sama juga apakah kedua orang (yang dibaiat) itu
berada dalam dua negeri atau satu negeri; salah satunya berada di negeri imam yang
terpisah atau di tempat lainnya. Inilah pendapat yang benar menurut madzhab kami
dan kebanyakan para ulama.”16
Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya,
‫احــد َس ـ َواء اِت ََّس ـ َع ْت َدار‬
ِ ‫ـر َو‬ ِ ْ ‫َوات َّ َفـ َـق الْ ُعلَـ َـاء َعـ َـى أَنَّ ـ ُه لَ يَ ُجــوز أَ ْن يُ ْع َقــد لِ َخلِي َفتَـ‬
ْ ‫ـن ِف َعـ‬
َ‫ال ْسـ َـام أَ ْم ل‬ ِْ
“Dan para ulama sepakat bahwa tidak boleh diangkat dua orang khalifah dalam masa
yang sama, baik dar Islam luas maupun tidak.” 17
14 Abul Fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim, juz I, hlm. 94.
15 Al-Jaziri, al-Fiqh al Madzahib al-Arba’ah, vol.5, hlm. 97.
16 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh Muslim ‘ala al-Nawawi, vol. 6, hlm. 291.
17 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh, juz VI, hlm. 291.
36 9 Topik Khilafah
Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah
dan tidak boleh lebih dari satu orang merupakan pendapat para ulama yang otoritatif
(mu’tabar). Sehingga, ungkapan ahli pemerintah dengan mengatakan, “tidak ada satu
pun”, jelas merupakan pengingkaran terhadap suatu fakta. Ketika faktanya justru
menunjukkan sebaliknya, bisa dianggap berdusta. Masalahnya menjadi semakin
berat ketika itu disampaikan di depan hakim dalam sebuah pengadilan di bawah
sumpah.

Asing dengan Ajaran Sendiri


Sebagian kalangan asing dengan ajarannya sendiri, padahal ajaran Islam itu
mencakup semua hal. Allah Swt berfirman,

َ ْ ُ‫ش ٍء َو ُه ًدى َو َر ْح َم ًة َوب‬


‫شى لِلْ ُم ْسلِ ِم َني‬ ْ َ ‫اب تِبْيَانًا لِك ُِّل‬
َ َ‫َونَ َّزلْ َنا َعلَيْ َك الْ ِكت‬
“Dan kami telah menurunkan kepadamu al-Quran sebagai penjelas atas semua
perkara, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi kaum muslim” (QS. Al-Nahl: 89)
Abdullah Ibn Mas'ud ra. menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir
dalam tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan
semuahal".18
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua
hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang
pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran
Islam ini. Nabi Saw bersabda,
،‫ـاس بِالَّ ِتــي تَلِي َهــا‬ ِ ْ ‫لتُ ْنقَضَ ـ َّن ُع ـ َرى‬
ْ ‫ فَ ُكلَّـ َـا انْتَقَضَ ـ‬،ً‫ ُع ـ ْر َو ًة ُع ـ ْر َوة‬،‫ال ْسـ َـا ِم‬
ُ ‫ تَشَ ـ َّبثَ ال َّنـ‬،ٌ‫ـت ُع ـ ْر َوة‬
‫الصـ َـا ُة‬
َّ ‫آخ ُر ُهـ َّن‬ ِ ‫ َو‬،‫َوأَ َّولُ ُهـ ّن نَقْضً ــا الْ ُح ْكـ ُم‬
“Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul
terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang
pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.”
(HR. Ahmad).
Lafazh (ً‫ ) ُعــ ْر َو ًة ُعــ ْر َوة‬menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan
kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.19
Adapun maksud kalimat (‫ ) َوأَ َّولُ ُهــ ّن نَقْضً ــا الْ ُحكْــ ُم‬adalah ajaran pertama di dalam Islam yang
mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu
pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani
dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.20

18 Abul Fida' Ismail Ibn Katsir, juz IV, hlm. 594.


19 Al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
20 Al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.

PENDAPAT OTORITATIF DAN MAYORITAS TENTANG WAJIBNYA HANYA SATU KHALIFAH 37


Belum lagi hal itu karena kelemahan internal umat Islam. Kelemahan tersebut
disebabkan karena mereka terlampau cinta akan kehidupan dunia. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Nabi Saw terkait penyakit wahn (cinta dunia dan takut
mati).
Bagaimana tidak, kitab kecil seperti Ghayah wa al-Taqrib (Matan Abi Syuja) saja
isinya mulai bab thaharah, shalat, hingga membahas bab jihad, ghanimah, jizyah,
dan qadha (peradilan). Buku Fikih Islam karya H. Sulaiman Rasyid saja membahas
mulai dari thaharah hingga khilafah. Demikian juga ketika mengkaji hadits, dalam
Shahih Bukhari ada Kitab al-Ahkam (Bab Pemerintahan) dan dalam Shahih Muslim
ada Kitab al-Imarah (Bab Kepemimpinan), dalam Sunan Abi Dawud ada Kitab al-
Aqdhiyyah (Bab peradilan), dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah ada Kitab
al-Ahkam (Bab Pemerintahan), serta dalam Sunan Nasa’i ada kitab al-Bai’ah (Baiat
kepada Imam). Jika bab-bab tersebut masih dirasa asing, jangan-jangan umat ini
tidak pernah tuntas dalam belajar ajarannya sendiri.

Penutup
Dengan demikian, jika Ahmad Ngisomudin jujur dengan keilmuannya, sebagai
seorang ahli, harusnya jangan menyembunyikan ilmunya. Kecualinya memang
memiliki motif-motif lainnya. Tentu para ahli ilmu tahu wajibnya menjelaskan pada
masyarakat bahwa adanya Imam atau khalifah untuk menerapkan hukum Allah,
menolong sunnahnya, membela yang dizhalimi serta menempatkan hak-hak pada
tempatnya adalah fardhu kifayah. Ini amanah ilmu. Rasulullah Saw menegaskan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah, sanksi yang akan diberikan
di hari kiamat kelak bagi yang mereka yang kitman (menyembunyikan) terhadap
Ilmu dengan sabda beliau,
‫َما ِم ْن َر ُجلٍ يَ ْح َف ُظ ِعل ًْم فَ َي ْكتُ ُم ُه إِلَّ أُ ِ َت ِب ِه يَ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة ُملْ َج ًم ِبلِ َج ٍام ِم ْن ال َّنا ِر‬
“Tidaklah seorang yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya kecuali dia
akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang dengan (kekang)
dari api neraka.” (HR. Ibnu Majah). Wallahu a’lam. []

38 9 Topik Khilafah
KRIMINALISASI KHILAFAH,
6 PENISTAAN TERHADAP AJARAN
ISLAM

Pendahuluan
Perbincangan gagasan khilafah kembali mengemuka pasca-peluncuran film “Jejak
Khilafah di Nusantara” awal Muharram 1442 H lalu. Kemudian ada sekelompok
orang dari ormas tertentu mempersekusi seorang tokoh sembari menyebut “khilafah
sebagai ajaran terlarang”. Demikian juga dengan laporan terhadap salah seorang
tokoh nasional yang disangka melakukan penyebaran ajaran khilafah yang terlarang.
Padahal, khilafah tidak pernah dinyatakan sebagai paham terlarang baik dalam surat
keputusan tata usaha negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan
atau produk hukum lainnya sebagaimana paham komunisme, marxisme/leninisme
dan atheisme, yang merupakan ajaran PKI melalui TAP MPRS NO. XXV/1966. Artinya,
sebagai ajaran Islam, khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan di tengah-
tengah umat. Mendakwahkan khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan
keyakinan agama Islam yang dijamin konstitusi di negeri ini. Lebih dari itu, khilafah
adalah ajaran Islam yang agung dan warisan Rasulullah. Mengkriminalisasi khilafah
sama dengan penistaan terhadap ajaran Islam.

Kriminalisasi Khilafah Adalah Penistaan


Bukti bahwa khilafah adalah ajaran Islam yang mulai dapat kita jumpai dalam
banyak kitab para ulama. Pertama, khilafah adalah kewajiban paling penting. Imam
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya menyebutkan,
‫اعلــم أيضــا أن الصحابــة رضــوان اللــه تعــاىل عليهــم أجمعــن أجمعــوا عــى أن نصــب اإلمــام‬
‫بعــد انقـراض زمــن النبــوة واجــب بــل جعلــوه أهــم الواجبــات‬
“Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para sahabat ra. telah berijmak (konsensus)
bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban,
bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting.”1
Kedua, khilafah adalah metode dalam menegakkan hudud (hukum-hukum) Allah.
Ulama nusantara syaikh Abu al-Fadhal al-Sinori menyatakan,

1 Lihat Ibnu Hajar al-Haitami, al-Shawaiq al Muhriqah, juz 1, hlm. 25.

KRIMINALISASI KHILAFAH, PENISTAAN TERHADAP AJARAN ISLAM 39


‫ وإقامــة‬،‫وإمنــا يجــب عــى املســلمني نصــب اإلمــام ليقــوم مبصالحهــم كتنفيــذ أحكامهــم‬
‫ وقهــر املتغلبــة‬،‫ وأخــذ صدقاتهــم إن دفعوهــا‬،‫ وتجهيــز جيوشــهم‬،‫ وســد ثغورهــم‬،‫حدودهــم‬
،‫ وقســم الغنائــم وغــر ذلــك‬،‫ وقطــع املنازعــات بــن الخصــوم‬،‫واملتلصصــة وقطــاع الطريــق‬
‫إذ ال يتــم جميــع ذلــك إال بإمــام يرجعــون إليــه يف أمورهــم‬.
"Wajibnya kaum muslim mengangkat seorang imam/khalifah tidak lain adalah agar
ia mengurusi berbagai kemaslahatan mereka. Seperti menjalankan hukum-hukum
Islam, menegakkan hudud, menjaga perbatasan wilayah kekuasaan serta menyiapkan
pasukan umat Islam, menarik zakat mereka jika mereka menolak membayarkannya,
memaksa tunduk kaum pembangkang, perampas hak, dan pembegal, melerai
persengketaan mereka-mereka yang bersengketa, membagi-bagikan ghanimah (harta
rampasan perang), dan lain-lain. Karena kesemuanya itu tidak akan bisa sempurna
terlaksana kecuali dengan keberadaan seorang imam/khalifah yang menjadi tempat
kembalinya segala urusan mereka.”2
Ketiga, khilafah adalah syiar paling agung. Ulama kontemporer syaikh Prof. Dr.
Mushthafa Dib al-Bugha, dkk dalam al-Fiqh al-Manhajiy 'ala Madzhab al-Imam al-
Syafi'i menyampaikan bahwa mengangkat khalifah adalah syiar paling agung dari
syiar-syiar Islam,
‫ ولتحقيــق املهــام التــي تحدثنــا عنهــا واجــب‬،‫تنصيــب اإلمــام بهــذا الشــكل الــذي رأيــت‬
‫ فــإن مل ينهضــوا بــه تحقيقــا ألمــر اللــه عــز وجــل‬،‫متعلــق بأعنــاق املســلمني حيثــا كانــوا‬
‫ إذ هــو ـ باإلضافــة إيل الــرورات الدينيــة واالجتامعيــة والسياســية‬،‫بــاؤوا جميعــا بإثــم كبــر‬
‫املختلفــة ـ شــعرية كــري مــن شــعائر اإلســام التــي يجــب أن تكــون بــارزة حيــة يف بــاد‬
‫املســلمني‬.
"Mengangkat seorang Imam (sebutan bagi khalifah) dengan format yang telah anda
lihat di atas, dan demi merealisasikan kepentingan-kepentingan yang telah kami
bicarakan sebelumnya, hukumnya adalah wajib, melekat di leher kaum muslim di
manapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit untuk itu, demi merealisasikan
perintah Allah ‹azza wa jalla, maka mereka semuanya akan tertimpa dosa besar.
Karena ia -selain terkait berbagai urusan agama, sosial, dan politik yang bersifat
darurat- merupakan sebuah syiar yang paling agung di antara syiar-syiar agama
Islam yang harus tampak dan hidup di negeri-negeri kaum muslim."3
Keempat, khilafah adalah mahkota kewajiban. Para ulama menyebut kewajiban
mengangkat imam (khalifah) dan menegakkan khilafah adalah sebagai mahkota
kewajiban (tajj al-furudh). Misalnya syaikh Dr. Muhammad al-Zuhaili, dalam
kitabnya al-Wasith menyatakan, “Daulah Islam adalah al-taj (mahkota) yang berada

2 Lihat Abu al-Fadhal al-Sinori, al-Durr al-Farid, hlm. 476.


3 Lihat Mushthafa Dib al-Bugha, dkk, al-Fiqh al-Manhajiy 'ala Madzhab al-Imam al-Syafi'i, jilid 3, hlm. 451.
40 9 Topik Khilafah
di atas semua hukum syara›. Tak ada majal (tempat) untuk menerapkan Islam yang
sempurna kecuali dengan menegakkan daulah Islam.”4
Berdasarkan penjelasannya di atas, maka tidak diragukan lagi upaya untuk
mengkriminalisasi khilafah adalah bentuk penistaan pada ajaran Islam, bahkan ia
adalah diantara ajaran Islam yang paling agung. Khilafah merupakan bagian tak
terpisahkan dari ajaran Islam. Kewajiban dan urgensitasnya ditetapkan berdasarkan
dalil-dalil yang pasti, di antaranya adalah ijmak dari para sahabat. Melecehkan dan
mempersekusi ajaran khilafah, sama artinya mempersekusi dan melecehkan Allah
Swt dan Rasul-Nya, yang telah menetapkan dan mengajarkan khilafah.
Pelecehan atau al-istihza’ terhadap ajaran Islam sudah sering muncul dan berulang
bahkan beragam bentuk dan ekspresinya. Pelecehan atau penistaan terhadap Allah
Swt, Rasul Saw., syiar-Nya dan ajaran Islam bisa menyebabkan pelakunya murtad.
Imam al-Nawawi di dalam Kitab al-Minhaj menyatakan salah satu ciri riddah adalah
melakukan penghinaan terhadap agama secara nyata,
ٍ ‫ــل الْ ُم َكفِّــ ُر َمــا ت َ َع َّمــ َد ُه ْاســ ِت ْه َزا ًء َصِي ًحــا بِالدِّيــنِ أَ ْو ُج ُحــو ًدا لَــ ُه كَ ِإلْقَــا ِء ُم ْص َح‬
‫ــف‬ ُ ‫َوالْ ِف ْع‬
‫ ِبقَــاذُو َر ٍة َو ُســ ُجو ٍد لِ َص َنــمٍ أَ ْو شَ ــ ْم ٍس‬.
“Perbuatan yang mengkafirkan (pelakunya), yang perbuatan itu disengaja (untuk
melakukan) penghinaan terhadap agama secara terang-terangan, atau pengingkaran
agama, seperti melempar mushhaf ke dalam kotoran, sujud kepada patung atau
matahari.”5
Imam al-Ghazali juga mengatakan hal yang sama,
‫وأمــا نفــس الــردة فهــو نطــق بكلمــة الكفــر اســتهزاء أو اعتقــادا أو عنــادا ومــن األفعــال‬
‫عبــادة الصنــم والســجود للشــمس وكذلــك إلقــاء املصحــف يف القــاذورات وكل فعــل هــو‬
‫رصيــح يف اإلســتهزاء بالديــن‬
“Adapun jati diri riddah adalah mengatakan kalimat kekafiran, baik untuk (tujuan)
pengolok-olokan, i’tiqad (keyakinan), atau penentangan; dan di antara (riddah karena)
perbuatan-perbuatan adalah menyembah berhala dan sujud kepada matahari. Begitu
pula, melempar mushhaf ke dalam kotoran-kotoran, atau setiap perbuatan yang
dengan sharih menunjukkan penghinaan terhadap agama”.6

Hukum Islam bagi Penista Agama


Semua bentuk penistaan terhadap Islam merupakan dosa besar. Jika pelakunya
muslim, hal itu bisa mengeluarkan dirinya dari Islam dan menyebabkan dia kembali
kafir atau murtad, terutama jika disertai i’tiqad. Adapun jika tidak disertai i’tiqad
4 Lihat Muhammad al-Zuhaili, al-Wasith fi al-Fiqh asl-Syafi’i, juz 2, hlm. 693.
5 Lihat Abu Zakariya al-Nawawi, al-Minhaj, Juz 1, hlm. 427.
6 Lihat Abdul Hamid al-Ghazali, al-Wasith, Juz 6, hlm. 425.

KRIMINALISASI KHILAFAH, PENISTAAN TERHADAP AJARAN ISLAM 41


maka pelakunya minimal telah melakukan perbuatan fasik dan dosa besar. Allah Swt
berfirman,
‫َوإِن نَّ َكثُــوا أَ ْ َيانَ ُهــم ِّمــن بَ ْعـ ِـد َع ْه ِد ِهـ ْم َوطَ َع ُنــوا ِف ِدي ِن ُكـ ْم فَقَاتِلُــوا أَ ِئَّـ َة الْ ُك ْفـ ِر إِنَّ ُهـ ْم َل أَ ْ َيــا َن‬
‫لَ ُهـ ْم لَ َعلَّ ُهـ ْم يَنتَ ُهــو َن‬
“Mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji. Mereka pun mencerca
agamamu. Karena itu perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sungguh mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar
supaya mereka berhenti" (QS. al-Taubah [12 :]9).
Dalam ayat lain disebutkan,
‫ـب قُـ ْـل أَبِاللـ ِه َو َءايَاتِـ ِه َو َر ُســولِ ِه كُنتُ ْم ت َْسـتَ ْه ِز ُءو َن‬ ُ ‫َولَـ ِـن َسـأَلْتَ ُه ْم لَيَقُولُـ َّن إِنَّ َــا كُ ّنــا نَ ُخـ‬
ُ ‫ـوض َونَلْ َعـ‬
‫} الَت َ ْعتَـ ِـذ ُروا قَـ ْد كَ َف ْرتُــم بَ ْعـ َد إِميَانِ ُكـ ْم إِن نَّ ْعـ ُـف َعــن طَائِ َفـ ٍة ِّمن ُكـ ْم نُ َعـذ ِّْب طَائِ َفـ ًة ِبأَنَّ ُهـ ْم‬65{
٦6{ ‫كَانُــوا ُم ْج ِر ِم َني‬
“Jika kamu bertanya kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah
mereka akan menjawab, "Sungguh kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu
berolok-olok?" Tidak usah kalian minta maaf karena kalian kafir sesudah beriman.
Jika Kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami
akan mengazab golongan (yang lain) karena mereka adalah orang-orang yang selalu
berbuat dosa.” (QS at-Taubah [66-65 :]9).
Beberapa pesan penting dari ayat al-Qur’an tersebut adalah: Pertama, kita harus
memuliakan dan mengagungkan Allah Swt. Barang siapa menghina Allah Swt maka
dia kafir, seperti ucapan Yahudi yang mengatakan Allah fakir dan pelit, atau seperti
ucapan Nashrani yang mengatakan bahwa Allah adalah Isa ibn Maryam. Semua ini
adalah celaan kepada Allah ta’ala dan termasuk kekufuran.
Kedua, menghina Nabi Muhammad Saw atau sunnahnya adalah kekufuran pula
karena Allah Saw memerintah kita semua untuk memuliakan dan mengagungkan
Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, kita harus mengagungkan al-Qur’an dan memuliakannya karena al-Qur’an
adalah firman Allah Swt dan sifat-Nya yang mulia.
Keempat, kita harus memuliakan agama Islam dan tidak mencelanya. Tidak boleh
menghinanya dan melecehkannya.
Kelima, orang yang tidak mengingkari penghinaan kepada Allah, rasul-Nya, dan kitab-
Nya maka dihukumi sama dengan penghina (dianggap setuju dengan penghinaan
tersebut), karena dalam kejadian ini penghina Nabi Muhammad Saw hanyalah satu

42 9 Topik Khilafah
orang saja, tetapi Allah Swt menghukumi sama terhadap semua munafik yang ada
karena mereka semua mengetahuinya tetapi tidak mengingkarinya.
Selain bagian dari ajaran islam yang mulia, khilafah juga adalah warisan penting
dari Rasulullah Saw. Mengkriminalisasi dan melecehkan khilafah sama artinya
melecehkan dan menista warisan Rasulullah yang agung. Menista warisan Rasulullah
sama artinya dengan menista Rasulullah. Hukum bagi orang yang menista atau
menghina Nabi Saw adalah dengan membunuhnya. Hal tersebut dijelaskan secara
panjang lebar oleh al-›Allamah al-Qadhi Iyadh dalam Kitab al-Syifa bi-Ta›rif Huquq
al-Mushthafa Saw.7
Beliau -al-Qadhi ‘Iyadh- menegaskan,
"Ketahuilah -semoga kita diberi hidayah taufiq- bahwa siapapun yang menistakan
Nabi Saw, menghina beliau, atau menganggap beliau tidak sempurna pada diri,
nasab, dan agama beliau, atau di antara akhlak beliau, atau menandingi beliau, atau
menyerupakan beliau dengan sesuatu untuk menistakan beliau, atau meremehkan
beliau, atau merendahkan kedudukan beliau, atau menjatuhkan beliau, atau
menghinakan beliau, maka ia termasuk orang yang menistakan beliau. Hukum yang
berlaku atasnya adalah hukum pelaku penistaan, yaitu dihukum mati sebagaimana
yang akan kami jelaskan ini."8
Jangankan menuduh ajaran Rasulullah kriminal, berbahaya dan memecah-belah,
mengatakan selendang Nabi lusuh saja tidak boleh. Al-'Allamah al-Qadhi Iyadh
masih dalam Kitab al-Syifa mengutip Riwayat,
- ‫ ز َّر النبــي ﷺ‬:‫ ويــروى‬- ‫ مــن قــال إن رداء النبــي ﷺ‬: ‫وروى ابــن وهــب عــن مالــك‬
‫وســخ ؛ أراد بــه عيبــه قُ ِتــل‬.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik berkata: “Barangsiapa berkata bahwa
selendang Nabi kotor, dengan bermaksud menghina, maka dia dibunuh”9
Hanya saja, semua bentuk hukuman di dunia yang disebutkan oleh para
ulama seperti dalam kitab al-Syifa tersebut efektif ditegakkan oleh negara yang
menerapkan Islam (daulah Islam/khilafah). Saat tidak ada khilafah, penistaan demi
penistaan terus datang silih berganti dalam beragam bentuknya. Ini adalah musibah
yang menimpa umat Muhammad Saw dewasa ini.

Penutup
Kriminalisasi terhadap ajaran khilafah Islam adalah bentuk penistaan terhadap
ajaran Islam dan warisan mulia Rasulullah Saw. Penistaan pada ajaran Islam

7 Lihat al-Qadhi Iyadh, al-Syifa bi-Ta'rif Huquq al-Mushthafa Saw, hlm. 884-760.
8 Lihat al-Qadhi 'Iyadh, al-Syifa, hlm. 765.
9 Lihat al-Qadhi ‹Iyadh, al-Syifa, hlm. 768.

KRIMINALISASI KHILAFAH, PENISTAAN TERHADAP AJARAN ISLAM 43


dan warisan Rasulullah adalah dosa besar. Jika disertai keyakinan, maka akan
mengakibatkan batalnya keimanan seseorang. Hukuman bagi penista agama dalam
Islam sangat keras, yakni halal darahnya. Negara Islam wajib menegakkan hukuman
atasnya. Selain karena kebodohan, penistaan terhadap ajaran Nabi Saw juga terjadi
karena prinsip kebebasan berbicara yang diberikan sekularisme-liberalisme. Paham
ini telah memberikan panggung kepada orang-orang yang mendengki dan terus
menyerang Islam dan ajarannya. Mereka dilindungi oleh berbagai peraturan dan
orang-orang yang bersekongkol dengan mereka. Mereka tak akan pernah berhenti
melakukan penyerangan terhadap agama ini. Kedengkian yang tersimpan dalam hati
mereka jauh lebih besar lagi.10 Wallahu a’lam. []

10 Lihat QS .Ali Imran [118 :]3.


44 9 Topik Khilafah
7 PENYEBUTAN “KHILAFAHISME”
ADALAH PENISTAAN

Sekjen PDPI Hasto Kristianto membuat pernyataan kontroversial terkait isu


“Khilafahisme”. Menurut Hasto,  PDIP juga setuju penambahan ketentuan
menimbang untuk menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan
dengan  Pancasila, seperti 
Marxisme - komunisme,  Kapitalisme - Liberalisme,
Radikalisme serta bertuk Khilafahisme. Artinya jika RUU HIP disetujui jadi Undang-
undang, penyebar paham Marxisme - Komunisme, Kapitalisme - Liberalisme,
Radikalisme dan Khilafahisme akan diburu dan ditangkap karena bertentangan
dengan ideologi Pancasila.1 Sesungguhnya pernyataan itu menggambarkan
permusuhan nyata pada ajaran Islam yang sangat mulia, dan upaya menutupi
masalah yang sebenarnya terjadi di negeri ini.

Kesalahan Penggunaan Istilah dan Motif Menyerang


Ajaran Islam
Penggunaan istilah “khilafahisme” untuk menyebut sistem khilafah adalah bentuk
penistaan terhadap ajaran Islam. Apalagi ketika Khilafah disetarakan dengan
Marxisme-Komunisme dan  Kapitalisme-Liberalisme yang pengembannya bisa
diburu dan ditangkap. Khilafah adalah ajaran Islam. Oleh karena itu siapa saja yang
memperjuangkannya bukan pelaku kriminal. Mengusahakan tegaknya khilafah
adalah wujud ketaatan pada agamanya. Khilafah adalah ajaran Islam yang agung dari
Allah SWT. Khilafah sistem pemerintahan dalam Islam, sekaligus sebagai metode
pelaksanaan syariat secara kaffah (menyeluruh).
Khilafah bukan “isme” karena ia ajaran Islam yang bersumber dari wahyu, sedangkan
isme berasal dari akal dan hawa nafsu manusia. Dalam Wikipedia, sufiks -isme berasal
dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Prancis Kuno -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini
menandakan suatu paham atau ajaran atau kepercayaan. Beberapa agama yang
bersumber kepada kepercayaan tertentu memiliki sufiks -isme.2 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan, “-isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan

1 Lihat tribunnews.com, “Penyebar Paham Khilafahisme akan Diburu Seperti Paham Marxisme-Komunisme,
Kapitalisme-Liberalisme”, 15 Juni 2020, https://makassar.tribunnews.com/15/06/2020/penyebar-paham-
khilafahisme-akan-diburu-seperti-paham-marxisme-komunisme-kapitalisme-liberalisme [diakses 18 Juni
2020]
2 Lihat wikipedia.org, <https://id.wikipedia.org/wiki/-isme#:~:text=Sufiks2%20%Disme20%berasal20%dari20%
Yunani,kepercayaan20%tertentu20%memiliki20%sufiks2%20%Disme> [diakses 18 Juni 2020].

PENYEBUTAN “KHILAFAHISME” ADALAH PENISTAAN 45


berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; komunisme”.3
Dengan demikian, menyebut khilafah dengan “khilafahisme” adalah kekeliruan,
penyesatan, dan pengkerdilan terhadap sesuatu yang agung.
Selain itu, kita juga harus membaca secara politik bahwa istilah tersebut adalah alat
propaganda untuk menyerang Islam dan kaum muslimin. Istilah "radikalisme" –dan
sekarang "khilafahisme"- selalu digunakan untuk menyasar umat Islam. Kita ketahui
bersama bahwa khilafah itu adalah ajaran Islam. Lalu, pantaskah ajaran Islam itu
dikriminalisasi? Demikian pula radikalisme yang hingga sekarang masih bias makna
dan lebih cenderung sebagai narasi politik untuk melawan pihak-pihak tertentu
yang berseberangan dengan penguasa. Ia hanya akan menjadi alat pukul terhadap
warga negara yang kritis dan berbeda cara pandang dengan rezim.
Narasi “khilafahisme” dan “radikalisme” adalah alat propaganda. Dalam dunia politik,
propaganda adalah metode sekaligus alat yang sangat efektif untuk mendapatkan
keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawan yang dilakukan
lebih dari satu kali atau secara terus menerus (repetitive action).
Secara konseptual, propaganda adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk
memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang.
Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan
informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau
melihatnya. Bahkan, propaganda dapat dilihat dari konteks kegiatan komunikasi
yang erat kaitannya dengan persuasi.4
Penyebutan “khilafahisme” masuk dalam teknik propaganda penjulukan (name
calling). Teknik ini merupakan teknik propaganda dengan cara memberikan sebuah
ide atau label yang buruk kepada orang, gagasan, objek agar orang menolak sesuatu
tanpa menguji kenyataannya. Pemberian label buruk tersebut bertujuan untuk
menjatuhkan atau menurunkan kewibawaan seseorang atau suatu ajaran yang
agung.
Dalam term literatur Islam, kondisi saling melabeli dengan julukan ini sering disebut
dengan “perang istilah” (harb al-musthalahat). Perang ini merupakan perang
dengan suatu agenda besar, yaitu menimpakan bahaya dan kehancuran pemikiran
dan politik kepada lawan. Caranya dengan menggunakan istilah sebagai alat untuk
melemahkan, menyesatkan atau mencitraburukkan lawan.5 Perang Istilah telah
digunakan oleh musuh-musuh Islam sejak awal perjuangan Nabi SAW di Makkah.
Kaum Quraisy di Makkah telah menyerang Nabi SAW dengan perang istilah ini. Mereka

3 Lihat kbbi.web.id, <https://kbbi.web.id/-is20%isme> [diakses 18 Juni 2020].


4 Lihat Abdul Rivai Ras, “Mengenal Propaganda Politik di Era Post-Truth”, <https://kumparan.com/abdul-rivai-
ras/mengenal-propaganda-politik-di-era-post-truth1549632367408752701-/full> [diakses 18 Juni 2020].
5 Lihat Utsman Zahid as-Sidany, “Perang Istilah”, <https://al-waie.id/fokus/perang-istilah/> [diakses 18 Juni
2020].

46 9 Topik Khilafah
mempropgandakan bahwa Muhammad adalah tukang sihir, dukun bahkan gila.6
Serangan terhadap istilah khilafah dalam bentuk pengkerdilan dan reduksi
istilah sebenarnya sudah berlangsung lama. Upaya distorsi terhadap
istilah khilafah dilakukan secara terus-menerus dan oleh lintas gerenasi. Rasyid
Ridha (1935-1865) dengan bukunya yang berjudul al-Khilafah, juga Ali Abdurraziq
(1966-1888) dengan bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, merupakan dua tokoh
yang mengawali upaya pendistorsian makna  khilafah.7
Upaya jahat mendistorsi ajaran Islam merupakan konfirmasi atas kebenaran firman
Allah SWT,
ُ َّ ‫ٱلل ِب َأ ۡف ٰ َوهِ هِ ـ ۡم َو َي ۡأ َبــى‬
‫ٱلل ِإَّل ٓ َأن ُي ِتـ َّـم ُنــو َر ُهۥ َولَ ـ ۡو َكـ ِـر َه‬ ِ َّ ‫ون َأن ُي ۡطفِ ُئــواْ ُنــو َر‬
َ ‫ُي ِري ـ ُد‬
َ ‫ٱ ۡل ٰ َكفِ ُر‬ 
‫ون‬
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka,
sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya meski
orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubah: 32)

Khilafah Adalah Ajaran Islam


Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat al-Nahl Ayat 89. Abdullah
Ibn Mas'ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam
tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua
hal".8
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua
hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang
pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran
Islam ini. Nabi SAW bersabda,
،‫ـاس بِالَّ ِتــي تَلِي َهــا‬ ِ ْ ‫لتُ ْنقَضَ ـ َّن ُع ـ َرى‬
ْ ‫ فَ ُكلَّـ َـا انْتَقَضَ ـ‬،ً‫ ُع ـ ْر َو ًة ُع ـ ْر َوة‬،‫ال ْسـ َـا ِم‬
ُ ‫ تَشَ ـ َّبثَ ال َّنـ‬،ٌ‫ـت ُع ـ ْر َوة‬
‫الصـ َـا ُة‬
َّ ‫آخ ُر ُهـ َّن‬ ِ ‫ َو‬،‫َوأَ َّولُ ُهـ ّن نَقْضً ــا الْ ُح ْكـ ُم‬
«Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul
terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang
pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat»
(HR. Ahmad).
6 Lihat QS. al-Shaffat: 36; ad-Dukhan: 14; al-Dzariyat: 52 & 39; al-Thur: 29; dan al-Qamar: 29.
7 Lihat Syawa’ib Tafsir, sub bab Syawa’ib fi Nizham al-Hukm.
8 Lihat Abul Fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur›an al-Azhim, juz IV, hlm. 594.

PENYEBUTAN “KHILAFAHISME” ADALAH PENISTAAN 47


Lafazh (ً‫ ) ُعــ ْر َو ًة ُعــ ْر َوة‬menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan
kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.9
Adapun maksud kalimat (‫ ) َوأَ َّولُ ُهــ ّن نَقْضً ــا الْ ُحكْــ ُم‬adalah ajaran pertama di dalam Islam yang
mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu
pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani
dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.10
Khilafah memiliki makna yang khas dan agung dalam Islam. Al-Khalifah (‫)الخليفــة‬
secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”.
Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari
dalam Tahdzib al-Lughah.11 Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan
hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran, seperti QS. Al-Baqarah: 30,
QS. Al-An’âm: 165, dan QS. Al-Naml: 62.
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad
SAW dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”12 demikian juga Imam al-
Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-
pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di
muka bumi, yang menggantikan mereka.”13
Makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang
agung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
‫ ىف حراسة الدين وسياسة الدنيا‬,‫ القائم بخالفة النبوة‬,‫الخليفة هو اإلمام األعظام‬
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam
melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”14
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata
kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah
digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan
amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah khilafah
dan Imamah.15
Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah sebagai,
‫اإلمامة موضوعة لخالفة النبوة يف حراسة الدين وسياسة الدنيا به‬
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta

9 Lihat al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
10 Lihat al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
11 Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174-168.
12 Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
13 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke19-, hlm. 485.
14 Lihat al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala
Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
15 Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
48 9 Topik Khilafah
politik yang sifatnya duniawi”16
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah
memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil
syariah.

Tanggung Jawab Ulama dan Umat Islam


Rusaknya tatanan kehidupan bukan disebabkan karena Islam dan khilafah, tetapi
karena paham sekularisme dan kapitalisme. Saat ini, kita menyaksikan masih banyak
perintah Allah SWT yang belum diamalkan dan berbagai larangan Allah yang masih
dilanggar, terutama syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial,
hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan lain sebagainya. Kondisi rakyat
semakin miskin, harga-harga kebutuhan pokok yang terus membumbung tinggi,
pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam kita dikeruk oleh
korporasi-korporasi asing, layanan kesehatan makin mahal, pergaulan pemuda dan
pemudinya semakin rusak, korupsi kian merajalela, kerusakan lingkungan yang
semakin parah, dan sebagainya.
Itu semua sudah seharusnya mendorong orang beriman untuk muhasabah. Maha
benar Allah SWT yang berfirman,
‫ـض الَّـ ِـذي َع ِملُــوا لَ َعلَّ ُهـ ْم‬ ِ ‫ـر َوالْبَ ْحـ ِر بِ َــا ك ََسـبَ ْت أَيْـ ِـدي ال َّنـ‬
َ ‫ـاس لِيُ ِذي َق ُهـ ْم بَ ْعـ‬ ِّ َ ‫ظَ َهـ َر الْف ََســا ُد ِف الْـ‬
‫يَ ْر ِج ُعو َن‬
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum: 41)
Lahirnya UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Minerba dan lainnya yang
tidak berpihak pada rakyat dan cenderung bercorak kapitalistik, adalah di antara
bukti kongkrit perundang-undangan hasil proses demokrasi yang menuai kritik dari
para ulama dan cendekiawan muslim.
Propaganda “khilafahisme” yang mendistorsi ajaran Islam harus dilawan. Umat Islam
khususnya para ulama harus berada di garda terdepan dalam membela ajaran Islam,
dan bersama umat berjuang mengembalikan sistem khilafah. Mengapa ulama lebih
besar tanggungjawabnya? Karena mereka adalah orang-orang yang berilmu dan
takut kepada Allah. Kebenaran dan kebatilan tidak samar bagi para ulama. Khilafah
memberikan jaminan kebaikan jika dijalankan. Khilafah memiliki landasan normatif
yang kokoh dan landasan historis yang nyata. Bahkan, mengangkat seorang khalifah
untuk menegakkan hukum-hukum Allah adalah menjadi konsensus (ijmak) para

16 Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.

PENYEBUTAN “KHILAFAHISME” ADALAH PENISTAAN 49


ulama. Terakhir, tidak ada jalan lain bagi kita yang mendambakan keberkahan hidup,
dan meniti jalan pendahulu kita, kecuali berjuang merealisasikan kembali proyek
agung kehidupan Islam, sebagai salah satu bagian dari pesan mendalam Rasulullah
SAW, dari Al-’Irbadh bin Sariyah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
‫ َعضُّ وا َعلَ ْي َها بِال َّن َواج ِِذ‬، ‫َعلَ ْي ُك ْم ب ُِس َّن ِتي َو ُس َّن ِة الْ ُخلَفَا ِء ال َّر ِاش ِدي َن الْ َم ْه ِديِّ َني‬
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin
al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian
hal tersebut) dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-
Baihaqi)17 []

17 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan
para rawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
”Hadits shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.”
ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 7516).
50 9 Topik Khilafah
8 PERAN ULAMA DALAM
MENEGAKKAN KHILAFAH

Pendahuluan
Ulama adalah pelita di tengah kegelapan. Kebaikan pada diri umat Islam ini akan
terus ada selama ada para ulama yang menjadi pelita di tengah-tengah mereka.
Kedudukan mereka yang tinggi -karena ilmunya- akan menjadi kebaikan bagi umat
dan penguasa. Sebaliknya, rusaknya ulama akan menjadi sebab kerusakan pada umat
dan penguasa. Imam al-Ghazali mengatakan, “Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu
kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan
kerusakan para ulama".1 Satu abad setelah keruntuhan khilafah Islam, berbagai
upaya telah dilakukan oleh kaum muslimin dari masa ke masa. Dalam sejarahnya,
ulama memiliki peran yang sangat penting yakni menjadi benteng ilmu bagi khilafah
Islam dan menjadi penggerak perjuangan mewujudkan kembali saat ketiadaannya.

Ulama Adalah Pelita di Tengah Kegelapan


Ulama bagaikan bintang bagi penduduk bumi. Abu Muslim al-Khaulani berkata,
“Ulama bagi penduduk bumi bagaikan bintang di langit. Ketika menampakkan kepada
manusia, mereka akan mendapat petunjuk. Jika tidak menampakkan kepada manusia,
mereka akan kebingungan.”2 Keutamaan ulama karena keutamaan ilmu dan adanya
pujian dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman,
َ ‫ٱلل ِب َمــا َت ْع َم ُلـ‬
‫ـون‬ ُ َّ ‫َي ْر َفـ ِـع‬
ُ َّ ‫ٱلل َّٱلذِ َيــن َءا َم ُنــو ۟ا مِ ن ُكـ ْم َو َّٱلذِ يـ َـن ُأو ُتــو ۟ا ٱلْعِ لْـ َم َد َر ٰ َجـ ٍـت َو‬
ۚ
‫َخ ِبيـ ٌر‬
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang
yang diberikan ilmu ke beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS. al-Mujadilah: 11)
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “(Kedudukan) ulama berada di atas orang-orang yang
beriman sampai 700 derajat, dan jarak antara satu derajat dengan yang lain 100
tahun.” 3
Allah juga Swt. berfirman,

1 Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz 2, hlm. 238.


2 Lihat Ibnu Jama’ah, Tadzkirah al-Sami’ wa Mutakallim, hlm. 89
3 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 82

PERAN ULAMA DALAM MENEGAKKAN KHILAFAH 51


ُ َّ ‫َشهِ َد‬
‫ٱلل َأَّنهُۥ َل ٓ ِإ ٰلَ َه ِإَّل ُه َو َوٱ ۡل َم ٰلَ ٓ ِئ َك ُة َو ُأ ْو ُلواْ ٱ ۡلعِ ۡل ِم َقآ ِئ ۢ َما ِبٱ ۡلقِ ۡس ِ ۚط‬
“Allah telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan
Dia dan para malaikat dan orang yang berilmu (ikut mempersaksikan) dengan penuh
keadilan.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
Imam Badruddin Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata, “Allah Swt. memulai dengan
dirinya (dalam persaksian), lalu malaikat-malaikat-Nya, lalu orang-orang yang
berilmu. Cukuplah hal ini sebagai bentuk kemuliaan, keutamaan, keagungan dan
kebaikan (buat mereka).”4
Para ulama adalah rujukan dan tempat bertanya bagi umat yang kebingungan.
Allah Swt. berfirman,
‫ون‬ ِّ ‫س َ ٔ ُل ٓواْ َأ ۡه َل‬
َ ‫ٱلذ ۡك ِر ِإن ُكن ُت ۡم َل َت ۡعلَ ُم‬ ‍ۡ ‫ َف‬ 
“Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ilmu) jika kalian tidak
mengetahui.” (QS. al-Nahl: 43)
Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak
mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Kandungan
ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk mereka dari sisi
yang Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka. Masih banyak ayat
lainnya yang menjelaskan keagungan ilmu dan ulama, misal QS. al-Ankabut: 4, al-
Bayyinah: 8, dan QS. Fathir 28.
Imam Badruddin Ibnu Jama’ah berkata, “Kedua ayat ini (QS. Fathir ayat 28 dan QS. al-
Bayyinah ayat 8) mengandung makna bahwa ulama adalah orang-orang yang takut
kepada Allah. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia. Dari
sini disimpulkan bahwa ulama adalah sebaik-baik manusia.”5
Dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda,

ً ‫ا‬ َ‫خ‬ ‫ ِب ِه‬ ‫الل ُه‬ ‫يُ ِر ِد‬ ‫َم ْن‬


ِ‫الدِّين‬ ‫ف‬ ِ ‫يُ َف ِّق ْه ُه‬ ‫ْري‬
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah
akan memahamkan ilmu agama.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan, barang
siapa yang tidak dijadikan Allah Swt. faqih dalam agama-Nya, menunjukkan bahwa
Allah tidak mengizinkan kepadanya kebaikan.”6
Dalam hadits lainnya, Rasulullah Saw. bersabda,

4 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 82.


5 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 83.
6 Lihat Ibnu al-Qayyim, Miftah Dar al-Sa’adah, 246/1.
52 9 Topik Khilafah
‫الَنْ ِب َيا ِء‬ ُ
ْ ‫ َو َرثَة‬ ‫الْ ُعل ََم َء‬ َ‫إِن‬
“Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR. al-Tirmidzi)
Imam Ibnu Jama’ah al-Kinani mengatakan, “Cukup derajat ini menunjukkan satu
kebanggaan dan kemuliaan. Martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung.
Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah,
begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.”7

Peran Ulama dalam Khilafah Islam


Pada saat tegak khilafah Islam, sejarah telah mencatat peran penting para ulama.
Peran penting mereka paling tidak dapat dilihat dari 3 aspek: Pertama, amar
makruf nahi munkar dan muhasabah kepada penguasa; Kedua, menjadi rujukan bagi
khalifah dalam masalah hukum Syariah mana yang akan diadopsi; Ketiga, menjadi
qadhi (hakim) pada khilafah Islam yang menyelesaikan persengketaan di tengah
manusia.
Dalam kitab-kitab Tarikh tercatat dengan tinta emas sepak terjang para ulama
dalam melakukan aktivitas politik. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Abdullah bin
Thawwus. Dalam kitab Wafiyyah al-A'yan, Ibn Khalikan meriwayatkan pertemuan
antara Ibnu Thawwus yang didampingi oleh Malik bin Anas rahimahumallahu
dengan Abu Ja'far al-Manshur8. Abdullah bin Thawwus menyampaikan nasihat tegas
kepada Abu Ja'far Al-Manshur, dan tidak mau berserikat dalam kemaksiatan. Ibnu
Thawwus tetap teguh tanpa rasa takut meski menghadapi penyiksaan.
Ulama' seperti inilah yang kita rindukan. Tidak takut pada siapapun kecuali al-Khaliq
yang menciptakan dia. Masih tentang ulama, al-Qadhi Ibn Iyadh berkata9,"ulama itu
adalah ibarat ‹bunganya› umat ketika musim semi. Apabila orang sakit melihatnya,
kalaulah tidak menyembuhkan paling tidak akan meringankan. Apabila orang fakir
melihatnya dia merasa menjadi kaya". Semua ini cukup untuk bagi kita untuk
menggambarkan apa dan bagaimana ulama itu.
Kiprah ulama dalam kekhilafahan Islam dapat tergambar melalui visualisasi Abu
al-Aswad al-Du’ali, diamana ia mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia
dari pada ilmu. Para pemimpin adalah hukkam (penguasa) atas manusia, dan ulama
adalah hukkam (pengendali) atas para pemimpin”10

7 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 85


8 Lihat Ibn Khalikan, Wafiyyah al-A'yan, juz II, hlm. 511.
9 Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashl al-Kalam fi Muwajahati Dzulm al-Hukkam, hlm. 255.
10 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 90-89.

PERAN ULAMA DALAM MENEGAKKAN KHILAFAH 53


Peran Ulama dalam Mengembalikan Khilafah Islam
Saat tidak ada perisai yang melindungi umat Islam, sunnah ditelantarkan, dan
kezhaliman terjadi secara terbuka, maka peran ulama sangat penting. Ikhtiar
mengembalikan khilafah Islam untuk mewujudkan kehidupan Islam harus
diupayakan oleh setiap muslim, khususnya para ahli ilmu. Oleh karena itu, peran
penting ulama dalam mengembalikan khilafah Islam adalah: Pertama, menjadi
sumber ilmu dan rujukan dalam aktivitas dakwah; Kedua, berada di garda terdepan
dalam dakwah kolektif bersama umat; dan Ketiga, melakukan koreksi kepada
penguasa zhalim dan membela hak-hak umat yang ditelantarkan.
Aktualisasi peran ulama saat ini seperti yang digambarkan oleh syaikh Ali Bin Haj
dalam Fashl al-Kalam fi Muwajahah Dzulm al-Hukkam11, yaitu: Pertama, ulama yang
memadukan ilmu dan amal, yaitu ulama yang mengaitkan antara ilmu yang dia kuasai
dengan aktivitas yang dia lakukan; Kedua, selalu membela dan memperjuangkan
hak-hak umat.
Dalam konteks dakwah jama’i (kolektif) sebagaimana yang diwajibkan Allah dalam
QS. Ali Imran ayat 104, para ulama memiliki peran strategis. Pengertian "umat"
dalam ayat tersebut menurut Imam al-Thabari adalah jama'ah. Adapun menurut
syaikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafasir adalah
jama'ah atau hizb. Kelompok tersebut aktivitasnya adalah mengajak pada al-khair
yakni mengajak pada Islam dan (menerapkan) syariatnya, serta melakukan amar
makruf nahi munkar. Oleh karena aktivitasnya bersifat politik, maka kelompok yang
dimaksud dalam ayat ini adalah partai politik.
Ketika Islam belum diberlakukan sebagai sistem kehidupan, maka yang dilakukan
partai politik adalah mengajak kaum muslimin pada Islam, artinya mengajak
berhukum pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan dan berjuang
untuk menerapkan syariat-Nya. Selain itu, dalalah al-iltizam dari nash-nash
tentang kewajiban tahkim juga mengharuskan untuk menegakkan institusi untuk
menerapkan hukum Allah tersebut.
Oleh karena itu, peran para ulama adalah mengimplementasikan perintah Rasulullah
Saw. dengan memberikan nasihat pada mereka dengan niat ikhlash semata karena
Allah.
Praktisnya, apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama adalah melaksanan
izalah al-munkarat ketika menyaksikan kemunkaran, dan secara kolektif berada
di garda terdepan bersama-sama dengan kaum muslimin yang lain melaksanakan
aktifitas dakwah kepada Islam dan syariahnya dengan dakwah isti'naf al-hayah
al-Islamiyyah dengan menegakkan khilafah, serta melakukan amar makruf nahi
munkar, utamanya muhasabah lil hukkam (melakukan koreksi kepada penguasa).

11 Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, hlm. 258-255.


54 9 Topik Khilafah
Kondisi objektif kita saat ini adalah tengah terjadi kerusakan di segala sisinya. Hal itu
selaras dengan firman Allah di dalam Al-Qur'an,
‫ـض الَّـ ِـذي َع ِملُــوا لَ َعلَّ ُهـ ْم‬ ِ ‫ـر َوالْ َب ْحـ ِر بِ َــا ك ََسـ َب ْت أَيْـ ِـدي ال َّنـ‬
َ ‫ـاس لِ ُي ِذي َق ُهـ ْم بَ ْعـ‬ ِّ َ ‫ظَ َهـ َر الْف ََســا ُد ِف الْـ‬
‫يَ ْر ِج ُعو َن‬
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan karena ulah tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum: 41)
Imam Abu al-'Aliyyah sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa siapa yang maksiat pada Allah di atas bumi, sungguh dia telah
menimbulkan kerusakan di bumi, karena baiknya bumi dan langit adalah dengan
ketaatan (pada Allah).12 Jadi dalam prespektif Islam, fasad atau kerusakan yang
selama ini terjadi seperti banjir, tanah longsor, krisis sosial, penjajahan ekonomi dan
campur tangan asing pada hampir seluruh dimensi kehidupan, begitu pula dengan
hilangnya kemerdakaan kita adalah buah perbuatan maksiat yang kita lakukan.
Disinilah peran penting ulama. Para ulama mengupayakan menghilangkan kerusakan
multi dimensi yang terjadi. Mengapa peran ulama sangat ditunggu? Pertama,
pemahaman tentang Allah yang akan melahirkan sikap hanya takut pada azab Allah,
sikap ikhlas, serta ta›at pada Allah; Kedua, pemahaman tentang batasan-batasan
atau larangan-larangan yang telah ditetapkan Allah serta hal-hal yang difardhukan
oleh-Nya, yang diperlukan untuk melaksanakan keta›atan pada Allah.

Seruan
Wahai para ulama yang memiliki kedudukan mulia, Rasulullah Saw. bersabda,
‫َوإِ َّن الْ ُعل ََم َء َو َرث َ ُة ْالَنْ ِب َيا ِء َوإِ َّن ْالَنْ ِب َيا َء لَ ْم يُ َو ِّرث ُوا ِدي َنا ًرا َولَ ِد ْر َه ًم َو َّرث ُوا الْ ِعلْم‬
"Bahwa ulama adalah ahli waris para Nabi. Dan para Nabi itu tidak mewariskan dinar
atau dirham tapi mewariskan ilmu… ". (HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, dll)
Para ulama adalah sosok yang menonjol karena keberadaannya sebagai ahli waris
para Nabi, yakni dakwah dan ilmu. Oleh karena itu, para ulama yang dimuliakan
Allah:
Pertama, marilah bersama-sama dengan kaum muslimin dengan menempatkan
diri di shaf terdepan dalam melakukan aktivitas kolektif yang sifatnya wajib kifayah,
yakni dakwah untuk mengajak pada Islam dan (penerapan) syariah, serta amar
makruf nahi munkar. Ulama harus berada pada garda terdepan karena karena
dengan paduan ilmu dan amal para ulama, dan memiliki isthitha'ah (kemampuan)
di atas kaum muslimin pada umumnya. Imam al-Qurthubi telah menegaskan bahwa

12 Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur›an al-Azhim, juz VI, hlm. 320.

PERAN ULAMA DALAM MENEGAKKAN KHILAFAH 55


yang (lebih) diwajibkan melaksanakan perintah Allah dalam QS. Ali Imran 104 di
atas adalah para ulama.
Kedua, dengan tidak diterapkannya hukum Allah dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat maka kewajiban kita, kaum muslimin terutama para ulama adalah
memperjuangkan untuk penerapan hukum Allah pada seluruh aspek kehidupan.
Para ulama berkewajiban menjelaskan pada umat bahwa adanya imam atau khalifah
adalah dalam rangka menerapkan hukum Allah, menolong sunnahnya, membela
yang dizhalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya. Ini amanah ilmu.
Rasulullah Saw. menegaskan,
‫َما ِم ْن َر ُجلٍ يَ ْح َف ُظ ِعل ًْم فَيَ ْكتُ ُم ُه إِلَّ أُ ِ َت ِب ِه يَ ْو َم الْ ِقيَا َم ِة ُملْ َج ًم ِبلِ َج ٍام ِم ْن ال َّنا ِر‬
"Tidaklah seorang laki-laki yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya
kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang
dengan (kekang) dari api neraka". (HR. Ibnu Majah)
Ketiga, para ulama harus terdepan dalam membela hak-hak umat. Caranya adalah
dengan, menyadarkan umat akan hak serta kewajiban mereka dan melakukan
muhasabah kepada penguasa yang zhalim. Inilah kiprah para ulama yang dirindukan
oleh umat saat ini. Wallahu a'lam. []

56 9 Topik Khilafah
9 ULAMA, PENEGAKKAN KHILAFAH,
DAN JEBAKAN PENJAJAH

Pendahuluan
Ulama adalah pelita di tengah kegelapan. Kebaikan pada diri umat Islam ini akan
terus ada selama ada para ulama yang menjadi pelita di tengah-tengah mereka.
Kedudukan mereka yang tinggi -karena ilmu dan dakwahnya- akan menjadi kebaikan
bagi umat dan penguasa. Sebaliknya, rusaknya ulama akan menjadi sebab kerusakan
pada umat dan penguasa. Imam al-Ghazali mengatakan, “Tidaklah terjadi kerusakan
rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa
kecuali dengan kerusakan para ulama."1 Lebih dari satu abad setelah keruntuhan
khilafah Islam, berbagai upaya telah dilakukan oleh kaum muslim dari masa ke masa.
Dalam sejarahnya, ulama memiliki peran yang sangat penting yakni menjadi benteng
ilmu bagi khilafah Islam dan menjadi penggerak perjuangan mewujudkan kembali
saat ketiadaannya. Namun perjuangan tersebut tidak pernah sepi dari jebakan
negara penjajah yang tidak menghendaki khilafah hadir kembali.

Ulama Adalah Pelita


Ulama bagaikan bintang bagi penduduk bumi. Abu Muslim al-Khaulani berkata,
“Ulama bagi penduduk bumi bagaikan bintang di langit. Ketika menampakkan
kepada manusia, mereka akan mendapat petunjuk. Jika tidak menampakkan kepada
manusia, mereka akan kebingungan.”2 Keutamaan ulama karena keutamaan ilmu
dan adanya pujian dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman,

َ ‫ٱلل ِب َمــا َت ْع َم ُلـ‬


‫ـون‬ ُ َّ ‫َي ْر َفـ ِـع‬
ُ َّ ‫ٱلل َّٱلذِ َيــن َءا َم ُنــو ۟ا مِ ن ُكـ ْم َو َّٱلذِ يـ َـن ُأو ُتــو ۟ا ٱلْعِ لْـ َم َد َر ٰ َجـ ٍـت َو‬
ۚ
‫َخ ِبيـ ٌر‬
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang
yang diberikan ilmu ke beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS. al-Mujadilah: 11)
Imam Badruddin Ibnu Jama’ah memberikan penjelasan atas firman Allah Swt. dalam
QS. Ali ‘Imran ayat 18, “Allah Swt. memulai dengan dirinya (dalam persaksian), lalu
1 Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz 2, hlm. 238.
2 Lihat Ibnu Jama’ah, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, hlm. 89

ULAMA, PENEGAKKAN KHILAFAH, DAN JEBAKAN PENJAJAH 57


malaikat-malaikat-Nya, lalu orang-orang yang berilmu. Cukuplah hal ini sebagai
bentuk kemuliaan, keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat mereka).”3
Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak
mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Kandungan
ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk mereka dari sisi
yang Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka. Masih banyak ayat
lainnya yang menjelaskan keagungan ilmu dan ulama, misal QS. Al-Nahl: 43, al-
Ankabut: 4, al-Bayyinah: 8, dan QS. Fathir 28.
Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Kedua ayat ini (QS. Fathir ayat 28 dan QS. al-Bayyinah
ayat 8) mengandung makna bahwa ulama adalah orang-orang yang takut kepada
Allah. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia. Dari sini
disimpulkan bahwa ulama adalah sebaik-baik manusia.”4
Dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda,
‫الَنْ ِبيَا ِء‬ ُ
ْ ‫ َو َرثَة‬ ‫الْ ُعل ََم َء‬ َ‫إِن‬
“Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR. al-Tirmidzi)
Imam Ibnu Jama’ah al-Kinani mengatakan, “Cukup derajat ini menunjukkan satu
kebanggaan dan kemuliaan. Martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung.
Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah,
begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.”5

Keteladanan Ulama dalam Politik


Pada saat tegak khilafah Islam, sejarah telah mencatat peran penting para ulama.
Peran penting mereka paling tidak dapat dilihat dari 3 aspek: Pertama, amar
makruf nahi munkar dan muhasabah kepada penguasa; Kedua, menjadi rujukan bagi
khalifah dalam masalah hukum syariah mana yang akan diadopsi; Ketiga, menjadi
qadhi (hakim) pada khilafah Islam yang menyelesaikan persengketaan di tengah
manusia.
Dalam kitab-kitab Tarikh tercatat dengan tinta emas sepak terjang para ulama
dalam melakukan aktivitas politik. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Abdullah bin
Thawwus. Dalam kitab Wafiyyah al-A'yan, Ibn Khalikan meriwayatkan pertemuan
antara Ibnu Thawwus yang didampingi oleh Malik bin Anas dengan Abu Ja'far al-
Manshur.6 Abdullah bin Thawwus menyampaikan nasihat tegas kepada Abu Ja'far Al-
Manshur, dan tidak mau berserikat dalam kemaksiatan. Ibnu Thawwus tetap teguh
tanpa rasa takut meski menghadapi penyiksaan.

3 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 82.


4 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 83.
5 Lihat Ibnu Jama’ah, hlm. 85
6 Lihat Ibn Khalikan, Wafiyyah al-A'yan, juz II, hlm. 511.
58 9 Topik Khilafah
Ulama' seperti inilah yang kita rindukan. Tidak takut pada siapapun kecuali al-
Khaliq yang menciptakan dia. Masih tentang ulama, al-Qadhi Ibn Iyadh berkata7,
"ulama itu adalah ibarat 'bunganya' umat ketika musim semi. Apabila orang sakit
melihatnya, kalaulah tidak menyembuhkan paling tidak akan meringankan. Apabila
orang fakir melihatnya dia merasa menjadi kaya". Semua ini cukup untuk bagi kita
untuk menggambarkan apa dan bagaimana ulama itu.
Adalah Syaikh Yusuf an-Nabhani ulama muta’akhirin telah memberikan keteladanan
yang luar biasa. Selama masa penjajahan Inggris, beliau menolak menjadi Mufti di
Palestina karena tidak diizinkan untuk berhukum dengan Islam. Beliau juga dikenal
sebagai pembela utama bagi Daulah Khilafah Utsmaniyah, terutama pada masa
Khalifah Abdul Hamid II bin Abdul Majid Khan al-Ghazi; bahkan secara khusus
menulis kitab al-Ahadits al-Arba’in fi Wujub Tha’ah Amir al-Mu`minin dan Khulashah
al-Bayan fi Ba’dhi Ma’atsir Maulana al-Shulthan ‘Abdil Hamid al-Tsani wa Ajdadihi
Ali Utsman, serta karya lainnya. Tujuannya adalah untuk meneguhkan kedudukan
Khilafah dan mengajak umat Islam untuk membela dan mendukungnya, serta
mengajak umat agar mengemban Jihad fi Sabilillah dalam melawan Kafir Penjajah,
semisal Inggris, Perancis dan Rusia; beliau menulis al-Ahadits al-Arb’ain fi Fadhl al-
Jihad wa al-Mujahidin. Selain itu, beliau aktif mengkritisi berbagai pemikiran yang
menyerang syariah Islam serta kesatuan umat dan daulah.8

Peran Ulama dalam Penegakkan Khilafah


Saat tidak ada perisai yang melindungi umat Islam, sunnah ditelantarkan, dan
kezhaliman terjadi secara terbuka, maka peran ulama sangat penting. Ikhtiar
mengembalikan khilafah Islam untuk mewujudkan kehidupan Islam harus
diupayakan oleh setiap muslim, khususnya para ahli ilmu. Oleh karena itu, peran
penting ulama dalam mengembalikan khilafah Islam adalah: Pertama, menjadi
sumber ilmu dan rujukan dalam aktivitas dakwah; Kedua, berada di garda terdepan
dalam dakwah kolektif bersama umat; dan Ketiga, melakukan koreksi kepada
penguasa zhalim dan membela hak-hak umat yang ditelantarkan.
Aktualisasi peran ulama saat ini seperti yang digambarkan oleh syaikh Ali Bin Haj
dalam Fashl al-Kalam fi Muwajahah Dzulm al-Hukkam9, yaitu: Pertama, ulama yang
memadukan ilmu dan amal, yaitu ulama yang mengaitkan antara ilmu yang dia kuasai
dengan aktivitas yang dia lakukan; Kedua, selalu membela dan memperjuangkan
hak-hak umat.
Dalam konteks dakwah jama’i (kolektif) sebagaimana yang diwajibkan Allah dalam
QS. Ali Imran ayat 104, para ulama memiliki peran strategis. Pengertian "umat"

7 Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashl al-Kalam fi Muwajahati Dzulm al-Hukkam, hlm. 255.
8 Lihat Abdurrahman al-Khaddami, Biografi Syaikh Yusuf an-Nabhani, https://tsaqofah.id/biografi-syaikh-yusuf-
an-nabhani/, tanggal akses: 8 Februari 2023
9 Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, hlm. 258-255.

ULAMA, PENEGAKKAN KHILAFAH, DAN JEBAKAN PENJAJAH 59


dalam ayat tersebut menurut Imam al-Thabari adalah jama'ah. Adapun menurut
syaikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafasir adalah
jama'ah atau hizb. Kelompok tersebut aktivitasnya adalah mengajak pada al-khair
yakni mengajak pada Islam dan (menerapkan) syariatnya, serta melakukan amar
makruf nahi munkar. Oleh karena aktivitasnya bersifat politik, maka kelompok yang
dimaksud dalam ayat ini adalah partai politik.
Ketika Islam belum diberlakukan sebagai sistem kehidupan, maka yang dilakukan
partai politik adalah mengajak kaum muslim pada Islam, artinya mengajak berhukum
pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan dan berjuang untuk menerapkan
syariat-Nya. Selain itu, dalalah iltizam dari nash-nash tentang kewajiban tahkim
juga mengharuskan untuk menegakkan institusi untuk menerapkan hukum Allah
tersebut.
Praktisnya, apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama adalah melaksanan
izalah al-munkarat ketika menyaksikan kemunkaran, dan secara kolektif berada
di garda terdepan bersama-sama dengan kaum muslim yang lain melaksanakan
aktifitas dakwah kepada Islam dan syariahnya dengan dakwah isti'naf al-hayah
al-Islamiyyah dengan menegakkan khilafah, serta melakukan amar makruf nahi
munkar, utamanya muhasabah lil hukkam (melakukan koreksi kepada penguasa).
Kondisi objektif kita saat ini adalah tengah terjadi kerusakan di segala sisinya. Hal
itu selaras dengan firman Allah di dalam Al-Qur'an surat al-Rum ayat 41. Di sinilah
peran penting ulama, yaitu mengupayakan menghilangkan kerusakan multi dimensi
yang terjadi. Mengapa peran ulama sangat ditunggu? Pertama, pemahaman tentang
Allah yang akan melahirkan sikap hanya takut pada azab Allah, sikap ikhlas, serta
ta'at pada Allah; Kedua, pemahaman tentang batasan-batasan atau larangan-
larangan yang telah ditetapkan Allah serta hal-hal yang difardhukan oleh-Nya, yang
diperlukan untuk melaksanakan keta'atan pada Allah.

Mewaspadai Jebakan Negara Penjajah


Perjuangan ulama untuk mengembalikan khilafah bukan perkara yang luput dari
tantangan seperti adanya jebakan negara kafir penjajah. Para ulama harus memiliki
kesadaran politik. Hal itu karena saat ini kita hidup dalam perang pemikiran
dengan negara kafir penjajah. Mereka menggunakan cara-cara licik dan jahat untuk
menjebak kaum muslim ke dalam konspirasi memukul perjuangan Islam dalam
rangka mewujudkan perubahan dan menegakkan khilafah. Beberapa perkara yang
harus menjadi perhatian para ulama adalah sebagai berikut:
Pertama, para ulama harus memiliki pemahaman, kesadaran, dan pandangan jauh
ke depan serta penguasaan berbagai perkara. Maksud perkara-perkara ini adalah
pemahaman Islam berupa akidah dan hukum. Karena itu merupakan kaidah yang
kuat, dinding yang kokoh, dan katup pengaman pertama bagi umat Islam. Allah
60 9 Topik Khilafah
Swt., Rasul-Nya saw., dan para shahabat telah memberi bimbingan atas pentingnya
kesadaran, penguasaan perkara dan pemahaman yang shahih. Termasuk pemahaman
itu juga adalah mengetahui apa yang terus-menerus direncanakan oleh orang-orang
kafir, dan bahwa mereka tidak menginginkan kebaikan untuk umat Islam. Allah Swt.
berfirman:
‫إِ َّن ال َِّذيـ َن كَ َفـ ُروا يُ ْن ِف ُقــو َن أَ ْم َوالَ ُهـ ْم لِ َي ُصـ ُّدوا َعـ ْن َسـبِيلِ اللَّـ ِه ف ََسـ ُي ْن ِفقُونَ َها ثُـ َّم تَ ُكــو ُن َعلَ ْي ِهـ ْم‬
ُ َ ‫ـر ًة ثُـ َّم يُ ْغلَ ُبــو َن َوال َِّذيـ َن كَ َفـ ُروا إِ َل َج َه َّنـ َم يُ ْحـ‬
‫ـرو َن‬ َ ْ ‫َحـ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi
(orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi
sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-
orang yang kafir itu dikumpulkan” (QS. al-Anfal: 36).
Penguasaan perkara itu juga mencakup pengetahuan tentang apa yang terjadi
di sekitar umat Islam, berupa peristiwa dan berbagai konspirasi. Inilah yang
dibicarakan di awal surat ar-Rum,10 dimana mengabarkan kepada kaum muslim di
awal dakwah tentang suatu peristiwa yang jauh dari lingkaran mereka, dan mereka
berada dalam keadaan yang paling sulit, mendapatkan penyiksaan dan gangguan.
Rasulullah Saw. mengajarkan kita bagaimana menangani perkara melalui
pemahaman, kesadaran, dan penguasaan perkara. Beliau saw. menggambarkan
seorang muslim dan sikapnya terhadap masalah, kehati-hatian dan kesadarannya,
ِ ‫لَ يُلْ َد ُغ الْ ُم ْؤ ِم ُن ِم ْن ُج ْح ٍر َو‬
‫اح ٍد َم َّرت ْ َِي‬
‘Tidak selayaknya seorang mukmin digigit dari satu lubang yang sama dua kali.” (HR.
Muttafaq ‘alaih).
Kedua, para ulama harus waspada terhadap orang-orang kafir, dan tidak menaati
mereka dalam perkara apapun, sekalipun mereka menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah dari yang munkar, dan tidak bergabung dengan lembaga-lembaga
internasional atau regional mereka, sekalipun mereka mengklaim tujuan-tujuan
luhur dan tujuan-tujuan mulia selama lembaga-lembaga tersebut masih ada di
bawah kepemimpinan dan kekuasaan orang kafir. Juga tidak berpartisipasi dengan
mereka dalam perang apa pun; sekalipun perang itu melawan negara yang menjadi
musuh kaum muslim, baik itu negara kafir yang terikat perjanjian atau berdamai.

َ ‫يــن ُأوتُــو ۟ا ٱلْكِ ٰ َت‬


‫ــب َي ُرُّدو ُكــم َب ْعــ َد‬ َ ِ‫ــن َّٱلذ‬ َ ِ‫ٰ َيٓ َأُّي َهــا َّٱلذ‬
َ ‫يــن َءا َمنُــ ٓو ۟ا ِإن تُطِ ي ُعــو ۟ا َف ِري ًقــا ِّم‬
َ ‫ِإي ٰ َم ِن ُكــ ْم ٰ َكفِ ِر‬
‫يــن‬
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang
yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir
sesudah kamu beriman.” (QS. Ali Imran: 100).

10 Lihat QS. al-Rum, ayat 6-1.

ULAMA, PENEGAKKAN KHILAFAH, DAN JEBAKAN PENJAJAH 61


Liga Bangsa-bangsa (LBB) misalnya, merupakan lembaga yang dibentuk untuk
memukul Daulah Islamiah. Sejumlah negara dikumpulkan untuk tujuan ini pada
tahun 1919 setelah Perang Dunia ke1- (PD I), dan perkara itu berlanjut sampai ada
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga internasionalnya yang
dibentuk pasca PD II pada tahun 1945.
Umat Islam tidak boleh berpartisipasi dalam lembaga-lembaga ini meskipun
menyeru kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar. Sebab perkara ini
dibungkus dengan tujuan-tujuan jahat, ditargetkan untuk memukul Islam dan kaum
muslim dan usaha-usaha kaum muslim dalam mewujudkan perubahan. Dahulu
Turki Utsmani berpartisipasi dengan beberapa negara Eropa dalam PD I, maka
negara-negara Eropa itu memperalat Turki dalam tujuan-tujuan yang tidak melayani
kaum muslim. Itu menjadi sebab penghancuran Turki Utsmani secara militer dan
jatuh di bawah belas kasihan negara penjajah. Lalu terpecah belah dan hancur.
Allah telah memberikan permisalan yang jelas dalam kisah masjid al-dhirar, yang
mana orang-orang munafik dan orang-orang kafir di belakang mereka, menargetkan
kaum muslim di pusat negeri mereka. Hal tu melalui aktifitas kebaikan yaitu
membangun masjid! Jadi aktifitas itu di dalamnya tampak kebaikan tetapi menyimpan
aktifitas jahat yaitu makar terhadap kaum mukmin.11 Bukti jebakan itu adalah ketika
kita menyaksikan sebagian tokoh mencoba menggantikan peran khilafah dalam
kepemimpinan tunggal dunia dengan PBB atas nama prinsip maqashid syariah.

Penutup
Peran ulama dalam menegakkan khilafah adalah perkara yang niscaya. Khilafah
bukan hanya kewajiban, tetapi juga akan menjadi solusi persoalan umat. Namun
para para ulama harus memiliki kesadaran politik yang baik agar tidak terjebak
oleh perangkap negara-negara penjajah. Para ulama juga harus memiliki kesadaran
tentang hakikat Daulah Islam, sehingga perkara ini menjadi jelas bagi kaum muslim. 
Karena negara kafir penjajah berusaha menyesatkan kaum muslim, dan mengalihkan
mereka dari tujuan mulia mereka. Para ulama juga harus selalu menebarkan spirit
harapan dalam jiwa umat dan mengingatkan masa lalu umat secara terus menerus,
dan mengokohkan pemahaman Islam, sehingga tidak runtuh di depan makar negara
penjajah. Wallahu a’lam. []

11 Lihat QS. al-Taubah, ayat 108-107.


62 9 Topik Khilafah
9 Topik Keumatan
1. BAHAYA GAGASAN DIALOG ANTARAGAMA
2. MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT
3. PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN
REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM
4. TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI AGAMA
5. UMMAT[AN] WASATH[AN] BUKAN DALIL MODERASI ISLAM
6. MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK ISLAM NUSANTARA
7. POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT
HADITS NABI
8. MEMPELAJARI TSAQAFAH ISLAM HARUS MENDALAM
9. PENTINGNYA KEYAKINAN DI JALAN DAKWAH

63
64 9 Topik Keumatan
1 BAHAYA GAGASAN DIALOG
ANTARAGAMA

Sejarah Dialog Antaragama


Ide ini mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 ketika Perancis
mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokok-tokoh ulama Al Azhar
(Kairo) mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen, dan Yahudi. Kegiatan ini
kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris tahun 1933 yang dihadiri oleh
para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika,
Italia, Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Konferensi Agama-agama Sedunia
tahun 1936 merupakan konferensi agama terakhir sebelum Perang Dunia II yang
telah membuat sibuk negara-negara Eropa untuk menyelenggarakan konferensi-
konferensi serupa.
Pada tahun 1964, Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog
antaragama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan sebuah buku
yang berjudul “Alasan Dialog antara Kaum Muslimin dan Kaum Kristiani”.1 Selain itu,
dialog antaragama juga terjadi tahun 1958 di Tokyo dengan dalam sebuah kongres
yang diadakan oleh The International Association for The History of Religion.
Sepanjang dasawarsa -70an dan -80an, telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan
konferensi untuk dialog antaragama dan antarperadaban. Dari semua itu yang paling
menonjol adalah Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia, yang dihadiri oleh
400 delegasi dari berbagai macam agama, dan Konferensi Cordoba di Spanyol yang
dihadiri oleh delegasi-delegasi Muslim dan Kristen dari 13 negara. Kedua konferensi
ini diselenggarakan tahun 1974. Kemudian diselenggarakan pula Pertemuan Islam-
Kristen di Carthage di Tunisia tahun 1979.
Pada dekade akhir abad 20, para penyeru dialog antaragama bergiat mengadakan
Konferensi Dialog Eropa-Arab tahun 1993 di Yordania, yang disusul dengan
Konferensi Khartoum untuk Dialog Antaragama tahun 1994. Pada tahun 1995
diadakan dua konferensi untuk dialog antaragama, yang pertama di Stockholm, dan
yang kedua di Amman (Yordania). Kedua konferensi lalu disusul dengan Konferensi
Islam dan Eropa di Universitas Alul Bait (Yordania) tahun 1996.2
1 Lihat Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah li Dharb al-Islam wa Tarkiz al-Hadharah al-Gharbiyyah,
(Beirut: Hizb al-Tahrir, 1998), hlm. 7.
2 Lihat Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah, hlm. 7.

BAHAYA GAGASAN DIALOG ANTARAGAMA 65


Di Indonesia, pada tahun 2006 ,2004, dan 2008, PBNU telah tiga kali
menyelenggarakan International Conference of Islamic Scholars  (ICIS) dengan
tema “Up Holding Islam as Rahmatan Lil-’Alamin, Peace Building and Conflict
Prevention the Muslim World”. Pada tahun 2022 dihelat Forum Agama G20
atau Religion of Twenty (R20) dengan tema “Revealing and Nurturing Religion as a
Source of Global Solutions: A Global Movement for Shared Moral and Spiritual Values.”
R20 diklaim merupakan ruang bagi para pemimpin agama dan sekte dunia untuk
membangun dialog dan menyampaikan gagasan terkait kontribusi agama untuk
menciptakan solusi bagi permasalahan global.3
Sejarah dialog antaragama tidak lepas dari semangat pluralisme agama dan dalam
kerangka penjajahan. Semua agama diposisikan sama, tidak boleh ada klaim
kebenaran sepihak, tidak boleh ada dominasi hukum dari agama tertentu, dan pada
akhirnya harus tunduk pada solusi-solusi peradaban Barat dalam menyelesaikan
problem kehidupan. Lalu mereka berbicara hal yang praktis dalam dialog antaragama.
Jadi apa yang dibicarakan Cornille (2008) dalam kekhawatirannya terlalu teknis.
Tidak menyentuh ide dasar. Dimana ia berbicara prasyarat untuk mempraktikkan
dialog antaragama, yaitu: ada kerendahan hati (humility), keyakinan (conviction),
interkoneksi (interconnection), empati (empathy), dan kedermawanan (generosity).4

Kesalahan Mendasar Dialog Antaragama


Kekeliruan konseptual gagasan dialog antaragama dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang: Pertama, prinsip persamaan semua agama. Dialog antaragama didasarkan
pada persamaan antarkeyakinan, agama, dan peradaban tanpa adanya keyakinan,
agama atau peradaban yang lebih unggul atau lebih baik daripada yang lain.
Kemudian, diharapkan dapat terwujud suatu peradaban alternatif dengan mencari
titik temu antar kedua agama. Karena pada dialog tersebut tidak boleh menyanggah
dan membuktikan kesalahan dari agama lain.
Pada saat yang sama, peradaban Barat tetap memandang Islam sebagai musuh.
Dalam buku  The End of History  karya pemikir Amerika Francis Fukuyama,
menyatakan, ”Sistem Kapitalisme adalah babak penghabisan yang abadi bagi umat
manusia di bumi. Akan tetapi Islam, meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai,
sesungguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu, Kapitalisme).”5
Para pemikir orientalis seperti Bernard Lewis menyatakan pandangannya tentang
Islam dan Kapitalisme, bahwa keduanya bertentangan satu sama lain. Samuel
P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, juga
3 Lihat https://www.liputan6.com/islami/read/5115856/ketum-pbnu-gus-yahya-terima-2-penghargaan-atas-
inisiasi-nu-helat-r20, Diakses tanggal 7 November 2022.
4 Lihat Catherine Cornille, The Im-possibility of Interreligious Dialogue (New York: Crossroad Publishing
Company, 2008), hlm. 20.
5 Lihat Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York: The Free Press, 1992), hlm. 101.

66 9 Topik Keumatan
mengatakan, “Sesungguhnya benturan antarperadaban nanti akan mendominasi
politik luar negeri. Batas-batas pemisah antarperadaban di masa depan nantinya
akan menjadi batas-batas konfrontasi antarperadaban.”6
Kedua, klaim tidak ada kebenaran mutlak. Mereka memandang perlunya upaya
mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tidak boleh
seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran. Dengan ungkapan seperti
itu, mereka bermaksud membangun pola baru hubungan antar umat beragama,
dari yang eksklusif (yang mengakui kebenaran agamanya sendiri) menjadi inklusif
atau bahkan pluralis. Dengan itulah, kata mereka, maka kerukunan umat beragama
dapat diwujudkan. Sebab, tidak ada lagi klaim kebenaran (absolute truth claim)
yang bersifat mutlak pada masing-masing pemeluk agama. Bahkan, oleh Charles
Kimball, melalui bukunya, When Religion Becomes Evil, absolute truth claim adalah
ciri pertama dari agama jahat (evil).7
Pandangan itu tidak benar. Sebelum kerukunan tercapai, reduksi keyakinan/
keimanan pada masing-masing pemeluk agama sudah terjadi. Ketika itu pula
sebenarnya tidak perlu ada dialog antar pemeluk agama lagi, sebab mereka semua
sudah melepaskan imannya masing-masing. Teologinya sudah menjadi satu,  universal
theology of religion. Ujung dari penyebaran paham adalah yaitu ketidakyakinan atau
keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari
pemikiran pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.8
Ketiga, tuduhan agama sebagai sumber konflik. Tuduhan ini mengandung dua
motif sekaligus; justifikasi dialog antaragama demi terciptanya perdamaian, dan
mengaburkan sumber konflik yang sebenarnya. Faktanya, imperialisme negara-
negara Barat-lah yang telah melahirkan konflik dan kerusakan di dunia Islam.
Bahkan konflik tersebut sengaja dipelihara agar umat Islam dalam keadaan lemah.
Di pihak lain, Barat tidak jujur dengan propagandanya sendiri, karena sesungguhnya
pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum muslimin dan memimpin
berbagai konferensi dialog antaragama itu, memandang Islam dengan pandangan
permusuhan. Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antaragama, yang
dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Bagaimana
umat Islam harus tunduk pada nilai-nilai Barat seperti HAM dan Demokrasi.

Motif Utama Dialog Antaragama


Motif sesungguhnya dari gagasan dialog antaragama adalah: Pertama, melemahkan
ajaran Islam. Mereka berusaha untuk membentuk kepribadian muslim dengan

6 Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon &
Schuster, 1996); Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah, hlm. 9.
7 Lihat Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: Harper Collins, 2002), hlm. 54.
8 Lihat Adian Husaini, Jangan Ikuti yang Ragu-ragu, https://adianhusaini.id/detailpost/jangan-ikuti-paham-
ragu-ragu, diakses tanggal 7 November 2022.

BAHAYA GAGASAN DIALOG ANTARAGAMA 67


format kepribadian yang baru, yakni pribadi yang tidak akan merasa bersalah ketika
meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman. Mereka juga berusaha
merusak perasaan Islami pada seorang muslim dan membunuh semangat (ghirah)
Islam yang ada dalam jiwanya, sehingga muslim tersebut tidak mampu lagi membenci
kekufuran, serta tidak mau memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang
munkar. Karena kebencian pada kekufuran dan kemunkaran dianggap bertentangan
dengan prinsip dialog antaragama.
Beberapa rekomendasi dalam dialog antaragama diantaranya adalah:
(1) mencari istilah lain dan makna baru untuk kata “kufur”, “syirik”, “iman”, “Islam”,
dll. sedemikian rupa, sehingga kata-kata itu tidak menjadi faktor pemecah-belah
di antara penganut agama;
(2) mencari titik-temu dari ketiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi), yang meliputi
aspek akidah, akhlak, dan budaya;
(3) membuat piagam bersama hak-hak asasi manusia, untuk memantapkan
perdamaiam;
(4) melakukan rekonstruksi sejarah dan kurikulum pendidikan agar jauh dari hal-
hal yang dapat membangkitkan kebencian;
(5) melakukan pembahasan tema-tema tertentu seperti “keadilan”, “hak asasi
manusia”, “demokrasi”, “pluralisme”, “kebebasan”, “perdamaian dunia”,
“keterbukaan peradaban”, “masyarakat madani” (civil society), dll.9
Jika berbagai pernyataan di atas dikaitkan dengan berbagai aksi permusuhan
yang dilakukan oleh Barat untuk melawan Islam dan umatnya -seperti isu perang
melawan terorisme-, niscaya kita akan dapat memahami bahwa sasaran sebenarnya
dari dialog antaragama yang digagas oleh Barat adalah kaum muslimin.
Kedua, melestarikan penjajahan. Sesungguhnya target lain yang hendak diwujudkan
oleh negara Barat dari dialog antaragama dan antarperadaban itu adalah melestarikan
penjajahan dan menghalang kembalinya Islam ke dalam realitas kehidupan sebagai
suatu sistem kehidupan yang menyeluruh. Islam dianggap akan mengancam
kelestarian ideologi dan peradaban mereka serta akan dapat memusnahkan segala
kepentingan dan dominasi mereka.
Target ini diupayakan dengan mengguncang kepercayaan kaum muslimin
terhadap tsaqafah islamiah beserta sumber-sumber dan asas-asasnya. Tujuannya
adalah untuk mengeluarkan Islam dari medan pertarungan peradaban dengan
mengosongkan Islam dari ciri khas terpenting yang membedakannya dari agama-
agama lainnya.

9 Lihat Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah, hlm. 8-7.


68 9 Topik Keumatan
Gagasan Utopis dan Batil
Dialog antaragama adalah konsep yang utopis bisa diwujudkan. Hal itu dilihat dari
dua sisi:
Pertama, tidak ada titik temu antara hak dan batil, kecuali pasti sebuah kebatilan.
Dialog antaragama yang sebenarnya bermaksud untuk menciptakan “agama baru”
bagi kaum muslimin yang didasarkan pada akidah pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Padahal, akidah ini menetapkan bahwa membuat hukum adalah hak
manusia, bukan hak Allah Swt. yang telah menciptakan manusia.10
Allah Swt jauh-jauh hari telah memberikan peringatan kepada kaum muslimin
dalam firmanNya yang artinya,
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat)
mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka
mampu.” (TQS. Al-Baqarah: 217)
Juga dalam firmanNya yang lain,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka.” (TQS. Al-Baqarah: 120)
Karena peradaban Islam berasaskan akidah Islam, sementara peradaban kapitalisme
berasaskan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), maka titik temu
di antara keduanya hakikatnya tak mungkin ada, kecuali kekalahan salah satunya.
Jadi, maksud dialog antaragama yang dipimpin oleh Barat adalah agar kaum
muslimin melepaskan persepsi-persepsi Islam untuk kemudian digantikan dengan
persepsi-persepsi kapitalisme, sebab Barat telah mengerti bahwa mengompromikan
dua ideologi yang kontradiktif adalah hal yang mustahil.
Dialog antaragama dan antarperadaban untuk mencari titik temu di antara agama
atau peradaban yang adalah utopis. Justru yang harus ada adalah pertarungan
pemikiran (al-shira’ al-fikr) di antara berbagai agama dan peradaban, agar dapat
diketahui mana yang hak mana yang batil, mana yang mulia mana yang hina, dan
mana yang baik mana yang buruk.
Kedua, kesatuan agama-agama adalah gagasan yang batil. Semua argumentasi yang
mengarah pada kesatuan agama-agama bertujuan untuk memperkuat legitimasi
dialog antara tiga agama, dengan anggapan dasar bahwa agama samawi yang tiga itu
bersumber dari Nabi yang sama yaitu Nabi Ibrahim As. Narasi membentuk agama
Ibrahimiah adalah usulan yang semestinya tertolak secara keyakinan.
Kata “aslama” dalam al-Quran di antara makna bahasanya adalah “inqada” (tunduk,
patuh, berserah diri). Al-Quran telah menggunakan makna bahasa ini dalam kisah
10 Lihat Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah, hlm. 10.

BAHAYA GAGASAN DIALOG ANTARAGAMA 69


para nabi dan pemberian sifat para nabi itu sebagai orang-orang yang tunduk patuh
kepada perintah Allah Swt.11 Dengan demikian, jelas bahwa kata “muslimun” yang
terdapat dalam berbagai ayat tersebut maknanya adalah “munqadun” (orang-orang
yang patuh, tunduk, berserah diri).12
Artinya, bukan berarti mereka itu memeluk agama yang satu, yaitu Islam yang
diturunkan kepada Muhammad Saw., sebab Islam belum dikenal oleh mereka, di
samping mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk Islam. Setiap kaum
dari mereka mempunyai seorang rasul yang khusus bagi mereka. Dan setiap rasul
itu menyeru mereka kepada syariat (aturan) yang khusus. Allah Swt. Berfirman yang
artinya,
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan syariat (aturan) dan jalan yang
terang.” (TQS Al-Maidah: 48)
Di antara kata-kata yang telah dipindahkan maknanya kepada makna syar’i adalah
kata “Islam”. Makna bahasanya adalah “inqiyad”, tetapi makna syar’i-nya adalah
agama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad Saw. Makna ini misalnya
terdapat dalam firman Allah Swt. yang ditujukan untuk semua manusia sampai Hari
Kiamat,
“…dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.“ (TQS Al-Maidah: 3)
Juga dalam firman-Nya,
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (TQS Ali
Imran: 85)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad, Isa, dan Musa telah
mengikuti agama Ibrahim, maksudnya adalah mereka itu mengimani akidah yang
sama, yang merupakan dasar (pokok) dari setiap agama yang berasal dari sisi Allah.
Inilah yang dimaksud oleh firman Allah Swt. dalam al-Quran Surat al-Syura Ayat 13.
Jadi, agama yang terdapat dalam ayat di atas adalah dasar/pokok agama (ashl al-
din), yakni akidah. Akan tetapi syariat mereka tidak sama, karena ayat tersebut telah
di-takhshish (dikhususkan) oleh firman Allah Swt. dalam al-Quran Surat al-Maidah
Ayat 48.

11 Lihat QS. Yunus: 72, QS. Al-Baqarah: 128, al-Dzariyat: 36, QS. Yunus: 84, dan QS. Ali Imran: 52.
12 Lihat Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah, hlm. 11.

70 9 Topik Keumatan
Penutup
Dengan demikian, jelaslah bahwa konsep dialog antaragama dibangun di atas
landasan yang rapuh, motif yang buruk, serta merupakan gagasan utopis dan batil.
Umat Islam tidak boleh terjebak rayuan dan janji manisnya. Tujuan yang mereka
kampanyekan untuk menciptakan perdamaian dunia tidak akan terwujud jika
mereka sendiri diam atas penjajahan dan kerusakan yang diakibatkan keserakahan
negara-negara kapitalis. Jika hendak membangun sebuah dialog dan perdebatan
antaragama yang sepadan, seharusnya dibangun di atas landasan keyakinan pada
kesempurnaan din Islam, terbuka untuk membuktikan kesalahan agama lain, tidak
tunduk pada skenario penjajahan negara Barat, dan selanjutnya baru membangun
harmoni dalam pergaulan antarumat beragama. []

BAHAYA GAGASAN DIALOG ANTARAGAMA 71


72 9 Topik Keumatan
2 MEMBANTAH DALIH YANG
MEMBENARKAN LGBT

Pendahuluan
Pelanggaran pelaku LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) terhadap syariat
Islam sebenarnya sudah jelas dan tidak ada perdebatan di dalamnya. Perdebatan
mengemuka ketika menilai baik dan buruknya LGBT dengan standar selain hukum
Islam. Secara garis besar, kubu yang pro LGBT mendasarkan pendapatnya pada hak
asasi manusia (HAM); sedangkan kaum muslimin yang kontra LGBT mendasarkan
pendapatnya pada nilai-nilai normatif, yaitu ajaran Islam. Sampai di sini sebenarnya
sudah selesai. Namun masalah kembali muncul ketika kubu yang pro LGBT mencoba
untuk menjustifikasi pelaku LGBT dengan landasan normatif dari al-Quran.
Beberapa ayat al-Quran ditafsirulang agar sejalan dengan perilaku menyimpang
LGBT. Berangkat dari justifikasi pendukung LGBT dengan menggunakan dalil-dalil
agama itu, perlu kiranya kita memberikan bantahan atas dalih-dalih tersebut agar
menjadi jelas kecacatannya.

Dalih Pembenaran LGBT dan Bantahannya


Para pendukung LGBT dari kelompok liberal berusaha menjustifikasi atau
melakukan pembenaran atas perilaku menyimpang tersebut. Dalam website resmi
“Islam Liberal”, mereka melakukan pembelaan pada LGBT dalam tajuk “Dalil LGBT
dalam al-Quran”.1 Argumentasi mereka dapat dirangkum sebagai berikut:
Pertama, di dalam al-Quran tidak ada satupun ayat yang secara eksplisit menolak
LGBT. Oleh karenanya, terbuka untuk menggali makna yang relevan dan humanis
tentang masalah ini.
Kedua, kisah kaum Nabi Luth yang disebutkan dalam al-Quran bukan larangan
LGBT, melainkan merupakan cerita penghibur bagi Nabi Muhammad Saw karena
mengalami penolakan dakwah di Makkah. Mereka mendasarkan pada asbab al-nuzul
(sebab turunnya ayat) dan munasabah (hubungan) diantara ayat-ayat al-Quran.
Ketiga, ragam orientasi seksual dalam kasus LGBT merupakan sesuatu yang bersifat
bawaan (alamiah, tabiat) dan mendapat pengakuan dalam QS. Al-Isra [84 :]17.
1 Lihat Anonim, “Dalil LGBT dalam al-Quran”, https://islamlib.com/gagasan/dalil-lgbt-dalam-al-quran/ , diakses
pada 10 Januari 2023.

MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT 73


Keempat, al-Quran memberi isyarat penerimaan LGBT dengan menjajikan pelayan
anak muda tampan di surga nanti (lihat QS. Al-Waqi’ah [17 :]56, QS. Al-Insan [:]76
19, dan QS. Al-Thur [24 :]52).
Kelima, al-Quran memberi petunjuk penerimaan LGBT dengan kebolehan
perempuan menampakkan aurat kepada laki-laki yang tidak memiliki hasrat seksual
kepada perempuan (QS. Al-Nur [31 :]24).
Jawaban atas syubhat-syubhat sesat tersebut di atas dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Pertama, al-Quran justru memberikan petunjuk penolakan tegas pada LGBT.
Adalah sebuah kebodohan jika dikatakan bahwa al-Quran tidak menolak perilaku
menyimpang lesbian, gay, biseksual dan transgender. Dalam ilmu ushul fikih,
lafazh dalam al-Quran dan al-Hadits dapat dipahami secara mantuq (tekstual),
mafhum (kontekstual) dan ma’qul (logikal, karena adanya illat syar’iyyah). Memang
benar bahwa secara tekstual tidak ada redaksi pengharaman homoseksual seperti
pengharaman bangkai dan daging babi. Namun, siapa saja yang memiliki ilmu
dalam memahami al-Quran, niscaya akan menjumpai terdapat banyak penunjukkan
(dalalah, yang merupakan bagian dari mafhum) yang mengharamkan homoseksual.
Al-Quran menyifati homoseksual dengan sifat-sifat tercela seperti fahisyah, khabits,
dll.
Belum lagi dalam hadits Nabi, beliau sebagai orang yang paling paham atas al-
Quran mengutuk pelaku LGBT. Dalam al-Hadits, Rasulullah  Saw mengecam
perbuatan homoseksual (liwath)2:
ٍ ‫َاف َع َل أُ َّم ِتي َع َم ُل قَ ْو ِم ل‬
«‫ُوط‬ ُ ‫»إِ َّن أَ ْخ َو َف َما أَخ‬
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum
Luth.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi)3
«‫»ال يَ ْنظُ ُر الل ُه إِ َل َر ُجلٍ أَ َت َر ُج ًل أَ ِو ا ْم َرأَ ًة ِف ُدبُ ِر َها‬
“Allah tidak akan memandangi seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki lainnya
atau mendatangi perempuan pada duburnya.” (HR. Ibnu Hibban, al-Tirmidzi, dll)4

2 Homoseksual adalah perbuatan laki-laki mendatangi laki-laki lainnya melalui duburnya, yang dalam istilah
syariah disebut liwath. Pengertian liwath. Hal itu bisa kita rujuk dalam penjelasan Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji, bahwa: “Al-Liwath: adalah perbuatan siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, yaitu
memasukkan dzakar ke dubur laki-laki lainnya (homoseksual). (Lihat Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam
Lughah al-Fuqaha’, juz I, hlm. 394)
3 Hadits ini dinilai shahih oleh imam al-Hakim. Abu Isa mengatakan: “Hadits ini hasan gharib dari jalur
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail bin Abi Thalib dari Jabir bin ‘Abdillah r.a.”
4 Hadits ini shahih. Imam Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahih-nya, dan Syu’aib al-Arna’uth
mengatakan, “Hadits sanadnya kuat memenuhi syarat Muslim”.

74 9 Topik Keumatan
Pada hadits lainnya, terdapat ungkapan bahwa pelaku homoseksual dilaknat oleh
Allah Swt. Laknat Allah ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa
besar.
ٍ ‫ لَ َعـ َن اللـ ُه َمـ ْن َع ِمـ َـل َع َمـ َـل قَـ ْو ِم لُـ‬،‫ـوط‬
«ُ‫ لَ َعـ َن اللـه‬،‫ـوط‬ ٍ ‫لَ َعـ َن اللـ ُه َمـ ْن َع ِمـ َـل َع َمـ َـل قَـ ْو ِم لُـ‬
ٍ ‫» َمـ ْن َع ِمـ َـل َع َمـ َـل قَـ ْو ِم لُـ‬
‫ـوط‬
“Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat
siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang
mengamalkan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dll)
Bahkan pelaku homoseksual wajib dikenakan sanksi dunia oleh khalifah berupa
hukuman mati. Nabi bersabda dalam hadits shahih,
َ ‫ُوط فَاقْتُلُوا الْ َفاِ َع َل َوالْ َم ْف ُع‬
«‫ول ِب ِه‬ ٍ ‫» َم ْن َو َجدْتُ ُو ُه يَ ْع َم ُل َع َم َل قَ ْو ِم ل‬
“Siapa saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum
Luth, maka hukum bunuhlah subjek dan objeknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
al-Hakim)
Kedua, adalah tidak benar bahwa kisah kaum Nabi Luth yang dikabarkan kepada
Nabi Muhammad Saw hanyalah cerita penghibur di kala Nabi mengalami penolakan
dakwah. Dengan memperhatikan munasabah diantara ayat-ayat yang serupa, justru
makin menguatkan bahwa di dalamnya ada penunjukkan (dalalah) yang jelas atas
keharaman dan tercelanya homoseksual. Adapun terkait asbab al-nuzul ayat sama
sekali tidak menegasikan penunjukkan ayat bahwa homoseksual adalah perkara
yang tercela dan harus dijauhi.
Ketika membahas LGBT, kita tidak bisa lepas dari perilaku menyimpang kaum Nabi
Luth As yang dikenal sebagai kaum penyuka sesama jenis (homoseksual). Dari 27
ayat yang memuat redaksi Nabi Luth, terdapat tiga ayat yang melabeli perilaku kaum
Nabi Luth As sebagai “fahisyah”, yaitu QS. al-A’raf [80 :]7, QS. al-Naml [54 :]27 dan QS.
al-‘Ankabut [28 :]29 sebagai berikut:
"(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika dia berkata
kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (QS. al-A’raf [80 :]7).
"Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan fahisyah itu, sedang kamu memperlihatkan(nya)?” (QS. al-
Naml [54 :]27).
"Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu
benar-benar mengerjakan perbuatan fahisyah yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (QS. al-‘Ankabut [28 :]29).

MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT 75


Secara bahasa, para ulama menyimpulkan bahwa “fahisyah” menunjukkan sesuatu
yang buruk, keji dan dibenci. Fahisyah juga dapat diartikan sebagai perbuatan atau
perkataan yang sangat buruk dan tercela, bahkan lebih keji dari perbuatan zina yang
juga keji.5
Sesungguhnya penafsiran kata fahisyah sebagai homoseksual, didasarkan pada
tafsir al-Quran dengan al-Quran, yaitu Surat al-A’raf [80 :]7 ditafsiri dengan ayat
berikutnya, QS al-A’raf [81 :]7, dimana disebutkan bahwa perbuatan tersebut telah
melampaui batas, yakni perbuatan haram.
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada
mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
(QS. al-A’raf [81 :]7).
Selain dilabeli sebagai fahisyah, perilaku kaum Nabi Luth As juga disebut dengan
“khaba’its”, bentuk jamak dari khabitsah. Tepatnya dalam QS. al-Anbiya’ [74 :]21.
Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan
dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan-
perbuatan khabits (khaba’its). Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi
fasik. (QS. al-Anbiya’ [74 :]21).
Secara bahasa, khabits berarti buruk dan kotor. Al-Raghib al-Ashfahani mengartikan
kata khabits sebagai sesuatu yang dibenci, jelek dan hina, baik secara empiris
maupun akal. Dari sini, al-Ashfahani menyebut bahwa kata khabits dijadikan sebagai
metonimi (kinayah) dari homoseksual.6
Ketiga, LGBT bukan merupakan gejala alami (tabiat bawaan) yang mendapat
pengakuan dalam QS. Al-Isra [84 :]17. Sebaliknya, LGBT adalah penyimpangan
seksual yang sangat buruk. Pembuktian atas hal itu sudah banyak dipublikasikan
dalam banyak penelitian dan pendapat para ahli. Adapun QS. al-Isra [84 :]17 sama
sekali bukan bentuk penerimaan pada penyimpangan seksual. Makna “syakilah”
dalam ayat tersebut adalah keadaan atau pembawaan manusia. Artinya, tiap-tiap
orang berbuat menurut keadaan atau pembawaannya masing-masing. Ibnu Abbas
ra. mengatakan, yang dimaksud dengan “ala syakilatihi” ialah menurut keahliannya
masing-masing. Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah menurut keadaannya
masing-masing. Menurut Qatadah adalah menurut niatnya masing-masing. Adapun
Ibnu Zaid mengatakan menurut keyakinannya masing-masing.7 Semua definisi yang
disebutkan disini berdekatan maknanya. Dengan demikian, memaknai syakilah
5 Lihat Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Amru al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil, juz 3,
hlm. 451; Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafatiih al-Ghayb, juz 27, hlm. 49.
6 Lihat Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fî Gharib al-Qur’an, jilid I,
hlm. 124.
7 Lihat Abu Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, Juz 5, hlm. 115.

76 9 Topik Keumatan
dengan pembawaan manusia berupa penyimpangan seksual adalah kesalahan fatal,
bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian.
Keempat, kelompok liberal telah gagal memahami ayat al-Quran yang menjanjikan
bahwa penghuni surga akan didampingi oleh anak muda tampan. “Mereka dikelilingi
oleh anak-anak muda yang tetap muda.”(TQS. Al-Waqiah [17 :]56). Maksudnya adalah
(mereka dikelilingi) oleh para pelayan (yang terdiri dari anak-anak muda yang tetap
muda), artinya mereka tetap muda untuk selama-lamanya.8 Mereka tidak istirahat,
bahkan mereka bertebaran untuk membantu menyediakan kebutuhan (penduduk
surga).
Siapakah pelayan dari kalangan anak muda tersebut? Para ulama berbeda pendapat.
Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib ra. yang dimaksud dengan anak-anak muda itu
adalah anak-anak kaum muslimin yang meninggal dunia pada waktu kecil yang
belum memiliki amal kebaikan dan keburukan. Dalam riwayat lain, dari Salman ra
bahwa ia berkata: “anak-anak orang musyrik, merekalah sebagai para pembantu
penduduk surga”. Pendapat lainnya adalah bahwa anak-anak yang bertebaran di
sekitar penghuni surga adalah salah satu dari ciptaan Allah di surga, mereka bukan
anak-anak dari penduduk bumi.9 Dengan demikian, kelompok liberal telah berfantasi
bahwa pelayan-pelayan tersebut adalah pemuas hubungan homoseksual.
Kelima, mereka melakukan kesalahan fatal dalam memahami potongan ayat “uli
al-irbah min al-rijal (ِ‫ال ْربَــ ِة ِمــ َن ال ِّر َجــال‬ ِ ُ‫ ”)أ‬dalam ayat al-Quran surat al-Nur ayat 31
ِ ْ ‫ول‬
yang sering dijadikan justifikasi penerimaan LGBT. Ungkapan tersebut konteksnya
berkaitan dengan seorang laki-laki yang tak memiliki hasrat terhadap wanita, dengan
karakteristik yang kemudian dirinci oleh para ulama. Ibn Abbas ra berpendapat
bahwa mereka adalah orang yang sakit akalnya, tidak berhasrat pada perempuan
dan tidak menginginkannya.10 Al-Nawawi menguatkan pendapat ini.
Ulama lainnya, seperti Mujahid menafsirkan bahwa itu adalah laki-laki yang
tidak berhasrat kepada wanita. Al-Zuhri menafsirkannya sebagai orang pandir
(ahmaq, bodoh tak berhasrat pada wanita). Ada juga yang menafsirkan sebagai
laki-laki yang sudah tua renta, yang tidak lagi berhasrat pada wanita dan tidak
menginginkannya.11
Dengan demikian sebuah kecerobohan jika “laki-laki yang tidak memiliki hasrat
seksual” dimaknai sebagai laki-laki penyuka sesama jenis atau gay. Tidak ada satupun
penafsiran ulama muktabar yang memahami bahwa laki-laki yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah yang memiliki kecenderungan homoseksual.

8 Lihat Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahaliy, Tafsir al-Jalalain, hlm. 494.
9 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 4, hlm. 312.
10 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fî Ta’wil al-Qur’an, juz 19, hlm. 161.
11 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan, juz 19, hlm. 161.

MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT 77


Penutup
Demikianlah tidak ada satu dalil pun yang membenarkan aktivitas LGBT. Semua
dalih yang digunakan oleh kelompok liberal untuk menjustifikiasi pelaku LGBT
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Al-Quran melabeli homoseksual
sebagai perilaku fahisyah yang berarti perbuatan keji yang tergolong dosa
besar, dan sebagai perilaku khabits yang berarti perbuatan hina. Bahkan Nabi
menyebutkan laknat untuk mereka. Homoseksual dinilai hina, karena menyalahi
fitrah manusia normal. Para ulama telah sepakat akan keharaman LGBT, dan
pelakunya dianggap telah melakukan dosa besar. Jika masih ada yang melakukannya,
maka sistem ‘uqubat (sanksi) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi
masyarakat dari semua itu.  Hal itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku kriminal
dan mencegah orang lain melakukan pelanggaran serupa. Adapun bentuk sanksinya
berbeda-beda tergantung fakta perbuatannya, yaitu antara lesbian, gay, biseksual
dan transgender memiliki fakta hukum yang berbeda. []

78 9 Topik Keumatan
3 PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN
REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM

Pendahuluan
Beralasan dunia terus mengalami perubahan, Menteri Agama (Menag) RI Yaqut
Cholil Qoumas melihat pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep
fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespon tantangan zaman. Hal itu ia
sampaikan saat memberikan sambutan pada pembukaan Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS) yang ke20- di Surakarta, Senin (2021/10/25).
Namun benarkah fikih Islam harus dilakukan rekontekstualisasi sehingga bisa
menjawab perubahan zaman? Ataukah justru yang dibutuhkan adalah ijtihad dan
penerapan fikih Islam dalam rangka memberikan jawaban atas perubahan dunia
yang dinamis? Tulisan ini akan mengulas perbedaan mendasar antara ijtihad dengan
rekontekstualisasi fikih ala Menag.

Fikih dan Syariah Islam


Gagasan rekontekstualisasi fikih Islam tidak lepas dari pandangan minor terhadap
fikih Islam. Beberapa kesalahpahaman dalam memahami fikih diantaranya adalah:
Pertama, fikih dianggap sebagai hukum syariat yang bisa berubah-ubah sesuai
dengan kondisi, waktu, dan tempat. Di antara argumentasi yang dijadikan dalih
untuk mendukung anggapan ini adalah adanya qawl qadîm dan qawl jadîd-nya Imam
al-Syafi‘i serta adanya perbedaan fatwa hukum yang dikeluarkan oleh para ulama
dalam kasus yang sama pada tempat, kondisi, dan waktu yang berbeda. Kenyataan
ini dianggap sebagai bukti bahwa fikh bisa berubah karena perubahan tempat,
kondisi, dan waktu.
Kedua, fikih dianggap berbeda dengan syariat. Fikih digali dari nash yang zhanni, bisa
disesuaikan dengan kondisi dan fakta, sedangkan syariat digali dari dalil yang qath‘i.
Pemahaman fikih semacam ini telah menempatkan fikih pada kondisi interpretasi
(on interpretation), sedangkan syariat pada kondisi nir-interpretasi.
Ketiga, dari sisi metodologi, sebagian orang menganggap bahwa fikih boleh saja
digali berdasarkan fakta, kondisi, dan momentum yang sedang berkembang. Lebih
dari itu, muncul anggapan bahwa dalil untuk masalah fikih tidak harus didasarkan
pada dalil-dalil syariat. Fikih bersifat fleksibel dan dinamis, tidak sebagaimana
PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM 79
syariat. Akibatnya, perkara yang sudah jelas hukumnya bisa diinterpretasi ulang
berdasarkan realitas dan kenyataan. Lahirlah kemudian, ‘fikih realitas’ (fiqh al-
wâqi‘), ‘fikih keseimbangan’ (fiqh al-muwâzanah), dan sebagainya, yang digali
berdasarkan realitas, serta menggunakan metodologi istinbâth (penggalian hukum)
yang serampangan.
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa fikih (fiqh) secara bahasa bermakna al-‘ilm wa
al-fahm (ilmu dan pemahaman).1 Demikian juga menurut Syaikh Taqiyyuddin al-
Nabhani, secara bahasa, fikih bermakna pemahaman (al-fahm).2
Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan
tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil
yang bersifat rinci (tafshîlî).3
Adapun syariat/syariah (syarî‘ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai
perintah al-Syâri‘ (Pembuat Hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-
perbuatan hamba (para ulama menyebutnya mukallaf dan berkaitan dengan iqtidhâ‘
(ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi).4
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi yang tidak bisa
dipisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan. Keduanya saling berkaitan dan
berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat. Bedanya, fikih dihasilkan oleh
ijtihad seorang mujtahid. Sehingga hasil ijtihad tersebut bisa berbeda antara seorang
mujtahid dengan mujtahid lainnya.
Hal penting yang harus dipahami adalah bahwa baik fikih maupun syariat harus
digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran, Sunnah, Ijmak Shahabat, dan Qiyas. Keduanya
tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa
diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan
keduanya. Istilah fikih digunakan oleh para ulama kalau membicarakan pengetahuan
tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, yang didasarkan pada dalil-dalil
yang terperinci (kasus-perkasus).

Ijtihad dan ketentuannya


Secara bahasa, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzl
al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan).5

1 Lihat al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5; al-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hlm. 509; al-Syaukani, Irsyâd
al-Fuhûl, hlm. 3; al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9.
2 Lihat Taqiyyuddin al-Nahbani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5.
3 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, III/5; al-Amidi, I/9; al-Syaukani, hlm. 3.
4 Lihat Taqiyyuddin al-Nahbani, III/31; al-Amidi, I/71-70; al-Syaukani, hlm. 7.
5 Lihat al-Razi, hlm.114.] Ijtihad juga bermakna, Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li
al-kalafat wa al-musyaqqaq (mencurahkan seluruh kemampuan dalam meneliti dan mengkaji suatu perkara
yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan.[ Lihat al-Amidi, II/309.
80 9 Topik Keumatan
Adapun para ulama ushul fikih mendefinisakan ijtihad dengan, istafrâgh al-wus‘î
fî thalab azh-zhann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi
‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum
syariat dari dalil-dalil zhanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan
usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan).6
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses
menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan
segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih
dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga
poin berikut ini:
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni al-dalalah (zhan
secara penunjukkannya). Menurut Imam al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i
(pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan
atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil
yang bersifat zhanni al-dalalah.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk
menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun
perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât). Penelitian dan uji coba di dalam
laboratorium hingga menghasilkan sebuah teori maupun hipotesis tidak disebut
dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan
puncak kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari
apa yang telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya
mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu
melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan.7
Adapun seseorang dikatakan layak untuk berijtihad jika telah memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun
kaidah-kaidah hukum. Maksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, al-Sunnah dan
Ijmak. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, ak-Sunnah dan Ijmak berikut
klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami,
mengompromikan (jam’), melakukan nasakh, atau melakukan tarjîh terhadap dalil-
dalil yang bertentangan (ta’arudh).
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan
pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah. Seorang mujtahid
disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk

6 Lihat al-Amidi, hlm. 309; al-Nabhani, I/197.


7 Lihat al-Amidi, II/309.

PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM 81


memahami makna suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan
makna yang dikandung suatu kata, serta mana makna yang lebih kuat.8

Perbedaan ijtihad dengan Rekontekstualisasi Fikih Saat


Ini
Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian
hukum syariat dari dalil-dalil zhanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang
sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami
secara langsung oleh akal.
Dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang
penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas
(qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu,
zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah
lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak
boleh ada kesalahan di dalamnya.
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-
perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih
membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan
dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.
Meski demikian ijtihad memiliki ketentuan-ketentuan (dhawabith) dan syarat-syarat
(syuruth) yang baku dan ketat. Tidak bisa dilakukan semena-mena dan oleh semua
orang berdasarkan kepentingan dan hawa nafsunya. Hal itu berbeda dengan gagasan
“rekontekstualisasi” fikih yang merupakan istilah baru untuk menutupi motif
sebenarnya. Rekontekstualisasi fikih Islam tidak lebih dari upaya untuk menafsir-
ulang teks-teks syariat dan menundukkan syariat Islam dan fikih Islam pada realitas.
Rekontekstualisasi fikih sama sekali tidak memiliki dhawabith dan syuruth yang
baku dan ketat. Gagasan itu sarat dengan kepentingan untuk melakukan moderasi
agama Islam.

Fikih Sumber Kejumudan?


Tantangan fikih Islam sekarang dan masa depan sebenarnya adalah ijtihad untuk
memecahkan masalah baru yang muncul. Jika masalah baru tersebut tidak diberikan
pemecahan berdasarkan hukum Islam, maka umat bisa berpaling pada pemecahan
lain selain Islam. Tantangan selanjutnya adalah penerapan fikih Islam dalam semua
sisi kehidupan. Fikih yang bisa dijalankan oleh umat Islam saat ini adalah terkait
dengan ibadah mahdhah. Itupun sekadar pelaksanaan, belum pada aspek penjagaan
dan penegakkan hukum bagi yang melanggar.

8 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, I/216-213; al-Amidi, II/311-309.


82 9 Topik Keumatan
Dengan demikian, pangkal kejumudan bukanlah fikih Islam, melainkan ketika tidak
ada ijtihad pada masalah baru yang muncul, lalu umat tidak tahu solusi islami atas
masalah tersebut, dan akhirnya umat Islam tidak lagi berpegang pada aturan (fikih)
Islam. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Swt.,
‫ش ُه يَ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة أَ ْع َمى‬
ُ ُ ‫َو َم ْن أَ ْع َر َض َعن ِذكْرِي فَ ِإ َّن لَ ُه َم ِعيشَ ًة ضَ نكاً َونَ ْح‬
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya
kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti
dalam keadaan buta…”. (QS. Thaha: 124)
Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah, “menyalahi
perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan
mengambil petunjuk dari selainnya.”9 Sedangkan penghidupan yang sempit tidak
lain adalah kehidupan yang semakin miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya,
tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini
di dunia Islam. Oleh karenanya syariat dan fikih Islam harus tegak dalam kehidupan
ini.
Padahal dalam al-Quran maupun al-Sunnah telah banyak ditegaskan bahwa Islam
adalah jawaban dari semua problem kehidupan baik yang dulu, sekarang maupun
yang akan datang. Allah Swt. menegaskan dalam surah al-Nahl ayat 89.
Abdullah Ibn Mas'ud ra menjelaskan QS. Al-Nahl ayat 89, sebagaimana dikutip
oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya10: "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan
untuk kita semua ilmu dan semua hal". Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-
Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat di era kontemporer ini. Dalam ungkapan lain, fikih Islam
adalah jawaban atas realitas kontemporer saat ini.

Kebutuhan Saat Ini


Dengan melakukan pengkajian secara mendalam atas apa yang terjadi di tubuh
umat Islam saat ini dan motif di balik gagasan rekontekstualisasi fikih, dapat
disimpulkan bahwa dunia sebenarnya tidak membutuhkan apa yang disebut dengan
rekontekstualisasi ortodoksi Islam. Dunia justru membutuhkan ijtihad para ulama
pada masalah baru yang muncul dan pengamalan produk ijtihad tersebut (fikih)
secara sempurna.
Selaras dengan itu, penting untuk mencermati ungkapan dari Sayyid Muhammad
bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya, Syari’ah Allah al-Khalidah. Beliau
menegaskan bahwa pengamalan fikih Islam secara benar justru akan menjadi kunci
kebangkitan dan kebaikan. Beliau menyampaikan,

9 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323.


10 Abul Fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, juz IV hlm. 594

PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM 83


"Sekiranya kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama
(Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat
yang terdepan dan paling bahagia." 11
Memang benar kita membutuhkan adanya tajdid dalam fikih. Namun makna tajdid
sebenarnya adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan
dari ajaran-ajaran agama guna mereformasi kehidupan kaum muslim secara umum
ke arah yang lebih baik. Jadi tajdid adalah upaya mengembalikan umat kepada
Islam yang tegak di atas al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan
pemahaman ulama salaf shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan orang yang
mengikuti jejak langkah mereka dalam beragama.
Dengan demikian, tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang baru,
tetapi mengembalikan Islam kepada masa Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-
Rasyidun berdasarkan sumber-sumbernya. Adapun ijtihad merupakan sarana untuk
melakukan tajdid, yaitu pemecahan masalah yang baru yang belum ada di Zaman
Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak pada sumber hukum Islam.

Penutup
Lanjutan dari gagasan rekontekstualisasi fikih adalah usaha meninjau kembali ajaran
Islam yang dianggap tidak relevan lagi dan menafsirkannya dengan interpretasi
baru, untuk menjadikan Islam sebagai agama moderat. Ayat-ayat jihad dan qishah
ditafsir-ulang. Ajaran khilafah ditinjau-ulang. Islam harus menjadi agama “damai”
yang menengahi Timur dan Barat. Padahal itu jauh dari prinsip wasathiyyah umat
Islam. “Ummat[an] wasatha[n]” adalah umat yang adil, bukan umat yang guncang
tanpa prinsip. Apa yang mereka lakukan hingga hari ini adalah bentuk liberalisai
dengan cover moderasi dan rekontekstualisasi. Bahkan lebih jauh lagi itu merupakan
bentuk sekulariasi ajaran Islam. []

11 Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm. 7.


84 9 Topik Keumatan
4 TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI
AGAMA

Pendahuluan
Belakangan ini, ramai diarusutamakan gagasan moderasi agama. Sebuah gagasan
beragama secara moderat. Jauh sebelum itu, dipromosikan juga gagasan modernisasi
agama, yaitu gagasan beragama secara modern. Agama (Islam) harus adaptif dengan
tatanan dunia global yang metropolitan. Cara berislam yang bersikeras berpegang
teguh pada ajaran Islam, menginginkan tegaknya sistem Islam, dan menolak
budaya Barat, dianggap kuno dan tidak berkemajuan. Standar modernisasi bukan
lagi pada aspek teknologi, namun penerimaan pada pemikiran dan budaya Barat.
Oleh karenanya, ortodoksi fikih Islam harus ditinjauulang. Benarkah modernisasi
semacam itu memiliki landasan normatif dalam Islam berupa konsep tajdid? Untuk
menjawab pertanyaan itu, tulisan ini disusun.

Konsep Tajdid al-Din dalam Islam


Kata “jadid” digunakan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Kata tersebut juga sering
dipakai oleh para ulama. Kata “tajdid” penting dijelaskan agar dapat dipahami
maknanya secara tepat, sehingga tidak ada penyimpangan arti tajdid tersebut.
Dalam hadis Rasulullah saw. disebutkan: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat
ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharuhi agamanya”.
Dalam riwayat yang lain, “seorang yang memperbaharui perkara ajaran agamanya.”
(HR. Abu Daud)
Secara etimologi, tajdid berasal dari kata “jaddada” yang artinya memperbaharuhi,
dan “tajaddada al-syai’”, artinya sesuatu itu menjadi baru. Dari sini, makna tajdid
memberikan gambaran pada kita terkumpulnya tiga arti yang saling berkaitan: 1)
bahwa sesuatu yang diperbaharuhi itu telah ada permulaannya dan dikenal oleh
orang banyak; 2) bahwa sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang
dan rusak; dan 3) sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum
usang dan rusak.1 Nampak dari keterangan ini bahwa kata “tajdid” (baru) lawan kata
“qadim” yang artinya lama.

1 Lihat Bustami Muhammad Sa’id, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Mundzir, hlm.
3-2.

TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI AGAMA 85


Jadi, secara bahasa, makna tajdid berkisar pada menghidupkan (al-ihya)
membangkitkan (al-ba’ats) dan mengembalikan (al-i’adah). Makna-makna ini
memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu kemudian
hancur atau hilang kemudian dihidupkan dan dikembalikan.2
Dalam al-Qur’an sebenarnya tidak terdapat lafal jaddada atau tajdid, tetapi terdapat
kata jadid, misalnya:
َ ‫َو َقا ُل ٓو ۟ا َأ ِء َذا ُكنَّا عِ ٰ َظ ًما َو ُر ٰ َفتًا َأءِنَّا لَ َم ْب ُعو ُث‬
‫ون َخلْ ًقا َجدِ ي ًدا‬
"Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-
benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai
makhluk yang baru?"" (QS. al-Isra: 49)
Demikian juga dalam ayat lainnya:
َ ‫ض َأءِنَّا لَفِ ى َخلْ ٍق َجدِ ٍ ۭيد ۚ َب ْل ُهم ِب ِل َقآ ِء َرِّبهِ ْم ٰ َكفِ ُر‬
‫ون‬ ِ ‫ضلَلْنَا فِ ى ْٱلَ ْر‬
َ ‫َو َقا ُل ٓو ۟ا َأ ِء َذا‬
"Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami
benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?" Bahkan mereka ingkar akan
menemui Tuhannya." (QS al-Sajdah: 10)
Kata tajdid juga terdapat dalam hadis Nabi saw., diantaranya hadis shahih yang
diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw. bahwa beliau
bersabda:
ّ َ ‫ِإ َّن‬
ُ ْ ِ‫الل َي ْب َعثُ ِل َهذِ ه‬
‫ال َّم ِة َعلَى َرأْ ِس ُك ِ ّل مِ ا َئ ِة َسن ٍَة َم ْن ُي َج ِ ّد ُد لَ َها دِ ي َن َها‬
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang
yang memperbaharui untuk umat agama mereka.” (HR. Abu Dawud)
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:

ُ ِ ‫ ” أَكْـ‬:‫ـال‬
َ‫ـروا ِمـ ْن قَـ ْو ِل ل‬ َ ‫ يَــا َر ُسـ‬:‫ ِقيـ َـل‬،“ ‫َجـ ِّد ُدوا إِميَانَ ُكـ ْم‬
َ ‫ َوكَيْـ َـف نُ َجـ ِّد ُد إِميَانَ َنــا؟ قَـ‬،‫ـول اللـ ِه‬
‫إِلَـ َه إِ َّل اللـ ُه‬
“Perbaharuilah iman kamu!” Ada seorang yang bertanya: “Bagaimana kami
memperbaharuhi iman kami?” Beliau bersabda: “Perbanyaklah mengucapkan lâ ilâha
illa Allâh.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Sebagian ulama mendefinisikan tajdid sebagai upaya menghidupkan kembali
apa yang telah hilang dan terhapus dalam penerapan isi al-Qur’an dan al-Sunah,
serta perkara yang wajib dikerjakannya.3 Seorang ulama salaf, Sahal al-Su’luqi (w.
389 H), mengatakan: “Allah mengembalikan agama ini sesudah terhapus sebagian
dari padanya, melalui Ahmad bin Hambal, Abu Hasan al-Asy’ari, dan Abi Nu’aim

2 Lihat Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdid ad-Din, hlm. 18.


3 Lihat Al-Manawî, al-Faid al-Qadir, Juz 1, hlm. 10.
86 9 Topik Keumatan
al-Istirabazi.”4 Pendapat di atas dapat dipahami, bahwa agama itu pada mulanya
adalah sempurna, kemudian dengan berlalunya zaman mengalami distorsi dalam
penerapannya, kemudian melalui ketiga ulama di atas agama dikembalikan kepada
keadaan asalnya. Jadi, menurut pengertian Abu Sahal al-Su’luqi bahwa tajdid adalah
mengembalikan agama kepada keadaan semula sebagaimana pada masa salaf yang
pertama. Namun menurut beliau, istilah yang tepat adalah “tajdid al-fikr al-islami”,
sebab yang diperbaharui adalah pemahaman, pemikiran, metode pengajaran, dan
pengamalan ajaran agama tersebut.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, istilah yang tepat justru adalah “ta’lim al-din”
sebagai ganti dari “tajdid al-din”, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah
Ta’ala mengutus dalam setiap penghujung abad, orang yang mengajarkan agamanya”
(HR. Abu Bakar al-Barraz).5
Terdapat satu hadis Nabi saw. yang menerangkan korelasi ijtihad dan tajdid. Ketika
itu, Nabi saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman. Nabi saw. bertanya kepada Mu’az:
“Dengan apa kamu menghukumi sesuatu?” Jawabnya: “Dengan al-Quran.” Kemudian
Nabi saw. bertanya lagi: “Apabila tidak kamu dapatkan?” Jawabnya: “Dengan al-
Hadis.” Kemudian Nabi saw. bertanya lagi: “Apabila tidak kamu dapatkan?” Jawabnya:
“Aku ber-ijtihad dengan pendapatku.” (HR. Abu Daud, al-Darimi, Ahmad dan al-
Baihaqi)
Jadi ijtihad merupakan sarana untuk melakukan tajdid, yaitu pemecahan masalah
yang baru yang belum ada di zaman Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak
pada sumber hukum Islam.
Tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari
ajaran-ajaran Islam guna membangun kehidupan kaum muslim berdasarkan aturan
Islam. Jadi Tajdid adalah upaya mengembalikan umat agar menjalani kehidupan
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan pemahaman
ulama salaf shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti jejak
langkah mereka dalam beragama.
Dengan demikian, Tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang baru,
tetapi mengembalikan cara beragama kepada masa Rasulullah saw. dan al-Khulafa
al-Rasyidun berdasarkan sumber-sumbernya.

Pembaharuan Agama Versi Barat dan Bahayanya


Kata modernisme tidak berarti hanya berorientasi kepada kemodernan, tetapi
merupakan sebuah terminologi khusus yang intinya adalah memodernisasi
pemahaman agama. Modernisme agama membawa konsekuensi berupa reaktualisasi

4 Lihat Ibn Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftara, hlm. 53.


5 Lihat Ibn Hajar, Tawali al-Ta’sis, hlm. 48.

TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI AGAMA 87


berbagai ajaran keagamaan (ortodoksi Islam) agar dapat sejalan dengan pemahaman
filsafat ilmiah. Di sisi lain, modernisme adalah sebuah gerakan yang begerak secara
aktif untuk melumpuhkan prinsip-prinsip keagamaan agar tunduk kepada nilai-
nilai, pemahaman, persepsi, dan sudut pandang Barat.6
Jika tajdid hendak menghidupkan kembali ajaran Islam yang telah terhapus
dan terlupakan dan dikembalikan kepada masa Islam awal (salaf), sedangkan
modernisme adalah usaha untuk mewujudkan relevansi antara Islam dan
pemikiran abad modern yaitu dengan meninjau kembali ajaran–ajaran Islam dan
menafsirkannya dengan interpretasi baru, untuk menjadikan Islam sebagai agama
modern yang kompatibel dengan peradaban Barat. Di antara umat Islam terdapat
beberapa tokoh yang melakukan modernisasi agama, seperti Syed Ahmad Khan,
Mohammad Iqbal, Qosim Amin, dan Ali Abdul Raziq.
Pelopor modernisme di dunia Islam adalah Sayid Ahmad Khan yang lahir di India.
Ia berusaha menyelaraskan ajaran Islam dengan pengetahuan modern. Caranya
adalah dengan jalan menafsirkan kembali ajaran agama sesuai dengan pengetahuan
modern.7 Tampaknya, Syed Ahmad Khan berusaha keras untuk melestarikan
peradaban Barat dan membuka jalan bagi kaum Muslim untuk meniru peradaban
Barat.
Mohamad Iqbal dalam gagasan modernisasinya juga mempromosikan sekularisme.
Iqbal mengagumi Kemal Attaturk dari Turki yang sekular. Padahal jelas sekali apa
yang dilakukan Attaturk merupakan westernisasi secara membabibuta. Tetapi Iqbal
menganggapnya sebagai suatu ijtihad untuk menegakkan kembali ajaran Islam sesuai
dengan pemikiran dan pengalaman modern, yakni ijtihad dalam masalah politik dan
agama, yang berpijak kepada pengalaman empiris dan bukan pada pemikiran para
ahli fikih klasik (fuqaha).8
Adapun ide pokok yang diperjuangkan Qasim Amin adalah agar wanita muslimah
melepaskan diri dari tradisi-tradisi masa lalu, untuk kemudian mencontoh wanita
Barat. Hal ini tercantum dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah. Ia banyak berbicara
tentang hijab, talak, poligami, serta pengajaran dan pekerjaan wanita dalam Islam.
Bagi Amin, syariah Islam adalah perkara yang tidak tetap, melainkan selalu berubah
sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Ia juga beranggapan bahwa tidak semua
perkataan Nabi saw. merupakan bagian dari agama.9
Lain lagi dengan Ali Abd al-Raziq. Raziq diantara yang melakukan modernisasi
agama dalam bentuk sekularisasi Islam. Dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa

6 Lihat Muhammad Hamid al-Nasir, Menjawab Modernisasi Islam, Terj. Abu Umar Basyir, hlm. 182-181.
7 Lihat Ahmad Khan, “Reenterpretation of Moslem Theology”, dalam John J. Donohue dan John L. Espesito (ed),
Islam In Transition and Prespektives, hlm. 64-61.
8 Lihat Muhammad Iqbal, Tajdid al-Fikr al-Din fi al-Islam, Terj. Abbas Mahmud al-Aqad, hlm. 182.
9 Lihat Muhammad Imarah, Al-Masiriyun – al-A’mal al-Kamilah li Qasim Amin, Juz I, hlm. 292.

88 9 Topik Keumatan
Ushul al-Hukm, ia menakwilkan hukum-hukum al-Qur’an, al-Sunah, dan fikih yang
disesuaikan dengan pemikiran Barat, dan menjadikan kitabnya sebagai puncak
produk pemikiran modern. Raziq lebih mengedepankan substansi dari sebuah
pemerintahan, yakni menegakkan keadilan. Ia tidak menghiraukan penamaan dari
pemerintahan Islam (sistem khilafah).10
Demikianlah para modernis berbicara tentang modernisasi Islam yaitu dalam
rangka menyeleraskan Islam dengan peradaban Barat, bahkan menolak apapun
yang datang dari Islam jika bertentangan dengan peradaban Barat.

Kebutuhan Umat Hari Ini


Dengan melakukan pengkajian secara mendalam atas apa yang terjadi di tubuh umat
Islam saat ini dan motif di balik gagasan modernisasi agama, dapat disimpulkan
bahwa dunia sebenarnya tidak membutuhkan apa yang disebut dengan modernisasi
ajaran Islam agar sesuai dengan peradaban Barat. Dunia justru membutuhkan tajdid
yang salah satu bentuknya adalah ijtihad para ulama pada masalah baru yang muncul
dan pengamalan produk ijtihad tersebut (fikih) secara sempurna.
Jika mujaddid (pembaharu) itu hadir setiap penghujung 100 tahun, maka umat
Islam dalam kurun waktu sebelum munculnya mujaddid selanjutnya, cukup merujuk
kepada para ulama yang ikhlas. Ulama yang berijtihad dalam perkara baru yang
muncul dan melakukan pendidikan ajaran dan fikih Islam kepada umat.
Selaras dengan itu, penting untuk mencermati ungkapan dari Sayyid Muhammad
bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya, Syari’ah Allah al-Khalidah. Beliau
menegaskan bahwa pengamalan fikih Islam secara benar justru akan menjadi kunci
kebangkitan dan kebaikan. Beliau menyampaikan: "Sekiranya kaum muslimin hari
ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama (Islam) sebagaimana para pendahulu
mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia." 11
Memang benar kita membutuhkan adanya tajdid dalam Islam. Namun makna tajdid
sebenarnya adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan
dari ajaran-ajaran Islam agar kembali tegak dalam realitas kehidupan. Jadi tajdid
adalah upaya mengembalikan umat kepada kehidupan Islam secara menyeluruh
(kaffah) yang tegak di atas sumber-sumber hukum Islam sebagaimana pemahaman
ulama salaf al-shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti
jejak langkah mereka dalam beragama.
Kita paham bahwa tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam dengan wajah
baru yang tunduk pada peradaban Barat. Adapun ijtihad merupakan sarana untuk

10 Lihat Dhiya’u al-Din al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-’Asri al-Hadis; Naqd li Kitab al-Islam wa Ushul al-
Hukm, hlm. 257-256.
11 Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm. 7.

TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI AGAMA 89


melakukan tajdid, yaitu pemecahan masalah yang baru yang belum ada di zaman
Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak pada sumber hukum Islam dengan
kaidah-kaidah tertentu.

Penutup
Jelaslah bahwa tajdid dalam Islam berbeda dengan modernisasi. Keduanya berbeda
secara konsep dan implementasi. Apa yang dilakukan kaum modernis bukanlah
tajdid sebagaimana yang dilakukan para mujaddid dalam Islam. Apa yang mereka
lakukan lebih dekat dengan taghrib (westernisasi), bahkan sekulariasi ajaran
Islam. Karena memang Islam tidak menafikan adanya inovasi kreatif dan dinamis
dalam perkara teknis kehidupan seperti sains dan teknologi. Oleh karenanya tidak
berlebihan jika gencarnya promosi moderasi agama belakangan ini, meski dalam
tampilan yang lebih soft, harus dibaca sebagai perang pemikiran yang tujuannya
sama, yaitu menjadikan Islam tunduk pada peradaban Barat. Modernisasi dan
moderasi Islam hakikatnya sama yaitu mengajak umat agar berislam dengan cara
yang dikehendaki Barat. Wallahu a’lam. []

90 9 Topik Keumatan
5 UMMAT[AN] WASATH[AN] BUKAN DALIL
MODERASI ISLAM

Pendahuluan
Pemerintah melalui berbagai kementeriannya, termasuk Kementerian Agama,
tengah mengkampanyekan moderasi beragama dan kontra-narasi radikalisme.
Salah satu bentuk kampanye itu adalah dengan membangun pusat kajian beragama
di berbagai kampus. Pemerintah mendefinisikan radikalisme sebagai upaya yang
dilakukan individu atau kelompok melalui perubahan radikal hingga ke akar dengan
cara kekerasan. Masih menurut pandangan Kementerian Agama, kelompok itu
ingin mengubah landasan Pancasila dengan Khilafah. Oleh karena itu, pemerintah
melakukan upaya deradikalisasi yang dilakukan secara sistematis, massif,
terstruktur dan terukur. Namun gagasan ini secara faktual lebih diarahkan kepada
Islam dan umatnya. Umat Islam dan ajarannya jadi target utama program moderasi
beragama ini. Lalu, dibuat argumen-argumen bahwa moderasi itu selaras dengan
Islam. Tulisan ini bermaksud mengkritisi argumentasi bahwa moderasi beragama
memiliki akar normatif dalam Islam.

Moderasi Beragama Adalah Sikap Curiga


Moderasi beragama adalah kecurigaan pada agama sebagai sumber konflik. Agama
dianggap sebagai awal dari munculnya ekstrimisme dan radikalisme. Oleh karenanya
wajib untuk dilakukan deradikalisasi. Bagi para penggagasnya, moderasi adalah jalan
pertengahan, dan katanya ini sesuai dengan inti ajaran Islam yang sesuai dengan
fitrah manusia. Oleh karena itu, umat Islam disebut ummat[an] wasath[an]. Padahal
menuduh agama sebagai satu-satunya sumber konflik adalah kesalahan.
Moderasi beragama yang diarahkan pada Islam juga merupakan sikap kalah para
penggagasnya. Apa yang dikatakan Menteri Agama beberapa waktu lalu bahwa fikih
dan hukum Islam banyak tidak sesuai perkembangan zaman adalah bentuk “inferior”
secara intelektual di hadapan agama lain.1 Kampanye moderasi beragama hakikatnya
adalah usaha agar Islam tidak tampil sebagai kekuatan nyata dalam memberikan
solusi bagi segenap permasalahan umat manusia. Ia juga tidak membedakan antara
adaptasi Islam terhadap perkembangan zaman dalam menghukumi fakta yang
1 Lihat https://news.detik[dot]com/berita/d5347652-/soal-moderasi-beragama-menag-kutip-injil-dan-bicara-
rekontekstualisasi-fikih.

UMMAT[AN] WASATH[AN] BUKAN DALIL MODERASI ISLAM 91


ada, dengan kentundukkan fikih Islam terhadap fakta. Rupanya yang selama ini
dikampanyekan adalah yang kedua, yakni bagaimana menjadikan fikih Islam tidak
berdaya sebagai solusi. Fikih Islam dipaksa tunduk pada realitas yang rusak.
Penting untuk kita simak ungkapan Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani
rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya. Beliau menegaskan bahwa pengamalan fikih
Islam secara benar justru akan menjadi kunci kebangkitan dan kebaikan. Beliau
menyampaikan,
‫فلــو أ ّن املســلمني ( اليــوم ) عملــوا بأحــكام الفقــه والديــن كــا كان آباؤهــم لكانــوا أرقــى‬
‫!األمــم وأســعد النــاس‬
“Sekiranya kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama
(Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat
yang terdepan dan paling bahagia.”2
Topik-topik fikih termasuk konsep pemerintahan/imamah, jihad dan futuhat,
konsep al-dar (darul Islam/hijrah, darul kufr/harb), ghanimah, fai’, jizyah, kharaj,
dll. Namun hari ini, topik-topik tersebut belum mendapat tempat. Bahkan dicurigai.
Ditambah lagi sikap rendah diri sebagian intelektual muslim telah mengantarkan
pada gagasan moderasi beragama yang banyak diarahkan pada Islam. Fikih Islam
dianggap sebagai inspirasi lahirnya radikalisme dan ekstrimisme.

Menguji Argumentasi “Moderasi Islam”


Bermula dari moderasi beragama lalu muncul wacana moderasi Islam dan moderasi
Qur’ani. Sebenarnya gagasan moderasi Islam itu problematik secara istilah dan cacat
secara metodologi. Apalagi moderasi Islam telah menjadikan beberapa gagasan
pokok yang sangat bias dan rawan disalah tempatkan. Menurut mereka, umat Islam
disebut ummat[an] wasath[an], umat yang serasi dan seimbang, karena mampu
memadukan dua kutub agama terdahulu, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa ada dua ciri utama moderasi Islam,
yaitu tawassuth (moderat/pertengahan) dan tasamuh (toleran).
Pertama: Tawassuth (moderat/pertengahan). Menurut penggagasnya, tawassuth
dimaknai dengan sikap tengah-tengah, sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim
kanan.
Dalil yang biasa digunakan adalah al-Quran surat al-Baqarah ayat 143. Hanya saja,
banyak yang harus diluruskan dalam memahami ayat ini. Allah SWT berfirman:

2 Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm.7.
92 9 Topik Keumatan
ُ ‫ٱلر ُسـ‬
‫ـول َعلَ ْي ُكـ ْم‬ َ ‫ـاس َو َي ُكـ‬
َّ ‫ـون‬ َّ ‫ـك َج َعلْ ٰ َن ُكـ ْم ُأَّمـ ًة َو َسـ ًـطا ِّل َت ُكو ُنــو ۟ا ُشـ َه َدآ َء َعلَــى‬
ِ ‫ٱلنـ‬ َ ‫َو َك ٰ َذ ِلـ‬
‫ۗ َشــهِ ي ًدا‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. al-Baqarah [143 :]2).
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ummat[an] wasath[an] dan bagaimana
kedudukan yang sebenarnya? Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah
terdapat banyak pendapat dari para ulama yang mengarah pada pengertian suatu
yang berada di tengah. Hal itu dapat kita jumpai dalam pendapatnya Ibnu ‘Asyur, al-
Asfahani, Wahbah al-Zuhaili, al-Thabari, Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Lantas apa
yang dimaksud dengan tengah-tengah?
Dalam memaknai sebuah lafazh, imam al-Thabari seringkali berdasarkan riwayat.
Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan
hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai
orang pilihan. Riwayat tersebut adalah,

ِّ ‫ َعـ ْن أَ ِب َسـ ِع ْي ٍد َعــنِ ال َّن ِبـ‬،‫َعـ ْن أَ ِب َصالِـ ٍح‬


‫ـي َصـ َّـى اللـ ُه َعلَ ْيـ ِه َو َسـلَّ َم ِف قَ ْولِـ ِه َوكَذَالِـ َـك َج َعلْ َناكُ ْم‬
‫ ُعـ ُد ْو ًل‬:‫ أُ َّمـ ًة َو َسـطًا قَال‬.
“Dari Abi Sa’id al-Khudri ra. dari Nabi bersabda; “Dan demikianlah Kami jadikan
kalian umat yang wasath[an]”. Beliau berkata: (maknanya itu) adil.” (HR al-Bukhari,
at-Tirmidzi dan Ahmad).
Selain bermakna adil, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan3. Syaikh
’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad
saw. sebagai umat yang adil di antara umat-umat, untuk menjadi saksi atas umat
manusia. Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni
umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat
pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab berkonotasi al-
khiyâr (pilihan), dan orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil.4
Berdasarkan pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih
memilih menggunakan kata al-wasath dari pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait
hal ini setidaknya ada dua sebab, yaitu: Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath
karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat
lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada di tengah-tengah agar dapat
melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia hanya
berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik. Kedua,
penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam

3 Lihat Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, hlm. 7.


4 Lihat ‘Atha bin Khalil, Al-Taysir fî Ushul al-Tafsir: Surah al-Baqarah, hlm. 177.

MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT 93


yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka
berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam
hal akidah, ibadah, maupun muamalah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu bermakna
umat pilihan dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), yakni umat yang adil dengan menegakkan
ajaran Islam. Bukan umat yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran
Islam. Dengan demikian memaknai ummat[an] wasath[an] dengan sikap moderat
(pertengahan) antara benar dan salah adalah penyesatan.
Kedua: Tasamuh (toleran). Tasâmuh  dimaknai oleh penggagasnya dengan
menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang
tidak sama, namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang
berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Mengacu pada definisi
tersebut, sebenarnya sikap toleran ini tidaklah bebas tanpa batas. Harus ada batasan,
prinsip dan kaidah yang jelas. Agar tidak menjadi liar dan disalahgunakan.
Tasâmuh  semata-mata ada dalam merespon perbedaan (ikhtilaf) fiqih di
kalangan ulama mu’tabar (yang otoritatif). Mana saja perbedaan pendapat yang
terkategori  ikhtilaf dan yang bukan, ada kaidah dan prinsipnya. Mana saja ikhtilaf
yang mu’tabar dan yang tidak dianggap dan tidak diterima, juga ada kaidah dan
prinsipnya.
Adapun dalam masalah keyakinan (akidah) dan hukum syariah yang bersifat pasti
(qath’i) tidak boleh dibangun sikap tasamuh. Termasuk tidak boleh toleran dengan
kemungkaran. Hal itu dijelaskan dalam banyak hadis Nabi saw. terkait dengan
perintah mengubah kemungkaran.
Adapun firman Allah SWT:
‫ول لَهُۥ َق ْو ًل َّلِّينًا َّل َعَّلهُۥ َي َت َذ َّك ُر َأ ْو َي ْخ َش ٰى‬
َ ‫َف ُق‬
"Berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa as. dan Nabi Harun as.) kepada dia (Fir’aun)
dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut." (QS
Thaha [44 :]20).
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa as. dan Nabi
Harun as. agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Bukan mengakui prinsip
atau keyakinan Fir’aun. Ini semata-mata terkait dengan cara penyampaian dakwah
yang baik dan tepat sasaran. Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menjabarkan ayat ini
mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. kepada
Fir’aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan
ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih
berfaidah.”5

5 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, III/206.


94 9 Topik Keumatan
Apa yang dibawa oleh Nabi Musa as. dan Nabi harun as. adalah membawa ayat-
ayat Allah; membawa hujjah, bukti dan mukjizat-Nya (QS Thaha [42 :]20). Karena
Fir’aun telah melampaui batas, yaitu membangkang, berlaku sewenang-wenang dan
durhaka kepada Allah (QS Thaha [43 :]20).

Bukan Tajdid Namun Taghrib


Lanjutan dari moderasi Islam adalah usaha meninjau Kembali ajaran Islam yang
dianggap “radikal” dan menafsirkannya dengan interpretasi baru, untuk menjadikan
Islam sebagai agama moderat. Ayat-ayat jihad dan qishah ditafsirulang. Ajaran
khilafah ditinjauulang. Islam harus menjadi agama “damai” yang menengahi Timur
dan Barat. Padahal itu jauh dari prinsip wasathiyyah umat Islam. “Ummat[an]
wasatha[n]” adalah umat yang adil, bukan umat yang guncang tanpa prinsip.
Apa yang mereka lakukan hingga hari ini, termasuk revisi pelajaran Agama Islam di
Madrasah adalah bentuk liberalisai dengan cover moderasi. Bahkan lebih jauh lagi
itu merupakan bentuk taghrib (westernisasi) bahkan sekulariasi ajaran Islam.
Kata jadid sendiri sering digunakan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah, juga sering
dipakai oleh para Ulama. Tajdid, menurut bahasa, maknanya berkisar pada
menghidupkan (al-ihya) membangkitkan (al-ba’ats) dan mengembalikan (al-i’adah).
Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan
sesuatu kemudian hancur atau hilang kemudian dihidupkan dan dikembalikan.6
Seorang ulama salaf, Sahal al-Su’luqi (w. 389 H), mengatakan: “Allah mengembalikan
agama ini sesudah terhapus sebagian dari padanya, melalui Ahmad bin Hambal, Abu
Hasan al-Asy’ari, dan Abi Nu’aim al-Istirabazi.”7 Oleh karena itu, istilah yang tepat
menurut beliau adalah “tajdid al-fikr al-islami”, sebab yang diperbaharui adalah
pemahaman, pemikiran, metode pengajaran, dan pengamalan ajaran agama tersebut.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal istilah yang tepat adalah “ta’lim al-din” sebagai
ganti dari “tajdid al-din”, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah Ta’ala
mengutus dalam setiap penghujung abad, orang yang mengajarkan agamanya” (HR.
Abu Bakar al-Barraz).8
Terdapat satu hadis Nabi saw. yang menerangkan korelasi ijtihad dan tajdid. Ketika
itu, Nabi saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman. Nabi saw. bertanya kepada Mu’az:
“Dengan apa kamu menghukumi sesuatu?” Jawabnya: “Dengan al-Quran.” Kemudian
Nabi saw. bertanya lagi: “Apabila tidak kamu dapatkan?” Jawabnya: “Dengan al-
Hadis.” Kemudian Nabi saw. bertanya lagi: “Apabila tidak kamu dapatkan?” Jawabnya:
“Aku ber-ijtihad dengan pendapatku.” (HR. Abu Daud, al-Darimi, Ahmad dan al-
Baihaqi)
6 Lihat Bisthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdid ad-Dien, hlm 18.
7 Lihat Ibn Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftara, hlm. 53.
8 Lihat Ibn Hajar, Tawali al-Ta’sis, hlm. 48.

MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT 95


Jadi ijtihad merupakan sarana untuk melakukan tajdid, yaitu pemecahan masalah
yang baru yang belum ada di Zaman Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak
pada sumber hukum Islam.
Tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari
ajaran-ajaran agama guna mereformasi kehidupan kaum muslim secara umum ke
arah yang lebih baik. Jadi tajdid adalah upaya mengembalikan umat kepada Islam
yang tegak di atas al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan pemahaman
ulama salaf shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti jejak
langkah mereka dalam beragama.
Dengan demikian, tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang baru, tetapi
mengembalikan Islam kepada masa Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidun
berdasarkan sumber-sumbernya.

Penutup
Dengan memahami bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu bermakna umat pilihan
dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), maka gagasan moderasi Islam tidak punya tempat
sama sekali. Umat yang adil adalah umat yang menegakkan ajaran Islam, bukan umat
yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam. Dengan demikian
memaknai ummat[an] wasath[an] dengan sikap moderat (pertengahan) antara
benar dan salah adalah penyesatan. Apalagi moderasi Islam telah menjadikan
beberapa gagasan pokok yang sangat bias dan rawan disalah tempatkan. Islam
tidak menafikan adanya inovasi, kreasi dan dinamisasi dalam pemikiran masalah-
masalah yang mungkin berubah (mutaghayyirat), tetapi bukan dalam hal-hal yang
bersifat tetap (tsawabit). Tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang
baru, tetapi mengembalikan Islam kepada masa Rasulullah saw. dan al-Khulafa’
al-Rasyidun berdasarkan sumber hukum Islam. Tajdid juga bukan moderasi (baca:
liberalisasi) Islam, karena faktanya itu merupakan bentuk taghrib (westernisasi)
bahkan sekulariasi ajaran Islam. Wallahu a’lam. []

96 9 Topik Keumatan
6 MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK
ISLAM NUSANTARA

Akhir-akhir ini, perbincangan tentang “Islam Nusantara” kembali mengemuka.


Propagandanya lebih serius dibandingkan tiga tahun silam. Muncul pro dan kontra
berkaitan dengan istilah tersebut. Kelompok yang mengusung istilah ini, membela
mati-matian dengan menyusun berbagai argumentasi agar konsep Islam Nusantara
bisa diterima. Demikian juga pihak yang keberatan, telah memberikan sanggahan
atas semua logika para pencetus dan propagandis Islam Nusantara. Sejatinya gagasan
Islam Nusantara itu problematik secara istilah dan cacat secara metodologi. Apalagi
Islam Nusantara telah menjadikan beberapa gagasan pokok yang sangat bias dan
rawan disalahtempatkan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan respon atas
poin tersebut, yakni mendudukkan gagasan pokok Islam Nusantara, seperti konsep
tawasssuth, tawazun, i’tidal, tasamuh, rahmatan lil ‘alamin, kesantunan, dan konsep
ukhuwah wathaniyah dan insaniyah.

Tawassuth, Tawazun, I’tidal, dan Tasamuh


Sebagian kalangan mengatakan bahwa ada empat ciri utama ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah khas Indonesia atau Nusantara yang bercermin dari ajaran Rasulullah Saw.
dan para sahabatnya, yaitu tawassuth (moderat/pertengahan), tawazun (seimbang),
i’tidal (tegak lurus), dan tasamuh (toleran). Apakah keempat konsep tersebut
berasal dari dalil-dalil syara’ dan jika benar, bagaimana mendudukannya agar tepat
dan tidak disalahgunakan untuk menikam Islam? Disinilah pentingnya dhawabith
(prinsip-prinsip) dan qawa’id (kaidah-kaidah) terhadap istilah-istilah tersebut.
Pertama, tawassuth (moderat/pertengahan). Menurut penggagasnya, tawassuth
dimaknai dengan sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun
ekstrim kanan. Seorang muslim harus sangat tepat mendudukan konsep ini.
Sebenarnya konsep ini hanya ada pada tataran ekspresi beragama, bukan pada
keyakinan beragama. Sebagai sebuah ekspresi, seorang muslim seyogyanya tidak
ekstrim (ifrath) atau terlalu mengentengkan (tafrith) dalam menyikapi sebuah
rentang perbedaan (ikhtilaf) ulama mu’tabar dalam masalah cabang (fiqih) yang
lebar. Tetapi sebagai sebuah keyakinan, seorang muslim harus berpihak (tidak
di tengah-tengah), total (tidak sedang-sedang), dan ekstrim dalam memegang
teguh prinsip kebenaran. Hal itu jelas berbeda dengan sikap ghuluw (berlebihan/
melampaui batas) dalam beragama, dimana hukumnya haram.
MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK ISLAM NUSANTARA 97
Dalil yang biasa digunakan adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143. Hanya saja
banyak yang harus diluruskan dalam memahami ayat al-Qur’an tersebut. Allah Swt.
berfirman,
ً ‫ول َعلَ ْي ُك ْم شَ هِيدا‬ ِ ‫َوكَ َذلِ َك َج َعلْ َناكُ ْم أُ َّم ًة َو َسطاً لِّتَكُونُوا ْ شُ َه َداء َع َل ال َّن‬
ُ ‫اس َويَكُو َن ال َّر ُس‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ummat[an] wasath[an] dan bagaimana
kedudukan yang sebenarnya? Dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda, “..firman Allah “wa kadzalika ja’alnakum ummat[an] wasath[an].”
Rasulullah Saw. bersabda:
«‫»الْ َو َس ُط الْ َع ْد ُل‬
“Al-wasath adalah al-‘adlu (adil).” (HR. Al-Bukhari, al-Tirmidzi, Ahmad). Syaikh
Syu'aib al-Arna'uth mengomentari: “Hadits ini shahih menurut syarat Syaikhan (al-
Bukhari dan Muslim).”
Selain bermakna adil, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan. Syaikh
Mahmud Syaltut menegaskan bahwa umat ini telah diistimewakan semenjak
terbitnya fajar Islam dan tersebarnya cahaya petunjuk Ilahi mencapai seperempat
dunia dengan al-Quran al-Karim.1
Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah menjadikan umat Muhammad Saw.
sebagai umat yang adil di antara umat-umat, untuk menjadi saksi atas umat manusia,
dan Allah menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath) yakni umat yang
adil untuk menjadi saksi atas manusia, dimana keadilan merupakan syarat pokok
untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang arab berkonotasi al-khiyâr
(pilihan), dan yang orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil.2
Sehingga bisa disimpulkan bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu sendiri, bermakna
umat pilihan dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), yakni umat yang adil dengan menegakkan
ajaran Islam, bukan umat yang menegakkan kezhaliman dengan menyelisihi ajaran
Islam. Dengan demikian, memaknai ummat[an] wasath[an] dengan sikap moderat
(pertengahan) adalah tidak tepat.
Kedua, tawazun (seimbang). Sebagian kalangan menyatakan bahwa sikap tawazun
ini sebagai keseimbangan dalam segala hal. Bahkan lebih jauh disamakan dengan
konsep keadilan (al-‘adalah). Padahal secara istilah keseimbangan itu tidak selalu
menunjukkan pada keadilan. Adil adalah lawan dari zhalim. Adapun zhalim adalah
menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

1 Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, hlm. 7


2 ‘Atha bin Khalil, Al-Taysir fî Ushul al-Tafsir: Surah al-Baqarah, hlm. 177
98 9 Topik Keumatan
Allah Swt. berfirman,

َ َ‫ات َوأَن َزلْ َنا َم َع ُه ُم الْ ِكت‬


ُ ‫اب َوالْ ِمي َزا َن لِ َيقُو َم ال َّن‬
‫اس بِالْ ِق ْس ِط‬ ِ ‫لَ َق ْد أَ ْر َسلْ َنا ُر ُسلَ َنا بِالْ َب ِّي َن‬
“Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran
yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang
keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS al-Hadid: 25).
Maksud ayat ini adalah “supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” adalah
kebenaran atau keadilan, yaitu mengikuti para Rasul sesuai dengan berita yang
disampaikan oleh mereka dan menaati mereka dalam semua yang mereka tegaskan.
Karena sesungguhnya apa yang disampaikan oleh para Rasul itu adalah kebenaran
mutlak yang tiada kebenaran lagi di baliknya. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-
An’am ayat 115, yang maknanya adalah benar dalam semua beritanya dan adil dalam
semua perintah dan larangannya. 3
Jadi sikap tawazun adalah sikap menerima kebenaran yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya dan mengikutinya. tawazun bukan dimaknai dengan sebuah keseimbangan
yang tanpa kaidah dan prinsip yang jelas. Kalaupun tawazun ditarik kepada konotasi
seperti itu, maka lagi-lagi ini hanya terjadi pada tataran sikap beragama ketika
menyikapi ikhtilaf yang diakui dan diterima di kalangan ulama, menempatkan suatu
perkara pada porsi yang seharusnya atau bersikap proporsional.
Ketiga, i’tidal (tegak lurus), yakni tidak condong ke kanan atau ke kiri. I’tidal ini
harus ada dalam prinsip dan sikap beragama. Seorang yang dikatakan mengikuti
prinsip I’tidal seharusnya kokoh dalam memegang teguh kebenaran (Islam), tidak
bisa dipalingkan dengan paham apapun yang bukan dari Islam, dan tidak akan
mengompromikan Islam dengan ajaran lainnya yang bertentangan dengan Islam.
Allah Swt. berfirman,
َّ‫ـط َوالَ يَ ْج ِر َم َّن ُكـ ْم شَ ـ َنآ ُن قَـ ْو ٍم َعـ َـى أَال‬ِ ‫يَــا أَيُّ َهــا ال َِّذيـ َن آ َم ُنــوا ْ كُونُــوا ْ قَ َّوا ِمـ َن لِلّـ ِه شُ ـ َه َداء بِالْ ِق ْسـ‬
‫ت َ ْع ِدلُــوا ْ ا ْع ِدلُــوا ْ ُهـ َو أَقْـ َر ُب لِلتَّ ْقـ َوى َواتَّ ُقــوا ْ اللّـ َه إِ َّن اللّـ َه َخ ِبـ ٌر بِ َــا ت َ ْع َملُــو َن‬
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang
yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran)
yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku
tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8)
Maksud dari ayat ini adalah jadilah kalian sebagai penegak kebenaran karena Allah
Swt. bukan karena manusia atau mencari popularitas. Menjadi “saksi yang adil”
menegakkan keadilan, bukan kezhaliman. Janganlah sekali-kali kalian biarkan

3 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz 8, hlm. 27

MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT 99


perasaan benci terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil
kepada mereka, tetapi tegakanlah keadilan kepada setiap orang. Karena adil lebih
dekat dengan takwa.4
Merujuk pada penafsiran para ulama, i’tidal adalah memegang teguh kebenaran,
menegakkanya, bukan karena pertimbangan manusia dan harga diri, dan menolak
segala bentuk kezhaliman. Seorang muslim yang berprinsip i’tidal tidak akan
mengompromikan antara haq dengan bathil, Islam dengan sekularisme.
Keempat, konsep tasamuh (toleran). Tasamuh dimaknai oleh penggagasnya dengan
menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup
yang tidak sama, namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan
yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Mengacu pada
definisi tersebut, maka sebenarnya sikap toleran ini tidaklah bebas tanpa batas.
Harus ada batasan, prinsip dan kaidah yang jelas, sehingga tidak menjadi liar dan
disalahgunakan. Bahkan bisa menjelama menjadi ide yang sangat berbahaya seperti
apa yang dinamakan dengan “toleransi beragama”.
Tasamuh semata ada dalam merespon perbedaan (ikhtilaf) fiqih di kalangan ulama
mu’tabar (yang otoritatif). Itu juga terjadi pada ikhtilaf yang mu’tabarah maqbulah
(diakui dan diterima). Mana saja perbedaan pendapat yang terkategori ikhtilaf dan
yang bukan, ada kaidah dan prinsipnya. Mana saja ikhtilaf yang mu’tabarah maqbulah
dan yang tidak dianggap dan tidak diterima, juga ada ada kaidah dan prinsipnya.
Adapun dalam masalah keyakinan (aqidah) dan hukum syara’ yang bersifat pasti
(qath’i) tidak boleh dibangun sikap Tasamuh. Termasuk tidak boleh toleran dengan
kemunkaran. Hal itu dijelaskan dalam banyak hadits Nabi terkait dengan perintah
mengubah kemunkaran.
Adapun firman Allah Swt.,
‫ُول لَ ُه قَ ْوالً لَّيِّناً لَّ َعلَّ ُه يَتَ َذكَّ ُر أَ ْو يَخ َْش‬
َ ‫فَق‬
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa As dan Nabi Harun As) kepadanya
(Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan
takut.” (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah Swt. kepada Nabi Musa As. dan Nabi Harun
As. agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Bukan mengakui prinsip atau
keyakinan Fir’aun. Tetapi semata terkait dengan cara penyampaian dakwah yang baik
dan tepat sasaran, Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menjabarkan ayat ini mengatakan,
"Sesungguhnya dakwah Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. kepada Fir'aun adalah
menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu
dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaidah".5
4 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz 3, hlm. 61
5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, juz III, hlm. 206
100 9 Topik Keumatan
Apa yang dibawa oleh Nabi Musa As. dan Nabi harun As. adalah membawa ayat-ayat
Allah, yaitu membawa hujjah, bukti dan mu’jizat dari Allah Swt. (Lihat QS. Thaha:
42). Karena Fur’aun telah melampaui batas, yaitu membangkang, berlaku sewenang-
wenang dan durhaka kepada Allah. (Lihat QS. Thaha: 43).

Rahmatan lil ‘Alamin


Istilah Islam yang rahmatan lil ‘alamin ketika dimaknai apa adanya sebagaimana
apa yang dipahami oleh para ulama, maka bertolak belakang dengan prinsip Islam
Nusantara. Islam Rahmatan lil ‘Alamin bersifat global, sedangkan Islam Nusantara
bersifat lokal. Islam Rahmatan lil ‘Alamin mengharuskan penerapan Islam secara
total, sedangkan Islam Nusantara justru seiring dengan gerakan sekularisasi di
dunia Islam. Islam Rahmatan lil ‘Alamin mengharuskan fakta/tradisi/budaya tunduk
pada Islam, sedangkan Islam Nusantara mengharuskan Islam sesuai dengan adat/
tradisi/budaya yang ada. Begitulah seterusnya. Adapun jika rahmatan lil ‘alamin
dimaknai sebatas kasih sayang dan ramah, selain rawan disalahpahami, juga bentuk
pengerdilan terhadap sesuatu yang agung.
Allah Swt. Berfirman,
‫َو َما أَ ْر َسلْ َن َاك إِ َّل َر ْح َم ًة لِلْ َعالَ ِم َني‬
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi
‎semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Merujuk penjelasan Syaikh Nawawi Banten, “Tidaklah Kami utus engkau wahai
makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan, melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh alam, dalam rangkan rahmat Kami bagi seluruh alam dalam agama
maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan."6
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni memberikan catatan: “Allah Swt. tidak berfirman
wa ma arsalnaka illa rahmatan lil mukminin, tetapi ..lil ‘alamin, sebab Allah Swt.
menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad Saw. Kenapa
demikian? Sebab, dia Saw. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan
yang besar, keselamatan dari kesengsaraan tiada tara, dan mereka mendapatkan
dari tangannya kebaikan yang banyak baik dunia maupun akhirat, dia mengajarkan
mereka setelah kebodohan mereka, dan memberikan petunjuk atas kesesatan mereka,
dan itulah rahmat bagi seluruh alam.”7
Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘alamin itu terwujud dalam
realitas kehidupan ketika Nabi Muhammad Saw. mengimplementasikan seluruh
risalah yang dia bawa sebagai Rasul utusan Allah Swt. Rahmat bagi seluruh alam itu
akan muncul manakala kaum muslim mengimplementasikan apa yang telah beliau

6 Nawawi al-Jawi, Tafsir Marah Labid, juz II, hlm. 47


7 Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, juz II, hlm. 253

MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK ISLAM NUSANTARA 101


bawa, yakni risalah syariah Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman. Oleh
kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi syariah Islam dan upaya menghambat
serta menentang diterapkannya syariah Islam pada hakikatnya adalah menutup diri
dan mengahalangi rahmat bagi seluruh alam.

Kesantunan
Islam yang santun jika yang dimaksudkan adalah perintah sopan santun pada
pemeluknya adalah ajaran Islam, bukan ajaran Islam Nusantara atau Islam Arab
kalau ada. Perintah agar muslim menjadi perilaku dan akhlaknya tersebar dalam
bayak ayat al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi keliru jika ini kemudian dimonopoli oleh
kelompok masyarakat muslim tertentu. Adapun terkait dengan karakter personal,
maka itu sangat dipengaruhi oleh budaya dimana seorang muslim dilahirkan dan
dibesarkan. Sama sekali tidak berkaitan dengan konsep kesantunan, kecuali hanya
kesan karena ekspresi sikap seseorang dalam perilaku. Muslim yang tinggal di Jawa,
Sumatera dan Sulawesi akan menampilkan pembawaan sikap yang berbeda.
Berkaitan dengan santun dan berbuat baik, Islam sudah memiliki prinsip yang jelas
dan tegas, sebagaimana dalam firman Allah Swt.,
‫ُشكُــوا ِبـ ِه شَ ـيْئًا َوبِالْ َوالِ َديْــنِ إِ ْح َســانًا َو ِبـ ِـذي الْ ُقـ ْر َب َوالْيَتَا َمــى َوالْ َم َســاكِ ِني‬ ِ ْ ‫َوا ْعبُـ ُدوا اللَّـ َه َولَ ت‬
‫ـب‬ِ ‫َوالْ َجــا ِر ِذي الْ ُقـ ْر َب َوالْ َجــا ِر الْ ُج ُنـ‬
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.”
(QS. An Nisa: 36).
Rasulullah Saw. juga berpesan,
ِ ‫َم ْن كَا َن يُ ْؤ ِم ُن بِاللَّ ِه َوالْيَ ْو ِم‬
‫اآلخ ِر فَلْيُ ْك ِر ْم َجا َر ُه‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia
memuliakan tetangganya” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Selain kesantunan, ajaran Islam juga memerintahkan bersikap keras pada
kemunkaran dan kekafiran. Kapan harus lemah lembut dan berkasih sayang, dan
kapan harus bersikap keras (Lihat QS. Al-Fath: 29).

Ukhuwah Wathaniyah dan Insaniyah


Islam memerintahkan setiap muslim untuk mengokohkan ikatan ukhuwah Islamiyah.
Ukhuwah Islamiyah berarti persaudaraan berdasarkan Islam. Dapat juga dipahami
bahwa ukhuwah Islamiyah merupakan suatu ikatan akidah yang dapat menyatukan
hati semua umat Islam, walaupun tanah tumpah darah mereka berjauhan, bahasa
dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu di umat Islam senantiasa
102 9 Topik Keumatan
terikat antara satu dengan lainnya, membentuk suatu bangunan umat yang kokoh. 8
Jadi yang dikehendaki bukan ukhuwah yang bersifat lokal promordial (wathaniyah).
Ukhuwah semacam itu sangat rapuh, karena landasannya bukan aqidah Islam.
Padahal Nabi Saw. bersabda dengan peringatan yang keras,
‫َو َم ْن قُ ِت َل تَ ْح َت َرايَ ٍة ُع ِّميَّ ٍة يَغْضَ ُب لِلْ َع َصبَ ِة َويُقَاتِ ُل لِلْ َع َصبَ ِة فَلَيْ َس ِم ْن أُ َّم ِتى‬
“Barangsiapa terbunuh di bawah (membela) bendera ashabiyah (fanatisme
kebangsaan), balas dendam karena ashabiyah, dan berperang karena ashabiyah,
maka dia tidak termasuk dari umatku.” (HR. Muslim)
Adapun apa yang dinamakan ukhuwah insaniyah atau persaudaraan yang didasarkan
atas dasar persamaan sebagai manusia adalah perkara yang masih belum jelas
arah dan maksudnya. Jika yang dimaksud adalah penghormatan atas kemanusiaan
seseorang, maka hal tersebut adalah perkara yang seharusnya. Begitulah juga ajaran
Islam. Bahkan Allah memerintahkan kita memberikan kasih sayang kepada apapun
yang ada di bumi itu, bukan hanya manusia. Rasulullah bersabda,
‫الس َم ِء‬
َّ ‫اح ُمو َن يَ ْر َح ُم ُه ُم ال َّر ْح َم ُن ا ْر َح ُموا من يف األَ ْر ِض يَ ْر َح ْم ُك ْم َم ْن ِف‬
ِ ‫ال َّر‬
“Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh ar-Rahman (Allah). Berkasih
sayanglah kepada siapapun yang ada di bumi, niscaya Yang di Langit akan mengasihi
kalian.” (HR. Tirmidzi)
Tetapi jika yang dimaksud adalah persaudaraan universal tanpa memperhatikan
keyakinan dan sikap orang kafir terhadap Islam dan kaum muslim, jelas ini adalah
ide berbahaya. Paham ini akan melahirkan sikap welas asih meski kepada kafir
penjajah yang memerangi umat Islam, senantiasa berbaik sangka (husn al-zhan)
kepada semua rencana mereka kepada umat Islam, bahkan lebih jauhnya lagi adalah
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dan teman setia.

Penutup
Dengan demikian, jelasnya bahwa gagasan-gagasan pokok Islam Nusantara sangat
bias, tanpa disertai dhawabith dan qawa’id yang baku, dan rawan disalahgunakan.
Hal tersebut makin menguatkan bukti bahwa istilah gagasan Islam Nusantara masih
belum menemukan definisi yang konsisten. Begitu pula secara metodologi, gagasan
Islam Nusantara cacat sejak awal kemunculannya. Jika secara rumusan istilahnya
masih menyisakan problem serius dan gagasan-gagasan pokoknya masih bias,
lantas untuk apa masih mempertahankan istilah Islam Nusantara? Bukankah Allah
Swt. telah menegaskan akan kesempurnaan Islam? (Lihat QS. Al-Mâidah: 3). Wallahu
a’lam. []

8 Musthafa al-Qudhat, Mabda’ al-Ukhuwah fi al-Islam, hlm. 14

MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK ISLAM NUSANTARA 103


104 9 Topik Keumatan
7 POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG
MIGAS MENURUT HADITS NABI

Politik Ekonomi Migas di Indonesia


Regulasi Migas di Indonesia adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi. Sebelumnya, adalah Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
UU ini telah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut
para pemohon materi Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945,
terutama pasal 33. Ayat (2) dan (3) pasal ini menyebutkan bahwa Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebenarnya pasca-amandemen, pada pasal 33 ini mendapat dua tambahan ayat.
Yakni ayat 4 berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Sementara tambahan ayat 5 berbunyi:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-
undang.” Tambahan pasal ini membuka ruang Kerjasama dengan swasta.
Alasan lainnya adalah UU Migas kental pengaruh asing sebagaimana terlihat dari
adanya (dugaan) aliran dana Rp. 200 miliar dari USAID dalam bentuk reformasi
sektor energi ke berbagai pihak di Indonesia1. Perubahan ditujukan pada sejumlah
pasal krusial yang dinilai bermasalah. Pasal-pasal dimaksud adalah (i) Pasal 8 ayat
(1); (ii) Pasal 11 ayat (2); (iii) Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3); (iv) Pasal 14 ayat (1); (v)
Pasal 22 ayat (1); dan (vi) Pasal 28 ayat (2).
Upaya merevisi UU tersebut juga jalan di tempat. Walaupun revisi sudah masuk
ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2010 lalu, sampai saat ini
perkembangan revisi belum menunjukkan arah yang jelas.

1 Republika, 4 September 2008

POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI 105


Di dalam UU Migas, pembinaan dan pengawasan hulu migas berpindah tangan
dari PT Pertamina (Persero) ke badan lain. Termasuk, kewenangan Pertamina
sebelumnya yang bisa mengikat kontrak dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) pun harus lenyap.
Setahun kemudian, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
yang menjadi cikal bakal BP Migas. Hanya saja, selang beberapa tahun berlalu,
keberadaan BP Migas dipertanyakan. Banyak pihak menggugat kehadiran BP Migas
ke MK karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kehadiran BP Migas
dianggap pro asing dan tidak mengutamakan kedaulatan negara. Permohonan ini
dikabulkan MK.
Untuk menggantikan BP Migas, Presiden SBY melalui Peraturan Presiden Nomor 9
Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi membentuk SKK Migas.
UU Nomor No 22 Tahun 2001 Tentang Migas sedianya sudah tak lagi utuh. Compang-
camping lantaran beberapa pasal sudah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK).
Sedianya sudah empat kali MK menerbitkan putusan judicial review UU Migas. 2

Bagian 1: Hadits tentang Barang yang Menjadi


Hajat Hidup Orang Banyak
Teks Hadits

َ ُ ‫ « الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن‬-‫صــى اللــه عليــه وســلم‬- ‫ـول اللَّ ـ ِه‬
‫شكَا ُء ِف‬ ُ ‫ـال َر ُسـ‬ َ ‫ـال قَـ‬ َ ‫ـاس قَـ‬ ٍ ‫َعــنِ ابْــنِ َع َّبـ‬
‫» �ث َـا ٍَث ِف الْـ َـا ِء َوالْ ـ َك ِإل َوال َّنــا ِر َوثَ َ ُن ـ ُه َح ـ َرا ٌم‬
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang
rumput, dan api. Dan harganya adalah haram. (HR. Ibn Majah)
Takhrij
Posisinya dalam kitab induk hadits, diantaranya:
11105( :‫) برقم‬80 / 11( "‫) والطرباين يف "الكبري‬2472( :‫) برقم‬528 / 3( "‫)أخرجه ابن ماجه يف "سننه‬
Syawahid:
‫ وحديث ثور بن يزيد الكالعي‬،‫وله شواهد من حديث أحد الصحابة‬
‫) وأحمــد‬3477( :‫) برقــم‬295 / 3( "‫ أخرجــه أبــو داود يف "ســننه‬،‫فأمــا حديــث أحــد الصحابــة‬
:‫) برقــم‬669 / 11( "‫) وابــن أيب شــيبة يف "مصنفــه‬23551( :‫) برقــم‬5475 / 10( "‫يف "مســنده‬
2 https://www.portonews.com/2019/laporan-utama/basa-basi-revisi-uu-migas/
106 9 Topik Keumatan
11952( :‫) برقم‬150 / 6( ، )11950( :‫) برقــم‬150 / 6( "‫) والبيهقــي يف "ســننه الكبــر‬23655()
:‫) برقــم‬150 / 6( "‫ أخرجــه البيهقــي يف "ســننه الكبــر‬،‫وأمــا حديــث ثــور بــن يزيــد الكالعــي‬
11951()
Kedudukan:
Hadits dengan sanadnya yang shahih adalah hadits yang pada matannya tanpa
redaksi “wa tsamanuhu haramun”. Namun demikian hadits ini secara makna maqbul
dan bisa dikategorikan hasan karena diterima para ulama dan digunakan para
fuqaha’.
Kritik Sanad (Naqd al-Sanad)
(1) Sanad hadits ini muttashil (bersambung);
(2) Pada hadits riwayat Ibnu Majah dan al-Thabarani dari Ibnu Abbas ada rawi
yang dhaif, yakni Abdullah bin Khirasyi. Abu Hatim, al-Bukhari, Abu Zur’ah dll,
menilainya dhaif,
‫ قد ضعفه أبو زرعة والبخاري وغريهام‬. ‫يف الزوائد عبد الله يب خراش‬
Adapun hadits lain riwayat Abu Daud dan yang lainnya dari seorang shahabat
adalah maqbul (haditsnya shahih). Semua rawinya tsiqah. Riwayat tersebut
tanpa redaksi, “wa tsamanuhu haramun”. Ziyadah tsb munkar (sehingga dhaif),
namun maknanya bisa diterima (maqbul);
(3) Sanad hadits yang shahih adalah riwayat Abu Daud, dll dari salah seorang
shahabat. Semua rawinya tsiqah. Mubhamnya shahabat (tidak diketahui
namanya) tidak memadharatkan hadits karena semua shahabat adalah adil;
(4) Madar sanad hadits dari jalur Ibnu Abbas adalah pada Abdullah bin Khirasyi.
Adapun madar sanad hadits dari jalur “salah seorang shahabat” adalah pada
Hariz bin Utsman.
Diantara penilaian para ulama terhadap rawi bernama Abdullah bin Khirasyi:
- ‫ نصــب الرايــة ألحاديــث‬.‫فيــه عبــد اللــه بــن خـراش قــال فيــه أبــو حاتــم ذاهــب الحديــث‬
294 / 4( :‫)الهدايــة‬
- 294 / 4( :‫ نصب الراية ألحاديث الهداية‬.‫)فيه عبد الله بن خراش ضعفه أبو زرعة‬
- ‫عبــد اللــه بــن خـراش قــد ضعفــه أبــو زرعــة والبخــاري وغريهــا وقــال محمــد بــن عــار‬
91 / 2( :‫ حاشــية الســندي عــى بــن ماجــه‬.‫)املوصــي كــذاب‬
َّ ‫َوقَ ـ ْد َص َّح َح ـ ُه ابْ ـ ُن‬
- / 3( :‫ التلخيــص الحبــر يف تخريــج أحاديــث الرافعــي الكبــر‬. ِ‫الس ـكَن‬
143)
POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI 107
‫فيــه عبــد اللــه بــن خ ـراش قــال فيــه أبــو حاتــم ذاهــب الحديــث وأقــره ابــن القطــان ‪-‬‬
‫)عليــه‪ .‬نصــب الرايــة ألحاديــث الهدايــة‪294 / 4( :‬‬
‫َهـذَا طَرِيــق ضَ ِعيــف‪ .‬البــدر املنــر يف تخريــج األحاديــث واآلثــار الواقعــة يف الــرح الكبــر‪- :‬‬
‫)(‪76 / 7‬‬
‫عبــد اللــه بــن خـراش ال أعلــم أنــه يــروي عــن غــر العــوام أحاديــث وعامــة مــا يرويــه غــر ‪-‬‬
‫)محفــوظ‪ .‬الكامــل يف الضعفــاء‪347 / 5( :‬‬
‫ـال الْبُ َخــار ُِّي‪ :‬عبــد اللــه بــن خ ـراش عــن العــوام بــن حوشــب منكــر الحديــث‪ .‬نصــب ‪-‬‬ ‫قَـ َ‬
‫)الرايــة ألحاديــث الهدايــة‪294 / 4( :‬‬
‫)‪Kritik Matan (Naqd al-Matn‬‬
‫‪(1) Matan hadits ini mengandung hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-‬‬
‫;‪Quran‬‬
‫;‪(2) Matan hadits ini selaras dengan banyak Hadits shahih‬‬
‫‪(3) Lafazhnya menunjukkan keagungan pemilik kalamnya yakni Sayyiduna‬‬
‫;‪Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam‬‬
‫‪(4) Berdasarkan data takhrijnya, matan hadits ada perbedaan redaksi, yakni‬‬
‫‪tambahan “wa tsamanuhu haramun” pada riwayat Ibnu Majah dan al-Thabarani‬‬
‫‪dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Jalur inilah yang mendapatkan catatan‬‬
‫‪kritik, sedangkan jalur yang lainnya shahih. Secara keseluruhan, hadits ini layak‬‬
‫‪dijadikan sebagai hujjah.‬‬
‫‪Perbandingan Matan‬‬
‫ـى ‪-‬صــى اللــه عليــه ‪-‬‬ ‫ـال َغـ َز ْوتُ َمـ َع ال َّن ِبـ ِّ‬ ‫ـى ‪-‬صــى اللــه عليــه وســلم‪ -‬قَـ َ‬ ‫ِمـ ْن أَ ْص َحـ ِ‬
‫ـاب ال َّن ِبـ ِّ‬
‫شكَا ُء ِف �ث َـا ٍَث ِف الْ ـ َك ِإل َوالْـ َـا ِء َوال َّنــا ِر »‪ .‬ســنن‬ ‫ـول « الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ‬ ‫وســلم‪� -‬ثَالَثًــا أَ ْس ـ َم ُع ُه يَ ُقـ ُ‬
‫)أىب داود (‪306 /10‬‬
‫شكَا ُء ِف ‪-‬‬‫ـول اللَّـ ِه ‪-‬صــى اللــه عليــه وســلم‪ « -‬الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ‬ ‫ـال َر ُسـ ُ‬ ‫ـال قَـ َ‬ ‫ـاس قَـ َ‬ ‫َعــنِ ابْــنِ َع َّبـ ٍ‬
‫)�ث َـا ٍَث ِف الْـ َـا ِء َوالْـ َك ِإل َوال َّنــا ِر َوثَ َ ُنـ ُه َحـ َرا ٌم »‪ .‬ســنن ابــن ماجــه (‪439 /7‬‬
‫ـول اللَّ ـ ِه ‪-‬صــى ‪-‬‬ ‫ـال َر ُسـ ُ‬ ‫ـال قَـ َ‬ ‫ـى ‪-‬صــى اللــه عليــه وســلم‪ -‬قَـ َ‬ ‫َع ـ ْن َر ُجــلٍ ِم ـ ْن أَ ْص َحـ ِ‬
‫ـاب ال َّن ِبـ ِّ‬
‫شكَا ُء ِف �ث َـا ٍَث ِف الْـ َـا ِء َوالْ ـ َك ِإل َوال َّنــا ِر »‪ .‬مســند أحمــد‬ ‫اللــه عليــه وســلم‪ « -‬الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ‬
‫)(‪290 /50‬‬
‫ـى ‪-‬صــى اللــه عليــه وســلم‪ -‬قَـ َ‬
‫ـال ‪- :‬‬ ‫أَنَّ ـ ُه َس ـ ِم َع َر ُج ـاً ِم ـ َن الْ ُم َها ِجرِي ـ َن ِم ـ ْن أَ ْص َحـ ِ‬
‫ـاب ال َّن ِبـ ِّ‬
‫ـول ‪ «:‬الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ‬
‫شكَا ُء ِف‬ ‫ـى ‪-‬صــى اللــه عليــه وســلم‪� -‬ثَالَثًــا أَ ْس ـ َم ُع ُه يَ ُقـ ُ‬ ‫َغ ـ َز ْوتُ َم ـ َع ال َّن ِبـ ِّ‬
‫)�ث َـا ٍَث الْـ َـا ِء َوالْ ـ َك ِإل َوال َّنــا ِر » ســنن البيهقــى (‪194 /2‬‬
‫‪108 9 Topik Keumatan‬‬
‫شكَا ُء ‪-‬‬ ‫ـي ‪َ -‬صـ َّـى اللـ ُه َعلَ ْيـ ِه َو َسـلَّ َم ‪ -‬قَـ َ‬
‫ـال ‪ " :‬الْ ُم ْسـلِ ُمو َن ُ َ‬ ‫َعـ ْن ثَـ ْو ِر بْــنِ يَزِيـ َد يَ ْرفَ ُعـ ُه إِ َل ال َّن ِبـ ِّ‬
‫ِف الْ ـك َ َِل َوالْـ َـا ِء َوال َّنــا ِر ‪ .‬أَ ْر َس ـلَ ُه الثَّ ـ ْور ُِّي َع ـ ْن ث َ ـ ْو ٍر ‪َ ،‬وإِنَّ َــا أَ َخ ـ َذ ُه ث َ ـ ْو ٌر َع ـ ْن َحرِي ـ ٍز ‪ .‬ســنن‬
‫)البيهقــي الكــرى (‪150 /6‬‬
‫)‪Syarah (Penjelasan‬‬
‫املســلمون رشكاء يف ثــاث ) مــن الخصــال قــال البيضــاوي ‪ :‬ملــا كان األســاء الثالثــة يف (‬
‫معنــى الجمــع انتهــى بهــذا االعتبــار فقــال يف ثــاث ( يف الــكأل ) الــذي ينبــت يف املــوات فــا‬
‫يختــص بــه أحــد ( واملــاء ) أي مــاء الســاء والعيــون واألنهــار التــي ال مالــك لهــا ( والنــار‬
‫) يعنــي الحطــب الــذي يحتطبــه النــاس مــن الشــجر املبــاح فيوقدونــه أو الحجــارة التــي‬
‫تــوري النــار ويقــدح بهــا إذا كانــت يف مــوات أو هــو عــى ظاهــره قــال البيضــاوي ‪ :‬امل ـراد‬
‫مــن االش ـراك يف النــار أنــه ال مينــع مــن اإلســتصباح منهــا [ ص ‪ ] 272‬واإلســتضاءة بضوئهــا‬
‫لكــن للموقــد أن مينــع أخــذ جــذوة منهــا ألنــه ينتقصهــا ويــؤدي إىل إطفائهــا‪ .‬فيــض القديــر‬
‫)(‪271 /6‬‬
‫املســلمون رشكاء يف ثــاث ) مــن الخصــال ( يف الــكال ) النابــت يف املــوات فــا يختــص بــه (‬
‫أحــد ( واملــاء ) أي مــاء الســاء والعيــون واالنهــار التــي ال مالــك لهــا ( والنــار ) يعنــي الشــجر‬
‫الــذي يتحطبــه النــاس مــن املبــاح فيوقدونــه والحجــارة التــي يقــدح بهــا‪ .‬التيســر بــرح‬
‫)الجامــع الصغــر ـ للمنــاوى (‪884 /2‬‬
‫قــال رســول اللــه صــى اللــه عليــه وســلم «املســلمون رشكاء يف ثــاث يف املــاء والــكأل والنــار»‬
‫ورواه أنــس مــن حديــث ابــن عبــاس وزاد فيــه‪« :‬ومثنــه ح ـرام»‪ .‬ومــا روي عــن أيب هريــرة‬
‫أن النبــي صــى اللــه عليــه وســلم قــال‪« :‬ال مينــع املــاء والنــار والــكأل»‪ .‬فهــذا الحديــث بـ ّـن‬
‫أن هــذه األشــياء ملــك عــام‪ .‬إال أن القرائــن الرشعيــة املتعلقــة بهــذا املوضــوع تــري أن هــذه‬
‫األشــياء قــد جعلــت ملكيــة عامــة لصفــة معينــة فيهــا تســتوجب ذلــك‪ .‬وليــس إيرادهــا‬
‫يف الحديــث ثالثــة مــن قبيــل تحديــد عددهــا‪ ،‬بدليــل أن الرســول صــى اللــه عليــه وســلم‬
‫أبــاح للنــاس امتــاك املــاء ملكيــة فرديــة يف الطائــف وخيــر‪ .‬فقــد ملكــوا املــاء ملكيــة‬
‫فرديــة واختصــوا بــه لســقي زرعهــم وبســاتينهم‪ ،‬وهــذا يــدل عــى أن الرشكــة يف املــاء هــي‬
‫مــن حيــث صفتــه ال مــن هــو مــاء‪ ،‬أي مــن حيــث كونــه مــن مرافــق الجامعــة‪ .‬السياســة‬
‫)االقتصاديــة املثــى (ص‪67 :‬‬
‫املســلمون رشكاء يف ثــاث‪ :‬املــاء والــكأل والنــار)‪ ،‬وثبــت عنــه صــى اللــه عليــه وســلم أنــه(‬
‫أقـ ّر أهــل الطائــف وأهــل املدينــة عــى ملكيــة املــاء ملكيــة فرديــة‪ ،‬وفُهــم مــن حــال امليــاه‬
‫التــي ســمح بهــا ملكــة فرديــة أنهــا مل تكــن للجامعــة حاجــة فيهــا‪ ،‬فكانــت علــة كــون النــاس‬

‫‪POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI‬‬ ‫‪109‬‬


‫رشكاء يف الثــاث كونهــا مــن مرافــق الجامعــة‪ ،‬فالدليــل دل عــى حكــم ودل عــى العلــة‪ .‬أي‬
‫دل عــى الحكــم ودل عــى يشء آخــر كان ســبب ترشيــع الحكــم فاس ـتُنبطت منــه قاعــدة‬
‫"كل مــا كان مــن مرافــق الجامعــة كان ملكيــة عامــة"‪ .‬وهكــذا جميــع القواعــد الكليــة‪.‬‬
‫)الشــخصية اإلســامية الجــزء الثالــث (‪466 /1‬‬
‫ويف هــذا دليــل عــى أن النــاس رشكــة يف املــاء والــكأل والنــار‪ ،‬وأن الفــرد ُينــع مــن ملكيتهــا‪.‬‬
‫إالّ أن املال َحــظ أن الحديــث ذكرهــا ثالثــاً وهــي أســاء جامــدة ومل ت َــرِد ِعلّــة للحديــث‪.‬‬
‫فالحديــث مل يتضمــن علــة‪ ،‬وهــذا يوهــم أن هــذه األشــياء الثالثــة هــي التــي تكــون ملكيــة‬
‫عامــة ال وصفهــا مــن حيــث االحتيــاج إليهــا‪ .‬ولكــن املدقــق يجــد أن الرســول صــى اللــه عليه‬
‫وســلم أبــاح املــاء يف الطائــف وخيــر لألفـراد أن ميتلكــوه‪ ،‬وامتلكــوه بالفعــل لســقي زروعهــم‬
‫وبســاتينهم‪ ،‬فلــو كانــت الرشكــة للــاء مــن حيــث هــو ال مــن حيــث صفــة االحتيــاج إليــه‬
‫لَــا ســمح لألفـراد أن ميتلكــوه‪ .‬فمــن قــول الرســول‪{ :‬املســلمون رشكاء يف ثــاث‪ :‬املــاء‪ }...‬الــخ‪،‬‬
‫ومــن إباحتــه عليــه الســام لألفـراد أن ميتلكــوا تُســتنبَط علــة الرشاكــة يف املــاء والــكأل والنــار‪،‬‬
‫وهــي كونــه مــن مرافــق الجامعــة التــي ال تســتغني عنهــا الجامعــة‪ .‬فيكــون الحديــث َذكَــر‬
‫الثــاث ولكنهــا معلَّلــة لكونهــا مــن مرافــق الجامعــة‪ .‬وعــى ذلــك فــإن هــذه العلــة تــدور‬
‫مــع املعلــول وجــودا ً وعدم ـاً‪ .‬فــكل يشء يتحقــق فيــه كونــه مــن مرافــق الجامعــة يعتــر‬
‫ملــكاً عامـاً ســواء أكان املــاء والــكأل والنــار أم ال‪ ،‬أي مــا ذُكــر يف الحديــث ومــا مل يُذكــر‪ .‬وإذا‬
‫فقــد كونــه مــن مرافــق الجامعــة ولــو كان قــد ذُكــر يف الحديــث كاملــاء فإنــه ال يكــون ملــكاً‬
‫عام ـاً بــل يكــون مــن األعيــان التــي تُ لــك ملــكاً فردي ـاً‪ .‬النظــام اإلقتصــادي يف اإلســام (ص‪:‬‬
‫)‪201‬‬
‫املســلمون رشكاء يف ثــاث‪ :‬يف املــاء والــكأل والنــار)‪ ،‬فاإلمــام يعطيهــا لجميــع املســلمني(‬
‫محتاج ـاً وغــر محتــاج‪ ،‬وليســت هــي موكولــة لــرأي اإلمــام يرصفهــا برأيــه واجتهــاده‪ ،‬بــل‬
‫هــي لعامــة املســلمني‪ .‬ولذلــك توضــع يف بــاب وحدهــا‪ ،‬ألن مــا ُجعــل مرصفــه موكــوالً لــرأي‬
‫اإلمــام واجتهــاده هــو املــوارد الثابتــة كالجزيــة والخـراج والفــيء والرضائــب التــي ت ُجمــع من‬
‫املســلمني وهــو مــا يدخــل تحــت ملكيــة الدولــة‪ ،‬أ ّمــا مــا هــو لجميــع املســلمني فإنــه يُــرف‬
‫لجميــع املســلمني فيعطــى املحتــاج وغــر املحتــاج‪ ،‬إالّ أن مقــدار مــا يعطــى ال يشــرط أن‬
‫يكــون متســاوياً فــإن هــذا راجــع لــرأي اإلمــام يف املقــدار فقــط ال يف التوزيــع‪ ،‬وذلــك ألن أبــا‬
‫بكــر اجتهــد فأعطــى النــاس بالتســاوي‪ ،‬وعمــر اجتهــد فأعطــى النــاس بالتفاضــل‪ ،‬واجتهــاد‬
‫كل منهــا حكــم رشعــي يصــح تقليــده‪ ،‬وألن مــا هــو داخــل يف امللكيــة العامــة كاملــاء مثـاً‬
‫يأخــذه النــاس بالتفاضــل حســب حاجتهــم ال بالتســاوي‪ ،‬فللخليفــة أن يعطــي بالتســاوي ولــه‬

‫‪110 9 Topik Keumatan‬‬


‫ ولكــن ليــس لــه أن يرصفــه برأيــه بــل مرصفــه معــن بالــرع وهــو‬،‫أن يعطــي بالتفاضــل‬
365 :‫ مقدمــة الدســتور (ص‬.‫)لجميــع املســلمني‬
Dengan demikian, hadits ini menjelaskan barang-barang yang terkategori
kepemilikan umum, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi tidak
terbatas pada tiga jenis barang yang disebutkan dalam hadits tersebut. Alasannya
karena Rasulullah pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar kepada
seseorang, dimana air tersebut tidak menjadi tempat bergantung masyarakat.
Sifat ketiga jenis barang tersebut ketika merupakan marafiq al-jama’ah (suatu
yang dibutuhkan publik atau merupakan fasilitas publik), maka termasuk dalam
kepemilikan umum.
Kenyataan Rasulullah pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar
mengindikasikan bahwa hadits berserikatnya umat Islam pada tiga jenis barang
tersebut menunjukkan adalanya illat larangan penguasaan atas ketiga jenis barang
tersebut. Illat adalah barang tersebut sebagai marafiq al-jamaah. Dari sini lahirlah
kaidah kulliyyah,
‫كل ما كان من مرافق الجامعة كان ملكية عامة‬
“Setiap apa yang keberadaannya dibutuhkan publik, maka ia adalah kepemilikan
umum”.
Berdasarkan kaidah ً‫ العلــة تــدور مــع املعلــول وجــودا ً وعدمــا‬maka ada atau tidak adanya hukum
tergantung pada illatnya. Artinya semua yang terkategori barang yang dibutuhkan
publik (marafiq al-jama’ah), maka keberadaannya sebagai kepemilikan umum,
apakah barang tersebut air, hutan, api, atau yang lainnya. Sebaliknya, jika tidak
terkategiri marafiq al-jama’ah, meskipun tercantum dalam hadits tersebut, maka
boleh dimiliki oleh individu.
Barang yang termasuk kepemilikan umum dikelola oleh negara untuk kepentingan
publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga
tertentu yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat, karena negara hanya mewakili
umat untuk mengelola barang tersebut. Hal ini berbeda dengan kepemilikan negara,
dimana khalifah memiliki kewenangan berdasarkan ijtihadnya dalam pengelolaan
dan pendistribuasian barang milik negara.
Contoh barang yang termasuk kepemilikan umum selain air, padang rumput
(termasuk hutan), dan api (energi), adalah berbagai bentuk energi seperti minyak
dan gas, listrik, juga termasuk sarana transportasi publik, fasilitas kesehatan, dll.
Minyak dan gas ketika keduanya sebagai barang yang dibutuhkan publik (artinya
sebagai marafiq al-jama’ah), maka keduanya adalah barang miliki umat. Haram
dimiliki individu (privatisasi), baik swasta asing maupun dalam negeri.

POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI 111


Ketika minyak dan gas juga sebagai barang tambang yang depositnya melimpah,
maka juga termasuk dalam bahasan hadits barang tambang dari riwayat Abyadh bin
Hammal, sehingga keberadaannya juga sebagai kepemilikan umum.
Dalam hal ini, posisi penguasa adalah sebagai pengelola, bukan sebagai pemilik. Maka
pos pemasukan dan pengeluaran dari sumber kepemilikan umum ini menempati pos
tersendiri di Batul Mal. Semuanya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan
masyarakat.

Bagian 2: Hadits tentang Tambang Garam


Teks Hadits
‫ـح‬َ ‫ ف َْاسـتَ ْقطَ َع ُه الْ ِملْـ‬-‫صــى اللــه عليــه وســلم‬- ‫ـض بْــنِ َحـ َّـا ٍل أَنَّـ ُه َوفَـ َد إِ َل َر ُســو ِل اللَّـ ِه‬ َ ‫َعـ ْن أَبْيَـ‬
‫ـت لَـ ُه‬ َ ‫ـس أَتَـ ْدرِى َمــا قَطَ ْعـ‬
َ ‫ـت لَـ ُه إِنَّ َــا قَطَ ْعـ‬ ِ ‫ـال َر ُجـ ٌـل ِم ـ َن الْ َم ْجلِـ‬ َ ‫فَ َقطَـ َع لَـ ُه فَلَـ َّـا أَ ْن َو َّل قَـ‬
‫ـال فَانْتَ َز َعـ ُه ِم ْنـ ُه‬
َ ‫ قَـ‬.‫الْـ َـا َء الْ ِعـ َّد‬.
“Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
dan meminta beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar memberikan tambang
garam kepadanya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan tambang itu
kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada
di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya?
Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir
(al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin
Hammal)”. (HR. Abu Dawud dan al-Timidzi)
Takhrij
Posisinya dalam kitab induk hadits, diantaranya:
‫أخرجــه ابــن حبــان يف "صحيحــه" والنســايئ يف "الكــرى" وأبــو داود يف "ســننه" والرتمــذي‬
"‫يف "جامعــه" والدارمــي يف "مســنده" وابــن ماجــه يف "ســننه" والبيهقــي يف "ســننه الكبــر‬
‫"والدارقطنــي يف "ســننه" وابــن أيب شــيبة يف "مصنفــه" والط ـراين يف "الكبــر‬
Syawahid:
‫اب َع ْن َوائِلٍ َوأَ ْس َم َء اِبْ َن ِة أَ ِب بَ ْك ٍر‬
ِ ‫َو ِف الْ َب‬
Kedudukan:
Hadits ini maqbul dengan banyaknya jalan (katsrah al-thuruq) karena memenuhi
persyaratan minimal sebagai hadits hasan (dengan beberapa catatan kritik sanad),

ٌ ‫) َح ِديثُ أَبْيَ َض بْنِ َح َّم ٍل َح ِديثٌ َح َس ٌن َغر‬


9 /4( ‫ تحفة األحوذي‬.‫ِيب‬

112 9 Topik Keumatan


‫)‪Kritik Sanad (Naqd al-Sanad‬‬
‫;)‪(1) Sanad hadits ini muttashil (bersambung‬‬
‫‪(2) Secara umum rawinya maqbul. Secara rinci, kriteria rawi beragam mulai tsiqah‬‬
‫‪tsabat, tsiqah, shaduq, wahm, hingga majhul hal. Kelemahan pada beberapa rawi‬‬
‫;‪dikuatkan dengan adanya jalur lain‬‬
‫‪(3) Madar sanad hadits ini pada Syumair dan Sumay bin Qais.‬‬
‫)‪Kritik Matan (Naqd al-Matn‬‬
‫‪(1) Matan hadits ini mengandung hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-‬‬
‫;‪Quran‬‬
‫;‪(2) Matan hadits ini selaras dengan Hadits shahih lainnya‬‬
‫‪(3) Lafazhnya menunjukkan keagungan pemilik kalamnya yakni Sayyiduna‬‬
‫;‪Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam‬‬
‫‪(4) Berdasarkan data takhrijnya, matan-matan hadits tersebut tidak saling‬‬
‫‪bertentangan (bukan hadits mukhtalif).‬‬
‫)‪Syarah (Penjelasan‬‬
‫ـح ) أَ ْي َم ْعـ ِـد َن الْ ِملْ ـ ِح‪( ( .‬‬ ‫َوفَ ـ َد ) أَ ْي قَـ ِـد َم‪ ( .‬اِ ْس ـتَ ْقطَ َع ُه ) أَ ْي َس ـأَلَ ُه أَ ْن يُق ِْط ـ َع إِيَّــا ُه‪ ( .‬الْ ِملْـ َ‬
‫ـح ِب َع َمــلٍ َوكَـ ٍّد‪ ( .‬فَلَـ َّـا أَ ْن‬ ‫فَ َقطَـ َع لَـ ُه ) لِظَ ِّنـ ِه َصـ َّـى اللَّـ ُه َعلَ ْيـ ِه َو َسـلَّ َم أَنَّـ ُه يُ ْخـر َِج ِم ْنـ ُه الْ ِملْـ َ‬
‫ـي َعـ َـى َمــا َذكَـ َر ُه‬ ‫ـس التَّ ِمي ِمـ ُّ‬‫ـس ) ُهـ َو الْ َقْـ َر ُع بْـ ُن َحا ِبـ ٍ‬ ‫ـال َر ُجـ ٌـل ِمـ ْن الْ َم ْجلِـ ِ‬ ‫َو َّل ) أَ ْي أَ ْدبَـ َر‪ ( .‬قَـ َ‬
‫ـن َوت َشْ ـ ِـد ِيد ال ـ َّدا ِل‬ ‫ـاس بْ ـ ُن ِم ـ ْر َد ٍاس‪ ( .‬الْـ َـا َء الْ ِع ـ َّد ) ِب َكـ ْ ِ‬
‫ـر الْ َعـ ْ ِ‬ ‫ـي ‪َ ،‬و ِقيـ َـل إِنَّ ـ ُه الْ َعبَّـ ُ‬ ‫الطِّي ِبـ ُّ‬
‫ُ‬ ‫َ‬
‫)الْ ُم ْه َملَـ ِة ‪ ،‬أ ْي ال َّدائِ ـ ُم الَّـ ِـذي لَ يَ ْنق َِط ـ ُع َوالْ ِع ـ ُّد الْ ُم َه َّي ـأ‪ .‬تحفــة األحــوذي (‪9 /4‬‬
‫ـال (‬ ‫ـن أَ ْي ال َّدائِــم الَّـ ِـذي لَ يَ ْنق َِطــع ‪ .‬قَـ َ‬ ‫ـر الْ َعـ ْـن َوت َشْ ـ ِـديد الـ َّدال الْ ُم ْه َملَتَـ ْ ِ‬ ‫الْـ َـاء الْ ِعـ ّد )‪ِ :‬ب َكـ ْ ِ‬
‫ِف الْقَا ُمــوس ‪ :‬الْـ َـاء الَّـ ِـذي لَ ـ ُه َمــا َّدة لَ تَ ْنق َِطــع كَـ َـا ِء الْ َعـ ْـن ‪َ .‬والْ َمق ُْصــود أَ َّن الْ ِملْــح الَّـ ِـذي‬
‫ـت لَـ ُه ُهـ َو كَالْـ َـا ِء الْ ِعـ ّد ِف ُح ُصولــه ِمـ ْن َغـ ْـر َع َمــل َوكَـ ّد‪ ( .‬فَانْتَـ َز َع )‪ :‬أَ ْي َر ُســول اللَّــه‬ ‫ق ُِط َعـ ْ‬
‫ـال الْ َقــارِي ‪َ :‬و ِم ـ ْن َذلِـ َـك‬ ‫َصـ َّـى اللَّــه َعلَيْ ـ ِه َو َس ـلَّ َم َذلِـ َـك الْ ِملْــح‪ِ ( .‬م ْن ـ ُه )‪ :‬أَ ْي ِم ـ ْن أَبْيَــض ‪.‬قَـ َ‬
‫ـب َو ُم ْؤنَــة‬ ‫شء إِلَّ ِبتَ َعـ ٍ‬ ‫ـت بَ ِاط َنــة لَ يُ َنــال ِم ْن َهــا َ ْ‬ ‫ُعلِـ َم أَ َّن إِقْطَــاع الْ َم َعــا ِدن إِنَّ َــا يَ ُجــوز إِذَا كَانَـ ْ‬
‫ـت ظَا ِهـ َرة يَ ْح ُصــل الْ َمق ُْصــود ِم ْن َهــا‬ ‫ـروزَج َوالْ ِك ْبِيــت َونَ ْحو َهــا َو َمــا كَانَـ ْ‬ ‫كَالْ ِملْـ ِح َوال ِّن ْفــط َوالْ َفـ ْ ُ‬
‫شكَاء كَالْ ـك َ َِل َو ِم َيــاه ْالَ ْو ِديَــة ‪،‬‬ ‫ِم ـ ْن َغـ ْـر كَ ـ ّد َو َص ْن َعــة لَ يَ ُجــوز إِقْطَاع َهــا ‪ ،‬بَـ ْـل ال َّنــاس ِفي َهــا ُ َ‬
‫َوأَ َّن الْ َحاكِــم إِذَا َح َك ـ َم ث ُـ َّم ظَ َه ـ َر أَ َّن الْ َحـ ّـق ِف ِخ َلفــه يُ ْن َقــض ُحكْمــه َويُ ْر َجــع َع ْن ـ ُه اِنْتَ َهــى ‪.‬‬
‫)عــون املعبــود (‪48 /7‬‬

‫‪POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI‬‬ ‫‪113‬‬


Hadits ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah
milik umum. Dan tidak boleh dimiliki oleh individu.3
Karena dalam hadits tersebut beliau shalallahu 'alaihi wa sallam yang menarik
kembali tambang garam yang beliau berikan pada Abyadh bin Hammal ra setelah
beliau mengetahui bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah, maka
tambang garam tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu, dan merupakan milik
kaum muslimin.
Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja –seperti dalam hadits diatas- tapi berlaku
pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan
illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut , yakni “layaknya air yang
mengalir”, maka semua barang tambang jumlahnya “layaknya air yang mengalir”
–depositnya melimpah- tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi).

ِ ‫ َوال ِّن ْفـ‬، ‫ كَالْ َقــا ِر‬، ‫ َوأَ َّمــا الْ َم َعــا ِد ُن الْ َجا ِريَـ ُة‬:‫قــال االمــام ابــن قدامــة املقــديس‬
‫ فَ َهـ ْـل‬، ‫ َوالْـ َـا ِء‬، ‫ـط‬
‫ ص‬/ 12 ‫ (ج‬- ‫ (املغنــي‬....‫ َل َ ْيلِ ُك َهــا‬، ‫َ ْيلِ ُك َهــا َمـ ْن ظَ َهـ َرتْ ِف ِملْ ِكـ ِه ؟ ِفيـ ِه ِر َوايَتَــانِ أَظْ َه ُر ُهـ َـا‬
131)
Imam Ibn Qudamah berkata: adapun barang tambang yang melimpah seperti garam,
minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya
ada dua riwayat dan yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya. (Ibnu Qudamah,
al-Mughni, 131/12)

Bagian 3: Konsep Kepemilikan


ُّ َ َ‫ش ٍء يَ ُك ـ ْو ُن ُمطْلَ ًقــا لِت‬
‫ص ِف ـ ِه ِفيْ ـ ِه‬ َ ْ ‫ـن ا ْ ِإلن َْســانِ َوبَـ‬
ْ َ ‫ـن‬ ٌّ ‫ش ِعـ‬
َ ْ ‫ـي بَـ‬ ْ َ ‫ـال‬ ْ ‫أَلْ ِملْ ِكيَّ ـ ُة‬
ٌ ‫ إِت َِّصـ‬: ‫إص ِطالَ ًحــا‬
‫ـر ِه ِف ْي ـ ِه‬ ُّ َ ‫َو َحا ِج ـ ًزا ِم ـ ْن تَـ‬
ِ ْ ‫ـر ِف َغـ‬
“Kepemilikan menurut istilah : hubungan syariah antara manusia dengan sesuatu
(harta) yang memberikan hak mutlak kepada orang itu untuk melakukan pemanfaatan
(tasharruf) atas sesuatu itu dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya .”4
Tiga Macam Kepemilikan dalam Islam:
(1) Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah);
(2) Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘aammah);
(3) Kepemilikan negara (milkiyyah al-daulah).5

3 Abdul Qadim Zallum, al-Amwal, hlm. 56-54


4 Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha`, hlm. 352
5 Taqiyuddin al-Nabhani, al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 70-69; M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr
al-Islami, hlm. 54
114 9 Topik Keumatan
Pengertian Kepemilikan Umum:
‫امللكية العامة هي إذن الشارع للجامعة باإلشرتاك يف اإلنتفاع بالعني‬
Kepemilikan umum adalah izin dari al-syari’ bagi komunitas (jama’ah) secara
bersama-sama untuk memanfaatkan benda. 6
Tiga Macam Kepemilikan Umum:
(1) Apa-apa yang menjadi hajat hidup orang banyak (ma huwa min marafiq al-
jama’ah). Contoh: air, padang rumput, api, dll. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga benda; air, padang rumput, dan
api.” (HR. Abu Dawud);
(2) Benda-benda yang dari segi bentuknya tidak membolehkan individu untuk
menguasainya. Contoh: jalan, jembatan, sungai, danau, dll. Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ”Mina adalah tempat bagi siapa saja yang lebih dulu datang.”
(HR. Ibnu Majah);
(3) Tambang dengan depositnya besar. Contoh: tambang emas dan tembaga yang
melimpah, dll. Hadits Abyadh bin Hammal ra : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menarik kembali pemberian tambang garam karena produksinya besar.
(HR. Tirmidzi). 7

Kesimpulan
Minyak dan gas termasuk kepemilikan umum (al-milkiyyah al-’amah) karena
termasuk barang yang dibutuhkan jama’ah (marafiq al-jama’ah) dan jika
keberadaannya sebagai tambang dengan deposit besar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat melarang individu memiliki dan menguasai
(privatisasi) minyak dan gas yang merupakan kepemilikan umum.
Problem minyak dan gas hari ini bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah filosofis,
ideologis, yuridis dan politis. Dan Islam menjawab atas semua masalah tersebut.
Wallahu a’lam. []

6 M. Husain abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hlm. 55


7 M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hlm. 56

POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI 115


116 9 Topik Keumatan
8 MEMPELAJARI TSAQAFAH ISLAM HARUS
MENDALAM

Definisi dan Cakupan Tsaqafah Islam


Tsaqafah Islam adalah berbagai pengetahuan (ma’arif) dimana keberadaan akidah
Islam adalah sebab (asas) dalam pembahasannya. Pengetahuan tersebut bisa
mengandung topik akidah Islam, seperti ilmu tauhid; bisa juga berupa pengetahuan
yang berpijak pada akidah Islam, seperti fikih, tafsir dan hadits; dan bisa juga berupa
pengetahuan yang terkait dengan pemahaman yang terpancar dari akidah Islam,
yakni berbagai pengetahuan yang menjadi syarat ijtihad dalam Islam, seperti ilmu
bahasa Arab, musthalah hadits dan ushul fikih. Semuanya termasuk tsaqafah Islam,
karena akidah Islam menjadi asas dalam pembahasannya.1
Sumber rujukan tsaqafah Islam adalah al-Quran dan al-Hadits. Akidah Islam
mengharuskan merujuk kepadanya dan terikat dengan keduanya. Al-Quran
memerintahkan kaum muslim agar mengambil apa yang telah dibawa oleh
Rasulullah. Allah Swt berfirman:

َّ ‫َو َمآ ٰا ٰتى ُك ُم‬


‫الر ُس ْو ُل َف ُخ ُذ ْو ُه َو َما ن َٰهى ُك ْم َع ْن ُه َفا ْن َت ُه ْو ۚا‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7)
Mengambil apa yang dibawa oleh Rasul tidak mungkin kecuali setelah memahami
dan mempelajarinya. Keberadaan pengetahuan-pengetahuan tersebut
mengharuskan untuk memahami al-Quran dan al-Sunnah. Darinya akan muncul
berbagai macam pengetahuan Islam, yang pada akhirnya tsaqafah Islam memiliki
disiplin ilmu tertentu, yaitu al-Quran, al-Sunnah, bahasa, sharf, nahwu, balaghah,
tafsir, hadits, mushthalah hadits, ushul fikih, tauhid dan lain-lain yang termasuk
dalam pengetahuan-pengetahuan Islam.2

Kewajiban Mempelajari Tsaqafah Islam


Mempelajari tsaqafah Islam atau mempelajari ilmu-ilmu Islam adalah kewajiban.

1 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hlm. 265.


2 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 265.

MEMPELAJARI TSAQAFAH ISLAM HARUS MENDALAM 117


Dasar kewajiban tersebut adalah ayat al-Quran dan al-Hadits yang jumlahnya sangat
banyak. Diantaranya firman Allah Swt:
‫ون ِإَّن َما َی َت َذ َّك ُر ُأ ۟و ُلو ۟ا ۡٱلَ ۡل َب ٰـ ِب‬ َ ِ‫ون َو َّٱلذ‬
َۗ ‫ین َل َی ۡعلَ ُم‬ َ ِ‫ُق ۡل َه ۡل َی ۡستَوِ ی َّٱلذ‬
َ ‫ین َی ۡعلَ ُم‬
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-
orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal
sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. al-Zumar: 9)
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Allan al-Makki mengatakan:
‫ فهو استفهام إنكاري يف معنى النفي‬،‫ ال استواء بينهم‬:‫أي‬
"Maksudnya adalah tidak sama antara kedua golongan tersebut. Pertanyaan ini
disebut pertanyaan pengingkaran, artinya adalah mengingkari."3
Ayat di atas berbentuk pertanyaan tapi maksudnya adalah pernyataan bahwa kedua
golongan tersebut tidak sama. Ini sama dengan mengingkari kesamaan. Ayat ini
menunjukkan keutamaan ahli ilmu dan mempelajari ilmu.
Dalam ayat yang lain, Allah Swt berfirman:
‫ین ُأوتُو ۟ا ٱ ۡلعِ ۡل َم َد َر َج ٰـ ۚت‬
َ ِ‫ین َءا َمنُو ۟ا مِ ن ُك ۡم َو َّٱلذ‬ ُ َّ ‫َی ۡر َف ِع‬
َ ِ‫ٱلل َّٱلذ‬
"Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu Allan menjelaskan ayat di atas:
(:‫يرفــع اللــه الذيــن آمنــوا منكــم) بطاعتهــم للرســول (والذيــن أوتــوا العلــم درجــات) أي‬
‫ مبــا جمعــوا مــن العلــم والعمــل‬،‫ويرفــع اللــه العلــاء منهــم خاصــة درجــات‬
"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dengan
ketaatan mereka kepada Rasul, dan juga mengangkat derajat orang-orang yang
berilmu beberapa derajat, yaitu Allah meninggikan derajat para ulama secara khusus
karena mereka menggabungkan ilmu dan amal."4
Adapun dalil al-Sunnah, diantaranya sabda Rasulullah Saw:
‫ َس َّه َل الل ُه لَ ُه طَرِيقاً إِ َل ال َج َّن ِة‬،ً‫َو َم ْن َسل ََك طَرِيقاً يَلْتَ ِم ُس ِفي ِه ِعلْام‬
"Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti memudahkan
baginya jalan ke surga." (HR. Muslim)
Maksud ilmu dalam hadits di atas adalah ilmu yang dapat mendekatkan seseorang
kepada Allah Swt. Ibnu Allan berkata:
‫ مقرباً إىل الله تعاىل‬:‫أي‬
3 Lihat Muhammad bin Allan al-Shidiqi al-Makki, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, juz 4, hlm. 130.
4 Lihat Muhammad bin Allan, juz 4, hlm. 130.
118 9 Topik Keumatan
"Yaitu ilmu yang mendekatkan kepada Allah."5
Oleh karena itu, ilmu yang bermanfaat dan dapat mengantarkan ke surga adalah
ilmu yang membuat pemiliknya semakin dekat dan takut kepada Allah Swt. Allah
Swt berfirman:
‫إِنَّ َا يَخ َْش اللَّ َه ِم ْن ِع َبا ِد ِه الْ ُعل ََم ُء‬
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu
(ulama)." (QS. Fathir: 28)
Pada konteks inilah Imam Al Ghazali mengatakan: "Ketahuilah bahwa ilmu yang
tidak menjauhkanmu dari maksiat dan mendorongmu untuk beribadah pada hari ini,
tidak akan bisa menjauhkanmu dari api neraka esok hari."6
Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa kebaikan ada pada ilmu. Orang yang
mendapat ilmu berarti mendapat kebaikan. Sebaliknya, orang yang terhalang dari
ilmu berarti terhalang dari kebaikan. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
ِ‫َم ْن يُ ِر ِد الل ُه ِب ِه خ َْيا ً يُ َف ِّق ْه ُه يف الدِّين‬
"Orang yang akan dikehendaki kebaikan oleh Allah akan diberikan pemahaman
agama." (HR. Muttafaq Alaih)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa orang yang tidak belajar memahami
kaidah-kaidah ilmu agama Islam dan cabang-cabang yang berkaitan dengannya,
berarti ia telah terhalang dari kebaikan.
Orang yang tidak tahu ilmu agama, tidak akan disebut berilmu atau pencari ilmu,
maka layak disebut sebagai orang yang tidak mendapat kebaikan. Dari situ terdapat
keterangan yang jelas tentang keutamaan ulama dibandingkan orang biasa, dan juga
keutamaan belajar ilmu agama dibandingkan ilmu-ilmu lain.7

Belajar Sebelum Memimpin


Islam mendorong umatnya agar belajar Islam sejak dini. Ada sebuah pesan indah
yang disampaikan oleh Sayyidina Umar bin al-Khatthab -semoga Allah meridhainya-.
Beliau pernah berpesan:
‫ت َ َف َّق ُهوا قَ ْب َل أَ ْن ت َُس َّو ُدوا‬
"Belajarlah sebelum kamu diangkat menjadi pemimpin"8
Pesan ini diabadikan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, lalu ia
menambahkan:

5 Lihat Muhammad bin Allan, juz 4, hlm. 160.


6 Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, hlm. 40.
7 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz 2, hlm. 150.
8 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.

MEMPELAJARI TSAQAFAH ISLAM HARUS MENDALAM 119


ُ ‫َوبَ ْع َد أَ ْن ت َُس َّو ُدوا َوقَ ْد تَ َعلَّ َم أَ ْص َح‬
‫اب ال َّنب ِِّي َص َّل الل ُه َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِف كِ َ ِب ِس ِّن ِه ْم‬
"Dan juga setelah diangkat menjadi pemimpin, dulu para sahabat Nabi Saw pun
belajar di usia tua"9
Maksudnya, belajarlah ilmu-ilmu Islam, baik sebelum maupun setelah menjadi
pemimpin. Maksud Sayyidina Umar adalah belajarlah sebelum disibukkan dengan
urusan kepemimpinan. Sebab, orang yang disibukkan dengan urusan kepemimpinan
akan semakin sulit meluangkan waktu untuk belajar ilmu agama. Adapun maksud
Imam al-Bukhari adalah belajarlah meskipun sudah menjadi pemimpin. Jangan
segan untuk datang ke majelis ilmu meskipun sudah menjadi pemimpin. Demikian
juga jika sudah tidak lagi menjadi pemimpin, jangan malu untuk kembali ke majelis
ilmu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
‫ـن أَ ْن َل َم ْف ُهــو َم لَـ ُه خَشْ ـ َي َة أَ ْن يَ ْف َهـ َم أَ َحـ ٌد‬ َ ِّ ‫َوإِنَّ َــا َع َّق َبـ ُه الْ ُب َخــار ُِّي ِب َق ْولِـ ِه َوبَ ْعـ َد أَ ْن ت َُسـ َّو ُدوا لِ ُي َبـ‬
‫السـ َيا َد َة َمانِ َعـ ٌة ِمـ َن التَّ َف ُّقـ ِه َوإِنَّ َــا أَ َرا َد ُع َمـ ُر أَنَّ َهــا قَـ ْد تَ ُكــو ُن َسـ َب ًبا لِلْ َم ْنـعِ ِلَ َّن‬ ِّ ‫ِمـ ْن َذلِـ َـك أَ َّن‬
‫ـس الْ ُمتَ َعلِّ ِمـ َن‬ َ ‫ـس َم ْجلِـ‬ َ ‫ـر َو ِال ْح ِتشَ ــا ُم أَ ْن يَ ْجلِـ‬ ُ ْ ‫ـس قَـ ْد َ ْي َن ُعـ ُه الْ ِكـ‬ َ ‫ال َّرئِيـ‬
"Maksud al-Bukhari menambahkan pesan 'dan setelah menjadi pemimpin' adalah
untuk menjelaskan bahwa ucapan Umar tidak boleh dipahami sebaliknya. Ia khawatir
ada orang yang memahami bahwa menjadi pemimpin berarti berhenti dari belajar
ilmu agama. Jadi yang dimaksud Umar hanyalah kepemimpinan berpeluang besar
menjadi sebab penghalang dari belajar ilmu agama. Sebab, seorang pemimpin bisa
jadi merasa malu (gengsi) untuk duduk di majelis para santri."10
Abu Ubaid dalam kitabnya, Gharib al-Hadits, menafsirkan ucapan Umar sebagai
berikut:
‫َم ْع َنــا ُه تَ َف َّق ُهــوا َوأَنْتُـ ْم ِص َغــا ٌر قَ ْبـ َـل أَ ْن ت َِصـ ُروا َســا َد ًة فَتَ ْم َن ُع ُكـ ُم ْالَنَ َفـ ُة َعــنِ ْالَ ْخـ ِـذ َع َّمـ ْن ُهـ َو‬
ً‫ُدونَ ُكـ ْم فَتَبْ ُقــوا ُج َّهال‬
"Maknanya adalah belajarlah ilmu agama ketika kamu masih kecil (muda) sebelum
kamu menjadi pemimpin lalu rasa gengsi menghalangimu belajar dari orang yang
berada di bawahmu sehingga kamu pun tetap menjadi orang bodoh selamanya."11

Mendalam Adalah Satu Metode Mempelajari Tsaqafah


Islam
Tsaqafah Islam harus dipelajari secara mandalam, sehingga dipahami hakikatnya
dengan pemahaman yang benar, karena tsaqafah Islam bersifat fikriyah (pemikiran),

9 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.


10 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
11 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 2, hlm. 151.
120 9 Topik Keumatan
mendalam, mengakar, dan memerlukan kesabaran dan keteguhan dalam
mempelajarinya.12
Mengkaji tsaqafah Islam merupakan aktivitas berpikir yang membutuhkan
pengerahan seluruh upaya (pemikiran) untuk memahaminya. Hal itu memerlukan
pemahaman yang menyeluruh, dan membutuhkan pemahaman tentang faktanya
serta kaitannya dengan berbagai informasi yang dapat memberikan pemahaman
terhadap fakta tersebut. Karena itu, prosesnya harus dengan cara talaqqiyan fikriyan
(pemikiran yang disampaikan melalui perjumpaan).
Seorang yang belajar tsaqafah Islam harus meyakini apa yang sedang dipelajarinya
agar dia beraktivitas dengannya. Demikian juga seorang yang mempelajari tsaqafah
Islam harus bersifat praktis dalam rangka memecahkan problem kehidupan.
Inilah metode Islam dalam belajar tsaqafah Islam, yaitu mendalam dalam
pembahasan, meyakini apa yang dipelajari, serta mengambilnya secara praktis
untuk diterapkannya dalam kancah kehidupan.
Ketika metode ini dijalankan dalam proses pembelajaran maka seorang muslim
yang memiliki tsaqafah Islam berdasarkan metode tersebut akan mendalam
pemikirannya, peka perasaannya dan mampu memecahkan segala problematika
kehidupan. Metode ini mampu menjadikan seorang muslim berjalan menuju
kesempurnaan dengan penuh keta’atan dan kepasrahan.
Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai)
bekal dengan sebaik-baiknya perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa
dan pengetahuan yang dapat menuntaskan segala problematika kehidupan.13

Hukuman Bagi yang Lalai dalam Belajar dan Mengajar


Al-Hafizh al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib dalam Kitab al-‘Ilm Bab al-Tarhib
min Katm al-‘Ilm, dan al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa’id Kitab al-‘Ilm Bab Ta’lim
Man La Ya’lam14 menyebutkan hadits Riwayat Imam al-Thabarani dari Alqamah bin
Sa’ad bin Abdurrahman bin Abza dari ayahnya dari kakeknya, tentang celaan bagi
kaum yang meninggalkan mengajarkan ilmu. Hadits yang sangat panjang tersebut
menceritakan celaan Rasulullah kepada kaum Asy’ariyyun yang tidak memahamkan
orang di sekitarnya, tidak mengingatkan mereka, tidak menyuruh kepada yang
makruf, dan tidak mencegah dari kemunkaran.
Al-‘Allamah Musthafa al-Zarqa dalam kitabnya al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, ketika
mengomentari hadits tersebut mengatakan bahwa penyikapan yang tegas atas
kelalaian dari aktivitas mengajar dan mempelajari ilmu merupakan kejahatan
12 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 266
13 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, hlm. 269.
14 Lihat al-Mundziri, al-Targhib wa al-Tarhib, juz 1, hlm. 86; al-Haitsami, Majma’ al-Zawa’id, juz 1, hlm. 64. al-
Suyuthi menyebutkannya dalam al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Qur’an bi al-Ma’tsur, juz 2, hlm. 301.

MEMPELAJARI TSAQAFAH ISLAM HARUS MENDALAM 121


sosial (jarimah ijtima’iyyah) dan pelakunya pantas mendapatkan hukuman di dunia,
merupakan sikap yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah baik sebelum
Nabi Saw maupun setelahnya.
Termasuk dalam perbuatan kemunkaran dan berhak mendapatkan hukuman ta’zir
atasnya adalah sikap menelantarkan kewajiban-kewajiban agama, diantaranya
adalah mengajarkan dan mempelajari ilmu. Jika orang berilmu sudah melalaikan
kewajiban mengajarkan ilmu dan orang bodoh sudah lalai dari mempelajari ilmu
syar’i yang wajib dipelajari, maka keduanya berhak mendapatkan hukuman ta’zir
karena kelalaian tersebut.15
Bahkan Imam al-Nawawi dalam kitabnya Riyadh al-Shalihin membuat sebuah bab
"Keutamaan Ilmu: Belajar dan Mengajarkannya". Ibnu Allan menjelaskan dalam
kitabnya Dalil al-Falihin bahwa yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu agama (al-ilm
al-syar'i), yaitu hadits, tafsir, fikih dan alat-alatnya. Allah Swt berfirman:
‫َو ُقل َّر ِّب ِزد ِۡن ِعلۡام‬
"Katakanlah (wahai Muhammad): Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku." (QS.
Tha-Ha: 114)
Ayat ini termasuk dalil terbesar yang menunjukkan keutamaan ilmu, belajar dan
mengajarkannya. Sebab, Rasulullah Saw tidak pernah diperintahkan meminta
tambahan kepada tuhannya kecuali tambahan ilmu.
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw selalu berdoa:
‫اللَّ ُه َّم انْ َف ْع ِني بِ َا َعلَّ ْمتَ ِني َو َعلِّ ْم ِني َما يَ ْن َف ُع ِني َو ِز ْد ِن ِعل ًْم‬
"Ya Allah, jadikanlah ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku bermanfaat bagiku.
Ajarkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat bagiku. Tambahkanlah kepadaku ilmu."
(HR. Ibnu Majah)

Penutup
Dengan demikian, setiap muslim wajib mempelajari tsaqafah Islam secara
mendalam dan mengakar sampai didapatkan hakikatnya. Banyak dalil dari al-Quran
dan al-Hadits yang memberikan penegasan kewajiban belajar ilmu-ilmu Islam.
Kita wajib mendakwahkan Islam dan menerapkannya dalam kehidupan, dan hal
itu mengharuskan mengkaji Islam secara mendalam dan menyeluruh. Jadi jika ada
pernyataan “mempelajari agama tidak perlu mendalam”, maka dapat dipastikan
itu adalah pernyataan bodoh dan membodohi serta menghendaki langgengnya
kebodohan. Pernyataan tersebut seharusnya tertolak dengan sendirinya. Wallahu
a’lam. []

15 Lihat Musthafa al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, juz 2, hlm. 641.


122 9 Topik Keumatan
9 PENTINGNYA KEYAKINAN DI JALAN
DAKWAH

Dakwah adalah perjalanan panjang berliku. Manisnya akan terasa ketika seseorang
bersabar menjalaninya. Diantara modal penting dalam dakwah adalah keyakinan.
Keyakinan ini akan mengobarkan api semangat yang menyala-nyala. Keyakinan akan
membuat pengemban dakwah berdiri tegak dan terus maju. Keyakinan tersebut
adalah keyakinan akan balasan bagi yang berjuang di jalan dakwah, keyakinan
akan jalan perjuangan ini didasarkan kepada manhaj dakwah Rasulullah, keyakinan
akan kemenangan bagi dakwah, keyakinan akan kekalahan orang-orang kafir dan
nasib buruk penentang dakwah, dan keyakinan akan balasan bagi para pengemban
dakwah yang istiqamah dan sabar. Keyakinan tersebut tumbuh karena didasarkan
pada dalil yang qath’i (meyakinkan) atau karena didasarkan kepada akidah Islam.

Balasan Agung Bagi yang Berjuang di Jalan Dakwah


Agama adalah nasihat. Diantara wujud nasihat adalah dakwah kepada penguasa
(muhasabah) dan umat Islam. Sebagaimana sudah maklum, dakwah merupakan
sebaik-baik perkataan dan seruan. Allah Swt berfirman,
‫َو َم ْن أَ ْح َس ُن قَ ْو ًل ِم َّم ْن َد َعا إِ َل اللَّ ِه َو َع ِم َل َصالِ ًحا َوق ََال إِنَّ ِني ِم َن الْ ُم ْسلِ ِم َني‬
“Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada ucapan orang yang menyeru manusia
kepada (agama) Allah dan beramal salih serta berkata, ‘Aku termasuk orang yang
berserah diri’.”  (QS.  Fushshilat: 33).
Sebagaimana pesan hadits Nabi Saw bahwa “al-dîn al-nashîhah” (HR. Muslim dan
Abu Dawud), Rasulullah secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa
zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya,
‫أَفْضَ َل الْ ِج َها ِد كَلِ َم ُة َح ٍّق ِع ْن َد ُسلْطَانٍ َجائِ ٍر‬
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. al-
Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Thabarani, al-Baihaqi).
Diperjelas lagi hadits lainnya,
‫ َو َر ُج ٌل قَا َم إِ َل إِ َم ٍام َجائِ ٍر فَأَ َم َر ُه َونَ َها ُه فَ َقتَلَ ُه‬،‫َسيِّ ُد الشُ َه َدا ِء َح ْم َز ُة بْ ُن َعبْ ُد الْ ُمطَل ِِّب‬

PENTINGNYA KEYAKINAN DI JALAN DAKWAH 123


“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang
yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan)
dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu)
membunuhnya.” (HR. al-Hakim, al-Thabarani).
Kalimat afdhal al-jihâd 
dalam hadits pertama merupakan
bentuk tafdhîl 
(pengutamaan), yang menunjukkan secara jelas keutamaan
mengoreksi penguasa, menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang berbuat
zhalim. Sedangkan dalam hadits yang kedua, orang yang mengoreksi penguasa,
lalu dizhalimi dan dibunuh, maka dianugerahi predikat sebagai sayyid al-
syuhadâ’ (penghulu mereka yang mati syahid). Kedua kalimat ini jelas merupakan
indikasi pujian atas perbuatan mengoreksi penguasa, dalam bentuk  ikhbar
(pemberitahuan) yang berfaidah wajib. Itu semua menunjukkan bahwa orang
yang berdakwah dan berjuangan di jalan Allah, termasuk aktivitas politik untuk
mengoreksi penguasa zhalim, akan diganjar oleh Allah Swt dengan balasan yang
besar.

Jalan Perjuangan yang Didasarkan kepada Manhaj


Dakwah Rasulullah
Rasulullah Saw sejak permulaan dakwah Islam, beliau sudah mendapati tantangan
yang demikian keras dari masyarakat Quraisy. Bahkan, dakwah Rasul Saw dan para
sahabatnya mendapatkan perlawanan. Berbagai penganiayaan ditimpakan kepada
Rasul Saw dan para shahabat beliau. Ini adalah sunatullah.
Dakwah yang benar adalah dakwah yang didasarkan pada manhaj dakwah Rasulullah
Saw. Ini adalah prinsip. Allah Swt berfirman,
‫لَ َقـ ْد كَا َن لَ ُكـ ْم ِف َر ُســو ِل اللَّـ ِه أُ ْسـ َو ٌة َح َسـ َن ٌة لِ َمـ ْن كَا َن يَ ْر ُجــو اللَّـ َه َوالْيَـ ْو َم ْال ِخـ َر َو َذكَـ َر اللَّـ َه‬
‫كَ ِثـ ًرا‬
“Sesungguhnya bagi kalian pada diri Rasulullah Saw itu terdapat teladan yang baik
bagi siapa saja yang menginginkan Allah dan Hari Akhir, serta banyak mengingat
Allah Swt.” (QS. al-Ahzab: 21).
Keteladanan yang mencakup metode dakwah untuk menegakkan kehidupan Islam
secara totalitas (kaffah). Dengan merujuk pada Sirah Nabawiyah, dapat disimpulkan
bahwa thariqah dakwah itu harus melalui jalan umat (an thariq al-ummah), dengan
tiga tahapan di dalamnya, yakni: tahapan pembinaan (tatsqif), tahapan interaksi
dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah), dan tahapan penyerahan kekuasaan (istilam
al-hukm) yang ditandai dengaan penerapan hukum Islam secara menyeluruh dan
daakwah ke seluruh penjuru dunia.

124 9 Topik Keumatan


Tantangan dakwah Nabi mulai muncul secara nyata pada tahapan kedua. Setelah
Nabi Saw dan para shahabat melakukan aktivitas tafa’ul tam (berinteraksi dengan
umat secara sempurna), yang ditandai thawaf Nabi Saw dan para shahabat
mengelilingi Ka’bah, setelah masuk Islamnya orang-orang kuat di kalangan kafir
Quraisy, seperti Hamzah bin ‘Abdul Muthallib dan ‘Umar bin al-Khatthab. Kemudian
diikuti dengan aktivitas shira’ al-fikr (perang pemikiran), kifah al-siyasi (perjuangan
politik), tabanni mashalih al-ummah (mengadopsi kemaslahatan umat) dan kasyf al-
khuthath (membongkar makar jahat penguasa).
Maka, kaum kafir Quraisy memahami benar, bahwa dakwah Nabi Muhammad Saw
adalah dakwah pemikiran, yang ingin mengubah pemikiran mereka yang salah. Tapi,
mereka juga sadar, bahwa dakwah Nabi Saw juga merupakan dakwah politik, yang
akan bisa mengubah pandangan hidup, sikap dan peradaban mereka. Mereka paham,
jika ini berhasil, maka kaum mereka akan meninggalkan mereka, dan mengikuti Nabi
Muhammad Saw dengan Islam yang diembannya.

Janji Pertolongan dan Kemenangan bagi Dakwah


Kemenangan dakwah adalah suatu keniscayaan. Pertolongan itu ternyata ada pada
puncak penderitaan dan kesabaran. Ketika Rasul Saw dan para shahabat mengalami
penderitaan, mereka tetap bersabar dan tetap berpegang teguh pada syariah-Nya.
Diriwayatkan bahwa karena penderitaan yang luar biasa yang mereka alami, akibat
berbagai macam siksaan dan penganiayaan orang-orang kafir, mereka sampai
bertanya-tanya kapan pertolongan Allah akan datang. Allah Swt lalu berfirman,
‫أَ ْم َح ِس ـ ْبتُ ْم أَ ْن ت َ ْد ُخلُــوا الْ َج َّن ـ َة َولَـ َّـا يَأْتِ ُك ـ ْم َمثَـ ُـل ال َِّذي ـ َن َخلَـ ْوا ِم ـ ْن قَ ْبلِ ُك ـ ْم َم َّس ـتْ ُه ُم الْ َبأْ َســا ُء‬
‫ـر اللَّـ ِه‬ َ ْ ‫ـر اللَّـ ِه أَلَ إِ َّن نَـ‬ ُ ْ ‫ـول َوال َِّذيـ َن آ َم ُنــوا َم َعـ ُه َمتَــى نَـ‬ ُ ‫ـول ال َّر ُسـ‬َ ‫ـرا ُء َو ُزلْ ِزلُــوا َحتَّــى يَ ُقـ‬ َّ َّ ‫َوالـ‬
‫ـب‬ ٌ ‫قَرِيـ‬
“Apakah kalian mengira akan masuk surga, padahal belum datang atas kalian cobaan
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan (dengan berbagai macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, “Kapankah
datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat.” (QS. al-Baqarah: 214).
Karena itu, yang dituntut dari para pengemban dakwah dalam menghadapi semua
tantangan, gangguan dan ancaman dalam dakwah adalah meneladani Rasul Saw dan
para shahabat beliau. Mereka selalu yakin dengan pertolongan Allah Swt sehingga
mereka selalu berkata,
‫َح ْسبُ َنا اللَّ ُه َونِ ْع َم الْ َوكِ ُيل‬
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran:
173).
PENTINGNYA KEYAKINAN DI JALAN DAKWAH 125
Sesungguhnya cahaya Allah tidak akan pernah bisa dipadamkan oleh makar
manusia. Islam pasti menang. Sesuai janji Allah Swt, sebentar lagi pertolongan-Nya
akan segera datang. Islam akan menjadi satu-satunya mabda (ideologi) yang menang
atas semua ideologi lain. Allah Swt telah berfirman,
‫يُرِي ُدو َن أَ ْن يُطْ ِفئُوا نُو َر اللَّ ِه ِبأَفْ َوا ِه ِه ْم َويَأْ َب اللَّ ُه إِلَّ أَ ْن يُ ِت َّم نُو َر ُه َولَ ْو كَ ِر َه الْكَا ِف ُرو َن‬
“Orang-orang kafir itu berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah, tetapi Allah
tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya (agama)-Nya meskipun orang-
orang kafir itu membencinya.” (QS at-Taubah: 32).

Kepastian Kekalahan Orang-orang Kafir dan Penentang


Dakwah
Para penentang dakwah pada setiap zaman akan senantiasa ada. Allah Swt berfirman,
ِ ْ ‫َوكَ َذلِ َك َج َعلْ َنا لِك ُِّل نَب ٍِّي َع ُد ًّوا شَ َي ِاط َني‬
‫الن ِْس َوالْ ِج ِّن‬
“Demikianlah Kami telah menjadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan
(dari jenis) manusia dan jin.” (QS. al-An’am: 112).
Imam Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa ujian yang disebutkan
Allah Swt dalam ayat ini tidak hanya menimpa Rasulullah Saw, tetap juga berlaku
umum bagi orang-orang yang mengikuti beliau dalam dakwah.
Di antara upaya menjegal dakwah itu adalah dengan berbagai propaganda atau
pemberian stigma negatif baik pada Islam maupun kepada para pejuangnya.
Rasulullah Saw dan para shahabat telah mengalami kondisi demikian. Bahkan
Rasulullah Saw pernah disebut sebagai orang gila (QS. al-Hijr: 6), tukang sihir (QS.
Shad: 4), penyair gila (QS. Shaffat: 37), pemecah-belah persatuan kaumnya, dsb.
Ajaran Islam juga tak lepas dari berbagai cacian. Al-Quran, misalnya, disebut sebagai
ayat-ayat sihir (QS. al-Muddatsir: 24), kumpulan dongeng (QS. al-Muthaffifin: 13);
juga dituding sebagai karya orang ‘ajam (non Arab), bukan kalamullah (QS. an-Nahl:
103).
Tantangan para pengemban dakwah pada hari ini pun tak berbeda dengan apa yang
pernah dialami oleh Rasulullah Saw dan para shahabat. Berbagai upaya dilakukan
untuk menjegal dan membungkam dakwah, antara lain dengan cara: Pertama,
mengkriminalisasi para da’i dengan tuduhan kaum radikal, mengancam kebhinekaan,
membawa ajaran yang tidak sesuai budaya lokal, dll.; Kedua, menangkap para pegiat
dakwah; Ketiga, mengkriminalisasi ajaran Islam, terutama syariah dan khilafah.
Ketahuilah bahwa para penentang dakwah akan mengalami kehinaan di dunia
dan di akhirat. Mereka akan dikalahkan dengan izin Allah Swt. Sebagaimana para
penentang dakwah Nabi pada akhirnya dikalahkan. Adapun di akhirat, mereka akan

126 9 Topik Keumatan


mendapat siksa yang pedih. Allah Swt berfirman,

ُ ‫َاب َج َه َّن ـ َم َولَ ُه ـ ْم َع ـذ‬


‫َاب‬ ِ ‫إِ َّن ال َِّذي ـ َن فَتَ ُنــوا الْ ُم ْؤ ِم ِن ـ َن َوالْ ُم ْؤ ِم َنـ‬
ُ ‫ـات ث ُـ َّم لَ ـ ْم يَتُوبُــوا فَلَ ُه ـ ْم َع ـذ‬
ِ‫الْ َحرِيــق‬
“Sungguh orang-orang yang menimpakan fitnah kepada kaum Mukmin laki-laki dan
perempuan, kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan
bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (QS. al-Buruj: 10).
‫إِ َّن ال َِّذيـ َن كَ َفـ ُروا يُ ْن ِف ُقــو َن أَ ْم َوالَ ُهـ ْم لِ َي ُصـ ُّدوا َعـ ْن َسـبِيلِ اللَّـ ِه ف ََسـ ُي ْن ِفقُونَ َها ثُـ َّم تَ ُكــو ُن َعلَ ْي ِهـ ْم‬
ُ َ ‫ـر ًة ثُـ َّم يُ ْغلَ ُبــو َن َوال َِّذيـ َن كَ َفـ ُروا إِ َل َج َه َّنـ َم يُ ْحـ‬
‫ـرو َن‬ َ ْ ‫َحـ‬
“Sungguh orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi
(manusia) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi
sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Ke dalam Jahanamlah orang-orang
kafir itu dikumpulkan.” (QS. al-Anfal: 36).

Balasan bagi Pengemban Dakwah yang Istiqamah dan


Sabar
Orang yang istiqamah dan sabar di jalan Allah, niscaya akan mendapatkan banyak
keutamaan. Allah Swt telah menjelaskan masalah ini dengan sangat jelas di dalam
al-Quran dan al-Hadits. Diantara ayat-ayat yang berbicara tentang keutamaan
istiqamah adalah ayat berikut ini,
‫إِ َّن ال َِّذيــ َن قَالُــوا َربُّ َنــا اللَّــ ُه ث ُــ َّم ْاســتَقَا ُموا تَتَ َنــ َّز ُل َعلَ ْيهِــ ُم الْ َم َلئِكَــ ُة أَلَّ تَخَافُــوا َولَ ت َ ْح َزنُــوا‬
ُ ِ ْ‫َوأَب‬
‫ــروا بِالْ َج َّنــ ِة الَّ ِتــي كُ ْنتُــ ْم ت ُو َعــ ُدو َن‬
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, Kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan
gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu’.” (QS.
Fushshilat: 30).
Ayat di atas dan ayat lainnya (seperti QS. Fushshilat: 32-31 dan QS. al-Ahqaf: 13)
menjelaskan dengan sangat gamblang, bahwasanya orang yang istiqamah di jalan
Allah akan memperoleh banyak keutamaan, diantara keutamaan tersebut adalah:
Pertama, Allah akan menurunkan malaikat kepada orang-orang yang beriman dan
beristiqamah di jalan Allah. Malaikat tersebut menghibur dengan ucapan, "Janganlah
kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan bergembiralah dengan surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu".1 Kedua, malaikat akan menjadi penolong (wali)
orang yang istiqamah di kehidupan dunia dan akhirat. Menurut Mujahid, malaikat
akan menjadi sekutu orang-orang yang istiqamah di kehidupan dunia, dan kelak di

1 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 15, hlm. 358

PENTINGNYA KEYAKINAN DI JALAN DAKWAH 127


akhirat, malaikat itu tidak akan berpisah dengan orang tersebut hingga ia masuk
ke dalam surganya Allah. Al-Sudi menyatakan, malaikat akan menjadi penjaga amal
orang yang istiqamah di kehidupan dunia, dan penolong di hari akhir.2
Demikian juga dengan sabar. Rasulullah Saw, bersabda,

ٌ ْ ‫ـر َعـ َـى أَذَا ُهـ ْم َخـ‬


‫ـر ِمـ َن الْ ُم ْسـلِمِ الَّـ ِـذى الَ يُخَالِـ ُط‬ َ ‫إِ َّن الْ ُم ْسـلِ َم إِذَا كَا َن ُمخَالِطًــا ال َّنـ‬
ُ ِ ‫ـاس َويَ ْصـ‬
‫ـر َعـ َـى أَذَا ُهـ ْم‬
ُ ِ ‫ـاس َوالَ يَ ْصـ‬
َ ‫ال َّنـ‬.
“Jika seorang muslim berinteraksi dengan masyarakat, lalu Ia bersabar dari perlakuan
buruk masyarakat terhadapnya (dalam dakwah), hal itu adalah lebih baik, daripada
seorang muslim yang tidak mau berinteraksi dan tidak bersabar dari perlakuan buruk
masyarakat.” (HR. al-Tirmidzi).
Imam al-Shan’ani menjelaskan, “Hadits tersebut menjelaskan keutamaan bagi orang
yang berinteraksi, menyeru masyarakat kepada kema’rufan, mencegar kemunkaran,
dan memperbaiki sistem sosial mereka. Hal demikian itu, lebih baik ketimbang orang
yang menyendiri dan tidak mau bersabar dalam berinteraksi.” 3
Al-Hafizh al-Munawi berkata, “Kesabaran yang paling besar adalah, sabar berinteraksi
dengan masyarakat dan menahan semua perlakuan buruk mereka." 4
Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,
‫والصابر أعظم أجرا من املنفق أل ّن حسنته مضاعفة إىل سبعامئة‬
“Orang sabar mendapat pahala lebih besar dari orang yang suka berinfak, karena
kebaikan orang sabar dilipat gandakan menjadi 700 kebaikan.” 5
Demikianlah pentingnya keyakinan di jalan dakwah. Umat Islam sesungguhnya
memiliki modal yang luar biasa untuk menghadapi semua tantangan dan halangan
dakwah Islam, yaitu modal keimanan. Mereka mengimani tujuan keberadaan
mereka di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt (Lihat QS. al-Dzariyat:
56). Wallahu a’lam. []

2 Imam Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 15, hlm. 360


3 al-Shan’ani, Subulus Salam, V/245
4 al-Munawi, Faidh al-Qadir, VI/332
5 Ibnu Hajar, Fath al-Bari, XVII /274
128 9 Topik Keumatan

Anda mungkin juga menyukai