Catatan YRT
TERKAIT
KHILAFAH DAN
MASALAH KEUMATAN
Pengantar
Pada momen bulan Rajab 1444 H dan akan memasuki bulan Maret 2023 ini, saya
kumpulkan catatan-catatan ringan seputar topik Khilafah dan masalah keumatan.
Bulan Rajab 1342 H atau bertepatan dengan Maret 1924 adalah momen pilu bagi
umat Islam di dunia. Pada bulan tersebut khilafah yang terakhir, yaitu Turki Utsmani
dihapus oleh Kemal Ataturk yang bersekongkol dengan negara-negara kafir penjajah.
Risalah ini berisi catatan-catatan saya dalam tahun-tahun terakhir yang rata-rata
merupakan permintaan menulis di majalah dan website tertentu. Antara satu artikel
dengan artikel lainnya mungkin ada beberapa irisan karena memang diperuntukkan
untuk tujuan dan sasaran berbeda, serta di waktu yang berbeda pula.
Semoga bisa menjawab keraguan bagi siapa saja yang masih ragu, dan semoga
bermanfaat untuk umat yang merindukan kejayaan Islam, hadirnya junnah umat
Islam dan tegaknya peradaban Islam.
Halaman
9 Topik Khilafah 1
63 9 Topik Keumatan
1. BAHAYA GAGASAN DIALOG ANTARAGAMA
__________________________________________________________________________________ 65
2. MEMBANTAH DALIH YANG MEMBENARKAN LGBT
__________________________________________________________________________________ 73
3. PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM
__________________________________________________________________________________ 79
4. TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI AGAMA
__________________________________________________________________________________ 85
5. UMMAT[AN] WASATH[AN] BUKAN DALIL MODERASI ISLAM
__________________________________________________________________________________ 91
6. MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK ISLAM NUSANTARA
__________________________________________________________________________________ 97
7. POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI
__________________________________________________________________________________ 105
8. MEMPELAJARI TSAQAFAH ISLAM HARUS MENDALAM
__________________________________________________________________________________ 117
9. PENTINGNYA KEYAKINAN DI JALAN DAKWAH
__________________________________________________________________________________ 123
1
2 9 Topik Khilafah
1 ISTINBATH HUKUM KEWAJIBAN
MENEGAKKAN KHILAFAH
Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat Al-Nahl Ayat 89. Abdullah
Ibn Mas›ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam
tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua
hal".1
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua
hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang
pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran
Islam ini. Nabi Saw bersabda,
،ـاس بِالَّ ِتــي تَلِي َهــا ِ ْ لتُ ْنقَضَ ـ َّن ُع ـ َرى
ْ فَ ُكلَّـ َـا انْتَقَضَ ـ،ً ُع ـ ْر َو ًة ُع ـ ْر َوة،ال ْسـ َـا ِم
ُ تَشَ ـبَّثَ ال َّنـ،ٌـت ُع ـ ْر َوة
َّ َوآخ ُر ُهـ َّن،َوأَ َّولُ ُهـ ّن نَقْضً ــا الْ ُح ْكـ ُم
الصـ َـا ُة ِ
"Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul
terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang
pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat" (HR.
Ahmad).
Lafazh (ً ) ُعــ ْر َو ًة ُعــ ْر َوةmenunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan
kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.2
Adapun maksud kalimat ( ) َوأَ َّولُ ُهــ ّن نَقْضً ــا الْ ُحكْــ ُمadalah ajaran pertama di dalam Islam yang
mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu
pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani
dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.3
5 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
6 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke19-, hlm. 485.
7 Al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al
Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
8 Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
9 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
10 Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
4 9 Topik Khilafah
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan
agama maupun dunia.”11
Definisi yang jami’ dan mani’ adalah,
،الخالفــة هــي رئاســة عامــة للمســلمني جميع ـاً يف الدنيــا إلقامــة أحــكام الــرع اإلســامي
وحمــل الدعــوة اإلســامية إىل العــامل
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah
Islam ke seluruh penjuru dunia.”12
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah
memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil
syariah.
Penutup
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban dari
Allah Swt, syariat nabi Muhammad Saw, dan sunnah para al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Siapa saja yang mengingkarinya meskipun dengan mengajukan berbagai dalih
dan retorika, hakikatnya tidak mengerti bagaimana istinbath al-ahkam kewajiban
tersebut dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Kewajiban tersebut bukanlah perkara ijtihadi.
Khilafah juga memiliki pilar-pilar (al-qawa’id) sistem pemerintahan Islam yang
bersifat baku. Memang benar pada perkara perinciannya ada perkara-perkara yang
ijtihadi. Tetapi perlu ditegaskan bahwa hasil ijtihad (fikih) juga merupakan hukum
syara’. Wallahu a’lam. []
Pendahuluan
Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat Al-Nahl Ayat 89. Abdullah
Ibn Mas'ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam
tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua
hal".1 Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua
hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Hanya saja, sebagaimana dikabarkan dalam hadits Nabi, simpul (urwah) penting
pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi
asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Maksud kalimat ( ) َوأَ َّولُ ُهــ ّن نَقْضً ــا الْ ُحكْــ ُمdalam
hadits riwayat Imam Ahmad adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami
penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan.
Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan
frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.2 Namun masih ada yang
menolak konsep pemerintahan Islam karena dianggap tidak baku. Benarkah tidak
ada konsep baku tentang pemerintah Islam (khilafah)? Inilah persoalan yang harus
diberikan penjelasan.
4 Lihat Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
5 Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
6 Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
7 Lihat Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 230-225.
12 9 Topik Khilafah
Anggapan tidak ada konsep baku khilafah adalah tidak benar. Jika dikatakan tidak
ada konsep baku karena tidak ada dalil kewajiban dalam al-Quran dan al-Sunnah,
maka hal itu menunjukkan yang bersangkutan tidak paham bagaimana istinbath
hukum dari al-Quran dan al-Sunnah, dan terjebak dengan pengambilan hukum hanya
secara mantuq (tekstual). Jika dikatakan tidak ada konsep baku khilafah karena
tidak ada bentuk dan struktur rinci tentang khilafah yang dicontohkan Rasulullah,
maka hal itu menunjukkan ketidakcermatan memahami al-Sunnah (perkataan,
perbuatan dan persetujuan Rasulullah) dan ijmak shahabat. Jika dikatakan tidak
ada bentuk baku khilafah karena di dalamnya terdapat ikhtilaf di kalangan ulama,
maka ini menunjukkan ketidakpahaman tentang syariat dan fikih, dimana dalam
fikih apapun selalu ada perkara yang muttafaq alaihi (disepakati) dan mukhtalaf fihi
(diperselisihkan). Namun hal itu bukan alasan menolak fikih tersebut.
Berikut adalah bukti kebakuan konsep khilafah:8
Pertama, asas dan pondasi kepemimpinan khilafah dalam Islam. Asas dan
fondasi kepemimpinan Khilafah dalam Islam adalah tauhid atau akidah Islam, asas
dan fondasi inilah yang akan menentukan tata letak bangunan kehidupan di atasnya,
begitu pula bangunan kehidupan Islam wajib dibangun di atas asas akidah Islam.
Hal ini sebagaimana prinsip kehidupan yang digariskan Rasulullah Saw dan para
shahabatnya dalam kepemimpinan Islam.
Al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani menegaskan: Akidah Islam adalah dasar negara.
Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan
atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah Islam
menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Segala sesuatu
yang berkaitan dengan undang-undang dasar (dustur) dan perundang-undangan
(qanun) harus terpancar dari akidah Islam.9
Kedua, pedoman dan standar konstitusi negara khilafah. Al-Qadhi Taqiyuddin
al-Nabhani menegaskan bahwa Islam memandang segala bentuk perundang-
undangan dalam negara Khilafah; mencakup Undang-undang Dasar (dustur) dan
perundang-undangan (qanun) harus terpancar dari akidah Islam. Maksudnya, harus
bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak Shahabat, Qiyas Syar’i.10 Al-Qur’an dan
al-Sunnah menjadi pedoman dan standar utama dalam perumusan konstitusi dan
kebijakan negara. Mencakup persoalan pokok; standar baku menentukan apa yang
diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan
menurut Allah dan Rasul-Nya, mengingat manusia tak berhak mengharamkan apa
yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau menghalalkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya.
8 Lihat Irfan Rhamdan Wijaya dan Yuana Ryan Tresna, Konsep Baku Khilafah Islamiyyah, Yogyakarta: Penerbit
Quwwah, hlm. 202-143.
9 Lihat Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hlm. 5.
10 Lihat Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, hlm. 8.
14 9 Topik Khilafah
Ketiga, kekuasaan dalam kepemimpinan Islam bukan tujuan, namun metode
mewujudkan visi ukhrawi yang jauh melampaui unsur-unsur.
Kekhilafahan adalah amanah, amanah untuk menegakkan aturan Allah sebagaimana
digambarkan dalam QS. Fathir [39 :]35. Allah Swt pun menegaskan amanah tersebut
dalam ayat-ayat al-Qur’an lainnya: QS. Al-An’am [165 :]6, QS. Al-Naml [62 :]27. Kata
khala’if (atau khulafa’) dalam ayat-ayat mulia ini adalah jamak dari kata khalifah.11
Secara bahasa (haqiqah lughawiyyah) kata khalifah bermakna pengganti. Imam
al-Farra menegaskan bahwa umat Muhammad Saw dijadikan khala’if (pemimpin
pengganti) setiap umat-umat.12 Hal senada ditegaskan Imam al-Baghawi,13 Imam
al-Sam’ani merinci: Yakni: Dia menjadikan sebagian kalian sebagai pemimpin-
pemimpin pengganti untuk sebagian lainnya, dikatakan: Dia menjadikan generasi-
generasi penerus kalian sebagai pengganti kalian, dan sebagian ulama lainnya
mengatakan maknanya: Dia menjadikan kalian sebagai pemimpin pengganti Bangsa
Jin di muka bumi.14
Maka sebagai khalifah di muka bumi, setidaknya umat manusia ditugaskan untuk:
pertama, mengabdi kepada Allah; dan kedua, mengatur kehidupan dunia ini, dan
memakmurkannya dengan ilmu dan tuntunan Allah Swt.15
Keempat, visi kepemimpinan dalam Islam. Visi kepemimpinan dalam Islam
mencakup paling tidak tiga hal sebagai berikut:
a) Visi melanjutkan kehidupan Islam (isti’naf al-hayah al-Islamiyyah),
menggambarkan visi untuk kembali hidup di bawah naungan Islam, dengan
cara menegakkan hukum-hukum Islam dalam setiap sendi kehidupan dengan
landasan akidah Islam. Visi ini meniscayakan tegaknya kembali peradaban
Islam, yang berdiri kokoh di atas landasan tauhid (akidah Islam), sebagaimana
tegaknya kehidupan Islam di masa Rasulullah Saw dan para shahabatnya.
Dengan ungkapan lain, Khilafah bukan tujuan, khilafah adalah metode syar’i
untuk menegakkan syari’ah, dimana tegaknya syari’ah merupakan kunci meraih
keridhaan-Nya, dan meraih keridhaan-Nya adalah kunci kebaikan dunia dan
akhirat.
b) Visi menyatukan kaum muslim di atas asas akidah Islam. Islam secara tegas
mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi persatuan di atas asas
akidah Islam, dan diikat dalam institusi kepemimpinan Islam (al-khilafah al-
islamiyyah), hal itu tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwal
para ulama muktabar. Al-Hafizh al-Qurthubi misalnya, menegaskan bahwa
11 Lihat Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174.
12 Lihat Abu Manshur al-Azhari, hlm. 174.
13 Lihat Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, juz XIV, hlm. 218.
14 Lihat Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani al-Syafi’i, Tafsir al-Qur’an, juz III, hlm. 370.
15 Lihat Dr. Majid ‘Irsan al-Kailani, Tathawwuru Mafhum al-Nazhriyyah al-Tarbawiyyah al-Islamiyyah: Dirasah
Manhajiyyah fi al-Ushul al-Tarikhiyyah li al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Beirut: Dar Ibn Katsir, cet. II, 1405 H, hlm.
26-25.
16 9 Topik Khilafah
Konsep Baku Ketatanegaraan Islam (Khilafah)17
No Profil Karakteristik
1 Asas dan Pondasi Akidah Islam
2 Pedoman & Standar Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas Syar’i
Konstitusi
3 Esensi Kepemimpinan Menjadi wasilah terwujudnya tujuan utama hidup
manusia untuk beribadah kepada-Nya
4 Visi Kepemimpinan Islam • Melanjutkan kehidupan Islam
• Mewujudkan persatuan dan kesatuan kaum muslim
• Dakwah menyebarkan risalah Islam
5 Pilar-Pilar Kepemimpinan • Kedaulatan di tangan syara’ (al-siyadah li al-syar’i)
Islam
• Kekuasaan milik umat (al-sulthan li al-ummah)
• Kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah
untuk seluruh umat (wujub al-khalifah al-wahid li
al-muslimin)
• Khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalifah
haq al-tabanni)
6 Politik Dalam Negeri Menegakkan hukum-hukum syari’ah dalam setiap
aspek kehidupan
7 Politik Luar Negeri Menegakkan dakwah dan jihad fi sabilillah
Penutup
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa konsep baku khilafah itu nyata, dan
menegakkannya adalah kewajiban dari Allah Swt, syariat nabi Muhammad Saw, dan
sunnah para al-Khulafa’ al-Rasyidun. Siapa saja yang mengingkarinya meskipun
dengan mengajukan berbagai dalih dan retorika, hakikatnya tidak mengerti
bagaimana istinbath al-ahkam kewajiban tersebut dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kewajiban tersebut bukanlah perkara ijtihadi. Khilafah juga memiliki pilar-pilar
(al-qawa’id) sistem pemerintahan Islam yang bersifat baku. Memang benar pada
perkara perinciannya ada perkara-perkara yang ijtihadi. []
17 Lihat Irfan Rhamdan Wijaya dan Yuana Ryan Tresna, Konsep Baku Khilafah Islamiyyah, hlm. 200.
2 Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 102/3; al-Tsiqat, 138/4; al-Kamil, 405/2; al-Taqrib, 151/1
3 Tarikh al-Kabir, 365/8
،ُ َر ُجـ ٌـل نَــا َز َع اللـ َه َعـ َّز َو َجـ َّـل ِر َدا َء ُه فَـ ِإ َّن ِر َدا َء ُه الْ ِك ْ ِبيَــا ُء َوإِزَا َر ُه الْ ِعـ َّزة:َو�ثَالَث َـ ٌة الَ ت ُْسـأَ ُل َع ْن ُهـ ْم
َوالْ ُق ُنـ ْو ُط ِمـ ْن َر ْح َمـ ِة اللـ ِه،َو َر ُجـ ٌـل شَ ـ َّـك ِف أَ ْمـ ِر اللـ ِه
"Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia
yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah
kesombongan dan kainnya adalah al-›izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan
perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah." (HR. Ahmad,
Thabarani, al-Bazar)
Diantara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah
mengabaikan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan
menunggu datangnya imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat, karena
menegakkan khilafah Islamiyyah adalah kewajiban syariat. Seorang muslim
tidak boleh abai dengan kewajiban ini, atau tidak berupaya memperjuangkannya
dengan sungguh-sungguh. Sebab, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar›i untuk
menerapkan Islam secara sempurna.
Adapun hadits-hadits yang berbicara tentang turunnya imam Mahdi, sama sekali tidak
menafikan kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah atas kaum muslim. Hadits-
hadits tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu
datangnya imam Mahdi, dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan khilafah
Islamiyyah.
MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH 23
Penutup
Kaum muslim wajib bersungguh-sungguh menyongsong kabar gembira Rasulullah
SAW. Tegaknya khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat
Islam. Apa yang terjadi sekarang ini, menggambarkan bahwa kita hidup saat
ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Maka perlu ada upaya
serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan
kehidupan Islam dengan tegaknya al-khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka
bumi. Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan, dimana mereka
terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Imam Ibn Muflih al-
Hanbali (w. 763 H) menuturkan:
ُ يس ِف الْ َب ْي َدا ِء يَ ْقتُلُ َها الظ ََّم * َوال َْم ُء فَ ْو َق ظُ ُهو ِر َها َم ْح ُم
ول ِ كَالْ ِع
“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan * Dan air di atas punggungnya
tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, juz III, hlm. 104). []
24 9 Topik Khilafah
APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA
AKAN KEMBALINYA KHILAFAH
4 DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS
PERNYATAAN AGUS MAFTUH
ABEGABRIEL)
Pendahuluan
Dalam pengamatan penulis, Agus Maftuh Abegabriel (AMA) pertama kali menulis
topik tentang kritik otentisitas dan validitas hadits tentang khilafah pada 27 Oktober
2017 di Harian Jawa Pos dengan tajuk “Teologi Kekuasaan”. Akhir-akhir ini kembali
tersiar video wawancara AMA yang salah satu kontennya adalah kritik terhadap
hadits tersebut.1 Pertanyaannya adalah benarkah hadits tentang kembalinya khilafah
statusnya dha’if? Sebenarnya pendahulu kami telah menulis bantahan terkait topik
ini. Namun tidak salah jika penulis memberikan tanggapan secara lebih fokus dan
jelas pada aspek kritik sanad hadits.
AMA mengatakan bahwa hadits tentang akan datangnya khilafah dari segi kritik
sanad dan matan gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan
sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga
sangat tergesa-gesa, dan membuktikan yang bersangkutan awam terhadap ilmu
hadits, khususnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Masih menurut AMA, bahwa hadits yang
dijadikan landasan utama oleh pendiri HT itu jika dilakukan penelaahan akan tampak
jelas bahwa dalam perspektif kritik sanad hadits tersebut ternyata ada seorang
rawi bernama Habib bin salim al-Anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah
(terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang
negatif (al-jarh) dari Imam Bukhari yang menilainya “fihi nazhar”, dan juga komentar
yang senada dari Ibn Adi. Lalu, dia menyimpulkan, dengan demikian hadits tentang
kekuasaan khilafah Islamiyyah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
Pembahasan
Jika tuduhan diarahkan pada aspek kritik matan, sangatlah lemah dan sama sekali
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat
tergesa-gesa, dan membuktikan yang bersangkutan awam terhadap ilmu hadits,
khususnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Masih para pengkritik, bahwa hadits yang
dijadikan landasan utama oleh pendiri HT itu jika dilakukan penelaahan akan tampak
jelas bahwa dalam perspektif kritik sanad hadits tersebut ternyata ada seorang
rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah
1 Lihat: https://20.detik.com
APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS 25
PERNYATAAN AGUS MAFTUH ABEGABRIEL)
(terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang
negatif (al-jarh) dari Imam Bukhari yang menilainya “fihi nazhar”, dan juga komentar
yang senada dari Ibn Adi. Lalu, dia menyimpulkan, dengan demikian hadits tentang
kekuasaan khilafah Islamiyyah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib berkata, “Abu Hatim berkata tsiqah,
al-Bukhari berkata fihi nazhar, Ibnu Adi berkata laisa fi mutun ahaditsihi hadits[un]
munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma ruwiya ‘anhu (pada matan-matan haditnya
tidak ada hadits munkar, tapi telah terjadi idhthirab pada sanad-sanad (hadits) yang
diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh berkata, “saya nyatakan, bahwa al-
Ajiri berkata dari Abu Dawud bahwa ia tsiqah, dan Ibn Hibban menyebutkan dalam
(kitab) al-Tsiqqat.” Adapun dalam kitab yang lebih kecil, Taqrib al-Tahdzib Ibnu Hajar
berkata, “la ba’sa bihi.“
Tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim ditsiqahkan oleh sebagian ulama jarh
wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara
ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Seharusnya adil dan objektif meneliti
setiap ungkapan tersebut.
Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari sudah pasti
dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian
jarh dari Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana
itu. Tidak bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi
nazhar”.
Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya).
Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa
memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar”
oleh Imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk
penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari
“fihi nazhar”.
“fihi nazhar” seperti ungkapan hipotesis dari seorang peneliti, bahwa rawi ini perlu
diperhatikan atau diteliti lebih lanjut. Tetapi yang jelas, Imam al-Bukhari tidak
sedang menunjukkan ta’dil dengan ungkapan tersebut, melainkan jarh ringan yang
masih membuka ruang interpretasi para nuqqad (kritikus hadits). Termasuk potensi
jarh syadid (penilaian negatif yang parah) bahkan ta’dil, ketika pada tempat lain
Imam al-Bukhari menerimanya.
Bahkan ada yang mengajukan pendapat bahwa ungkapan “fihi nazhar” bermakna
pertengahan, dengan alasan ungkapan al-Hafizh Ibnu Hajar saat membahas Abu Balj
di kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadhli al-Tha’un hlm. 117:
وقال البخاري فيه نظر وهذه عبارته فيمن يكون وسطا
Menurut sebagian kalangan, penilaian imam al-Bukhari “fihi nazhar” untuk Abu Balj
26 9 Topik Khilafah
bukan jarh yang sifatnya menjatuhkan. Namun bermakna bahwa Imam al-Bukhari
memiliki sedikit keraguan terhadapnya. Bisa jadi Imam al-Bukhari menilai Abu Balj
shaduq, namun ada sedikit keraguan terhadapnya.
Buktinya, Imam al-Bukhari berhujjah dengan keterangan Abu Balj saat membahas
rawi lain. Dalam biografi Muhammad bin Hatib al-Qurasyi di Tarikh al-Kabir (18/1),
Imam al-Bukhari berhujjah dengan ini:
… َح َّدث َ َنا أَبُو بلج ق ََال لنا ُم َح َّمد بْن حاطب ولدت ِف الهجرة األوىل بالحبشة.
Hanya saja, saya sedikit keberatan ketika dikatakan bahwa asal dari istilah “fihi
nazhar” itu adalah pertengahan jarh dan ta’dil. Dengan alasan: (1) Itu sangat kasuistik
tergantung rawi yang ditelitinya; (2) makna pertengahan adalah interpretasi al-
Hafizh Ibnu Hajar pada kasus tertentu. Adapun interpretasi ulama lainnya berbeda;
(3) adanya penjelasan langsung dari Imam al-Bukhari tentang “fihi nazhar”.
Berikut ini adalah penjelasan Imam al-Bukhari terhadap istilah“fihi nazhar”:
1. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal (hlm. 544), al-Mizzi menyebutkan:
قــال:قــال الحافــظ أبــو محمــد عبــد اللــه ابــن أحمــد بــن ســعيد بــن يربــوع اإلشــبييل
وإذا قلــت فيــه نظــر، كل مــن مل أبــن فيــه جرحــة فهــو عــى االحتــال: البخــاري يف التاريــخ
فــا يحتمــل.
Secara jelas Imam al-Bukhari menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh ()ال يحتمل.
2. Imam al-Bukhari menyebutkan dalam biografi Suwaid bin Abdul Aziz bin
Numair al-Sulamiy Abi Muhammad al-Dimasqi2:
فيه نظر ال يحتمل
Imam al-Bukhari menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh ( )ال يحتملsebagaimana
yang disebutkan sebelumnya.
3. Al-Khathib al-Baghdadi3 dengan sanad kepada Abu Ja’far Muhammad bin Abi
Hatim, bahwasannya dia berkata: Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) ditanya
tentang informasi suatu hadits, maka al-Bukhari berkata:
وتركــت مثلهــا،يــا أبــا فــان! تـراين أدلــس وقــد تركــت عــرة آالف حديــث لرجــل فيــه نظــر
أو أكــر منهــا لغــره يل فيــه نظــر.
Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa beliau meninggalkan hadits yang di
dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar”.
APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS 27
PERNYATAAN AGUS MAFTUH ABEGABRIEL)
Dengan demikian, dugaan awal atau hipotesis dari ungkapan “fihi nazhar” adalah
cela ringan. “fihi nazhar” ini masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari
sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi
nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya
bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya.
Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab
hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.
Istilah yang tercakup dalam bahasan فيه نظر diantaranya adalah:
يف صحتــه، فيــه بعــض نظــر، منكــر الحديــث فيــه نظــر، يف إســناده نظــر،يف حديثــه نظــر
يف حفظــه، يف يعــض حديثــه نظــر، يف إســناده نظــر فيــا يرويــه، إســناده فيــه نظــر،نظــر
الــخ،…نظــر
Para muhaddits (ahli hadits) dan para nuqqad telah meneliti persoalan ini. Mereka
tidak satu suara dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar” atau istilah yang
semisalnya oleh Imam al-Bukhari.
Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari. Ini baru
yang “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi
ba’dhu nazhar, dll”. Untuk contoh, dalam hadits bisyarah nabawiyah “khilafah ‘ala
minhaj al-nubuwah”, yakni rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir.
Dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2606/2), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 66/2)
dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 405/2), Imam al-Bukhari menilainya “fihi
nazhar”.
Imam Ibnu Adi menilai Habib bin Salim munkar dan idhthirab dalam sanad, tetapi
Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Al-Hafizh Ibnu
Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”.4 Imam Muslim menggunakan dalam hadits
cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi meriwayatkannya.
Informasi tambahan yang cukup berharga adalah bahwa meski Habib bin Salim
dinilai “fihi nazhar”, namun Imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim
di ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152,
َعــن أَبِيــه عــن، َح َّدث َنــا أبــو عوانــة عــن إبراهيــم بــن محمــد بــن املنتــر، َح َّدث َنــا قتيبــة
حبيــب بــن ســامل عــن النعــان بــن بشــر أن النبــي صــى اللــه عليــه وســلم كان يقــرأ يف
َاش ـيَ ِة} ورمبــا َ {س ـبِّ ِح ْاس ـ َم َربِّـ َـك األَ ْعـ َـى} و { َهـ ْـل أَتَـ
ِ ـاك َح ِديــثُ الْغ َ العيديــن والجمعــة ب
اجتمعــا يف يــوم فيقــرأ بهــا
هــو حديــث صحيــح وكان ابــن عيينــة يــروي: فقــال، َســأل ُْت ُم َحم ـ ًدا عــن هــذا الحديــث
هــذا الحديــث عــن إبراهيــم بــن محمــد بــن املنتــر فيضطــرب يف روايتــه قــال مــرة حبيــب
4 Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 102/3; al-Tsiqat, 138/4; al-Kamil, 405/2; al-Taqrib, 151/1
28 9 Topik Khilafah
َعــن أَبِيــه عــن النعــان بــن بشــر وهــو وهــم والصحيــح حبيــب بــن ســامل عــن، بــن ســامل
النعــان بــن بشــر
Indikasi lainnya, meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, tapi imam al-Bukhari
berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin
Basyir5, al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim:
ق ََال حبيب بْن سامل يزيد بن أصحاب ُع َمر بْن َع ْبد العزيز
Demikian juga kalau memperhatikan penilaian para imam nuqqad mutaqaddimin,
semisal Imam Yahya bin Ma’in, Abu Hatim al-Razi dan Ibnu Adi, ketiganya selalu
berbeda dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar”. Mulai dari kadzdzab,
munkar, syaikh, shalih, la ba’sa bihi, hingga tsiqah. Jadi sekali lagi, jangan tergesa-
gesa.
Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa
Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah
Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 644-621.
Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha
adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua
ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian
ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai hujjah. Bagi para pengkaji, ini (jarh
dan ta’dil) salah satu medan penelitian yang sangat penting. Kita bisa meneliti,
membandingkan dan mengambil suatu kesimpulan.
Dalam menilai rawi Habib bin Salim misalnya, para ulama tidak satu suara. Tetapi
sebagian besar menerimanya. Bahkan para ulama hadits telah menerima hadits
yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim, termasuk hadits bisyarah nabawiyah
sebagaimana disebutkan di atas.
Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu
rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang
bacaan pada shalat ‘Ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir, melalui sanad Yahya
bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah
memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir dari bapaknya
dari Habib bin Muslim Maula al-Nu’man bin Basyir dari al-Nu’man bin Basyir.
Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang
telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti
mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan la ba’sa bihi.
Imam al-Tirmidzi (IV/54) mengomentari tentang hadits seorang laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits al-
Nu’man di dalam isnadnya terjadi idhthirab. Beliau juga berkata, “saya mendengar
5 Tarikh al-Kabir, 365/8
APAKAH HADITS KABAR GEMBIRA AKAN KEMBALINYA KHILAFAH DHA’IF? (TANGGAPAN ATAS 29
PERNYATAAN AGUS MAFTUH ABEGABRIEL)
Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari
Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah”. Dalam
kitab Aun al-Ma’bud disebutkan bahwa al-Tirmidzi berkata, “saya bertanya pada
Muhammad bin Isma’il (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah maka
beliau berkata: saya menahan diri terhadap hadits ini.” Penjelasan al-Tirmidzi ini
bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari diatas.
Terkait pernyataan Imam Ibnu Adi, dalam kitab al-Kamil fi Dhua’afa al-Rijal, Ibnu Adi
berkata: “…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang diimla’kan untuknya telah
berbeda-beda sanadnya, meski pada matan-matan haditsnya bukan hadits munkar
tapi terjadi idhthirab sanad-sanadnya apa yang diriwayatkan darinya Habib bin
Abi Tsabit…“. Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian
tidak ada alasan yang kuat untuk mendha’ifkan Habib bin Salim Al-Anshari. Adapun
indikasi idhthirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan
al-Tirmidzi di atas.
Adapun rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi ditsiqahkan oleh Abu
Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rawi sisanya adalah para rawi yang tsiqah.
Dengan demikian adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan
datangnya khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin
Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun
ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari dan “idhthirab” dari Ibnu Adi sudah
terjawab dalam penjelasan sebelumnya.
Adalah juga tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah
hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain
yang secara makna sejalan dengan hadits diatas. Misalnya hadits riwayat Muslim,
Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’
harta yang tidak terhitung jumlahnya. Selain itu masih banyak hadits-hadits yang
lain, misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu
Dawud, Ahmad, al-Thabarani, dan al-Baihaqi).
Penutup
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan
untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits
dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam ahmad tentang akan datangnya khilafah
adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-
Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, Juz 4 No. 18.430 dan dinilai
shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (17/2).
Terlebih lagi, masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna menegaskan hal
yang sama. []
30 9 Topik Khilafah
PENDAPAT OTORITATIF DAN
5 MAYORITAS TENTANG WAJIBNYA
HANYA SATU KHALIFAH
Pendahuluan
Dalam sidang gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kepada Menkumham di
Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) Kamis, 18/3/15 lalu, pihak pemerintah
menghadirkan Ahmad Ngisomudin, M.Ag. alias Ahmad Ishomuddin sebagai ahli. Ada
banyak pernyatan ahli tersebut yang bermasalah. Namun di antara yang mendesak
untuk ditanggapi adalah pernyataannya tentang kewajiban mengangkat hanya satu
orang khalifah hanyalah pendapat Hizbut Tahrir.1 Ungkapan tersebut juga menarik
untuk ditanggapi karena dia dengan tanpa sadar telah menyerang pendapat
madzhabnya sendiri. Padahal kalau mau cermat dan teliti, tentu saja pendapat
Hizbut Tahrir sangat sejalan dengan pendapat madzhabnya, Madzhab Syafi'i.
Padahal kalau kita perhatikan uraian Imam al-Mawardi menunjukkan dengan jelas
bahwa pendapat yang dipegang Hizbut Tahrir adalah pendapat terkuat yang ada
dalam Madzhab Syafi’i, bahkan ia menjadi pendapat jumhur ulama lintas madzhab.
1 Dia mengatakan, “Padahal tidak ada seorang pun dari ulama madzhab Sunni dalam kitab-kitab mereka
yang mewajibkan hanya ada satu negara yang sah di dunia yang sangat luas ini yang wajib berada dalam
genggaman kekuasaan satu orang khalifah” (Ahmad Ngisomudin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah
Menuju Khilafah Islamiyyah)
2 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174-168.
3 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
4 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, juz ke19-, hlm. 485.
5 Al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al
Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
6 Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
7 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
8 Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
9 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15.
32 9 Topik Khilafah
Definisi yang jami’ dan mani’ (menyeluruh dan mengeluarkan yang tidak perlu)
adalah,
،الخالفــة هــي رئاســة عامــة للمســلمني جميع ـاً يف الدنيــا إلقامــة أحــكام الــرع اإلســامي
وحمــل الدعــوة اإلســامية إىل العــامل
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah
Islam ke seluruh penjuru dunia.”10
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah
memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil
syariah.
Penutup
Dengan demikian, jika Ahmad Ngisomudin jujur dengan keilmuannya, sebagai
seorang ahli, harusnya jangan menyembunyikan ilmunya. Kecualinya memang
memiliki motif-motif lainnya. Tentu para ahli ilmu tahu wajibnya menjelaskan pada
masyarakat bahwa adanya Imam atau khalifah untuk menerapkan hukum Allah,
menolong sunnahnya, membela yang dizhalimi serta menempatkan hak-hak pada
tempatnya adalah fardhu kifayah. Ini amanah ilmu. Rasulullah Saw menegaskan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah, sanksi yang akan diberikan
di hari kiamat kelak bagi yang mereka yang kitman (menyembunyikan) terhadap
Ilmu dengan sabda beliau,
َما ِم ْن َر ُجلٍ يَ ْح َف ُظ ِعل ًْم فَ َي ْكتُ ُم ُه إِلَّ أُ ِ َت ِب ِه يَ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة ُملْ َج ًم ِبلِ َج ٍام ِم ْن ال َّنا ِر
“Tidaklah seorang yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya kecuali dia
akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang dengan (kekang)
dari api neraka.” (HR. Ibnu Majah). Wallahu a’lam. []
38 9 Topik Khilafah
KRIMINALISASI KHILAFAH,
6 PENISTAAN TERHADAP AJARAN
ISLAM
Pendahuluan
Perbincangan gagasan khilafah kembali mengemuka pasca-peluncuran film “Jejak
Khilafah di Nusantara” awal Muharram 1442 H lalu. Kemudian ada sekelompok
orang dari ormas tertentu mempersekusi seorang tokoh sembari menyebut “khilafah
sebagai ajaran terlarang”. Demikian juga dengan laporan terhadap salah seorang
tokoh nasional yang disangka melakukan penyebaran ajaran khilafah yang terlarang.
Padahal, khilafah tidak pernah dinyatakan sebagai paham terlarang baik dalam surat
keputusan tata usaha negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan
atau produk hukum lainnya sebagaimana paham komunisme, marxisme/leninisme
dan atheisme, yang merupakan ajaran PKI melalui TAP MPRS NO. XXV/1966. Artinya,
sebagai ajaran Islam, khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan di tengah-
tengah umat. Mendakwahkan khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan
keyakinan agama Islam yang dijamin konstitusi di negeri ini. Lebih dari itu, khilafah
adalah ajaran Islam yang agung dan warisan Rasulullah. Mengkriminalisasi khilafah
sama dengan penistaan terhadap ajaran Islam.
42 9 Topik Khilafah
orang saja, tetapi Allah Swt menghukumi sama terhadap semua munafik yang ada
karena mereka semua mengetahuinya tetapi tidak mengingkarinya.
Selain bagian dari ajaran islam yang mulia, khilafah juga adalah warisan penting
dari Rasulullah Saw. Mengkriminalisasi dan melecehkan khilafah sama artinya
melecehkan dan menista warisan Rasulullah yang agung. Menista warisan Rasulullah
sama artinya dengan menista Rasulullah. Hukum bagi orang yang menista atau
menghina Nabi Saw adalah dengan membunuhnya. Hal tersebut dijelaskan secara
panjang lebar oleh al-›Allamah al-Qadhi Iyadh dalam Kitab al-Syifa bi-Ta›rif Huquq
al-Mushthafa Saw.7
Beliau -al-Qadhi ‘Iyadh- menegaskan,
"Ketahuilah -semoga kita diberi hidayah taufiq- bahwa siapapun yang menistakan
Nabi Saw, menghina beliau, atau menganggap beliau tidak sempurna pada diri,
nasab, dan agama beliau, atau di antara akhlak beliau, atau menandingi beliau, atau
menyerupakan beliau dengan sesuatu untuk menistakan beliau, atau meremehkan
beliau, atau merendahkan kedudukan beliau, atau menjatuhkan beliau, atau
menghinakan beliau, maka ia termasuk orang yang menistakan beliau. Hukum yang
berlaku atasnya adalah hukum pelaku penistaan, yaitu dihukum mati sebagaimana
yang akan kami jelaskan ini."8
Jangankan menuduh ajaran Rasulullah kriminal, berbahaya dan memecah-belah,
mengatakan selendang Nabi lusuh saja tidak boleh. Al-'Allamah al-Qadhi Iyadh
masih dalam Kitab al-Syifa mengutip Riwayat,
- ز َّر النبــي ﷺ: ويــروى- مــن قــال إن رداء النبــي ﷺ: وروى ابــن وهــب عــن مالــك
وســخ ؛ أراد بــه عيبــه قُ ِتــل.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik berkata: “Barangsiapa berkata bahwa
selendang Nabi kotor, dengan bermaksud menghina, maka dia dibunuh”9
Hanya saja, semua bentuk hukuman di dunia yang disebutkan oleh para
ulama seperti dalam kitab al-Syifa tersebut efektif ditegakkan oleh negara yang
menerapkan Islam (daulah Islam/khilafah). Saat tidak ada khilafah, penistaan demi
penistaan terus datang silih berganti dalam beragam bentuknya. Ini adalah musibah
yang menimpa umat Muhammad Saw dewasa ini.
Penutup
Kriminalisasi terhadap ajaran khilafah Islam adalah bentuk penistaan terhadap
ajaran Islam dan warisan mulia Rasulullah Saw. Penistaan pada ajaran Islam
7 Lihat al-Qadhi Iyadh, al-Syifa bi-Ta'rif Huquq al-Mushthafa Saw, hlm. 884-760.
8 Lihat al-Qadhi 'Iyadh, al-Syifa, hlm. 765.
9 Lihat al-Qadhi ‹Iyadh, al-Syifa, hlm. 768.
1 Lihat tribunnews.com, “Penyebar Paham Khilafahisme akan Diburu Seperti Paham Marxisme-Komunisme,
Kapitalisme-Liberalisme”, 15 Juni 2020, https://makassar.tribunnews.com/15/06/2020/penyebar-paham-
khilafahisme-akan-diburu-seperti-paham-marxisme-komunisme-kapitalisme-liberalisme [diakses 18 Juni
2020]
2 Lihat wikipedia.org, <https://id.wikipedia.org/wiki/-isme#:~:text=Sufiks2%20%Disme20%berasal20%dari20%
Yunani,kepercayaan20%tertentu20%memiliki20%sufiks2%20%Disme> [diakses 18 Juni 2020].
46 9 Topik Khilafah
mempropgandakan bahwa Muhammad adalah tukang sihir, dukun bahkan gila.6
Serangan terhadap istilah khilafah dalam bentuk pengkerdilan dan reduksi
istilah sebenarnya sudah berlangsung lama. Upaya distorsi terhadap
istilah khilafah dilakukan secara terus-menerus dan oleh lintas gerenasi. Rasyid
Ridha (1935-1865) dengan bukunya yang berjudul al-Khilafah, juga Ali Abdurraziq
(1966-1888) dengan bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, merupakan dua tokoh
yang mengawali upaya pendistorsian makna khilafah.7
Upaya jahat mendistorsi ajaran Islam merupakan konfirmasi atas kebenaran firman
Allah SWT,
ُ َّ ٱلل ِب َأ ۡف ٰ َوهِ هِ ـ ۡم َو َي ۡأ َبــى
ٱلل ِإَّل ٓ َأن ُي ِتـ َّـم ُنــو َر ُهۥ َولَ ـ ۡو َكـ ِـر َه ِ َّ ون َأن ُي ۡطفِ ُئــواْ ُنــو َر
َ ُي ِري ـ ُد
َ ٱ ۡل ٰ َكفِ ُر
ون
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka,
sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya meski
orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubah: 32)
9 Lihat al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
10 Lihat al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
11 Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 174-168.
12 Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
13 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke19-, hlm. 485.
14 Lihat al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala
Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
15 Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini,
Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
48 9 Topik Khilafah
politik yang sifatnya duniawi”16
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah
memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil
syariah.
17 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan
para rawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
”Hadits shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.”
ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 7516).
50 9 Topik Khilafah
8 PERAN ULAMA DALAM
MENEGAKKAN KHILAFAH
Pendahuluan
Ulama adalah pelita di tengah kegelapan. Kebaikan pada diri umat Islam ini akan
terus ada selama ada para ulama yang menjadi pelita di tengah-tengah mereka.
Kedudukan mereka yang tinggi -karena ilmunya- akan menjadi kebaikan bagi umat
dan penguasa. Sebaliknya, rusaknya ulama akan menjadi sebab kerusakan pada umat
dan penguasa. Imam al-Ghazali mengatakan, “Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu
kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan
kerusakan para ulama".1 Satu abad setelah keruntuhan khilafah Islam, berbagai
upaya telah dilakukan oleh kaum muslimin dari masa ke masa. Dalam sejarahnya,
ulama memiliki peran yang sangat penting yakni menjadi benteng ilmu bagi khilafah
Islam dan menjadi penggerak perjuangan mewujudkan kembali saat ketiadaannya.
Seruan
Wahai para ulama yang memiliki kedudukan mulia, Rasulullah Saw. bersabda,
َوإِ َّن الْ ُعل ََم َء َو َرث َ ُة ْالَنْ ِب َيا ِء َوإِ َّن ْالَنْ ِب َيا َء لَ ْم يُ َو ِّرث ُوا ِدي َنا ًرا َولَ ِد ْر َه ًم َو َّرث ُوا الْ ِعلْم
"Bahwa ulama adalah ahli waris para Nabi. Dan para Nabi itu tidak mewariskan dinar
atau dirham tapi mewariskan ilmu… ". (HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, dll)
Para ulama adalah sosok yang menonjol karena keberadaannya sebagai ahli waris
para Nabi, yakni dakwah dan ilmu. Oleh karena itu, para ulama yang dimuliakan
Allah:
Pertama, marilah bersama-sama dengan kaum muslimin dengan menempatkan
diri di shaf terdepan dalam melakukan aktivitas kolektif yang sifatnya wajib kifayah,
yakni dakwah untuk mengajak pada Islam dan (penerapan) syariah, serta amar
makruf nahi munkar. Ulama harus berada pada garda terdepan karena karena
dengan paduan ilmu dan amal para ulama, dan memiliki isthitha'ah (kemampuan)
di atas kaum muslimin pada umumnya. Imam al-Qurthubi telah menegaskan bahwa
12 Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur›an al-Azhim, juz VI, hlm. 320.
56 9 Topik Khilafah
9 ULAMA, PENEGAKKAN KHILAFAH,
DAN JEBAKAN PENJAJAH
Pendahuluan
Ulama adalah pelita di tengah kegelapan. Kebaikan pada diri umat Islam ini akan
terus ada selama ada para ulama yang menjadi pelita di tengah-tengah mereka.
Kedudukan mereka yang tinggi -karena ilmu dan dakwahnya- akan menjadi kebaikan
bagi umat dan penguasa. Sebaliknya, rusaknya ulama akan menjadi sebab kerusakan
pada umat dan penguasa. Imam al-Ghazali mengatakan, “Tidaklah terjadi kerusakan
rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa
kecuali dengan kerusakan para ulama."1 Lebih dari satu abad setelah keruntuhan
khilafah Islam, berbagai upaya telah dilakukan oleh kaum muslim dari masa ke masa.
Dalam sejarahnya, ulama memiliki peran yang sangat penting yakni menjadi benteng
ilmu bagi khilafah Islam dan menjadi penggerak perjuangan mewujudkan kembali
saat ketiadaannya. Namun perjuangan tersebut tidak pernah sepi dari jebakan
negara penjajah yang tidak menghendaki khilafah hadir kembali.
7 Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashl al-Kalam fi Muwajahati Dzulm al-Hukkam, hlm. 255.
8 Lihat Abdurrahman al-Khaddami, Biografi Syaikh Yusuf an-Nabhani, https://tsaqofah.id/biografi-syaikh-yusuf-
an-nabhani/, tanggal akses: 8 Februari 2023
9 Lihat Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, hlm. 258-255.
Penutup
Peran ulama dalam menegakkan khilafah adalah perkara yang niscaya. Khilafah
bukan hanya kewajiban, tetapi juga akan menjadi solusi persoalan umat. Namun
para para ulama harus memiliki kesadaran politik yang baik agar tidak terjebak
oleh perangkap negara-negara penjajah. Para ulama juga harus memiliki kesadaran
tentang hakikat Daulah Islam, sehingga perkara ini menjadi jelas bagi kaum muslim.
Karena negara kafir penjajah berusaha menyesatkan kaum muslim, dan mengalihkan
mereka dari tujuan mulia mereka. Para ulama juga harus selalu menebarkan spirit
harapan dalam jiwa umat dan mengingatkan masa lalu umat secara terus menerus,
dan mengokohkan pemahaman Islam, sehingga tidak runtuh di depan makar negara
penjajah. Wallahu a’lam. []
63
64 9 Topik Keumatan
1 BAHAYA GAGASAN DIALOG
ANTARAGAMA
66 9 Topik Keumatan
mengatakan, “Sesungguhnya benturan antarperadaban nanti akan mendominasi
politik luar negeri. Batas-batas pemisah antarperadaban di masa depan nantinya
akan menjadi batas-batas konfrontasi antarperadaban.”6
Kedua, klaim tidak ada kebenaran mutlak. Mereka memandang perlunya upaya
mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tidak boleh
seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran. Dengan ungkapan seperti
itu, mereka bermaksud membangun pola baru hubungan antar umat beragama,
dari yang eksklusif (yang mengakui kebenaran agamanya sendiri) menjadi inklusif
atau bahkan pluralis. Dengan itulah, kata mereka, maka kerukunan umat beragama
dapat diwujudkan. Sebab, tidak ada lagi klaim kebenaran (absolute truth claim)
yang bersifat mutlak pada masing-masing pemeluk agama. Bahkan, oleh Charles
Kimball, melalui bukunya, When Religion Becomes Evil, absolute truth claim adalah
ciri pertama dari agama jahat (evil).7
Pandangan itu tidak benar. Sebelum kerukunan tercapai, reduksi keyakinan/
keimanan pada masing-masing pemeluk agama sudah terjadi. Ketika itu pula
sebenarnya tidak perlu ada dialog antar pemeluk agama lagi, sebab mereka semua
sudah melepaskan imannya masing-masing. Teologinya sudah menjadi satu, universal
theology of religion. Ujung dari penyebaran paham adalah yaitu ketidakyakinan atau
keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari
pemikiran pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.8
Ketiga, tuduhan agama sebagai sumber konflik. Tuduhan ini mengandung dua
motif sekaligus; justifikasi dialog antaragama demi terciptanya perdamaian, dan
mengaburkan sumber konflik yang sebenarnya. Faktanya, imperialisme negara-
negara Barat-lah yang telah melahirkan konflik dan kerusakan di dunia Islam.
Bahkan konflik tersebut sengaja dipelihara agar umat Islam dalam keadaan lemah.
Di pihak lain, Barat tidak jujur dengan propagandanya sendiri, karena sesungguhnya
pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum muslimin dan memimpin
berbagai konferensi dialog antaragama itu, memandang Islam dengan pandangan
permusuhan. Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antaragama, yang
dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Bagaimana
umat Islam harus tunduk pada nilai-nilai Barat seperti HAM dan Demokrasi.
6 Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon &
Schuster, 1996); Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah, hlm. 9.
7 Lihat Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: Harper Collins, 2002), hlm. 54.
8 Lihat Adian Husaini, Jangan Ikuti yang Ragu-ragu, https://adianhusaini.id/detailpost/jangan-ikuti-paham-
ragu-ragu, diakses tanggal 7 November 2022.
11 Lihat QS. Yunus: 72, QS. Al-Baqarah: 128, al-Dzariyat: 36, QS. Yunus: 84, dan QS. Ali Imran: 52.
12 Lihat Abdul Qadim Zallum, Mafahim Khatirah, hlm. 11.
70 9 Topik Keumatan
Penutup
Dengan demikian, jelaslah bahwa konsep dialog antaragama dibangun di atas
landasan yang rapuh, motif yang buruk, serta merupakan gagasan utopis dan batil.
Umat Islam tidak boleh terjebak rayuan dan janji manisnya. Tujuan yang mereka
kampanyekan untuk menciptakan perdamaian dunia tidak akan terwujud jika
mereka sendiri diam atas penjajahan dan kerusakan yang diakibatkan keserakahan
negara-negara kapitalis. Jika hendak membangun sebuah dialog dan perdebatan
antaragama yang sepadan, seharusnya dibangun di atas landasan keyakinan pada
kesempurnaan din Islam, terbuka untuk membuktikan kesalahan agama lain, tidak
tunduk pada skenario penjajahan negara Barat, dan selanjutnya baru membangun
harmoni dalam pergaulan antarumat beragama. []
Pendahuluan
Pelanggaran pelaku LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) terhadap syariat
Islam sebenarnya sudah jelas dan tidak ada perdebatan di dalamnya. Perdebatan
mengemuka ketika menilai baik dan buruknya LGBT dengan standar selain hukum
Islam. Secara garis besar, kubu yang pro LGBT mendasarkan pendapatnya pada hak
asasi manusia (HAM); sedangkan kaum muslimin yang kontra LGBT mendasarkan
pendapatnya pada nilai-nilai normatif, yaitu ajaran Islam. Sampai di sini sebenarnya
sudah selesai. Namun masalah kembali muncul ketika kubu yang pro LGBT mencoba
untuk menjustifikasi pelaku LGBT dengan landasan normatif dari al-Quran.
Beberapa ayat al-Quran ditafsirulang agar sejalan dengan perilaku menyimpang
LGBT. Berangkat dari justifikasi pendukung LGBT dengan menggunakan dalil-dalil
agama itu, perlu kiranya kita memberikan bantahan atas dalih-dalih tersebut agar
menjadi jelas kecacatannya.
2 Homoseksual adalah perbuatan laki-laki mendatangi laki-laki lainnya melalui duburnya, yang dalam istilah
syariah disebut liwath. Pengertian liwath. Hal itu bisa kita rujuk dalam penjelasan Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji, bahwa: “Al-Liwath: adalah perbuatan siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, yaitu
memasukkan dzakar ke dubur laki-laki lainnya (homoseksual). (Lihat Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam
Lughah al-Fuqaha’, juz I, hlm. 394)
3 Hadits ini dinilai shahih oleh imam al-Hakim. Abu Isa mengatakan: “Hadits ini hasan gharib dari jalur
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail bin Abi Thalib dari Jabir bin ‘Abdillah r.a.”
4 Hadits ini shahih. Imam Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahih-nya, dan Syu’aib al-Arna’uth
mengatakan, “Hadits sanadnya kuat memenuhi syarat Muslim”.
74 9 Topik Keumatan
Pada hadits lainnya, terdapat ungkapan bahwa pelaku homoseksual dilaknat oleh
Allah Swt. Laknat Allah ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa
besar.
ٍ لَ َعـ َن اللـ ُه َمـ ْن َع ِمـ َـل َع َمـ َـل قَـ ْو ِم لُـ،ـوط
«ُ لَ َعـ َن اللـه،ـوط ٍ لَ َعـ َن اللـ ُه َمـ ْن َع ِمـ َـل َع َمـ َـل قَـ ْو ِم لُـ
ٍ » َمـ ْن َع ِمـ َـل َع َمـ َـل قَـ ْو ِم لُـ
ـوط
“Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat
siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang
mengamalkan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dll)
Bahkan pelaku homoseksual wajib dikenakan sanksi dunia oleh khalifah berupa
hukuman mati. Nabi bersabda dalam hadits shahih,
َ ُوط فَاقْتُلُوا الْ َفاِ َع َل َوالْ َم ْف ُع
«ول ِب ِه ٍ » َم ْن َو َجدْتُ ُو ُه يَ ْع َم ُل َع َم َل قَ ْو ِم ل
“Siapa saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum
Luth, maka hukum bunuhlah subjek dan objeknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
al-Hakim)
Kedua, adalah tidak benar bahwa kisah kaum Nabi Luth yang dikabarkan kepada
Nabi Muhammad Saw hanyalah cerita penghibur di kala Nabi mengalami penolakan
dakwah. Dengan memperhatikan munasabah diantara ayat-ayat yang serupa, justru
makin menguatkan bahwa di dalamnya ada penunjukkan (dalalah) yang jelas atas
keharaman dan tercelanya homoseksual. Adapun terkait asbab al-nuzul ayat sama
sekali tidak menegasikan penunjukkan ayat bahwa homoseksual adalah perkara
yang tercela dan harus dijauhi.
Ketika membahas LGBT, kita tidak bisa lepas dari perilaku menyimpang kaum Nabi
Luth As yang dikenal sebagai kaum penyuka sesama jenis (homoseksual). Dari 27
ayat yang memuat redaksi Nabi Luth, terdapat tiga ayat yang melabeli perilaku kaum
Nabi Luth As sebagai “fahisyah”, yaitu QS. al-A’raf [80 :]7, QS. al-Naml [54 :]27 dan QS.
al-‘Ankabut [28 :]29 sebagai berikut:
"(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika dia berkata
kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (QS. al-A’raf [80 :]7).
"Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan fahisyah itu, sedang kamu memperlihatkan(nya)?” (QS. al-
Naml [54 :]27).
"Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu
benar-benar mengerjakan perbuatan fahisyah yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (QS. al-‘Ankabut [28 :]29).
76 9 Topik Keumatan
dengan pembawaan manusia berupa penyimpangan seksual adalah kesalahan fatal,
bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian.
Keempat, kelompok liberal telah gagal memahami ayat al-Quran yang menjanjikan
bahwa penghuni surga akan didampingi oleh anak muda tampan. “Mereka dikelilingi
oleh anak-anak muda yang tetap muda.”(TQS. Al-Waqiah [17 :]56). Maksudnya adalah
(mereka dikelilingi) oleh para pelayan (yang terdiri dari anak-anak muda yang tetap
muda), artinya mereka tetap muda untuk selama-lamanya.8 Mereka tidak istirahat,
bahkan mereka bertebaran untuk membantu menyediakan kebutuhan (penduduk
surga).
Siapakah pelayan dari kalangan anak muda tersebut? Para ulama berbeda pendapat.
Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib ra. yang dimaksud dengan anak-anak muda itu
adalah anak-anak kaum muslimin yang meninggal dunia pada waktu kecil yang
belum memiliki amal kebaikan dan keburukan. Dalam riwayat lain, dari Salman ra
bahwa ia berkata: “anak-anak orang musyrik, merekalah sebagai para pembantu
penduduk surga”. Pendapat lainnya adalah bahwa anak-anak yang bertebaran di
sekitar penghuni surga adalah salah satu dari ciptaan Allah di surga, mereka bukan
anak-anak dari penduduk bumi.9 Dengan demikian, kelompok liberal telah berfantasi
bahwa pelayan-pelayan tersebut adalah pemuas hubungan homoseksual.
Kelima, mereka melakukan kesalahan fatal dalam memahami potongan ayat “uli
al-irbah min al-rijal (ِال ْربَــ ِة ِمــ َن ال ِّر َجــال ِ ُ ”)أdalam ayat al-Quran surat al-Nur ayat 31
ِ ْ ول
yang sering dijadikan justifikasi penerimaan LGBT. Ungkapan tersebut konteksnya
berkaitan dengan seorang laki-laki yang tak memiliki hasrat terhadap wanita, dengan
karakteristik yang kemudian dirinci oleh para ulama. Ibn Abbas ra berpendapat
bahwa mereka adalah orang yang sakit akalnya, tidak berhasrat pada perempuan
dan tidak menginginkannya.10 Al-Nawawi menguatkan pendapat ini.
Ulama lainnya, seperti Mujahid menafsirkan bahwa itu adalah laki-laki yang
tidak berhasrat kepada wanita. Al-Zuhri menafsirkannya sebagai orang pandir
(ahmaq, bodoh tak berhasrat pada wanita). Ada juga yang menafsirkan sebagai
laki-laki yang sudah tua renta, yang tidak lagi berhasrat pada wanita dan tidak
menginginkannya.11
Dengan demikian sebuah kecerobohan jika “laki-laki yang tidak memiliki hasrat
seksual” dimaknai sebagai laki-laki penyuka sesama jenis atau gay. Tidak ada satupun
penafsiran ulama muktabar yang memahami bahwa laki-laki yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah yang memiliki kecenderungan homoseksual.
8 Lihat Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahaliy, Tafsir al-Jalalain, hlm. 494.
9 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 4, hlm. 312.
10 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fî Ta’wil al-Qur’an, juz 19, hlm. 161.
11 Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan, juz 19, hlm. 161.
78 9 Topik Keumatan
3 PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN
REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM
Pendahuluan
Beralasan dunia terus mengalami perubahan, Menteri Agama (Menag) RI Yaqut
Cholil Qoumas melihat pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep
fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespon tantangan zaman. Hal itu ia
sampaikan saat memberikan sambutan pada pembukaan Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS) yang ke20- di Surakarta, Senin (2021/10/25).
Namun benarkah fikih Islam harus dilakukan rekontekstualisasi sehingga bisa
menjawab perubahan zaman? Ataukah justru yang dibutuhkan adalah ijtihad dan
penerapan fikih Islam dalam rangka memberikan jawaban atas perubahan dunia
yang dinamis? Tulisan ini akan mengulas perbedaan mendasar antara ijtihad dengan
rekontekstualisasi fikih ala Menag.
1 Lihat al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5; al-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hlm. 509; al-Syaukani, Irsyâd
al-Fuhûl, hlm. 3; al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9.
2 Lihat Taqiyyuddin al-Nahbani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5.
3 Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, III/5; al-Amidi, I/9; al-Syaukani, hlm. 3.
4 Lihat Taqiyyuddin al-Nahbani, III/31; al-Amidi, I/71-70; al-Syaukani, hlm. 7.
5 Lihat al-Razi, hlm.114.] Ijtihad juga bermakna, Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li
al-kalafat wa al-musyaqqaq (mencurahkan seluruh kemampuan dalam meneliti dan mengkaji suatu perkara
yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan.[ Lihat al-Amidi, II/309.
80 9 Topik Keumatan
Adapun para ulama ushul fikih mendefinisakan ijtihad dengan, istafrâgh al-wus‘î
fî thalab azh-zhann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi
‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum
syariat dari dalil-dalil zhanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan
usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan).6
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses
menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan
segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih
dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga
poin berikut ini:
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni al-dalalah (zhan
secara penunjukkannya). Menurut Imam al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i
(pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan
atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil
yang bersifat zhanni al-dalalah.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk
menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun
perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât). Penelitian dan uji coba di dalam
laboratorium hingga menghasilkan sebuah teori maupun hipotesis tidak disebut
dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan
puncak kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari
apa yang telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya
mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu
melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan.7
Adapun seseorang dikatakan layak untuk berijtihad jika telah memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun
kaidah-kaidah hukum. Maksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, al-Sunnah dan
Ijmak. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, ak-Sunnah dan Ijmak berikut
klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami,
mengompromikan (jam’), melakukan nasakh, atau melakukan tarjîh terhadap dalil-
dalil yang bertentangan (ta’arudh).
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan
pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah. Seorang mujtahid
disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk
Penutup
Lanjutan dari gagasan rekontekstualisasi fikih adalah usaha meninjau kembali ajaran
Islam yang dianggap tidak relevan lagi dan menafsirkannya dengan interpretasi
baru, untuk menjadikan Islam sebagai agama moderat. Ayat-ayat jihad dan qishah
ditafsir-ulang. Ajaran khilafah ditinjau-ulang. Islam harus menjadi agama “damai”
yang menengahi Timur dan Barat. Padahal itu jauh dari prinsip wasathiyyah umat
Islam. “Ummat[an] wasatha[n]” adalah umat yang adil, bukan umat yang guncang
tanpa prinsip. Apa yang mereka lakukan hingga hari ini adalah bentuk liberalisai
dengan cover moderasi dan rekontekstualisasi. Bahkan lebih jauh lagi itu merupakan
bentuk sekulariasi ajaran Islam. []
Pendahuluan
Belakangan ini, ramai diarusutamakan gagasan moderasi agama. Sebuah gagasan
beragama secara moderat. Jauh sebelum itu, dipromosikan juga gagasan modernisasi
agama, yaitu gagasan beragama secara modern. Agama (Islam) harus adaptif dengan
tatanan dunia global yang metropolitan. Cara berislam yang bersikeras berpegang
teguh pada ajaran Islam, menginginkan tegaknya sistem Islam, dan menolak
budaya Barat, dianggap kuno dan tidak berkemajuan. Standar modernisasi bukan
lagi pada aspek teknologi, namun penerimaan pada pemikiran dan budaya Barat.
Oleh karenanya, ortodoksi fikih Islam harus ditinjauulang. Benarkah modernisasi
semacam itu memiliki landasan normatif dalam Islam berupa konsep tajdid? Untuk
menjawab pertanyaan itu, tulisan ini disusun.
1 Lihat Bustami Muhammad Sa’id, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Mundzir, hlm.
3-2.
ُ ِ ” أَكْـ:ـال
َـروا ِمـ ْن قَـ ْو ِل ل َ يَــا َر ُسـ: ِقيـ َـل،“ َجـ ِّد ُدوا إِميَانَ ُكـ ْم
َ َوكَيْـ َـف نُ َجـ ِّد ُد إِميَانَ َنــا؟ قَـ،ـول اللـ ِه
إِلَـ َه إِ َّل اللـ ُه
“Perbaharuilah iman kamu!” Ada seorang yang bertanya: “Bagaimana kami
memperbaharuhi iman kami?” Beliau bersabda: “Perbanyaklah mengucapkan lâ ilâha
illa Allâh.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Sebagian ulama mendefinisikan tajdid sebagai upaya menghidupkan kembali
apa yang telah hilang dan terhapus dalam penerapan isi al-Qur’an dan al-Sunah,
serta perkara yang wajib dikerjakannya.3 Seorang ulama salaf, Sahal al-Su’luqi (w.
389 H), mengatakan: “Allah mengembalikan agama ini sesudah terhapus sebagian
dari padanya, melalui Ahmad bin Hambal, Abu Hasan al-Asy’ari, dan Abi Nu’aim
6 Lihat Muhammad Hamid al-Nasir, Menjawab Modernisasi Islam, Terj. Abu Umar Basyir, hlm. 182-181.
7 Lihat Ahmad Khan, “Reenterpretation of Moslem Theology”, dalam John J. Donohue dan John L. Espesito (ed),
Islam In Transition and Prespektives, hlm. 64-61.
8 Lihat Muhammad Iqbal, Tajdid al-Fikr al-Din fi al-Islam, Terj. Abbas Mahmud al-Aqad, hlm. 182.
9 Lihat Muhammad Imarah, Al-Masiriyun – al-A’mal al-Kamilah li Qasim Amin, Juz I, hlm. 292.
88 9 Topik Keumatan
Ushul al-Hukm, ia menakwilkan hukum-hukum al-Qur’an, al-Sunah, dan fikih yang
disesuaikan dengan pemikiran Barat, dan menjadikan kitabnya sebagai puncak
produk pemikiran modern. Raziq lebih mengedepankan substansi dari sebuah
pemerintahan, yakni menegakkan keadilan. Ia tidak menghiraukan penamaan dari
pemerintahan Islam (sistem khilafah).10
Demikianlah para modernis berbicara tentang modernisasi Islam yaitu dalam
rangka menyeleraskan Islam dengan peradaban Barat, bahkan menolak apapun
yang datang dari Islam jika bertentangan dengan peradaban Barat.
10 Lihat Dhiya’u al-Din al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-’Asri al-Hadis; Naqd li Kitab al-Islam wa Ushul al-
Hukm, hlm. 257-256.
11 Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm. 7.
Penutup
Jelaslah bahwa tajdid dalam Islam berbeda dengan modernisasi. Keduanya berbeda
secara konsep dan implementasi. Apa yang dilakukan kaum modernis bukanlah
tajdid sebagaimana yang dilakukan para mujaddid dalam Islam. Apa yang mereka
lakukan lebih dekat dengan taghrib (westernisasi), bahkan sekulariasi ajaran
Islam. Karena memang Islam tidak menafikan adanya inovasi kreatif dan dinamis
dalam perkara teknis kehidupan seperti sains dan teknologi. Oleh karenanya tidak
berlebihan jika gencarnya promosi moderasi agama belakangan ini, meski dalam
tampilan yang lebih soft, harus dibaca sebagai perang pemikiran yang tujuannya
sama, yaitu menjadikan Islam tunduk pada peradaban Barat. Modernisasi dan
moderasi Islam hakikatnya sama yaitu mengajak umat agar berislam dengan cara
yang dikehendaki Barat. Wallahu a’lam. []
90 9 Topik Keumatan
5 UMMAT[AN] WASATH[AN] BUKAN DALIL
MODERASI ISLAM
Pendahuluan
Pemerintah melalui berbagai kementeriannya, termasuk Kementerian Agama,
tengah mengkampanyekan moderasi beragama dan kontra-narasi radikalisme.
Salah satu bentuk kampanye itu adalah dengan membangun pusat kajian beragama
di berbagai kampus. Pemerintah mendefinisikan radikalisme sebagai upaya yang
dilakukan individu atau kelompok melalui perubahan radikal hingga ke akar dengan
cara kekerasan. Masih menurut pandangan Kementerian Agama, kelompok itu
ingin mengubah landasan Pancasila dengan Khilafah. Oleh karena itu, pemerintah
melakukan upaya deradikalisasi yang dilakukan secara sistematis, massif,
terstruktur dan terukur. Namun gagasan ini secara faktual lebih diarahkan kepada
Islam dan umatnya. Umat Islam dan ajarannya jadi target utama program moderasi
beragama ini. Lalu, dibuat argumen-argumen bahwa moderasi itu selaras dengan
Islam. Tulisan ini bermaksud mengkritisi argumentasi bahwa moderasi beragama
memiliki akar normatif dalam Islam.
2 Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm.7.
92 9 Topik Keumatan
ُ ٱلر ُسـ
ـول َعلَ ْي ُكـ ْم َ ـاس َو َي ُكـ
َّ ـون َّ ـك َج َعلْ ٰ َن ُكـ ْم ُأَّمـ ًة َو َسـ ًـطا ِّل َت ُكو ُنــو ۟ا ُشـ َه َدآ َء َعلَــى
ِ ٱلنـ َ َو َك ٰ َذ ِلـ
ۗ َشــهِ ي ًدا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. al-Baqarah [143 :]2).
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ummat[an] wasath[an] dan bagaimana
kedudukan yang sebenarnya? Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah
terdapat banyak pendapat dari para ulama yang mengarah pada pengertian suatu
yang berada di tengah. Hal itu dapat kita jumpai dalam pendapatnya Ibnu ‘Asyur, al-
Asfahani, Wahbah al-Zuhaili, al-Thabari, Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Lantas apa
yang dimaksud dengan tengah-tengah?
Dalam memaknai sebuah lafazh, imam al-Thabari seringkali berdasarkan riwayat.
Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan
hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai
orang pilihan. Riwayat tersebut adalah,
Penutup
Dengan memahami bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu bermakna umat pilihan
dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), maka gagasan moderasi Islam tidak punya tempat
sama sekali. Umat yang adil adalah umat yang menegakkan ajaran Islam, bukan umat
yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam. Dengan demikian
memaknai ummat[an] wasath[an] dengan sikap moderat (pertengahan) antara
benar dan salah adalah penyesatan. Apalagi moderasi Islam telah menjadikan
beberapa gagasan pokok yang sangat bias dan rawan disalah tempatkan. Islam
tidak menafikan adanya inovasi, kreasi dan dinamisasi dalam pemikiran masalah-
masalah yang mungkin berubah (mutaghayyirat), tetapi bukan dalam hal-hal yang
bersifat tetap (tsawabit). Tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang
baru, tetapi mengembalikan Islam kepada masa Rasulullah saw. dan al-Khulafa’
al-Rasyidun berdasarkan sumber hukum Islam. Tajdid juga bukan moderasi (baca:
liberalisasi) Islam, karena faktanya itu merupakan bentuk taghrib (westernisasi)
bahkan sekulariasi ajaran Islam. Wallahu a’lam. []
96 9 Topik Keumatan
6 MENDUDUKKAN GAGASAN POKOK
ISLAM NUSANTARA
Kesantunan
Islam yang santun jika yang dimaksudkan adalah perintah sopan santun pada
pemeluknya adalah ajaran Islam, bukan ajaran Islam Nusantara atau Islam Arab
kalau ada. Perintah agar muslim menjadi perilaku dan akhlaknya tersebar dalam
bayak ayat al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi keliru jika ini kemudian dimonopoli oleh
kelompok masyarakat muslim tertentu. Adapun terkait dengan karakter personal,
maka itu sangat dipengaruhi oleh budaya dimana seorang muslim dilahirkan dan
dibesarkan. Sama sekali tidak berkaitan dengan konsep kesantunan, kecuali hanya
kesan karena ekspresi sikap seseorang dalam perilaku. Muslim yang tinggal di Jawa,
Sumatera dan Sulawesi akan menampilkan pembawaan sikap yang berbeda.
Berkaitan dengan santun dan berbuat baik, Islam sudah memiliki prinsip yang jelas
dan tegas, sebagaimana dalam firman Allah Swt.,
ُشكُــوا ِبـ ِه شَ ـيْئًا َوبِالْ َوالِ َديْــنِ إِ ْح َســانًا َو ِبـ ِـذي الْ ُقـ ْر َب َوالْيَتَا َمــى َوالْ َم َســاكِ ِني ِ ْ َوا ْعبُـ ُدوا اللَّـ َه َولَ ت
ـبِ َوالْ َجــا ِر ِذي الْ ُقـ ْر َب َوالْ َجــا ِر الْ ُج ُنـ
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.”
(QS. An Nisa: 36).
Rasulullah Saw. juga berpesan,
ِ َم ْن كَا َن يُ ْؤ ِم ُن بِاللَّ ِه َوالْيَ ْو ِم
اآلخ ِر فَلْيُ ْك ِر ْم َجا َر ُه
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia
memuliakan tetangganya” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Selain kesantunan, ajaran Islam juga memerintahkan bersikap keras pada
kemunkaran dan kekafiran. Kapan harus lemah lembut dan berkasih sayang, dan
kapan harus bersikap keras (Lihat QS. Al-Fath: 29).
Penutup
Dengan demikian, jelasnya bahwa gagasan-gagasan pokok Islam Nusantara sangat
bias, tanpa disertai dhawabith dan qawa’id yang baku, dan rawan disalahgunakan.
Hal tersebut makin menguatkan bukti bahwa istilah gagasan Islam Nusantara masih
belum menemukan definisi yang konsisten. Begitu pula secara metodologi, gagasan
Islam Nusantara cacat sejak awal kemunculannya. Jika secara rumusan istilahnya
masih menyisakan problem serius dan gagasan-gagasan pokoknya masih bias,
lantas untuk apa masih mempertahankan istilah Islam Nusantara? Bukankah Allah
Swt. telah menegaskan akan kesempurnaan Islam? (Lihat QS. Al-Mâidah: 3). Wallahu
a’lam. []
َ ُ « الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن-صــى اللــه عليــه وســلم- ـول اللَّ ـ ِه
شكَا ُء ِف ُ ـال َر ُسـ َ ـال قَـ َ ـاس قَـ ٍ َعــنِ ابْــنِ َع َّبـ
» �ث َـا ٍَث ِف الْـ َـا ِء َوالْ ـ َك ِإل َوال َّنــا ِر َوثَ َ ُن ـ ُه َح ـ َرا ٌم
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang
rumput, dan api. Dan harganya adalah haram. (HR. Ibn Majah)
Takhrij
Posisinya dalam kitab induk hadits, diantaranya:
11105( :) برقم80 / 11( ") والطرباين يف "الكبري2472( :) برقم528 / 3( ")أخرجه ابن ماجه يف "سننه
Syawahid:
وحديث ثور بن يزيد الكالعي،وله شواهد من حديث أحد الصحابة
) وأحمــد3477( :) برقــم295 / 3( " أخرجــه أبــو داود يف "ســننه،فأمــا حديــث أحــد الصحابــة
:) برقــم669 / 11( ") وابــن أيب شــيبة يف "مصنفــه23551( :) برقــم5475 / 10( "يف "مســنده
2 https://www.portonews.com/2019/laporan-utama/basa-basi-revisi-uu-migas/
106 9 Topik Keumatan
11952( :) برقم150 / 6( ، )11950( :) برقــم150 / 6( ") والبيهقــي يف "ســننه الكبــر23655()
:) برقــم150 / 6( " أخرجــه البيهقــي يف "ســننه الكبــر،وأمــا حديــث ثــور بــن يزيــد الكالعــي
11951()
Kedudukan:
Hadits dengan sanadnya yang shahih adalah hadits yang pada matannya tanpa
redaksi “wa tsamanuhu haramun”. Namun demikian hadits ini secara makna maqbul
dan bisa dikategorikan hasan karena diterima para ulama dan digunakan para
fuqaha’.
Kritik Sanad (Naqd al-Sanad)
(1) Sanad hadits ini muttashil (bersambung);
(2) Pada hadits riwayat Ibnu Majah dan al-Thabarani dari Ibnu Abbas ada rawi
yang dhaif, yakni Abdullah bin Khirasyi. Abu Hatim, al-Bukhari, Abu Zur’ah dll,
menilainya dhaif,
قد ضعفه أبو زرعة والبخاري وغريهام. يف الزوائد عبد الله يب خراش
Adapun hadits lain riwayat Abu Daud dan yang lainnya dari seorang shahabat
adalah maqbul (haditsnya shahih). Semua rawinya tsiqah. Riwayat tersebut
tanpa redaksi, “wa tsamanuhu haramun”. Ziyadah tsb munkar (sehingga dhaif),
namun maknanya bisa diterima (maqbul);
(3) Sanad hadits yang shahih adalah riwayat Abu Daud, dll dari salah seorang
shahabat. Semua rawinya tsiqah. Mubhamnya shahabat (tidak diketahui
namanya) tidak memadharatkan hadits karena semua shahabat adalah adil;
(4) Madar sanad hadits dari jalur Ibnu Abbas adalah pada Abdullah bin Khirasyi.
Adapun madar sanad hadits dari jalur “salah seorang shahabat” adalah pada
Hariz bin Utsman.
Diantara penilaian para ulama terhadap rawi bernama Abdullah bin Khirasyi:
- نصــب الرايــة ألحاديــث.فيــه عبــد اللــه بــن خـراش قــال فيــه أبــو حاتــم ذاهــب الحديــث
294 / 4( :)الهدايــة
- 294 / 4( : نصب الراية ألحاديث الهداية.)فيه عبد الله بن خراش ضعفه أبو زرعة
- عبــد اللــه بــن خـراش قــد ضعفــه أبــو زرعــة والبخــاري وغريهــا وقــال محمــد بــن عــار
91 / 2( : حاشــية الســندي عــى بــن ماجــه.)املوصــي كــذاب
َّ َوقَ ـ ْد َص َّح َح ـ ُه ابْ ـ ُن
- / 3( : التلخيــص الحبــر يف تخريــج أحاديــث الرافعــي الكبــر. ِالس ـكَن
143)
POLITIK EKONOMI ISLAM TENTANG MIGAS MENURUT HADITS NABI 107
فيــه عبــد اللــه بــن خ ـراش قــال فيــه أبــو حاتــم ذاهــب الحديــث وأقــره ابــن القطــان -
)عليــه .نصــب الرايــة ألحاديــث الهدايــة294 / 4( :
َهـذَا طَرِيــق ضَ ِعيــف .البــدر املنــر يف تخريــج األحاديــث واآلثــار الواقعــة يف الــرح الكبــر- :
)(76 / 7
عبــد اللــه بــن خـراش ال أعلــم أنــه يــروي عــن غــر العــوام أحاديــث وعامــة مــا يرويــه غــر -
)محفــوظ .الكامــل يف الضعفــاء347 / 5( :
ـال الْبُ َخــار ُِّي :عبــد اللــه بــن خ ـراش عــن العــوام بــن حوشــب منكــر الحديــث .نصــب - قَـ َ
)الرايــة ألحاديــث الهدايــة294 / 4( :
)Kritik Matan (Naqd al-Matn
(1) Matan hadits ini mengandung hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-
;Quran
;(2) Matan hadits ini selaras dengan banyak Hadits shahih
(3) Lafazhnya menunjukkan keagungan pemilik kalamnya yakni Sayyiduna
;Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(4) Berdasarkan data takhrijnya, matan hadits ada perbedaan redaksi, yakni
tambahan “wa tsamanuhu haramun” pada riwayat Ibnu Majah dan al-Thabarani
dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Jalur inilah yang mendapatkan catatan
kritik, sedangkan jalur yang lainnya shahih. Secara keseluruhan, hadits ini layak
dijadikan sebagai hujjah.
Perbandingan Matan
ـى -صــى اللــه عليــه - ـال َغـ َز ْوتُ َمـ َع ال َّن ِبـ ِّ ـى -صــى اللــه عليــه وســلم -قَـ َ ِمـ ْن أَ ْص َحـ ِ
ـاب ال َّن ِبـ ِّ
شكَا ُء ِف �ث َـا ٍَث ِف الْ ـ َك ِإل َوالْـ َـا ِء َوال َّنــا ِر » .ســنن ـول « الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ وســلم� -ثَالَثًــا أَ ْس ـ َم ُع ُه يَ ُقـ ُ
)أىب داود (306 /10
شكَا ُء ِف -ـول اللَّـ ِه -صــى اللــه عليــه وســلم « -الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ ـال َر ُسـ ُ ـال قَـ َ ـاس قَـ َ َعــنِ ابْــنِ َع َّبـ ٍ
)�ث َـا ٍَث ِف الْـ َـا ِء َوالْـ َك ِإل َوال َّنــا ِر َوثَ َ ُنـ ُه َحـ َرا ٌم » .ســنن ابــن ماجــه (439 /7
ـول اللَّ ـ ِه -صــى - ـال َر ُسـ ُ ـال قَـ َ ـى -صــى اللــه عليــه وســلم -قَـ َ َع ـ ْن َر ُجــلٍ ِم ـ ْن أَ ْص َحـ ِ
ـاب ال َّن ِبـ ِّ
شكَا ُء ِف �ث َـا ٍَث ِف الْـ َـا ِء َوالْ ـ َك ِإل َوال َّنــا ِر » .مســند أحمــد اللــه عليــه وســلم « -الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ
)(290 /50
ـى -صــى اللــه عليــه وســلم -قَـ َ
ـال - : أَنَّ ـ ُه َس ـ ِم َع َر ُج ـاً ِم ـ َن الْ ُم َها ِجرِي ـ َن ِم ـ ْن أَ ْص َحـ ِ
ـاب ال َّن ِبـ ِّ
ـول «:الْ ُم ْس ـلِ ُمو َن ُ َ
شكَا ُء ِف ـى -صــى اللــه عليــه وســلم� -ثَالَثًــا أَ ْس ـ َم ُع ُه يَ ُقـ ُ َغ ـ َز ْوتُ َم ـ َع ال َّن ِبـ ِّ
)�ث َـا ٍَث الْـ َـا ِء َوالْ ـ َك ِإل َوال َّنــا ِر » ســنن البيهقــى (194 /2
108 9 Topik Keumatan
شكَا ُء - ـي َ -صـ َّـى اللـ ُه َعلَ ْيـ ِه َو َسـلَّ َم -قَـ َ
ـال " :الْ ُم ْسـلِ ُمو َن ُ َ َعـ ْن ثَـ ْو ِر بْــنِ يَزِيـ َد يَ ْرفَ ُعـ ُه إِ َل ال َّن ِبـ ِّ
ِف الْ ـك َ َِل َوالْـ َـا ِء َوال َّنــا ِر .أَ ْر َس ـلَ ُه الثَّ ـ ْور ُِّي َع ـ ْن ث َ ـ ْو ٍر َ ،وإِنَّ َــا أَ َخ ـ َذ ُه ث َ ـ ْو ٌر َع ـ ْن َحرِي ـ ٍز .ســنن
)البيهقــي الكــرى (150 /6
)Syarah (Penjelasan
املســلمون رشكاء يف ثــاث ) مــن الخصــال قــال البيضــاوي :ملــا كان األســاء الثالثــة يف (
معنــى الجمــع انتهــى بهــذا االعتبــار فقــال يف ثــاث ( يف الــكأل ) الــذي ينبــت يف املــوات فــا
يختــص بــه أحــد ( واملــاء ) أي مــاء الســاء والعيــون واألنهــار التــي ال مالــك لهــا ( والنــار
) يعنــي الحطــب الــذي يحتطبــه النــاس مــن الشــجر املبــاح فيوقدونــه أو الحجــارة التــي
تــوري النــار ويقــدح بهــا إذا كانــت يف مــوات أو هــو عــى ظاهــره قــال البيضــاوي :امل ـراد
مــن االش ـراك يف النــار أنــه ال مينــع مــن اإلســتصباح منهــا [ ص ] 272واإلســتضاءة بضوئهــا
لكــن للموقــد أن مينــع أخــذ جــذوة منهــا ألنــه ينتقصهــا ويــؤدي إىل إطفائهــا .فيــض القديــر
)(271 /6
املســلمون رشكاء يف ثــاث ) مــن الخصــال ( يف الــكال ) النابــت يف املــوات فــا يختــص بــه (
أحــد ( واملــاء ) أي مــاء الســاء والعيــون واالنهــار التــي ال مالــك لهــا ( والنــار ) يعنــي الشــجر
الــذي يتحطبــه النــاس مــن املبــاح فيوقدونــه والحجــارة التــي يقــدح بهــا .التيســر بــرح
)الجامــع الصغــر ـ للمنــاوى (884 /2
قــال رســول اللــه صــى اللــه عليــه وســلم «املســلمون رشكاء يف ثــاث يف املــاء والــكأل والنــار»
ورواه أنــس مــن حديــث ابــن عبــاس وزاد فيــه« :ومثنــه ح ـرام» .ومــا روي عــن أيب هريــرة
أن النبــي صــى اللــه عليــه وســلم قــال« :ال مينــع املــاء والنــار والــكأل» .فهــذا الحديــث بـ ّـن
أن هــذه األشــياء ملــك عــام .إال أن القرائــن الرشعيــة املتعلقــة بهــذا املوضــوع تــري أن هــذه
األشــياء قــد جعلــت ملكيــة عامــة لصفــة معينــة فيهــا تســتوجب ذلــك .وليــس إيرادهــا
يف الحديــث ثالثــة مــن قبيــل تحديــد عددهــا ،بدليــل أن الرســول صــى اللــه عليــه وســلم
أبــاح للنــاس امتــاك املــاء ملكيــة فرديــة يف الطائــف وخيــر .فقــد ملكــوا املــاء ملكيــة
فرديــة واختصــوا بــه لســقي زرعهــم وبســاتينهم ،وهــذا يــدل عــى أن الرشكــة يف املــاء هــي
مــن حيــث صفتــه ال مــن هــو مــاء ،أي مــن حيــث كونــه مــن مرافــق الجامعــة .السياســة
)االقتصاديــة املثــى (ص67 :
املســلمون رشكاء يف ثــاث :املــاء والــكأل والنــار) ،وثبــت عنــه صــى اللــه عليــه وســلم أنــه(
أقـ ّر أهــل الطائــف وأهــل املدينــة عــى ملكيــة املــاء ملكيــة فرديــة ،وفُهــم مــن حــال امليــاه
التــي ســمح بهــا ملكــة فرديــة أنهــا مل تكــن للجامعــة حاجــة فيهــا ،فكانــت علــة كــون النــاس
ِ َوال ِّن ْفـ، كَالْ َقــا ِر، َوأَ َّمــا الْ َم َعــا ِد ُن الْ َجا ِريَـ ُة:قــال االمــام ابــن قدامــة املقــديس
فَ َهـ ْـل، َوالْـ َـا ِء، ـط
ص/ 12 (ج- (املغنــي.... َل َ ْيلِ ُك َهــا، َ ْيلِ ُك َهــا َمـ ْن ظَ َهـ َرتْ ِف ِملْ ِكـ ِه ؟ ِفيـ ِه ِر َوايَتَــانِ أَظْ َه ُر ُهـ َـا
131)
Imam Ibn Qudamah berkata: adapun barang tambang yang melimpah seperti garam,
minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya
ada dua riwayat dan yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya. (Ibnu Qudamah,
al-Mughni, 131/12)
Kesimpulan
Minyak dan gas termasuk kepemilikan umum (al-milkiyyah al-’amah) karena
termasuk barang yang dibutuhkan jama’ah (marafiq al-jama’ah) dan jika
keberadaannya sebagai tambang dengan deposit besar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat melarang individu memiliki dan menguasai
(privatisasi) minyak dan gas yang merupakan kepemilikan umum.
Problem minyak dan gas hari ini bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah filosofis,
ideologis, yuridis dan politis. Dan Islam menjawab atas semua masalah tersebut.
Wallahu a’lam. []
Penutup
Dengan demikian, setiap muslim wajib mempelajari tsaqafah Islam secara
mendalam dan mengakar sampai didapatkan hakikatnya. Banyak dalil dari al-Quran
dan al-Hadits yang memberikan penegasan kewajiban belajar ilmu-ilmu Islam.
Kita wajib mendakwahkan Islam dan menerapkannya dalam kehidupan, dan hal
itu mengharuskan mengkaji Islam secara mendalam dan menyeluruh. Jadi jika ada
pernyataan “mempelajari agama tidak perlu mendalam”, maka dapat dipastikan
itu adalah pernyataan bodoh dan membodohi serta menghendaki langgengnya
kebodohan. Pernyataan tersebut seharusnya tertolak dengan sendirinya. Wallahu
a’lam. []
Dakwah adalah perjalanan panjang berliku. Manisnya akan terasa ketika seseorang
bersabar menjalaninya. Diantara modal penting dalam dakwah adalah keyakinan.
Keyakinan ini akan mengobarkan api semangat yang menyala-nyala. Keyakinan akan
membuat pengemban dakwah berdiri tegak dan terus maju. Keyakinan tersebut
adalah keyakinan akan balasan bagi yang berjuang di jalan dakwah, keyakinan
akan jalan perjuangan ini didasarkan kepada manhaj dakwah Rasulullah, keyakinan
akan kemenangan bagi dakwah, keyakinan akan kekalahan orang-orang kafir dan
nasib buruk penentang dakwah, dan keyakinan akan balasan bagi para pengemban
dakwah yang istiqamah dan sabar. Keyakinan tersebut tumbuh karena didasarkan
pada dalil yang qath’i (meyakinkan) atau karena didasarkan kepada akidah Islam.