PRODI JURNALISTIK 4A
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai unsur jasmani dan rohani,
saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, jasmani dapat bergerak apabila
disertai gerak rohani begitupun sebaliknya rohani tidak dapat terwujud tanpa adanya
tubuh yang ditempati. Dengan bersatunya jasmani dan rohani ini terbentuklah
kepribadian manusia, sebagai makhluk yang sempurna dari semua makhluk Tuhan,
tentunya punya tujuan yang harus dicapai.
Salah satu contohnya adalah bekerja sebagai bentuk aktivitas manusia selama
ini dipahami sebatas kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
meletakkannya sebagai tujuan, bukan sebagai alat, dan melepaskannya dari nilai
spiritualnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pelurusan terhadap konsep yang telah
menyimpang tersebut, dan dibawa pada kaidah yang semestinya, yakni
mengembalikan makna Kerja sebagai sesuatu yang suci, bahkan sebagai salah satu
bentuk dari tazkiyatun nafs.
Upaya yang dilakukan ketika manusia mengharapkan terhindar dari perilaku
keji dan mungkar, umat Islam sangat disarankan untuk melakukan shalat, namun
situasi yang ada, manusia malah tidak berjalan sesuai dengan apa yang sebaiknya.
Contohnya: ketika seseorang melaksanakan shalat masih terdapat diantara mereka
yang sulit untuk mengartikan setiap bacaan- bacaan shalat, dikarenakan hati dan
pikirannya masih terbagi-bagi dalam hal- hal selain bacaan shalat, sehingga
menjadikan shalat seseorang tidak khusyu.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa, cara yang perlu
dilakukan agar shalat seorang khusyuk adalah dengan proses tazkiyatun nafs.
Tazkiyatun nafs dimaksudkan sebagai proses penyucian jiwa dari sifat tercela
sehingga, menjadikan shalat seseorang menjadi khusyuk, sebab tazkiyatun nafs
melalui ibadah shalat akan lebih efektif dipraktekkan sejak usia dini.
Konsep tazkiyatun nafs melalui ibadah shalat yang akan mendatangkan akhlak
yang mulia menurut Al-Ghazali adalah terletak pada kekhusyukan dalam
melaksanakan ibadah shalat, karena khusyuk inilah yang membuat shalat
mempunyai fungsi yang lebih besar dalam penyucian jiwa. Hilangnya khusyu
merupakan tanda hilangnya kehidupan dan dinamika hati sehingga membuatnya
tidak bisa menerima nasihat dan didominasi oleh hawa nafsu. Disinilah perlunya
pembiasaan hati untuk khusyuk dalam melaksanakan ibadah shalat, karena dengan
khusyuk maka akan terciptanya jiwa yang bersih dan terhindar dari akhlak tercela.
B. Rumusan Masalah
Jiwa dan Fithrah merupakan hikmah Allah Ta'ala bahwa saat menciptakan
manusia, Dia memperkenalkan dirinya, bahwa hanya Dia lah yang berhak untuk
disembah. Firman Allah, dalam surat Al-A'raaf ayat 7 “Saat Tuhanmu mengambil
janji pada keturunan Adam di awal kemunculan mereka, 'Bukankah Aku Tuhan
kalian?' Mereka menjawab, 'Benar, kami bersaksi." (QS. al-A'raaf [07]: 172)
Dari sini, iman kepada Sang Pencipta merupakan fithrah dalam setiap jiwa
manusia, yang diberikan oleh Allah kepada mereka1. Allah mengambil perjanjian
dari mereka saat mereka masih berada di alam dzur. Ini merupakan fithrah yang
berorientasi pada pengenalan Allah dan iman kepada-Nya, serta mentauhiidkan-Nya.
Untuk hal ini, ter- dapat beberapa dalil dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Allah swt menyuruh manusia untuk ikhlas beribadah kepada-Nya. Masalah ini
merupakan Fithrah Allah kepada manusia. la menjadikannya sebagai kecenderungan
pada hati seluruh manusia. Inilah hakikat fithrah. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
saw bersabda,
"Tiap manusia lahir dalam keadaan fithrah. Kedua orang fuanya yang
menjadikan mereka (memeluk agama) Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Seperti
makhluk yang sempurna (tanpa cacat di telinga), biasanya ia tidak akan melahirkan
jenis yang cacat telinganya." (HR Bukhari dan Muslim)
Kemudian Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Fithrah Allah yang diberikan Allah
kepada manusia” Hadits ini merupakan bukti yang jelas bahwa Allah Ta'ala
menciptakan manusia dengan kecenderungan pada agama yang benar. Meskipun
manusia meninggalkan fithrah tersebut saat terjadi penyimpangan iman, namun
fithrah itu tetap merupakan ta- biat di dalam jiwa. Penyimpangan itu sendi- ri terjadi
akibat kesalahan kedua orang tua dalam mendidiknya serta lingkungan buruk ada di
sekitarnya. Di dalam hadits diatas Rasulullah saw telah memberikan perumpamaan
nyata me- ngenai pengaruh buruk terhadap penyimpangan fithrah dengan hewan
ternak yang utuh telinganya. Seandainya bukan manusia yang memotong telinganya,
maka keturunannya akan lahir utuh seperti induknya. Demikian juga suatu
lingkungan dengan pengaruhnya yang buruk yang berperan dalam penyim- pangan
fithrah. Begitulah godaan setan yang seringkali membuat jiwa cenderung meng-
1
Al-Akhlaaq Al-Islamiyyah Wa Ususuha, Syaikh Abdurrahman Habanakah. hal. 245
ikutinya, hingga kemudian berakhir pada penyimpangan fithrah, lalu terjerumus
pada jalan yang sesat.2
Diriwayatkan oleh Muslim dari Iyadh al-Majasyi'i ra, bahwa suatu hari
Rasulullah saw berkhutbah "Tuhanku telah menyuruhku untuk mengajarkan kalian
sesuatu yang kalian tidak ketahui, yangla ajarkan kepadaku pada hari ini, "Sungguh,
telah Kuciptakan hamba-Ku seluruh. nya sebagai orang-orang yang hanif. Kemudian
setan datang kepada mereka dan menyimpangkan mereka dari agama mereka.
Kemudian mengharamkan sesuatu yang Dihalalkan bagi mereka, dan menyuruh
mereka menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak Kuberi wewenang sama
sekali." (HR Muslim)
"Sungguh, kami jadikan isi Neraka Jahanam itu kebanyakan jin dan manusia.
Mereka memi- liki hati, tapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).
Mereka memiliki mata yang tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah). Mereka memiliki telinga, tapi tidak digunakan untuk mendengar (ayat- ayat
Allah). Mereka itu seperti ternak, bahkan lebih sesat. Mereka itu adalah orang-orang
lalai." (QS. al-A'raaf [07]: 179)
Indikasi tetap adanya fithrah dan orientasi pada Sang Pencipta itu misalnya
bisa dilihat di kala seseorang yang telah menyimpang dari kebenaran tersebut
menderita suatu musibah atau sakit, maka ia akan segera memohon kepada
Tuhannya, merintih kepada-Nya, dan mengarahkan diri dengan merendah kepada
2
Al-Akhlaaq Al-Islamiyyah Wa Ususuha, Syaikh Abdurrahman Habanakah. I/263
3
Ihyaa’ Uluum ad-Din, Imam Al-Ghazali. III/2
keagungan Allah Ta'ala. Ini merupakan bukti bangkitnya fithrah, di mana di saat
sulit itu rasa congkak runtuh, dan ia kembali kepada sikap lurusnya. Hal ini sudah
dinyatakan di dalam Al-Qur’an.
"Jika manusia ditimpa bahaya ia akan ber- doa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk, atau berdiri. Namun saat bahaya terse- but Kami singirkan, ia
berlalu begitu saja se- olah tidak pernah berdoa kepada Kami seperti saat bahaya
menimpanya. Demikianlah orang- orang yang melampaui batas itu memandang baik
apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. Yunus [10]: 12)
Dalam ayat yang lain Allah menggam barkan kepada kita suatu gambaran
yang hidup mengenai kondisi manusia yang diliputi bencana dari segala penjuru.
Saat itu runtuhlah segala noda pada fithrahnya dan kembali beribadah kepada Allah
dengan ikhlas yang sempurna. Ia memohon kepada Allah setelah musibah terjadi.
Firman Allah, "Dialah yang memperjalankan kalian di darat dan laut. Hingga di saat
kalian berada dalam sebuah kapal yang berjalan dengan tiupan angin yang bagus,
mereka gembira dengan keadaan itu. Tiba-tiba datanglah angin badai dan muncul
gelombang dari segala penjuru. Saat mereka mengira telah dikepung bahaya, lalu
mereka memohon kepada Allah dengan mengikhlaskan diri ketaatan kepada-Nya se-
mata, seraya berkata, Jika Engkau menye- lamatkan kami, maka kami akan menjadi
orang yang bersyukur. Namun saat telah kami selamatkan mereka, mereka menjadi
congkak di muka bumi." (QS. Yuunus [10]: 22-23)
Sabda Rasulullah saw, "Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan
jiwa dan hatimu," merupakan dalil bahwa Allah Ta'ala telah menciptakan manusia
un tuk mengenal kebenaran, dan bahwasanya jiwa akan selalu merasa kalut dan
guncang manakala menyimpang dari Allah, sampai ia kembali mengarahkan diri
kepada Sang Pencipta dan ikhlas beribadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia akan
dapat terhindar dari depresi dan rasa takut.
Ada empat kata yang digunakan dalam membahas manusia, itu merupakan karakter
dan sifat manusia, serta segala sesuatu yang bersumber darinya berupa pengetahuan,
kemauan, dan usaha. Keempat kata tersebut adalah, Jiwa' (an-nafs), Hati (al qalb),
akal (aql), dan 'roh'.
a. Hati (al-qalb)
Kata hati (al-qolb) di dalam Al-Quran Al-Karim terdapat dalam banyak ayat. Dari
ayat ayat tersebut dapat dilihat bahwa memiliki satu peranan di dalam jiwa manusia,
yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut, yaitu;
2. Hati tempat perenungan, pemahaman,dan petunjuk, hati itu hidup dan sadar.
Karena hati lah maka peringatan jadi bermanfaat dan nasihat jadi berpengaruh. Hati
juga yang membuka pintu-pintunya untuk mendengarkan kebenaran, atau
menutupnya. Dan hati juga diselubungi oleh berbagai selubung, hingga tidak mampu
merespon seruan iman.
Noda merupakan penutup pada hati yang disebabkan oleh maksiat dan dosa.
sehingga hati terselubung dan gelap. Pada ayat yang lain disebutkan mengenai
makna penutup, sumbat, segel, selubung, dan stempel pada hati. Semuanya
merupakan kondisi sakit yang menimpa hati, yang diakibatkan oleh berpalingnya
manusia dari kebenaran dan cenderung kepada kemaksiatan. Hati tempat berbagai
perasaan.
Hati merupakan tempat bagi rasahormat dan kasih sayang, namun hati juga
merupakan tempat bagi kekerasan dan berbagai macam luapan emosi, seperti takut,
cemas, iri, cinta, benci, berani, dan pengecut.
B. Akal
Kebutaan disandarkan kepada hati. Dari sini terdapat istilah penglihatan mata
(bashar) dan pandangan batin (bashiirah), ada juga penglihatan mata dan
penglihatan hati. Bashiirah adalah pandangan iman yang menerangi hati dengan
cahaya iman, sehingga ia dapat melihat sesuatu bentuk dengan pandangan batin,
tidak dengan pandangan mata secara fisik. 4Hati memiliki kekhususan pada aspek
intuisi (perasaan), sedangkan akal pada aspek pembelajaran, pemahaman, dan
pengetahuan. Dengan mengetahui hubungan antara akal dan hati, kita dapat
mengetahui hubungan antara akal dan jiwa, dengan asumsi bahwa hati memiliki satu
salah fungsi jiwa manusia.
4
Mafhuum Al-Aql Wa al-Qalb fii Al-Qur’aan dan As-Sunnah, DR. Muhammad Ali al-Juzu,
hal. 185
C. Roh
Menurut Imam Ibnu Qayyim dalam bukunya Ar-Ruuh. Dalam buku itu beliau
memaparkan makna jiwa dan roh yang terkandung di dalam Al-Qur'an. Roh
merupakan jiwa dimana manusia dapat hidup, dan bila roh itu keluar berakibat
kematian. Singkatnya, jiwa dan ruh itu satu. Jika dikatakan "jiwanya keluar", maka
sama saja dengan mengatakan "Rohnya keluar”. Ada juga yang berpendapat bahwa
roh bukanlah jiwa, akan tetapi jiwa menjadi tegak jiwa dengan adanya roh, Jiwa
lebih cenderung kepada dunia karena memiliki berbagai insting, sedangkan roh
mengajak dan memprioritaskan kepada akhirat. Roh merupakan asal dan materi
jiwa. Jiwa terbentuk dari roh dan terhubung dengan badan, dan itu hanya dari satu
sisi, bukan dari semua sisi.5
Jasad dan ruh merupakan dimensi manusia yang berlawanan sifatnya. Jasad
sifatnya kasar dan indrawi atau empiris serta kecenderungannya ingin mengejar
kenikmatan duniawi dan material. Sedangkan ruh sifatnya halus dan gaib yang
memiliki kecenderungan mengejar kenikmatan samawi, ruhaniyah dan ukhrawiyah.
Esensi yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh
merupakan substansi yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat
teraktualisasi. Oleh karena itu, mensinergikan antara kedua esensi inilah fungsinya
jiwa. Dengan keberadaan jiwa masing-masing keinginan jasad dan ruh dalam diri
5
Tafsir Al-Qur’aan Al-Azhiim, Ibn Katsir, III/61
manusia bisa terpenuhi. Sinergi psikofisik inilah yang akan melahirkan perilaku baik
lahir maupun batin, dengan kemampuan berfikir untuk membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, sebab dalam jiwa terdapat akal yang dapat dibentuk oleh
pemiliknya. Dalam Islam pembinaan jiwa dan pendidikan akhlak sangat diutamakan,
ada beberapa metode yang ditempuh dalam melaksanakan pembinaan jiwa untuk
menciptakan kesehatan jiwa. Salah satu diantaranya adalah metode adalah tazkiyah
al-nafs, pembentukan jiwa Islam. Metode ini banyak dikaji oleh Al-Ghazali dalam
ajaran akhlak dan tasawufnya, khususnya dalam buku Ihya' 'Ulumud-Din yang
menggambarkan masalah spiritualitas dalam Islam.6Sejarah telah membuktikan,
bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang memiliki akhlak dan kesehatan jiwa
(sihhiyah al-nafs) yang tinggi. Hal tersebut karena ajaran tasawuf adalah fitrah
manusia yang mengarahkan jiwanya kepada amal yang baik dan pendekatan diri
kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Dilihat dari uraian diatas, Al-Qur'an memiliki
hubungan yang sangat erat dan mendalam dengan ilmu jiwa, pendidikan akhlak dan
pembinaan kesehatan jiwa. Semua misi dan ajaran di dalamnya (aqidah, ibadah,
syariat, dan akhlak) pada dasarnya mengacu kepada pendidikan akhlak dan
pembinaan jiwa.
Itulah sebabnya terdapat hubungan yang erat serta mendalam antara al-Qur'an,
Ilmu Jiwa dan kesehatan jiwa. Hal ini dikarenakan, al-Qur'an sebagai petunjuk
(huda), obat (syifa), rahmat, dan pengajaran (mau'izah) bagi manusia dalam
membangun kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Secara umum, jiwa
berbicara tentang sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Pergolakan
antara mempertahankan fitrah (baik) dan mengikuti kecenderungan buruk inilah
yang diproses dalam jiwa melalui seluruh komponen jiwa yang akhirnya
memunculkan sikap atas kecenderungan dan kenikmatan yang datang dengan diikuti
tau dikendalikan dengan baik. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa tema sentral
dalam kesehatan jiwa adalah pembentukan jiwa yang taat, yang memiliki keserasian
hubungan dengan Allah, sesama manusia, dengan alam lingkungan, dan dirinya
sendiri.
Dalam ilmu jiwa, tema ini dapat berarti sebagai pembentukan pribadi yang
sempurna dan akhlak mulia. Tujuannya adalah mendapatkan kebahagiaan hidup
6
Muhammad Ali, “Hakekat Kepribadian dalam Psikologi Islam”, Tarbawiyah, Vol. 13, No.1,
Edisi Januari - Juni 2016, h. 38
yang di dalamnya memuat ketenangan, kedamaian, ketentraman dalam menjalani
kehidupan, yang merupakan bingkai kebahagiaan dalam hidup manusia. Bagi
seorang muslim, hal ini secara otomatis menuntut untuk kembali merujuk kepada
dua hal pokok yakni al-Qur'an dan al-Hadits sebagai dasar agama Islam. Dan untuk
mencapai hal tersebut sudah seharusnya manusia mengoptimalkan potensi yang
diberikan Allah. Potensi tersebut adalah panca indra, akal, kalbu, dan nafsu yang
merupakan bagian dari substansi jiwa yang bisa dioptimalkan dengan cara meraih
sebanyak mungkin ilmu yang bermanfaat.
Begitulah dengan dengan sebuah Nafs yang telah dialiri tenaga listrik, maka
ia akan terang benderang dan di dalamnya pun akan tampak tanda-tanda kehidupan.
Begitu pula dengan jasad manusia, apabila Nafs yang ada dalam jasad itu hanya
sedikit menampung daya ketuhanan, maka jasad itupun tidak dapat melaksanakan
aktivitasnya dengan benar. Ia tidak dapat lagi membedakan mana yang halal dan mana
yang haram dan seterusnya.
b. Mendorong dan menggerakkan, qalbu (hati yang lembut) yang ada dalam
dada agar merasakan dua perasaan, yaitu perasaan ketuhanan dan perasaan
kemakhlukan, agar menerima ilham dan penampakan isyarat-isyarat ketuhanan yang
abstrak dan tersembunyi.
Berpikir positif dan bersikap realistis terhadap kenyataan hidup, baik yang
menyenangkan maupun yang menyedihkan, ditandai oleh mekanisme syukur-sabar.
Banyak di antara manusia yang tidak mampu mengontrol dirinya ketika menghadapi
kenyataan hidup, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.. Berwudhu,
shalat dan dzikrullah merupakan kategori pengalihan emosi (replacement) kepada
objek lain yang memungkinkan meredam efek negatifnya. Dalam kondisi ini
manusia akan merasa susah untuk menolak segala dorongan hawa nafsu kecuali
dengan berbagai upaya dan latihan dengan taqwa. Taqwa adalah gabungan dari
sifat-sifat yang menahan hawa nafs, tidak terperdaya pada fatamorgana, melepaskan
segala ikatan yang merintang di dalam menuju keridhoan Allah SWT.
Kedua, Nafsu Lawwamah adalah jiwa yang selalu menyesali diri, dalam
kondisi ini ia tidak ridha pada keburukan sehingga cenderung padanya dan tidak
mampu mencapai ketenangan, sehingga merasa tenteram dalam kebaikan, yakni zikir
kepada Allah. Nafsu ini tidak konsisten atau stabil di atas satu keadaan. Ia sering
berubah-ubah baik perilaku, pendirian.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada setahun yang lalu, saya memiliki teman perempuan bernama aisyah,
sebetulnya saya masi berteman dengan dia hingga sekarang, aisyah ini tinggal di
tempat tinggal yang bisa di bilang kurang baik, tepat di jl.kenari Jakarta pusat, di
daerah dia banyak teman sebayanya yang mengkonsumsi obat terlarang, hingga
saudaranya sendiri pun mengkonsumsi obat tersebut, dan sekarang kabarnya
saudaranya yang bernama ucup itu telah diringkus oleh polisi.
Keesokan harinya dia melakukan hal sama berulang kali, dan saya menegur
lagi, hingga hari ke empat tepat di sore hari, dia tidak melakukan hal tersebut ,
katanya dia malu, dan merasa menjadi teman yang sangat buruk bagi saya karena suka
meroko, saya merasa hadirnya saya dalam kehidupan aisyah adalah sesuatu yang
sangat positif sebab bisa membuat aisyah berhenti merokok hingga sekarang.
Begitupun dengan Ketika saya shalat dirumahnya, saya lihat lihat aisyah
jarang melakukan shalat, lalu seminggu dirumahnya tersebut saya selalu mangajak dia
shalat, dia yang merasa malu dan merasa bersalah kepada saya dan Allah, dia
langsung melaksanakan shalat hingga sekarang walaupun terkadang jam shalatnya
tidak selalu tepat waktu.
Pada hari dimana saya mau pulang, saya mendapat kabar dari aisyah, bahwa
pamannya kepergok subuh-subuh sedang bertransaksi sabu-sabu dikenari, saya kaget
saya pun menuduh aisyah mengkonsumsi obat juga, tapi aisyah menyangkalnya,
karena saya sering terlihat shalat di depan pamannya aisyah, saat saya ingin pulang,
pamannya meminta maaf atas kelakuan buruk yang sedang dia hadapi, dia berkata
kalau saya kerumah aisyah lagi saya tidak akan mendengar atau merasakan hal yang
risih lagi.
DAFTAR PUSTAKA