Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Meteodologi studi islam

Pengelompokkan keilmuan dalam islam

Dosen pengampu : Shulhan Zainil Afkar,M.E

Disusun Oleh:

1. MUAZZIN (2200503040)

2. SOFIATUN NAIM (220503058)

PROGRAM STUDI PARIWISATA SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan kemudahan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul
"PENGELOMPOKKAN KEILMUAN DALAM ISLAM"Adapun maksud makalah ini bertujuan
untuk memenuhi mata kuliah Meteodologi Studi Islam.
Shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman yang gelap gulita menuju zaman yang terang benderang
yakni agama Islam.
Kami bersyukur atas kemudahan yang Allah SWT telah berikan kepada kami
sehingga makal ini dapat kami selesaikan. selanjutnya saya ucapkan terimakasih sebagai
dosen Pengampu mata kuliah perkembangan peserta didik yang telah memberikan kami
arahan dan petunjuk sehingga mempermudah kami dalam menyelesaikan tugas ini.kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik, dan saran yang
membangun sehingga makalah ini bisa lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
teman-teman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Mataram 27 maret 2023

Kelompok 7
DAFTAR ISI

BAB1

A. Pengelompokan Keilmuan dalam Islam : Perspektif bayani..............................................................4

B. Pengelompokan Keilmuan dalam Islam : Perspektif Irfani................................................................7

C. pengelompokan keilmuan dalam islam :perspekti burhani........................................................... 9

BAB 2

KESIMPULAN 12

BAB 3

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13
A. Pengelompokan Keilmuan dalam Islam : Perspektif bayani

Tradisi keilmuan secara global dapat diletakkan dalam tiga kategori bayani Irfani dan
burhani ketiga istilah ini walaupun secara literal sudah ada dalam berbagai teks keislaman seperti
dalam al-quran bahasa Arab filsafat dan kalam namun ketiga istilah tersebut muncul sebagai suatu
bentuk penalaran atau epistemologi. poststrukturalisme serta pemikiran pemikiran filsafat yang lain
dengan menggunakan keilmuan klasik dan pisau Analisis untuk mendekatkan yang biasa dikatakan
dan digunakan oleh ilmuwan ilmuwan muslim lainnya dengan cara menggunakan analisis
strukturalisme sebagai kritik ideologi. sebagai epistimologi usul Fiqih lahir dan berkembang bukan
dalam ruangan kosong selain aspek historisitas nya yang sangat kontekstual kelahiran Ushul Fiqh
sesungguhnya memiliki titik persinggahan dengan tradisi maupun kebudayaan yang berkembang
sejak awal kelahiran Islam itu sendiri menurut Abid Al jabiri pemikiran Islam asal Maroko
perkembangan pemikiran Islam secara epistemologi meliputi tiga tradisi tradisi tersebut adalah tradisi
bayani Irfani dan burhani tradisi bayani berkembang paling awal sebelum dunia islam mengalami
kontak budaya secara masif dengan dunia luar. Tradisi ini mulai muncul dan berkembang mulai masa
nabi Atau paling tidak pada pembesaran sahabat hal tersebut dapat ditandai dengan lahirnya tradisi
interpretasi terhadap teks Wahyu dana sistematisasi sastra Arab dalam bentuk antologi yang
diprakarsai oleh Ibnu Abbas.1

Tradisi bayani menemukan momentumnya ketika mampu membentuk epistemologis ilmu


dalam kerangka teori pokok dan cabang tradisi ini juga telah menciptakan suasana keberagaman yang
lebih rasional selain juga menelan produk intelektual ilmu kebahasaan dan keagamaan dalam konteks
al-syafi'i dinilai lah sebagai salah satu teori formulasi epistemologi bayani yaitu pemikiran Ushul Fiqh
sebagai metode artikulasi sebagaimana dituangkan dalam Master bedanya Al Risalah Al Syafi'i telah
berjasa mengangkat reputasi al-sunnah pada posisi kedua dan berfungsi tasyri setelah Alquran Lebih
Detail al-syafi'i membagi tradisi bayani pada lima kategori kategori yang pertama yaitu Bayan atau
penjelasan yang tidak memerlukan penjelasan lain seperti sejumlah teks al-quran yang tidak multi
interprestasi yang kedua bagian yang mempunyai bagian yang mujmal atau global dan memerlukan
belanja penjelasan dari Al Sunnah yang ketiga yaitu Bayan yang secara keseluruhan bersifat mujmal
sehingga memerlukan penjelasan Al Sunnah yang keempat yaitu Bayan Al Sunnah adalah substansi
Al Sunnah yang sesungguhnya merupakan penjelasan Wahyu Tuhan dan mutlak harus diapresiasi
sesuai petunjuk Alquran yang kelima yaitu Bayan itsbat yang menjadi aktivitas kias atau analogi
dalam epistemologi bayani posisi teks sedemikian Sentral sehingga aktivitas intelektual senantiasa
berada dalam wilayah dan lingkaran serta berorientasi pada produksi teks secara lebih luas dan Islam
yang berkembang pada fase tersebut bisa disebut peradaban teks.2

Bayani Menurut Abid Al jabiri pemikiran Islam asal Maroko bayani yaitu salah satu
perkembangan pemikiran Islam secara epistemologis tradisi bayani berkembang pada masa awal
sebelum dunia islam mengalami kontak budaya secara masif dengan dunia luar dinilah cara berpikir
pemeluk agama Islam mulai terbuka bahkan tradisi ini mulai tumbuh dan

1 Rasyid Ridho, “Epistemologis islam studies kontemporer relasi sirkural epistemologi bayani irfani dan
burhani” 45, no. 01 (t.t.): 02.
2 Yasid, “Epistemologi ushuml fiqh : antara pembaharuan dan pemberdayaan mekanisme istihan al-ahkam”
45, no. 01 (t.t.): 03.
berkembang sejak masa nabi Atau paling tidak pada pembesar sahabat. Hal tersebut dapat ditandai
dengan lahirnya tradisi interpretasi terhadap teks Wahyu dan sistematisasi sastra Arab dalam bentuk
antologi yang diprakarsai oleh Ibnu Abbas pembangunan ini sangatlah membawa kemajuan dalam
Islam yang membawa para umat Islam menjadi lebih berpikir secara kritis dan aktif. Dalam bahasa
Arab bayani yaitu penjelasan penyingkap dan menjelaskan sesuatu adalah masuk sesuatu pembicaraan
yang menggunakan lafal yang paling baik dan komunikatif Suatu paham yang digunakan di sini
sangatlah berperan penting untuk para penganutnya Oleh karena itu dengan tidak adanya dalam Suatu
paham tentunya memiliki pondasi atau tumbuhan terkuatnya untuk dijadikan sebagai dasar pokok dan
sebagai Pondasi yang kuat pada paham tersebut sebagai landasan karena sudah memiliki ketentuan
yang sangat jelas juga mudah dipahami dan pastinya lebih diterima oleh banyak kalangan umum.3

Dibawah ini tersebut dapat dipahami oleh para musafir dalam arti yang berbeda-beda dan
beraneka ragam salah satu penafsiran mengatakan bahwa dalam kata Bayan Ini mengandung arti
berbicara fasih dalam mengungkapkan isi hatinya. Sejak lahirnya paham bayani para musafir
menjadikan sebagai suatu kebiasaan di dalam kehidupannya sehari-hari untuk berkomunikasi dengan
lingkungan sekitarnya Meskipun demikian tidak semua Musa mufasi menjalankan pahami dengan
baik sebab tidak mudah untuk memahami dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk dapat
Istiqomah berjalan dengan menganut paham Ini masa dimana paham ini berjalan dapat dikatakan juga
sebagai pembeda, dalam arti para mufassir satu dengan mufasir lain yang menjalankan dan tidak
menjalankan sangatlah terdapat perbedaan yang sangat menonjol dapat dilihat dari cara berbicara
sikap dan dalam mengungkapkan isi hatinya. Bayani dalam bahasa Arab yaitu penjelasan
menyingkapi dan menjelaskan sesuatu yaitu menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan
menggunakan lafadz yang paling baik. Ahli Ushul fiqih memberikan pengertian yaitu Bayan adalah
pengikat makna dalam suatu pembicaraan atau kalam serta menjelaskan secara rinci hal-hal yang
tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada para mukallaf. Makna Al Bayan di sini mengandung 4
pengertian adalah Al Fatih Al Infitar dan Al Azhar Al Azhar atau bila harus disusun secara pemilihan
antar metode dalam epistemologi bayani yg dapat disebutkan bahwa Al Bayan sebagai metode yaitu
al fashl. Sementara al-bayan sebagai visi berarti dzuhur al-azhar bahkan al-syafi'i meletakkan Al
Azhar al-bayaniyyah sebagai faktor penting dalam faktor penting penafsiran wacana.4

Al syafi'i menjelaskan hierarki bayar khususnya berkaitan dengan Bayan terhadap Alquran
dan lima tingkatan pertama Bayan yang tidak memerlukan penjelasan kedua Bayan yang beberapa
bagian membutuhkan penjelasan sunnah ketika Bayan yang keseluruhannya bersifat umum dan
membutuhkan penjelasan sunnah keempat bahaya yang tidak terdapat dalam Alquran maupun sunnah
yang dari sini kemudian memunculkan hias sebagai metode ijtihad. Menurut Al jabiri corak
epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fiqih dan garam dalam tradisi keilmuan Islam corak
pemikiran Islam model bayani sangatlah mendominasi Memahami Islam secara menyeluruh yaitu
penting Meskipun tidak secara mendalam inilah cara yang paling minimal dan harus dilakukan untuk
memahami Islam secara baik Aliran lain menyatakan bahwa bagaimanapun juga metode yang sah
untuk digunakan adalah metode

3 Afifi fauzi Abbas, “Integrasi pendekatan bayani burhani dan irfani dalam ijtihad muhammadiyah” 12, no.
01 (t.t.): 03.
4 Abid Rohmanu, “Signifikansi nalar ijtihad al-jabiri terhadap pemaknaan ulang konsep jihad era
kontemporer” 10, no. 02 (t.t.): 04.

ilmiah. Kedua dalamarti luas adalah menunjukan pada prosedur yang bekerja dengan disiplin yang
logis dan untuk premis-premis yang jelas.5

Banyak pulau sarjana terkemuka mempertanyakan keabsahan Penerapan metode metode dan
teknik eksperimental kuantitatif dan penelitian kausal terhadap dunia rohani atau agama. Majelis tarjih
dan tajdid pimpinan pusat Muhammadiyah mencoba merumuskan metode sintesis seperti yang
dimaksud oleh mobil tersebut adalah dengan mengintegrasikan pendekatan bayani burhani dan Irfani
dalam ijtihadnya. Yang dimaksud dengan bayani tersebut merupakan metode penerapan hukum yang
menggunakan pendekatan kebahasaan penggunaan metode bayani terkait erat dengan sumber utama
Alquran dan as-sunnah Al makbulah oleh karena kedua sumber ini terbentuk nash atau teks yang
berbahasa Arab. Metode bayani juga berhubungan dengan pola penerapan suatu masalah yang
diturunkan kepada dua sumber ajaran Islam sedangkan teliti adalah metode penerapan hukum.

Epistemologi bayaniSecara etimologis bayani mengandung beragam arti yaitu


kesinambungan keterpilihan jelas dan terang sebuah kemampuan membuat terang dan generic.
Sebagai sebuah sistem dengan kata lain Bayar berubah menjadi sebuah terminologi dan di samping
mencakup arti segala sesuatu yang melengkapi tindakan memahami dalam proses belajar. Tata
kebahasaan seiring dengan upaya memahami ajaran agama dan produksi wacana keagamaan yang
membangun rasionalitas kaagamaan Arab dengan produk intelektualnya yaitu ilmu kebahasaan dan
ilmu agama dalam menalar bayani.6

Pendekatan bayani dalam bahasa Arab berarti penjelas penyingkap dan menjelaskan sesuatu
yang dimaksud dengan menjelaskan sesuatu adalah pembicaraan dengan menggunakan lafsh yang
paling baik dan komunikatif adalah seorang ahli mengatakan tentang pengertian Bayan yaitu upaya
menyingkap makna dari suatu pembicaraan yang menjelaskan secara terperinci tentang hal-hal yang
tersembunyi. Tujuan dari ini agar untuk mudah dipahami bagi semua umat. Bayan ini sangat penting
dalam menyampaikan suatu penjelasan ke masyarakat umum dapat dikatakan penting karena bahan
ini merupakan salah satu metode yang sangat bagus untuk digunakan dalam menyampaikan
penjelasan dibayangi ini banyak sekali cara-cara tentang bagaimana cara agar kita dapat
menyampaikan informasi dengan baik mengenai pembaharuan dan pemberdayaan mekanisme. Jika
seseorang menggunakan metode bayani Ini kemungkinan besar orang yang mendengar penjelasannya
akan lebih mudah memahaminya semua cara-cara yang ada di dalam Bayan ini tidak hanya dipahami
dengan bacaannya saja tetapi harus dipahami satu-persatu setiap cara caranya agar kita sebagai
pengguna metode bayani ini dapat memahami lebih dekat dan jelas lagi tentang Apa itu bayani dan
bagaimana cara mengaplikasikannya dalam penyampaiannya padahal paradigma epistimologi.7

Bayani tidak hanya sebagai metode dalam penyampaian penjelasan tapi bagi orang yang
memahami apa itu arti dalam bayani maka mereka akan sangat beruntung jika sudah mengenal bayani
itu karena mereka beranggapan bahwa bayani dapat membantu dalam mengefektifkan penyampaian
tidak membingungkan pendengarannya dalam hal integrasi interkoneksi. Keilmuan apapun termasuk
ilmu ilmu agama Islam yang terlalu kaku tidak lagi menarik bagi generasi ilmuwan Islamic diperlukan
transdisiplin untuk mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu ilmu agama Islam
serta membongkar eksklusivisme ketutupan dan kekakuan disiplin keilmuan agama yang hidup
dalam bilik-bilik sempit epistimologi.
5 Mohammad Kosim, “Ilmu pengetahuandalam islam perspektif, filosofisdan historis” 03, no. 01 (t.t.): 06.
6 Agus salim Lubis, “Epistemologi ilmu pengetahuan dan relevensinya dalam studi Al-qur’an” 08, no. 02 (t.t.):
08.
7 Kadiri, “Epistemologi pengemabangan pemikiran islam menurut muhammad abid al-jabiri” 04, no. 02 (t.t.):
09

B. pengelompokan keilmuan dalam prspektip:irfani

Pengertian Irfani menurut bahasa memiliki dua makna asli, yaitu yang berurutan dan
bersambung dan tentang kediaman dan ketenangan, maksudnya mengungkapankan atas suatu
pengetahuan yang didapat dan memperoleh sebuah penyinaran dari Tuhan pada seorang hambanya.
Terdapat contoh yang konkrit dari Perspektif irfani ini yaitu ketika Rasulullah menerima wahyu Al
Qur’an dari Allah melalui malaikat jibril.1 Ketika itu rasul merasakan keguncangan dan ketakutan
jiwa yang sangat luar biasa, ia merasa apakah yang ia temui itu, hal tersebut terjadi saat beliau baru
pertama kali didatangi malaikat jibril.

Dewasa ini perkembangan keilmuan islam maupun umum mengalami kemajuan sangat pesat,
dan menjadi sebuah rujukan yang sangat mendasar dari keterbelakangan seseorang apabila tidak
melanjutkan pendidikan. Hal tersebut akan menjadi acuan setiap orang mengembangkan potensi
akademiknya dalam memajukan manusia itu sendiri. Adapun dalam proses mendapatkan dan
mengembangkan ilmu itu disebut dengan Epistimologi yang dimaksudkan bagaimana cara
memperoleh ilmu pengetahuan dan tentang membicarakan sumber keilmuan itu sendiri hal tersebut
disampaikan oleh Ahli Tafsir. Kemudian menurut Amin Abdullah sebagai peletak epistimologi islam
integratif-interkonektif.2

Penggunaan metode yang digunakan ilmuwan muslim dan barat memiliki perbendaan yang
signifikan, yakni barat menggunakan metode observasi, sedang muslim menggunakan tiga metode
untuk menyesuaikan tingkat hirearki yakni bayani (observasi), burhani (logis), dan irfani (intuitif) dari
ketiga ini masing-masing bersumber pada indra, akal dan hati. Ilmuwan muslim mempunyai cara yang
unik untuk membedah keilmuan yang akan dikemas pada wadah yang menarik, sehingganya ilmu
yang akan didapat menjadi jelas dan terprogres hingga akar-akarnya. Beda halnya dengan ilmuwan
barat yang hanya menyimpulkan dari satu sisi yang menjadikan pro-kontra diantara kalangan yang
akan mempelajarinya.3

Pembahasan kali ini, akan membahas tentang pengelompokan keilmuan islam perspektif
irfani yang muncul di masa modern ini sebagai bentuk sebuah penalaran dan epistimologis yang akan
membantu mengembangkan keilmuan islam. Irfani mendapat kapasitas menyelami jiwa-jiwa yang
akan menjadikan kehidupan terasa ada permasalahan dan hambatan yang muncul dari perasaan yang
tidak menentu sehingga akan timbul suatu kebaikan dan kejahatan di dunia ini.

1 Dari Masa Klasik and Hingga Modern Tengah, “Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam” (2007).
2 Musliadi Musliadi, “Epistemologi Keilmuan Dalam Islam: Kajian Terhadap Pemikiran M. Amin Abdullah,”
Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 160–183.
3 Ibid.

Perspektif irfani ini lebih kepada hubungan manusia dengan Tuhannya melalui hati dan jiwa-jiwa
manusia.4

Perspektif Irfani lebih kepada ketenangan hati yang jauh dari keduniwiaan, dan mengasingkan
diri dari dunia untuk lebih mendekat pada Akhirat maksudnya ini hanya sebuah pernyataan yang
hanya sebatas rasa yang mereka alami di dunia. Dengan kata lain untuk menghindari penghambaan
terhadap dunia, sehingga bisa mengakibatkan jauh dari sang Pencipta. Permasalahan Irfani juga
memasuki fase pemikiran yang mana mereka mengutamakan tentang “siapa aku”, dari mana
berasalnya, dimana keberadaannya, dan kemana akan dikembalikan. Hal tersebut menjadikan mereka
orang-orang sufi yang hanya akan mengurusi keterlibatan hati untuk mencari tau sang penciptanya
dan merasakan bahwa Allah benar-benar ada.5

Dapat disimpulkan bahwa ajaran sufi dalam Irfani ini sangat berhubungan erat, dan dapat
dibedakan menjadi 2 bidang yakni : metafisika (al-haqd’iq) ilmu tentang kejiwaan, karena nalar irfani
lebih kepada pengalaman langsung. Irfani dan lainnya awal terbentuknya sama dan saling berbenturan
hingga saat jadi perbincangan sengit karena terjadi konflik politik sepanjang sejarah islam, yakni
golongan syiah yang kuat dengan ideologi dan keagamaan Irfani nya, dengan golongan mu’tazilah
dan ahlu sunnah. Taksonomi yang bisa di ambil epistimologi Irfani adalah dari sumber pengetahuan
yang diperoleh dan sumber yang berwujud dan untuk menemukan pembentukan pengetahuan itu
sendiri yakni dengan menyalami diri sendiri.
4 SembodoArdi Widodo, “Nalarrayani,’Irfani, Danburhanidan 65 Implikasinyaterhadap Keilmuan Pesantren”
2(007)
5 Ibid.

C. pengelompokan keilmuan dalam islam :perspekti burhani

Burhan menurut bahasa merupakan argumentasi atau pendapat yang begitu kuat dan jelas.
Secara istilah merupakan logika (pikiran), al-burhan artinyasuatu aktifitas intelektual untuk bisa
membuktikan suatu kebenaran dari proposisi yang melalui suatu pendekatan deduksi dengan suatu
cara untuk menghubungkan suatu proposisi yang satu dari yang telah terbukti yang secara
aksiomatik.Dengan ini, burhan merupakan suatu aktifitas intelektual untuk bisa menetapkan suatu dari
proposisi tertentu.Yang untuk mendapatkan suatu pengetahuan, epistemologi burhani yang
menggunakan suatu aturan silogisme.Dalam bahasa Arab nya, silogisme diterjemahkan dalam al-
qiyas al-jam‟i mengacu pada suatu makna asal, dan mengumpulkan.

Menurut istilahsilogisme merupakan suatu bentuk yang argumen yang dimana terdapat dua
proposisi yang disebut dengan premis, dirujukkan dengan bersama yang sedemikian rupa, sehingga
dari sebuahkeputusan (konklusi) yang pasti menyertai. Karena dari pengetahuan burhani ini tidak
murni yang bersumber pada suatu rasio, tetapi didasarkan atas dasar rasio juga objek-objek eksternal,
maka hal ini melalui suatu tahapan-tahapan yang sebelum dilakukan silogisme antara lain: tahap
pengertian (ma‟qulat), tahap penyertaan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlili). Tahap pengertian
(ma’qulat)merupakansuatu proses abstraksi yang atas objek-objek eksternal masuk ke dalam sebuah
pikiran.1

Pendapat al-Jabiri bahwa penarikan suatu kesimpulan dalam silogisme yang harus memenuhi
suatu beberapa syarat yang diantaranya: mengetahui suatu latar belakang dalam penyusunan suatu
premis, adanya suatu konsistensi logis diantara suatu alasan dan juga kesimpulan, kesimpulan yang
dapat diambl bersifat pasti dan juga benar, sehinggga tidak akan mungkin menimbulkan suatu
kebenaran / kepastian lain.
1 Zulpa Makiah, “Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan Tentang
Mashlahah,” Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran 14, no. 2 (2015): 7–8.

Nalar burhani juga berpegang pada suatu kekuatan dari natural manusia yang dapat berupa
indera dan juga otoritas dari suatu akal yang memperoleh suatu pengetahuan.Dan dari pengertian
tersebut, bahwa nalar burhani itu identik dengan suatu filsafat, yang juga masuk ke dalam dunia Islam
dan juga Yunani.Dengan demikian dalam suatu konteks dalam keilmuan klasik, juga menyebutkan
bahwa suatunalar burhani itu hanya ditunjukkan pada suatu pemikiran ahli Aristoteles. Dalam
kerangka teoritik dari pemikiran Aristoteles bahwa sesungguhnya itu adalah sebuah logika. Menurut
istilah bahwa logika itu sendiri haya diberikan oleh Alexander Aphrodisias, ia merupakan salah satu
seorang komentator terterbesar, Aristoteles hidup pada abad 2-3 Masehi. Dan sementara itu
Aristoteles juga menyebutnya suatu analitika merupakananalisis suatu ilmu sampai prinsip-prinsip
serta dasar-dasarnya yang terdalam.

Logika mempunyai dasar yang bertujuan untuk mencapai suatu ilmu burhani, tetap juga untuk
dapat sampai kesana harus terlebih dahuludapat memahami suatu silogisme. Dan dalam suatu
pendidikan juga ada kemunduran dalam moral2 dan Silogisme yang pada dasarnya dapat terdiri dalam
beberapa proposisi yang juga disebut premismayor: premis minor dan juga konklusi.Hal ini dapat
penyimpulan bersifat bersifat konklusif yang tidak akan bisa terjadi, dan apabila ini hanya dapat
terdiri haya satu premis. Dan selain itu juga dua premis tersebut juga harus banyak mengandung dari
satu term yang sama disebut dengan term tengah (middlterm). Misalnya dari setiap manusia mati
(premis mayor). Socrates ialah manusia (premis minor), maka, dengan term tengah dari kata manusia,
konklusinya ialah Socrates (manusia) akan mati.

Dengan hal ini, dalam suatu silogisme juga harus dapat terpenuhi dalam tiga hal, diantaranya:
yang pertama, silogisme juga harus dapat memiliki dari dua premis, danjuga premis kedua adalah
suatu bagian dan juga tidak mungkindapat keluar darisuatu cakupan dari premis yang pertama, serta
juga konklusinya juga
2 Muhamad Asvin Abdur Rohman, “Pendidikan Islam Dalam Perspektif Epistemologi Burhaniy,”
Qalamuna-Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama 8, No. 2 (2016): 2.

tidak mungkin dengan melebihi dari cakupan yang juga ada pada dalam premis pertama. Yang Kedua,
silogisme ini terbentuk dari suatu dua premis yang juga mengandung dari tiga term, yang diantarnya
term tengah yang ada kedua premis, term mayor yang ada pada premis mayor, dan juga term minor
yang juga pada premis minor. Ketiga, dari silogisme yang pasti dapat mengandung term tengah yang
pada kedua premis, dapat fungsinya yang menjadi suatu sebab melegitimasi dari predikat dari dapat
bersandar yang pada subyeknya dalam suatu konklusi.

Dari sini lah Aristoteles berkata bahwa suatu ilmu merupakan suatu upaya dalam menemukan
sebab. Silogisme juga dapat menjadi kan suatu ilmu burhani yang apabila dapat berupa silogisme atau
juga analogi ilmiah, yang juga harus dapat memenuhi tiga syarat, diantaranya: yang
pertama,mengetahui term tengah yang juga menjadi „illah atau jugasebab adanya konklusi. Dari
kedua, implimentasinya yangkonsisten di antara sebab dan juga akibat di antara termtengah danjuga
konklusi, dan yang ketiga, konklusi juga harusdapat bersifat pasti, sesuatu lain tidak tercakup dalam
suatu konklusi. Dan di dalam keilmuan islam juga banyak ahli ilmu pengetahuan tetapi para ahli
berfikir bahwa studi islam tidak akan masuk dalam ilmu pengetahuan.3

Dengan demikian, ilmu itu hanya bisadidapat dengan suatu jalan burhan, dan burhan
dibentukoleh suatu prinsip-prinsip, juga prinsip-prinsip hasil daripenalaran akal. Karena suatu
kekuatan akal merupakan suatuprinsip dari ilmu pengetahuan dan juga prinsip ataupun suatulandasan
bagi suatu prinsip ilmu itusendiri, dan hubungan dariilmu pengetahuan dan juga peristiwa yang juga
ada dialam yangsama dalam halnya dengan suatu hubungan dari akal dan juga prinsip dariilmu
pengetahuan.
3 Dedi Wahyudi Rahayu Fitri As, “Islam Dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam Di Dunia
Barat),” FIKRI: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya 1, no. 2 (2017): 272.

KESIMPULAN

Ketiga nalar keilmuan diatas tidak dapat berdiri sendiri namun harus saling berhubungan
antara satu dengan yang lain. Dalam diri seseorang harus ada tiga nalar tersebut sehingga
ketika mencermati dan menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami secara sepihak dan satu
alur, namun dilihat secara komprehensif, baik dari aspek formal, makna, dan penyebab
terjadinya hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1 Rasyid Ridho, “Epistemologis islam studies kontemporer relasi sirkural epistemologi bayani irfani dan
burhani” 45, no. 01 (t.t.): 02.
2 Yasid, “Epistemologi ushuml fiqh : antara pembaharuan dan pemberdayaan mekanisme istihan al-ahkam”
45, no. 01 (t.t.): 03
3 Afifi fauzi Abbas, “Integrasi pendekatan bayani burhani dan irfani dalam ijtihad muhammadiyah” 12, no.
01 (t.t.): 03.
4 Abid Rohmanu, “Signifikansi nalar ijtihad al-jabiri terhadap pemaknaan ulang konsep jihad era
kontemporer” 10, no. 02 (t.t.): 04
5 Mohammad Kosim, “Ilmu pengetahuandalam islam perspektif, filosofisdan historis” 03, no. 01 (t.t.): 06.
6 Agus salim Lubis, “Epistemologi ilmu pengetahuan dan relevensinya dalam studi Al-qur’an” 08, no. 02 (t.t.):
08.
7 Kadiri, “Epistemologi pengemabangan pemikiran islam menurut muhammad abid al-jabiri” 04, no. 02 (t.t.):
09

1 Dari Masa Klasik and Hingga Modern Tengah, “Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam” (2007).
2 Musliadi Musliadi, “Epistemologi Keilmuan Dalam Islam: Kajian Terhadap Pemikiran M. Amin Abdullah,”
Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 160–183.
3 Ibid.
4 SembodoArdi Widodo, “Nalarrayani,’Irfani, Danburhanidan 65 Implikasinyaterhadap Keilmuan Pesantren”
2(007)
5 Ibid

1 Zulpa Makiah, “Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan Tentang
Mashlahah,” Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran 14, no. 2 (2015): 7–8.
3 Dedi Wahyudi Rahayu Fitri As, “Islam Dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam Di Dunia
Barat),” FIKRI: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya 1, no. 2 (2017): 272.

Anda mungkin juga menyukai