JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
dilakukan S (56) terhadap istrinya, FN (45), di Palmerah, Jakarta Barat, berujung damai. Pasangan suami istri (pasutri) tersebut berdamai setelah dimediasi oleh polisi. Korban juga didesak sang anak untuk memaafkan pelaku. "Karena pertimbangan kemanusiaan dan masih ada suatu ikatan pernikahan, maka kedua belah pihak mengajukan restorative justice," ujar Kapolsek Palmerah Kompol Dodi Abdulrohim kepada wartawan, Kamis (12/1/2023). Dodi menjelaskan, KDRT itu terjadi di Kota Bambu Utara, Kecamatan Palmerah, pada Sabtu (31/12/2022). Kasus tersebut bermula ketika pelaku berada di warungnya, lalu didatangi oleh korban. Mereka kemudian adu mulut hingga didengar oleh warga sekitar. "Korban merusak dagangan suaminya dan suaminya ini marah terus mukul korban," jelas Dodi. Akibat kejadian tersebut, korban mengalami luka lebam di wajah usai dipukul oleh suaminya dengan tangan kosong. S memukul istrinya di depan sang anak. Tak terima dengan perlakuan suaminya, FN kemudian melaporkan kejadian itu ke Polsek Palmerah. Namun, polisi mengupayakan mediasi berdasarkan kesepakatan antara korban dan pelaku. Usai dimediasi, pasutri itu memilih menyelesaikan masalah mereka secara kekeluargaan. Korban mencabut laporan dengan pertimbangan bahwa mereka masih memiliki ikatan pernikahan secara siri. Selain itu, korban juga mendapat desakan dari anak agar memaafkan pelaku. Kini pelaku sudah dipulangkan ke rumahnya dan berjanji kepada korban tidak akan mengulangi perbuatannya. Komitmen itu dibuat dalam bentuk surat perjanjian. Jika kasus itu terulang, korban akan memproses secara hukum demi memberi efek jera kepada pelaku. Dodi menegaskan, KDRT itu hanya dilakukan pelaku kepada istrinya. "Anaknya enggak (dianiaya)," kata Dodi. SUDUT PANDANG BIDAN Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dinilai sangat memerlukan pendampingan dari tenaga kesehatan. Peran tenaga kesehatan sangat penting untuk untuk penanganan yang lebih mendalam pada korban. Yang dibutukan korban kekerasan adalah tenaga kesehatan. diperlukan penyelaras kebutuhan penanganan korban kekerasan sesuai undang-undang nomor 36 Tahun 2014, yang salah satu isinya mengatur tenaga kesehatan pada KDRT.
Tenaga kesehatan dalam penangan kasus kekerasan dimulai dari pencegahan,
penanggulangan hingga pemulihan korban kekerasan. Contoh kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap anak akan dirujuk ke Puskesmas terdekat terlebih dahulu, dengan begitu Puskesmas akan menjadi ujung tombak. Perlu digaris bawahi jika tenaga kesehatan berperan penting dalam penanganan kasus kekerasan, maka dari itu perlunya meningkatkan komunikasi inter personal dalam pendampingan korban.
Peran Bidan dalam menangani masalah kekerasan terhadap perempuan adalah:
1. Memahami masalah kekerasan terhadap perempuan dan ketidak berdayaan
korban, yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan. 2. Dapat memberikan penyuluhan tentang berbagai bentuk penyalahgunaan atau kekerasan terhadap pasangan tidak dapat diterima dan karena nya tidak ada perempuan yang pantas untuk dipukul, dipaksa dalam berhubungan seksual atau didera secara emosional. 3. Dapat melakukan anamnesis/bertanya kepada korban tentang kekerasan yang dialami dengan cara simpatik, sehingga korban merasa mendapat pertolongan. 4. Dapat memberikan rasa empati dan dukungan terhadap korban. Dapat memberikan pelayanan medis, konsseling, visum, yang sesuai dengan kebutuhan, merujuk ke fasilitas yang lebih memadai dengan cepat dan tepat. 5. Memberikan pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan, serta mencegah dampak serius terhadap kesehatan reproduksi korban. 6. Dapat mengindentifikasi korban kekerasan dan dapat menghubungkan mereka dengan pelayanan dukungan masyarakat lainya misalnya politik LSM dan bantuan lainnya.