Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Muhammad Farhan Pratama

NIM : 11211120000081

Pemikiran Politik Georg Wilhelm Friedrich Hegel

Biografi
Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filsuf idealis Jerman yang lahir pada tanggal
27 Agustus 1770 di Stuttgart. Hegel dilahirkan dalam keluarga kelas menengah yang
termasuk dalam kelas mapan. Georg Ludwig, ayahnya adalah seorang pegawai negeri di
administrasi negara. Sedangkan Maria Magdalena Louisa, sang ibu, adalah putri seorang
pengacara di Mahkamah Agung Württemberg. Sang ibu sangat mengkhawatirkan
perkembangan intelektual bayinya. Maka tidak mengherankan jika minat Hegel terhadap
dunia sains sangat besar sejak usia dini. Ini membuktikan cinta sulung dari tiga bersaudara
yang membaca berbagai literatur, surat kabar, dan esai filosofis. Antara 1788 dan 1793 Hegel
terdaftar sebagai mahasiswa teologi di daerah Tübingen. Di sana Hegel bertemu Friedrich
Hölderlin (1770-1843) dan Friedrich von Schelling (1775-1854), yang juga filsuf Jerman dari
paruh pertama abad ke-19. Sehingga persahabatan ini juga mempengaruhi pemikiran Hegel.

Revolusi Prancis merupakan titik awal bagi Hegel untuk mencetuskan ide mengenai
kebebasan. Revolusi Perancis dengan cita-cita kebebasan, persamaan, dan persaudaraan
mengguncang tatanan monarki feodal sebelumnya.1 Hegel lahir dan besar di Jerman, disaat
revolusi Prancis bergejolak justru di Jerman tetap stabil. Universitas Tübingen, tempat Hegel
menuntut ilmu, melarang penyebaran teks-teks filsafat yang dengan lantang menyuarakan
kebebasan individu.

Pemikiran Hegel tentang Negara

Negara dalam pemikiran Hegel adalah penjelmaan ‘Roh Absolut’ yang juga sebuah produk
pengaruh pemikiran Kristiani (Protestanisme). Oleh karena itu, negara bersifat absolut yang
dimensi kekuasaannya melampaui hak-hak transendental individu. Sama seperti perspektif
kristiani yang menganggap roh atau spirit sebagai suatu yang suci, Hegel pun melihat negara

1
Wattimena,Reza A.A. 2009. Hegel dan Dialetika. [Online]. Tersedia di
http://rumahfilsafat.com/2009/08/16/hegel-dan-dialektika/ diakses pada 18/10/2015
–karena ia perwujudan Roh- sebagai organ non-politik yang suci pula. Bisa dikatakan bahwa
Hegel menyakralisasi negara. The State is Divine Idea as it Exist on Earth. 2 Sudut pandang
ini tentu saja berimplikasi pada kekuasaan negara, yaitu bahwa penguasa - apapun namanya -
adalah roh impersonal - mirip dengan konsep Rousseau - perwujudan kehendak kolektif
manusia. Kepala negara dapat mendengarkan suara anggota parlemen - Hegel mengakui
adanya sistem parlementer - tetapi tidak wajib karena kekuasaan kepala negara bersifat
mutlak..3 Sebagaimana yang dianggap Hegel, negara sebagai sebuah organ politik, tidak
terdapat adanya pembagian kekuasaan, dimana penyerapan fungsi legislasi dan yudikasi
berada dibawah otoritas eksekutif.

Sudut pandang ini tentu saja berimplikasi pada kekuasaan negara, yaitu bahwa
penguasa - apapun namanya - adalah roh impersonal - mirip dengan konsep Rousseau -
perwujudan kehendak kolektif manusia. Kepala negara dapat mendengarkan suara anggota
parlemen - Hegel mengakui adanya sistem parlementer - tetapi tidak wajib karena kekuasaan
kepala negara bersifat mutlak.

Hegel melihat bahwa negara bukanlah instrumen kekuasaan, sebagaimana J.J.


Rousseau dan John Locke, tetapi sebagai tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, menurutnya,
negara tidak harus melayani rakyat, tetapi masyarakat - individu atau kelompok harus
melayani dan mengabdi pada negara. Mereka harus menjadi abdi negara, dan menurut Hegel
ini untuk kebaikan masyarakat itu sendiri Negara itu unik, karena memiliki logika, sistem
pemikiran dan perilakunya sendiri, berbeda dengan semua badan politik. Misalnya, negara
dapat menghapuskan kebebasan atau kemerdekaan individu, dengan asumsi bahwa individu
tidak berperan dalam negara secara keseluruhan. Itu harus dibagi menjadi unit negara. Dari
perspektif ini, individu tidak mungkin menjadi kekuatan oposisi terhadap negara. Namun, ini
tidak berarti bahwa Hegel tidak mengakui adanya kebebasan individu. Hal itu diakuinya,
meski menurutnya kebebasan tidak selalu terkait dengan demokrasi.

Hegel memiliki interpretasi sendiri tentang kebebebasan, konsep paling sentral dalam
diskursus demokrasi itu. Ia berargumentasi bahwa karena manusia itu makhluk rasional dan

2
Dikutip dalam Andrew Hacker, Political Theory, Philosophy, Ideoogy, Science, New York: The Macmillan, 1968,
hal. 445 dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, hal. 258
3
Uraian akademis mendalam tentang Pemikiran Negara Hegel bisa ditelaah dalam A. Pelcynski (ed.), Hegel’s
Political Philosophy. Problems and Perspective, Cambridge University Press, 1971. Dalam Ahmad Suhelmi,
Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, hal. 259
memiliki kesadaran diri, maka ia akan sangat mengkultuskan kebebasan, 4 tetapi di sisi lain,
nampaknya Hegel menyangsikan kemampuan manusia untuk mengekang dan mengausai
hawa nafsunya andaikata kebebasan sejati diberikan sepenuhnya kepada manusia. Seperti
yang diasumsikan Machiavelli dan Hobbes bahwa manusia memiliki watak kebinatangan,
seperti terefleksi pada kata-kata Hobbes “manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya”,
Hegel berpendapat bahwa watak yang mementingkan diri sendiri sendiri dan kebebasan
manusia harus dibatasi. Dengan kata lain, andaikan manusia diberikan kebebasan, kebebasan
itu tetap harus berada di bawah control kekuasaan. Ini dimaksudkan agar kebebasan tidak
menjadi kekuatan yang berhadapan dengan negara.

Pendapat dan Kritik


Kami setuju dengan beberapa ide Hegel tentang teori ruang integral, tetapi ada
beberapa hal yang tidak kami setujui. Kami setuju bahwa negara tidak hanya membela
segelintir segmen sosial atau kelompok masyarakat tertentu, tetapi masyarakat secara
keseluruhan. Prof. Soepomo yang menjelaskan bahwa negara integralistik didasarkan pada
anggapan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara itu melekat pada keutuhan dan negara
tidak boleh bergabung dengan golongan terkuat atau mayoritas dan menindas golongan
lemah dan minoritas, harus ada jangan ada diskriminasi. apapun dalam kehidupan bernegara.

Profesor Soepomo dengan mazhab sosialis juga menilai teori negara integrasionis ini paling
cocok untuk Indonesia saat itu karena konsep negara ini menekankan persatuan dan kesatuan.
Berbeda dengan teori individualis dan teori kelas. Di manakah teori individualis Thomas
Hobbes, John Locke, JJ Rousseau, dsb., yang dapat mengarah pada kejahatan dan eksploitasi
sistem imperialisme karena menganggap bahwa negara adalah masyarakat hukum yang
dibangun di atas kontrak sosial? Pada saat yang sama, teori kelas Marx, Lenin, dsb. dapat
menimbulkan kediktatoran proletar karena negara dianggap sebagai alat penindasan borjuis-
kapitalis.

Namun, apa yang kita miliki dengan Hegel dan Prof. Soepomo, menurut Hegel, adalah
negara sebagai organisasi politik tanpa pemisahan kekuasaan, yang sulit dicapai dalam negara
demokrasi, khususnya di Indonesia. Mungkin saja situasi sosial politik saat itu lebih condong
kepada kepala negara yang menjalankan fungsi legislatif dan yudikatif sebagai wakil

4
Plamenatz, Man and Society, Vol I, London: Longmans Green and Co, Ltd., 1963, hal. 216 dalam Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, hal. 260
eksekutif. Pemisahan kekuasaan seperti dalam konsep Montesque tentang politik Trias tidak
diperlukan pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai