Anda di halaman 1dari 26

Asketeisme Syahwat

Puasa dan Serba-Serbinya

Karya Firqoh Limo


Arif Nur Rokhman (210106110006)
Lukman Hakim (210106110008)
Salsabila Shafa Aurelia (210106110015)
Ismawati (210106110023)
Dinda Anggraini (210106110025)
Yoga Rizqi Amrullah (210106110028)
Siti Rosyidatul Abidah (210106110033)

Copyright © 2022 by Firqoh Limo


Hak cipta dilindungi Undang-Undang
All rights reserved

i
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat


dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
buku saku yang berjudul “Asketeisme Syahwat” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari buku saku ini adalah untuk
memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Fiqih. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
tata cara puasa bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak K.H. Zainal
Arifin Al-Nganjuki, M.Ag., selaku dosen mata kuliah Fiqih yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
penulis tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis di dunia
dan di akhirat, Amin.
Malang, 26 September 2022
Firqoh Limo

ii
Daftar Isi

Apa itu Puasa? ..................................................................................... 2


Apa Saja Syarat Wajib Puasa? ............................................................ 2
Apa Saja Rukun Puasa? ....................................................................... 3
Apa Saja Hal-Hal yang Membatalkan Puasa? ..................................... 7
Apa Saja Kesunahan dalam Melakukan Ibadah Puasa? ....................... 9
Kapan Waktu Diharamkannya Melakukan Ibadah Puasa? ................ 11
Apa Hukumnya Orang Bersetubuh di Siang Hari pada Bulan
Ramadhan? ........................................................................................ 13
Bagaimana Hukumnya Orang Meninggal Dunia namun Memiliki
Hutang Puasa? ................................................................................... 15
Bagaimana Hukumnya Orang (Lansia) dan Orang Sakit Melakukan
Ibadah Puasa? .................................................................................... 16
Bagaimana Hukumnya Orang Hamil dan Musafir Melakukan Ibadah
Puasa? ............................................................................................... 18

1
Apa itu Puasa?
P uasa secara etimologi yaitu, shaum atau shiyam, bermakna
“al-Imsaku ‘an al-Syai’in ( ) yaitu
mengekang atau menahan diri dari sesuatu, atau dalam bahasa
jawa disebut Ngempet. Misalnya menahan diri dari makan,
minum, bercampur dengan istri, berbicara dan sebagainya. Ingin
tahu lebih lanjut tata cara melakukan ibadah puasa? Mari kita
simak penjelasan berikut.

Apa Saja Syarat Wajib


Puasa?
‫ﭐﱓﱔﱕﱖ ﱗﱘﱙﱚﱛﱜﱝﱞ‬
‫ﱟﱠﱡ‬
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu
bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2:183).

S yarat wajib puasa ada empat yaitu :


A. Islam,
Jika ia beragama non-Islam maka ia tidak diwajibkan
untuk melakukan ibadah puasa
B. Baligh,
Jika ia beragama Islam namun ia belum baligh, maka
puasanya belum sah (hanya sebagai pengajaran/ tarbiyah)
karena belum memenuhi syarat.

2
C. Berakal sehat,
Jika ia beragama Islam dan baligh pula, namun ia gila
(hilang akal), mabuk miras maka puasanya tidak sah
karena tidak memenuhi syarat.
D. Mampu berpuasa.
Jika ia beragama Islam, baligh, juga berakal sehat namun
usianya sudah udzur sehingga menyebabkan ia tidak
mampu melakukan ibadah puasa, maka puasanya tidak
sah karena ia tidak memenuhi syarat. Nah, nanti akan
dijelaskan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.

Apa Saja Rukun Puasa?


.

Adapun rukun melakukan ibadah puasa ada 4 macam:


A. Niat,
Orang yang berpuasa harus niat di dalam hati. Tidak di
syaratkan berniat dengan cara diucapkan/ dilafazkan,
karena itu hanya berstatus sunah. Dan jika puasa yang
dilakukan itu fardhu atau puasa nazar, maka ia harus
melaksanakan niatnya di malam hari. Yakni antara setelah
terbenamnya matahari sampai sebelum terbitnya fajar.
Dasar diwajibkannya niat puasa fardhu di malam hari
adalah hadis riwayat Hafshah bahwasanya Nabi saw.
Bersabda

“Siapa yang tidak membulatkan niat puasa sebelum terbit


fajar, maka tidak ada puasa baginya (tidak sah

3
puasanya)”. (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 2098 al-
Tirmidzi: 662, dan al-Nasa'i: 2293).
Sedangkan jika puasa yang dilakukan adalah puasa sunah,
maka tidak diharuskan niat di malam hari, dan
diperbolehkan niat di pagi harinya sampai menjelang
waktu Dzuhur. Hal itu berdasarkan hadis shahih sebagai
berikut;

“Dari Aisyah r.a. ia menuturkan, "suatu hari Nabi SAW.


datang kepadaku dan bertanya, "Apakah kamu punya
makanan?". Aku menjawab, "Tidak". Maka beliau
bersabda, "Baiklah kalau begitu (hari ini) aku berpuasa".
Kemudian pada hari yang lain beliau datang lagi
kepadaku, lalu aku katakan kepadanya,”Wahai
Rasulullah kami diberi hadiah makanan (haisun)". Beliau
berkata, "Tunjukkan padaku, sebenarnya sejak pagi aku
berpuasa". Kemudian beliau memakan makanan tadi,”
(Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Dawud: 2099,
al-Tirmidzi: 666, al-Nasa'i: 2283, dan Ahmad: 24549).
Dan bagi orang yang berniat puasa juga harus menjelaskan
puasa apa yang akan dilakukan. Seperti ia harus berniat
puasa Ramadhan (tidak boleh sekedar berniat puasa saja
tanpa disertai Ramadhan). Dan niat yang paling sempurna
adalah, “saya berniat hendak berpuasa besok untuk
menunaikan fardlu puasa Ramadhan tahun ini semata-
mata karena Allah Ta’ala”. Atau dalam Arabnya
berbunyi,

4
B. Menahan diri dari makan dan minum,
Meskipun makanan yang dimakan atau minuman yang
diminum hanya sedikit, tetap tidak boleh dan dapat
membatalkan puasa. Namun, jika orang yang berpuasa
tersebut makan atau minum dengan tidak sengaja, lupa
atau dia tidak tahu bahwa makan dan minum adalah
perkara yang membatalkan puasa; entah karena ia baru
masuk Islam, atau ia hidup di daerah yang jauh dari ulama’
yang mengajarkan hukum Islam, maka puasanya tidak
batal.
Meninggalkan segala yang membatalkan puasa sejak
terbit fajar di waktu Shubuh sampai terbenam matahari di
waktu Maghrib. Berdasarkan Firman Allah SWT:
‫ﱡﱣﱤﱥﱦ‬
‫ﱛﱜ ﱝﱞﱟﱠ ﱢ‬

‫ﱮﱰﱱﱲ‬
‫ﱯ‬ ‫ﱧ ﱨﱩﱪﱫﱬﱭ‬

‫ﱻ ﱽﱾﱿﲀ‬
‫ﱼ‬ ‫ﱴﱶﱷﱸﱹﱺ‬
‫ﱵ‬ ‫ﱳ‬

‫ﲁﲃﲄﲅﲆ ﲇﲈﲉﲊ‬
‫ﲂ‬
“…Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai malam...” (QS. al- Baqarah, 2: 187).
C. Menahan diri dari jimak (berhubungan badan )
Seseorang yang berpuasa harus menahan diri dari Jima’
(bersetubuh) dengan disengaja, Apabila ia sengaja
melakukan jima ketika berpuasa maka ia harus membayar

5
kafarat sebagai balasan atas apa yang ia lakukan. Kafarat-
nya berupa memerdekakan budak mukminah atau puasa
dua bulan berturut-turut atau jika tidak mampu
melaksanakan hukuman pertama atau kedua maka ia harus
memberi makan 60 orang miskin, masing-masing satu
mud. Namun, jika ia tidak sengaja, maka hukumnya
seperti orang yang lupa makan di waktu puasa, yakni
puasanya tidak batal.
Adapun perintah untuk menahan diri jima (berhubungan
badan) tercantum pada surah Al Baqarah ayat 187, yakni:
‫ﱇﱉﱊ ﱋ‬
‫ﱈ‬ ‫ﱁﱂﱃﱄﱅﱆ‬

‫ﱎﱐﱑﱒﱓﱔ ﱕﱖ‬
‫ﱏ‬ ‫ﱌﱍ‬

‫ﱙﱛﱜ ﱝﱞﱟﱠ ﱢ‬
‫ﱡ‬ ‫ﱚ‬ ‫ﱗﱘ‬

‫ﱣﱤﱥﱦﱧ ﱨﱩﱪﱫﱬﱭ‬

‫ﱴﱶﱷﱸﱹﱺ‬
‫ﱵ‬ ‫ﱮﱰﱱﱲ ﱳ‬
‫ﱯ‬

‫ﲁﲃﲄﲅﲆ ﲇ‬
‫ﲂ‬ ‫ﱻ ﱽﱾﱿﲀ‬
‫ﱼ‬

‫ﲈﲉﲊ‬
“Dihalalkan untuk kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan istrimu. Istrimu adalah pakaian
untukmu dan kamu adalah pakaian untuk istrimu. Allah
Swt mengetahui bahwas kamu tidak bisa menahan nafsu.
Karena itu, Allah Swt mengampuni dan memberi maaf
kepadamu. Maka campurilah istrimu dan ikuti apa yang
ditetapkan oleh Allah Swt untukmu, dan makan minumlah
hingga terang untukmu benang putih dari benang hitam,

6
yakni fajar. Sempurnakan puasa hingga malam,
janganlah kamu mencampuri istrimu, sedang kamu
beritikaf di dalam massjid. Itulah larangan Allah Swt,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
Awt menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya
mereka bertakwa.”
D. Menahan dari muntah (disengaja)
Muntah yang disengaja dapat menyebabkan batalnya
puasa. Namun, muntah tanpa adanya unsur kesengajaan
misalnya karena sakit, maka tidak membatalkan puasa.
Dengan catatan, muntah tidak ditelan kembali. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi Saw.

“Dari Abu Hurairah ra. ia berkata Rasulullah saw.


bersabda “siapa yang tidak sengaja muntah maka tidak
ada qadha untuknya (tidak batal), dan siapa yang sengaja
muntah maka wajib qadha baginya.” (HR. Imam lima
yakni Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasa’i, Ibnu Majah dan
Ahmad).

Apa Saja Hal-Hal yang


Membatalkan Puasa?

7
D alam kitab Fathul Qorib pada Bab puasa dijelaskan bahwa hal
yang membatalkan puasa bukan hanya makan dan minum
saja, melainkan ada 10 hal yang membatalkan puasa. Baik itu
puasa sunah maupun puasa di bulan Ramadhan. Berikut 10 hal
yang membatalkan puasa yang dikutip dari kitab Fathul Qorib :
A. Masuknya suatu benda secara sengaja hingga sampai
kepada lubang yang terbuka yang menjurus ke perut
B. Masuknya suatu benda hingga sampai pada lubang yang
tidak terbuka seperti luka yang ada di kepala.
C. Menuangkan obat pada salah satu dua jalan baik Qubul
atau Dubur
D. Muntah dengan sengaja.
E. Melakukan hubungan badan secara sengaja.
F. Keluarnya air mani atau sperma disebabkan ada sentuhan
antar kulit meski tanpa melakukan hubungan badan baik
mengeluarkannya dengan cara yang diharamkan (onani)
atau dengan cara yang diperbolehkan (menggunakan
tangan istri). Kecuali keluarnya disebabkan mimpi basah.
G. Haid bagi perempuan
H. Nifas bagi perempuan
I. Gila
J. Murtad artinya keluar dari agama Islam

8
Apa Saja Kesunahan dalam
Melakukan Ibadah Puasa?
P uasa juga memiliki sunah-sunah yang dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan bahwa
sunah berpuasa itu ada tiga :
A. Cepat-cepat/ menyegerakan berbuka (ketika waktunya
datang).
Kanjeng Rasul Saw. bersabda:

Dari Sahal Ibnu Sa‘ad RA. bahwa, Rosululloh Saw


bersabda :
“Manusia akan tetap dalam kebaikan selama mereka
mensegerakan berbuka”(H.R. Bukhori, no. 1957 dan H.R.
Muslim, no. 1098)
Salah satu sunah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw
ketika berpuasa adalah bersegera dalam berbuka dan tidak
menunda-nunda ketika waktu berbuka telah tiba.
Disunahkan bersegera berbuka. Para ulama telah sepakat
atas hal tersebut. Jika telah jelas terbenamnya matahari
dengan pengelihatan mata, dan saat kumandang adzan
magrib maka bersegera berbuka. Menyegerakan berbuka
adalah tanda kebaikan, selama orang bersegera berbuka,
maka kebaikan akan senantiasa bersamanya. Kebaikan
yang yang diisyaratkan dalam hadits tersebut adalah
kebaikan karena mengikuti sunah.

9
B. Mengakhirkan sahur.
Hadist dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Zaid
bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata:

Artinya:
“Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melaksanakan sholat.
Anas berkata, Aku bertanya kepada Zaid: “Berapa jarak
antara adzan dan sahur ?”. Rasulullah menjawab:
‘Seperti lama membaca 50 ayat’” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits tersebut secara jelas mengatakan bahwa makan
sahur itu dianjurkan di waktu-waktu menjelang puasa.
C. Meninggalkan perkataan keji/buruk.
Sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah yang
menginformasikan bahwa Rasulullah Saw. bersabda

Artinya:
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan
perbuatan zur, maka Allah tidak berkepentingan
sedikitpun terhadap puasanya.” (HR. Al Bukhari).
Imam Ibnu Hajar al Asqalani di dalam kitab Fathul Bari
Syarh Shahih al Bukhari mengatakan bahwa makna dari
zur adalah dusta. Lebih lanjut di dalam kitab Ibanatul
Ahkam syarh Bulughul Maram dijelaskan bahwa yang
termasuk dari perkataan dan tindakan zur atau dusta
adalah memberikan kesaksian palsu, menggunjing,
memfitnah, menuduh zina, mencela, melaknat dan hal-hal

10
yang jauh dari kebenaran. Oleh karena itu, hadis tersebut
mengingatkan kepada kita bahwa esensi berpuasa tidak
hanya meningkatkan kualitas spiritual tetapi juga
meningkatkan kualitas akhlak kita. Di mana ketika
berpuasa kita tidak hanya menahan diri dari hal yang dapat
memuaskan nafsu perut dan farji tetapi kita juga harus
menahan diri dari nafsu amarah atau emosi yang
memerintahkan kepada tindakan dan perkataan yang
jelek.

Kapan Waktu
Diharamkannya
Melakukan Ibadah Puasa?
W aktu diharamkannya melakukan ibadah puasa dalam kitab
Fathul Qorib dijelaskan ada 5 hari dengan perincian, dua
hari raya dan tiga hari tasyriq :
A. Dua hari raya
Dua hari raya yang dimaksud di sini ialah Hari Raya Idul
Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Di mana dalam dua hari
tersebut seluruh kaum muslim/ah dilarang berpuasa,
hukumnya HARAM. Salah satu alasan larangan berpuasa
pada tanggal 1 Syawal yakni sebagai tanda selesainya
kewajiban puasa Ramadhan. Sebagaimana dalam Hadist
Riwayat Muslim (1138) dari Abi Hurairah RA.:

11
1138

“Bahwasanya Rasulullah saw. melarang untuk berpuasa


pada dua hari, yakni Idul Adha dan Idul Fitri, juga
diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1142) dari Abu sa’id ra.”
B. Hari-hari Tasyriq
Larangan puasa selanjutnya yakni pada Hari Tasyriq yang
jatuh dalam tiga hari berturut-turut sesudah Hari Raya Idul
Adha yakni pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Terdapat Hadist Riwayat Muslim mengenai hal ini yang
berbunyi:

Hadits riwayat Muslim (1142) dari Ka’ab bin Malik ra.


bahwasanya Rasulullah saw. mengutus dia dan Aus ibnul
Hadatsan, pada hari tasyriq, maka ia berseru: “Tidak akan
masuk surga kecuali orang mukmin, dan hari-hari Mina
adalah hari makan dan minum”.

Di samping itu pula dimakruhkan pula untuk berpuasa


pada hari keraguan, yaitu pada tanggal 30 Sya'ban, bila
keadaan rukyah masih meragukan. Kecuali bila bertepatan
dengan hari kebiasaan bagi dia (berpuasa sunah).

12
Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2334), dan at
Tirmidzy (686), yang berbunyi:
738

Dari Ammar bin Yasar ra., dari Rasululaah saw. beliau


bersabda: “Barang siapa yang berpuasa pada hari yang
diragukan manusia, maka sungguh telah berma’siyat
kepada Abal Qosim saw.”

Apa Hukumnya Orang


Bersetubuh di Siang Hari
pada Bulan Ramadhan?

T idak diperkenankan bagi muslim/ah bersetubuh dengan istri di


siang hari bulan Ramadhan dengan sengaja, maka dia wajib
mengqodho’ serta membayar kafarat (denda), yakni
memerdekakan budak yang mukmin, apabila tidak
mendapatkannya, maka dia berpuasa selama dua bulan berturut-
turut, apabila tidak mampu, maka memberikan makanan kepada
sebanyak 60 orang miskin, setiap orang satu mud. Sebagaimana
dalam Hadist Riwayat Bukhary (1834) dan Muslim (1111) dan
lainnya:

13
Hadits riwayatal Bukhary (1834) dan Muslim (1111) dan
alinnya, dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Ketika kami duduk
di dekat Nabi saw. maka datang seorang laki-laki dan berkata:
Wahai Rasulullah, saya kecelakaan. Beliau bertanya: “Ada
apa engkau?”. Ia menjawab: Saya menyetubuhi isteriku,
padahal saya berpuasa – di dalam satu riwayat: di dalam
bulan Ramadhan – Maka Rasulullah saw. bersabda: “Apakah
engkau mendapatkan budak untuk engkau merdekakan?” Ia
menjawab: Tidak. Beliau bertanya lagi: “Apakah engkau
mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Ia
menajwab: Tidak. Beliau bertanya lagi: “Apakah engkau
mampu memberi makan kepada 60 orang miskin? Ia
menajwab: Tidak. Abu Huriaroh berkata: Nabi saw. diam
sejenak, ketika kami dalam keadaan terdiam tersebut, Nabi
saw. diberi bakul terbuat dari daun kurma berisi tamar.
Beliau bertanya: “Mana orang yang bertanya tadi? Ia
menjawab: Saya. Beliau bersabda: “Ambillah ini dan
sedekahkanlah kepada orang miskin”. Lelaki itu bertanya:
Apakah saya sedekahkan kepada orang yang lebih miskin

14
dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, dan demi bumi yang
berbatuan hitam, tidak ada penghuni rumah tangga yang
lebih fakir dari keluargaku. Maka Nabi saw. Tersenyum
sampai terlihat gigi taring beliau, lalu beliau bersabda:
Berikanlah untuk mekanan keluargamu”. Tidak
diperbolehkan bagi si fakir yang mampu memberikan makan
kepada keluarganya, memindahkan kafarat tersebut kepada
keluarganya, demikian pula untuk kafarat lainnya. Apa yang
dijelaskan dalam hadits di atas hanya khusus bagi lelaki
tersebut saja

Bagaimana Hukumnya
Orang Meninggal Dunia
namun Memiliki Hutang
Puasa?
.

B arang siapa meninggal dunia sedang ia mempunyai


tanggungan puasa dari Ramadan, haruslah dikeluarkan
makan atas namanya(kepada orang miskin, oleh walinya dari
harta peninggalannya) untuk tiap hari 1 mud.
Dalil lainnya adalah fatwa Ibnu Abbas RA Dari Said bin Jubair –
murid Ibnu Abbas – bahwa gurunya pernah mengatakan,

15
“Apabila ada orang sakit ketika ramadhan (kemudian dia tidak
puasa), sampai dia mati, belum melunasi utang puasanya, maka
dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan
tidak perlu membayar qadha. Namun jika mayit memiliki utang
puasa nadzar, maka walinya harus mengqadhanya. (HR. Abu
Daud 2401 dan di shahihkan Al-Albani).

Bagaimana Hukumnya
Orang (Lansia) dan Orang
Sakit Melakukan Ibadah
Puasa?
O rang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk
tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut
mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surat Al Baqarah
ayat 184 dijelaskan keringanan berpuasa Ramadan bagi yang
memiliki uzur tertentu. Seperti sakit, lanjut usia atau dalam
perjalanan.

16
‫ﱣﱥﱦﱧ ﱨﱩﱪﱫﱬﱭﱮ‬
‫ﱤ‬ ‫ﭐﱢ‬

‫ﱶﱸﱹﱺﱻﱼ ﱾ‬
‫ﱽ‬ ‫ﱷ‬ ‫ﱯﱱﱲ ﱳﱴﱵ‬
‫ﱰ‬
‫ﱿﲀﲁﲂﲃﲄﲅﲆ‬
Artinya: "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di
antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa),
maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa
itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan
puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia


disamakan dengan orang tua rentah yang tidak mampu melakukan
puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi
makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan
lagi kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti
dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan
orang yang sudah tua.”

17
Bagaimana Hukumnya
Orang Hamil dan Musafir
Melakukan Ibadah Puasa?

Wanita hamil dan wanita yang menyusui jika kuatir akan


terganggu kesehatan dirinya, boleh berbuka (tidak puasa)
dan wajiblah keduanya mengqadha. Jika keduanya kuatir akan
(terganggu kesehatan) anaknya, boleh berbuka puasa dan wajib
mengqadha' serta membayar kafarat untuk tiap hari 1 mud yaitu
1/2 kati Irak (6 ons).

Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan khawatir terhadap


kondisi kandungan jika tetap berpuasa, adalah kekhawatiran akan
gugurnya kandungan jika ia tetap melaksanakan puasa sampai
selesai, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-
Thalibin:

“Yang dimaksud dengan ‘khawatir pada kandungan’ adalah


khawatir gugurnya kandungan (apabila melanjutkan puasa) bagi
orang yang sedang hamil” (Syekh Abu Bakar Muhammad
Syatho, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 273).

18
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum asal
melaksanakan puasa bagi perempuan hamil adalah wajib. Namun
kewajiban ini akan gugur tatkala ia memiliki dugaan (wahm)
bahwa jika ia tetap berpuasa maka akan membahayakan terhadap
kesehatannya, seperti akan bertambah sakit atau fisiknya akan
drop. Bahkan bila sampai pada keyakinan atau dugaan kuat akan
membahayakan fisik sang ibu dan keselamatan janin, ia wajib
tidak berpuasa demi menjaga nyawa manusia (hifdh an-nafs).

Orang sakit dan orang musafir yang bepergian jauh boleh


keduanya berbuka dan harus mengqadha'. Di dalam Al-Qur’an
Allah dengan jelas menyatakan hal tersebut dalam firman-Nya:

‫ﱯ‬
‫ﱥﱦﱧﱨﱩﱪﱫﱬﱭﱮ ﱰ‬
‫ﱶﱸﱹﱺﱻ‬
‫ﱷ‬ ‫ﱱﱲﱳﱴﱵ‬
‫ﱽ ﱿ ﲀ ﲁ ﲂﲃ ﲄ ﲅ ﲆ‬
‫ﱼ ﱾ‬
”Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak
“”

berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang


ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain...” (QS. al-
Baqarah: 185)
Hanya saja ketentuan bahwa seorang musafir boleh tidak
berpuasa memiliki aturan-aturan main yang tidak disebutkan
secara rinci di dalam al-Qur’an. Aturan-aturan ini perlu diketahui
oleh masyarakat muslim agar tak salah dalam menerapkannya.
Tidak dipungkiri bahwa tidak setiap muslim benar-benar
memahami hal ini. Mereka hanya memahami bahwa seorang yang
sedang bepergian boleh tidak berpuasa, itu saja, tidak lebih. Maka
terjadilah satu perbuatan di mana di pagi hari seseorang berpuasa

19
lalu membatalkannya karena ia melakukan satu perjalanan dan
menyebut dirinya sebagai musafir. Atau ada seorang yang sejak
malam hari sudah berniat tidak akan berpuasa di esok hari karena
akan melakukan perjalanan jauh, pun dengan pemahaman karena
pada hari itu ia sebagai musafir. Lalu bagaimana sebenarnya
aturan main bagi seorang musafir yang diperbolehkan tidak
berpuasa? Para fuqaha (ulama ahli fiqih) menjelaskan masalah ini
secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya Imam
Jalaludin Al-Mahalli menuturkan:

“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir


dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila
dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka
berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama
sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya
musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa
kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya
alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang
mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan
berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak
bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan
memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang

20
musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit
pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka
maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena
berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang
musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh
maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang
sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa.
Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan
mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali,
Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis,
2014], juz 2, hal. 161)
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad
Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja
beliau menambahkan penjelasan:

“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada


malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati
batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia
boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.”
(Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul
Fikr, 2009], juz 1, hal. 589)
Dari kedua penjelasan di atas secara rinci dapat diambil
kesimpulan aturan main kebolehan tidak berpuasa bagi seorang
musafir sebagai berikut:
1. Perjalanan yang dilakukan menempuh jarak perjalanan
yang membolehkan mengqashar shalat. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang batas minimal kilometer
yang ditempuh untuk bisa menqashar shalat. Ini bisa
dimengerti karena berbagai dalil yang menuturkan hal ini

21
tidak menggunakan ukuran kilometer tapi menggunakan
ukuran yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni
empat burud yang kemudian dikonfersikan menjadi empat
puluh delapan mil menurut ukuran Hasyimi, dan empat
puluh mil menurut ukuran Bani Umayah (Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-
Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait: 1980], juz 25, hal. 28-
29). Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus:
Darul Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191) secara jelas Dr.
Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengkonversikan
ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan bilangan 81
kilometer.
2. Perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah,
bukan perjalanan untuk melakukan suatu kemaksiatan.
3. Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum
terbit fajar (waktu subbuh) telah melewati batas daerah
tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia
adalah batas kelurahan. Hal ini sebagaimana pernah
disampaikan oleh KH. Subhan Ma’mun, Pengasuh
Pondok Pesantren Assalafiyah, Luwungragi Brebes dan
Rais Syuriah PBNU, pada kajian kitab Tafsir Al-Munir di
Islamic Center Brebes.
4. Bila ia pergi setelah terbitnya fajar maka ia tidak
diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada
hari itu.
5. Seorang musafir (yang dalam keadaan melakukan
perjalanan sebagaimana syarat-syarat di atas) yang pada
waktu pagi hari berpuasa diperbolehkan berbuka
membatalkan puasanya.

22
6. Seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat
dilarang berbuka (tidak berpuasa).

23

Anda mungkin juga menyukai