i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
1
Apa itu Puasa?
P uasa secara etimologi yaitu, shaum atau shiyam, bermakna
“al-Imsaku ‘an al-Syai’in ( ) yaitu
mengekang atau menahan diri dari sesuatu, atau dalam bahasa
jawa disebut Ngempet. Misalnya menahan diri dari makan,
minum, bercampur dengan istri, berbicara dan sebagainya. Ingin
tahu lebih lanjut tata cara melakukan ibadah puasa? Mari kita
simak penjelasan berikut.
2
C. Berakal sehat,
Jika ia beragama Islam dan baligh pula, namun ia gila
(hilang akal), mabuk miras maka puasanya tidak sah
karena tidak memenuhi syarat.
D. Mampu berpuasa.
Jika ia beragama Islam, baligh, juga berakal sehat namun
usianya sudah udzur sehingga menyebabkan ia tidak
mampu melakukan ibadah puasa, maka puasanya tidak
sah karena ia tidak memenuhi syarat. Nah, nanti akan
dijelaskan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
3
puasanya)”. (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 2098 al-
Tirmidzi: 662, dan al-Nasa'i: 2293).
Sedangkan jika puasa yang dilakukan adalah puasa sunah,
maka tidak diharuskan niat di malam hari, dan
diperbolehkan niat di pagi harinya sampai menjelang
waktu Dzuhur. Hal itu berdasarkan hadis shahih sebagai
berikut;
4
B. Menahan diri dari makan dan minum,
Meskipun makanan yang dimakan atau minuman yang
diminum hanya sedikit, tetap tidak boleh dan dapat
membatalkan puasa. Namun, jika orang yang berpuasa
tersebut makan atau minum dengan tidak sengaja, lupa
atau dia tidak tahu bahwa makan dan minum adalah
perkara yang membatalkan puasa; entah karena ia baru
masuk Islam, atau ia hidup di daerah yang jauh dari ulama’
yang mengajarkan hukum Islam, maka puasanya tidak
batal.
Meninggalkan segala yang membatalkan puasa sejak
terbit fajar di waktu Shubuh sampai terbenam matahari di
waktu Maghrib. Berdasarkan Firman Allah SWT:
ﱡﱣﱤﱥﱦ
ﱛﱜ ﱝﱞﱟﱠ ﱢ
ﱮﱰﱱﱲ
ﱯ ﱧ ﱨﱩﱪﱫﱬﱭ
ﱻ ﱽﱾﱿﲀ
ﱼ ﱴﱶﱷﱸﱹﱺ
ﱵ ﱳ
ﲁﲃﲄﲅﲆ ﲇﲈﲉﲊ
ﲂ
“…Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai malam...” (QS. al- Baqarah, 2: 187).
C. Menahan diri dari jimak (berhubungan badan )
Seseorang yang berpuasa harus menahan diri dari Jima’
(bersetubuh) dengan disengaja, Apabila ia sengaja
melakukan jima ketika berpuasa maka ia harus membayar
5
kafarat sebagai balasan atas apa yang ia lakukan. Kafarat-
nya berupa memerdekakan budak mukminah atau puasa
dua bulan berturut-turut atau jika tidak mampu
melaksanakan hukuman pertama atau kedua maka ia harus
memberi makan 60 orang miskin, masing-masing satu
mud. Namun, jika ia tidak sengaja, maka hukumnya
seperti orang yang lupa makan di waktu puasa, yakni
puasanya tidak batal.
Adapun perintah untuk menahan diri jima (berhubungan
badan) tercantum pada surah Al Baqarah ayat 187, yakni:
ﱇﱉﱊ ﱋ
ﱈ ﱁﱂﱃﱄﱅﱆ
ﱎﱐﱑﱒﱓﱔ ﱕﱖ
ﱏ ﱌﱍ
ﱙﱛﱜ ﱝﱞﱟﱠ ﱢ
ﱡ ﱚ ﱗﱘ
ﱣﱤﱥﱦﱧ ﱨﱩﱪﱫﱬﱭ
ﱴﱶﱷﱸﱹﱺ
ﱵ ﱮﱰﱱﱲ ﱳ
ﱯ
ﲁﲃﲄﲅﲆ ﲇ
ﲂ ﱻ ﱽﱾﱿﲀ
ﱼ
ﲈﲉﲊ
“Dihalalkan untuk kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan istrimu. Istrimu adalah pakaian
untukmu dan kamu adalah pakaian untuk istrimu. Allah
Swt mengetahui bahwas kamu tidak bisa menahan nafsu.
Karena itu, Allah Swt mengampuni dan memberi maaf
kepadamu. Maka campurilah istrimu dan ikuti apa yang
ditetapkan oleh Allah Swt untukmu, dan makan minumlah
hingga terang untukmu benang putih dari benang hitam,
6
yakni fajar. Sempurnakan puasa hingga malam,
janganlah kamu mencampuri istrimu, sedang kamu
beritikaf di dalam massjid. Itulah larangan Allah Swt,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
Awt menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya
mereka bertakwa.”
D. Menahan dari muntah (disengaja)
Muntah yang disengaja dapat menyebabkan batalnya
puasa. Namun, muntah tanpa adanya unsur kesengajaan
misalnya karena sakit, maka tidak membatalkan puasa.
Dengan catatan, muntah tidak ditelan kembali. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi Saw.
7
D alam kitab Fathul Qorib pada Bab puasa dijelaskan bahwa hal
yang membatalkan puasa bukan hanya makan dan minum
saja, melainkan ada 10 hal yang membatalkan puasa. Baik itu
puasa sunah maupun puasa di bulan Ramadhan. Berikut 10 hal
yang membatalkan puasa yang dikutip dari kitab Fathul Qorib :
A. Masuknya suatu benda secara sengaja hingga sampai
kepada lubang yang terbuka yang menjurus ke perut
B. Masuknya suatu benda hingga sampai pada lubang yang
tidak terbuka seperti luka yang ada di kepala.
C. Menuangkan obat pada salah satu dua jalan baik Qubul
atau Dubur
D. Muntah dengan sengaja.
E. Melakukan hubungan badan secara sengaja.
F. Keluarnya air mani atau sperma disebabkan ada sentuhan
antar kulit meski tanpa melakukan hubungan badan baik
mengeluarkannya dengan cara yang diharamkan (onani)
atau dengan cara yang diperbolehkan (menggunakan
tangan istri). Kecuali keluarnya disebabkan mimpi basah.
G. Haid bagi perempuan
H. Nifas bagi perempuan
I. Gila
J. Murtad artinya keluar dari agama Islam
8
Apa Saja Kesunahan dalam
Melakukan Ibadah Puasa?
P uasa juga memiliki sunah-sunah yang dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan bahwa
sunah berpuasa itu ada tiga :
A. Cepat-cepat/ menyegerakan berbuka (ketika waktunya
datang).
Kanjeng Rasul Saw. bersabda:
9
B. Mengakhirkan sahur.
Hadist dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Zaid
bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata:
Artinya:
“Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melaksanakan sholat.
Anas berkata, Aku bertanya kepada Zaid: “Berapa jarak
antara adzan dan sahur ?”. Rasulullah menjawab:
‘Seperti lama membaca 50 ayat’” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits tersebut secara jelas mengatakan bahwa makan
sahur itu dianjurkan di waktu-waktu menjelang puasa.
C. Meninggalkan perkataan keji/buruk.
Sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah yang
menginformasikan bahwa Rasulullah Saw. bersabda
Artinya:
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan
perbuatan zur, maka Allah tidak berkepentingan
sedikitpun terhadap puasanya.” (HR. Al Bukhari).
Imam Ibnu Hajar al Asqalani di dalam kitab Fathul Bari
Syarh Shahih al Bukhari mengatakan bahwa makna dari
zur adalah dusta. Lebih lanjut di dalam kitab Ibanatul
Ahkam syarh Bulughul Maram dijelaskan bahwa yang
termasuk dari perkataan dan tindakan zur atau dusta
adalah memberikan kesaksian palsu, menggunjing,
memfitnah, menuduh zina, mencela, melaknat dan hal-hal
10
yang jauh dari kebenaran. Oleh karena itu, hadis tersebut
mengingatkan kepada kita bahwa esensi berpuasa tidak
hanya meningkatkan kualitas spiritual tetapi juga
meningkatkan kualitas akhlak kita. Di mana ketika
berpuasa kita tidak hanya menahan diri dari hal yang dapat
memuaskan nafsu perut dan farji tetapi kita juga harus
menahan diri dari nafsu amarah atau emosi yang
memerintahkan kepada tindakan dan perkataan yang
jelek.
Kapan Waktu
Diharamkannya
Melakukan Ibadah Puasa?
W aktu diharamkannya melakukan ibadah puasa dalam kitab
Fathul Qorib dijelaskan ada 5 hari dengan perincian, dua
hari raya dan tiga hari tasyriq :
A. Dua hari raya
Dua hari raya yang dimaksud di sini ialah Hari Raya Idul
Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Di mana dalam dua hari
tersebut seluruh kaum muslim/ah dilarang berpuasa,
hukumnya HARAM. Salah satu alasan larangan berpuasa
pada tanggal 1 Syawal yakni sebagai tanda selesainya
kewajiban puasa Ramadhan. Sebagaimana dalam Hadist
Riwayat Muslim (1138) dari Abi Hurairah RA.:
11
1138
12
Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2334), dan at
Tirmidzy (686), yang berbunyi:
738
13
Hadits riwayatal Bukhary (1834) dan Muslim (1111) dan
alinnya, dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Ketika kami duduk
di dekat Nabi saw. maka datang seorang laki-laki dan berkata:
Wahai Rasulullah, saya kecelakaan. Beliau bertanya: “Ada
apa engkau?”. Ia menjawab: Saya menyetubuhi isteriku,
padahal saya berpuasa – di dalam satu riwayat: di dalam
bulan Ramadhan – Maka Rasulullah saw. bersabda: “Apakah
engkau mendapatkan budak untuk engkau merdekakan?” Ia
menjawab: Tidak. Beliau bertanya lagi: “Apakah engkau
mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Ia
menajwab: Tidak. Beliau bertanya lagi: “Apakah engkau
mampu memberi makan kepada 60 orang miskin? Ia
menajwab: Tidak. Abu Huriaroh berkata: Nabi saw. diam
sejenak, ketika kami dalam keadaan terdiam tersebut, Nabi
saw. diberi bakul terbuat dari daun kurma berisi tamar.
Beliau bertanya: “Mana orang yang bertanya tadi? Ia
menjawab: Saya. Beliau bersabda: “Ambillah ini dan
sedekahkanlah kepada orang miskin”. Lelaki itu bertanya:
Apakah saya sedekahkan kepada orang yang lebih miskin
14
dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, dan demi bumi yang
berbatuan hitam, tidak ada penghuni rumah tangga yang
lebih fakir dari keluargaku. Maka Nabi saw. Tersenyum
sampai terlihat gigi taring beliau, lalu beliau bersabda:
Berikanlah untuk mekanan keluargamu”. Tidak
diperbolehkan bagi si fakir yang mampu memberikan makan
kepada keluarganya, memindahkan kafarat tersebut kepada
keluarganya, demikian pula untuk kafarat lainnya. Apa yang
dijelaskan dalam hadits di atas hanya khusus bagi lelaki
tersebut saja
Bagaimana Hukumnya
Orang Meninggal Dunia
namun Memiliki Hutang
Puasa?
.
15
“Apabila ada orang sakit ketika ramadhan (kemudian dia tidak
puasa), sampai dia mati, belum melunasi utang puasanya, maka
dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan
tidak perlu membayar qadha. Namun jika mayit memiliki utang
puasa nadzar, maka walinya harus mengqadhanya. (HR. Abu
Daud 2401 dan di shahihkan Al-Albani).
Bagaimana Hukumnya
Orang (Lansia) dan Orang
Sakit Melakukan Ibadah
Puasa?
O rang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk
tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut
mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surat Al Baqarah
ayat 184 dijelaskan keringanan berpuasa Ramadan bagi yang
memiliki uzur tertentu. Seperti sakit, lanjut usia atau dalam
perjalanan.
16
ﱣﱥﱦﱧ ﱨﱩﱪﱫﱬﱭﱮ
ﱤ ﭐﱢ
ﱶﱸﱹﱺﱻﱼ ﱾ
ﱽ ﱷ ﱯﱱﱲ ﱳﱴﱵ
ﱰ
ﱿﲀﲁﲂﲃﲄﲅﲆ
Artinya: "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di
antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa),
maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa
itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan
puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
17
Bagaimana Hukumnya
Orang Hamil dan Musafir
Melakukan Ibadah Puasa?
18
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum asal
melaksanakan puasa bagi perempuan hamil adalah wajib. Namun
kewajiban ini akan gugur tatkala ia memiliki dugaan (wahm)
bahwa jika ia tetap berpuasa maka akan membahayakan terhadap
kesehatannya, seperti akan bertambah sakit atau fisiknya akan
drop. Bahkan bila sampai pada keyakinan atau dugaan kuat akan
membahayakan fisik sang ibu dan keselamatan janin, ia wajib
tidak berpuasa demi menjaga nyawa manusia (hifdh an-nafs).
ﱯ
ﱥﱦﱧﱨﱩﱪﱫﱬﱭﱮ ﱰ
ﱶﱸﱹﱺﱻ
ﱷ ﱱﱲﱳﱴﱵ
ﱽ ﱿ ﲀ ﲁ ﲂﲃ ﲄ ﲅ ﲆ
ﱼ ﱾ
”Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak
“”
19
lalu membatalkannya karena ia melakukan satu perjalanan dan
menyebut dirinya sebagai musafir. Atau ada seorang yang sejak
malam hari sudah berniat tidak akan berpuasa di esok hari karena
akan melakukan perjalanan jauh, pun dengan pemahaman karena
pada hari itu ia sebagai musafir. Lalu bagaimana sebenarnya
aturan main bagi seorang musafir yang diperbolehkan tidak
berpuasa? Para fuqaha (ulama ahli fiqih) menjelaskan masalah ini
secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya Imam
Jalaludin Al-Mahalli menuturkan:
20
musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit
pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka
maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena
berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang
musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh
maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang
sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa.
Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan
mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali,
Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis,
2014], juz 2, hal. 161)
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad
Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja
beliau menambahkan penjelasan:
21
tidak menggunakan ukuran kilometer tapi menggunakan
ukuran yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni
empat burud yang kemudian dikonfersikan menjadi empat
puluh delapan mil menurut ukuran Hasyimi, dan empat
puluh mil menurut ukuran Bani Umayah (Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-
Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait: 1980], juz 25, hal. 28-
29). Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus:
Darul Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191) secara jelas Dr.
Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengkonversikan
ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan bilangan 81
kilometer.
2. Perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah,
bukan perjalanan untuk melakukan suatu kemaksiatan.
3. Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum
terbit fajar (waktu subbuh) telah melewati batas daerah
tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia
adalah batas kelurahan. Hal ini sebagaimana pernah
disampaikan oleh KH. Subhan Ma’mun, Pengasuh
Pondok Pesantren Assalafiyah, Luwungragi Brebes dan
Rais Syuriah PBNU, pada kajian kitab Tafsir Al-Munir di
Islamic Center Brebes.
4. Bila ia pergi setelah terbitnya fajar maka ia tidak
diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada
hari itu.
5. Seorang musafir (yang dalam keadaan melakukan
perjalanan sebagaimana syarat-syarat di atas) yang pada
waktu pagi hari berpuasa diperbolehkan berbuka
membatalkan puasanya.
22
6. Seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat
dilarang berbuka (tidak berpuasa).
23