PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Gambar di atas adalah gambar tungku di mana para warga akan memasak nasi dan daging dari
hewan yang telah mereka bunuh untuk ritual. Setelah di masak, makanan tersebut akan di makan
ramai-ramai di dalam rumah adat tersebut.
Di dalam Rumah Adat Naenonok juga terdapat beberapa tulang yang di gantung di kerangka-
kerangka atap rumah. Semua tulang yang di gantung adalah tulang babi. Maksud dari digantungnya
tulang-tulang ini adalah agar diketahui sudah berapa banyak babi yang sudah di bunuh tahun
sebelumnya untuk ritual, biasanya untuk ritual pergantian atap.
Di dalam rumah adat tersebut juga terdapat sebuah tempat duduk. Tempat duduk itu biasanya
digunakan oleh ketua adat dan tua-tua adat.
Di dalam rumah adat tersebut juga terdapat beberapa alat masak yang digunakan untuk memasak
kurban yang sudah di bunuh.
Kayu-kayu yang dignakan untuk membangun rumah adat ini adalah kayu-layu yang tidak mudah
patah atau kayu-kayu yang kuat seperti Pole, Mahoni, dan Jati.
Gambar di atas adalah gambar altar dalam rumah adat. Kedua tiamg/altar itu sejajar satu sama
lain karena jika tidak kelihatannya akan miring, namun menurut adat hanya laki-laki saja yang boleh
mengikatkan tali pada altar tersebut. Tali yang digunakan adalah tali Nao yang di ambil dari hutan
tidak boleh tali yang lain. Alasan kenapa laki-laki yang harus mengikatnya adalah karena laki-laki
lebih banyak bekerja sementara perempuan hanya bertugas untuk mendampingi. Di atas altar juga
diletakkan beberapa harta dari nenek moyang, seperti uang-uang perak dan kalung Muti dan juga
gelang-gelang zaman dulu.
Di atas adalah gambar dari tiang-tiang yang berada di pintu masuk rumah adat. Ukiran-ukiran
yang berada di tiang tersebut ada dengan tujuan untuk membedakan rumah adat dan rumah biasa.
Tiang yang dari kiri adalah tiang yang melambangkan tiang laki-laki. Tiang laki-laki lebih tinggi dari
tiang perempuan. Hal ini dikarenakan martabat laki-laki yang lebih tinggi ketimbang perempuan.
Haunasi adalah tempat di mana hewan kurban di bunuh sebelum dimasukkan di rumah adat untuk
dipersembahkan saat ritual.
2.2. Upacara-Upacara Adat di Upfaon
I. Upacara Adat di Musim Panen
Saat musim panen, Desa Upfaon mempunyai tradisi untuk tidak memakan langsung hasil
panen yang sudah diambil. Menurut tradisi nenek moyang mereka, tanaman hasil panen
tersebut haruslah di bawa masuk ke rumah adat kemudian dipersembahkan dan
diletakkan di atas altar untuk didoakan. Tradisi ini dilakuan karena menurut kepercayaan
adat, jika rituan ini tak dilakukan, pada saat hasil panen tersebut di makan, mereka yang
memakannya akan terkena penyakit atau musibah
II. Upacara Kelahiran Anak
Masyarakat di Desa Upfaon mempunyai satu ritual atau upacara saat seorang anak
dilahirkan ke dunia. Saat seorang bayi lahir di desa itu, saat umurnya mencapai satu
tahun, sang ayah haris memotong rambut anak itu untuk menghindari mereka dari hal-hal
buruk yang mungkin bisa terjadi di masa yang akan daang.
III. Upacara Kematian
Di Desa Upfaon upacara kematian diadakan selama tiga hari.
a. Pada hari pertama, mayat di bawa pulang ke rumah duka, mayat harus diikat terlebih
dahulu kaki dan tangannya dengan benang, lalu keluarga akan membunuh babi.
Tujuannya agar mereka dapat makan bersama sebelum dia (yang telah meninggal) pergi.
b. Pada hari kedia, mereka akan membuat api unggun dan menjaga api itu agar tetap
menyala hingga pagi hari.
c. Hari ketiga adalah hari penguburan. Anak laki-laki yang paling tua di keluarga harus
memakai pakaian adat dan kalewang untuk mengelilingi peti mati itu. Tujuan ritual
tersebut adalah untuk menentukan ahli waris/penerus
2.3. Mata Pencaharian
Para warga desa mempunyai beberapa mata pencaharian yang mereka lakukan selain bertani dan
beternak, salah satu mata pencaharian tersebut adalah menenun dan merajut. Proses menenun ini
memerlukan waktu yang cukup lama karena pertama-tama benang harus diwarnai terlebih dahulu
dengan Daun Taung. Daun tersebut harus di rendam selama satu malam, lalu paginya di remas lalu
campur dengan kapur dan benang lalu di remas lagi agar benang menjadi berwarna hitam.
(Gambar 1.1. Daun Tarum)
Motif hitam putih dari kain pada gambar di atas ditenun dengan menggunakan benang yang di
remas dengan Daun Tarum sehingga menghasilkan warna yang demikian.
Selain menenun, pekerjaan lain yang dilakukan adalah menganyam. Biasanya barang yang
dianyam adalah Nyiru.
(Gambar 1.3. Nyiru)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang Arsitektur dan Norma Budaya Dawan, maka diambil kesimpulan:
1. Arsitektur pada Rumah Adat Naenonok tidak mengalami banyak perubahan. Mereka masih tetap
mempertahankan model rumah adat yang sama dan tetap menggunakan bahan yang sama setiap
kali mereka mengganti atap/dinding/bagian lain dari rumah adat tersebut
2. Para warga Desa Upfaon dan Supun tetap mempertahankan adat istiadat mereka. Mereka tidak
menolak modernisasi tetapi tetap mempertahankan adat isitiadat yang sudah diturunkan turun-
temurun dari nenek moyang mereka
3.2. Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut maka saran yang bisa kami berikan adalah, sebaiknya rumah-
rumah adat di Desa Upfaon tetap dilestarikan dan sebisa mungkin tidak dipengaruhi oleh modernisasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jeraman, Pilipus (2017) : “Antropologi Arsitektur Vernakular”, Modul Kuliah Jurusan Teknik
Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
2. Kelompok 27, Kelompok kerja studi excurse 2017. ATONI/DAWAN (STUDI KASUS :
RUMAH ADAT SUKU NAICEA DI DESA UTFAON KECAMATAN BIBOKI SELATAN
KABUPATEN TTU). Teknik Arsitektur Universitas Katolik Widya Mandira Kupang–NTT
Ujian
Teng
MAKALAH IDENTIFIKASI MASALAH TERHADAP TATA NILAI BUDAYA
YANG TERKANDUNG PADA ARSITEKTUR DAWAN
Dosen:
Kelompok 2