Anda di halaman 1dari 3

1. Durkheim membahas tentang pembagian kerja yang spesifik dan kondisi solidaritas masyarakat.

Durkheim membagi konsep solidaritas ke dalam dua tipe, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas
organik. Masing-masing solidaritas dapat dibedakan melalui dua indikator, yaitu faktor pengikat
solidaritas, dan sanksi yang diterapkan oleh tiap kelompok solidaritas terhadap tindakan kriminal
yang dilakukan individu. Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik identik dengan
masyarakat tradisional, sedangkan solidaritas organik identik dengan masyarakat modern dalam
solidaritas mekanik, masyarakat diikat oleh sebuah konsep bernama kesadaran kolektif, atau
“seluruh kepercayaan dan perasaan bersama yang dianggap umum dalam sebuah masyarakat”.
Kejahatan, dalam solidaritas mekanik, didefinisikan sebagai tindakan yang mencederai kesadaran
kolektif tersebut, atau dengan kata lain, mencederai seluruh masyarakat. Sanksi bagi pelaku tindak
kriminal dalam solidaritas mekanik bersifat represif. Artinya, sanksi yang dijatuhkan bertujuan
untuk membalas, merugikan, atau membuat pelaku menderita seperti hukuman mati.

Berbeda dengan solidaritas mekanik yang diikat oleh “kesamaan” dalam bentuk kesadaran kolektif,
solidaritas organik justru diikat oleh “perbedaan” dalam bentuk pembagian kerja. Dalam solidaritas
organik, setiap orang memiliki tugas yang spesifik, dan saling bergantung antara satu dengan
lainnya. Sanksi yang diberikan bagi pelaku tindak kriminal dalam solidaritas organik bersifat
restitutif. Artinya, sanksi yang dijatuhkan bertujuan untuk mengembalikan kondisi masyarakat
yang terganggu akibat tindak kriminal tersebut seperti semula

Contohnya dengan membayar ganti rugi. Dalam solidaritas organik, masyarakat tidak diikat oleh
kesadaran kolektif, oleh karena itu, tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang
mencederai seluruh masyarakat, sehingga sanksi yang bersifat represif tidak lagi dibutuhkan

2. Pluralism hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Indonesia yang
sangat plural dan beragam. Era kolonialisme corak pluralisme hukum di Indonesia lebih didominasi
oleh peran hukum Adat dan hukum Agama, namun pada era kemerdekaan Pluralisme hukum di
Indonesia lebih dipicu oleh peran Agama dan Negara, Hukum Adat pada era kemerdekaan tidak
begitu mendapatkan legalitas positifistik dari Negara, namun berbanding terbalik dengan hukum
Agama yang menjadi sentral dalam perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Menariknya,
meskipun hukum adat tidak mendapatkan legalitas dari Negara, namun tetap hidup atau
dipraktikkan secara terusmenerus oleh masyarakat Adat di Indonesia.

Dalam sejarahnya ketiga sistem hukum waris tersebut (Hukum waris Adat, Hukum waris Islamdan
Hukum waris Barat) mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan.
Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan karenanya
tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris adat berkembang melalui berbagai
macam yurisprudensi (judge made law). Yang agaknya berbeda adalah proses pelembagaan hukum
waris Islam. Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam ditempuh melalui legislasi
nasional. Hal ini dapat dilihat dengan diundangkannya UU No. 7Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Meskipun hukum waris sudah dimasukkan ke dalam hukum nasional, Pluralisme hukum
waris tetap mengalami banyak kendala dalam realitanya di mana seseorang cenderung
menggunakan hukum waris yang menguntungkan bagi dirinya, dan tetap menggunakan hukum
adat, karena KHI sendiri pun banyak mengadopsi hukum adat dalam hal kewarisan sebagai
pengaruh dari teori receptie pada zaman Belanda.

3. Suku Bangsa Campuran

Indonesia sendiri keberagaman etnis dapat di contohkan dengan adanya garis keturunan yang
dianut suku tertentu, misal garis keturunan ayah yang terkenal dengan istilah Patrialineal yang
dianut suku batak, garis keturunan ibu atau Matrialineal yang dianut suku sunda, serta adanya etnis
atau suku bangsa campuran yang merupakan perpaduan dari dua ras yang berbeda yang kemudian
memunculkan percampuran suku bangsa. Untuk memahami secara mendalam mengenai Etnis,
Suatu kelompok etnis atau suku bangsa diklasifikasikan berdasarkan ikatan hubungan darah.
Sehingga seseorang yang tergabung ke dalam kelompok etnis tertentu, mempunyai ikatan
hubungan darah dengan kelompok etnis tersebut, begitu pula sebaliknya seseorang yang bukan
termasuk dalam kelompok etnis jika tidak memiliki hubungan darah meskipun telah
mengimplementasikan nilai-nilai kebudayaan dalam kelompok etnis tersebut. Hal ini dapat diambil
contoh dalam kehidupan, ketika orang Batak tidak berubah menjadi orang Jawa meskipun dirinya
dalam keseharian berbaur dan berinteraksi secara terus menerus dengan orang Jawa. Tidak jarang,
Etnis seringkali dikaitkan dengan agama, namun agama bukanlah indikasi yang merujuk pada
identitas etnis tertentu. Berdasarkan teori-teori di telah dijelaskan atas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa etnis atau suku bangsa merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat
membedakan kesatuan berdasarkan kesamaan asal-usul seseorang sehingga dapat diklasifikasikan
dalam status kelompok mana ia termasuk di dalamnya. Istilah etnis ini juga digunakan untuk
mengacu pada satu kelompok, atau kriteria sosial yang perbedaannya terletak pada karakteristik
kebudayaan yang melekat.
4. Menurut Geertz pembagian ini merupakan pembagian yang dibuat oleh orang-orang Jawa
sendiri. Namun demikian, meskipun memang benar dalam masyarakat Mojokuto sebagian dari
penduduk dianggap sebagai abangan, santri dan priyayi, hanya saja ini tidak berarti bahwa ketiga
golongan itu merupakan kategori-kategori dari satu tipe klasifikasi. Kemudian penulis membatasi
klasifikasinya dengan menyatakan bahwa istilah-istilah abangan, santri, dan priyayi menunjukkan
dimensi-dimensi variasi kebudayaan, bukan kategori absolute (Geertz: 347). Geertz tidak
menegaskan apakah ia hendak melukiskan kompleks-kompleks kepercayaan dan ritual keagamaan
tertentu ataukah kepercayaan–kepercayaan dan ritual-ritual keagamaan kategori-kategori tertentu
dalam masyarakat.

Agama Harus Dibedakan dengan Adat

Dalam mempelajari gejala agama dalam masyarakat Indonesia, maka harus menyadari bahwa ada
perbedaan antara adat, ataupun sistem normatif tradisional, dan agama dalam artinya yang luas
sekalipun. Pola perilaku penduduk di Indonesia sangat ditentukan oleh norma-norma tradisional
yang diakui dan dipatuhi, inilah yang dikenal dengan sebutan adat. Adat suatu masyarakat setempat
biasanya diteruskan secara lisan kepada anggota-anggotanya oleh generasi terdahulu. dapat
dijelaskan bahwa budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk diproduksikan dan
direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia tidak hanya
dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga dapat
memengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan menambahkan nilai dan norma, meskipun akan
menghadapi struktur-struktur yang tidak dapat diubah dengan mudah. Kaitannya dengan
“trikotomi” yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan,
dan priyayi dalam The Religion of Java, karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan
yang lebih terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi istilah-
istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.

Anda mungkin juga menyukai