Anda di halaman 1dari 16

Nama : Nur An Nisa Sholeha

NIM : 1931710094

Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Islam

Prodi/Kelas : Ekonomi Syari’ah/ES 5

Semester :2

Mata Kuliah : Ilmu Kalam & Tasawuf (UAS)

Dosen Pengampu : Mahmuji, M.Pd

1. Sebutkan perbedaan antara pemikiran Jabbariyah dan Qodariah, sertakan contohnya?


Jawaban:
Perbedaan
 Pemikiran Jabariyah: Pemikiran Jabariyah menyebutkan bahwa manusia tidak
merdeka dan ia mengerjakan perbuatannya dalam keadaaan terpaksa karena
segala sesuatunya telah ditentukan oleh qada' dan qadar Allah SWT.
 Pemikiran Qodariah: Sedangkan Pemikiran Qodariah menyebutkan bahwa
manusia mempunyai kekuasaan atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah
yang melakukan perbuatan baik atau jelek atas kemauan dan kekuasaan serta daya
yang ada pada dirinya. Jadi, menurut paham ini manusia merdeka dalam tingkah
lakunya. Dari prinsip-prinsip ini, paham Qadariyah menolak paham yang
menyatakan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak
menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azali
Contoh
 Pemikiran Jabariyah: Khalifah Umar bin al-Khathab pernah menangkap
seorang pencuri. Ketika di Introgasi, pencuri itu berkata: “Tuhan telah
menentukanku mencuri”. Hal itu mencerminkan bahwa, seorang pencuri
tersebut terlalu pasrah dalam menghadapi hidup. Dia tidak mau berusaha
untuk kehidupan yang lebih baik, karena dia yakin, Allah sudah
mentakdirkannya menjadi seorang pencuri.
 Pemikiran Qodariyah: Seseorang yang sukses mengatakan bahwa
kesuksesannya tersebut, merupakan hasil kerja kerasnya sendiri, tanpa ada
campur tangan tuhan.

2. Rumuskan secara singkat pemikiran Mu’tazilah dan Syiah, sertakan contohnya?


Jawaban:
 Mu’tazilah
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka,
bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu
mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun
rinciannya sebagai berikut:
1. At-Tauhid: Tauhid dalam faham Mu’tazilah memiliki arti spesifik, yaitu
bahwa Tuhan harus disucikan dari segala hal yang mengurangi arti Keesaan-
Nya.
2. Al-‘Adl: Bagi Mu’tazilah paham ini mereka munculkan karena ingin
mensucika perbuatan Tuhan dari persamaannya dengan perbuatan makhluk.
Hanya tuhan yang berbuat adil seadil-adilnya.Tuhan tidak mungkin berbuat
zalim.
3. Wa’ad Wal Wa’id
Kaum Mu’tazilah yakin bahwa tuhan pasti akan memberikan pahala dan akan
menjatuhkan siksa kepada manusia di Akhirat kelak.
4. Manzilah Baina Manzilatain
Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan
Tuhan.Pembuatan dosa besar bukanlah kafir, karena mereka masih percaya
kepada Allah dan Rosul-Nya, tetapi mereka bukan pula Mukmin, karena iman
meeka tidak lagi sempurna.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Adalah perbuatan dari keimanan seseorang,keimanan harus dibuktikan dengan
perbuatan yang baik diantaranya menyuruh orang berbuat baik dan menjauhi
perbuatan yang jelek.
Ma’ruf adalah perbuatan manusia yang mengandung kebaikan dan kebenara
sedangkan munkar adalah kebalikan dari ma’ruf.
CONTOH:
Waasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al-Basri di
Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seseorang bertnya mengenai
pendaapatnya tentang oraang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui
kaum Khawarij memandang mereka kafir, sedangkan kaum Murji’ah
memandang mereka Mukmin. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Wasil
mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “ saya berpendapat
bahwa orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir”.
Kemudian berdiri dan menhjauhkan diri dari Hasan Al-Basrah pergi ke tempat
lain di Masjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini
Hasan Al-Basrah mengatakan ;Wasil menjauhkan diri dari kita (‘itazala’
anna).” Dengan demikian ia dan teman-temanya, kata al-Syahrastani, disebut
kaum Mu’tazilah.
 Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para
pengikutnya diantaranya yaitu:
1. At tauhid
Kaum Syi’ah meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua
makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan
makhluk yang ada di bumi ini.
2. Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil.
Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun
yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib
dikerjakanNya.
3. An Nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda
halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus
nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan
kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan
memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka
dan mengingkari Allah SWT.
4. Al Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama
sekaligus dalam dunia.Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara
syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar hukum
Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah
yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan itu hanya
ada pada keturunan Nabi Muhammad.
5. Al Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah
akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara
keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun
ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus
memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama
hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan
memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-
orang yang telah berbuat kemaksiatan.
Walaupun dalam Syi’ah terdapat beberapa aliran, namun pokok-pokok paham
mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
A) Hak Kekhalifahan sesudah Rasulullah adalah Ali ibn Abi Thalib, karena
itu kekhalifaan Abu Bakar, Umar dan Utsman bukan hak mereka.
B) Khalifah – dalam istilah mereka iman – harus ditunjuk oleh Nabi.
C) Imam adalah Ma’shum, tidak berdosa dan tidak boleh diganggu gugat.
CONTOH

Haddad Alwi, seorang penyanyi yang cukup terkenal di Indonesia,


mempunyai lagu yang berjudul, Ya Thoybah, diubah liriknya dalam bahasa
Arab dan berisi pujian pada Ali bin Abi Thalib secara berlebihan.

3. Bagaimana corak pemikiran tokoh berikut ini: 1). Ahmad bin Hanbal, 2) Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, 3) Imam Asy’ari, 4) Imam Maturidi?
Jawaban:
1) Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal disebut sebagai Imam mutasyaddidin atau tokoh yang sangat ketat
dalam menggunakan pendekatan tekstual. Sebagian orang modern menyebutnya
Imam kaum fundamentalis.
2) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak
zaman Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara,
terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini
tidak hanya berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga
sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di zamannya geram pada Ibnu
Taimiah.
a) Keyakinanya tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk,
duduk seperti duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga.
Bahkan Ibnu Taimiyah berkata bahwa Allah turun dari langit sebagai mana
turunnya dia dari mimbar. Mazhab ini disebut al-Hasyawiyah al-Mujassamah.
b) Berani mencaci Ulama dan Sahabat Nabi.
c) Inkar terhadap Majaz. Ibnu taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran
itu berada dalam Manhaj salaf.
3) Imam Asy’ari
Terdapat dua corak pemikiran Imam Asy-ari yang tampaknya berbeda, tetapi
sebenarnya saling melengkapi. Dia berusaha mendekati ulama-ulama fiqih dari
golongan sunni, sehingga ada orang yang mengatakan bahwa Al-asy’ari itu
bermadzhab Maliki dan yang lain lagi mengatakan bahwa dia bermadzhab Hambali.
Disamping itu, adanya keinginan Al-asy’ari menjauhi madzhab-madzhab fiqih.
Dua corak pemikiran tersebut tidak bertentangan. Dia mendekati madzhab-madzhab
fiqih dalam soal-soal furu’. Sebagai orang yang pernah mengikuti paham Mu’tazilah,
Al-asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan penggunaan
argumentasinya . Dia juga menentang pendapat mereka yang mengatakan bahwa
penggunaan akal pikiran dalam membahas masalah-masalah baru dan kenyataannya
sahabat-sahabat nabi itu tidak dinyatakan sebagai ahli bid’ah.
Akan tetapi, Al-asy’ari menentang keras orang yang berlebih-lebihan dalam
penggunaan akal pikiran, yaitu golongan Mu’tazilah, seperti mereka tidak mengakui
hadis-hadis Nabi sebagai dasar agama.
4) Imam Maturidi
Adapun pemikiran-pemikiran maturidi adalah berikut ini:
A) Kemampuan Akal Manusia
Maturidi berpendapat bahwa manusia dengan akalnya mampu mengetahui adanya
Tuhan dan mengetahui kewajibannya untuk mengetahui dan berterima kasih
kepada Tuhan. Selanjutnya Maturidi berpendapat bahwa akal manusia dapat
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan.
B) Maturidi berpendapat bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Selanjutnya Maturidi membagi perbuatan itu menjadi dua yaitu
perbuatan tuhan yang mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan
perbuatan manusia yang mengambil bentuk pemahaman daya itu berdasarkan
pilihan dan kebebasan manusia daya diciptakan tuhan bersama-sama dengan
perbuatan manusia dan atas dasar itulah dikatakan bahwa perbuatan manusia itu
diperoleh oleh manusia dengan peranan efektif dari pihak manusia yakni dengan
menggunakan daya yang diciptakan itu.
C) Menurut maturidi, Allah terhindar dari perbuatan sia-sia. Semua perbuatannya
mengandung hikmah (kebijaksanaan) karena dialah Yang Maha Bijaksana dan
Maha Mengetahui dan semua perintah, larangan serta ciptaanNya mengandung
hikmah dan tujuan-tujuan perbuatan-perbuatan itu tidak atas dasar paksaan atau
kewajiban karena Dia Yang Maha Memilih, yang menghendaki dan berbuat apa
saja yang dikehendaki Nya. Maka tidak mungkin dikatakan bahwa Allah itu wajib
berbuat baik atau yang terbaik (shalah wa ashlah), karena kewajiban Allah berarti
memindahkan kehendak dan mengharuskan adanya hak bagi selain Allah untuk
memaksa Nya. Dan kewajiban berarti meminta tanggung jawab atas apa yang
diperbuat. Maha Suci Allah, Allah terlepas dari sifat demikian.
D) Ayat-Ayat Tasybih
Maturidi berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran mutasyabihat dalam
mengartikannya harus ditakwilkan sehingga yang dimaksud dengan tangan,
wajah, mata, kaki Tuhan adalah kekuasaan Nya.
E) Sifat-sifat Tuhan
Maturidi menetapkan adanya sifat-sifat bagi Allah dan sifat-sifat itu tidak berbeda
dengan dzat Nya (sifat-sifat itu tetap ada pada dzat dan tidak terlepas dari
padanya). Sifat-sifat itu tidak berdiri sendiri dan tidak pula terlepas dari Dzat.
Sifat-sifat itu tidak berdiri sendiri dan tidak pula terlepas dari dzat karena yang
demikian itu akan timbul adanya sifat yang berbilang yang menyebabkan
berbilangnya yang qodim (eksternal).
F) Kalam Tuhan (Al Quran)
Maturidi menetapkan bahwa kalamullah itu berdiri dengan dzat Allah dan ia
merupakan sifat dari sifat-sifat yang bersatu dengan Dzat Allah yang Azali
bersama azalinya dzat Allah yang tidak tersusun dari huruf-huruf dan kalimah,
karena huruf dan kalimah itu temporal (hadits), sedang sesuatu yang temporal itu
tidak bisa berdiri dengan azali yang wajib adanya. Hal yang baru adalah aradh
(iuran) dan aradh tidak berdiri dengan dzat Allah. Maturidi menyifati Al quran
dengan baru (Hadits) tetapi tidak menyifatinya sebagai makhluq.
G) Ru’yatullah
Maturidi menetapkan bahwa tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di
akhirat, karena ia mempunyai wujud Ru’yatullah dihari akhirat termasuk perihal
kiamat, hanya Allah yang mengetahui perihal kiamat. Kita ‘kata maturidi’ tidak
mengetahuinya kecuali ibarat yang terdapat dalam nash. Tidak perlu kita
menanyakan bagaimana caranya nanti melihat Tuhan itu.
H) Pelaku dosa besar
Maturidi berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu tidak
menjadi kafir karena dosa besarnya. Ia tetap mukmin yang berdosa. Mukmin yang
berdosa besar ia tidak akan kekal di neraka. Sekiranya Tuhan menyiksa mukmin
yang berdosa besar dengan siksaan kekal didalam neraka, berarti Tuhan menyiksa
dengan siksaan yang melebihi ukuran dosanya. Hal demikian tidak mungkin,
mengekalkan siksaan yang berdosa besar berarti menyamakan siksaan dengan
orang kafir, dan menyamakan demikian berarti menyalahi kebijaksanaan dan
keadilan Nya.

4. Sebutkan sisi lain (kritikan) terhadap ilmu kalam dari aspek: 1). Epistemology, 2).
Ontology, 3). Aksiologi?
Jawaban:
1) Aspek Epistemology
M. Iqbal melihat adanya Anomali (penyimpangan) lain yang melekat dalam litelatur
ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariyah, umpamanya menggunakan cara dan pola
berfikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi
islam, adapun muktazilah justru sebaliknya. Mereka terlalu jauh bersandar pada akal.
Akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama,
pemisahan anatara pemikiran keagamaan dari pemikiran konkrit merupakan
kesalahan yang besar.
Dengan meninjau ulang adanya anomali-anomali yang melekat pada rancang bangun
epistimologi ilmu kalam perlu di kembangkan dan di kembangkan sesuai dengan
tuntutan perkembengan zaman yang di lalui oleh sejarah kehidupan manusia.
2) Aspek Ontology
Harus diakui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada
persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang terkesan
“mengawang-awang” dam jauh dari persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun
dipertahankan diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan
manusia,persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau, yang nota bene
berbeda dengan persoalan-persoalan kehidupan manusia saat ini, ilmu kalam tidak
dapat diandalkan untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa
kini. Secara pasti teologi islam merupakan usaha intelektual yang peraturan koheren
dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Quran. Teologi harus memiliki kegunaan
dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut
fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan
spiritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat.
Islam harus mampu meletakan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan
(kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidaberdayaan, dan sebagainya).
teologi yang fungsional adalah teologi yang mampu memenuhi panggilan tersebut,
bersentuhan dan berdialog, sekaligus menunjukan jalan keluar terhadap berbagai
persoalan empirik kemanusiaan. Dalam wilayah tersebut, persoalan wanita, yang
merupakan bagian integral dari yurisprudensi wanita tertumpu pula pada “teologi
yurisprudensi
Tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan
universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan,
dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan
(teosentris) dan tidak mengaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan
kemanusiaan universal (antroposentris) , memiliki rumusan teologis yang lambat laun
akan menjadi out of date.Al- Quran sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu
menyentuh dimensi kemanuisiaan universal.
Teologi Islam dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas
dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan Teologi yang berdialaog
dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontemporer
tidak dapat dan tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia
kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu
pengetahuan dan teknologi. Jika ilmu kalam klasik berdialog dengan pemikiran dan
bergaul dengan format pemikiran serta epistimologi yunani (Hellenisme), teologi
Islam atau kalam modern harus bersentuhan dengan pemikiran dan falsafah Barat
lantaran falsafah barat kontemporer itulah yang dibentuk dan diilhami oleh arus
perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan iptek.
Diantara diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan tajam para pemikir
kontemporer adalah konstruksi ilmu kalam ala Asy’ariyah, yaitu konsepsi mereka
tentang hukum kausalitas. Sebagaimana diketahui oleh para peminat studi ilmu kalam
Asy’ariyah, yang kemudian dikokohkan oleh Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak
cocok dengan realita keilmuan yang berkembang dewasa ini. Pemikiran kausalitas
ilmu kalam Asy’ariyahtidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan, baik
dalam wilayah ilmu-ilmu keagaman maupun humaniora.
3) Aspek Aksiologi
Kritikan yang dialamatkan pada aspek akseologi ilmu kalam menyangkut pada
kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Al-Ghazali tidak
serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan- keterbatasan
ilmu ini sehingga menyimpulkan ilmu initidak dapat mengantarkan manusia untuk
mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang dapat mengantarkan seseorang
dekat dengan Tuhan. Alasan itulah yang menjadikan Ibn Taimiyah dengan penuh
semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya
orang menjauhi singa.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekonstruksi
terhadap ilmu kalam ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekonstruksi tidak hanya
berarti membongkar konstruksi yang sudah ada. Tujuan dekonstruksi adalah
melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah
menjadi “teks sakral” dan mitos keilmuan dalam dunia Islam.

5. Bagaimana pemikiran ulama modern tentang ilmu kalam: 1). Muh Abduh, 2). Muh Iqbal,
3). Harun Nasution?
Jawaban:
1) Muhammad Abduh
a) Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran
Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:
a. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat
perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah
(ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni
memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.
b. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan
resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
b) Kebebasan Manusia dan fatalism
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri
manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi,
tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat
perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan
kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya
yang ada dalam dirinya.
c) Sifat-Sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah
sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu
terletak diluar kemampuan manusia.
d) Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa
Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya
dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatanya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah
secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah
ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya
sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang
diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
e) Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh
mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya
dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan
kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk
kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
mamfaat bagi manusia.
f) Antromorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan
besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan
mengambil bentuk tubuh atau roh. makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan,
duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan
orang Arab kepadanya.
g) Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat
rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan
kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan
bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat
menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-
kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang
tertentu di akhirat.
h) Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham
dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa
yang terbaik bagi manusia.

2) Muhammad Iqbal
Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang memiliki madzhab tetentu
kepada lembaga legislative islam adalah satunya bentuk yang paling tepat untuk
menggerakkan spirit dalam sistim hukum islam yang selama ini hilang dari umat
Islam dan maenyerukan kepada kaum muslimin agar mmenerima dan
mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
a) Hakikat Teologi
Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan,
mendasarkan pada esensi tauhid. Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa
kesetiaan, kesetiakawanan dan kebebasan kemerdekaan. Pandangannya tentang
ontology teologi membuatnya berhasil membuat anomaly (penyimpangan) yang
melekat pada literature ilmu kalam klasik. Teologi asy’ariyah, umpamanya,
menggunakan cara dan pola piker ortodoksi islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu
jauh bersandar pad akal, yang akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam
wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari
pengalaman konkrit merupakan kesalahan
besar.
b) Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologi maupun
ontologis. Ia juga menolak teleoligis yang berusaha membuktikan eksistensi tuhan
yang mengatur penciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima
landasan teologis yang imanen. Untuk menompang hal ini, Iqbal menolak
pandangan tentang matter serta menerima pandangan whitehead tentangnya
sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tak berhenti. Karakter nyata
konsep tersebut ditemukan oleh Iqbal dalam jangka waktu murni-nya Bergson,
yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam jangka waktu murni, ada
perubahan, tetapi tidak ada suksesi(pergantian). Kesatuannya terdapat seperti
kesatuan kuman yang ada di dalamnya terdapat pengalaman-pengalaman nenek
moyang para individu, bukan sebagai suatu kumpulan, tetapi suatu kesatuan yang
ada di dalamnya mendorong
setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya.
c) Jati diri manusia
Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia.
Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat konsepnya
tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofnya. Kata “itun” diartikan sebagai
kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya seta menguatkan
dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan
pribadinya, seperti yang dilakukan para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana
dengan alla. Pada hakikatnya menafikan diri bukanlah ajaran islam karena ajaran
hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudinya tampaknya
merupakan reaksi terhadap kondisi umat Islam yang ketika itu telah dibawa oleh
kaum Sufi semakin jauh dari
tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudinya ia
mengemukakan pandangan yang dinamis tentang kehidupan dunia.
d) Dosa
Iqbal secara tegas mengatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Quran
menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam
hubungan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena
memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang kebangkitan
manusia dari kondisi primitive yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada
pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu
mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang dan timbulnya
ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih.
e) Surga dan Neraka
Surga dan neraka, kata Iqbal adalah keadaan, bukan tempat gambaran-gambaran
tentang keduanya di dalam Al-Quran adalah penampilan-penampilan kenyataan
batin secara visual, dan sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Quran adalah api
Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati, pernyataan yang
menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena
mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju
kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam islam. Neraka, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang
disediakan tuhan.

3) Harun Nasution
a) Peranan Akal
Peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menetukan dinamis atau
tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini,
Harun Nasution menulis demikian, “akal melambangkan kekuatan manusia
Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupannya untuk mengalahkan
makhluk lain. Bertambah lemahnya kekuatan akal manusia, bertambah rendah
pula kesanggupannya menghadapi kekuatan- kekuatan lain tersebut.
b) Hubungan Wahyu dan Akal
Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah
terdahulu. Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam Al Qur’an. Oranga yang beriman tidak perlu menerima bahwa
wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan
semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah heran kalau
Sirajudin Abbas berpendapat bahwa Kaum Muktazillah banyak mempergunakan
akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al Qur’an dan
Hadist. Hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-
Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah
mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua
permasalahan keagamaan. Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan
ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu.
Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal
dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.
c) Pembaharuan Teologi
Asumsinya bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam di Indonesia juga
di mana saja disebabkan ada yang salah dalam teologi mereka. Pandangan ini
serupa dengan kaum modernis pendahulunya seperti M.Abduh, Rasyid Ridha, Al-
Afghani dan lainnya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam
sejati. Yang bersifat rasional, berwatak free-will, dan mandiri serta lepas dari
fatalistik dan irasional.
d) Baik dan Buruk Menurut Pertimbangan Akal
Bertumbuh besar yang diberikan kepada wahyu oleh suatu aliran, bertambah kecil
daya akal dalam aliran itu, oleh karena itu di dalam sistem teologi, yang
memberikan daya besar kepada akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia
dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan, tetapi dalam sistem teologi
yang memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu,
manusia dipandang lemah dan tidak merdeka. Akal dan wahyu sebagai sumber
pengetahuan manusia dapat di jelaskan sebagai berikut: akal untuk memperoleh
pengetahuan. Dengan memekai kesan-kesan yang diperoleh pancarindra sebagai
bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan.

Anda mungkin juga menyukai