Anda di halaman 1dari 8

SAAT AJAL MENJEMPUT

Menyaksikan orang di sekitar kita meninggal dunia, tentu bukan hal yang asing.
Akan tetapi, pernahkah kita ikut terlibat mengurus jenazah orang yang meninggal
itu? Untuk yang satu ini barangkali masih jarang yang melakukannya. Berikut ini
tuntunan singkat menghadapi orang yang akan dan sudah meninggal dunia.

Kematian adalah suatu kepastian. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Kitab- Nya


yang mulia,
ِ ۗ ‫س َذٓاِئ َق ُة ۡٱل َم ۡو‬
          ‫ت‬ ٖ ‫ُك ُّل َن ۡف‬
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (Ali ‘Imran: 185)
          ٢٧ ‫ِّك ُذو ۡٱل َج ٰ َل ِل َوٱِإۡل ۡك َر ِام‬ ٖ ‫ُك ُّل َم ۡن َع َل ۡي َها َف‬
َ ‫ َو َي ۡب َق ٰى َو ۡج ُه َرب‬ ٢٦ ‫ان‬
“Semua yang ada di atas bumi ini akan binasa. Yang kekal hanyalah Wajah Rabbmu
yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (ar-Rahman: 26—27)
        Dengan demikian, kematian bukanlah sesuatu yang asing bagi seorang hamba.
Masing-masing tahu (walaupun ada yang pura-pura tidak tahu) bahwa setiap orang
telah ditentukan umurnya dalam kehidupan dunia.

        Namun, seringnya hamba tetap tersentak saat menghadapi kematian orang
dekat atau mendengar kabar kematian orang yang dikenal.

        Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla menjadikan


kematian sebagai suatu kepastian atas para hamba-Nya dan perjalanan akhir bagi
seluruh makhluk-Nya. Dengan kematian, berakhirlah amalan-amalan dunia dan
terbukalah balasan akhirat.
        Dalam urusan kematian, Allah menyamakan hamba yang taat dan yang
durhaka (semuanya akan mati tanpa kecuali –pen.)
          ‫ِين َأ ٰ َٓسـُٔو ْا ِب َما َع ِملُو ْا‬
َ ‫ي ٱلَّذ‬
َ ‫ض لِ َي ۡج ِز‬ِ ‫ت َو َما فِي ٱَأۡل ۡر‬ ِ ‫َوهَّلِل ِ َما فِي ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
٣١ ‫ِين َأ ۡح َس ُنو ْا ِب ۡٱلح ُۡس َنى‬ َ ‫ي ٱلَّذ‬
َ ‫َو َي ۡج ِز‬
        “Agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap
apa yang telah mereka kerjakan, dan memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik dengan pahala yang lebih baik.” (an-Najm: 31)
        Orang yang mengakui adanya kematian sepantasnya mengambil pelajaran
darinya. Orang yang meyakini adanya negeri akhirat sepantasnya segera beramal
sebagai bekal menuju ke sana.

          ٨ ‫ َو َمن َي ۡع َم ۡل م ِۡث َقا َل َذرَّ ةٖ َش ٗرّ ا َي َرهُۥ‬  ٧ ‫َف َمن َي ۡع َم ۡل م ِۡث َقا َل َذرَّ ٍة َخ ۡي ٗرا َي َرهُۥ‬
        “Siapa yang beramal kebaikan seberat semut yang paling kecil sekalipun
niscaya dia akan melihat balasannya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan
seberat semut yang paling kecil pun niscaya dia akan melihat balasannya
pula.” (az-Zalzalah: 7—8) [al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, 3/3]
        Bisa jadi, di antara kita–para wanita–ada yang pernah menyaksikan salah
seorang kerabat kita, tetangga, atau teman sedang menjemput ajalnya. Bisa jadi,
saat itu kita hanya terpaku. Apa gerangan yang akan diperbuat terhadap orang yang
sedang sakaratul maut? Amalan apa yang dituntunkan saat demikian?

        Ketika jasadnya telah terbujur kaku, tak memiliki ruh lagi, sekali lagi kita
terpaku, bertanya dalam diam. Bagaimana cara pengurusan jenazah menurut ajaran
Islam yang benar?

        Tulisan yang kami susun ini–dengan memohon pertolongan kepada Rabbul


‘Izzah–hendak memberi sedikit pengetahuan kepada pembaca, terkhusus kalangan
muslimah tentang masalah ini. Semoga menjadi ilmu yang dapat diamalkan dan
menjadi amalan saleh bagi penyusun untuk suatu hari kelak, yang tidak bermanfaat
lagi harta dan anak turunan, selain hamba yang datang kepada Allah dengan qalbun
salim.[1]
 
Saat Menjelang Maut
        Ketika sedang menemani anak, saudara, orang tua, atau suami yang hendak
menjemput maut, kita disyariatkan melakukan beberapa amalan berikut ini.

1. Men-talqin-nya dengan kalimat syahadat


        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini,
        ُ‫هللا‬ َّ‫ِإال‬ ‫ِإ َل َه‬ َ‫ال‬ ‫ َم ْو َتا ُك ْم‬ ‫َل ِّق ُنوا‬
        “Talqinlah orang yang hendak meninggal di kalangan kalian dengan La ilaha
illallah.” (HR. Muslim no. 916)[2]
        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan,
        ‫ ْال َج َّن‍ َة‬ ‫دَ َخ َل‬ ُ‫هللا‬ َّ‫ِإال‬ ‫إ َل َه‬ َ‫ال‬ ‫ َكالَ ِم ِه‬ ‫آ ِخ ُر‬ ‫ان‬
َ ‫ َك‬  ْ‫َمن‬
        “Siapa yang akhir ucapannya (saat menjelang kematian) adalah kalimat La
ilaha illallah, ia akan masuk jannah.” (HR. Abu Dawud no. 3166, dinyatakan hasan
oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 687)
        Yang dimaksud talqin bukanlah para hadirin mengucapkan syahadat di
hadapan orang yang akan meninggal dan memperdengarkan kepadanya, melainkan
orang yang akan meninggal itu yang harus mengucapkannya.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjenguk seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Beliau berkata,
        ‫ َف َقا َل‬ ‫ َع ٌّم؟‬ ‫َأ ْو‬ ‫َأ َنا‬ ‫ َخا ٌل‬ ‫َأ َو‬: ‫ َف َقا َل‬ .ُ‫هللا‬ َّ‫ِإال‬ ‫ِإ َل َه‬ َ‫ال‬ ‫قُ ْل‬ ،ُ‫ َخال‬ ‫َيا‬
‫ َن َع ْم‬ :‫ َقا َل‬ ‫لِي؟‬ ‫ َخ ْي ٌر‬ ‫ه َُو‬: ‫ َقا َل‬. ُ‫هللا‬ َّ‫ِإال‬ ‫ِإ َل َه‬ َ‫ال‬ ‫قُ ْل‬: ‫ َل ُه‬ ‫ َف َقا َل‬. ‫ َخا ٌل‬ ‫ َب ْل‬ ،َ‫ال‬ : ُّ‫ال َّن ِبي‬
        “Wahai khal[3], ucapkanlah La ilaha illallah,” sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
        “Apakah saya khal atau ‘amm?” tanya orang itu
        “Tidak, engkau bukan ‘amm tapi engkau khal,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. “Ucapkanlah Laa ilaaha illallah,” kata beliau lagi.
        “Apakah kebaikan untukku jika aku mengucapkannya?” tanya orang tersebut.
        “Ya,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad, 3/152,154.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini dalam
kitabnya Ahkamul Jana’iz hlm. 20, “Isnadnya sahih di atas syarat Muslim.”)
        An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ‫ َل ِّق ُنوا‬ maknanya adalah men-talqin orang yang menjelang wafat dengan
mengingatkannya terhadap La ilaha illallah agar kalimat ini menjadi akhir
ucapannya. Sebagaimana dalam hadits,
        ‫ ْال َج َّن َة‬ ‫دَ َخ َل‬ ُ‫هللا‬ َّ‫ِإال‬ ‫إ َل َه‬ َ‫ال‬ ‫ َكالَ ِم ِه‬ ‫آ ِخ ُر‬ ‫ان‬
َ ‫ َك‬  ْ‫َمن‬
        Perintah men-talqin ini hukumnya sunnah. Ulama bersepakat tentang
pensyariatannya.
        Akan tetapi, mereka tidak suka mengulang-ulang dan terus-menerus
mentalqin orang yang hendak wafat agar ia tidak bosan. Sebab, ia sedang
menghadapi keadaan yang sempit dan musibah yang besar. (Jika diulang-ulang,
dikhawatirkan) hatinya membenci kalimat tersebut. Akhirnya, ia justru berbicara
dengan ucapan yang tidak pantas.
        Jika ia telah mengucapkannya sekali, itu cukup, tidak perlu men-talqin-nya lagi.
Kecuali jika setelah itu mengucapkan kalimat yang lain, ia diingatkan kembali untuk
mengucapkan kalimat tauhid agar kalimat ini menjadi akhir ucapannya (sebelum
ruhnya berpisah dengan jasad –pen.).” (Syarhu Shahih Muslim, 2/580)
        Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Wajib men-talqin orang yang menjelang
wafat dalam keadaan akalnya sehat, lidahnya dapat berbicara atau tidak, dengan
syahadat Islam yaitu Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah.”
        Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Orang yang tidak berakal (seperti orang
gila-pen.), tidak mungkin di-talqin karena ia tidak paham. Adapun orang yang tidak
dapat berbicara, ia mengucapkannya dalam hati.” (al-Muhalla, 3/384)
        Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Talqin dilakukan dengan lemah
lembut, penuh perhatian, dan tidak mengulang-ngulanginya hingga membuat yang
di-talqin jemu. Kecuali apabila ia mengucapkan satu perkataan, diulangi
lagi talqin-nya hingga La ilaha illallah menjadi akhir ucapannya. Demikian dinyatakan
al-Imam Ahmad.” (al-Mughni, 2/161)
        Ketika Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah menjelang wafat, ada seseorang
yang men-talqin-nya berulang-ulang dengan Laa ilaaha illallah. Ibnul Mubarak
berkata kepada orang tersebut, “Apabila aku telah mengucapkannya sekali, aku
mati di atas kalimat tersebut. (Itulah akhir ucapanku), selama aku tidak berbicara
(yang lain).”
        Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Ibnul Mubarak
adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
        ‫ ْال َج َّن َة‬ ‫دَ َخ َل‬ ُ‫هللا‬ َّ‫ِإال‬ ‫إ َل َه‬ َ‫ال‬ ‫ َكالَ ِم ِه‬ ‫آ ِخ ُر‬ ‫ان‬
َ ‫ َك‬  ْ‫َمن‬
        (Siapa yang akhir ucapannya adalah Laa ilaaha illallah maka ia pasti masuk
jannah).” (Sunan at-Tirmidzi hlm. 233, setelah hadits no. 977)
        Adapun men-talqin mayat setelah meninggalnya, tidaklah disyariatkan dan
justru termasuk perbuatan bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah mengerjakannya. Demikian pula para al-Khulafa’ ar-Rasyidun dan sahabat
yang lainnya radhiallahu ‘anhum, sementara hadits yang menyebutkan hal ini tidak
shahih. (Fatwa no. 3159 dan no. 7408 dari Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil
Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta)[4]

2. Mendoakan kebaikan untuknya dan tidak mengucapkan di hadapannya selain


kebaikan.
        Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ ْال َمي‬ ‫َأ ِو‬ ‫ْض‬
        ‫ َتقُ ْولُ ْو َن‬ ‫ َما‬ ‫ ُيَؤ ِّم ُن ْو َن‬ ‫ ْال َمالَِئ َك َة‬  َّ‫ َفِإن‬ ،‫ َخيرً ا‬ ‫ َفقُ ْولُوا‬ ‫ِّت‬ َ ‫ ْال َم ِري‬ ‫ضرْ ُت ُم‬
َ ‫ َح‬ ‫ِإ َذا‬
        “Apabila kalian menjenguk orang yang sakit atau (menghadiri) orang yang akan
meninggal, ucapkanlah kebaikan. Sebab, para malaikat mengaminkan apa yang
kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 919)
▪ Adapun membacakan surat Yasin di sisi orang yang akan meninggal, tidak ada satu
hadits pun yang sahih dalam hal ini. (Ahkamul Jana’iz, asy-Syaikh al-Albani, hlm. 20)

 
3. Menghadapkan Orang yang Menjelang Wafat ke Arah Kiblat
        Tidak ada hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
masalah ini. Akan tetapi, ada beberapa atsar salaf tentang hal ini. Di
antaranya atsar dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah,
ِ ‫ ْال َم ْو‬ ‫فِي‬ ‫ان‬
        ‫ت‬ ِ ‫ ِب ْال َم ِّي‬ ‫ َيسْ َت ْق ِب َل‬  ْ‫َأن‬  ُّ‫ ُيحِب‬ ‫ان‬
َ ‫ َك‬ ‫ِإ َذا‬ ‫ ْال ِق ْب َل َة‬ ‫ت‬ َ ‫َك‬
        “Ia menyenangi menghadapkan orang yang akan meninggal ke arah kiblat.”
        Demikian pula atsar dari ‘Atha’ rahimahullah,
َ ‫ ْال َمي‬ ‫ي َُوجِّ َه‬  ْ‫َأن‬  ُّ‫ َيسْ َتحِب‬ ‫ان‬
        ‫ ْال ِق ْب َل ِة‬ ‫ِإ َلى‬ ‫ َن َزعِ ِه‬  َ‫عِ ْند‬ ‫ِّت‬ َ ‫َك‬
        “Ia menganggap sunnah menghadapkan orang yang sedang sakaratul maut ke
arah kiblat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 2/447)
        Ibrahim an-Nakha’i, Malik, al-Auza’i, Ishaq, ulama Madinah dan ulama Syam
juga menyenangi hal ini. (al-Mughni, 2/161)
        Sementara itu, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah tidak menyukainya.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al- Mushannaf, 2/447)
        Ketika ada seseorang masuk ke rumah Sa’id ibnul Musayyab yang sedang
berbaring sakit, orang itu berkata, “Hadapkan dia ke arah kiblat.”

        Mendengar hal itu, marahlah Sa’id seraya berkata, “Bukankah aku di atas
kiblat ini?” Maksudnya, ia seorang muslim sekalipun tidak dihadapkan ke arah
kiblat. (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf, 3/392)
        Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, yang utama dalam masalah ini
adalah menghadapkan orang yang akan meninggal ke arah kiblat. Apa yang
dilakukan oleh orang-orang terhadap Sa’id (dengan menghadapkannya ke arah
kiblat) menunjukkan bahwa hal tersebut masyhur dilakukan oleh kaum muslimin
terhadap orang yang akan meninggal di kalangan mereka. (al-Mughni, 2/161)
        Namun, karena dalam masalah ini tidak ada dalil dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, kita tidak dapat mengharuskan orang untuk melakukannya. Oleh
karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan, “Menghadapkan mayit ke arah
kiblat itu bagus. Apabila tidak dilakukan, tidak masalah.” (al-Muhalla, 3/405)
 
Ketika Ruh telah Berpisah dengan Jasad
        Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk menemui Abu Salamah (yang telah wafat). Matanya terbuka dan
pandangannya melihat ke atas. Rasulullah pun menutupnya dan berkata,
َ ‫ ْال َب‬ ‫ َت ِب َع ُه‬ ‫ض‬
        ‫ص ُر‬ َ ‫قُ ِب‬ ‫ِإ َذا‬ ‫الرُّ ْو َح‬  َّ‫ِإن‬
        “Sesungguhnya apabila ruh dicabut, diikuti oleh pandangan mata.”
        Gaduhlah orang-orang dari keluarga Abu Salamah. Mendengar hal itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendoakan diri
kalian kecuali dengan kebaikan. Sebab, para malaikat mengaminkan apa yang
kalian ucapkan.”
        Kemudian beliau berdoa,

        ‫ َو‬ ‫ َل َنا‬  ْ‫اغ ِفر‬ ْ ‫ َو‬ ‫ ْال َم ْه ِد ِّيي َْن‬ ‫فِي‬ ‫دَ َر َج َت ُه‬  ْ‫ َوارْ َفع‬ ‫ َس َل َم َة‬ ‫َأِل ِبي‬  ْ‫اغ ِفر‬
ْ ‫ َو‬ ‫ ْال َغ ِاب ِري َْن‬ ‫فِي‬ ‫ َعق ِِب ِه‬ ‫فِي‬ ‫اخلُ ْف ُه‬ ْ  ‫اللَّ ُه َّم‬
‫ ِف ْي ِه‬ ‫ َل ُه‬  ْ‫ َو َنوِّ ر‬ ‫ َقب ِْر ِه‬ ‫فِي‬ ‫ َل ُه‬  ْ‫ َوا ْف َسح‬ ‫ ْال َعا َل ِمي َْن‬  َّ‫ َرب‬ ‫ َيا‬ ،ُ‫َله‬
        “Ya Allah, ampunilah Abu Salamah. Tinggikanlah derajatnya di kalangan
mahdiyyin[5]. Gantikanlah dia dalam keturunannya dengan orang-orang yang masih
tersisa (masih hidup). Ampunilah kami dan dia, wahai Rabbul Alamin. Lapangkanlah
dia dalam kuburnya dan berilah cahaya baginya di dalam kuburnya.” (HR.
Muslim no. 920)
        Dari hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa ketika orang yang
sakaratul maut telah benar-benar meninggal, yang hadir di tempat tersebut
disunnahkan[6] menutup kedua mata mayit dan mendoakan kebaikan untuknya.
        Setelahnya, pakaian yang dikenakan mayit dilepas agar tubuhnya tidak
berubah karena pakaian tersebut. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut[7].
        Setelah itu, mayit ditutup dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya[8],
dengan dalil hadits Aisyah radhiallahu ‘anha,
ِ  ‫ َرس ُْو َل‬  ّ‫َأن‬
        ‫ ِح َب َر ٍة‬ ‫ ِببُرْ ِد‬ ‫سُجِّ َي‬ ‫ ُتوُ ِّف َي‬ ‫هللا ِحي َْن‬
        “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, jasadnya ditutup dengan
kain bergaris-garis dari katun.” (HR. al-Bukhari no. 1241 dan Muslim no. 942)
        Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Pertama kali yang dilakukan oleh
kerabat mayit yang hadir adalah menutup kedua mata si mayit selembut mungkin.
Setelah itu, bawah dagunya diikat dengan kain serban[9] yang lebar ke atas
kepalanya agar tulang dagunya yang paling bawah tidak turun/kendor sehingga
mulutnya terbuka lantas menjadi kaku dan tidak dapat tertutup lagi.
        Kedua tangannya dikembalikan hingga menempel dengan dua lengan atasnya,
lalu dibentangkan, kemudian dikembalikan lagi, dan dibentangkan lagi
berulang-ulang, agar kedua tangan tetap lemas, tidak kaku.

        Apabila kedua tangan lemas saat keluarnya ruh, akan tetap lemas sampai
waktu penguburannya. Demikian pula jari jemarinya.

        Kedua kakinya dikembalikan dari dalam sampai menempel dengan bagian
dalam kedua pahanya sebagaimana yang diperbuat pada kedua tangan.[10]
        Di atas perut si mayit diletakkan sesuatu dari tanah, batu bata, potongan besi,
atau selainnya[11]. Sebab, sebagian orang yang berpengalaman menyatakan hal itu
dapat mencegah mengembungnya perut si mayit….” (al-Umm, 1/248)
        Apabila si mayit meninggalkan utang, segera ditunaikan pembayarannya dari
harta si mayit. Apabila si mayit tidak memiliki harta, utangnya boleh ditanggung oleh
orang lain, baik kerabatnya maupun bukan. (al-Mughni, 2/162)
        Sa’d ibnul Athwal radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa saudaranya wafat
meninggalkan harta sebesar 300 dirham dan memiliki anak-anak. Sa’d berkata,
“Aku ingin membagikan uang tersebut kepada anak-anaknya. Namun,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
ِ ‫ َفا ْق‬  ْ‫ َف ْاذ َهب‬ ‫ ِبدَ ْي ِن ِه‬  ٌ‫ َمحْ ب ُْوس‬ ‫اك‬
        ‫ َع ْن ُه‬ ‫ض‬ َ ‫َأ َخ‬  َّ‫ِإن‬
        “Sesungguhnya saudaramu itu tertahan dengan utangnya. Pergilah engkau
membayar utangnya.”
        “Aku pun pergi untuk menunaikan utangnya,” kata Sa’d.

        Setelah itu, aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai


Rasulullah, aku telah menunaikan utang saudaraku, kecuali dua dinar yang diakui
oleh seorang wanita sebagai piutangnya tanpa bukti.”
        “Berikanlah pada si wanita karena dia pengakuannya benar,” kata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ibnu Majah no. 2433 dan selainnya.
Dinyatakan sahih oleh al-Bushiri dalam az-Zawaid, kata asy-Syaikh al-Albani di
dalam Ahkamul Jana’iz, hlm. 26)
        Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa seseorang lelaki
meninggal. Mereka kemudian memandikan, mengafani, dan memberikan
wangi-wangian padanya. Mereka meletakkannya untuk dishalati oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu, mereka mengundang beliau
untuk menyalatinya.
        Beliau pun datang bersama mereka. Beliau melangkah satu langkah dan
berkata, “Mungkin teman kalian ini punya utang?”

        Mereka menjawab, “Ya, dua dinar.”

        Beliau pun enggan menyalatinya.

        “Silakan kalian saja yang menyalatinya,” kata beliau.

        Seseorang di antara mereka yang bernama Abu Qatadah berkata, “Wahai
Rasulullah, dua dinar itu jadi tanggunganku.”

        “Dua dinar itu menjadi tanggunganmu dan akan engkau bayarkan dengan
hartamu. Berarti, si mayit telah terlepas dari tanggungan utang sebesar dua dinar
tersebut?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan.
        “Ya,” jawab Abu Qatadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menyalatinya. (HR. al-Hakim dan lainnya dengan sanad yang hasan, kata
al-Haitsami sebagaimana dinukil asy-Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz, hlm.
2; diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 1069 dari Abdullah bin Abi Qatadah dari
ayahnya, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih
Mimma Laisa fish Shahihain, 2/261)

Orang yang Boleh Membuka Penutup Wajah Si Mayit dan Menciumnya[12].


        Jabir radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketika ayahku terbunuh, aku menyingkap
kain penutup wajahnya, lalu aku menangis. Orang-orang yang ada di tempat itu
melarangku, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangku.” (HR.
al-Bukhari no. 1244 dan Muslim no. 2471)
        Aisyahx berkisah tentang meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Abu Bakr radhiallahu ‘anhu datang dari tempat tinggalnya
di as-Sunh (daerah yang tinggi di luar kota Madinah) menunggangi kudanya. Ia
turun dari kudanya lalu masuk ke masjid sementara Umar berbicara kepada
manusia.
        Abu Bakr tidak mengajak bicara seorang pun hingga masuk ke rumah
Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia menuju ke jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang ditutupi dengan kain bergaris-garis dari katun. Dibukanya penutup
wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia mencium beliau di antara
kedua mata beliau. Abu Bakr pun menangis.” (HR. al-Bukhari no. 1241, 1242)
 
Memerhatikan Tanda-tanda Kematian
        Sebelum penyelenggaraan jenazah dilakukan, hendaknya dipastikan bahwa si
mayit telah benar-benar meninggal, bukan sekadar pingsan.

        Jadi, beberapa tanda kematian perlu diketahui. Di antaranya, lemas/kendornya


kedua kaki dan tidak bisa berdiri tegak, kedua pergelangan tangan dan lengan
bawah terbuka, hidung yang miring, kulit wajah memuai, kedua pelipis cekung, dan
lainnya.

        Apabila telah didapatkan tanda-tanda ini, hendaknya jenazah segera


dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan. Tidak perlu menunggu kedatangan
seorang pun dari kerabatnya yang jauh.

        Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Memuliakan mayit adalah dengan


menyegerakan pengurusan jenazahnya.” (al-Umm, 1/243; al-Majmu’,
5/125; al-Mughni, 2/162; asy-Syarhul Mumti’, 2/480)
        Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
 

[1]  Qalbun salim adalah hati yang selamat dari kesyirikan, keraguan, cinta kepada
kejelekan dan terus-menerus melakukan kebid’ahan dan dosa. Konsekuensi orang
yang memiliki qalbun salim adalah ia memiliki sifat yang berlawanan dari sifat-sifat
jelek yang tersebut. Pada dirinya ada keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada
kebaikan, dan merasakan kebaikan itu indah di hatinya. Kehendak dan
kecintaannya mengikuti kecintaannya kepada Allah, selera nafsunya mengikuti apa
yang datang dari Allah. (Taisir al-Karimir Rahman, asy-Syaikh Abdur Rahman bin
Nashir as-Sa’di, hlm. 593)
  [2]  Yang dimaksudkan dengan ucapan La ilaha illallah dalam hadits ini dan
selainnya adalah dua kalimat syahadat, termasuk kalimat Muhammadur Rasulullah.
Sebab, tidak diterima salah satu syahadat ini tanpa disertai dengan syahadat yang
lain. (Fathul Bari 2/138, Subulus Salam, 2/144)
  [3]  Khal adalah paman dari pihak ibu, sedangkan ‘amm adalah paman dari pihak
ayah.
[4]  Saat itu diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Wakil Ketua:
asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, dan anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
[5]  Orang–orang yang diberi hidayah oleh Allah ‘azza wa jalla, ditunjukkan kepada
jalan kebenaran dan kelurusan dalam kehidupan mereka dan ketika mereka
meninggal. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3/152)
[6]  al-Muhalla, 3/384, Subulus Salam, 2/145.
[7]  al-Mughni, 2/162, asy-Syarhul Mumti’, 2/478
[8]  Subulus Salam, 2/146, 3/34
[9]  Dengan tali atau pengikat lainnya. Ini sebenarnya tidak ada dalilnya, namun
dilakukan untuk mencegah penampilan yang buruk dari si mayit. Sebab, jika mulut
mayit tidak segera ditutup, niscaya ketika jasadnya telah kaku mulutnya akan tetap
terbuka sehingga tidak bagus dipandang. (asy-Syarhul Mumti’, 2/477)
[10]  Ini juga tidak ada dalilnya. Hal ini dilakukan untuk kemaslahatan, yakni agar
persendian tangan dan kaki si mayit tetap lemas sehingga memudahkan ketika
dimandikan dan dikafani. (asy-Syarhul Mumti’, 2/477)
[11]  Atau benda-benda yang berat lainnya.
[12]  al-Muhalla, 3/371; Fathul Bari, 3/143

Anda mungkin juga menyukai