Menyaksikan orang di sekitar kita meninggal dunia, tentu bukan hal yang asing.
Akan tetapi, pernahkah kita ikut terlibat mengurus jenazah orang yang meninggal
itu? Untuk yang satu ini barangkali masih jarang yang melakukannya. Berikut ini
tuntunan singkat menghadapi orang yang akan dan sudah meninggal dunia.
Namun, seringnya hamba tetap tersentak saat menghadapi kematian orang
dekat atau mendengar kabar kematian orang yang dikenal.
٨ َو َمن َي ۡع َم ۡل م ِۡث َقا َل َذرَّ ةٖ َش ٗرّ ا َي َرهُۥ ٧ َف َمن َي ۡع َم ۡل م ِۡث َقا َل َذرَّ ٍة َخ ۡي ٗرا َي َرهُۥ
“Siapa yang beramal kebaikan seberat semut yang paling kecil sekalipun
niscaya dia akan melihat balasannya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan
seberat semut yang paling kecil pun niscaya dia akan melihat balasannya
pula.” (az-Zalzalah: 7—8) [al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, 3/3]
Bisa jadi, di antara kita–para wanita–ada yang pernah menyaksikan salah
seorang kerabat kita, tetangga, atau teman sedang menjemput ajalnya. Bisa jadi,
saat itu kita hanya terpaku. Apa gerangan yang akan diperbuat terhadap orang yang
sedang sakaratul maut? Amalan apa yang dituntunkan saat demikian?
Ketika jasadnya telah terbujur kaku, tak memiliki ruh lagi, sekali lagi kita
terpaku, bertanya dalam diam. Bagaimana cara pengurusan jenazah menurut ajaran
Islam yang benar?
3. Menghadapkan Orang yang Menjelang Wafat ke Arah Kiblat
Tidak ada hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
masalah ini. Akan tetapi, ada beberapa atsar salaf tentang hal ini. Di
antaranya atsar dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah,
ِ ْال َم ْو فِي ان
ت ِ ِب ْال َم ِّي َيسْ َت ْق ِب َل َْأن ُّ ُيحِب ان
َ َك ِإ َذا ْال ِق ْب َل َة ت َ َك
“Ia menyenangi menghadapkan orang yang akan meninggal ke arah kiblat.”
Demikian pula atsar dari ‘Atha’ rahimahullah,
َ ْال َمي ي َُوجِّ َه َْأن ُّ َيسْ َتحِب ان
ْال ِق ْب َل ِة ِإ َلى َن َزعِ ِه َعِ ْند ِّت َ َك
“Ia menganggap sunnah menghadapkan orang yang sedang sakaratul maut ke
arah kiblat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 2/447)
Ibrahim an-Nakha’i, Malik, al-Auza’i, Ishaq, ulama Madinah dan ulama Syam
juga menyenangi hal ini. (al-Mughni, 2/161)
Sementara itu, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah tidak menyukainya.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al- Mushannaf, 2/447)
Ketika ada seseorang masuk ke rumah Sa’id ibnul Musayyab yang sedang
berbaring sakit, orang itu berkata, “Hadapkan dia ke arah kiblat.”
Mendengar hal itu, marahlah Sa’id seraya berkata, “Bukankah aku di atas
kiblat ini?” Maksudnya, ia seorang muslim sekalipun tidak dihadapkan ke arah
kiblat. (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf, 3/392)
Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, yang utama dalam masalah ini
adalah menghadapkan orang yang akan meninggal ke arah kiblat. Apa yang
dilakukan oleh orang-orang terhadap Sa’id (dengan menghadapkannya ke arah
kiblat) menunjukkan bahwa hal tersebut masyhur dilakukan oleh kaum muslimin
terhadap orang yang akan meninggal di kalangan mereka. (al-Mughni, 2/161)
Namun, karena dalam masalah ini tidak ada dalil dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, kita tidak dapat mengharuskan orang untuk melakukannya. Oleh
karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan, “Menghadapkan mayit ke arah
kiblat itu bagus. Apabila tidak dilakukan, tidak masalah.” (al-Muhalla, 3/405)
Ketika Ruh telah Berpisah dengan Jasad
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk menemui Abu Salamah (yang telah wafat). Matanya terbuka dan
pandangannya melihat ke atas. Rasulullah pun menutupnya dan berkata,
َ ْال َب َت ِب َع ُه ض
ص ُر َ قُ ِب ِإ َذا الرُّ ْو َح َِّإن
“Sesungguhnya apabila ruh dicabut, diikuti oleh pandangan mata.”
Gaduhlah orang-orang dari keluarga Abu Salamah. Mendengar hal itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendoakan diri
kalian kecuali dengan kebaikan. Sebab, para malaikat mengaminkan apa yang
kalian ucapkan.”
Kemudian beliau berdoa,
َو َل َنا ْاغ ِفر ْ َو ْال َم ْه ِد ِّيي َْن فِي دَ َر َج َت ُه ْ َوارْ َفع َس َل َم َة َأِل ِبي ْاغ ِفر
ْ َو ْال َغ ِاب ِري َْن فِي َعق ِِب ِه فِي اخلُ ْف ُه ْ اللَّ ُه َّم
ِف ْي ِه َل ُه ْ َو َنوِّ ر َقب ِْر ِه فِي َل ُه ْ َوا ْف َسح ْال َعا َل ِمي َْن َّ َرب َيا ،َُله
“Ya Allah, ampunilah Abu Salamah. Tinggikanlah derajatnya di kalangan
mahdiyyin[5]. Gantikanlah dia dalam keturunannya dengan orang-orang yang masih
tersisa (masih hidup). Ampunilah kami dan dia, wahai Rabbul Alamin. Lapangkanlah
dia dalam kuburnya dan berilah cahaya baginya di dalam kuburnya.” (HR.
Muslim no. 920)
Dari hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa ketika orang yang
sakaratul maut telah benar-benar meninggal, yang hadir di tempat tersebut
disunnahkan[6] menutup kedua mata mayit dan mendoakan kebaikan untuknya.
Setelahnya, pakaian yang dikenakan mayit dilepas agar tubuhnya tidak
berubah karena pakaian tersebut. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut[7].
Setelah itu, mayit ditutup dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya[8],
dengan dalil hadits Aisyah radhiallahu ‘anha,
ِ َرس ُْو َل َّأن
ِح َب َر ٍة ِببُرْ ِد سُجِّ َي ُتوُ ِّف َي هللا ِحي َْن
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, jasadnya ditutup dengan
kain bergaris-garis dari katun.” (HR. al-Bukhari no. 1241 dan Muslim no. 942)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Pertama kali yang dilakukan oleh
kerabat mayit yang hadir adalah menutup kedua mata si mayit selembut mungkin.
Setelah itu, bawah dagunya diikat dengan kain serban[9] yang lebar ke atas
kepalanya agar tulang dagunya yang paling bawah tidak turun/kendor sehingga
mulutnya terbuka lantas menjadi kaku dan tidak dapat tertutup lagi.
Kedua tangannya dikembalikan hingga menempel dengan dua lengan atasnya,
lalu dibentangkan, kemudian dikembalikan lagi, dan dibentangkan lagi
berulang-ulang, agar kedua tangan tetap lemas, tidak kaku.
Apabila kedua tangan lemas saat keluarnya ruh, akan tetap lemas sampai
waktu penguburannya. Demikian pula jari jemarinya.
Kedua kakinya dikembalikan dari dalam sampai menempel dengan bagian
dalam kedua pahanya sebagaimana yang diperbuat pada kedua tangan.[10]
Di atas perut si mayit diletakkan sesuatu dari tanah, batu bata, potongan besi,
atau selainnya[11]. Sebab, sebagian orang yang berpengalaman menyatakan hal itu
dapat mencegah mengembungnya perut si mayit….” (al-Umm, 1/248)
Apabila si mayit meninggalkan utang, segera ditunaikan pembayarannya dari
harta si mayit. Apabila si mayit tidak memiliki harta, utangnya boleh ditanggung oleh
orang lain, baik kerabatnya maupun bukan. (al-Mughni, 2/162)
Sa’d ibnul Athwal radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa saudaranya wafat
meninggalkan harta sebesar 300 dirham dan memiliki anak-anak. Sa’d berkata,
“Aku ingin membagikan uang tersebut kepada anak-anaknya. Namun,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
ِ َفا ْق ْ َف ْاذ َهب ِبدَ ْي ِن ِه ٌ َمحْ ب ُْوس اك
َع ْن ُه ض َ َأ َخ َِّإن
“Sesungguhnya saudaramu itu tertahan dengan utangnya. Pergilah engkau
membayar utangnya.”
“Aku pun pergi untuk menunaikan utangnya,” kata Sa’d.
Seseorang di antara mereka yang bernama Abu Qatadah berkata, “Wahai
Rasulullah, dua dinar itu jadi tanggunganku.”
“Dua dinar itu menjadi tanggunganmu dan akan engkau bayarkan dengan
hartamu. Berarti, si mayit telah terlepas dari tanggungan utang sebesar dua dinar
tersebut?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan.
“Ya,” jawab Abu Qatadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menyalatinya. (HR. al-Hakim dan lainnya dengan sanad yang hasan, kata
al-Haitsami sebagaimana dinukil asy-Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz, hlm.
2; diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 1069 dari Abdullah bin Abi Qatadah dari
ayahnya, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih
Mimma Laisa fish Shahihain, 2/261)
[1] Qalbun salim adalah hati yang selamat dari kesyirikan, keraguan, cinta kepada
kejelekan dan terus-menerus melakukan kebid’ahan dan dosa. Konsekuensi orang
yang memiliki qalbun salim adalah ia memiliki sifat yang berlawanan dari sifat-sifat
jelek yang tersebut. Pada dirinya ada keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada
kebaikan, dan merasakan kebaikan itu indah di hatinya. Kehendak dan
kecintaannya mengikuti kecintaannya kepada Allah, selera nafsunya mengikuti apa
yang datang dari Allah. (Taisir al-Karimir Rahman, asy-Syaikh Abdur Rahman bin
Nashir as-Sa’di, hlm. 593)
[2] Yang dimaksudkan dengan ucapan La ilaha illallah dalam hadits ini dan
selainnya adalah dua kalimat syahadat, termasuk kalimat Muhammadur Rasulullah.
Sebab, tidak diterima salah satu syahadat ini tanpa disertai dengan syahadat yang
lain. (Fathul Bari 2/138, Subulus Salam, 2/144)
[3] Khal adalah paman dari pihak ibu, sedangkan ‘amm adalah paman dari pihak
ayah.
[4] Saat itu diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Wakil Ketua:
asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, dan anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
[5] Orang–orang yang diberi hidayah oleh Allah ‘azza wa jalla, ditunjukkan kepada
jalan kebenaran dan kelurusan dalam kehidupan mereka dan ketika mereka
meninggal. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3/152)
[6] al-Muhalla, 3/384, Subulus Salam, 2/145.
[7] al-Mughni, 2/162, asy-Syarhul Mumti’, 2/478
[8] Subulus Salam, 2/146, 3/34
[9] Dengan tali atau pengikat lainnya. Ini sebenarnya tidak ada dalilnya, namun
dilakukan untuk mencegah penampilan yang buruk dari si mayit. Sebab, jika mulut
mayit tidak segera ditutup, niscaya ketika jasadnya telah kaku mulutnya akan tetap
terbuka sehingga tidak bagus dipandang. (asy-Syarhul Mumti’, 2/477)
[10] Ini juga tidak ada dalilnya. Hal ini dilakukan untuk kemaslahatan, yakni agar
persendian tangan dan kaki si mayit tetap lemas sehingga memudahkan ketika
dimandikan dan dikafani. (asy-Syarhul Mumti’, 2/477)
[11] Atau benda-benda yang berat lainnya.
[12] al-Muhalla, 3/371; Fathul Bari, 3/143