1. Obyek material, yaitu materi atau bahan yang menjadi obyek penyelidikan
filsafat, maupun bagi segala turunan filsafat itu sendiri, misalnya,
pengetahuan atau ilmu. Jadi, dengan kata sifat “material” tidak dimaksudkan
sebagai bahan-bahan materi bagi sebuah pekerjaan tukang, tetapi “pokok
soal” atau “pangkal pikir” yang merupakan bahan atau obyek pemikiran
filsafat itu sendiri. Materi atau obyek studi filsafat itu meliputi segala sesuatu
realitas (manusia), baik berupa kenyataan fisik (inderawi), benda dan aktifitas
alam, intelektual (intelektif), pengalaman, tradisi, adat, budaya, bahasa,
pikiran, pengetahuan harian, maupun ide, gagasan, atau teori, kegiatan-
kegiatan manusia, norma-norma hidup, hukum, ideologi, politik, sistem
kepercayaan, aspek kejiwaan, baik yang ada maupun yang bisa diadakan oleh
pikiran manusia itu sediri. Tegasnya, obyek atau material yang menjadi bahan
pemikiran filsafat adalah tertuju pada segala hal, sejauh bisa dijangkau oleh
indera maupun pikiran manusia. The Liang Gie (1996: 341), antara lain,
menunjukkan adanya 6 (enam) jenis obyek material, yaitu; ide abstrak,
benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda.
Filsafat, dalam hal ini, menjadikan manusia sebagai obyek dan fokus pemikirannya
yang memekarkan. Manusia adalah obyek tetapi sekaligus subyek bagi
pemikirannya. Filsafat selalu bertanya dan merenung tentang manusia, apakah
manusia dan bagaimana “ada” maupun “cara beradanya”. Filsafat selalu berusaha
menjelajahi hakikat manusia, asal usulnya, fenomena kesenangan, suka-cita, dan
aneka penderitaannya, serta bagaimana hidup manusia setelah mati.
Bagi filsafat, manusia bukan sekedar sebuah fakta atau realitas bendawi yang jelas
pada dirinya, tetapi manusia itu sekaligus adalah masalah, sekurang-kurangnya, bagi
dirinya sendiri. Manusia bukan hanya menemukan dirinya sebagai “apa adanya”.
Justru, setiap saat, manusia menghadapi dirinya sebagai sebuah “tanda tanya” atau
persoalan aktual “mengapa”, dan “bagaimana adanya”. Manusia adalah sebuah
dinamika personal dan daya misteri bagi dirinya sendiri. Manusia, bagi dirinya,
adalah dekat tetapi sekaligus jauh, jelas dimengerti tetapi sekaligus sukar dan kabur
untuk diselami atau didalami aneka keluasannya. Manusia, karena itu, mengahadapi
dirinya sebagai sebuah tugas kemanusiaan, yang bukan hanya diselesaikan dengan
pendekatan fisik material (fisik, jasmani), atau sosio-religi saja, juga bukan sekedar
pendekatan psikologi atau ekonomi semata. Sebagai persona dinamis, persoalan
kemanusiaan itu tidak hanya harus dihadapi dan disiasasti secara personal-individual
semata terlepas dari aspek sosial kemasyarakatannya. Persoalan kemanusiaan
tersebut tidak mungkin hanya diselesaikan secara logika matematis semata
(misalnya; 1+ 1 = 2), tetapi juga dengan pendekatan logika kebatinan, logika cinta,
kasih sayang, pengorbanan, dan saling pengertian (misalnya; 1+1 = 1).
Pendekatan-pendekatan yang bersifat partikular-primordial tersebut, justru akan
saling menafikkan dan merelatifkan, dan tidak membawa hasil positif apa pun bagi
sebuah tugas kemanusiaan. Jelasnya, manusia adalah sebuah medan atau sebuah
“dunia’ yang luas dan penuh rahasia. Dunia manusia itu harus didekati secara utuh
dan terpadu, bukan secara primordial-partikular.
Manusia, karena menghadapi dirinya sebagai masalah, bukan sekedar sebagai fakta
atau benda apa adanya, yang selesai pada dirinya maka manusia itu dipaksa untuk
harus dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaannya dimaksud secara arif
dan bijaksana. Caranya, manusia harus dilatih untuk berpikir keras, manusia harus
membangun atau mengembangkan pengetahuannya secara terus menerus, dan
berbudaya. Melalui itu, manusia akan terus belajar memecahkan atau mengatasi
permasalahan-permasalahan kemanusiaannya itu secara utuh dan paripurna. Justru
itulah, manusia harus belajar hukum, psikhologi, matematika, biologi, sosiologi,
antropologi, kosmologi, Ilmu pemerintahan, politik, agama, ekonomi, ilmu mendidik,
pertanian, kehutanan, kelautan, agama, dan sebagainya. Manusia harus mendirikan
lembaga-lembaga hukum, lembaga ekonomi atau perbankan, lembaga agama,
lembaga pendidikan, lembaga sosial kemasyarakatan, menciptakan teknologi,
bahasa, komunikasi, dan bahkan, belajar seumur hidup untuk mengatasi masalah
kemanusiaan dan tugas kemanusiaannya itu sendiri. Segala realitas itulah yang
dalam filsafat, disebut sebagai ada atau bahan (obyek material) bagi pemikiran
filsafat.
Segala hal yang ada dan merupakan obyek material filsafat itu diklasifikasikan atas
dua golongan sebagai berikut:
a. ada yang harus ada, yang disebut ada absolut (mutlak), yaitu Tuhan pencipta
alam semesta. Diketahui bahwa Sang Tuhan itu adalah “Sang ada” yang
harus ada karena Tuhan adalah sesuatu yang tidak diadakan oleh yang lain.
Sang Tuhan adalah “Ada mutlak” (absolut).
b. ada yang tidak harus ada. Ada yang demikian disebut ada yang relatif (nisbi).
Ada ini bersifat tidak kekal, yaitu ada yang diciptakan oleh ada mutlak (Tuhan
pencipta semesta). Ada yang relatif ini lah yang berhubungan dengan
manusia dengan segala realitasnya sebagaimana ditunjukkan di atas, dan
merupakan bahan atau materi bagi pemikiran filsafat, pengetahuan, dan ilmu
itu sendiri.
2. Obyek Formal, adalah sudut pandang filsafat atau metode dan cara kerja
yang digunakan dalam rangka mengbongkar, menyingkap, dan mengolah
setiap bahan atau materi pemikiran (obyek material), guna dapat
mengembangkannya menjadi pengetahuan yang teruji dan tertata secara
sistematis dalam bentuk pengetahuan umum maupun pengetahuan ilmiah
atau jenis-jenis ilmu yang bersifat spesifik namun saling terkait. Jadi, obyek
formal menunjuk pada kemampuan dalam mengkritisi, mengkaji, memahami,
menganalisis, mensintesis, dan mengkonstruksi setiap sistem ide atau “peta
kognitif” yang tersimpan di balik segala penampakan bahan atau materi
(obyek material) yang dihadapinya menjadi sistem-sistem pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu utuh dan spesifik.
Filsafat, meskipun selalu menampilkan sudut pandang yang berbeda namun dapat
dikatakan hal itu bukanlah perbedaan yang bersifat fragmentatif (terpusat pada
bagian-bagian tertentu yang bersifat atomis atau terpisah-pisah). Filsafat, justru
selalu berupaya mencari pengertian mengenai realitas secara luas dan utuh. Sebagai
konsekwesi pemikiran ini, seluruh pengalaman dalam semua instansi, etika, estetika
teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lainnya, harus lah dibawa kepada
filsafat dalam pengertian sebagai realitas yang utuh.
Obyek formal filsafat, dalam hal ini, menuntut bahwa seorang filsuf adalah seorang
pribadi yang berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman secara autentik
yang diperolehnya dalam dunia realita. Jadi, obyek formal (sudut pandang) filsafat
itu bersifat mengasaskan, karena mengasas maka filsafat itu mengonstatir prinsip
kebenaran dan ketidak benaran, logis dan non logis, baik bagi sebuah tindakan
pemikiran maupun hasil pemikiran yang bersifat pengetahuan maupun keilmuan.
Obyek formal filsafat, akhirnya, hendak menegaskan bahwa meskipun terdapat
berbagai macam pengetahuan atau ilmu, namun hal itu bisa bersumber dari suatu
obyek material yang sama. Jadi, pengetahuan atau ilmu hanya menampilkan jenis
pikiran atau pendangan yang berbeda berdasarkan sudut pendekatannya yang
saling berbeda tentang pokok soal atau obyek materi yang sama, misalnya; biologi,
psikologi, teologi, ekologi, linguistik, dan sebagainya, bermaksud menemukan apa
yang dapat diketahuinya secara khusus berdasarkan sudut pendekatannya yang
khas tentang manusia.
II. Landasan-Landasan Berpikir Filsafat.
Filsafat selalu melandasi diri pada tiga landasan pemikiran, yaitu; landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Ketiga landasan pemikiran filsafat dimaksud, tidak
bersifat partikular (terlepas pisah), namun saling terkait secara utuh, dalam rangka
memberikan landasan-landasan yang kokoh bagi pemikiran, maupun pengembangan
pemikiran itu sendiri dalam bentuk ilmu, pengetahuan, teknologi, maupun dalam
bentuk lakon kehidupan yang aktual.
Epistemologi, karena itu, lebih dipahami sebagai aspek kritis dari filsafat yang
berupaya mempertanyakan, merumuskan, menganalisis, menguji, dan
menyempurnakan segala yang ada menjadi sistim pemikiran atau sistim
pengetahuan tertentu. Epistemologi, dalam hal ini, berbicara tentang hakikat,
sumber, jangkauan, kebenaran, cara membangun pemikiran yang sehat dan lurus,
serta metode atau cara kerja di dalam memperoleh pengatahuan itu sendiri. Melalui
epistemologi dapat diuji dan ditunjukkan bahwa tidak semua pemikiran itu menjadi
kebenaran-kebenaran pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan itu dapat
menjadi kebenaran ilmu. Alasanya, setiap pemikiran, pengetahuan, atau ilmu,
termasuk teknologi selalu memiliki dasar-dasar pertanggungjawaban epistemologis,
baik menyangkut kejelasan sumber, jangkauan, metode, maupun pengandaian-
pengandaiannya. Nampaknya, salah satu sisi penting dari epistemologi adalah logika
yang membicarakan tentang cara mengerjakan pikiran yang benar (pikiran sehat).
Tegasnya, segala pemikiran filsafat harus dapat diandaikan sebagai bagian dari
fenomena eksistensi manusia yang utuh, pantas, dan bernilai. Suatu pemikiran yang
pantas dan bernilai, selalu berurusan dengan upaya yang sungguh untuk
membebaskan manusia, mengangkat derajat manusia dan menempatkannya
sebagai subyek. Justru itu, setiap pemikiran filsafat, termasuk ilmu dan
pengetahuan, harus dikembalikan pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan
sebagai; dasar, sumber, norma, dan pangkalannya yang tetap. Pengetahuan atau
ilmu, dalam hal ini, selalu bertautan dengan nilai, sehingga tidak ada ilmu yang
bebas nilai dalam dirinya.
Pikiran, pengetahuan, atau ilmu selalu memiliki pertautan bathiniah dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang diembannya. Bahkan, nilai kemausiaan itu menjadi basis dan
landasarn normantif bagi pengembangan ilmu. Filsafat dengan landasan berpikir
aksiologisnya ini hendak menegaskan bahwa tidak ada pikiran, pengetahuan, atau
ilmu yang bebas nilai. Pikiran, pengetahuan, atau ilmu, pada dasarnya telah bersifat
taut nilai, baik dari sisi asalnya (sumbernya), prosesnya, maupun hasil (penggunaan
atau penerapannya).
Landasan aksiologi, karenanya, memberikan dasar yang kokoh bagi etika keilmuan,
baik dalam rangka tugas pengembangan ilmu itu sendiri maupun penerapannya
dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan, kemasyarakatan, dan lingkungan
hidup. Baik ilmu-ilmu murni maupun ilmu terapan, tidak memiliki sebuah alasan
yang memadai, dari daram dirinya sendiri, untuk mangatakan diri sebagai ilmu yang
bebas nilai, sebab selalu ada saja tanggungjawab (nilai) yang diemban, baik dalam
rangka proses keilmuan maupun penerapan hasil keilmuan itu sendiri.
Singkatnya, dipadangkan dari isinya, studi filsafat bertujuan memberikan dasar-
dasar pengetahuan, serta pandangan yang sistematis sehingga seluruh pengetahuan
kita merupakan kesatuan yang utuh. Hidup kita dipimpin oleh pengetahuan kita,
sebab mengetahui kebenaran yang terdasar berarti pengetahuan dasar hidup kita
sendiri yang diselami. Studi filsafat, memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan
lainnya mengenai manusia seperti; ilmu mendidik, sosiologi, hukum, ilmu jiwa, dan
sebagainya.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan).
F. Evaluasi: