Anda di halaman 1dari 3

PERIODISASI PEMELIHARAAN AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF

MADZHAB
Sejarah al-Qur’an demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya hingga sekarang. Ia dibaca
hampir oleh setiap Muslim sejak dulu hingga sekarang, sehingga pada hakikatnya al-Qur’an
tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Qur’an yang berada di
tangan kita selama ini adalah al-Qur’an yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW,
tanpa adanya perubahan, karena keberadaan al-Qur’an yang demikian ini berkaitan dengan
sifat dan cirinya, yang tetap sebagaimana keadaannya dahulu. Setiap muslim harus percaya
bahwa apa yang dibaca dan di dengarnya sebagai al-Qur’an sekarang ini tidak berbeda
sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca Rasulullah SAW, dan para Sahabat. Pada zaman
sekarang al-Qur’an dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia dan tidak tertinggal di
Indonesia, dengan munculnya Pondok Pesantren Hafidz dimana-mana, dan setiap tahunnya
menghasilkan penghafal-penghafal baru yang terus bertambah setiap tahunnya. Ini semua
adalah salah satu isyarat bahwa Allah senantiasa menjaga al-Qur’an dengan
sungguh-sungguh, dan dengan demikian terbuktilah Allah selalu menjaga kemurnian dan
keotentikan al-Qur’an.
Sejarah Pemeliharaan Kemurnian Al-Qur’an
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah merupakan bangsa yang buta huruf dan amat
sedikit di antara mereka yang mengenal tulis-baca, mereka belum mengenal kertas
sebagaimana sekarang. Perkataan Al Waraq (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti
kertas di masa tersebut hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja.
adapun kata Al Qirthos yang dari padanya terambil kata bahasa Indonesia kertas oleh mereka
hanyalah dipakaikan untuk benda-benda (bahan-bahan) yang dipergunakan untuk menulis
yaitu kayu, tulang binatang, kulit binatang, pelepah kurma dan lain sejenisnya maupun
bebatuan yang tipis. Setelah mereka menaklukan bangsa Persia yaitu setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW barulah mereka mengenal yang namanya kertas, orang persia memberikan
nama kertas dengan “khaqid”, maka dipakailah nama itu untuk kertas oleh bangsa Arab.
Adapun sebelum Nabi maupun ketika Nabi masih hidup kata-kata khaqid tidak ada dalam
pemakaian untuk bahasa Arab maupun Hadist-hadist Nabi, kemudian kata-kata al-qhirtos
itupun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang dinamakan khaqid dalam bahasa
Persia.
Setiap diturunkan ayat al-Qur’an, Nabi selalu menyuruh menghafalnya dan menuliskannya di
IAI Tribakti Kediri Volume 25 Nomor 2 September 2014
Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an… Oleh: Muslimi
bebatuan, kulit binatang, pelepah kurma dan lain sejenisnya, seperti benda-benda tipis yang
dapat ditulisi dan pula Nabi menerangkan akan bagaimana ayat-ayat itu nantinya disusun
dalam sebuah surat, artinya oleh Nabi diterangkan bagaimana ayat-ayat itu mesti disusun
secara tertib urutan ayat-ayatnya, disamping itu juga membuat aturan, yaitu hanya al-Qur’an
sajalah yang diperbolehkan untuk ditulis dan melarang selainnya termasuk Hadist maupun
pelajaran-pelajaran yang keluar dari dari mulut Nabi SAW. Hal ini bertujuan agar apa yang
dituliskan agar apa yang dituliskannya adalah betul-betul al-Qur’an dan tidak tercampur
adukan, dengan yang hanya al-Qur’an betul-betul terjamin kemurniannya. Nabi
menganjurkan supaya al-Qur’an itu dihafalkan di dalam dada masing-masing sahabat dan
diwajibkan pula untuk dibaca pada setiap shalat. Dengan jalan demikian itu maka banyaklah
para sahabat yang mampu menghafal al-Qur’an surat yang satu macam dihafal oleh ribuan
manusia dan banyak yang mampu menghafal al-Qur’an secara keseluruhan. Dalam pada itu
tidak ada satu ayatpun yang tidak tertuliskan. Pada masa perang badar orang-orang Musrykin
yang ditawan oleh Nabi Muhammad SAW, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang,
tetapi pandai menulis dan membaca masing-masing diharuskan mengajar 10 orang Muslim
untuk membaca dan menuis sebagai tebusan. Dengan demikian semakin bertambahlah
keinginan untuk membaca dan menulis juga bertambahlah banyak diantar orang-orang Islam
yang pandai menulis dan membaca. Sementara Nabi sendiri memiliki beberapa orang penulis
wahyu yang dirunkan untuk beiau secara khusus. Diantaranya ialah ; Ali bin Abi Thalib,
Ustman bin Affan, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Muawiyyah bin Abi Shofyan.
Adapun menurut tinjauan Al-Suyuti penyebaran Al-Qur'an ke seluruh dunia hingga ke
Indonesia itu disebabkan terjaganya al-Qur'an dengan cara melalui hafalan dan penulisan baik
itu dalam skala besar maupun kecil. Tradisi hafalan sudah dilakukan pada zaman Nabi
Muhammad SAW seperti yang dilakukan oleh sahabat Nabi di antaranya, Zaid bin Sabit,
Sa'id bin Abi Waqas, Abdullah bin Abi Masud, Ubay bin Ka'ab, Abu Zar al-Ghifari, Muadz
bin Jabal, Abu Musa al-Asyari dan yang lainnya. Tradisi hafalan dilakukan oleh generasi
sahabt sebagai bentuk pemeliharaan pertama dalam menjaga al-Qur'an, hingga melakukan
pemeliharaan bentuk kedua dalam penulisan. Tradisi ini bukanlah kewajiban seorang
individual seorang muslim, hanya saja kesadaran umat muslim agar al-Qur'an tetap terjaga.
Syarat paling utama melakukan hafalan al-Qur'an adalah memenuhi kredibilitas ilmu, sebab
al-Qur'an tidak akan bisa masuk ke dalam diri seseorang apabila masih dalam keadaan bodoh
yang tidak dihiasi dengan ilmu.
Adapun pemeliharaan dengan cara penulisan sudah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad
SAW oleh sebagian para sahabat, tetapi penulisan utuh dilakukan oleh masa Khalifah Abu
Bakar al-Siddiq dan disempurnakan oleh Usman bin Affan. Penulisan sangatlah penting dan
memiliki peran untuk menjadi pemeliharaan keautentisitas al-Qur'an. Pentingnya lagi untuk
zaman sekarang banyak kalangan umat muslim sedikit sekali yang menghafal al-Qur'an
bahkan membacapun masih butuh bimbingan. Menulis al-Qur'an tidak dilarang oleh Nabi,
bahkan Nabi sendiri melarang sahabat-sahabat untuk menulis selain al-Qur'an. Penulisan
al-Qur'an disempurnakan pada masa Usman bin Affan atau dikenal sebagai mushaf imam
atau mushaf Usman yang disirkulasikan dan dipakai diseluruh dunia. Itupun belum
dikategorikan sebagai mushaf yang sempurna bagi paradigma masyarakat non-Arab.
Kemudian setelah terjadi diseminasi Islam diseluruh dunia, mereka yang non-Arab merasa
sangat kesulitan, di satu sisi tidak menghafal al-Qur'an dan disisi lain tidak fasih berbahasa
Arab. Maka Abu al-Aswad al-Duali mengambil inisiator untuk memberikan tanda-tanda baca
dalam al-Qur'an dengan tinta yang berlainan warnanya. Kemudian di masa Khalifah 'Abd
al-Malik bin Marwan, Nasr bin Asim, dan Yahya bin Ya'mar menambahkan tanda-tanda
untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan al-Qur'an untuk
membedakan antara maksud dari titik Abu Aswad al-Duadli dengan titik yang baru. Dari
penjelasan diatas, disimpulkan bahwa pemeliharaan dengan cara penulisan sebagai sikap
yang efisien untuk memelihara autentisitas al-Qur'an. Bagi penghafal al-Quran juga
membutuhkan teks-teks tertulis untuk muraja'ah (mengulang) hafalan, sebab teks atau tulisan
merupakan bentuk empiris.

Kementrian Agama RI, Tafsir dan Terjemahnya, jilid V (Jakarta; Lentera Abadi,2010), 2014.

Anda mungkin juga menyukai