Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH SGD 12

SEMESTER 6 – MODUL TUMBUH KEMBANG, GERIATRI DAN DEGENERATIF

SKENARIO 3

“DELAYED DEVELOPMENTAL”

RIZKATIARANI MIMIJA
71190811031

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA

MEDAN
Lembar Penilaian Makalah

NO Bagian yang Dinilai Skor Nilai

1. Ada makalah 60

2. Keseuaian dengan LO 0 – 10

3. Tata Cara Penulisan 0 – 10

4. Pembahasan Materi 0 – 10

5. Cover dan Penjilidan 0 – 10

TOTAL

NB : LO = Learning Objective

Medan, 20 Maret 2022

Dinilai Oleh :
Tutor

(dr. Atan Bestari, M. Kes.)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dari pelaksanaan SGD (Small
Group Discussion) kami.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kami dalam bidang studi kedokteran yang
menggunakan metode PBL (Problem Based Learning). Laporan ini diharapkan dapat sebagai
bahan acuan untuk mencapai penggunaan metode tersebut secara berkelanjutan. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada tutor kami yang telah membimbing kami selama proses
pembelajaran dan SGD hingga selesain.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
menerima kritik dan saran yang positif dan membangun dari para pembaca untuk
memperbaiki kekurangan dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
untuk kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, 20 Maret 2022

Rizkatiarani Mimija

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Teori-teori perkembangan anak..................................................................................... 3
2.2 Hambatan-hambatan yang dapat terjadi pada setiap fase dari perkembangan anak...... 11
2.3 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak..................................... 13
2.4 Tempat rujukan bagi anak yang mengalami keterlambatan perkembangan.................. 15

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap anak yang lahir pasti mengalami proses tumbuh kembang yang dimulai sejak
dalam kandungan ibu, masa bayi, dan balita hingga akhirnya tumbuh dewasa. Istilah tumbuh
kembang ini mencakup dua peristiwa yang memiliki sifat berbeda, tetapi saling berkaitan dan
tidak terpisahkan, yaitu tumbuh dan kembang. Pertumbuhan (growth) sendiri memiliki arti
perubahan dalam jumlah besar, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang
bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang, dan keseimbangan metabolik.
Perkembangan (developmental) adalah bertambahnya skill dalam struktur dan fungsi tubuh
yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai proses
pematangan.

Setiap tahap proses tumbuh kembang anak memiliki ciri khas tersendiri, jika terdapat
kesalahan atau keterlambatan dalam satu atau dua tahapan akan berdampak pada kehidupan
selanjutnya. Periode paling penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Pada
masa bayi hingga balita anak rentan terhadap segala hal yang dapat menghambat
perkembangannya, baik dari faktor maturitas otak maupun infeksi virus hingga pola
pengasuhan orang tua yang kadang membuat anak tidak berkembang sesuai usianya.

Dari beberapa faktor diatas ditambah dengan kurangnya perhatian atau ketidaktahuan
orang tua terhadap perkembangan anaknya bisa menimbulkan gangguan pada anak. Salah
satu gangguan itu adalah delayed development yaitu dimana anak tidak mampu untuk
mencapai tahap perkembangan sesuai usianya dan sering didefinisikan sebagai keterlambatan
dalam satu atau lebih dari dua tahap perkembangan yang mencakup motorik kasar, motorik
halus, berbicara/berbahasa, kognitif, personal sosial, dan aktivitas sehari-hari.

1
Kasus (Skenario-3) :

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja teori-teori perkembangan anak?
2. Apa saja hambatan-hambatan yang dapat terjadi pada setiap fase dari perkembangan
anak?
3. Apa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak?
4. Dimanakah tempat rujukan bagi anak yang mengalami keterlambatan perkembangan
anak?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang teori-teori perkembangan anak (Teori
psikoseksual, psikososial & kognitif).
2. Mahasiswa mampu menjelaskan hambatan-hambatan yang dapat terjadi pada setiap
fase dari perkembangan anak.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tempat rujukan bagi anak yang mengalami
keterlambatan perkembangan anak.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Teori-teori perkembangan anak


Delay Development adalah keterlambatan tumbuh kembang anak berupa ketertinggalan
secara signifikan pada fisik, kemampuan kognitif, perilaku, emosi, atau perkembangan sosial
seorang anak bila dibandingkan dengan anak normal seusianya. Seorang anak dengan kondisi
tersebut akan tertunda dalam mencapai satu atau lebih perkembangan kemampuannya.
Tumbuh kembang setiap anak tentu berbeda-beda. Ini karena ada beberapa faktor yang
bisa memengaruhi tumbuh kembangnya, seperti faktor biologis (genetik), psikologis,
lingkungan, hingga interaksi beberapa faktor tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan otak terjadi sangat pesat pada usia anak di bawah 2
tahun, pada fase ini disebut dengan periode kritis perkembangan, dan merupakan waktu yang
tepat untuk melakukan terapi bila ada gangguan.

A. Teori psikoseksual
Salah satu teori yang paling terkenal, akan tetapi juga salah satu teori yang
paling kontroversial. Freud percaya kepribadian yang berkembang melalui
serangkaian tahapan masa kanak-kanak di mana mencari kesenangan-energi dari id
menjadi fokus pada area sensitif seksual tertentu. Energi psikoseksual, atau libido ,
digambarkan sebagai kekuatan pendorong di belakang perilaku.
Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk oleh usia lima
tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan
terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari. Jika tahap-tahap psikoseksual selesai
dengan sukses, hasilnya adalah kepribadian yang sehat. Jika masalah tertentu tidak
diselesaikan pada tahap yang tepat, fiksasi dapat terjadi. fiksasi adalah fokus yang
gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan, individu akan
tetap “terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang terpaku pada tahap oral
mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat mencari rangsangan oral
melalui merokok, minum, atau makan.
1. Fase Oral
Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut,
sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat
penting untuk makan, dan bayi berasal kesenangan dari rangsangan oral melalui

3
kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya
tergantung pada pengasuh (yang bertanggung jawab untuk memberi makan anak),
bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi
oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus
menjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini,
Freud percaya individu akan memiliki masalah dengan ketergantungan atau
agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan minum, merokok makan,
atau menggigit kuku.
2. Fase Anal
Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido adalah pada
pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap ini
adalah pelatihan toilet – anak harus belajar untuk mengendalikan kebutuhan
tubuhnya. Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi dan
kemandirian. Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung
pada cara di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet. Orang tua yang
memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang
tepat mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan
produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini menjabat
sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan
kreatif.
Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan dorongan
bahwa anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa orang tua ‘bukan
menghukum, mengejek atau malu seorang anak untuk kecelakaan. Menurut Freud,
respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan hasil negatif. Jika orang tua
mengambil pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan bahwa yang
mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu memiliki, boros
atau merusak kepribadian berantakan. Jika orang tua terlalu ketat atau mulai toilet
training terlalu dini, Freud percaya bahwa kepribadian kuat-anal berkembang di
mana individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.
3. Fase Phalic
Pada tahap phallic , fokus utama dari libido adalah pada alat kelamin.
Anak-anak juga menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Freud juga
percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan untuk
4
ibu kasih sayang itu. Kompleks Oedipus menggambarkan perasaan ini ingin
memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah. Namun, anak juga
kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan ini, takut Freud
disebut pengebirian kecemasan.
Istilah Electra kompleks telah digunakan untuk menggambarkan satu set
sama perasaan yang dialami oleh gadis-gadis muda. Freud, bagaimanapun,
percaya bahwa gadis-gadis bukan iri pengalaman penis.
Akhirnya, anak menyadari mulai mengidentifikasi dengan induk yang
sama-seks sebagai alat vicariously memiliki orang tua lainnya. Untuk anak
perempuan, Namun, Freud percaya bahwa penis iri tidak pernah sepenuhnya
terselesaikan dan bahwa semua wanita tetap agak terpaku pada tahap ini. Psikolog
seperti Karen Horney sengketa teori ini, menyebutnya baik tidak akurat dan
merendahkan perempuan. Sebaliknya, Horney mengusulkan bahwa laki-laki
mengalami perasaan rendah diri karena mereka tidak bisa melahirkan anak-anak.
4. Fase Latent
Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada,
tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial.
Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan
komunikasi dan kepercayaan diri.
Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil.
Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar
banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak selalu disebutkan
dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai suatu periode
terpisah.
5. Fase Genital
Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan
minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Dimana dalam tahap-tahap awal fokus
hanya pada kebutuhan individu, kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh
selama tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai dengan sukses, individu sekarang
harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini adalah untuk
menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan.

B. Teori psikososial

5
Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak dianut
adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi
delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap tergantung
dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah
penting bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan
kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari
masyarakat. Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik
Erikson :
1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan
kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan
mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa
(hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan
mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang
hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil
keuntungan dari dirinya.
2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas
tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk
mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan
yang kasar. Mereka melatih kehendak mereka, tepatnya otonomi. Harapan
idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa
banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi
yang diharapkan.
3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)
Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang
anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat
salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau
mengembangkan harapan- harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati
masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki
tujuan dalam hidupnya.
4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)

6
Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan
dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang
sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah
dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Ketrampilan ego yang diperoleh adalah
kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif
dan tidak mampu mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa
inferior.

5. Tahap V : Identity versus Role Confusion (12-18 tahun)


Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti
orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak ia
dianggap dewasa tetapi di sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini
merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang
seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan
nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi.
6. Tahap VI : Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan
orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan
sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi
krisis ini, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta.
7. Tahap VII : Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan
dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang
dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan.
Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan menciptakan
perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan. Bila individu berhasil
mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah
perhatian.
8. Tahap VIII : Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan
melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa
menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup
yang telah dikejar selama bertahun-tahun. Kegagalan dalam melewati tahapan ini
akan menyebabkan munculnya rasa putus asa.

7
C. Teori kognitif
Teori perkembangan kognitif Piaget menjelaskan bagaimana anak beradaptasi
dengan dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya. Bagaimana
anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi dari objek-objek seperti mainan, perabot, dan
makanan serta objek-objek sosial seperti diri, orangtua dan teman. Bagaimana cara
anak mengelompokan objek-objek untuk mengetahui persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaannya, untuk memahami penyebab terjadinya perubahan dalam
objek-objek dan perisiwa-peristiwa dan untuk membentuk perkiraan tentang objek
dan peristiwa tersebut. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam
menyusun pengetahuannya mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi.
Walaupun proses berfikir dalam konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi
oleh pengalaman dengan dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam
menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui pengalaman, serta dalam
mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia
punya. Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap
atau periode-periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget,
setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invarian,
selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena
tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta adanya
pengorganisasian struktur berfikir. Sebagai seorang yang memperoleh pendidikan
dasar dalam bidang eksakta, yaitu biologis, maka pendekatan dan uraian dari teorinya
terpengaruh aspek biologi.
Teori Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini yang menekankan pada
proses mental. Piaget mengambil perspektif organismik, yang memandang
perkembangan kognitif sebagai produk usaha anak untuk memahami dan bertindak
dalam dunia mereka. Menurut Piaget, bahwa perkembangan kognitif dimulai dengan
kemampuan bawaan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan kemampuan
bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget mengamati bayi-bayi mewarisi reflek-reflek
seperti reflek menghisap. Reflek ini sangat penting dalam bulan-bulan pertama
kehidupan mereka, namun semakin berkurang signifikansinya pada perkembangan
selanjutnya. Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses
yang saling berhubungan, yaitu:
1. Organisasi

8
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk mengintegrasikan
pengetahuan kedalam system-sistem. Dengan kata lain, organisasi adalah system
pengetahuan atau cara berfikir yang disertai dengan pencitraan realitas yang
semakin akurat. Contoh: anak laki-laki yang baru berumur 4 bulan mampu untuk
menatap dan menggenggam objek. Setelah itu dia berusaha mengkombunasikan
dua kegiatan ini (menatap dan menggenggam) dengan menggenggam objek-objek
yang dilihatnya. Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki kecenderungan untuk
membuat struktur kognitif menjadi semakin komplek. Struktur-struktur kognitif
disebut skema. Skema adalah pola prilaku terorganisir yang digunakan seseorang
untuk memikirkan dan melakukan tindakan dalam situasi tertentu. Contoh:
gerakan reflek menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan bibir yang
menimbulkan gerakan menarik.
2. Adaptasi
Merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi baru dengan
mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan
dua langkah, yaitu:
a. Asimilasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk pada peleburan
informasi baru kedalam struktur kognitif yang sudah ada. Seorang individu
dikatakan melakukan proses adaptasi melalui asimilasi, jika individu
tersebut menggabungkan informasi baru yag dia terima kedalam
pengetahuan mereka yang telah ada. Contoh asimilasi kognitif: seorang
anak yang diperlihatkan segi tiga sama sisi, kemudian setelah itu
diperlihatkan segitiga yang lain yaitu siku-siku. Asimilasi terjadi jika si
anak menjawab bahwa segitiga siku-siku yang diperlihatkan adalah
segitiga sama sisi.
b. Akomodasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk pada perubahan
yang terjadi pada sebuah struktur kognitif dalam rangka menampung
informasi baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu menyesuaikan diri
dengan informasi baru. Melalui akomodasi ini, struktur kognitif yang
sudah ada dalam diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan
rangsanganrangsangan dari objeknya. Contoh: si anak bisa menjawab
segitiga siku-siku pada segitiga yang diperlihatkan kedua.
9
3. Ekuilibrasi
Yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk mencari keseimbangan
pada elemen-elemen kognisi. Ekuilibrasi diartikan sebagai kemampuan yang
mengatur dalam diri individu agar ia mampu mempertahankan keseimbangan dan
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Agar terjadSi ekuilibrasi antara diri
dengan lingkungan, maka peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara
terpadu, bersama-sama dan komplementer. Contoh: bayi yang biasanya mendapat
susu dari payudara ibu ataupun botol, kemudian diberi susu dengan gelas tertutup
(untuk latihan minum dari gelas). Ketika bayi menemukan bahwa menyedot air
gelas membutuhkan gerakan mulut dan lidah yang berbeda dari yang biasa
dilakukannya saat menyusu dari ibunya, maka si bayi akan mengakomodasi hal itu
dengan akomodasi skema lama. Dengan melakukan hal itu, maka si bayi telah
melakukan adaptasi terhadap skema menghisap yang ia miliki dalam situasi baru
yaitu gelas. Dengan demikian asimilasi dan akomodasi bekerjasama untuk
menghasilkan ekuilibrium dan pertumbuhan.

Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru
dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan
kognitif. Berdasarkan tingkat perkembangan kognitif Piaget, siswa pada rentang usia
11 – 15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal. Meskipun pada usia
tersebut siswa sudah mampu berfikir logis tanpa kehadiran benda kongkrit, akan
tetapi kemampuan siswa untuk berfikir abstrak masih belum berkembang dengan
baik, sehingga dalam beberapa hal keberadaan alat peraga atau media belajar lainnya
masih dibutuhkan.

10
2.2 Hambatan-
hambatan yang dapat terjadi pada setiap fase dari perkembangan anak
Masalah yang sering timbul dalam pertumbuhan dan perkembangan anak meliputi
gangguan pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, bahasa, emosi, dan perilaku.
1. Gangguan Pertumbuhan Fisik
Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan di atas normal
dan gangguan pertumbuhan di bawah normal. Pemantauan berat badan menggunakan
KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui pola
pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik berat badan anak lebih
dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau kelainan hormonal.
Sedangkan, apabila grafik berat badan di bawah normal kemungkinan anak
mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal.
Lingkar kepala juga menjadi salah satu parameter yang penting dalam
mendeteksi gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Ukuran lingkar kepala

11
menggambarkan isi kepala termasuk otak dan cairan serebrospinal. Lingkar kepala
yang lebih dari normal dapat dijumpai pada anak yang menderita hidrosefalus,
megaensefali, tumor otak ataupun hanya merupakan variasi normal. Sedangkan
apabila lingkar kepala kurang dari normal dapat diduga anak menderita retardasi
mental, malnutrisi kronis ataupun hanya merupakan variasi normal. Deteksi dini
gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran juga perlu dilakukan untuk
mengantisipasi terjadinya gangguan yang lebih berat. Jenis gangguan penglihatan
yang dapat diderita oleh anak antara lain adalah maturitas visual yang terlambat,
gangguan refraksi, juling, nistagmus, ambliopia, buta warna, dan kebutaan akibat
katarak, neuritis optik, glaukoma, dan lain sebagainya. (Soetjiningsih, 2003).
Sedangkan ketulian pada anak dapat dibedakan menjadi tuli konduksi dan tuli
sensorineural. Menurut Hendarmin (2000), tuli pada anak dapat disebabkan karena
faktor prenatal dan postnatal. Faktor prenatal antara lain adalah genetik dan infeksi
TORCH yang terjadi selama kehamilan. Sedangkan faktor postnatal yang sering
mengakibatkan ketulian adalah infeksi bakteri atau virus yang terkait dengan otitis
media.
2. Gangguan Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh beberapa hal.
Salah satu penyebab gangguan perkembangan motorik adalah kelainan tonus otot atau
penyakit neuromuskular. Anak dengan serebral palsi dapat mengalami keterbatasan
perkembangan motorik sebagai akibat spastisitas, athetosis, ataksia, atau hipotonia.
Kelainan sumsum tulang belakang seperti spina bifida juga dapat menyebabkan
keterlambatan perkembangan motorik. Penyakit neuromuscular sepeti muscular
distrofi memperlihatkan keterlambatan dalam kemampuan berjalan. Namun, tidak
selamanya gangguan perkembangan motorik selalu didasari adanya penyakit tersebut.
Faktor lingkungan serta kepribadian anak juga dapat mempengaruhi keterlambatan
dalam perkembangan motorik. Anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk belajar
seperti sering digendong atau diletakkan di baby walker dapat mengalami
keterlambatan dalam mencapai kemampuan motorik.
3. Gangguan Perkembangan Bahasa
Kemampuan bahasa merupakan kombinasi seluruh system perkembangan
anak. Kemampuan berbahasa melibatkan kemapuan motorik, psikologis, emosional,
dan perilaku (Widyastuti, 2008). Gangguan perkembangan bahasa pada anak dapat
diakibatkan berbagai faktor, yaitu adanya faktor genetik, gangguan pendengaran,
12
intelegensia rendah, kurangnya interaksi anak dengan lingkungan, maturasi yang
terlambat, dan faktor keluarga. Selain itu, gangguan bicara juga dapat disebabkan
karena adanya kelainan fisik seperti bibir sumbing dan serebral palsi. Gagap juga
termasuk salah satu gangguan perkembangan bahasa yang dapat disebabkan karena
adanya tekanan dari orang tua agar anak bicara jelas (Soetjingsih, 2003).
4. Gangguan Emosi dan Perilaku
Selama tahap perkembangan, anak juga dapat mengalami berbagai gangguan
yang terkait dengan psikiatri. Kecemasan adalah salah satu gangguan yang muncul
pada anak dan memerlukan suatu intervensi khusus apabila mempengaruh interaksi
sosial dan perkembangan anak. Contoh kecemasan yang dapat dialami anak adalah
fobia sekolah, kecemasan berpisah, fobia sosial, dan kecemasan setelah mengalami
trauma. Gangguan perkembangan pervasif pada anak meliputi autisme serta gangguan
perilaku dan interaksi sosial. Menurut Widyastuti (2008) autism adalah kelainan
neurobiologis yang menunjukkan gangguan komunikasi, interaksi, dan perilaku.
Autisme ditandai dengan terhambatnya perkembangan bahasa, munculnya gerakan-
gerakan aneh seperti berputar-putar, melompat-lompat, atau mengamuk tanpa sebab.

2.3 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak


1. Faktor Prenatal
a. Penyakit metabolic
Diabetes Melitus salah satu penyakit metabolik pada ibu hamil yang
dapat menyebabkan hipoglikemia neonatal pada bayi yang dikaitkan dengan
terjadinya disfungsi neurologis jangka panjang ,disfungsi otak minimal seperti
masalah bahasa dan perilaku, defisit dalam perhatian, kontrol motorik, dan
persepsi.Bayi dari ibu DM cenderung memiliki perkembangan bahasa dan
bicara yang lambat karena kadar glukosa yang terganggu dapat mempengaruhi
memori bayi.
b. Penyakit infeksi
Infeksi rubella di trimester keduadapat menyebabkan sindroma yang
terdiri dari gangguan pendengaran, kelainan mata, kelainan jantung serta
disabilitas sepanjang hayat. Apabila di trimester kedua, dampaknya kecil
sekali mungkin hanya gangguan pada pendengaran, penglihatan, dan secara
tidak langsung memberikan efek pada kemampuan anak dalam berbicara.
c. Preeklampsia eklamsia
13
Preeklampsia dan eklamsia pada kehamilan berdampak pada
terhambatnya perkembangan janindalam kandungan (intrauterine growh
restriction). Hal ini dikarenakan adanya penurunan perfusi dari uteropalsenta,
hipovolomia,vasospasme, dan kerusakan sel endotel pemuluh darah plasenta.
d. Pendarahan selama kehamilan
Pendarahan pada masa kehamilan dapat menyebabkan gangguan
plasenta yang mengantarkan darah ke janin sehingga mengurangi suplai
oksigen dan glukosa ke janin. Hal itu dapat menyebabkan masalah
pertumbuhan dan perkembangan otak.
2. Faktor Perinatal
a. Umur Kehamilan
Usia kelahiran preterm merupakan faktor risiko terjadinya gangguan
perkembangan bahasa pada anak. Hal ini dikarenakan adanya keterlambatan
pada pematangan fisiologis dan neurobiologis kelahiran prematur
mengakibatankan gangguan pada proses plastisitas. Proses plastisitas sangat
aktif pada usia sekitar 36 minggu, maka jika ada gangguan diusia kehamilan
tersebut maka ada gangguan perkembangan yang mencakup gangguan bahasa
dan bicara pada anak. Mereka bisa menderita penyakit Komplikasi parah
akibat usia gestasi dini dan berat lahir rendah.
b. Asfiksianeonatorum
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan dan
teratur segera atau beberapa saat sesudah lahi.Riwayat asfiksia dapat diketahui
dari riwayat lahir tidak langsung bernafas/mengap-mengap, kulit sianosis atau
pucat, denyut jantung <100, dan tonus otot yang melemah. Dampak Asfiksia
dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan kemampuan bahasa anak. Hal ini
akibat dari vasokonstriksi setempat untuk mengurangi aliran darah ke organ
yang kurang vital seperti saluran cerna, ginjal, otot dan kulit menyebabkan
penggunaan oksigen berkurang.
c. BBLR
Anak yang lahir dengan riwayat berat lahir rendah mengalami
gangguan dalam berbicara.hal ini dapat disebabkan karena dismaturitas.
Penyebab dismaturitas adalah setiap keadaan yang mengganggu pertukaran zat
antara ibu dan janin, sehingga menyebabkan kebutuhan oksigen dan glukosa

14
bayi dalam kandungan tidak terpenuhi dengan baik. Pada akhirnya kebutuhan
yang tidak terpenuhi mengakibatkan gangguan perkembangan otak.
3. Faktor Postnatal
a. Kelainan Neurologis
Salah satu kelainan neural adalah cerebral palsy (CP).CP
didefinisikansebagai kelainan postur dan gerakan motorik yang persisten tetapi
tidak progresif. CP berasosiasi dengan keterbatasan fisik, fungsional, kognisi
dan masalah komunikasi.
b. Faktor Kongenital
Kelainan genetik sindroma down, fragile-X Syndrome, sindroma
Angelman dan sindroma lainnya dapat menyebabkan gangguan
perkembangan. Sindroma Down banyak ditemukan di Indonesia. Anak dengan
Sindroma Down dapat mengalami retradasi mental, gangguan motorik serta
gangguan perkembangan bahasa dan bicara.
2.4 Tempat rujukan bagi anak yang mengalami keterlambatan perkembangan
1. Tingkat puskesmas
Pelaksanaan kegiatan DDTK di Puskesmas sebagai berikut :
a. Pelayanan DDTK diberikan waktu balita/anak prasekolah kontak dengan
petugas di puskesmas, adapun pelayanan yang diberikan sebagai berikut :
- Pemeriksaaan kesehatan, pemantauan berat badan dan deteksi dini
tumbuh kembang.
- Menentukan klasifikasi penyakit, keadaan gizi dan penyimpangan
tumbuh kembang.
- Melakukan intervensi/tindakan spesifik, gangguan gizi dan
penyimpangan tumbuh kembang sesuai standar.
- Konseling kepada ibu/pengasuh/keluarga.
b. Pembinaan ke kader posyadu, pendidik PAUD dan satuan PAUD sejenis.
2. Tingkat PAUD
Dalam melaksanakan DDTK di tingkat PAUD, petugas kesehatan dapat berbagi peran
dengan pendidik PAUD terlatih sebagai berikut :
a. Peran Pendidik PAUD :
- Mengisi identitas anak di formulir Deteksi Dini Tumbuh Kembang
Anak
- Melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan
15
- Menuliskan hasil pengukuran dan pemeriksaan perkembangan di
formulir Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak
- Melakukan pemeriksaan perkembangan anak dengan KPSP
- Mengisi Kuesioner Tes Daya Dengar (TDD)
- Melakukan Tes Daya Lihat (TDL)
- Mengisi kuesioner KMPE
b. Peran Petugas Kesehatan
- Menentukan status gizi anak berdasarkan pengukuran tinggi badan,
berat badan yang telah dilakukan oleh tenaga pendidik PAUD
- Melakukan pengukuran lingkar kepala anak
- Melakukan pemeriksaan Autis jika ada keluhan
- Melakukan pemeriksaan GPPH jika ada keluhan
- Menuliskan hasil pemeriksaan tersebut di formulir Deteksi Dini
Tumbuh Kembang Anak
- Melakukan intervensi kelainan gizi dan tumbuh kembang
- Merujuk bila diperlukan

3. Di Tingkat Posyandu
Kegiatan DDTK di tingkat Posyandu dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan
Posyandu. Di Posyandu Petugas kesehatan dan kader posyandu terlatih/terorientasi
buku KIA membagi peran sebagai berikut :
 Mengisi identitas anak di formulir Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak
 Melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan serta menuliskannya
di formulir deteksi dini tumbuh kembang anak
 Melakukan pengamatan kemampuan perkembangan anak dengan
mengunakan check list perkembangan anak di buku KIA apakah
sudah/belum sesuai dengan mengunakan, bila sesuai berikan tanda rumput
(V), bila belum sesuai beri tanda (-).
 Memberikan penyuluhan kepada ibu / keluarga mengenai pentingnya
stimulasi pada anak agar tumbuh kembang optimal.
 Merujuk anak ke meja 5. Pelayanan kesehatan bila :
 Anak sakit
 Anak mengalami permasalahan gizi

16
 Anak dengan kemampuan perkembangan tidak sesuai usia
 Ada indikasi/keluhan dari orang tua anak
4. Peran petugas kesehatan :
 Menentukan status gizi anak berdasarkan pengukuran tinggi badan, berat
badan yang telah dilakukan oleh kader
 Melakukan pengukuran lingkar kepala anak
 Melakukan pemeriksaan perkembangan anak dengan KPSP pada anak
yang kemampuan perkembangan nya tidak sesuai usia
 Melakukan Tes Daya Dengar (TDD)
 Melakukan Tes Daya Lihat (TDL)
 Mengisi Kuesioner KMPE
 Melakukan pemeriksaan Autis jika ada keluhan
 Melakukan pemeriksaan GPPH jika ada keluhan
 Menuliskan hasil pemeriksaan tersebut di formulir Deteksi Dini Tumbuh
Kembang Anak
 Melakukan intervensi kelainan gizi dan tumbuh kembang
 Merujuk bila diperlukan

17
18
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan tumbuh kembang adalah kondisi individu mengalami gangguan kemampuan
bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kelompok usia. (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2016). Gangguan tumbuh kembang adalah kegagalan untuk tumbuh dan berkembang dimana
sebenarnya anak tersebut lahir dengan cukup bulan, akan tetapi dalam pertumbuhan dan
perkembangan selanjutnya mengalami kegagalam dalam pertumbuhan fisik dengan
malnutrisi dan retardasi perkembangan social atau motorik. (Hidayat, 2012).
Salah satu upaya meningkatkan perkembangan bayi adalah dengan pemberian ASI
Eksklusif. Di awal hidupnya, bayi membutuhkan nutrisi adekuat untuk tumbuh kembangnya.
Air Susu Ibu merupakan faktor lingkungan biologis dan kebutuhan asuh yang mengandung
nutrisi terbaik bagi bayi karena ASI mengandung semua zat gizi dengan jumlah dan
komposisi yang ideal serta sifat ASI yang sangat mudah diserap oleh tubuh bayi. Kandungan
laktosa, lemak, protein, garam dan mineral, vitamin, lisozim, antibody dan sel darah putih
pada ASI sangat bermanfaat untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan bayi yang
optimal serta melindungi terhadap berbagai penyakit.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahar, R.W. 2006. Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.


2. Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
3. Gupta, S., Gupta, V., & Ahmed, A. 2016. “Common Developmental Delay in Full-
term Children: A Common Neurological Profile to Aid in Clinical Diagnosis”. Journal
of Clinical Developmental Biology J Clin Dev Biol, 1(2), 1– 8.
https://doi.org/10.21767/2472-1964.100008.
4. Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
5. Ilmiah, K. T., and Sari, I. L. 2015. “Tingkat pengetahuan ibu hamil tentang torch di
uptd puskesmas jayengan surakarta karya tulis ilmiah”.
6. Kim, C. 2010. “Congenital and perinatal cytomegalovirus infection”. Korean Journal
of Pediatrics, 53(1), 14–20. https://doi.org/10.1556/AMicr.58.2011.Suppl.1.
7. Knox V, E. AL. 2002. “Evaluation of the functional effects of a course of Bobath
therapy in children with cerebral palsy: a preliminary study”. Developmental Medicine
& Child Neurology, 44(1986), 447–460.
8. Kementrian Kesehatan RI. 2016. “Stimulasi, Deteksi dan lntervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak”.
9. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif–Progresif, Konsep,
Landasan.dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Jakarta: Kencana Prenada Media Grop.
10. Trianto. 2011. Model-Model Pembelajar Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka

20

Anda mungkin juga menyukai