Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH

ETHICS IN ACCOUNTING PROFESSION

Digunakan untuk memenuhi tugas Kelompok dalam menempuh


Mata Kuliah Corporate Governance

Dosen Pengampu:
Dr. Poppy Nurmayanti, S.E., M.Si., Ak., C.A.

KELOMPOK 4

Me Hua (2110247736)
Ratna Fawzyah (2110247753)
Amelia Annira (2110247654)
Yona Lita (2110247775)
Sitti Fatimah (2110247796)
Dani Pratama (2110247842)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini pada mata kuliah Corporate Governance ini. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Poppy Nurmayanti, S.E., M.Si., Ak., C.A.
selaku dosen mata kuliah Corporate Governance yang telah memberikan tugas makalah
ini sehingga kami dapat memahami.
Dan kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Mengingat keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 01 Juni 2023

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3
A. Pengertian Etika, Profesi Akuntansi, Etika Profesi Akuntansi dan Prinsip Etika Profesi
Akuntansi...............................................................................................................................3
B. Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia.....................................................................8
C. Tujuan, Fungsi, dan Sanksi Kode Etik Profesi Akuntansi....................................................16
D. Aturan/Pedoman Perilaku Profesional.................................................................................17
E. Etika Akuntansi Manajemen................................................................................................27
F. Etika Akuntansi Pajak..........................................................................................................30
G. Tanggung Jawab Akuntan Publik dalam Pencegahan dan Pendekteksian kecurangan
Pelaporan Keuangan............................................................................................................34
H. Kasus Worldcom.................................................................................................................42
BAB III PENUTUP......................................................................................................................46
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................47

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban moral.


Semua pemegang profesi termasuk profesi akuntan dituntut agar menjalankan
profesinya bertanggung jawab dan tidak melanggak hak pihak lain. Profesi akuntan
harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan hasilnya. Dalam menjalankan
profesinya tentu dibutuhkan keahlian dan keahlian itu yang kliennya tidak
memilikinya, sehingga dalam pelayanan professional bisa terjadi suatu hubungan
ketergantungan yang tidak seimbang. Berdasarkan keahliannya, terbuka bagi profesi
mengekploitasi klien. Dari kenyataan bahwa profesi mengandung kemungkinan
penyalahgunaan profesinya maka penjadi penting bahwa profesi tidak dapat
dilepaskan dengan etika. Semua profesi mempunyai organisasi yang menuntut semua
anggota profesi itu menjaga mutu layanan dan melindungi hubungan kepercayaan
dengan klien. Oleh karena itu organisasi profesi itu selalu menentukan standar etis
yang harus dipatuhi oleh semua anggota profesinya.

Etika profesi sebagai sesuatu yang penting, karena merupakan aturan – aturan
khusus yang harus ditaati untuk menjalankan suatu profesi. Etika profesi merupakan
tolak ukur kepercayaan masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap suatu
profesi.

Berkembangnya profesi akuntan telah mendapat banyak pengakuan dari


berbagai kalangan seperti dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat luas. Hal ini
disebabkan karena makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya jasa
akuntan. Kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan ini mengalami tekanan
maka pengaruh signifikan dari keterlibatan etika dalam organisasi sangat diperlukan.
Tanpa etika, profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntansi adalah penyedia
informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Para
pelaku bisnis ini diharapkan mempunyai integritas dan kompetensi yang tinggi
(Abdullah dan Halim, 2002).

Muncul persoalan dalam profesi akuntan, sebenarnya sikap-sikap etis apa yang

1
harus dimiliki oleh profesi akuntan, agar dalam pelayanan kepada klien bisa menjadi
baik, dan pada gilirannya secara makro akan menciptakan pemerintah yang bersih.
Oleh karena itu pembahasan untuk menjawab persoalan tersebut syarat dengan
muatan filosofis terutama pendekatan secara etika.

Namun, belakangan ini etika profesi akuntan menjadi diskusi berkepanjangan


di tengah-tengah masyarakat. Saat ini jamak ditemui adanya akuntan yang bertindak
menyimpang dari peraturan yang ada dan tidak berperilaku etis yaitu melakukan
pemalsuan catatan keuangan, penggelapan, penipuan, distress bank, dan lain-lain.
Secara umum, isu-isu etika dalam akuntansi berkisar pada prinsip-prinsip objektivitas,
independensi, kerahasiaan, integritas, perilaku khusus, kompetensi dan hati-hati.
Beberapa contoh kasus pelanggaran etika di Indonesia antara lain kasus Garuda
Indonesia dan PT Sunprima Nusantara Finance, sedangkan untuk level internasional
ada kasus WorldCom.

Pelanggaran-pelanggaran seakan menjadi titik tolak bagi masyarakat pemakai


jasa profesi akuntan publik untuk menuntut mereka bekerja secara lebih profesional
dengan mengedepankan integritas diri dan profesinya sehingga hasil laporannya
benar-benar adil dan transparan. Hal ini semakin mempengaruhi kepercayaan terhadap
profesi akuntan dan masyarakat semakin menyangsikan komitmen akuntan terhadap
kode etik profesinya. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi atau dapat diatasi apabila
setiap akuntan mempunyai pemahaman, pengetahuan dan menerapkan etika secara
memadai dalam pekerjaan profesionalnya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Etika Profesi Akuntansi?
2. Apakah tujuan Profesi Teknisi Akuntansi?
3. Apa sajakah Prinsip-Prinsip Etika Profesi Akuntansi?

C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, maka dapat di simpulkan tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Etika Profesi Akuntansi

2
2. Untuk mengetahui tujuan dari Etika Profesi Akuntansi
3. Untuk mengetahui Prinsip-prinsip Etika Profesi Akuntansi.

3
BAB
II PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika, Profesi Akuntansi, Etika Profesi Akuntansi dan Prinsip


Etika Profesi Akuntansi
1.1. Etika
Secara etimologis, kata ‘etika’ berasal dari Bahasa Yunani, ethos (jamaknya:
ta etha) yang berarti ‘adat istiadat’, ‘kebiasaan’, atau ‘kelakuan manusia’. Sementara,
kata ‘moralitas’ (dari kata ‘moral’) yang dalam penggunaan sehari-hari sering
dicampuradukkan atau bahkan dipakai sebagai kata dari etika, secara etimolois,
berasal dari Bahasa Latin, mos (jamaknya mores), yang memiliki arti yang sama
dengan pengertian dalam Bahasa Yunani di atas. Dalam pengertian harafiah, etika dan
moralitas sama-sama berarti adat istiadat, kebiasaan, yang dilakukan dalam bentuk
aturan atau norma (baik berupa perintah maupun larangan) tentang bagaimana
manusia harus hidup supaya menjadi manusia yang baik sebagai manusia.
Menurut Bertens (1993; 6-7) dalam Surajiyo (2022) pengertian etika ada tiga
pengertian, yaitu:
1. Etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya jika orang berbicara tentang ‘etika suku-suku Indian’, ‘etika agama
Budha’, ‘etika Protestan’ Secara singkat arti ini bisa dirumuskan sebagai ‘sistem
nilai’.
2. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah
kode etik. Misalnya ’etika Rumah Sakit Indonesia’ Etika Pariwara’. Disini jelas
’etika’ jelas dimaksudkan kode etik.
3. Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika disini sama artinya
dengan filsafat moral. Jadi etika bisa juga diartikan cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan
baik-buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya.
Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan/tingkah laku
yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang
dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Berdasarkan pengertian ketiga tersebut prinsip-prinsip etis yang harus dimiliki

4
oleh profesi akuntan adalah termasuk pengertian etika yang kedua yakni kode etik.
Kata etika memiliki beberapa makna, Webster’s Collegiate Dictionary yang
dikutip oleh Ronald Duska dalam buku Accounting Ethics memberi empat makna
dasar dari kata etika, yaitu:
1) Suatu disiplin terhadap apa yang baik dan buruk dan dengan tugas moral serta
kewajiban;
2) Seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai;
3) Sebuah teori atau sistem atas nilai-nilai moral; dan
4) Prinsip atas pengaturan prilaku suatu individu atau kelompok.
Etika adalah seperangkat aturan/norma/pedoman yang mengatur perilaku
manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh
sekelompok/ segolongan manusia masyarakat/ profesi.

1.2. Profesi Akuntansi


Profesi akuntansi merupakan sebuah profesi yang menyediakan jasa atestasi
maupun non atestasi kepada masyarakat dengan dibatasi kode etik yang ada. Profesi
akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang
akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja
pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah,
dan akuntan sebagai pendidik.

1.3. Etika Profesi Akuntansi


Profesi merupakan bagian dari pekerjaan, namun tidak setiap pekerjaan adalah
profesi. Sebagai contoh, seorang petugas staf administrasi tidak masuk dalam
golongan profesi karena untuk bekerja sebagai staf administrasi seseorang bisa berasal
dari berbagai latar belakang pendidikan, pengetahuan dan pengalaman, namun tidak
demikian halnya dengan akuntan, pengacara, dokter yang membutuhkan pendidikan
khusus sesuai dengan bidangnya dan memiliki pengalaman kerja beberapa tahun.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang
berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian,
sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang
diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu
penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara

5
teori dan penerapan dalam praktek.
Profesi merupakan bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, di mana
keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi
tiga aspek, yaitu ilmu pengetahuan tertentu, aplikasi kemampuan/kecakapan dan
berkaitan dengan kepentingan umum.
Dari beberapa uraian mengenai profesi di atas, dapat diberikan beberapa
catatan tentang profesi sebagai berikut:
a. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang mengandalkan ketrampilan atau keahlian
khusus yang tidak didapatkan pada pekerjaan-pekerjaan pada umumnya.
b. Profesi merupakan su atu pekerjaan yang dilakukan sebagai sumber utama nafkah
hidup dengan keterlibatan pribadi yang mendalam dalam menekuninya.
c. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pengemban profesi tersebut
untuk terus memperbaharui ketrampilannya sesuai perkembangan teknologi.
Kemudian, dari berbagai pengalaman tentang profesi, tercatat dua hal tentang
profesi khusus yang dibedakan dari prefesi-profesi pada umumnya. Dua yang
dianggap sebagai profesi khusus tersebut adalah profesi yang melibatkan hajat hidup
orang banyak dan profesi yang merupakan profesi luhur dan menekankan pengabdian.
Semua profesi termasuk profesi akuntan mempunyai organisasi profesi. Untuk
akuntan di Indonesia adalah Ikatan Akuntan Indonesia. Organisasi profesi ini biasanya
merumuskan kode etiknya. Dengan demikian etika profesi secara singkat dapat
dirumuskan sebagai cabang dari etika yang secara kritis dan sistematis merefleksikan
permasalahan moral yang melekat pada suatu profesi. Etika profesi juga dapat
diartikan nilai-nilai dan asas-asas moral yang melekat pada pelaksanaan fungsi
profesional tertentu dan wajib diperhatikan oleh pemegang profesi tersebut.
Etika profesi akuntansi yaitu suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan
baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia terhadap
pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penugasan terhadap suatu pengetahuan
khusus sebagai akuntan.

1.4. Prinsip Etika Profesi Akuntansi


Menurut Keraf (1993; 49-50), prinsip-prinsip etika profesi antara lain:
1. Tanggung Jawab
Setiap orang penyandang profesi tertentu harus memiliki rasa tanggung
jawab terhadap profesi, hasil dan dampaknya yang ditimbuilkan tersebut terapat
6
dua arti:
 Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan atau fungsinya (by function),
artinya keputusan yang diambil dan hasil dari pekerjaan tersebut harus baik serta
dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan standard profesi, efisien dan efektif.
 Tanggung jawab terhadap dampak atau akibat dari tindakan dari pelaskanaan
profesi (by profession) tersebut terhadap dirinya, rekan kerja dan profesi,
organisasi/perusahaan dan masyarakat umum lainnya, serta keputusan atau hasil
pekerjaan tersebut dapat memberikan manfaat dan berguna yang baik bagi dirinya
atau pihak lainnya. Prinsipnya, sebagai professional harus berbuat yang baik
(beneficence) dan tidak untuk berbuat sesuatu kejahatan (non maleficence).
2. Kebebasan.
Para profesional memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya tanpa
merasa takut atau ragu-ragu, tetapi tetap memiliki komitmen dan bertanggung
jawab dalam batas-batas aturan main yang telah ditentukan oleh kode etik sebagai
standar perilaku profesional.
3. Kejujuran.
Jujur dan setia serta merasa terhormat pada profesi yang disandangnya,
mengakui akan kelemahannya dan tidak menyombongkan diri, serta berupaya
terus untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan bidang keahlian
dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman.
4. Keadilan.
Dalam menjalankan profesinya, maka setiap profesional memiliki
kewajiban dan tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap hak atau
mengganggu milik orang lain, lembaga atau organisasi, hingga mencemarkan
nama baik bangsa dan negara. Disamping itu harus menghargai hak-hak, menjaga
kehormatan nama baik, martabat dan milik bagi pihak lain agar tercipta saling
menghormati dan keadilan secara obyektif dalam kehidupan masyarakat.
5. Otonomi.
Dalam prinsip ini, seorang profesional memiliki kebebasan secara otonom
dalam menjalankan profesinya sesuai dengan keahlian, pengetahuan dan
kemampuannya, organisasi dan departemen yang dipimpinnya itu melakukan
kegiatan operasional atau kerja yang terbebas dari campur tangan pihak lain. Apa
pun yang dilakukannya itu adalah merupakan konsekuensi dari tanggung jawab

7
profesi, kebebasan, otonom merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki bagi
setiap profesional.
Menurut Chua dkk (1994) menyatakan bahwa etika profesional juga berkaitan
dengan perilaku moral yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan
untuk profesi tertentu. Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada
masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip
moral dan mengatur tentang perilaku profesional (Agoes, 1996). Tanpa etika, profesi
akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntansi adalah penyedia informasi untuk
proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis.
Etika profesi akuntansi adalah ilmu yang mempelajari perilaku baik dan
buruknya seorang akuntan. Aturan perilaku etika profesi akuntansi yang perlu
kalian ketahui dalam memenuhi tanggung jawab profesionalitasnya terangkum
dalam kode etik Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI).
IFAC sebagai asosiasi profesi akuntan internasional, melalui salah satu
badannya yaitu International Accounting Education Standards Board (IAESB),
menerbitkan kode etik akuntan yang bernama “Code of Ethics for Professional
Accountans”. Kode etik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2008 sebagai
bagian dalam Handbook of International Standards on Auditing, Assurance, and
Ethics Pronouncements,kemudian kode etik ini mengalami revisi pada tahun 2009 dan
terakhir pada tahun 2010.
Code of Ethics for Professional Accountants terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Prinsip Dasar
2. Penerapan Prinsip Dasar Dalam Public Practice
3. Penerapan Prinsip Dasar Dalam Bisnis
Prinsip dasar dalam Code of Ethics for Professional Accountants adalah
sebagai berikut:
1) Integrity.
Prinsip Integrity mewajibkan semua kauntan profesional untuk jujur dalam
segala hubungan bisnis dan professional
2) Objectivity.
Prinsip Objectivity mewajibkan semua akuntan profesional untuk menjaga
profesionalitas mereka dengan menghindari konflik kepentingan dan bias.
3) Professional Competence and Due Care.
Prinsip Professional Competence and Due Care mewajibkan semua akuntan
8
profesional untuk:
 Menjaga kompetensi pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan
bahwa klien atau pemberi kerja menerima jasa profesional yang kompeten.
 Bertindak sesuai dengan standar teknis dan profesional dalam memberi
jasa
4) Confidentiality.
Prinsip Confidentiality mewajibkan semua akuntan profesional untuk tidak:
 Mengungkapkan kepada pihak luar, informasi yang bersifat rahasia yang
diperoleh dalam proses pemberian jasanya, kecuali terdapat hak atau
kewajiban hukum atau profesional untuk mengungkapkannya.
 Menggunakan informasi rahasia tersebut untuk kepentingan pribadi atau
keuntungan pihak ketiga
5) Professional Behavior.
Prinsip Professional Behavior mewajibkan semua akuntan profesional untuk
taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menghindari tindakan
yang dapat mendiskreditkan profesi akuntan.

B. Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia


(1) Prinsip Pertama - Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap
anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional
dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat.
Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada
semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung
jawab untuk bekerja sarna dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi
akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab
profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan
untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

(2) Prinsip Kedua - Kepentingan Publik


Dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit,
pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan
pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam

9
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Kepentingan utama profesi
akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan
dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang
diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat
dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan
publik kepadanya, anggota harus menunjukkan dedikasi untuk mencapai
profesionalisme yang tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan
integritas setinggi mungkin.
1. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung-jawab kepada
publik. Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di
mana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit,
pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan
pihak lainnya bergantung kepacla obyektivitas dan integritas akuntan dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini
menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik.
Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan
institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini
menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya
mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
2. Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan
terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan
bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh. Kepentingan utama profesi
akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa
akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan
persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.
3. Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin
menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang
berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, anggota harus bertindak
dengan penuh integritas, dengan suatu keyakinan bahwa apabila anggota
memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa
terlayani dengan sebaik-baiknya.
4. Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota
untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas,
10
keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik. Anggota
diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa
yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan
tingkat profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.
5. Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik.
Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara
terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme
yang tinggi.
6. Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan klien individual atau pemberi kerja. Dalam melaksanakan tugasnya
seorang akuntan harus mengikuti standar profesi yang dititik-beratkan pada
kepentingan publik, misalnya:
 auditor independen membantu memelihara integritas dan efisiensi dari laporan
keuangan yang disajikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung
pemberian pinjaman dan kepada pemegang saham untuk memperoleh modal;
 eksekutif keuangan bekerja di berbagai bidang akuntansi manajemen dalam
organisasi dan memberikan kontribusi terhadap efisiensi dan efektivitas dari
penggunaan sumber daya organisasi;
 auditor intern memberikan keyakinan tentang sistem pengendalian internal
yang baik untuk meningkatkan keandalan informasi keuangan dari pemberi
kerja kepada pihak luar.
 ahli pajak membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta penerapan
yang adil dari sistem pajak; dan
 konsultan manajemen mempunyai tanggung-jawab terhadap kepentingan
umum dalam membantu pembuatan keputusan manajemen yang baik.

(3) Prinsip Ketiga - Intergritas


Integritas mengharuskan seorang anggota untuk bersikap jujur dan berterus
terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan
kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas
dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang
jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota

11
harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi
mungkin.
1. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan
profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik
dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua
keputusan yang diambilnya.
2. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur
dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa.
Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan
pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan
perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau
peniadaan prinsip.
3. Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak
terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat
yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya
dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang
berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas
dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun
jiwa standar teknis dan etika.
4. Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas
dan kehati-hatian profesional.

(4) Prinsip Keempat - Obyektivitas


Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak
memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari
benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota dalam praktek
publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota
yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan
jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di
industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih
orangorang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya,
anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan
12
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
1. Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil,
tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta
bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.
2. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus
menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam
praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi
manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai
seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas
keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan.
Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam
profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas
pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
3. Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan
dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang
cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor berikut:
a. Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan
mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini
dapat mengganggu obyektivitasnya.
b. Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi
di mana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran
(reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar untuk
mengindentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat merusak
obyektivitas anggota.
c. Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh
lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
d. Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang
terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.
e. Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entertainment
yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap
pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang
berhubungan dengan mereka. Anggota harus menghindari situasi-situasi

13
yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda.

(5) Prinsip Kelima - Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional


Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhatihati,
kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan ketrampilan. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian
dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang
memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan
kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau
perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada
pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk
menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman
dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus
dipenuhinya.
1. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung
jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung
arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa
profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, derni
kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi
kepada publik.
2. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota
seyogyanya tidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau pengalaman
yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan dalam semua
tanggung-jawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya untuk mencapai
tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa kualitas jasa yang
diberikan memenuhi tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh
Prinsip Etika. Kompetensi Profesional dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase yang
terpisah:
a. Pencapaian Kompetensi Profesional. Pencapaian kompetensi profesional
pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti
oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-
subyek yang relevan, dan pengalaman kerja. Hal ini harus menjadi pola
pengembangan yang normal untuk anggota.
b. Pemeliharaan Kompetensi Profesional.
14
 Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk
belajar dan melakukan peningkatan profesional secara
berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.
 Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk
terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi, termasuk di
antaranya pernyataan-pernyataan akuntansi, auditing dan peraturan
lainnya, baik nasional maupun internasional yang relevan.
 Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk
memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional
yang konsisten dengan standar nasional dan internasional.
3. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu
tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota
untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal
penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota
wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang
lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung-jawab untuk menentukan
kompetensi masing-masing atau menilai apakah pendidikan, pengalaman dan
pertimbangan yang diperlukan memadai untuk tanggung-jawab yang harus
dipenuhinya.
4. Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima
jasa dan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab
untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan
mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.
5. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan
mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi
tanggung-jawabnya.
(6) Prinsip Keenam - Kerahasiaan
Setiap Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan
informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional
yang diberikannya, anggota bisa saja mengungkapkan kerahasiaan bila ada hak
atau kewajiban professional atau hukum yang mengungkapkannya. Kewajiban
kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau
pemberi jasa berakhir.

15
1. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi
tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang
diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan
antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir.
2. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah
diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk
mengungkapkan informasi.
3. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah
pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya
menghormati prinsip kerahasiaan.
4. Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi.
Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama
melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan
informasi terse but untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
5. Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten tang penerima
jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak
boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure)
kepada orang lain. Hal ini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi
dengan tujuan memenuhi tanggung-jawab anggota berdasarkan standar
profesional.
6. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang
berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan
mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai
keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional
dapat atau perlu diungkapkan. Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan sejauh mana informasi rahasia dapat
diungkapkan.
a. Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk mengungkapkan
diberikan oleh penerima jasa, kepentingan semua pihak termasuk pihak
ketiga yang kepentingannya dapat terpengaruh harus dipertimbangkan.
b. Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di mana anggota
diharuskan oleh hukum untuk mengungkapkan informasi rahasia adalah:
 Untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam proses
hukum; dan
16
 Untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada publik.
c. Ketika ada kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan:
 Untuk mematuhi standar teknis dan aturan etika; pengungkapan seperti
itu tidak bertentangan dengan prinsip etika ini;
 Untuk melindungi kepentingan profesional anggota dalam sidang
pengadilan;
 Untuk menaati peneleahan mutu (atau penelaahan sejawat) IAI atau
badan profesionallainnya;.dan . untuk menanggapi permintaan atau
investigasi oleh IAI atau badan pengatur.

(7) Prinsip Ketujuh - Perilaku Profesional


Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi
yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi:
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus
dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung-jawabnya kepada penerima
jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

(8) Prinsip Kedelapan - Standar Teknis


Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan
standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan
dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip
integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah standar
yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of
Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

C. Tujuan, Fungsi, dan Sanksi Kode Etik Profesi Akuntansi


2.1. Tujuan
Dalam dunia lembaga akuntansi, seorang akuntan profesional harus memiliki
Etika Profesi Akuntansi. Tujuan dari kode etik profesi akuntansi ini diantaranya
adalah:
 Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.

17
 Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
 Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
 Untuk meningkatkan mutu profesi.
 Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
 Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
 Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi
 Menentukan baku standar

2.2. Fungsi
Fungsi dari etika profesi Akuntansi adalah sebagai berikut:
 Sebagai sarana dalam memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan
berbagai moralitas yang membingungkan;
 Etika profesi akuntansi yang ingin menampilkan berbagai ketrampilan intelektual
yaitu ketrampilan dalam berargumentasi secara rasional dan kritis; dan
 Orientasi secara etis ini sangat diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam
menghadapi suasana dan situasi pluralisme.
2.3. Sanksi
Sanksi pelanggaran dari etika profesi akuntansi :
 Sanksi Sosial adalah sanksi dengan skala yang relatif kecil, dapat dipahami
sebagai kesalahan yang tentu saja dapat “dimaafkan”.
 Sanksi Hukum adalah sanksi dengan skala besar, banyak merugikan hak dari
pihak lain.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pelanggaran etika profesi Akuntansi
adalah sebagai berikut:
 Kebutuhan dari setiap individu;
 Sama sekali tidak memiliki Pedoman;
 Perilaku dan kebiasaan dari para individu yang terakumulasi dan sama sekali tidak
dikoreksi;
 Lingkungan yang tidak mendukung dan tidak etis; dan
 Perilaku dari komunitas.

D. Aturan/Pedoman Perilaku Profesional


American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) yaitu suatu
18
organisasi profesional dalam bidang akuntansi publik yang keanggotaannya hanya
bagi akuntan publik terdaftar (certified public accountants) saja. Organisasi ini
menetapkan standar etika profesi dan standar audit AS untuk perusahaan swasta,
organisasi nirlaba, pemerintah federal, negara bagian, dan daerah.
Pendirian AICPA menjadikan akuntansi sebagai suatu profesi yang istimewa
karena persyaratan pendidikan yang ketat, standar profesional yang tinggi, kode etik
profesional yang tegas, dan komitmen untuk melayani kepentingan publik.
Anggaran dasar dari AICPA mengharuskan anggotanya mematuhi
aturan/pedoman perilaku profesional dan siap untuk menjustifikasi
penyimpangannya. Jika anggota melanggar aturan, maka harus tunduk kepada
disiplin/ketentuan AICPA. Aturan/pedoman perilaku professional akuntan tersebut
terbagi menjadi lima:
(1) Independensi, Integritas, dan Objektivitas (100)
a. Independensi (101)
Aturan ini berbunyi “A member in public practice shall be independent in
the performance of professional services as required by standards promulgated
by bodies designated by Council”. Dalam peraturan tidak disebutkan seperti apa
yang merupakan independensi, namun sebaliknya disebutkan apa saja yang
menjadi ancaman dari independensi itu sendiri. Independensi terganggu jika
transaksi, minat, atau hubungan berikut terjadi:
1) Selama periode perikatan profesional, seorang anggota (AICPA):
a) Memiliki atau berkomitmen untuk memperoleh keuntungan finansial baik
secara langsung atau tidak langsung dari klien;
b) Merupakan wali amanat atau pelaksana atau administrator dari setiap
harta kekayaan klien;
c) Memiliki investasi bersama yang material dengan klien; dan
d) Memiliki pinjaman apa pun kepada atau dari klien, pejabat atau direktur
klien, atau individu yang memiliki 10 persen atau lebih sekuritas ekuitas
klien yang beredar atau kepentingan kepemilikan lainnya.
2) Selama periode perikatan profesional, mitra atau karyawan profesional firma,
keluarga dekatnya, atau kelompok orang seperti itu yang bertindak bersama-
sama memiliki lebih dari 5 persen dari sekuritas ekuitas klien yang beredar
atau kepentingan kepemilikan lainnya.

19
3) Selama periode laporan keuangan atau selama periode perikatan profesional,
firma, atau mitra atau karyawan profesional dari perusahaan secara bersamaan
dikaitkan dengan klien sebagai:
a) Direktur, pejabat, atau karyawan, atau dalam kapasitas apa pun yang
setara dengan anggota manajemen;
b) Promotor, penjamin emisi, atau wali pemungutan suara; atau
c) Wali amanat untuk pensiun atau kepercayaan berbagi keuntungan dari
klien.
Keterikatan di atas tidak hanya dapat membahayakan independensi
akuntan, tetapi juga dapat membahayakan integritas dan objektivitas akuntan
dengan menciptakan konflik kepentingan yang nyata atau yang dianggap sebagai
konflik kepentingan, subjek yang dibahas dalam aturan berikutnya.

b. Integritas dan Objektivitas (102)


Adalah aturan pemerintah dalam etika akuntansi: “In the performance of
any professional service, a member shall maintain objectivity and integrity, shall
be free of conflicts of interest, and shall not knowingly misrepresent facts or
subordinate his or her judgment to others”.
Integritas, berdasarkan kode, didefinisikan sebagai berikut: “Integrity is an
element of character fundamental to professional recognition. It is the quality
from which the public trust derives and the benchmark against which a member
must ultimately test all decisions… [It] requires a member to be, among other
things, honest and candid within the constraints of client confidentiality. Service
and the public trust should not be subordinated to personal gain and advantage…
[It] is measured in terms of what is right and just”.
Lebih lanjut, kode etik memaksa akuntan untuk tidak memihak, jujur
secara intelektual, dan bebas dari konflik kepentingan. Sedangkan objektivitas
adalah kemampuan untuk mundur sebagai pengamat pihak ketiga, untuk
mengesampingkan kepentingan pribadi dan menilai suatu masalah dengan
kemampuan sendiri. Kejujuran intelektual memungkinkan untuk melihat
permasalahan dari seluruh perspektif.
1) Misspresentation (102-1)
Aturan 102-1 melarang dengan sengaja, karena mengetahui kekeliruan
penyajian fakta. Representasi yang keliru adalah kebohongan dan tidak etis.
20
Aturan ini melarang auditor dari salah merepresentasikan laporan keuangan,
akuntan pajak dari salah merepresentasikan pendapatan atau aset, dan akuntan
manajemen dari salah merepresentasikan persediaan.

2) Conflicts of interest (102-2)


Aturan 102-2 menjelaskan konflik kepentingan sebagai situasi di mana
hubungan tertentu merusak objektivitas. Konflik kepentingan dapat terjadi jika
seorang anggota melakukan jasa profesional untuk klien atau pemberi kerja
dan anggota atau firmanya memiliki hubungan dengan orang, entitas, produk,
atau layanan lain yang dapat, menurut penilaian profesional anggota,
dipandang oleh klien, pemberi kerja, atau pihak lain dapat merusak
objektivitas anggota. Contoh: Seorang anggota merekomendasikan kepada
klien perusahaan jasa, dimana anggota tersebut memiliki kepentingan materi
keuangan (memiliki saham).
3) Obligations to e xternal a ccountants (102-3)
Aturan 102-3 menyebutkan kewajiban seorang anggota kepada akuntan
eksternal kliennya, mengharuskan anggota untuk “terus terang dan tidak
dengan sengaja menyajikan fakta yang salah atau dengan sengaja gagal
mengungkapkan fakta material. Oleh karena itu, jika ada penyimpangan,
kewajiban akuntan adalah memberitahukannya
4) Subordination of judgment (102-4)
Dalam Aturan 102-4, kode tersebut melarang anggota untuk
mengesampinhkan penilaian kepada supervisor mereka. Dibutuhkan
keberanian dan pengendalian diri untuk tidak setuju dengan seorang pengawas.
Namun demikian, tidak etis untuk mewakili situasi keuangan perusahaan
dengan cara yang diinginkan oleh supervisor jika penilaian terbaik akuntan
menunjukkan bahwa representasi tersebut tidak akurat atau menyesatkan.
Akuntan harus menggunakan penelitian dan konsultasi untuk menentukan
apakah pendekatan supervisor dapat diterima di bawah audit yang berlaku
umum atau praktik akuntansi.

(2) Standar Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (200)


a. Bagian pertama dari aturan (201) ini adalah berbunyi “A member shall

21
comply with the following standards and with any interpretations thereof by
bodies designated by Council.” Standar tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kompetensi profesional. Seorang auditor hanya memberikan layanan
profesional, sesuai yang diharapkan anggota/perusahaan, yang
diselesaikan sesuai dengan kompetensi profesional; 2) Kecermatan
profesional. Mengutamakan kehati-hatian dalam kinerja layanan
profesional.
2) Perencanaan dan Pengawasan. Rencanakan dan awasi secara memadai
kinerja layanan profesional.
3) Data Relevan yang Memadai. Dapatkan data relevan yang cukup untuk
memberikan dasar yang masuk akal untuk kesimpulan atau rekomendasi
terkait dengan layanan profesional yang dilakukan.
b. Aturan 202 berbunyi, “A member who performs auditing, review,
compilation, management consulting, tax, or other professional services shall
comply with standards promulgated by bodies designated by Council”.
Beberapa badan menentukan standar teknis, The Financial Accounting
Standards Board (FSAB) menetapkan prinsip keuangan untuk entitas
pemerintah federal. The Governmental Accounting Standards Board (GASB)
berwenang menetapkan standar akuntansi keuangan dan pelaporan untuk
kegiatan dan transaksi pemerintah negara bagian dan local. AICPA mengakui
Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) sebagai badan yang
menetapkan standar yang berkaitan dengan persiapan dan penerbitan laporan
audit untuk entitas dalam yuridiksinya. AICPA menetapkan International
Accounting Standards Board (IASB) untuk menetapkan standar profesional
untuk prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan internasional.
c. Aturan terakhir dari bagian 200 berkaitan dengan prinsip-prinsip akuntansi
yang berterima umum, anggota tidak boleh:
1) menyatakan pendapat atau menyatakan secara tegas bahwa laporan
keuangan atau data keuangan lainnya dari entitas mana pun disajikan
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum; atau
2) menyatakan bahwa dia tidak mengetahui adanya modifikasi material yang
harus dilakukan untuk itu pernyataan atau data agar sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum, jika pernyataan atau data tersebut
mengandung penyimpangan dari prinsip akuntansi yang diumumkan oleh
22
badan-badan yang ditunjuk oleh Dewan untuk menetapkan prinsip-prinsip
tersebut yang memiliki dampak material pada pernyataan atau data
diambil secara keseluruhan
(3) Tanggung Jawab kepada Klien (300)
Tanggung akuntan jawab kepada Klien yaitu:
a. Informasi rahasia Klien (301)
Seorang anggota dalam praktik publik tidak boleh mengungkapkan
informasi rahasia klien tanpa persetujuan khusus dari klien. Seorang akuntan
dapat dibebaskan dari kewajiban kerahasiaan dalam keadaan tertentu. Akuntan
harus mematuhi, misalnya, untuk "panggilan pengadilan atau panggilan yang
dikeluarkan secara sah dan dapat dilaksanakan", dan tidak boleh melarang
peninjauan praktik profesional anggota.
b. Biaya Kontinjensi (302)
Dalam aturan ini AICPA melarang anggota untuk menerima biaya yang
bergantung pada audit atau peninjauan laporan keuangan, atau kompilasi laporan
yang akan digunakan oleh pihak ketiga yang tidak mengungkapkan kurangnya
independensi. Oleh karena itu, akuntan yang terlibat dalam "pembelanjaan opini,"
atau menjamin bahwa audit mereka akan membuat perusahaan terlihat bagus -
tidak peduli seberapa halus mereka memasarkan aktivitas ini - melanggar aturan
302. Aturan tersebut juga melarang menyiapkan pengembalian pajak asli atau
yang diubah untuk biaya kontingen.
Definisi biaya kontinjensi berdasarkan kode ini yaitu “biaya yang
ditetapkan untuk pelaksanaan layanan apa pun berdasarkan pengaturan di mana
tidak ada biaya yang akan dikenakan kecuali jika hasil atau temuan yang
ditentukan tercapai, atau di mana Jumlah biaya sebaliknya tergantung pada temuan
atau hasil dari layanan tersebut." Biaya yang ditetapkan oleh otoritas publik tidak
dianggap bergantung di area ini.

(4) Tanggung Jawab kepada Rekan Kerja (400)


Bagian berikutnya dari kode (400) disediakan untuk tanggung jawab
akuntan kepada rekan kerja. Sementara kode profesi lain menasihati sesama
profesional untuk mendorong, membantu, dan membimbing satu sama lain, dan
mereka menggambarkan tanggung jawab pemolisian diri, kode AICPA saat ini

23
belum mengatur terkait hal tersebut. Menurut William Keenan, manajer teknis
komite etika profesional AICPA, “Saat ini tidak ada apa pun yang dapat
dimasukkan dalam Bagian 400. Saya yakin bagian itu disediakan untuk membahas
kemungkinan aturan dan interpretasi di masa depan yang berhubungan dengan
tanggung jawab kepada rekan kerja, tetapi tidak ada apa-apa saat ini dan
sepengetahuan saya tidak ada apa pun yang telah dikeluarkan di masa lalu dalam
bentuk draf paparan keanggotaan.”
Meskipun Bagian 400 tetap kosong, jelas ada kalanya akuntan harus
mengevaluasi tanggung jawab mereka kepada rekan kerja mereka, bagaimana
menangani situasi di mana akuntan lain melakukan tindakan ilegal atau tidak etis
dalam menjalankan pekerjaan mereka, misalnya. Akuntan juga harus
mempertimbangkan tanggung jawab mereka kepada profesional lain dalam
kelompok perencanaan keuangan multidisiplin di mana mereka berpartisipasi.
Sepanjang perjalanan buku ini, kita akan membahas isu-isu spesifik yang muncul.

(5) Tanggung Jawab Lainnya dan Praktiknya (500)


Bagian terakhir dari kode merinci tanggung jawab dan praktik akuntan
lainnya.
a. Bertindak mendiskreditkan (501)
Seorang anggota tidak boleh melakukan tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesi. Interpretasi aturan ini membahas kapan dan sejauh mana
permintaan catatan oleh klien dan mantan klien harus dihormati. Singkatnya,
klien berhak menerima catatan yang disediakan klien, catatan klien yang
disiapkan oleh anggota, atau catatan pendukung.
Akuntan dapat “membebankan biaya yang wajar kepada klien untuk
waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mengambil dan menyalin catatan
tersebut dan mengharuskan biaya tersebut dibayarkan sebelum waktu catatan
tersebut diberikan kepada klien; menyediakan catatan yang diminta dalam format
apa pun yang dapat digunakan oleh klien; dan membuat dan menyimpan salinan
dari setiap catatan yang dikembalikan atau diberikan kepada klien. Akuntan tidak
berkewajiban mengembalikan kertas kerja yang merupakan milik akuntan.
Aturan tersebut kemudian mencantumkan jenis tindakan mendiskreditkan
berikut:
 diskriminasi dan pelecehan dalam praktik ketenagakerjaan;
24
 kegagalan untuk mengikuti standar dan/atau prosedur atau persyaratan lain
dalam audit pemerintah;
 kelalaian dalam penyusunan laporan atau catatan keuangan;
 kegagalan untuk mengikuti persyaratan atau badan pemerintah, komisi, atau
badan pengatur lainnya;
 ajakan atau pengungkapan pertanyaan atau jawaban pemeriksaan CPA;
 kegagalan untuk mengajukan pengembalian pajak atau membayar kewajiban
pajak; dan
 kegagalan untuk mengikuti persyaratan badan pemerintah, komisi, atau badan
pengatur lainnya tentang ganti rugi dan pembatasan ketentuan kewajiban
sehubungan dengan audit dan jasa atestasi lainnya other.
Aturan 501 juga mencatat bahwa jika undang-undang dan peraturan
negara memberlakukan kewajiban yang lebih besar dari ketentuan dalam
interpretasi ini, akuntan harus mematuhi undang-undang dan peraturan tersebut.

b. Iklan dan bentuk ajakan lainnya (502)


Aturan 502 melarang anggota dalam praktik publik untuk mendapatkan
klien dengan iklan atau bentuk ajakan lainnya dengan cara yang salah,
menyesatkan, atau menipu. Permohonan dengan menggunakan paksaan,
melampaui batas, atau perilaku melecehkan dilarang. Menurut kode tersebut,
kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang:
 Ciptakan harapan yang salah atau tidak berdasar atas hasil yang
menguntungkan;
 Menyiratkan kemampuan untuk mempengaruhi pengadilan, tribunal, badan
pengatur, atau badan atau pejabat serupa;
 Berisi representasi bahwa jasa profesional tertentu pada periode saat ini atau
masa depan akan dilakukan dengan biaya tertentu, perkiraan biaya atau kisaran
biaya ketika kemungkinan besar pada saat representasi bahwa biaya tersebut
akan meningkat secara substansial dan calon klien telah tidak disarankan
kemungkinan itu; dan
 Berisi representasi lain yang mungkin menyebabkan orang yang bisa salah
paham atau tertipu.

25
c. Komisi dan Biaya Rujukan (503)
Seorang anggota dalam praktik publik tidak boleh untuk memperoleh
komisi karena merekomendasikan atau merujuk klien ke produk atau layanan apa
pun, atau untuk komisi merekomendasikan atau merujuk produk atau layanan apa
pun yang akan dipasok oleh klien, atau menerima komisi, ketika anggota atau
anggota perusahaan juga melakukan untuk klien itu.
Bagian ini menimbulkan masalah bagi akuntan yang melakukan
perencanaan keuangan untuk klien mereka. Mengingat bahwa seorang akuntan
akrab dengan urusan keuangan klien, dikatakan, adalah bijaksana bagi akuntan
untuk melakukan jasa perencanaan keuangan, asalkan, tentu saja, bahwa akuntan
terlatih dan memiliki kompetensi untuk menawarkan layanan tersebut. Karena
layanan ini sering kali melibatkan produk perantara untuk mendapatkan komisi,
tampaknya wajar jika akuntan berhak mendapatkan komisi atas penjualan produk
tersebut.
Di bagian standar pengungkapan untuk komisi yang diizinkan, kode
tersebut mengakui potensi konflik kepentingan yang dapat dihasilkan oleh
penjualan berbasis komisi:
Seorang anggota dalam praktik publik yang tidak dilarang oleh aturan ini
dari melakukan layanan untuk atau menerima komisi dan yang dibayar atau
mengharapkan untuk dibayar komisi harus mengungkapkan fakta itu kepada
orang atau badan mana pun kepada siapa anggota tersebut merekomendasikan
atau merujuk produk atau layanan yang terkait dengan komisi.
Aturan 503 juga membahas biaya rujukan:
Setiap anggota yang menerima biaya rujukan untuk merekomendasikan
atau merujuk layanan CPA apa pun kepada orang atau entitas mana pun atau yang
membayar biaya rujukan untuk mendapatkan klien harus mengungkapkan
penerimaan atau pembayaran tersebut kepada klien. Singkatnya, jika seorang
akuntan menerima komisi atau biaya rujukan, dia berkewajiban untuk
mengungkapkan fakta itu kepada klien.

d. Aturan 505 – Bentuk organisasi


Aturan umum dari aturan akhir kode (Aturan 504 telah dihapus)
sederhana:
 Seorang anggota dapat mempraktekkan akuntan publik hanya dalam bentuk
26
organisasi yang diizinkan oleh undang-undang atau peraturan yang
karakteristiknya sesuai dengan resolusi Dewan.
 Seorang anggota tidak boleh mempraktekkan akuntan publik dengan nama
perusahaan yang menyesatkan. Nama satu atau lebih pemilik masa lalu dapat
dimasukkan dalam nama perusahaan dari organisasi penerus.
 Sebuah perusahaan tidak boleh menunjuk dirinya sebagai "Anggota American
Institute of Certified Public Accountants" kecuali semua pemilik CPA adalah
anggota dari Institut.
Namun demikian, ada dua penerapan aturan ini yang rumit: permohonan
kepada anggota yang memiliki bisnis terpisah dan penerapan pada praktik
alternatif. Untuk anggota yang, baik secara individu atau kolektif, memiliki bisnis
terpisah, semua prinsip dan aturan dalam kode AICPA berlaku untuk anggota.
Apakah mereka berlaku untuk perusahaan itu sendiri dalam hal rujukan
tergantung pada komposisi perusahaan.
Berkenaan dengan praktik alternatif, kode tersebut mensyaratkan, sebagai
berikut:
a. Bahwa sebagian besar kepentingan keuangan dalam perusahaan yang
bergerak dalam jasa atestasi (sebagaimana didefinisikan di dalamnya)
dimiliki oleh CPA. Dalam konteks struktur praktik alternatif (APS) di
mana (1) mayoritas kepentingan keuangan di perusahaan atestasi dimiliki
oleh CPA dan (2) semua atau secara substansial semua pendapatan
dibayarkan kepada entitas lain sebagai imbalan atas jasa dan sewa
karyawan, peralatan, dan ruang kantor, timbul pertanyaan tentang
penerapan aturan 505.
b. Fokus utama dari Resolusi adalah bahwa CPA tetap bertanggung jawab,
secara finansial dan sebaliknya, untuk pekerjaan atestasi yang dilakukan
untuk melindungi kepentingan publik. Resolusi berisi banyak persyaratan
yang dikembangkan untuk memastikan tanggungjawab itu. Selain
ketentuan Resolusi, persyaratan lain dari Kode Etik Profesional dan
anggaran rumah tangga memastikan bahwa tanggung jawab:
a. Kepatuhan terhadap semua aspek hukum atau peraturan negara bagian
yang berlaku;
b. Pendaftaran di AICPA - program pemantauan praktik yang disetujui;

27
c. Kepatuhan terhadap aturan independensi yang ditentukan oleh Aturan 101,
Independensi; dan
d. Kepatuhan terhadap standar yang berlaku yang diumumkan oleh Dewan -
badan yang ditunjuk dan semua ketentuan lain dari Kode, termasuk ET
pasal 91, Keberlakuan. Diambil dalam konteks semua perlindungan
kepentingan publik yang disebutkan di atas, jika CPA yang memiliki
perusahaan atestasi tetap bertanggung jawab secara finansial, berdasarkan
hukum atau peraturan yang berlaku, anggota tersebut dianggap mematuhi
ketentuan kepentingan keuangan dari Resolusi

E. Etika Akuntansi Manajemen


4.1. Etika Dalam Akuntansi Manajemen
Akuntansi manajemen adalah disiplin ilmu yang berkenaan dengan
penggunaan informasi akuntansi oleh para manajemen dan pihak-pihak internal
lainnya untuk keperluan penghitungan biaya produk, perencanaan, pengendalian dan
evaluasi, serta pengambilan keputusan.

ISB (The Independence Standards Board) menjelaskan tanggung jawab


manajemen, termasuk akuntan manajemen dan akuntan keuangan, sebagai berikut:
“Manajemen bertanggungjawab atas laporan keuangan, termasuk bertanggungjawab
atas pilihan metode akutansi dan judgment dalam penyajian laporan keuangan.
Tanggungjawab ini tidak bisa dialihkan kepada siapapun”
Standards of Ethical Conduct for Practitioners of Management Accounting
and Financial Management, yang merupakan bagian dari Institute of Management
Accountants’ Code of Ethics, mendeskripsikan cakupan tanggungjawab sebagai
berikut:
“Praktisi akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan memiliki tanggungjawab
kepada publik, kepada profesi, kepada organisasi yang dilayaninya, dan kepada
dirinya sendiri, untuk menjaga standard tertinggi dari etika profesi”
Kebiasaaan beretika adalah sangat penting dalam menjalankan perekonomian
kita telah memicu berbagai perubahan peraturan dan permintaan perundang-undangan
baru. Dalam perekonomian yang baru, digital, dan berbasis kepercayaan, kepentingan
sangat dijunjung tinggi. Kejujuran perusahaan, yang diwujudkan dalam merek dan
reputasi, meningkatkan kepercayaan pelanggan, karyawan dan investor. Ikatan
28
Akuntan Manajemen (Institute of Management Accountant– IMA) di Amerika Serikat
telah mengembangkan kode etik yang disebut Standar Kode Etik untuk Praktisi
Akuntan Manajemen dan Manajemen Keuangan (Standards of Ethical Conduct for
Practitioners of Management Accounting and Financial Management).

4.2. Standar Etika Akuntan Manajemen


Standar Kode Etik untuk praktisi Akuntan Manajemen dan Manajemen
Keuangan dibagi menjadi dua bagian:
a. Berisi tuntunan untuk berperilaku etis, singkatnya akuntan manajemen memiliki
etika tanggung jawab dalam empat bidang, yaitu:
1) Mempertahankan kompetensi professional.
2) Menjaga kerahasiaan hal-hal yang sensitif.
3) Mempertahankan integritas.
4) Menjaga objektivitas dalam semua pengungkapan.
b. Berisi panduan khusus bagaimana cara seseorang mencari bukti perilaku tidak etis
dalam organisasi. Apabila kode etik tidak dipatuhi maka mengakibatkan bisnis
terganggu.
Etika akuntan manajemen dan akuntan keuangan mencakup empat
standard sebagai berikut:
1) Kompetensi (Competence)
Akuntan manajemen harus menjaga pengetahuan dan keterampilan pada tingkat
yang tepat; mengikuti hukum, aturan, dan standard teknis; dan menyajikan laporan
secara jelas dan lengkap berdasarkan informasi yang terpercaya dan relevan, yang
telah dianalisis secara memadai
2) Kerahasiaan (Confidentiality)
Akuntan manajemen harus mencegah pengungkapan informasi rahasia, kecuali
dituntut oleh kewajiban legal untuk mengungkapkannya.
3) Kejujuran (Integrity)
Akuntan manajemen harus menghindari konflik kepentingan, baik yang bersifat
nyata maupun tidak nyata (actual or apparent), dan juga menghindari aktivitas
yang bisa meragukan kemampuannya dalam melaksanakan tanggungjawab etika.
4) Obyektivitas Akuntan Manajemen (Objectivity of Management Accountant)
Inti dari standar kode etik adalah objektivitas, yang menuntut akuntan manajemen

29
untuk “mengkomunikasikan informasi secara wajar (fairly) dan secara objektif
(objectively), dan juga untuk mengungkap secara penuh seluruh informasi relevan
yang dipandang dapat mempengaruhi pemahaman pengguna informasi atas
laporan, komentar, serta rekomendasi yang disajikannya.

4.3. Whistle Blowing (Pelaporan Tindakan Tidak Etis/Kecurangan)


Whistle blowing merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan baik yang dilakukan oleh
perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilaporkan ini bisa saja
atasan yang lebih tinggi ataupun masyarakat luas.
Whistle Blowing terbagi dalam dua macam, yaitu
a. Whistle blowing internal
Hal ini terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan mengetahui
kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian
melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi,
Contohnya: Kecurangan yang dilakukan karyawan lain dalam memanipulasi
laporan keuangan perusahaan demi kepentingan pribadi. Motivasi utama dari
whistle blowing ini adalah: demi mencegah kerugian bagi perusahaan tersebut,
karena hal tersebut sangat sensitif maka untuk mengamankan posisinya, karyawan
pelapor perlu melakukanbeberapa langkah pencegahan, antara lain:
1) Mencari cara yang paling cocok dalam penyampaian tanpa harus menyinggung
perasaan sesama karyawan atau atasan yang ditegur.
2) Anda perlu mencari dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sebagai
pegangan konkret untuk menguatkan posisinya, kalau perlu disertai dengan
saksi-saksi kuat.
b. Whistle blowing eksternal
Whistle Blowing ini menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui
kecurangan yang dilakukan perusahaannnya lalu membocorkannya kepada
masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat.
Contohnya: Adanya pembuangan limbah yang dilakukan perusahaan atau pabrik
ke pemukiman masyarakat, sehingga membahayakan kesehatan warga. Motivasi
utamanya adalah mencegah kerugian bagi masyarakat atau konsumen. Pekerja ini
mempunyai motivasi moral untuk membela kepentingan konsumen karena dia
sadar semua konsumen adalah manusia yang sama dengan dirinya dan karena itu
30
tidak boleh dirugikan hanya demi memperoleh keuntungan.
Kondisi-kondisi yang mendorong perlunya whistle blowing:
a. The proper motivation (motivasi yang tepat). Whistle blowing harus dilakukan
dengan tujuan moralitas yang tepat, bukan untuk tujuan persaingan atau balas
dendam.
b. The proper evidence (bukti yang tepat). Didasarkan pada bukti –bukti yang kuat
tentang adanya pelanggaran etika.
c. The proper analysis (analisis yang tepat). Hanya dilakukan setelah dilakukan
analisis secara cermat tentang kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggaran etika.
d. The proper channel (saluran yang tepat). Harus dicari saluran komunikasi internal
yang tepat sebelum menginformasikan ke publik. Sedapat mungkin pelanggaran
moral dan etika terselesaikan secara internal.
Persayaratan lain whistle blowing (Simon, Powers, dan Gunneman)
a. Terdapat kebutuhan (need), misalnya karena pelanggaran etika/moral tidak
kunjung teratasi;
b. Kemampuan (capability). Memiliki kemampuan untuk menyelamatkan keadaan;
c. Kedekatan (proximity). Pelanggaran etika moral terjadi di lingkungan terdekat
dengan tanggungjawabnya;
d. Orang terakhir (last resort). Menjadi satu-satunya orang yang tahu dan memiliki
kemampuan untuk menjadi whistle-blowing; dan
Kemungkinan keberhasilan (likelihood of success).Whistle-blower harus
berpotensi sukses, jika tidak ada harapan memunculkan tekanan masyarakat,
institusi, dan pemerintah, maka whilstleblower akan menjadi sia-sia.

F. Etika Akuntansi Pajak


Akuntan pajak mempunyai beberapa tanggung-jawab kepada publik, melalui
pemerintah. Tanggung jawab akuntan pajak adalah bukan untuk suatu kepalsuan
dalam suatu ewajiban pajak, dan sebagai attestor, suatu kewajiban pajak adalah suatu
pernyataan/deklarasi atas sangsi dari kecurangan, dan informasi dari hasil menyajikan
laporan keuangan adalah benar, dan lengkap.
Dalam Laporan Keuangan AICPA itu dari Responsibility Tax Preparers
(SRTP) dalam kewajibann Pajak Memposisikan 5.05 dan 5.06:
 5.05. "Sistem perpajakan penilaian diri sendiri dapat berfungsi secara efektif jika

31
wajib pajak melaporkan hasil mereka di suatu kewajiban pajak yang benar,
mengoreksi, dan melengkapi. Suatu kewajiban pajak adalah suatu laporan wajib
pajak fakta-fakta, dan wajib pajak mempunyai tanggung jawab akhir untuk posisi-
posisi menerima imbal hasil.”
 5.06. "CPAS menetapakn bentuk cukai atas sistem perpajakan seperti juga kepada
klien-klien mereka. Kedudukan kuat bahwa wajib pajak tidak memiliki kewajiban
untuk membayar lebih banyak pajak dibanding dengan menurut hukum
berhutang, dan CPA mempunyai suatu cukai kepada klien itu untuk membantu
dalam mencapai target."

5.1. Statements on Standards for Tax Services (SSTS)


Statements on Standards for Tax Services (SSTS) merupakan pertimbangan
etika umum yang mendasari standar yang dibuat oleh Tax Executive Committee of the
AICPA. Ada 6 (enam) standar yang ditunjukkan dalam SSTS, yaitu:
a. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi kecuali ada
kemungkinan realistik untuk kebaikan yang berkelanjutan;
b. Seorang akuntan pajak tidak boleh membuat atau menandatangani return jika ini
berada dalam posisi yang tidak boleh disarankan menurut point 1;
c. Seorang akuntan pajak dapat menyarankan sebuah posisi yang menurutnya tidak
ceroboh selama ini bisa didisklosur;
d. Seorang akuntan pajak berkewajiban untuk menasehati klien tentang potensi
hukuman di beberapa posisi, dan menyarankan disklosur;
e. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi yang
“mengeksploitasi” proses seleksi audit IRS atau; dan
f. Dilarang bertindak sekadar dalam posisi “membantah”.
Menurut standar ini, dikatakan tidak etis bila mengkapitulasi permintaan klien
untuk mengurangi liabilitas pajak klien sebenarnya, karena ketika menandatangani
return, anda berarti menyatakan bahwa return adalah benar, tepat, dan lengkap. Bila
menandatanganinya berarti maka anda terlibat kebohongan.
Akuntan dan perusahaan akuntansi perlu mengetahui tanggungjawabnya pada
masyarakat besar. Akuntan dan perusahaannya perlu tegas, karena
profesionalismenya, untuk mengikuti jalur etika. Bantuan yang sering digunakan
adalah nilai moral personal dan standar plus sebuah kultur dalam perusahaan yang
melarang pelanggaran nilai etika dalam mencapai tujuan organisasi–sebuah filosofi
32
manajemen kuat yang mempertegas tindakan etika dan komunikasi jelas dari perilaku
etika. Dalam situasi ini, bahkan ketika menyebabkan kerugian klien, akuntan tetap
akan melakukan apa yang benar.
Ancaman kehilangan lisensi akibat tindakan tidak beretika adalah sebuah
faktor, tapi ini bukanlah faktor primer.
Beberapa tantangan untuk etika akuntansi perpajakan, berikut ini adalah yang
termasuk peringkat atas:
a. kompleksitas dan perubahan sifat dari hukum pajak;
b. keterbatasan waktu untuk praktek;
c. pengetahuan tentang hukum pajak yang kompleks;
d. tekanan dari klien untuk mengurangi liabilitas pajak;
e. dan kurangnya pemahaman klien terkait tanggungjawab profesional dan potensi
hukuman dari akuntan baik bagi praktisi pajak dan pembayar pajak.
Berikut isi dari Statements on Standards for Tax Services (SSTS) bagi akuntan
pajak:
 Pernyataan Standar No.1. Standar kemungkinan realistik:
“Secara umum, anggota memiliki keyakinan bahwa posisi return pajak yang
disarankan memiliki sebuah kemungkinan realistik untuk berlanjut secara
administratif atau judisial”, untuk mengkapitulasi kebutuhan perusahaannya”.
 Pernyataan No.2: Pernyataan ini bukanlah yang problematik dan
mengemukakan:
“Seorang anggota membuat upaya wajar untuk memperoleh informasi dari
pembayar pajak untuk memberikan jawaban pada semua pertanyaan tentang
return pajak sebelum memberikan tanda tangan sebagai preparer”.
 Pernyataan No.3. Kewajiban untuk memeriksa atau memverifikasi data yang
mendukung:
Seorang preparer dapat menggunakan keyakinan klien yang bagus untuk
memberikan informasi akurat dalam membuat sebuah return pajak, tapi “tidak
mengabaikan implikasi informasi yang dibuat dan harus membuat penelitian
wajar jika informasi menjadi tidak tepat, tidak lengkap atau tidak konsisten”
(SSTS). Di sini, kewajiban untuk sistem pajak menjadi jelas.
Preparer akan menandatangani pernyataan yang menguji bahwa informasi yang
terkandung menjadi benar, tepat, dan lengkap menurut pengetahuan preparer.

33
Konsekuensinya, jika preparer menyimpulkan bahwa karena
ketidakkonsistensinya, informasi menjadi tidak tepat atau lengkap, preparer
berkewajiban untuk tidak menandatangani return.
 Pernyataan No.4. Gunakan estimasi:
Ini bukan standar non-problematik. Preparer menggunakan estimasi pembayar
pajak jika ini tidak berpengaruh praktikal dalam memperoleh data dan jika
preparer menentukan bahwa estimasinya sudah beralasan, yang didasarkan
pengetahuan preparer.
 Pernyataan No.5. Berawal dari sebuah posisi sebelumnya:
Ini adalah sebuah standar teknis. “Seperti yang ditunjukkan dalam SSTS No.1,
Tax Return Positions, anggota bisa merekomendasikan sebuah posisi return pajak
atau mempersiapkan atau menandatangani return pajak yang berawal dari
perlakuan sebuah item yang disimpulkan dalam urusan administratif atau
keputusan pengadilan terkait return sebelumnya dari pembayar pajak”.
 Pernyataan No.6. Pengetahuan keliru:
Apa yang perlu dilakukan ketika preparer menjadi sadar akan kekeliruan dalam
pengembalian pajak pembayar pajak sebelumnya? Anggota harus “memberitahu
pembayar pajak” dan “merekomendasikan ukuran korektif yang perlu diambil”
(SSTS). Jika dalam mempersiapkan return tahun sekarang, preparer menemukan
bahwa pembayar pajak tidak mengambil tindakan tepat untuk membenarkan
errornya dari tahun sebelumnya, preparer perlu memutuskan apakah perlu
melanjutkan hubungan dengan pembayar pajak. Penarikan diri ini bisa terjadi
jika pembayar pajak tidak mau membenarkan error, dan jika error ini memiliki
efek terhadap return.
 Pernyataan No.7. Pengetahuan tentang error: urusan administratif:
Jika dalam urusan administratif, preparer menemukan error, preparer harus
“meminta persetujuan pembayar pajak untuk mendisklosur error tersebut kepada
otoritas pajak. Bila tidak ada persetujuan, anggota harus mempertimbangkan
penarikan diri dari representasi pembayar pajak dalam urusan administratif”.
 Pernyataan No.8. Bentuk dan Isi dari advis untuk pembayar pajak:
Pernyataan ini tidak menggambarkan bentuk atau isi advis karena kisaran advis
begitu ekstensif dan spesifik menurut kebutuhan setiap pembayar pajak. Apa yang
disarankan adalah bahwa advis ini mencerminkan kompetensi profesional dan
memenuhi kebutuhan pembayar pajak.
34
5.2. Tax Shelter/ Tax Planning
Pengertian tax sheltering yang merupakan tax planning menurut US Congress
(1999), adalah pengaturan sedemikian rupa untuk menghindari pengenaan pajak
dengan membuat keuntungan ekonomi tanpa adanya kerugian dan risiko ekonomi.
Menurut American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), tax sheltering
tidak mempunyai tujuan bisnis, namun hanya untuk penghindaran pajak yang sesuai
dengan peraturan pajak. Contoh dari tax sheltering adalah penggunaan Special Legal
Vehicles atau SPV (Special Purpose Vehicle) untuk mengalihkan penghasilan dan
mempunyai perusahaan yang ada di tax heaven country.
Crenshaw dalam artikelnya memberikan empat alasan mengapa tax shelter ini
muncul:
1. Ada upaya manajemen korporat untuk mencari cara baru guna mengendalikan
biaya bisnis, dan karena tidak mampu menaikkan harganya, perusahaan mulai
mencari cara untuk memotong pajaknya yang dianggap sebagai biaya.
2. Bertambahnya kerumitan dalam aturan pajak dan dunia keuangan, realita ekonomi
akan terhambat – atau berkurangnya realita tersebut – dalam serangkaian
transaksi.
3. Persepsi antar bank investasi dan lainnya bahwa memimpikan dan mengemas
produk pajak “adalah sebuah lini bisnis yang sukses”, seperti yang dikatakan
William J. Wilkins dari Wilmer, Cutler & Pickering, dan salah seorang anggota
dari divisi pajak dari American Bar Association. (Divisi pajak ini, yang tidak
berbicara sebagai wakil ABA, berisi pengacara yang khusus dalam urusan pajak).
4. Resiko rendah. Bukan hanya sulit bagi IRS untuk mendeteksi shelter, tapi
hukumannya cenderung ringan dan tidak selalu diberikan. Jika shelter ditemukan
dan dilarang, perusahaan akan menghutang pajak yan gseharusnya dibayar,
ditambah bunga. “Ini seperti deal finansial yang bagus”, kata John E. Chapoton,
mantan Assistant Treasury Secretary dan anggota divisi pajak ABA, yang
meminta disclosure perusahaan untuk menghambat shelter.

G. Tanggung Jawab Akuntan Publik dalam Pencegahan dan Pendekteksian


kecurangan Pelaporan Keuangan

1. Pengertian Fraudulent financial reportin

35
Pngertian Fraudulent financial reporting menurut Arens (2005 : 310)
adalah sebagai berikut :

Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts


or disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial
reporting involve the intentional  misstatement of amounts not disclosures. For
example, worldcom is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that
should have been expensed. Omission of amounts are less common, but a company
can overstate income by omittingaccount payable and other liabilities.Although less
frequent, several notable  cases of fraudulent financial reporting involved adequate
disclosure. For example, a central issue in the enron case was whether the company
had adequately disclosed obligations to affiliates known as specialm purpose
entities. 

2. Penyebab Fraudulent Financial Reporting 

Menurut Ferdian & Na’im (2006), kecurangan dalam laporan keuangan


dapat menyangkut tindakan yang disajikan berikut ini  :

1. Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen


pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.
2. Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan, peristiwa,
transaksi, atau informasi signifikan.
3. Salah penerapan secara senngaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan  jumlah,
klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.

Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara


manajemen perusahaan dengan akuntan publik. Salah satu upaya untuk mencegah
timbulnya kolusi tersebut, yaitu perlunya perputaran (rotasi) akuntan publik dalam
melakukan general  audit suatu perusahaan.

Carcello (2004) dalam artikelnya yang berjudul ” Audit firm tenure and
fraudulent financial reporting ”, menyatakan  : 

The Sarbanes-Oxley Act (U.S. House of Representatives 2002) required the U.S.
Comptroller General to study the potential effects of requiring mandatory audit
36
firm rotation. The U.S. General Accounting Office (GAO) concludes in its recently
released study of mandatory audit firm rotation that “mandatory audit firm
rotation may not be the most efficient way to strengthen auditor independence”
(GAO 2003, Highlights). However, the GAO also suggests that mandatory audit
firm rotation could be necessary if the Sarbanes-Oxley Act’s requirements do not
lead to improved audit quality (GAO 2003, 5). 

Berdasarkan hasil penelitian  COSO (1999)  yang berjudul “Fraudulent


Financial Reporting : 1987 – 1997, An Analysis of U.S. Public Company”, atas
perusahaan yang listing di Securities Exchange Commission (SEC) selama periode
Januari 1987 s.d. Desember 1997 ( 11 tahun) dapat disimpulkan bahwa
teridentifikasi sejumlah 300 perusahaan yang terdapat fraudulent financial
reporting. Hasil analisa  perusahaan yang terkategori fraudulent financial
reporting memiliki karakteristik yaitu mengalami permasalahan bidang keuangan
(experiencing financial distress), lax oversight dan terdapat fraud dengan jumah
uang yang besar (Ongoing, large-dollar frauds). Beberapa perusahaan yang
termasuk kasus / skandal Fraudulent Financial Reporting antara lain Enron, Tyco,
Adelphia dan WorldCom. 

3. Tanggung Jawab Akuntan Publik (Auditor Independen) 


1. Statement Auditing Standards 

Beberapa Statements on Auditing Standards (SAS)  yang dikeluarkan oleh


Auditing Standards Board (ASB) di Amerika Serikat yang cukup penting adalah:

a. SAS No. 53 tentang “The Auditor’s Responsibility to Detect and Report


Errors and Irregularities,”  yaitu mengatur tanggung jawab auditor untuk
mendeteksi dan melaporkan adanya  kesalahan (error) dan
ketidakberesan (irregularities).
b. SAS No. 55 tentang “Consideration of Internal Control in a Financial
Statement Audit,” yang merubah tanggung jawab  auditor mengenai
internal control. Statement yang baru ini meminta agar auditor untuk
merancang pemahaman tentang pengendalian intern yang memadai
(internal control sufficient) dalam merencanakan audit. SAS No. 55

37
kemudian diperbaharui dengan diterbitkan SAS No. 78 pada tahun 1997,
dengan mencantumkan definisi ulang pengendalian intern (redefined
internal control) dengan memasukkan dua komponen yaitu lingkungan
pengendalian (control environment) dan penilaian risiko (risk assessment)
yang merupakan usulan dari the Treadway Commission.
c. SAS No. 61 mengatur tentang komunikasi antara auditor dengan komite
audit perusahaan (Communication with Audit Committees). Auditor harus
mengkomunikasikan dengan komite audit atas beberapa temuan audit
yang penting, misalnya kebijakan akuntansi (accounting policy)
perusahaan yang signifikan,  judgments, estimasi akuntansi (accounting
estimates), dan ketidaksepakatan manajemen dengan auditor.
d. SAS No. 82 “Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit”
dikeluarkan ASB pada Februari 1997. SAS no. 82 menyatakan bahwa
auditor harus bertanggung jawab untuk mendeteksi dan melaporkan
adanya kecurangan (fraud) yang terjadi dalam laporan keuangan yang
disusun oleh manajemen. Selaij itu, SAS no. 82 juga menyatakan bahwa
setiap melakukan audit auditor harus menilai risiko (assessment of risk) 
kemungkinan terdapat salah saji  material (material misstatement) pada
laporan keuangan yang disebabkan oleh fraud.  
e. SAS No. 99 “Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit”
f. merupakan revisi dari SAS No. 82 dan mulai diberlakukan efektif untuk
audit laporan keuangan setelah tanggal 15 Desember 2002, penerapan
lebih awal sangat dianjurkan. Auditor bertanggungjawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit guna mendapatkan keyakinan
memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan bebas dari
salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan (error) maupun
kecurangan (fraud).

Pengaruh SAS No. 99 terhadap tanggung jawab auditor antara lain :

 Tidak ada perubahan atas tanggung jawab auditor untuk mendeteksi


fraud atas audit laporan keuangan.
 Tidak ada perubahan atas kewajiban auditor untuk
mengkomunikasikan temuan atas fraud.

38
 Terdapat perubahan penting terhadap prosedur audit (audit procedure) 
serta dokumentasi yang harus dilakukan oleh auditor atas audit laporan
keuangan.

Dua  tipe salah saji (misstatements) yang relevan dengan  tanggung


jawab auditor, yaitu salah saji yang diakibatkan oleh fraudulent financial
reporting dan salah saji yang diakibatkan oleh penyalahgunaan asset
(misappropriation of assets).SAS No. 99 juga menegaskan agar  auditor
independen memiliki integritas  (integrity) serta menggunakan kemahiran
professional (professional skepticism)  melalui penilaian secara kritis
(critical assessment) terhadap bukti audit (audit evidence) yang
dikumpulkan.

g. SAS No. 110 “Fraud & Error” dinyatakan bahwa auditor harus dapat
mendeteksi terhadap kesalahan material (material mistatement)  dalam
laporan keuangan yang ditimbulkan oleh kecurangan atau  kesalahan
(fraud or error).  SAS 110 , paragraf 14 & 18 berbunyi sbb. :

“Auditors plan, perform and evaluate their audit work in order to have a
reasonable expectation of detecting material misstatements in the
financial statements arising from error or fraud. However, an audit
cannot be expected to detect all errors or instances of fraudulent or
dishonest conduct. The likelihood of detecting errors is higher than that
of detecting fraud, since fraud is usually accompanied by acts specifically
designed to conceal its existence…”  

2. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) 

Profesi akuntan publik (auditor independen)  memiliki tangggung jawab


yang sangat besar dalam mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya
oleh masyarakat (publik). Terdapat 3 (tiga) tanggung jawab akuntan publik
dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu :

a. Tanggung jawab moral (moral responsibility).

39
Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab moral untuk :

1. Memberi informasi secara lengkap dan jujur mengenai perusahaan yang


diaudit kepada pihak yng berwenang atas informasi tersebut, walaupun
tidak ada sanksi terhadap tindakannya.
2. Mengambil keputusan yang bijaksana dan obyektif (objective) dengan
kemahiran profesional (due professional care).
b. Tanggung jawab profesional (professional responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab profesional terhadap asosiasi


profesi yang mewadahinya (rule professional conduct).

c. Tanggung jawab hukum (legal responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab diluar batas standar profesinya
yaitu tanggung jawab terkait dengan hukum yang berlaku.Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
dalam Standar Auditing Seksi 110, mengatur tentang “Tanggung Jawab dan
Fungsi Auditor Independen”. Pada  paragraf 2, standar tersebut antara lain
dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan
melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah
laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik
kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan
mutlak. Bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab
untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan
bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau
kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.  

4. Pencegahan & Pendeteksian Fraud  

Fraudulent financial reporting di suatu perusahaan merupakan hal yang


akan berpengaruh besar terhadap semua pihak yang mendasarkan keputusannya
atas informasi dalam laporan keuangan  (financial statement) tersebut. Oleh karena
itu akuntan publik harus bisa menccegah dan mendeteksi lebih dini agar tidak
terjadi fraud. Untuk mengetahui adanya fraud, biasanya ditunjukkan oleh
40
timbulnya gejala-gejala (symptoms) berupa red flag (fraud indicators), misalnya
perilaku tidak etis manajemen. Red   flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus
kecurangan (fraud) yang terjadi.

Hasil penelitian Wilopo (2006) membuktikan serta mendukung hipotesis


yang menyatakan bahwa perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan
kecurangan akuntansi dapat diturunkan dengan meningkatkan kefektifan
pengendalian internal, ketaatan aturan akuntansi, moralitas manajemen, serta
menghilangkan asimetri informasi. Hasil penelitian Wilopo tersebut juga 
menunjukkan bahwa  dalam upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen
dan kecenderungan kecurangan akuntansi memerlukan usaha yang menyeluruh,
tidak secara partial. Menurut Wilopo, upaya menghilangkan perilaku tidak etis
manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi, antara lain :

 Mengefektifkan pengendalian internal, termasuk penegakan hukum.


 Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian.
 Pelaksanaan good governance.
 Memperbaiki moral dari pengelola perusahaan, yang diwujudkan dengan
mengembangkan sikap komitmen terhadap perusahaan, negara dan masyarakat.

The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The


Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu   :

1. Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap


integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting).
2. Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent
financial reporting.
3. Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.
4. Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk
financial reporting.

Mulfrod & Comiskey (2002) menulis buku terkait dengan creative


accounting yang berjudul “The Financial Numbers Game : Detecting Creative
Accounting Practices”. Buku tersebut meskipun lebih difokuskan bagi para

41
investor sebagai pembelajaran untuk mengetahui secara cepat adanya kecurangan
akuntansi (fraudulent accounting), namun perlu diketahui juga oleh auditor.  

Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya risiko


terdapat  fraudulent financial reporting di perusahaan, antara lain :

 Terdapat kelemahan dalam pengendalian intern (internal control).


 Perusahaan tidak memiliki komite audit.
 Terdapat hubungan kekeluargaan (family relationship) antara manajemen 
(Director) dengan karyawan perusahaan.

Klasifikasi dari  Creative Accounting Practices menurut Mulfrod &


Comiskey, terdiri dari :

 Pengakuan pendapatan fiktif (recognizing Premature or Ficticious Revenue).


 Kapitalisasi yang agresif dan Kebijakan amortisasi yang terlalu lebar (Aggressive
Capitalization & Extended Amortization Policies).
 Pelaporan keliru atas Aktiva & Utang (Misreported Assets and Liabilities).
 Perekayasaan Laporan Laba Rugi  (Creative with the Income Statement).
 Timbul masalah atas pelaporan Arus Kas (Problems with Cash-flow Reporting).

Menurut laporan dari The National Commission on Fraudulent Financial


Reporting, pencegahan (prevention)  dan pendeteksian (detection) awal atas
fraudulent financial reporting harus dimulai saat penyiapan laporan keuangan.

Rezaee (2002), dalam bukunya yang berjudul “Financial Statement Fraud:


Prevention and Detection”,  membahas cukup mendalam tentang teknik untuk
mencegah dan mendeteksi adanya fraud dalam laporan keuangan. Dalam buku
tersebut dijelaskan kasus kolapsnya enron di Amerika Serikat, yang
menghebohkan kalangan dunia usaha secara jelas dan lengkap, termasuk adanya
praktek kolusi.

Salah satu cara untuk mencegah timbulnya fraud yang diakibatkan kolusi
antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik adalah pengaturan rotasi
auditor (akuntan publik) Sesuai Keputusan Menkeu (KMK) No. 359/KMK.
06/2003 tentang perubahan KMK No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan
42
Publik tertanggal 21 Agustus 2003, telah diatur tentang pembatasan dan rotasi
terhadap akuntan publik. Pasal 6 ayat 4  Kepmenkeu tersebut dinyatakan bahwa
pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat
dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) paling lama untuk lima tahun buku
berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun berturut-
turut.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi perlu


menyelenggarakan suatu lokakarya (workshop) tentang fraudulent financial
reporting atau fraud in financial statement untuk para akuntan publik agar terdapat
pemahaman yang sama, sehingga dapat dilakukan pencegahan serta pendeteksian
secara dini kemungkinan terjadinya fraud di perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar
akuntan publik dapat berhasil mendeteksi adanya fraud, sehingga  dapat
dihindarkan akuntan publik gagal mendeteksi terjadinya fraud yang sangat
merugikan berbagai pihak.  

H. Kasus Worldcom
1. Deskripsi Perusahaan
Worldcom pada awalnya merupakan perusahaan penyedia layanan telpon jarak jauh.
Selama tahun 90an perusahaan ini melakukan beberapa akuisisi terhadap perusahaan
telekomunikasi lain yang kemudian meningkatkan pendapatnnya dari $152 juta pada tahun 1990
menjadi $392 miliarpada 2001, yang pada akhirnya menempatkan worldcom pada posisi ke 42
dari 500 perusahan lainnya menurut versi majah fortune. Akuisisi yang besar telah terjadi pada
tahun 1998 pada saat worlcom mengambil alih perusahaan MCI yaitu peruahaan kedua terbesar di
Amerika yang bergerak pada bidang telekomunikasi jarak jauh. Dan padatahun yang sama
Worldcom membeli perusahaan UUNet, Compuserve,dan jaringan data AOL (american Online)
yang mengukuhkan posisi Worldcom menjadi operator no 1 dalam infrastruktur internet.
2. Gambaran Umum Kasus
Pada tahun 1990 terjadi masalah fundamental ekonomi pada WorldCom yaitu terlalu
besarnya kapasitas telekomunikasi. Masalah ini terjadi karena pada tahun 1998 Amerika
mengalami resesi ekonomi sehingga permintaan terhadap infrastruktur internet berkurang drastis.
Hal ini berimbas pada pendapatan WorldCom yang menurun drastis sehingga pendapatan ini jauh
dari yang diharapkan. Nilai pasar saham perusahaan Worldcom turun dari sekitar 150 miliardollar
(januari 2000) menjadi hanya sekitar $150 juta (1 juli 2002). Keadaan ini mebuatan pihak
manajemen berusaha melakukan praktek-praktek akuntansi untuk menghindari berita buruk
tersebut.

43
3. Praktik Akuntansi Tidak Sehat
Dalam laporannya pada 25 Juni Worldcom mengakui bahwa perusahan
mengklasifikasikan lebih dari $3,8 miliar untuk beban jaringan sebagai pengeluaran modal. Beban
jaringan adalah beban yang dibayar oleh Worldcom kepda perusahaan lain untuk jaringan
telekomunikasi, seperti biaya akses dan biaya pengiriman pesan bagi Worldcom. Dilaporkan
sekitar $3,005 miliar telah salah diklasifiksi pada tahun 2001, sementara sisanya sekitar $797 juta
pada triwulan pertama tahun 2002. Berdasarkan data Worldcom $14,7 miliar pada tahun 2001
disajikan sebagai biaya. Dengan memindahkan akun beban kepada akun modal, Worldcom
mampu menaikkan pendapatan atau laba. Worldcom mampu menaikan laba karena akun beban
dicatat lebih rendah, sedangkan akun aset dicatat lebih tinggi karena beban kapitalisasi disajikan
sebagai beban investasi. Kalau hal itu tidak terdeteksi praktek ini akan berakibat pendapatan
bersih yang lebih rendah dalam tahun-tahun brikutnya. Karena beban kapitalisasi jaringan tersebut
akan didepresiasikan.secara esensi beban kapitalisasi jaringan akan memungkinkan perusahaan
untuk mengalokasikan biyanya dalam beberapa tahun dimasa depan, mungkin antara 10 tahun
bahkan lebih. Secara umum, pelanggaran-pelanggaran dan perilaku tidak etis yang dilakukan
WorldCom antara lain:
a. Penggelembungan tersebut terjadi karena adanya praktik akuntansi yang keliru dan
manipulasi laporan keuangan oleh pihak manajemen puncak perusahaan;
b. Praktik akuntansi yang keliru ini dapat terealisasi karena dibantu oleh eksternal Arthur
Andersen dan staf akuntansi perusahaan tersebut;
c. Selain praktik akuntansi yang keliru, CEO WorldCom juga menggunakan uang
pereusahaan untuk kepentingan pribadi. Dari poin pelanggaraan diatas, diketahui bahwa
WorldCom melakukan penggelembungan angka pada periode berjalan. Cara manajemen
WorldCom melakukan penggelembungan yaitu:
a). Biaya jaringan yang telah dibayarkan pihak worldcom kepada pihak ketiga
dipertanggungjawabkan dengan tidak benar. Dimana biaya jaringan yang
seharusnya dibebankan dalam laporan laba rugi, oleh perusahaan dibebankan ke
rekening modal. Hal ini mengakibatkan laba periode berjalan menjadi lebih besar
dari laba yang sebenarnya didapat oleh perusahaan. Dengan cara ini worldcom
mampu meningkatkan keuntungannya hingga $ 3.85 M.
b). Dana cadangan untuk beberapa biaya operasional dinaikkan oleh perusahaan.
Dana cadangan yang sudah terbentuk, nantinya akan dikurangi secara tidak benar
oleh perusahaan untuk memanipulasi jumlah keuntungan yang diperoleh
perusahaan pada periode berjalan. Dengan praktik ini, Worldcom berhasil
memanipulasi keuntungannya sebesar $ 2 M. Berdasarkan poin tersebut,
penyajian beban jaringan sebagai pengeluaran modal ditemukan oleh auditor
Cynthia Cooper. Mei 2002 Auditor Cynthia Cooper mendiskusikan masalah
44
tersebut kepada kepala keuangan Worldcom Scott D. Sullivandan controller
perusahaan saat itu David F. Myers. Cooper melaporkan masalah tersebut
padakepala komite audit Max Bobbitt, sekitar 12 Juni. Yang kemudian Max
Bobbitt meminta kepada KPMG selaku eksternal auditor saat itu untuk melakukan
investigasi. Kepala keuangan worldcom diminta untuk mengkoreksi salah
saji/salah pengklasifikasiannya. Setelah berdiskusi lebih lanjut Scott D. Sullivan
dipecat pada saat Worldcom mengadakan pengumuman. Pada hari yang sama
David F. Myers mengundurkan diri. Dilaporkan bahwa Sullivan tidak pernah
mengkonsultasikan penyajian tersebut kepada Artuhr Anderson selaku auditor
eksernal pada tahun 2001 dan Arthur Anderson pun menyatakan bahwa Sullivan
tidak pernah berkonsultasi dengannya. Pada tanggal 15 Juli, Tauzi yang
merupakan House Energy and Commerce Committee mengatakan bahwa
berdasarkan dokumen-dokumen internal dan email Worldcom mengindikasikan
bahwa sebenarnya pihak eksekutif sudah mengetahui salah saji tersebut sejak
awal. Internal auditor adalah pertahanan awal terhadap kesalahan paktekpraktek
akuntansi dan kecurangan akuntansi. Satu pertanyaan kepada Internal Auditor
Worldcom adalah kenapa butuh waktu lama (1 tahun) untuk mengungkap salah
saji ini. Padahal mengingat nilai kapitalisasi yang begitu besar dan pengaruhnya
terhadap nilai pendapatan bersih dan total aktiva harusnnya bisa diungkap lebih
cepat.
4. Dampak Kasus Worldcom
Dampak akibat kasus WorldCom sangat besar dan multidimensional. Secara ringkas
dampaknya antara lain:
a Nilam saham WorldCom anjlok dari US$ 64.5 per lembar saham, menjadi US$ 2 per
lembar saham, kemudian anjlok lagi hingga mencapai kurang dari 1 sen per lembar
saham;
b Para pegawai mengalamai kerugian dana pensiun. Pada akhir tahun 2000, sekitar 32 %
atau US$642.3 juta dana pensiun pegawai berupa saham;
c Adanya PHK missal terhadap karyawan WorldCom yakni sekitar 17.000 karyawan
diberhentikan dari total 85.000 karyawan;
d Worldcom akhirnya mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan ini merupakan salah satu
kebangkrutan paling besar di Amerika Serikat; dan
e Bernie Ebbers dan Scott Sulivan didakwa dengan hukuman penjara 25 tahun.
5. Analisis Kasus
Alasan terjadinya adanya pelanggaran Dari hasil analisis kasus, adanya pelanggaran etika
bisnis pada perusahaan WorldCom terjadi karena beberapa faktor, antara lain:

45
a. Faktor Uang
Adanya iming-iming uang dan bonus yang besar bagi para akuntan mereka mau bekerja sama
dengan pihak manajemen untuk memanipulasi laporan keuangan.
b. Faktor Tekanan
Adanya tekanan dari atasan untuk memanipulasi laporan kaunagan. Yang mana jika tidak
dituruti akan mengakibatkan para akuntan dipecat.
c. Faktor Budaya Perusahaan
Budaya perusahaan, yang menghalalkan segala cara untuk dapat memperoleh penghasilan, agar
perusahaan tetap terlihat baik dimata publik dan harga saham perusahaan tidak turun drastis.
d. Faktor Pengendalian Internal
Lemahnya pengendalian internal perusahaan, sehingga tindakan manipulasi dan kecurangan
dapat terjadi dalam perusahaan.
e. Faktor Kesempatan
Adanya kesempatan untuk memanipulasi LK worldcom, dimana dalam hal ini semua pihak
dari manajemen puncak hingga staf akuntansi dapat diajak bekerja sama untuk memanipulasi
LK perusahaan.
f. Faktor Etika
Kurangnya etika profesi akuntansi, para akuntan yang bekerja di worldcom tidak berpegang
teguh pada etika profesi akuntansi ataupun GAAP, sehingga mereka bersedia untuk melakukan
tindakan yang melanggar kegiatan kode etik profesi akuntansi. Faktor- faktor diatas adalah
faktor yang paling sering mempengaruhi para akuntan dalam melakukan kecurangan dan
perilaku-perilaku tidak etis dalam pekerjaan mereka. Untuk itu, alangkah baiknya setiap
manajemen dari perusahaan manapun di dunia, bisa meminimalisir peluang adanya faktor-
faktor tersebut agar tidak terjadi lagi kasus seperti Enron dan WorldCom. Pelanggaran
WorldCom dilihat dari Etika Profesi Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan
suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika
tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. WorldCom yang melakukan kecurangan telah
melanggar prinsip-prinsip etika profesi, antara lain:
a). Prinsip Tanggung Jawab
Prinsip ini menekankan bahwa seorang professional haruslah bertanggung jawab dalam
melakukan pekerjaannya. Dari kasus WorldCom, bisa dilihat bahwa beberapa oknum
staf akuntansi di perusahaan melakukan praktik tidak bertanggung jawab dengan
melakukan praktik akuntansi yang sesuai dengan kaidah.
b). Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini menekankan bahwa setiap profesioanl haruslah memiliki integritas yang
tinggi dan moral yang luhur. Dari kasus Worlcom, bias dilihat bahwa CEO perusahaan
yang seharusnya berintegitas dan menjadi contoh bagi bawahannya, malah
46
menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi yang jelas jelas melanggar
prisip integritas moral.

47
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Etika Profesi Akuntansi yaitu suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan baik
dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia terhadap
pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan
khusus sebagai Akuntan.

Etika sebagai salah satu unsur utama dari profesi menjadi landasan bagi akuntan
dalam menjalankan kegiatan profesional. Akuntan memiliki tanggung jawab untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan publik. Terdapat pula prinsip etika profesi
akuntan yang terdiri dari delapan prinsip, yaitu :

1. Tanggung jawab profesi


2. Kepentingan publik
3. Integritas
4. Obyektivitas
5. Kempetensi dan kehati-hatian profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku profesional
8. Standar teknis

Prinsip ini selain sebagai aturan yang mengatur akuntan profesional dapat juga
digunakan untuk melindungi akuntan profesional. Terlebih lagi kode etik ini dapat
juga digunakan untuk mengembangkan kualitas seorang akuntan dan laporan yang
dihasilkan.

48
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2020. Kode Etik Akuntan Indonesia. Jakarta.


http://www.iaiglobal.or.id/v03/files/file_berita/Kode%20Etik%20Akuntan
%20Indonesia%20-%202020.pdf
Ketut Rinjin, Etika Bisnis dan Implemantasinya, Gramedia Pustaka Utama Jakarta
2004.
Northcott, Paul H, Ethics and the Accountant : Case studies, Prentice Hall of
Australia, 1994 atau edisi revisi.
Ronald Duska, Brenda Shay Duska, Julie Ragatz. 2011. Accounting Ethics Second
Edition. A John Wiley & Sons, Ltd., Publication.
Sony Keraf. Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, 1998 atau terbaru
Sihotang, Kasdin.(2019). Etika Profesi Akuntansi Teori dan Kasus Edisi Revisi.
Yogyakarta.PT.Kasinius.
https://www.google.co.id/books/edition/Etika_Profesi_Akuntansi/rRn7DwA
AQBAJ?
hl=en&gbpv=1&dq=etika+dalam+profesi+akuntan&pg=PA76&printsec=fro
ntcover
Surajiyo, Surajiyo. "Prinsip-Prinsip Etis Profesi Akuntan." Prosiding Serina 2.1
(2022):781-788.
file:///C:/Users/User/Downloads/89+016P+Artikel+Penelitian_Surajiyo+revi
si+781-788.pdf

49
50
51

Anda mungkin juga menyukai