Anda di halaman 1dari 51

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah buku
yang berjudul Hepsidin dan Anemia. Buku ini
merupakan sebuah karya hasil penelitian yang
diharapkan dapat membantu pembaca dalam
menemukan referensi tentang hepsidin dan anemia.
Selama proses penyusunan buku ini, penulis
banyak mendapatkan masukan, arahan dan dukungan
dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan buku ini. Semoga Allah
SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya
kepada semua pihak tersebut. Penulis berharap semoga
buku ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua
dalam pengembangan pengetahuan.
Buku ini bukanlah karya yang sempurna dan
masih memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu,
penulis berharap adanya kritikan, saran dan masukan
yang konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan
buku ini.

Padang, November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................i
Daftar Isi..................................................................................ii
Daftar Tabel...........................................................................iv
Daftar Gambar.......................................................................v

BAB I PENDAHULUAN.....................................................1

BAB II HEPSIDIN
2.1 Definisi Hepsidin..............................................4
2.2 Struktur Hepsidin.............................................5
2.3 Peran Hepsidin Dalam Homeostasis
Besi......................................................................6
2.4 Regulasi Hepsidin............................................9
2.5 Kadar Hepsidin...............................................13
2.6 Hepsidin dan Anemia....................................14

BAB III HEMOGLOBIN


3.1 Definisi Hemoglobin......................................17
3.2 Pembentukan dan Struktur Hemoglobin....17
3.3 Fungsi Hemoglobin........................................20
3.4 Pemeriksaan Hemoglobin.............................21

BAB IV METABOLISME BESI


4.1 Proses Metabolisme Besi...............................23
4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Metabolisme
Besi...................................................................29

BAB V ANEMIA
5.1 Definisi Anemia.............................................32
5.2 Penyebab Anemia..........................................32
ii
5.3 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi..........33
5.4 Gejala Anemia................................................35

BAB VI KELAINAN YANG MEMPENGARUHI


STATUS BESI DAN HEPSIDIN
6.1 Diabetes Melitus.............................................36
6.2 Penyakit Ginjal................................................37
6.3 Penyakit Keganasan.......................................37
6.3 Iron Refractory-Iron Deficiency Anemia.....37

DAFTAR PUSTAKA...........................................................38

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rentang Kadar Hepsidin per 5 Tahun


Kelompok Usia pada Populasi Sehat..............14
Tabel 2.2 Kadar hepsidin dan parameter lainnya pada
berbagai tipe anemia.........................................16
Tabel 3.1 Kadar Hemoglobin Berdasarkan Kelompok
Umur....................................................................22

iv
DAFTAR GAMBAR`

Gambar 2.1 Struktur Hepsidin.............................................6


Gambar 2.2 Mekanisme Absorbsi Besi................................8
Gambar 2.3 Peran Hepsidin Pada Homeostasis Besi........8
Gambar 3.1 Struktur Dasar Molekul Hemoglobin..........18
Gambar 3.2 Struktur Hemoglobin.....................................19
Gambar 4.1 Representasi Metabolisme Besi....................26

v
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia masih menjadi masalah kesehatan


masyarakat secara global. World Health Organization
(WHO) memperkirakan jumlah penderita anemia di
seluruh dunia sekitar dua miliar. Anemia dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya : defisiensi
besi, defisiensi mikronutrien lainnya (folat, riboflavin,
vitamin A dan vitamin B12), infeksi akut dan kronik
(malaria, TBC, HIV dan kanker) dan kelainan bawaan
yang mengganggu sintesis hemoglobin serta produksi
sel darah merah (hemoglobinopati). Namun, penyebab
terbesar dari semua anemia di dunia adalah defisiensi
besi (sebesar 50%). (WHO,2011; WHO,2015; Hall, 2011;
Sudikno, 2016)
Mekanisme terjadinya anemia defisiensi besi
terjadi melalui 3 tahapan. Tahapan pertama yaitu
penipisan simpanan besi yang ditandai dengan
penurunan kadar ferritin serum. Pada tahapan ini,
sekresi hepsidin akan ditekan sehingga terjadi
peningkatan transportasi besi oleh ferroportin ke dalam
plasma sehingga cadangan besi akan berkurang. Tahap
kedua disebut sebagai defisiensi besi pada fase
eritropoiesis yang ditandai dengan penurunan indeks
saturasi transferrin (<16%), peningkatan reseptor
transferrin serum, peningkatan Red Cell Distribution
Width (RDW) dan pengurangan Mean Corpuscular
Volume (MCV). Tahapan ketiga yaitu anemia defisiensi
besi yang ditandai dengan pengurangan pengiriman
besi ke sumsum tulang, pengurangan sintesis
hemoglobin dan isi sel prekursor eritrosit sehingga
terjadi penurunan kadar hemoglobin. (Cairo et al, 2014;
ed.Gibney, 2009; Kwapisz et al, 2009; Ganz and Nemeth,
2012;)
Salah satu upaya dini untuk mendeteksi anemia
adalah uji kadar besi. Uji kadar besi yang digunakan
meliputi uji kadar feritin serum, Soluble Transferrin
Receptor (sTfR), dan indeks lainnya seperti kadar
transferrin dan saturasi transferrin. Namun, masing-
masing uji tersebut masih memiliki keterbatasan,
misalnya, kadar ferritin meningkat pada pasien dengan
koeksistensi peradangan dan kadar sTfR dipengaruhi
oleh aktivitas erithropoietik. ( Parischa et al, 2011)
Pada tahun 2004, ditemukan suatu parameter
baru yang dapat mengidentifikasi anemia yaitu
hepsidin. Banyak aplikasi klinis pengukuran hepsidin,
termasuk diagnosis anemia penyakit kronis dan
inflamasi, anemia yang berhubungan dengan penyakit
ginjal kronis dan hemodialisis, hemochromatosis genetik
serta anemia defisiensi besi. Pengukuran hepsidin bisa
menjadi uji bermanfaat dalam membedakan Anemia
Chronic Disease (ACD) dan Iron Deficiency Anemia (IDA).
Selain itu, hepsidin juga ditemukan pada urin, sehingga
kedepannya pemeriksaan anemia bisa dilakukan pada
media urin dan tidak memerlukan tindakan invasif
(pengambilan darah).( Parischa et al, 2011; Kwapisz et al,
2009)
Hepsidin adalah hormon peptida yang disintesis
dan disekresikan oleh hati yang mengatur homeostasis
besi sistemik. Hepsidin mengikat, menginduksi
internalisasi dan degradasi ferroportin (satu-satunya
pengekspor besi dari sel ke plasma). Pada pasien dengan
anemia defisiensi besi, kadar hepsidinnya cenderung
2
rendah. Sebaliknya, pada anemia penyakit kronis dan
inflamasi, konsentrasi hepsidin serumnya cenderung
tinggi. Peningkanan sekresi hepsidin distimulasi oleh
peningkatan IL-6 yang disebabkan karena reaksi
inflamasi dalam tubuh. Setelah ditetapkannya peran
sentral hepsidin dalam homeostasis besi , hepsidin
berkemungkinan dapat digunakan sebagai pengobatan
baru untuk anemia. (Bah et al, 2017; D’Angelo, 2013;
Kwapisz et al, 2009)
Manolov et al melakukan sebuah penelitian
mengenai hubungan hepsidin dengan anemia. Penelitian
ini menemukan kadar serum hepsidin kelompok anemia
defisiensi besi (1.3 ± 0.6 ng/ml) lebih rendah
dibandingkan kelompok tidak anemia (20.5 ± 6.2
ng/ml) dan kadar hepsidin kelompok anemia inflamasi
(111.3 ± 24.4 ng/ml) lebih tinggi dari kelompok tidak
anemia. (Manolov et al, 2015). Penelitian lain yang
serupa juga dilakukan oleh Pasricha et al di Australia.
Rerata kadar serum hepsidin kelompok anemia
defisiensi besi (7,3 ng/ml) lebih rendah
dibandingkan kelompok yang tidak defisiensi besi
(44,4 ng/ml).

3
BAB II
HEPSIDIN
2.1 DEFINISI HEPSIDIN

Hepsidin adalah hormon kunci yang terlibat


dalam pengendalian homeostasis besi di tubuh.
Hepsidin adalah hormon peptida yang diproduksi oleh
hati. Hepsidin terdiri dari 25 asam amino yang
menghambat masuknya zat besi ke dalam plasma.
Hepsidin ditemukan pada tahun 2004 sebagai bagian
dari upaya manusia untuk mendapatkan antimikroba
baru. Gen yang mengkode hepsidin dikenal sebagai
HAMP yang terletak pada kromosom 19q13. Ekspresi
gen HAMP, 19q13 juga ditemukan pada tikus, babi,
burung dan ikan ( Bah et al, 2017; Ganz and Nemeth,
2012; Kwapisz et al, 2009)
Nama hepsidin berasal dari kata “hep” yang
berarti tempat sintesis di hepatosit dan “cidin” yang
berarti mempunyai aktivitas anti mikroba secara invitro.
Hormon ini pertama kali ditemukan dalam urin dan
serum manusia. Studi selanjutnya pada tikus
memberikan informasi lengkap dari struktur, fungsi,
dan regulasi hepsidin. Awalnya hepsidin diisolasi dari
ultrafiltrat plasma dan disebut sebagai Liver-Expressed
Anti-microbial Peptide (LEAP-1), selanjutnya diisolasi dari
urin manusia dan diberi nama Hepatic Antimicrobial
Peptide (HAMP). (Rishi et al, 2015; Kwapiz et al, 2009)

4
kesehatan ibu dan anak balita dalam keluarga
dan masyarakat. (Karwati, 2013; Syafrudin, 2012)

2.2 STRUKTUR HEPSIDIN


Gen hepsidin manusia (HAMP) terletak pada
kromosom 19q13.1. Ekspresi gen HAMP ditemukan
terutama di hati, tapi juga di jantung, tonsila palatina,
kelenjar ludah, kelenjar prostat, otak, paru-paru, dan
trakea. HAMP mengkodekan prekursor hepsidin
(preprohepsidin). Preprohepsidin dibelah menjadi 60 aa
prohepsidin yang selanjutnya terjadi pemrosesan asam
amino tahap akhir dan menimbulkan hepsidin.
(Kwapisz et al, 2009)
Ada tiga bentuk hepsidin: 25aa, 22aa, 20aa
peptida. Semua bentuk hepsidin tersebut terlihat dalam
urin tapi hanya hepsidin-25 dan hepsidin-20 yang
terdapat dalam serum manusia. Konstruksi hepsidin-25
merupakan bentuk utama dari hepsidin. Struktur
hepsidin-25, yang mana adalah bentuk utama hepsidin,
mengandung delapan residu sistein yang dihubungkan
dengan ikatan disulfida. Analisis struktur hepsidin
dengan spektroskopi NMR menunjukkan bahwa
peptida ini membentuk jepit rambut sederhana yang
distabilkan oleh empat ikatan disulfide antara dua helai
anti-paralel. (Kwapisz et al, 2009)

5
Gambar 2.1 Struktur hepsidin (Elnabaheen, EM, 2017)

2.3 PERAN HEPSIDIN DALAM


HOMEOSTASIS BESI
Wawasan mendasar tentang peran hepsidin
dalam homeostasis besi didapatkan pada tahun 2004
dengan penemuan bahwa hepsidin bertindak
menurunkan kadar zat besi dalam darah dengan
mengikat dan menurunkan aktivitas (downregulation)
transporter zat besi, yaitu ferroportin (FPN1). FPN1
adalah satu-satunya transporter yang diketahui yang
bertanggung jawab atas pengangkutan zat besi dari sel.
Ferroportin (FPN1) adalah protein pengekspor besi
utama yang terletak di permukaan sel enterosit
duodenum, makrofag dan hepatosit. Sel enterosit,
makrofag dan hepatosit merupakan sel utama yang
mampu melepaskan zat besi ke plasma untuk dibawa
oleh transferin. (Zhao et al, 2013; Rossi, 2005)
Hepsidin bertindak sebagai pengatur cadangan besi.
Sebagai respons terhadap peningkatan kadar zat besi,
6
hati meningkatkan sintesis hepsidin yang kemudian
hepsidin bertindak pada tempat penyerapan besi
(enterosit duodenum), penyimpanan besi (terutama
hepatosit hati) atau daur ulang besi (system makrofag
reticuloendothelial) yang menyebabkan penurunan
pelepasan besi dari jaringan ini. ( Rishi et al, 2015)
Hepsidin secara langsung mengikat ferroportin
dan menurunkan aktivitas fungsionalnya yang
menyebabkan ferroportin diinternalisasi dari
permukaan sel dan terdegradasi. Penurunan aktivitas
(downregulation) ferroportin (FPN1) pada makrofag
hepar dan limpa dapat menurunkan kemampuan
makrofag untuk mengekspor daur ulang besi dari sel
darah merah yang menua, yang merupakan sumber
utama zat besi di plasma. Selain itu, konsentrasi
hepsidin yang tinggi dalam darah akan menurunkan
pengangkutan besi dari sel epitel usus. (Zhao et al,2013;
Rossi, 2005)
Pada konsisi fisiologis, bila simpanan besi
memadai atau tinggi, hepsidin dilepaskan dan berikatan
dengan ferroportin intestinal yang menyebabkannya
internalisasi dan penghancuran ferroportin. Penurunan
aktivitas ferroportin menyebabkan zat besi yang diserap
tetap berada di dalam enterosit. Sebaliknya, saat
simpanan besi rendah, produksi dan sekresi hepsidin
ditekan, meningkatkan pengeluaran besi dari enterosit
ke dalam plasma darah. (Naigamwalla et al, 2012)

7
Gambar 2.2 Mekanisme absorbsi besi di intestinal
(Naigamwalla et al, 2012)

Gambar 2.3 Peran hepsidin pada homeostasis besi


normal (Wimbley, & Graham, 2011)

8
Peningkatan besi plasma menyebabkan
peningkatan dalam produksi hepsidin (panah kuning).
Kadar hepsidin yang tinggi menghambat aliran besi ke
plasma dari sel enterosit duodenum, makrofag dan
hepatosit. Akibat besi plasma yang terus dikonsumsi
untuk sintesis hemoglobin, maka kadar besi plasma
menurun dan produksi hepsidin dihentikan. Dengan
demikian, selesailah proses homeostatis. (Wimbley and
Graham, 2011)

2.4 REGULASI HEPSIDIN


a. Regulasi Hepsidin oleh Besi
Besi mengatur homeostasis hepsidin.
Kenaikan kadar zat besi dalam plasma dan di
tempat penyimpanan besi akan menstimulasi
produksi hepsidin, yang menghambat penyerapan
zat besi dari makanan dan penyimpanan lebih
lanjut zat besi. Produksi hepsidin ditekan dalam
kondisi tubuh kekurangan zat besi; umpan balik
antara besi dan hepsidin dapat memastikan
fisiologis yang tepat bagi konsentrasi zat besi dalam
plasma. (D’Angelo, 2013)
Produksi hepsidin diatur oleh zat besi.
Hepsidin lebih banyak diproduksi oleh hepatosit
bila zat besi melimpah, sehingga hepsidin dapat
membatasi penyerapan zat besi lebih lanjut dan
melepaskannya dari tempat penyimpanan. Bila zat
besi kurang, hepatosit menghasilkan hepsidin lebih
sedikit atau tidak ada produksi hepsidin sama
sekali, sehingga lebih banyak zat besi masuk
plasma. Baik transferrin plasma diferrik dan zat besi
yang tersimpan dalam hepatosit dapat merangsang

9
sintesis hepsidin, dengan mekanisme yang berbeda.
(Ganz, and Nemeth, 2012)
b. Regulasi Hepsidin oleh Eritripoiesis
Produksi hepsidin juga diatur oleh proses
eritropoietik, yang ditandai dengan kebutuhan zat
besi yang tinggi. Selain besi, hepsidin diatur secara
homeostatik oleh kebutuhan besi untuk
eritropoiesis. Selama proses erythropoiesis aktif,
produksi hepsidin ditekan. penekanan hepsidin
menyebabkan besi yang disimpan dilepaskan oleh
hepatosit dan makrofag, sementara penyerapan zat
besi di usus meningkat sehingga lebih banyak zat
besi tersedia untuk sintesis hemoglobin. (Ganz and
Nemeth, 2012; D’Angelo, 2013)

Peningkatan aktivitas eritropoietik


mengurangi kadar hepsidin secara signifikan.
Pemberian eritropoietin tunggal (EPO) selama 24
jam secara signifikan mengurangi kadar hepsidin
pada manusia. Dalam kasus erythropoiesis yang
tidak efektif,terdapat dua protein diproduksi oleh
eritroblas yaitu Growth Diferentiation Factor 15 (GDF
I5) dan Twisted Gastrulation I (TWSGI), yang
tampaknya bertanggung jawab terhadap penekanan
produksi hepsidin. EPO secara tidak langsung
mempengaruhi zat homeostasis besi. Produksi EPO
sebagai respon normal terhadap stimulasi hipoksia
yang bertanggung jawab atas ekspansi eritron
normal tanpa erythropoiesis berlebihan. GDF15 dan
TWSG1 dilepaskan sebagai hasilnya, yang akhirnya
menekan sintesis hepsidin seperti yang disebutkan
sebelumnya. Aktivasi EPO adalah hal utama yang
terjadi pada hipoksia akut. Hal ini menyebabkan

10
perluasan erythropoiesis, yang membutuhkan zat
besi yang memadai untuk hemoglobinisasi dari sel
darah merah. Produksi dan hemoglobinisasi dari
eritroid masih bisa terjadi, jika hepsidin ditekan.
(D’Angelo, 2013)
c. Regulasi Hepsidin oleh Hipoksia
Adanya penurunan kadar hepsidin pada
kondisi hipoksia telah dilaporkan pada penelitian
in-vivo. Hal ini mungkin merupakan efek langsung
hipoksia terhadap ekspresi EPO yang juga
mempengaruhi eritropoiesis dan/atau dapat juga
merupakan interaksi langsung dengan reseptor
hepatosit. Sebagai tambahan, rendahnya
konsentrasi hepsidin akibat hipoksia juga disinyalir
merupakan mekanisme stabilisasi oleh hepar
melalui hypoxia-inducible factor (HIF)-1, yang
selanjutnya akan mengurangi efek jalur sinyal
BMP/SMAD. (Perdana & Jacobus, 2015)
Mekanisme terikatnya HIF dengan
promotor hepsidin masih belum jelas diketahui.
Namun, ada beberapa mekanisme tidak langsung
oleh HIF yang dapat mempengaruhi ekspresi
hepsidin. Peningkatan aktivitas HIF berkaitan
dengan peningkatan aktivitas pemecahan
hemojuvelin oleh matriptase, dan ini akan
menurunkan ekspresi hepsidin. Peranan lain HIF
dapat dilihat pada tikus dengan defisiensi intestinal
HIF2α memiliki ekspresi ferroportin dan DMT1
yang rendah, dan tidak bisa mengabsorpsi besi
dengan baik, walaupun dengan kadar hepsidin
rendah. Karena itu, HIF diduga juga ikut berperan
dalam regulasi gen hepsidin baik akibat hipoksia

11
maupun rendahnya kadar besi (Perdana & Jacobus,
2015)
d. Regulasi Hepsidin oleh Inflamasi
Pada kondisi inflamasi, ekspresi hepsidin
cenderung meningkat. Inflamasi dan infeksi
meningkatkan sintesis hepsidin. Hal ini yang dapat
menyebabkan disregulasi besi yang ditandai
dengan hypoferremia dan anemia terkait dengan
penyakit inflamasi. Hipoferremia menunjukkan
pertahanan untuk membatasi ketersediaan zat besi
untuk mikroorganisme. Pasien dengan sepsis,
penyakit radang usus, myeloma, luka bakar, dan
kadar protein C reaktif (CRP)> 10 mg / dL, kadar
hepsidin dalam darahnya meningkat secara
signifikan. Makrofag dirangsang selama proses
peradangan, dimana stimulasi tergantung pada
tingkat keparahan peradangan. Makrofag
teraktivasi melepaskan jaringan sitokin.
Diantaranya interleukin-6 (IL-6), yang merupakan
salah satu inducer/ perangsang utama bagi
peningkatan hepsidin yang pada akhirnya
menghasilkan hypoferremia. Hepsidin
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag
sekaligus penyerapan zat besi di usus. (D’Angelo,
2013)

Pada keadaan inflamasi, produksi hepsidin


tidak lagi diatur oleh jumlah cadangan besi,
misalnya, jika tingkat zat besi rendah, sintesis
hepsidin harus diturunkan. Namun, pada kondisi
ini hepsidin dipengaruhi oleh stimulasi IL-6
(Hepsidin akan meningkat melalui stimulasi IL-6).
Selain itu, hepsidin juga bisa diproduksi oleh sel

12
myeloid melalui aktivasi dari TRL4, reseptor yang
terletak di membran neutrofil dan makrofag
(D’Angelo, 2013)

2.5 KADAR HEPSIDIN


Hepsidin merupakan hormon baru yang
ditemukan tahun 2004 dan masih dalam proses
penelitian yang lebih lanjut. Hingga saat ini batasan
kadar hepsidin normal yang ditemukan dalam setiap
penelitian masih berbeda-beda, sehingga belum bisa
ditetapkan berapa batasan normal kadar hormon
hepsidin.
Penelitian Ilkovska et al. 2017 menemukan
rentang kadar hepsisin pada populasi sehat yaitu 2,933 -
21,913 ng/ml. Hasil ini berbeda dengan kadar hepsidin
populasi sehat yang ditemukan oleh Geerts et al.2012
dengan menggunakan kit yang sama yaitu 20.5 - 66 ng /
ml. Ashby et al. juga menemukan hasil yang berbeda
yaitu 2 - 56 ng / ml dengan nilai median of 11 ng / ml.
Pada penelitian Ilkovska et al. (2017) ditemukan
perbedaan kadar hepsidin yang bermakna berdasarkan
umur, jenis kelamin dan status menopause pada wanita.
Kadar hepsidin laki-laki lebih tinggi daripada kadar
hepsidin wanita yaitu 12,34±7,37 ng/ml (pria) dan
6,16±3,2 ng/ml (wanita). Kadar hepsidin wanita
postmenopause yang sehat lebih tinggi daripada wanita
premenopause yaitu 7,29 ± 3,59 (post menopause) dan
5,51 ± 2,8 ng/ml (premenopause) (Ilovska et al, 2017)

13
Tabel 2.1 Rentang Kadar Hepsidin per 5 Tahun
Kelompok Usia pada Populasi Sehat
Umur N Median 5% 95%
(tahun) (ng/ml)
18-24 10 7,9 3 15,3
25-29 20 5,76 3,03 19,1
30-34 9 6,57 2,93 16
35-39 13 14,74 3,25 30,79
40-44 14 6,072 3,42 22,57
45-49 16 6,1 1,23 30,6
50-54 14 8,55 4 20
55-59 15 7,06 2,74 22,01
60 9 10,43 2,13 36,46
(Ilkovska et al, 2017)

2.6 HEPSIDIN DAN ANEMIA


Konsentrasi hepsidin ditekan saat tubuh
mengalami anemia defisiensi besi. Keadaan ini
mengakibatkan peningkatan penyerapan dan
pemanfaatan zat besi, sehingga cadangan besi jadi
berkurang. Sebaliknya, hormon hepsidin meningkat
pada saat tubuh kelebihan besi dan inflamasi, sehingga
menghambat penyerapan besi dan transportasi besi ke
plasma. (Bah et al, 2017)
Defisiensi hepsidin meningkatkan transfer besi
ke plasma. Bila produksi hepsidin tidak memadai,
menyebabkan ferroportin diekspresikan secara
berlebihan pada membran basolateral enterosit
duodenum dan peningkatan diet penyerapan zat besi.
Sel ferroportin juga diekspresikan secara berlebihan
pada makrofag dan hepatosit. Ferroportin melakukan
ekspor zat besi yang berlebihan, sehingga terjadi

14
penipisan besi di makrofag intraselular.(Ganz and
Nemeth, 2012)
Mekanisme aktivitas hepsidin bergantung pada
interaksi hepsidin dengan ferroportin. Ferroportin
adalah satu-satunya pengekspor besi pada mamalia,
yang diekspresikan pada permukaan makrofag retikulo-
endotel, hepatosit, sel enterosit duodenum. Hepsidin
berikatan dengan ferroportin dan menyebabkan
internalisasi dan degradasi ferroportin, yang pada
gilirannya menghambat transportasi besi via ferroportin.
Bila penyimpanan zat besi cukup atau tinggi,
peningkatan ekspresi hepsidin menghambat penyerapan
zat besi pada usus, pelepasan besi dari makrofag dan
hepatosit. Di sisi lain, saat simpanan besi rendah,
produksi hepsidin ditekan. (Kwapisz et al, 2009)
Produksi hepsidin meningkat disebabkan oleh
peradangan/ Anemia of Chronic Disease (ACD) dan
produksi hepsidin yang menurun disebabkan oleh
anemia defisiensi besi/ Iron Deficiency Anemia (IDA).
Patogenesis ACD dikaitkan dengan penurunan
penyerapan zat besi dan gangguan mobilisasi cadangan
besi. Individu dengan anemia peradangan, ditandai oleh
gangguan penyerapan zat besi, hipoferremia dan
hyperferritinemia, memiliki kadar hepsidin lebih tinggi
daripada subyek sehat. Konsentrasi hepsidin serum
yang lebih tinggi pada pasien dengan ACD daripada
pada orang sehat disebabkan karena peningkatan IL-6.
Peningkatan IL-6 menstimulasi hepar meningkatkan
sintesis dan sekresi hepsidin (Kwapisz et al, 2009)

15
Tabel 2.2 Kadar hepsidin dan parameter lainnya pada
berbagai tipe anemia

Soluble
Kadar Saturasi Kadar
Tipe Anemia Transferrin
Hepsidin Transferin Feritin
Receptor

Iron Deficiency Rendah Rendah Rendah Meningkat


Anemia (IDA)
Anemia of Tinggi Rendah Normal/ Normal
Chronic Tinggi
Disease/Inflam
mation (ACD)
Iron-Refractory Tinggi Rendah Rendah Bervariasi
Iron Deficiency
Anemia
(IRIDA)
Mixed Anemia Normal Rendah Normal/ Normal/
Tinggi Tinggi

Anemia in Tinggi Bervariasi Bervariasi Bervariasi


Chronic Kidney
Disease
(ACKD)
(D’Angelo, 2013)

16
BAB III
HEMOGLOBIN
3.1 DEFINISI HEMOGLOBIN
Nama Hemoglobin merupakan gabungan dari
heme dan globin. Heme adalah gugus prostetik yang
terdiri dari atom besi, sedang globin adalah protein yang
dipecah menjadi asam amino. Hemoglobin terdapat
dalam sel-sel darah merah dan merupakan pigmen
pemberi warna merah sekaligus pembawa oksigen dari
paru-paru ke seluruh sel-sel tubuh. Hemoglobin (Hb)
adalah tetramer (mengandung 4 subunit protein) yang
terdiri dari empat rantai globin, masing-masing
berhubungan dengan sebuah kelompok heme.
Hemoglobin adalah protein pengangkut oksigen utama
ditemukan di sel darah merah semua vertebrata. (Scarf
et al, 2009)

3.2 PEMBENTUKAN DAN STRUKTUR


HEMOGLOBIN
Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritoblas
dan berlanjut bahkan dalam stadium rekulosit pada
pembentukan sel darah merah. Oleh karena itu, ketika
retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke
dalam aliran darah, retikulosit tetap membentuk
sejumlah kecil hemoglobin satu hari sesudah dan
seterusnya sampai sel tersebut menjadi eritrosit yang
matang.(Hall, 2011)
Mula-mula, suksinik Ko-A, yang dibentuk dalam
siklus Krebs, berikatan dengan glisin untuk membentuk
molekul pirol. Kemudian empat pirol bergabung untuk

17
membentuk protoporfirin IX, yang kemudian bergabung
dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya
setiap molekul heme bergabung dengan rantai
polipeptida panjang, yaitu globin yang disintesis oleh
ribosom, membentuk suatu subunit hemoglobin yang
disebut rantai hemoglobin(Gambar 2.3). Tiap-tiap sub
unit/ rantai memiliki berat molekul kurang lebih 16.000
Dalton. Empat rantai ini selanjutnya akan berikatan
longgar satu sama lain untuk membentuk molekul
hemoglobin yang lengkap. .(Hall, 2011)
Bentuk rantai subunit hemoglobin bervariasi,
bergantung pada susunan asam amino di bagian
polipeptidanya. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa,
beta, gamma dan delta. Bentuk hemoglobin paling
umum pada orang dewasa adalah yaitu hemoglobin A,
merupakan kombinasi dari dua rantai α (alfa) dan dua
rantai β (beta). Hemoglobin A mempunyai berat
molekul 64.458 da. .(Hall, 2011)

Gambar 3.1 Struktur dasar molekul hemoglobin


(Hall, 2011)

18
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian :
(dapat dilihat pada Gambar2.4)
a. Bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari
empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-
lipat
b. Gugus heme, yaitu empat gugus nonprotein
yang mengandung besi, dengan masing-masing
terikat ke polipeptida yang disebutkan di atas.
(Sherwood, 2011)

Gambar 3.2 Molekul hemoglobin. (Sherwood, 2011)

Hemoglobin adalah sebuah molekul yang terdiri


dari empat rantai polipeptida yang berlipat-lipat
(bagian globin) dan empat gugus heme yang
mengandung besi. Masing-masing dari keempat atom
besi dapat berikatan dengan satu molekul O2. Oleh
karena itu, setiap molekul hemoglobin dapat mengambil
empat penumpang O2. (Sherwood, 2011)
Hemoglobin adalah suatu pigmen (yang
berwarna secara alami). Karena kandungan besinya
maka hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan
dengan O2 dan keunguan jika mengalami deoksigenasi.
Oleh karena itu, darah arteri yang teroksigenasi penuh

19
akan berwarna kemerahan dan darah vena yang telah
kehilangan sebagian kandungan O2 di tingkat jaringan,
memiliko rona kebiruan. (Sherwood, 2011)

3.3 FUNGSI HEMOGLOBIN


Fungsi Hb dalam tubuh adalah bergabung
dengan oksigen dalam paru . Kemudian Hb melepaskan
oksigen ini di dalam kapiler jaringan perifer yang
tekanan gas oksigennya jauh lebih rendah daripada di
paru-paru. ( Hall, 2011)
Selain mengangkut oksigen, Hb juga berikatan dengan
yang berikut :
a. Karbon dioksida (CO2), Hb membantu
mengangkut gas ini dari sel jaringan kembali ke
paru.
b. Bagian ion hydrogen asam ( ) dari asam
karbonat terionisasi, yang dihasilkan di tingkat
jaringan dari CO2. Hb menyangga asam ini tidak
banyak menyebabkan perubahan pH darah.
c. Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan
normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika
terhirup maka gas ini cenderung menempati
bagian Hb yang berikatan dengan O2 sehingga
terjadi keracunan CO.
d. Nitrat oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang
bersifat vasodilator berikatan dengan Hb. NO ini
dibebaskan di jaringan, tempat zat ini
melepaskan dan melebarkan arteriol local.
Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa
darah kaya O2 dapat mengalir dengan lancar dan
juga membantu menstabilkan tekanan darah.
(Sherwood, 2011)

20
Oleh karena itu, hemoglobin berperan kunci dalam
transport O2 sekaligus memberi kontribusi signifikan
pada transport CO2 dan kemampuan darah menyangga
pH. Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya
sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan O2 yang
dibawanya. (Sherwood, 2011)

3.4 PEMERIKSAAN HEMOGLOBIN

Baik metode pengukuran hemoglobin dan


sumber sampel darah (kapiler versus vena darah) dapat
mempengaruhi konsentrasi hemoglobin yang diukur.
Cyanmethemoglobin dan Sistem HemoCue® adalah
metode umumnya direkomendasikan untuk digunakan
dalam survei untuk menentukan prevalensi populasi
anemia. Dalam metode cyanmethemoglobin, darah
(yang jumlahnya telah ditetapkan) diencerkan dengan
reagen. Konsentrasi hemoglobin ditentukan setelah
interval waktu yang ditentukan dalam fotometer yang
akurat dan dikalibrasi dengan baik. (WHO, 2011)
Pengukuran dengan cyanmethemoglobin adalah
rujukan metode laboratorium untuk penentuan
kuantitatif dari hemoglobin dan digunakan untuk
perbandingan dan standardisasi metode lainnya .
Sementara itu, system hemoCue® didasarkan pada
metode cyanmethemoglobin dan telah terbukti stabil
dan tahan lama di lapangan pengaturan. Sumber sampel
darah juga harus dipertimbangkan saat menilai
konsentrasi hemoglobin. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa nilai hemoglobin yang diukur dari
sampel kapiler lebih tinggi dari yang diukur dari sampel

21
vena, hal ini berpotensi menyebabkan hasil negatif
palsu. (WHO, 2011)
Batasan kadar hemoglobin normal menurut
umur terdapat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.1 Kadar Hemoglobin Berdasarkan Kelompok
Umur
Batas Nilai
Kelompok Umur Hemoglobin Normal
(gr/dl)
Anak 6 bulan - 59 tahun 11,0 atau lebih

Anak 5 tahun - 11 tahun 11,5 atau lebih

Anak 12 tahun - 14 tahun 12,0 atau lebih


Wanita tidak hamil (15 tahun
atau lebih) 12,0 atau lebih

Ibu hamil (15 tahun atau lebih) 11,0 atau lebih


Pria (15 tahun atau lebih) 13,0 atau lebih
(WHO, 2011)
Lokasi pemukiman dan merokok juga dapat
mempengaruhi kadar hemoglobin. Permukiman di atas
permukaan laut dan merokok diketahui dapat
meningkatkan konsentrasi hemoglobin. Akibatnya,
prevalensi anemia mungkin diabaikan pada orang-orang
yang berada di tempat yang tinggi dan di antara
perokok jika standar batasan anemia diterapkan.
Penyesuaian kadar hemoglobin harus dilakukan pada
perokok dan pada orang yang tinggal di ketinggian
lebih tinggi dari 1000 meter di atas permukaan laut.
(WHO, 2011)

22
BAB IV
METABOLISME BESI
4.1 PROSES METABOLISME BESI
Metabolisme besi terutama ditujukan untuk
pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk
reutilisasi berasal dari eritrosit tua yang dihancurkan
oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi
seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25
mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari,
tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk
dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh
makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Besi dari
sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2
mg, sebanyak itu pula yang dapat hilang karena
deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja. (Wimbley and
Graham, 2011)
Proses yang aktif diduodenum menyerap zat
besi. Kemudian zat besi yang diserap dibawa melalui
membrane mukosa serta serosa ke dalam darah, dan
dari sini, protein pembawa besi (transferrin) yang ada
dalam plasma mengangkutnya ke dalam sel atau ke
sumsum tulang bagi keperluan eritropoisis. Transferin
membawa zat besi ke dalam jaringan melalui reseptor
membran sel yang spesifik dengan transferrin. Reseptor
sel tersebut mengikat kompleks transferrin dan zat besi
pada permukaan sel serta membawanya ke dalam sel
untuk melepaskan zat besi. (ed. Gibney, 2009)
Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke
prekursor eritrosit di sumsum tulang yang memiliki
banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4%
digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk
23
sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C dan
katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk
feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan
reseptor transferin masuk ke dalam sitoplasma
prekursor eritrosit melalui endositosis. Sebanyak 80–90%
molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit
akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin
akan dipakai lagi, sedangkan transferin akan kembali ke
dalam sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari
endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk
diproses menjadi hem setelah bergabung dengan
protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin.
(Wimbley and Graham, 2011)
Tubuh orang dewasa mengandung 3-4 g besi.
Biasanya, diet barat mengandung sekitar 7 mg besi per
1000 kkal. Namun, hanya 1-2 mg yang diserap setiap
hari. Diet manusia berisi dua bentuk besi: besi heme dan
non-heme. Besi heme berasal dari daging dan terserap
dengan baik. Enzim pankreas mencerna heme untuk
membebaskannya dari molekul globin di lumen
intestinal. Besi kemudian diserap ke dalam enterosit
sebagai metalloporphyrin dan terdegradasi oleh heme
oxygenase-1 untuk melepaskan zat besi non heme.
Selanjutnya, besi diekspor oleh ferroportin yang terletak
di bagian basolateral enterosit. (Wimbley and Graham,
2011)
Besi nonheme juga hadir sebagai ferro ( )
atau ferri ( ) besi. Lingkungan perut yang asam dan
makanan tertentu diketahui dapat meningkatkan
bioavailabilitas zat besi. Vitamin C, misalnya, berfungsi
mencegah presipitasi/ pengendapan besi ferri di
duodenum. Makanan lain yang mengandung phytates

24
(biji-bijian) dan tannin (teh nonherbal) diketahui
menurunkan penyerapan zat besi nonheme. (Wimbley
and Graham, 2011)
Setelah besi ferri ( ) ke duodenum, ferri
( ) harus direduksi terlebih dahulu menjadi bentuk
ferro ( ) oleh duodenal sitokrom B (Dcyt B) sebelum
penyerapan, dimana didalam duodenal sitokrom B
tersebut terdapat enzim ferrireduktase. Duodenal
sitokrom B adalah reduktase yang berada di perbatasan
sikat duodenum dan proximal jejunum Setelah
dikurangi, logam divalen transporter 1 (DMT 1),
mengangkut besi ferro ( ) dari lumen intestinal
proksimal ke dalam membran apical enterocyte . Setelah
masuk ke dalam sel, besi ferro ( ) dapat disimpan
sebagai feritin atau transverses sel ke aspek basolateral
enterocyte dimana ferroportin berada. Ferroportin
terdapat pada mukosa proksimal usus halus, makrofag,
hepatosit dan plasenta. (Wimbley and Graham, 2011)
Sebelum ditranspor ke dalam plasma, besi
dalam bentuk ferro akan direoksidasi terlebih dahulu
menjadi ferri yang selanjutnya akan berikatan dengan
transferin dan ditranspor ke jaringan untuk digunakan
dan disimpan. Transferrin memiliki dua tempat ikatan,
masing-masing tempat akan mengikat satu atom besi
(oleh karenanya, akan ditemukan tiga bentuk di dalam
plasma: apo-transferrin yang tidak mengandung besi,
monoferrictransferrin, dan diferric-transferrin). Setelah di
plasma besi diangkut oleh transferrin ke sumsum tulang
untuk sintesis hemoglobin dan penggabungan ke dalam
eritrosit. (Wimbley and Graham, 2011)

25
Eritrosit normal beredar kira-kira 120 hari
sebelum terdegradasi. Sel darah merah yang menua
diliputi oleh makrofag di sistem retikuloendotelial,
terutama di limpa dan hati dimana mereka terdegradasi
dan diikat oleh hemeoxygenase sitosolik-1. Daur ulang
besi dari sel darah merah adalah sumber besi utama
untuk eritropoiesis dan untuk pengiriman 40-60mg zat
besi / hari ke sumsum tulang. Beberapa zat besi dari sel
darah merah yang menua juga disimpan dalam
makrofag sebagai feritin (bentuk utama cadangan besi)
atau hemosiderin ( bentuk besi yang larut dalam air),
dan sebagian besar dilepaskan oleh ferroportin ke dalam
plasma yang terikat pada transferin untuk daur ulang.
(Wimbley and Graham, 2011)

Gambar 4.1 Representasi metabolisme besi (Burke et al,


2014)

26
Metabolisme besi secara sederhana, dimulai
dari penyerapan besi di dalam usus, dengan besi non-
heme diimpor oleh Divalen Metal Transporter 1 (DMT1).
Besi ferro dioksidasi menjadi besi ferri dan kemudian
diekspor oleh ferroportin. Dalam plasma, zat besi
disimpam dalam transferrin. Besi yang terikat
transferrin, diimpor dengan bantuan reseptor transferin
ke hati, jantung dan tempat penyimpanan lainnya,
dimana besi disimpan dalam feritin. Hepsidin,
diproduksi oleh hati, membantu mengatur metabolisme
zat besi dengan mengikat ferroportin dan menghambat
ekspor besi. Di dalam sumsum tulang, besi digabungkan
ke dalam hemoglobin untuk dimasukkan ke dalam
eritrosit. Makrofag mendaur ulang zat besi dari eritrosit,
sebagian besar di limpa. Tidak ada mekanisme untuk
ekskresi besi oleh ginjal atau hati, meskipun dalam
jumlah kecil hilang melalui kotoran. Menstruasi,
kehamilan dan menyusui mengakibatkan hilangnya zat
besi pada wanita.(Burke et al, 2014)
Tidak ada mekanisme fisiologis untuk ekskresi
besi ada dan hanya 1 – 2 mg zat besi hilang setiap hari
sebagai akibat dari peluruhan sel (yaitu dari lapisan
mukosa saluran pencernaan, kulit,dan tubulus ginjal).
Pada wanita, kira-kira 0,006 mg besi / kg / hari hilang
pada waktu menstruasi normal. .Jadi, normalnya
kehilangan dan pertambahan besi seimbang, dimana
jumlah yang hilang setiap hari sama dengan jumlah
yang diserap setiap hari. Tubuh memiliki kemampuan
untuk meningkatkan penyerapan zat besi intestinal pada
saat tubuh membutuhkan besi. Ketika jumlah besi yang
hilang lebih banyak dari pada diserap, maka cadangan
besi menjadi habis dan orang tersebut mengalami
defisiensi besi. Jika proses tersebut terus berlanjut, maka
27
orang itu akan mengalami anemia defisiensi besi.
(Wimbley and Graham, 2011)
Kekurangan zat besi dikaitkan dengan
penyerapan zat besi dari usus dengan cara peningkatan
produksi protein utama, seperti duodenal sitokrom b,
logam divalen transporter 1 (DMT-1), dan ferroportin.
Hipoksia-inducible factor dan protein pengatur besi
juga memainkan peran penting dalam regulasi lokal dari
penyerapan zat besi. Hipoksia-inducible factor (HIF),
mengatur ulang ekspresi duodenum sitokrom b dan
logam divalent trans-porter 1, sedangkan protein
pengatur besi mengatur ulang ekspresi logam divalen
transporter 1 dan ferroportin. Kedua jalur ini sangat
penting untuk peningkatan penyerapan zat besi yang
terkait dengan kekurangan zat besi. (Wimbley and
Graham, 2011)
Sistem di atas diperiksa oleh hepsidin, sebuah
hormon yang disintesis di hati, disekresikan ke dalam
darah dan sistemik, dimana hormon hepsidin yang
mengendalikan laju penyerapan zat besi serta mobilisasi
zat besi dari tempat penyimpanan. Hepsidinmengikat,
dan menghambat fungsi ferroportin. Janus kinase 2
diaktifkan pada saat hepsidinmengikat ferroportin,
sehingga menghasilkan internalisasi dan degradasi
ferroportin. (Wimbley and Graham, 2011)

28
4.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
METABOLISME BESI

Beberapa mikronutrien sangat berperan dalam


metabolisme besi, yaitu :
a. Vitamin C
Vitamin C membantu mereduksi besi feri menjadi
fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorbsi.
Vitamin C menghambat faktor penghambat
penyerapan besi, khususnya fitat dan tanin.
Absorbsi besi dalam bentuk nonheme meningkat
empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C
berperan dalam memindahkan besi dari transferin
di dalam plasma ke feritin di hati. (Triyonate dan
Apoina, 2015; Ridwan, 2012)
b. Vitamin B12 dan Asam Folat
Vitamin B12 dan asam folat berfungsi sebagai
koenzim dalam pembentukan DNA.Defisiensi
Vitamin B12 dan asam folat menyebabkan anemia
megaloblastik, dimana terlihat disinkronisasi antara
pematangan sitoplasma dan inti nuklei mengarah ke
makrositosis dan inti yang belum matang. (Stabler,
2013)
c. Vitamin A
Vitamin A dapat mempengaruhi beberapa tahap
metabolisme Fe, yang termasuk erythropoiesis dan
pelepasan Fe dari tempat simpanan besi (feritin).
Vitamin A membuat Fe mudah larut dalam
intestinal lumen dan mencegah faktor penghambat
penyerapan Fe. Selain itu, vitamin A juga mencegah
terjadinya infeksi yang merupakan salah satu faktor
resiko anemia.( Michelazzo et al, 2013)

29
d. Zat Besi
Zat besi penting untuk sintesis hemoglobin oleh
eritrosit. Kebutuhan yang tinggi akan besi pada
wanita terutama disebabkan kehilangan zat besi
selama menstruasi. (Triyonate dan Apoina, 2015)
e. Zat seng/ Zinc
Zat seng diabsorpsi oleh usus melalui mekanisme
Divalent Metal Transporter-1(DMT-1)9 yang juga
transporter zat besi dan mineral lain dalam usus.
Adanya kesamaan transporter antara zat besi dan
zat seng mengakibatkan absorpsi antara zat besi dan
zat seng saling mempengaruhi satu sama lain.
(Ridwan, 2012)
f. Tembaga
Interaksi yang terlihat jelas antara zat besi dan
tembaga adalah pada protein yang mengandung
tembaga, yaitu ceruloplasmin. Ceruloplasmin
merupakan enzim yang disintesis pada hati dan
mengandung 6 atom tembaga pada strukturnya
sehingga hamper 90 persen tembaga yang ada
dalam tubuh terkandung pada protein ini.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
ternyata ceruloplasmin memiliki fungsi
ferroksidase, yaitu mengubah Fe(II) menjadi Fe(III)
sehingga memudahkan proses absorpsi besi oleh
transferrin. (Ridwan, 2012)

30
Tabel 4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Besi
Penyerapan Besi Kehilangan Darah/
Perdarahan
 Jumlah asupan besi  Pengeluaran besi
 Faktor yang fisiologismelalui
meningkatkan deskuamasi (kulit dan
penyerapan: Protein, organ pencernaan)
Daging, Vitamin C,  Menstruasi, Kehamilan,
Fermentasi, Keasaman Persalinan, Laktasi
lambung, alkohol,  Faktor patologis
cadangan besi dalam  Infeksi Cacing
tubuh, peningkatan
aktivitas eritropoiesis
Faktor penghambat
penyerapan : Kalsium,
tannin, teh dan kopi,
minuman herbal
(Sharma,J.B, 2010)

31
BAB V
ANEMIA
5.1 DEFINISI ANEMIA
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah dan
ukuran sel darah merah, atau konsentrasi hemoglobin,
turun di bawah nilai cut-off (batas) yang telah
ditetapkan, akibatnya mengganggu kapasitas darah
untuk mengangkut oksigen di sekitar tubuh. Anemia
merupakan indikator gizi buruk dan kesehatan yang
buruk. (WHO, 2014)

5.2 PENYEBAB ANEMIA


Secara umum, penurunan kadar serum besi
disebabkan terutama karena defisit besi yang
berkepanjangan dan bisa juga disebabkan karena
adanya infeksi akut dan kronis, proses peradangan yang
luas, neoplasma ganas, dan menstruasi. Kekurangan zat
besi diakibatkan oleh asupan dan penyerapan zat besi
yang tidak adekuat, kebutuhan zat besi meningkat
selama pertumbuhan, dan kehilangan zat besi yang
berlebihan. WUS (WUS) merupakan kelompok beresiko
karena menstruasi, sedangkan kehamilan dan persalinan
mengakibatkan ibu kehilangan zat besi 580 sampai 680
mg karena kebutuhan janin dan plasenta serta
pendarahan saat melahirkan. Pada usia anak-anak,
terjadi ekspansi yang cepat terhadap jumlah sel darah
merah yang mengakibatkan kebutuhan akan zat besi
sangat tinggi. (Pasricha et al, 2013)

32
Klasifikasi anemia berdasarkan penyebabnya yaitu :
(Sharma,J.B, 2010)
a. Penurunan produksi sel darah merah :
 Nutrisional
- Anemia defisiensi besi
- Anemia megaloblastik : Defisiensi asam
folat dan defisiensi vitamin B12
 Non nutrisional
- Penyakit kronis : HIV, TB, Gagal ginjal
- Gangguan sumsum tulang : Anemia
aplastik dan infiltrasi sumsum tulang
belakang
b. Fisiologis
 Selama Kehamilan
c. Perdarahan
 Akut : APH (Antepartum Haemorragic) dan
PPH (Post Partum Haemorragic)
 Kronis : Hemoroid dan Cacingan
d. Peningkatan penghancuran eritrosit (Hemolitik)
 Genetik
 Hemoglobinopati : Gangguan sintesis
(Thalasemia), Struktural (Sickle cell/anemia
sel sabit)
 Dapatan : Malaria dan gagal ginjal kronis

5.3 PATOFISIOLOGI ANEMIA


DEFISIENSI BESI
Anemia defisiensi besi dapat dikelompokkan
menjadi 3 tahap: defisiensi simpanan besi, eritropoiesis
defisiensi besi, dan anemia defisiensi besi. Awalnya saat
kehilangan darah, simpanan besi tubuh lebih
digunakan untuk eritropoiesis yang dipercepat. Setelah

33
penipisan dari simpanan besi tubuh, erythropoiesis dan
produksi besi lainnya (seperti mioglobin) menjadi
terbatas, sehingga menyebabkan anemia defisiensi besi.
Anemia diperparah oleh defisiensi eritrosit yang
memiliki kelangsungan hidup yang singkat karena
kerapuhannya, yang mempercepat penyerapan dan
penghancuran sel retikuloendotelial. (Naigamwalla et al,
2012)
Kekurangan zat besi berkembang secara bertahap
dan progresif sampai anemia terbentuk. Tahap pertama
anemia terdiri dari penipisan simpanan besi atau
keseimbangan besi negatif. Hal ini ditandai dengan
penurunan kadar ferritin serum. Saat cadangan besi
habis, tingkat feritin turun. (Cairo et al, 2014; ed.Gibney,
2009)
Tahap kedua, juga disebut sebagai "defisiensi
besi", ditandai dengan fase erythropoiesis. Besi habis,
tapi anemia belum ada, meski kelainan biokimia
mencerminkan ketidakmampuannya untuk
memproduksi hemoglobin secara normal. Indeks
saturasi transferrin mengalami penurunan (<16%) dan
terjadi peningkatan distribusi sel darah merah/Red Cell
Distribution Width (RDW) lebih dari 16% seta terjadi
pengurangan yang berarti dari rata-rata volume
corpuscular/ Mean Corpuscular Volume (MCV) <80 fl,
yang terdapat pada populasi microcytic dan
hypochromic eritrosit. (Cairo et al, 2014; ed.Gibney,
2009)
Tahap ketiga (anemia defisiensi zat besi itu
sendiri) adalah ditandai dengan pengurangan
pengiriman besi ke sumsum tulang, mengurangi sintesis
hemoglobin dan isi sel prekursor eritrosit. Kerusakan
yang ditimbulkan pada tubuh meningkat sebagai
34
konsentrasi besi yang tersedia berkurang. (Cairo et al,
2014)

5.4 GEJALA ANEMIA


Gejala anemia seperti kulit pucat, konjungtiva,
kuku pucat, kelelahan, vertigo, dyspnea, sesak saat
istirahat, sakit kepala dan takikardi. Pasien mungkin
juga menunjukkan dyspnea saat istirahat, angina
pektoris dan ketidakstabilan hemodinamik di kasus
yang parah. Kekurangan zat besi dengan cepat
mempengaruhi sel epitel sehingga menyebabkan
kekeringan dan kekasaran kulit, rambut kering dan
rusak, koilonychias dan alopecia. Kondisi anemia
cenderung berdampak negatif secara fisik kinerja,
sebagian besar produktivitas kerja karena berkurangnya
oksigen mengangkut kapasitas oksidatif seluler yang
berkurang. (Aldallal, 2017).

35
BAB VI
KELAINAN YANG
MEMPENGARUHI STATUS
BESI DAN HEPSIDIN
6.1 DIABETES MELITUS

Peningkatan kadar feritin serum telah


ditunjukkan dapat memprediksi diabetes melitus tipe 2
dalam penelitian prospektif. Pada penelitian terhadap
wanita dan pria dewasa (usia > 20 tahun), didapatkan
hubungan positif antara peningkatan cadangan besi
(diukur dengan kadar feritin serum) dengan prevalensi
diabetes melitus. Peningkatan glukosa darah secara
signifikan meningkatkan feritin serum pada kelompok
penelitian tersebut. Selain itu, ada kemungkinan
metabolisme glukosa juga mempengaruhi cadangan
besi tubuh. Insulin, melalui aktivasi faktor hipoksia-
inducible 1α dapat menurunkan sintesis hepsidin,
sehingga meningkatkan efisiensi penyerapan zat besi
intestinal (Lee et al, 2011)
Pasien diabetes Tipe 2 biasanya memiliki kadar
zat besi berlebih (iron overload). Hepsidin secara
langsung diturunkan oleh insulin, dan produksi
hepsidin yang tertekan bisa menjadi penyebab kelebihan
zat besi pada penderita diabetes tipe 2. Sebuah
penelitian pada 239 subjek non-diabetes dan 63 subjek
penderita diabetes tipe 2 menunjukkan bahwa pasien
diabetes memiliki kadar hepsidin yang secara signifikan
lebih rendah. (Wang et al, 2014; Ortegon et al, 2015)

36
6.2 PENYAKIT GINJAL
Cadangan besi tubuh berperan sebagai stressor
oksidatif, yang bisa mengurangi reaktif radikal bebas
terhadap radikal hidroksil yang lebih reaktif. Radikal
aktif ini dapat mempengaruhi lipid, protein, dan asam
deoksiribonukleat (DNA), yang mengakibatkan cedera
jaringan dan disfungsi. Kelebihan zat besi menyebabkan
peradangan, sehingga memicu perkembangan penyakit
ginjal. Kadar serum feritin berkorelasi dengan
penyimpanan besi tubuh total dan peradangan sistemik.
Kadar serum ferritin, protein fase akut, meningkat di
lingkungan peradangan (Kang et al, 2016)

6.3 PENYAKIT KEGANASAN


Pada penderita kanker ditemukan kadar
hepsidin yang tinggi. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh orlandi (2013) menemukan bahwa terdapat korelasi
positif antara kadar hepsidin dengan kejadian kanker
payudara . Pada pasien kanker payudara terjadi
peningkatan IL-6 yang menstimulasi peningkatan kadar
hepsidin (Orlandi, 2013)

6.4 IRON REFRACTORY-IRON


DEFICIENCY ANEMIA (IRIDA)
IRIDA adalah hipokromik herediter, anemia
mikrositik, refrakter terhadap pengobatan dengan zat
besi oral. Dasar molekuler peningkatan hepsidin pada
IRIDA karena mutasi pada inhibitor hepsidin TMPRSS6.
Ketika TMPRSS6 bermutasi, ekspresi hepsidin
meningkat, sehingga menghambat penyerapan besi dan
menghasilkan pengembangan anemia defisiensi besi.
(D’Angelo, 2013)

37
DAFTAR PUSTAKA

Alldallal, S .(2016). Iron deficiency anemia : A Short


Review. Journal of Immunology. Volume 2 ,No.4. Issue 1.

Ashby,DR. Gale,DP. Busbridge,M, Murphy, KG. Duncan


, ND. Cairns, TD. et al. (2009). Plasma hepcidin levels are
elevated but responsive to erythropoietin therapy in
renal disease. Kidney Int. Vol.75. No.9. pp.976-981

Bah, A. Pasricha, S. Jallow, MW. Sise, EA. Wegmuller, R.


Armitage, AE. et al. (2017). Serum hepcidin
concentrations decline during pregnancy and may
identify iron deficiency : analysis of a longitudinal
pregnancy cohort in the gambia. The Journal of Nutrition.
pp.1131-1137. Doi : 10.3945/jn.116.245373

Bansal, A. Sharma, AK. Sharma, S. Sujatha, R. (2016).


Iron deficiency anaemia in women of reproductive age
group attending a tertiary care hospital. Indian Journal
Scientic Research.Vol. 7.pp.109-1013

Burke, RM, Leon, JS. Suchdev, PS. (2014). Identification,


Prevention and Treatment of Iron Deficiency during the
First 1000 Days. Nutrients. Vol. 6. pp. 4093-4114.
doi:10.3390/nu6104093

Cairo, RC. Silva, LR. Bustani, NC. Marques, CD. (2014).


Iron deficiency anemia in adolescents; a literature
review. Nutricion Hospitalia. Vol. 29. pp.1240-1249.
DOI:10.3305/nh.2014.29.6.7245

38
Chang,J. Chen,Y. Owaga, E. Palupi, KC. Pan, W. Bai, C.
(2014). Nutrients. Vol.6. pp.3929-3941.
doi:10.3390/nu6093929

Charles,CV, (2012). Iron Deficiency Anemia: A public


health problem of global proportions.university of
guelph canada. Public Health – Methodology,
Environmental and Systems Issues. www
inthecophen.com

D’Angelo, Guido. (2013). Role of hepcidin in the


pathophysiology and diagnosis of anemia. Blood
Research. Vol.48.No.1.pp.10-15.
http://dx.doi.org/10.5045/br.2013.48.1.10

Elnabaheen,EM. (2017). Hepcidin status among iron


deficient anemic pregnant women in gaza strip:a case
control study. Thesis. The Islamic University-Gaza. Gaza
Ganz,T and Nemeth,E. (2012). Hepcidin and iron
homeostatis. National Institute of Health Public
Access.pp.1434–1443. doi:10.1016/j.bbamcr.2012.01.014.

Geerts, I. Vermeersch, P. Joosten, E. (2012). Evaluation


of the First Commercial Hepcidin ELISA for the
Differential Diagnosis of Anemia of Chronic Disease and
Iron Deficiency Anemia in Hospitalized Geriatric
Patients. ISRN Hematology. Vol.2012. pp.1-3.
doi:10.5402/2012/567491

Gibney, MJ (eds). (2009). Gizi Kesehatan Masyarakat


(Public Health Nutrition). Jakarta : EGC

39
Hall, JE. (2011). Buku ajar fisiologi kedokteran (Edisi 12).
Jakarta : EGC

Ilkovska, B. Kotevska, B. Trifunov, G. Kanazirev, B.


(2017). Serum Hepcidin Reference Range, Gender
Differences, Menopausal Dependence And Biochemical
Correlates In Healthy Subjects. Journal of IMAB. Vol.22.
DOI: http://dx.doi.org/10.5272/jimab.2016222.1127

Kang, HT. Linton, JA. Kwon, SK. Park, BJ. Lee, JH.
(2016). Ferritin Level Is Positively Associated with
Chronic Kidney Disease in Korean Men, Based on the
2010–2012 Korean National Health and Nutrition
Examination Survey. International Journal of
Environmental Research and Public Health. Vol.13.
doi:10.3390/ijerph13111058

Kanuri, G. Chichula, D. Sawhney, R. Kuriakose, K.


De'Souza, S. Pais, F. et al. (2018). Optimizing Diagnostic
Biomarkers of Iron Deficiency Anaemia in Community
Dwelling Indian Women and Preschool Children.
Haematologica. doi:10.3324/haematol.2018.193243

Kwapisz,J. Slomka, Zekanowska,E. (2009). Hepcidin and


its role in iron homeostasis. The Journal of The
International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory
Medicine .Vol 20. No 2. pp.124-128

Lee, BK. Kim,Y. Kim, Y-II. (2011). Association of serum


ferritin with metabolic syndrome and diabetes mellitus
in the South Korean general population according to the
Korean National Health and Nutrition Examination

40
Survey 2008. Metabolism and Clinical Experimental. Vol.60.
No.2. pp. 1416-1424

Manolov, V. Marinov, B. Velizarova, M. Atanasova, B.


Vasilev, V. Tzatchev. K. et al. (2015). Anemia in
pregnancy and serum hepcidin levels. International
Journal of Advanced Research. Vol. 3. Issue 1.pp. 758-761

Michelazzo, FB. Oliveira, JM. Stefanello, J. Luzia, LA.


Rondó, PH. (2013). The Influence of Vitamin A
Supplementation on Iron Status. Nutrients. Vol. 5. Pp.
4399-4413. doi:10.3390/nu5114399

Murray-Kolb, LE. (2011). Iron status and


neuropsychological consequences in women of
reproductive age: what do we know and where are we
headed. The Journal of Nutrition. pp. 747S–755S.
doi:10.3945/jn.110.130658

Naigamwalla, D. Webb, JA. Giger, U. (2012). Iron


deficiency anemia.Canada Veterinary Journal. Vol.53. pp
250-256

Nagababu, E. Gulyani,S. Earley,CJ. Cutler,RG.


Mattson,MP. Rifkind,JM. (2008). Iron-Deficiency Anemia
Enhances Red Blood Cell Oxidative Stress. Free Radical
Research. Vol.42. No.9. pp.824–829.
doi:10.1080/10715760802459879.

Orlandi, R. Bortoli,M. Ciniselli. Vaghi,E. Caccia,D.


Garrisi,V. et al. (2013). Hepcidinand ferritin blood level
as noninvasive tools for predicting breast cancer. Annals
of Oncology. Vol. 25. No.2 pp.352–357.
41
doi:10.1093/annonc/mdt490

Pasricha,S. Drakesmith,H. Black, J. Hipgrave, D. Biggs,


B. (2013). Control of iron deficiency anemia in low- and
middle-income countries. Blood Journal. Vol.121. No.14.
pp.2607-2617. doi:10.1182/blood-2012-09-453522

Parischa,,S. McQuilten,Z. Westerman, M. Keller, A.


Nemeth, E. Ganz,T. Wood, E. (2011). Serum hepcidin as
a diagnostic test of iron deficiency in premenopausal
female blood donors. Haematologica. pp. 1099-1105
doi:10.3324/haematol.2010.037960

Parischa,,S, Caruana, SR. Phuc,TQ. Gerard J. Casey, GJ.


Jolley,D. Kingsland, S. (2008). Anemia, iron deficiency,
meat consumption, and hookworm infection in women
of reproductive age in northwest vietnam. American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene.pp. 375–381.

Perdana,WY. Jacobus, DJ. (2015). Hepcidin dan anemia


defisiensi besi. CDK-235. Vol.42. No. 12. pp.919-926

Permaesih,D. Herman,S. (2005). Faktor-faktor yang


mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian
Kesehatan. Vol. 33. No. 4. Pp.162-171

Ridwan, Endi. (2012). Kajian Interaksi Zat Besi Dengan


Zat Gizi Mikro Lain Dalam Suplementasi (Review Of
Interactions Between Iron And Other Micronutrients In
Supplementation). Penel Gizi Makan . Vol.35. No. 1. Pp. 49-
54

42
Rishi, G, Wallace, DF and Subramaniam, VN. (2015)
.Hepcidin: regulation of the master iron regulator.
Bioscience. Report. doi 10.1042/BSR20150014

Rossi, E. (2005). Hepcidin - the Iron Regulatory


Hormone. I Clin Biochem Rev . Vol.26

Sal, E. Yenicesu,I. Celik,N. Pasaoglu,H. Celik,


B.Pasaoglu,OT. (2018). Relationship between obesity and
iron deficiency anemia: is there a role of hepcidin?.
Hematology. DOI: 10.1080/10245332.2018.1423671

Scarff, CA. Patel, VJ. Thalassinos, K. Scrivens, JH. (2009).


Probing Hemoglobin Structure by Means of Traveling-
Wave Ion Mobility Mass Spectrometry. Journal of
American Society for Mass Spectrometry. Vol.20. pp. 625–
631. doi:10.1016/j.jasms.2008.11.02

Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia (Edisi 6). Jakarta :


EGC

Sharma ,J.B. Shankar, M. (2010). Anemia in Pregnancy.


JIMSA. Vol. 23. No. 4

Stabler,SP. 2013. Vitamin B12 Deficiency. The new engl


and journal of medicine. Vol. 368. Pp.149-60. DOI:
10.1056/NEJMcp1113996

Sudikno. Sandjaja. (2016). Prevalensi dan Faktor Resiko


Anemia pada Wanita Usia Subur di Rumah Tangga
Miskin di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis, Provinsi
Jawa Barat. Jurnal Kesehatan Reproduksi . Vol. 7. No 2
43
Triyonate, EM. Kartini,A. (2015). Faktor determinan
anemia pada wanita dewasa usia 23-35 tahun. Journal of
Nutrition College. Vol. 4, No. 2. Pp. 259-263

Ugwuja, EU. Ogbonnaya,L. Obuna,AJ. Femiawelegbe,


Henry, UC. (2015). Anaemia in relation to body mass
index (bmi) and socio-demographic characteristics in
adult nigerians in Ebonyi State. Vol.9. No.1. pp.LC04-
LC07. doi: 10.7860/jcdr/2015/9811.5485

Vyas, S. Kapoor, A. Nema, SK. Suman, S. (2017).


Quantification of Serum Hepsidin as A Potential
Biomarker in Diagnosis of Iron Deficiency Anaemia.
International Journal of Research in Medical Sciences. Vol.5.
No.7. pp. 2926-2930. DOI :
http://dx.doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms10172546

WHO. (2015). The global prevalence of anaemia in 2011.


www.who.int/.../global_prevalence_anaemia_2011/en/

WHO. (2014). Anemia Policy Brief.


www.who.int/.../globaltargets
_anaemia_policybrief.pdf

WHO.(2011). Haemoglobin concentrations for the


diagnosis of anaemia and assessment of severity.
www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin/en

WHO. (2011). Prevention of iron deficiency anaemia in


adolescents.
http://www.who.int/iris/handle/10665/205656

44
Wimbley, TD. Graham, DY. (2011). Diagnosis and
management of iron deficiency anemia in the 21st
century. Therapeutic Advances in Gastroenterology . Vol.4.
No.3 pp.177-184. DOI: 10.1177/1756283X11398736

Wirth, JP. Woodruff, BA. Stone, RE. Namaste, SML.


(2014). Predictors of anemia in women of reproductive
age: Biomarkers Reflecting Inflammation and
Nutritional Determinants of Anemia (BRINDA) project.
American Journal Clinical Nutrition. pp.16S–27S

Wu, Guoyao. Dietary protein intake and human health.


(2016). Food Funct. Vol.7. pp.1251-1265. DOI:
10.1039/c5fo01530h

Zhao,N. Zhang, A. Enns, CA. (2013). Iron regulation by


hepcidin. Science in medicine.
https://doi.org/10.1172/JCI67225.

45

Anda mungkin juga menyukai