Buku Hepsidin Dan Anemia - Putri Engla Pasalina
Buku Hepsidin Dan Anemia - Putri Engla Pasalina
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................i
Daftar Isi..................................................................................ii
Daftar Tabel...........................................................................iv
Daftar Gambar.......................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.....................................................1
BAB II HEPSIDIN
2.1 Definisi Hepsidin..............................................4
2.2 Struktur Hepsidin.............................................5
2.3 Peran Hepsidin Dalam Homeostasis
Besi......................................................................6
2.4 Regulasi Hepsidin............................................9
2.5 Kadar Hepsidin...............................................13
2.6 Hepsidin dan Anemia....................................14
BAB V ANEMIA
5.1 Definisi Anemia.............................................32
5.2 Penyebab Anemia..........................................32
ii
5.3 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi..........33
5.4 Gejala Anemia................................................35
DAFTAR PUSTAKA...........................................................38
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR`
v
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
HEPSIDIN
2.1 DEFINISI HEPSIDIN
4
kesehatan ibu dan anak balita dalam keluarga
dan masyarakat. (Karwati, 2013; Syafrudin, 2012)
5
Gambar 2.1 Struktur hepsidin (Elnabaheen, EM, 2017)
7
Gambar 2.2 Mekanisme absorbsi besi di intestinal
(Naigamwalla et al, 2012)
8
Peningkatan besi plasma menyebabkan
peningkatan dalam produksi hepsidin (panah kuning).
Kadar hepsidin yang tinggi menghambat aliran besi ke
plasma dari sel enterosit duodenum, makrofag dan
hepatosit. Akibat besi plasma yang terus dikonsumsi
untuk sintesis hemoglobin, maka kadar besi plasma
menurun dan produksi hepsidin dihentikan. Dengan
demikian, selesailah proses homeostatis. (Wimbley and
Graham, 2011)
9
sintesis hepsidin, dengan mekanisme yang berbeda.
(Ganz, and Nemeth, 2012)
b. Regulasi Hepsidin oleh Eritripoiesis
Produksi hepsidin juga diatur oleh proses
eritropoietik, yang ditandai dengan kebutuhan zat
besi yang tinggi. Selain besi, hepsidin diatur secara
homeostatik oleh kebutuhan besi untuk
eritropoiesis. Selama proses erythropoiesis aktif,
produksi hepsidin ditekan. penekanan hepsidin
menyebabkan besi yang disimpan dilepaskan oleh
hepatosit dan makrofag, sementara penyerapan zat
besi di usus meningkat sehingga lebih banyak zat
besi tersedia untuk sintesis hemoglobin. (Ganz and
Nemeth, 2012; D’Angelo, 2013)
10
perluasan erythropoiesis, yang membutuhkan zat
besi yang memadai untuk hemoglobinisasi dari sel
darah merah. Produksi dan hemoglobinisasi dari
eritroid masih bisa terjadi, jika hepsidin ditekan.
(D’Angelo, 2013)
c. Regulasi Hepsidin oleh Hipoksia
Adanya penurunan kadar hepsidin pada
kondisi hipoksia telah dilaporkan pada penelitian
in-vivo. Hal ini mungkin merupakan efek langsung
hipoksia terhadap ekspresi EPO yang juga
mempengaruhi eritropoiesis dan/atau dapat juga
merupakan interaksi langsung dengan reseptor
hepatosit. Sebagai tambahan, rendahnya
konsentrasi hepsidin akibat hipoksia juga disinyalir
merupakan mekanisme stabilisasi oleh hepar
melalui hypoxia-inducible factor (HIF)-1, yang
selanjutnya akan mengurangi efek jalur sinyal
BMP/SMAD. (Perdana & Jacobus, 2015)
Mekanisme terikatnya HIF dengan
promotor hepsidin masih belum jelas diketahui.
Namun, ada beberapa mekanisme tidak langsung
oleh HIF yang dapat mempengaruhi ekspresi
hepsidin. Peningkatan aktivitas HIF berkaitan
dengan peningkatan aktivitas pemecahan
hemojuvelin oleh matriptase, dan ini akan
menurunkan ekspresi hepsidin. Peranan lain HIF
dapat dilihat pada tikus dengan defisiensi intestinal
HIF2α memiliki ekspresi ferroportin dan DMT1
yang rendah, dan tidak bisa mengabsorpsi besi
dengan baik, walaupun dengan kadar hepsidin
rendah. Karena itu, HIF diduga juga ikut berperan
dalam regulasi gen hepsidin baik akibat hipoksia
11
maupun rendahnya kadar besi (Perdana & Jacobus,
2015)
d. Regulasi Hepsidin oleh Inflamasi
Pada kondisi inflamasi, ekspresi hepsidin
cenderung meningkat. Inflamasi dan infeksi
meningkatkan sintesis hepsidin. Hal ini yang dapat
menyebabkan disregulasi besi yang ditandai
dengan hypoferremia dan anemia terkait dengan
penyakit inflamasi. Hipoferremia menunjukkan
pertahanan untuk membatasi ketersediaan zat besi
untuk mikroorganisme. Pasien dengan sepsis,
penyakit radang usus, myeloma, luka bakar, dan
kadar protein C reaktif (CRP)> 10 mg / dL, kadar
hepsidin dalam darahnya meningkat secara
signifikan. Makrofag dirangsang selama proses
peradangan, dimana stimulasi tergantung pada
tingkat keparahan peradangan. Makrofag
teraktivasi melepaskan jaringan sitokin.
Diantaranya interleukin-6 (IL-6), yang merupakan
salah satu inducer/ perangsang utama bagi
peningkatan hepsidin yang pada akhirnya
menghasilkan hypoferremia. Hepsidin
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag
sekaligus penyerapan zat besi di usus. (D’Angelo,
2013)
12
myeloid melalui aktivasi dari TRL4, reseptor yang
terletak di membran neutrofil dan makrofag
(D’Angelo, 2013)
13
Tabel 2.1 Rentang Kadar Hepsidin per 5 Tahun
Kelompok Usia pada Populasi Sehat
Umur N Median 5% 95%
(tahun) (ng/ml)
18-24 10 7,9 3 15,3
25-29 20 5,76 3,03 19,1
30-34 9 6,57 2,93 16
35-39 13 14,74 3,25 30,79
40-44 14 6,072 3,42 22,57
45-49 16 6,1 1,23 30,6
50-54 14 8,55 4 20
55-59 15 7,06 2,74 22,01
60 9 10,43 2,13 36,46
(Ilkovska et al, 2017)
14
penipisan besi di makrofag intraselular.(Ganz and
Nemeth, 2012)
Mekanisme aktivitas hepsidin bergantung pada
interaksi hepsidin dengan ferroportin. Ferroportin
adalah satu-satunya pengekspor besi pada mamalia,
yang diekspresikan pada permukaan makrofag retikulo-
endotel, hepatosit, sel enterosit duodenum. Hepsidin
berikatan dengan ferroportin dan menyebabkan
internalisasi dan degradasi ferroportin, yang pada
gilirannya menghambat transportasi besi via ferroportin.
Bila penyimpanan zat besi cukup atau tinggi,
peningkatan ekspresi hepsidin menghambat penyerapan
zat besi pada usus, pelepasan besi dari makrofag dan
hepatosit. Di sisi lain, saat simpanan besi rendah,
produksi hepsidin ditekan. (Kwapisz et al, 2009)
Produksi hepsidin meningkat disebabkan oleh
peradangan/ Anemia of Chronic Disease (ACD) dan
produksi hepsidin yang menurun disebabkan oleh
anemia defisiensi besi/ Iron Deficiency Anemia (IDA).
Patogenesis ACD dikaitkan dengan penurunan
penyerapan zat besi dan gangguan mobilisasi cadangan
besi. Individu dengan anemia peradangan, ditandai oleh
gangguan penyerapan zat besi, hipoferremia dan
hyperferritinemia, memiliki kadar hepsidin lebih tinggi
daripada subyek sehat. Konsentrasi hepsidin serum
yang lebih tinggi pada pasien dengan ACD daripada
pada orang sehat disebabkan karena peningkatan IL-6.
Peningkatan IL-6 menstimulasi hepar meningkatkan
sintesis dan sekresi hepsidin (Kwapisz et al, 2009)
15
Tabel 2.2 Kadar hepsidin dan parameter lainnya pada
berbagai tipe anemia
Soluble
Kadar Saturasi Kadar
Tipe Anemia Transferrin
Hepsidin Transferin Feritin
Receptor
16
BAB III
HEMOGLOBIN
3.1 DEFINISI HEMOGLOBIN
Nama Hemoglobin merupakan gabungan dari
heme dan globin. Heme adalah gugus prostetik yang
terdiri dari atom besi, sedang globin adalah protein yang
dipecah menjadi asam amino. Hemoglobin terdapat
dalam sel-sel darah merah dan merupakan pigmen
pemberi warna merah sekaligus pembawa oksigen dari
paru-paru ke seluruh sel-sel tubuh. Hemoglobin (Hb)
adalah tetramer (mengandung 4 subunit protein) yang
terdiri dari empat rantai globin, masing-masing
berhubungan dengan sebuah kelompok heme.
Hemoglobin adalah protein pengangkut oksigen utama
ditemukan di sel darah merah semua vertebrata. (Scarf
et al, 2009)
17
membentuk protoporfirin IX, yang kemudian bergabung
dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya
setiap molekul heme bergabung dengan rantai
polipeptida panjang, yaitu globin yang disintesis oleh
ribosom, membentuk suatu subunit hemoglobin yang
disebut rantai hemoglobin(Gambar 2.3). Tiap-tiap sub
unit/ rantai memiliki berat molekul kurang lebih 16.000
Dalton. Empat rantai ini selanjutnya akan berikatan
longgar satu sama lain untuk membentuk molekul
hemoglobin yang lengkap. .(Hall, 2011)
Bentuk rantai subunit hemoglobin bervariasi,
bergantung pada susunan asam amino di bagian
polipeptidanya. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa,
beta, gamma dan delta. Bentuk hemoglobin paling
umum pada orang dewasa adalah yaitu hemoglobin A,
merupakan kombinasi dari dua rantai α (alfa) dan dua
rantai β (beta). Hemoglobin A mempunyai berat
molekul 64.458 da. .(Hall, 2011)
18
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian :
(dapat dilihat pada Gambar2.4)
a. Bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari
empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-
lipat
b. Gugus heme, yaitu empat gugus nonprotein
yang mengandung besi, dengan masing-masing
terikat ke polipeptida yang disebutkan di atas.
(Sherwood, 2011)
19
akan berwarna kemerahan dan darah vena yang telah
kehilangan sebagian kandungan O2 di tingkat jaringan,
memiliko rona kebiruan. (Sherwood, 2011)
20
Oleh karena itu, hemoglobin berperan kunci dalam
transport O2 sekaligus memberi kontribusi signifikan
pada transport CO2 dan kemampuan darah menyangga
pH. Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya
sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan O2 yang
dibawanya. (Sherwood, 2011)
21
vena, hal ini berpotensi menyebabkan hasil negatif
palsu. (WHO, 2011)
Batasan kadar hemoglobin normal menurut
umur terdapat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.1 Kadar Hemoglobin Berdasarkan Kelompok
Umur
Batas Nilai
Kelompok Umur Hemoglobin Normal
(gr/dl)
Anak 6 bulan - 59 tahun 11,0 atau lebih
22
BAB IV
METABOLISME BESI
4.1 PROSES METABOLISME BESI
Metabolisme besi terutama ditujukan untuk
pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk
reutilisasi berasal dari eritrosit tua yang dihancurkan
oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi
seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25
mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari,
tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk
dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh
makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Besi dari
sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2
mg, sebanyak itu pula yang dapat hilang karena
deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja. (Wimbley and
Graham, 2011)
Proses yang aktif diduodenum menyerap zat
besi. Kemudian zat besi yang diserap dibawa melalui
membrane mukosa serta serosa ke dalam darah, dan
dari sini, protein pembawa besi (transferrin) yang ada
dalam plasma mengangkutnya ke dalam sel atau ke
sumsum tulang bagi keperluan eritropoisis. Transferin
membawa zat besi ke dalam jaringan melalui reseptor
membran sel yang spesifik dengan transferrin. Reseptor
sel tersebut mengikat kompleks transferrin dan zat besi
pada permukaan sel serta membawanya ke dalam sel
untuk melepaskan zat besi. (ed. Gibney, 2009)
Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke
prekursor eritrosit di sumsum tulang yang memiliki
banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4%
digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk
23
sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C dan
katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk
feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan
reseptor transferin masuk ke dalam sitoplasma
prekursor eritrosit melalui endositosis. Sebanyak 80–90%
molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit
akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin
akan dipakai lagi, sedangkan transferin akan kembali ke
dalam sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari
endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk
diproses menjadi hem setelah bergabung dengan
protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin.
(Wimbley and Graham, 2011)
Tubuh orang dewasa mengandung 3-4 g besi.
Biasanya, diet barat mengandung sekitar 7 mg besi per
1000 kkal. Namun, hanya 1-2 mg yang diserap setiap
hari. Diet manusia berisi dua bentuk besi: besi heme dan
non-heme. Besi heme berasal dari daging dan terserap
dengan baik. Enzim pankreas mencerna heme untuk
membebaskannya dari molekul globin di lumen
intestinal. Besi kemudian diserap ke dalam enterosit
sebagai metalloporphyrin dan terdegradasi oleh heme
oxygenase-1 untuk melepaskan zat besi non heme.
Selanjutnya, besi diekspor oleh ferroportin yang terletak
di bagian basolateral enterosit. (Wimbley and Graham,
2011)
Besi nonheme juga hadir sebagai ferro ( )
atau ferri ( ) besi. Lingkungan perut yang asam dan
makanan tertentu diketahui dapat meningkatkan
bioavailabilitas zat besi. Vitamin C, misalnya, berfungsi
mencegah presipitasi/ pengendapan besi ferri di
duodenum. Makanan lain yang mengandung phytates
24
(biji-bijian) dan tannin (teh nonherbal) diketahui
menurunkan penyerapan zat besi nonheme. (Wimbley
and Graham, 2011)
Setelah besi ferri ( ) ke duodenum, ferri
( ) harus direduksi terlebih dahulu menjadi bentuk
ferro ( ) oleh duodenal sitokrom B (Dcyt B) sebelum
penyerapan, dimana didalam duodenal sitokrom B
tersebut terdapat enzim ferrireduktase. Duodenal
sitokrom B adalah reduktase yang berada di perbatasan
sikat duodenum dan proximal jejunum Setelah
dikurangi, logam divalen transporter 1 (DMT 1),
mengangkut besi ferro ( ) dari lumen intestinal
proksimal ke dalam membran apical enterocyte . Setelah
masuk ke dalam sel, besi ferro ( ) dapat disimpan
sebagai feritin atau transverses sel ke aspek basolateral
enterocyte dimana ferroportin berada. Ferroportin
terdapat pada mukosa proksimal usus halus, makrofag,
hepatosit dan plasenta. (Wimbley and Graham, 2011)
Sebelum ditranspor ke dalam plasma, besi
dalam bentuk ferro akan direoksidasi terlebih dahulu
menjadi ferri yang selanjutnya akan berikatan dengan
transferin dan ditranspor ke jaringan untuk digunakan
dan disimpan. Transferrin memiliki dua tempat ikatan,
masing-masing tempat akan mengikat satu atom besi
(oleh karenanya, akan ditemukan tiga bentuk di dalam
plasma: apo-transferrin yang tidak mengandung besi,
monoferrictransferrin, dan diferric-transferrin). Setelah di
plasma besi diangkut oleh transferrin ke sumsum tulang
untuk sintesis hemoglobin dan penggabungan ke dalam
eritrosit. (Wimbley and Graham, 2011)
25
Eritrosit normal beredar kira-kira 120 hari
sebelum terdegradasi. Sel darah merah yang menua
diliputi oleh makrofag di sistem retikuloendotelial,
terutama di limpa dan hati dimana mereka terdegradasi
dan diikat oleh hemeoxygenase sitosolik-1. Daur ulang
besi dari sel darah merah adalah sumber besi utama
untuk eritropoiesis dan untuk pengiriman 40-60mg zat
besi / hari ke sumsum tulang. Beberapa zat besi dari sel
darah merah yang menua juga disimpan dalam
makrofag sebagai feritin (bentuk utama cadangan besi)
atau hemosiderin ( bentuk besi yang larut dalam air),
dan sebagian besar dilepaskan oleh ferroportin ke dalam
plasma yang terikat pada transferin untuk daur ulang.
(Wimbley and Graham, 2011)
26
Metabolisme besi secara sederhana, dimulai
dari penyerapan besi di dalam usus, dengan besi non-
heme diimpor oleh Divalen Metal Transporter 1 (DMT1).
Besi ferro dioksidasi menjadi besi ferri dan kemudian
diekspor oleh ferroportin. Dalam plasma, zat besi
disimpam dalam transferrin. Besi yang terikat
transferrin, diimpor dengan bantuan reseptor transferin
ke hati, jantung dan tempat penyimpanan lainnya,
dimana besi disimpan dalam feritin. Hepsidin,
diproduksi oleh hati, membantu mengatur metabolisme
zat besi dengan mengikat ferroportin dan menghambat
ekspor besi. Di dalam sumsum tulang, besi digabungkan
ke dalam hemoglobin untuk dimasukkan ke dalam
eritrosit. Makrofag mendaur ulang zat besi dari eritrosit,
sebagian besar di limpa. Tidak ada mekanisme untuk
ekskresi besi oleh ginjal atau hati, meskipun dalam
jumlah kecil hilang melalui kotoran. Menstruasi,
kehamilan dan menyusui mengakibatkan hilangnya zat
besi pada wanita.(Burke et al, 2014)
Tidak ada mekanisme fisiologis untuk ekskresi
besi ada dan hanya 1 – 2 mg zat besi hilang setiap hari
sebagai akibat dari peluruhan sel (yaitu dari lapisan
mukosa saluran pencernaan, kulit,dan tubulus ginjal).
Pada wanita, kira-kira 0,006 mg besi / kg / hari hilang
pada waktu menstruasi normal. .Jadi, normalnya
kehilangan dan pertambahan besi seimbang, dimana
jumlah yang hilang setiap hari sama dengan jumlah
yang diserap setiap hari. Tubuh memiliki kemampuan
untuk meningkatkan penyerapan zat besi intestinal pada
saat tubuh membutuhkan besi. Ketika jumlah besi yang
hilang lebih banyak dari pada diserap, maka cadangan
besi menjadi habis dan orang tersebut mengalami
defisiensi besi. Jika proses tersebut terus berlanjut, maka
27
orang itu akan mengalami anemia defisiensi besi.
(Wimbley and Graham, 2011)
Kekurangan zat besi dikaitkan dengan
penyerapan zat besi dari usus dengan cara peningkatan
produksi protein utama, seperti duodenal sitokrom b,
logam divalen transporter 1 (DMT-1), dan ferroportin.
Hipoksia-inducible factor dan protein pengatur besi
juga memainkan peran penting dalam regulasi lokal dari
penyerapan zat besi. Hipoksia-inducible factor (HIF),
mengatur ulang ekspresi duodenum sitokrom b dan
logam divalent trans-porter 1, sedangkan protein
pengatur besi mengatur ulang ekspresi logam divalen
transporter 1 dan ferroportin. Kedua jalur ini sangat
penting untuk peningkatan penyerapan zat besi yang
terkait dengan kekurangan zat besi. (Wimbley and
Graham, 2011)
Sistem di atas diperiksa oleh hepsidin, sebuah
hormon yang disintesis di hati, disekresikan ke dalam
darah dan sistemik, dimana hormon hepsidin yang
mengendalikan laju penyerapan zat besi serta mobilisasi
zat besi dari tempat penyimpanan. Hepsidinmengikat,
dan menghambat fungsi ferroportin. Janus kinase 2
diaktifkan pada saat hepsidinmengikat ferroportin,
sehingga menghasilkan internalisasi dan degradasi
ferroportin. (Wimbley and Graham, 2011)
28
4.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
METABOLISME BESI
29
d. Zat Besi
Zat besi penting untuk sintesis hemoglobin oleh
eritrosit. Kebutuhan yang tinggi akan besi pada
wanita terutama disebabkan kehilangan zat besi
selama menstruasi. (Triyonate dan Apoina, 2015)
e. Zat seng/ Zinc
Zat seng diabsorpsi oleh usus melalui mekanisme
Divalent Metal Transporter-1(DMT-1)9 yang juga
transporter zat besi dan mineral lain dalam usus.
Adanya kesamaan transporter antara zat besi dan
zat seng mengakibatkan absorpsi antara zat besi dan
zat seng saling mempengaruhi satu sama lain.
(Ridwan, 2012)
f. Tembaga
Interaksi yang terlihat jelas antara zat besi dan
tembaga adalah pada protein yang mengandung
tembaga, yaitu ceruloplasmin. Ceruloplasmin
merupakan enzim yang disintesis pada hati dan
mengandung 6 atom tembaga pada strukturnya
sehingga hamper 90 persen tembaga yang ada
dalam tubuh terkandung pada protein ini.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
ternyata ceruloplasmin memiliki fungsi
ferroksidase, yaitu mengubah Fe(II) menjadi Fe(III)
sehingga memudahkan proses absorpsi besi oleh
transferrin. (Ridwan, 2012)
30
Tabel 4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Besi
Penyerapan Besi Kehilangan Darah/
Perdarahan
Jumlah asupan besi Pengeluaran besi
Faktor yang fisiologismelalui
meningkatkan deskuamasi (kulit dan
penyerapan: Protein, organ pencernaan)
Daging, Vitamin C, Menstruasi, Kehamilan,
Fermentasi, Keasaman Persalinan, Laktasi
lambung, alkohol, Faktor patologis
cadangan besi dalam Infeksi Cacing
tubuh, peningkatan
aktivitas eritropoiesis
Faktor penghambat
penyerapan : Kalsium,
tannin, teh dan kopi,
minuman herbal
(Sharma,J.B, 2010)
31
BAB V
ANEMIA
5.1 DEFINISI ANEMIA
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah dan
ukuran sel darah merah, atau konsentrasi hemoglobin,
turun di bawah nilai cut-off (batas) yang telah
ditetapkan, akibatnya mengganggu kapasitas darah
untuk mengangkut oksigen di sekitar tubuh. Anemia
merupakan indikator gizi buruk dan kesehatan yang
buruk. (WHO, 2014)
32
Klasifikasi anemia berdasarkan penyebabnya yaitu :
(Sharma,J.B, 2010)
a. Penurunan produksi sel darah merah :
Nutrisional
- Anemia defisiensi besi
- Anemia megaloblastik : Defisiensi asam
folat dan defisiensi vitamin B12
Non nutrisional
- Penyakit kronis : HIV, TB, Gagal ginjal
- Gangguan sumsum tulang : Anemia
aplastik dan infiltrasi sumsum tulang
belakang
b. Fisiologis
Selama Kehamilan
c. Perdarahan
Akut : APH (Antepartum Haemorragic) dan
PPH (Post Partum Haemorragic)
Kronis : Hemoroid dan Cacingan
d. Peningkatan penghancuran eritrosit (Hemolitik)
Genetik
Hemoglobinopati : Gangguan sintesis
(Thalasemia), Struktural (Sickle cell/anemia
sel sabit)
Dapatan : Malaria dan gagal ginjal kronis
33
penipisan dari simpanan besi tubuh, erythropoiesis dan
produksi besi lainnya (seperti mioglobin) menjadi
terbatas, sehingga menyebabkan anemia defisiensi besi.
Anemia diperparah oleh defisiensi eritrosit yang
memiliki kelangsungan hidup yang singkat karena
kerapuhannya, yang mempercepat penyerapan dan
penghancuran sel retikuloendotelial. (Naigamwalla et al,
2012)
Kekurangan zat besi berkembang secara bertahap
dan progresif sampai anemia terbentuk. Tahap pertama
anemia terdiri dari penipisan simpanan besi atau
keseimbangan besi negatif. Hal ini ditandai dengan
penurunan kadar ferritin serum. Saat cadangan besi
habis, tingkat feritin turun. (Cairo et al, 2014; ed.Gibney,
2009)
Tahap kedua, juga disebut sebagai "defisiensi
besi", ditandai dengan fase erythropoiesis. Besi habis,
tapi anemia belum ada, meski kelainan biokimia
mencerminkan ketidakmampuannya untuk
memproduksi hemoglobin secara normal. Indeks
saturasi transferrin mengalami penurunan (<16%) dan
terjadi peningkatan distribusi sel darah merah/Red Cell
Distribution Width (RDW) lebih dari 16% seta terjadi
pengurangan yang berarti dari rata-rata volume
corpuscular/ Mean Corpuscular Volume (MCV) <80 fl,
yang terdapat pada populasi microcytic dan
hypochromic eritrosit. (Cairo et al, 2014; ed.Gibney,
2009)
Tahap ketiga (anemia defisiensi zat besi itu
sendiri) adalah ditandai dengan pengurangan
pengiriman besi ke sumsum tulang, mengurangi sintesis
hemoglobin dan isi sel prekursor eritrosit. Kerusakan
yang ditimbulkan pada tubuh meningkat sebagai
34
konsentrasi besi yang tersedia berkurang. (Cairo et al,
2014)
35
BAB VI
KELAINAN YANG
MEMPENGARUHI STATUS
BESI DAN HEPSIDIN
6.1 DIABETES MELITUS
36
6.2 PENYAKIT GINJAL
Cadangan besi tubuh berperan sebagai stressor
oksidatif, yang bisa mengurangi reaktif radikal bebas
terhadap radikal hidroksil yang lebih reaktif. Radikal
aktif ini dapat mempengaruhi lipid, protein, dan asam
deoksiribonukleat (DNA), yang mengakibatkan cedera
jaringan dan disfungsi. Kelebihan zat besi menyebabkan
peradangan, sehingga memicu perkembangan penyakit
ginjal. Kadar serum feritin berkorelasi dengan
penyimpanan besi tubuh total dan peradangan sistemik.
Kadar serum ferritin, protein fase akut, meningkat di
lingkungan peradangan (Kang et al, 2016)
37
DAFTAR PUSTAKA
38
Chang,J. Chen,Y. Owaga, E. Palupi, KC. Pan, W. Bai, C.
(2014). Nutrients. Vol.6. pp.3929-3941.
doi:10.3390/nu6093929
39
Hall, JE. (2011). Buku ajar fisiologi kedokteran (Edisi 12).
Jakarta : EGC
Kang, HT. Linton, JA. Kwon, SK. Park, BJ. Lee, JH.
(2016). Ferritin Level Is Positively Associated with
Chronic Kidney Disease in Korean Men, Based on the
2010–2012 Korean National Health and Nutrition
Examination Survey. International Journal of
Environmental Research and Public Health. Vol.13.
doi:10.3390/ijerph13111058
40
Survey 2008. Metabolism and Clinical Experimental. Vol.60.
No.2. pp. 1416-1424
42
Rishi, G, Wallace, DF and Subramaniam, VN. (2015)
.Hepcidin: regulation of the master iron regulator.
Bioscience. Report. doi 10.1042/BSR20150014
44
Wimbley, TD. Graham, DY. (2011). Diagnosis and
management of iron deficiency anemia in the 21st
century. Therapeutic Advances in Gastroenterology . Vol.4.
No.3 pp.177-184. DOI: 10.1177/1756283X11398736
45