Anda di halaman 1dari 1

Tangis Untuk Esok

***
Beberapa saat lalu aku menemukan diriku pada gadis kecil yang tengah meringkuk lemah dalam
dekapan ayahnya.
atanya sembab, mengisak sedih sambil menggumamkan kata "Mama" berulang kali. Aku
memandinginya cukup lama. Kami tidak dekat, hanya sekadar kenal. Ayahnya adalah sajabat
dekat almarhum ayahku. Sebenarnya masih ada ikatan saudara juga.

Dirinya hari ini adalah aku tiga tahun lalu. Yang baru saja mengalami bagaimana dan seperti apa
kiamat kecil itu terjadi. Melihat sendiri dengan mata kepalanya buminya runtuh tentu bukan hal
yang mudah. Aku tahu rasa itu, aku teriris namun tak mampu meneteskan air mata. Kudekati dia,
mengulurkan tangan sambil memeluknya. Hal itu terjadi begitu saja tanpa kurencanakan.

Aku mengelus punggungnya, meresapi sedalam apa takdir menikam hati rapuh gadis itu.
"Tidak apa-apa, Mamamu sudah baik-baik saja sekarang."
Dia membalas pelukanku lalu menangis semakin kencang. Semakin pedih. Semakin
menyakitkan. Lagi, hatiku teriris tapi masih tak bisa menyemai air kesedihan di pipi. Aku paham
betul, kata-kataku tak akan mampu menepikan sakit yang dia rasa. Hanya saja aku merasa perlu
mengatakan itu. Ingin menyampaikan padanya bahwa hari ini akan berlalu, dan esok luka
kehilangan masih akan menyapanya. Aku ingin dia kuat, masih banyak hari yang harus dia
tangisi setelah hari ini.

Sampai akhirna, ia akan tiba di garis finish kesedihannya. Berhasil mendaki puncak tertinggi
keikhlasannya. Di hari itu yang terkenang bukan lagi masa-masa sulit bersama orang yang kita
sayang, tetapi kebersamaan paling manis yang pernah kita cecap bersama orang itu semasa ia ada.
Oleh karena itu, bersabaah sedikit lagi, bersabarlah sekali lagi, sampai sabar itu menjadi penghuni
hatimu. Hingga sampai hari itu tiba, kita akan menjadi kuat dan semkain kuat dari sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai