Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

Anemia Hemolitik Autoimun

Penyusun:

Pembimbing:

KSM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

RSUD DR WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO

2023
LEMBARAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Oleh:

Telah disetujui dan disahkan pada :


Hari :
Tanggal :

Mengetahui Dokter Pembimbing

dr.

KSM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

RSUD DR WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO

2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas

Kehendak- Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus

dengan judul “Anemia Hemolitik Autoimun”. Laporan Kasus ini dibuat

sebagai salah satu tugas dalam Ilmu Penyakit Saraf. Mengingat

pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk

menyusun laporan kasus ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak

kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa maupun sistematika

penulisannya. Untuk itu kritik dan saran pembaca yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada dr. di RSUD , yang telah memberikan masukan

yang berguna dalam proses penyusunan laporan kasus ini. Tidak lupa

penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang juga turut

membantu dalam upaya penyelesaian laporan kasus ini. Akhir kata penulis

berharap kiranya laporan kasus ini dapat menjadi masukan yang berguna

dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang

terkait dengan masalah kesehatan pada umumnya, dan khususnya

tentang masalah kesehatan Meningioma.

Mojokerto, 8 Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN.........................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................5
1.1 Identitas Pasien...................................................................................5
1.2 Anamnesis...........................................................................................5
1.3 Pemeriksaan Fisik...............................................................................6
1.4 Diagnosis.............................................................................................9
1.5 Planning Tindakan.............................................................................10
1.6 Follow Up.........................................................................................15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................21
2.1 MENINGIOMA................................................................................21
BAB III KESIMPULAN.................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................50

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. PR

Umur : 22 tahun

Alamat : Jl. Sultan Hasanuddin

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan :

Agama :

Suku :

Tanggal MRS : 3 Maret 2023

1.2 Anamnesis

1.2.1 Keluhan Utama

Badan lemas

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam dengan keluhan badan lemas


disertai dengan batuk pilek sejak 3 hari SMRS. Lemas dirasa terus
menerus dan memberat saat pasien harus beraktivitas. Mual (-), muntah
(-), nyeri kepala dan pusing disangkal. Sesak (-), pasien mengeluhkan
batuk kering tidak berdahak. BAB dan BAK dalam batas normal.
1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

- Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Stroke (-), Jantung (-).

- Pasien menderita Anemia Hemolitik sejak SMA. Januari 2023 lalu


dilakukan transfuse 6 bag PRC pada pasien.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Di dalam keluarga pasien menyangkal ada yang mengeluh penyakit


5
serupa. Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Stroke (-).
1.2.5 Riwayat Pengobatan
1.3 Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis

1. Kesadaran : Compos mentis

2. Keadaan Umum : Lemah

3. GCS : 4-5-6

4. Vital Sign

- Tensi : 120/70 mmHg

- Nadi : 60x/menit

- Suhu : 36,9 °C

- RR : 20x/menit

- SpO2 : 97%
5. Kepala / Leher

- A/I/C/D : +/-/-/-

- Peningkatan JVP :-

- Pembesaran KGB :-

- Kaku kuduk :-

- Normocephal

- Refleks cahaya (+/+)

- Pupil bulat 3/3mm, refleks pupil (+/+) isokor, exopthalmus (-).

6. Thoraks

- Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

- Pulmo : Simetris, fremitus raba simetris ka/ki retraksi (-),


vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

6
7. Abdomen

- Inspeksi : Jejas (-), bekas operasi (-)

- Auskultasi : Bising usus (+) Normal

- Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-) - - -


- - -
- Perkusi : Timpani
- - -
8. Ekstemitas

- Inspeksi : Edema (-/-)

- Palpasi : Akral hangat kering merah, CRT <2 detik

 Pemeriksaan Status Neurologis

1. GCS E4V5M6

2. Meningeal Sign
- Kaku Kuduk : (-)
- Kernig : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Brudzinski IV : (-)

7
3. Nervus Cranialis

- Nervus I (N. Olfactorius) : dbn

- Nervus II (N. Opticus) : dbn

- Nervus III (N. Occulomotorius) : Refleks cahaya +/+

- Nervus IV (N.Trochlearis) : dbn

- Nervus V (N. Trigeminal) : dbn

- Nervus VI (N. Abducens) : dbn

- Nervus VII (N. Facialis) : dbn

- Nervus VIII (N. Vestibulocochlearis) : dbn

- Nervus IX (N. Glossopharingeus) : uvula ditengah, tidak ada


deviasi

- Nervus X (N. Vagus) : dbn

- Nervus XI (N. Assesorius) : dbn

- Nervus XII (N.Hipoglossus) : dbn

4. Refleks Patologis

- Hoffman : (-/-)

- Tromner : (-/-)

- Babinski : (-/-)

- Chaddok : (-/-)

5. Refleks Fisiologis

- TPR : +2 / +2

- BPR : +2 / +2

- APR : +2 / +2

- KPR : +2 / +2

8
6. Pemeriksaan Motorik, kesan:

5 5
5 5
7. Pemeriksaan Sensorik, kesan:
5 5
5 5

1.4 Diagnosis

Pneumonia + Anemia Hemolitik Autoimun + Hipokalemia

1.5 Prognosis

- Ad vitam: dubia ad bonam.

- Ad fungsionam: dubia ad bonam.

- Ad sanationam: dubia ad malam.

9
1.5 Planning Diagnosis

1. Laboratorium
Tanggal 3 Maret 2023
JENIS HASIL SATUAN METODE
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Hematologi
Lengkap
Leukosit 15.90 10^3/uL FlowCytometri
Hemoglobin 5.8 g/dL Cyanide-free
Hematokrit 18.00 % Pulse Detection
Trombosit 311 10^3/uL Impedance
MPV 4.9 fL Cummulative
MCV 110.0 fL Cummulative
MCH 35.1 pg Cummulative
MCHC 31.9 g/L Cummulative
RDW% 21.1 %
Hitung Jenis
Eosinofil 0.11 % FlowCytometri
Basofil 0.27 % FlowCytometri
Neutrofil 12.60 % FlowCytometri
Limfosit 1.66 % FlowCytometri
Monosit 1.28 % FlowCytometri
Jumlah Eosinofil 0.07 10^3/uL
Jumlah Basofil 1.7 10^3/uL
Jumlah Neutrofil 12.60 10^3/uL
Jumlah Limfosit 10.4 10^3/uL
Jumlah Monosit 1.28 10^3/uL

ELEKTROLIT
Natrium 135 mmol/L ISE
Kalium 3.3 mmol/L ISE
Chlorida Darah 100 mmol/L ISE

KIMIA KLINIK
SGOT 17.4 U/L
SGPT 19.6 U/L
Glukosa sesaat 70 mg/dL

HEMATOLOGI
Malaria PV/PF Device Negative

 Planning Terapi

10
Advis dr. Andhika, Sp. PD
a. D40% 1 flask
b. IVFD Asering 1500 cc / 24 jam
c. Inj. Metilprednosolon 500 mg / 24 jam IV selama 3 hari
d. Inj. Omeprazole 1 vial / 12 jam IV
e. Inj. Ceftazidim 1 gram / 8 jam IV
f. KSR 2 x 1 tab PO
g. Codein 3 x1 PO

 Planning Monitoring
a. Observasi TTV
b. Observasi Klinis

1.6 Follow Up

Follow Up. Tanggal 04/03/2023


S O A P
Pasien mengeluhkan KU : Lemah Pneumonia + Anemia Advice dr. Andhika,
badan yang terasa Kesadaran: Hemolitik Autoimun Sp.PD:
lemas disertai Composmentis + Hipokalemia Lanjutkan intervensi,
dengan demam naik GCS : 456  Obs. Keluhan
turun. Sesak (+). Vital Sign Dx klinis:  Monitor vital sign
Pasien juga TD :135/93 Hipertermi +  Pantau KU pasien
mengeluhkan batuk mmHg Gangguan perfusi  Kelola terapi medis
kering yang disertai N : 118x/menit jaringan perifer.  Monitor tetesan
dengan pusing RR : 24x/menit infus.
hilang-timbul. Suhu : 37,6 ˚C  Maksimalkan
Pusing terasa SpO2 : 100%, steroid
memberat saat napas spontan + methylprednisolone
pasien mencoba O2 3 lpm. selama 3 hari.
untuk duduk. Nyeri CRT : <2 detik  Konfirmasi
telan (-), mual (-),
persediaan wash
muntah (-), sesak (-), Kepala/Leher : PRC atau
pilek (-). Nafsu A/I/C/D : +/-/-/- leukodepleted PRC.
makan dan minum Thorax Pulmo : dbn
menurun, intake oral Abdomen : dbn Terapi medikamentosa
(+), BAB dan BAK Ekstremitas : dbn, dilanjutkan:
dalam batas normal. AHKM.  IVFD Asering
1500 cc / 24 jam
Tidak ada riwayat alergi.  Inj.
Metilprednosolon

11
500 mg
 Inj. Omeprazole 1
vial.
 Inj. Ceftazidim 1
gram.
 KSR 2 x 1 tab PO
 Codein 3 x1 PO
 Inj. Sanmol 1 gr
 Rhinos 1 kap

Planning tindakan:
Transfusi PRC 2 bag,
1 bag / hari.

Follow Up. Tanggal 05/03/2023


S O A P
Pasien mengeluhkan KU : Lemah Pneumonia + Anemia Advice dr. Andhika,
badan yang terasa Kesadaran: Hemolitik Autoimun Sp.PD:
lemas disertai Composmentis + Hipokalemia Lanjutkan intervensi,
dengan demam naik GCS : 456  Obs. keluhan
turun. Keluhan sesak Vital Sign Dx klinis:  Monitor vital sign
membaik. Pasien TD :120/90 Hipertermi +  Pantau KU pasien
juga mengeluhkan mmHg Gangguan perfusi  Kelola terapi medis
batuk kering yang N : 118x/menit jaringan perifer.  Monitor tetesan
disertai dengan RR : 20x/menit infus.
pusing hilang- Suhu : 37,5 ˚C  Anjurkan pasien
timbul. Pusing terasa SpO2 : 98% RA untuk intake
memberat saat CRT : <2 detik adekuat.
pasien mencoba
 Memberikan
untuk duduk. Pilek Kepala/Leher : lingkungan yang
(+). Nyeri telan (-), A/I/C/D : +/-/-/- aman dan nyaman.
mual (-), muntah (-), Thorax Pulmo : dbn
sesak (-), pilek (-). Abdomen : dbn Terapi medikamentosa
Nafsu makan dan Ekstremitas : dbn, dilanjutkan:
minum menurun, AHKM.  IVFD Asering
intake oral (+), BAB 1500 cc / 24 jam
dan BAK dalam Tidak ada riwayat alergi.  Inj.
batas normal. Metilprednosolon
500 mg
 Inj. Omeprazole 1
vial.
 Inj. Ceftazidim 1
gram.
 KSR 2 x 1 tab PO
 Codein 3 x1 PO
 Inj. Sanmol 1 gr
 Rhinos 1 kap

12
Transfusi PRC 2 bag,
1 bag / hari.

Follow Up. Tanggal 06/03/2023


S O A P
Pasien masih KU : Lemah Pneumonia + Anemia Advice dr. Andhika,
mengeluhkan demam Kesadaran: Hemolitik Autoimun Sp.PD:
naik turun, namun Composmentis + Hipokalemia Lanjutkan intervensi,
keluhan lemas dan GCS : 456  Obs. keluhan
sesak membaik. Vital Sign Dx klinis:  Monitor vital sign
Pasien masih TD :120/90 Hipertermi +  Pantau KU pasien
mengeluhkan batuk mmHg Gangguan perfusi  Kelola terapi medis
kering. Pusing terasa N : 97x/menit jaringan perifer.  Monitor tetesan
berkurang, nyeri RR : 20x/menit infus.
kepala cekot-cekot Suhu : 37˚C  Ksji ulang
(-). Pilek (+). Nyeri SpO2 : 96% RA kepatenan jalan
telan (-), mual (-), CRT : <2 detik napas pasien
muntah (-), sesak (-),
 Kolaborasi
pilek (-). Nafsu Kepala/Leher : pemberian terapi
makan dan minum A/I/C/D : +/-/-/-
menurun, intake oral Thorax Pulmo : dbn Terapi medikamentosa
(+), BAB dan BAK Abdomen : dbn dilanjutkan:
dalam batas normal. Ekstremitas : dbn,  IVFD Asering
AHKM. 1500cc / 24 jam
 Inj. Omeprazole 1
Tidak ada riwayat alergi. vial.
 Inj. Ceftazidim 1
gram.
 KSR 2 x 1 tab PO
 Codein 3 x1 PO
 Inj. Sanmol 1 gr
 Rhinos 1 kap

Transfusi PRC 2 bag, 1


bag / 1 hari.

Pemeriksaan Laboratorium. 6 Maret 2023

13
JENIS HASIL SATUAN METODE
PEMERIKSAAN

14
HEMATOLOGI
Hematologi
Lengkap
Leukosit 15.90 10^3/uL FlowCytometri
Hemoglobin 5.8 g/dL Cyanide-free
Hematokrit 18.00 % Pulse Detection
Trombosit 311 10^3/uL Impedance
MPV 4.9 fL Cummulative
MCV 110.0 fL Cummulative
MCH 35.1 pg Cummulative
MCHC 31.9 g/L Cummulative
RDW% 21.1 %
Hitung Jenis
Eosinofil 0.11 % FlowCytometri
Basofil 0.27 % FlowCytometri
Neutrofil 12.60 % FlowCytometri
Limfosit 1.66 % FlowCytometri
Monosit 1.28 % FlowCytometri
Jumlah Eosinofil 0.07 10^3/uL
Jumlah Basofil 1.7 10^3/uL
Jumlah Neutrofil 12.60 10^3/uL
Jumlah Limfosit 10.4 10^3/uL
Jumlah Monosit 1.28 10^3/uL

ELEKTROLIT
Natrium 135 mmol/L ISE
Kalium 3.3 mmol/L ISE
Chlorida Darah 100 mmol/L ISE

KIMIA KLINIK
SGOT 17.4 U/L
SGPT 19.6 U/L
Glukosa sesaat 70 mg/dL

HEMATOLOGI
Malaria PV/PF Device Negative

15
Follow Up. Tanggal 07/03/2023
S O A P
Pasien mengatakan KU : Sedang Pneumonia + Anemia Advice dr. Andhika,
keluhan demam, Kesadaran: Hemolitik Autoimun Sp.PD:
lemas dan sesak Composmentis + Hipokalemia Lanjutkan intervensi,
membaik. Batuk GCS : 456  Obs. keluhan
kering juga Vital Sign Dx klinis:  Monitor vital sign
dirasakan berkurang. TD :141/103 Gangguan perkusi  Pantau KU pasien
Pusing terasa mmHg jaringan perifer.  Kelola terapi medis
berkurang, nyeri N : 89x/menit  Monitor tetesan
kepala cekot-cekot RR : 20x/menit infus.
(-). Pilek (+). Nyeri Suhu : 37,1˚C  Ksji ulang
telan (-), mual (-), SpO2 : 97% RA kepatenan jalan
muntah (-), sesak (-), CRT : <2 detik napas pasien
pilek (-). Nafsu
 Kolaborasi
makan dan minum Kepala/Leher : pemberian terapi
menurun, intake oral A/I/C/D : +/-/-/-
 Motivasi intake
(+), BAB dan BAK Thorax Pulmo : dbn
adekuat kepada
dalam batas normal. Abdomen : dbn
pasien.
Ekstremitas : dbn,
AHKM. Terapi medikamentosa
dilanjutkan:
Tidak ada riwayat alergi.  IVFD Asering
1500cc / 24 jam
 Inj. Omeprazole 1
vial.
 Inj. Ceftazidim 1
gram.
 KSR 2 x 1 tab PO
 Codein 3 x1 PO
 Inj. Sanmol 1 gr
 Rhinos 1 kap

Pemeriksaan Laboratorium. Tanggal 7 Maret 2023


JENIS HASIL SATUAN METODE
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Hematologi
Lengkap
Leukosit 15.90 10^3/uL FlowCytometri
Hemoglobin 5.8 g/dL Cyanide-free
Hematokrit 18.00 % Pulse Detection
Trombosit 311 10^3/uL Impedance
MPV 4.9 fL Cummulative

16
MCV 110.0 fL Cummulative
MCH 35.1 pg Cummulative
MCHC 31.9 g/L Cummulative
RDW% 21.1 %
Hitung Jenis
Eosinofil 0.11 % FlowCytometri
Basofil 0.27 % FlowCytometri
Neutrofil 12.60 % FlowCytometri
Limfosit 1.66 % FlowCytometri
Monosit 1.28 % FlowCytometri
Jumlah Eosinofil 0.07 10^3/uL
Jumlah Basofil 1.7 10^3/uL
Jumlah Neutrofil 12.60 10^3/uL
Jumlah Limfosit 10.4 10^3/uL
Jumlah Monosit 1.28 10^3/uL

ELEKTROLIT
Natrium 135 mmol/L ISE
Kalium 3.3 mmol/L ISE
Chlorida Darah 100 mmol/L ISE

KIMIA KLINIK
SGOT 17.4 U/L
SGPT 19.6 U/L
Glukosa sesaat 70 mg/dL

HEMATOLOGI
Malaria PV/PF Device Negative

Follow Up. Tanggal 08/03/2023


S O A P
Pasien mengatakan KU : Cukup Pneumonia + Anemia Advice dr. Andhika,
keluhan demam, Kesadaran: Hemolitik Autoimun Sp.PD:
lemas dan sesak Composmentis + Hipokalemia Lanjutkan intervensi,
membaik. Batuk GCS : 456  Obs. keluhan
kering juga Vital Sign Dx klinis:  Monitor vital sign
dirasakan berkurang. TD :119/86 Gangguan perfusi  Pantau KU pasien
Pusing terasa mmHg tidak efektif  Kelola terapi medis
berkurang, nyeri N : 84x/menit ekspektasi membaik.  Monitor tetesan
kepala cekot-cekot RR : 20x/menit infus.
(-). Pilek (+). Nyeri Suhu : 36,9˚C  Ksji ulang
telan (-), mual (-), SpO2 : 99% RA kepatenan jalan
muntah (-), sesak (-), CRT : <2 detik napas pasien
pilek (-). Nafsu
 Kolaborasi
makan dan minum Kepala/Leher : pemberian terapi
menurun, intake oral A/I/C/D : +/-/-/-
 Motivasi intake
(+), BAB dan BAK Thorax Pulmo : dbn
17
dalam batas normal. Abdomen : dbn adekuat kepada
Ekstremitas : dbn, pasien.
AHKM.
Terapi medikamentosa
Tidak ada riwayat alergi. dilanjutkan:
 IVFD Asering
1500cc / 24 jam
 Inj. MP 125 mg
 Inj. Omeprazole 1
vial.
 Inj. Ceftazidim 1
gram.
 KSR 2 x 1 tab PO
 Codein 3 x1 PO
 Rhinos 1 kap
 Kapsul batuk

Rencana KRS
Obat pulang:
 Methylprednisolon
2 x 16 mg
 Lansoprazole 1 x
30 mg
 Vit B 1 x 1
 KSR 2 x 1

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Untuk mengatasi
kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel
eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum tulang
sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila
umur eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan
anemia, namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut
maka akan terjadi anemia.1,2
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik
tetapi juga terjadi pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada anemia
megaloblastik dan thalasemia. Hormon eritropoetin akan merangsang terjadinya
hiperplasia eritroid (eritropoetin-induced eritroid hyperplasia) dan ini akan diikuti
dengan pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal. Anemia terjadi
bila serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup
dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila
sumsum tulang mampu mengatasi keadaan tersebut di atas sehingga tidak terjadi
anemia, keadaan ini disebut dengan istilah anemia hemolitik kompensata. Anemia
terdiri dari anemia autoimun dan non imun.1,2
a. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)
Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA)
ialah suatu anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self
antigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit
(hemolisis). Reaksi autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa
edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih pendek.4 Anemia disebabkan
karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum tulang untuk
menghasilkan sel eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit
dalam darah.2
19
AIHA dipicu oleh infeksi virus atau vaksinasi, lebih sering terjadi pada
anak daripada orang dewasa. Imunodefisiensi atau keganasan (terutama
keganasan jaringan limforetikular), sistemik lupus eritematosus (SLE), dan
tipe lain penyakit kolagen vaskuler biasanya menjadi penyebab yang sering
AIHA sekunder pada anak. Selain itu, beberapa kelainan yang langka seperti
giant cell hepatitis mungkin dapat menyebabkan AIHA. AIHA diklasifikasikan
menjadi tipe hangat (Warm autoimmune hemolytic anemia = WAIHA) dan tipe
dingin (Cold agglutinin disease = CAD) berdasarkan kisaran suhu
autoantibodinya.

2.3 Etiologi
AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen
sehingga menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang
bereaksi terhadap self antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan
bermanifestasi sebagai penyakit autoimun. Antibodi yang terbentuk
mengakibatkan peningkatan klirens dengan fagositosis melalui reseptor (hemolisis
ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit yang diperantarai oleh komplemen
(hemolisis intravaskuler).3

Etiologi AIHA terbagi 2 yaitu:


1. Idiopatik
a. Anemia autoimun tipe hangat
b. Anemia autoimun tipe dingin
2. Sekunder
a. Infeksi
virus: Virus Epstein–Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV), hepatitis,
herpes simplex, measles, varisela, influenza A, coxsackie virus B,
human immunodeficiency virus (HIV)
bakteri : streptokokus, salmonella typhi, septikemia Esceria coli,
Mycoplasma pneumonia (pneumoniaatipikal)
b. Obat-obatan dan bahan kimia : kuinine, kuinidin, fenacetin, p-asam
aminosalisilat, sodium cefalotin (Keflin), ceftriakson, penisilin,
tetrasiklin, rifampisin, sulfonamid, khlorpromazin, pyradon, dipyron,
insulin
c. Kelainan darah: leukemia, limfoma, sindrom limfoproliferatif,
hemoglobinuriaparoksismal cold, hemoglobinuriaparoksismal nokturnal
20
d. Gangguan Immunologi: sistemik lupus eritematosus, periarteritis
nodosa, skleroderma, dermatomiositis, artritis reumatik, kolitis ulseratif,
disgammaglobulinemia, defisiensi IgA, kelainan tiroid, hepatitis giant
cell, sindrom limfoproliferatif autoimun, dan variasi defisiensi imun
lainnya.
e. Tumor: timoma, karsinoma, limfoma
2.4 Klasifikasi
AIHA dibedakan menjadi 2 kelompok menurut karakteristik klinis dan
serologis3, seperti yang tercantum pada tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik AIHA

Karakteristik Warm AIHA Cold AIHA

Isotipe antibodi Ig G, jarang Ig A, Ig M Ig M

Antigen spesifitas Multiple, Rh primer i/L, P

Hemolisis Terutama ekstravaskuler Terutama intravaskular

Direct antiglobulin test Ig G C3

2.5 Patogenesis

Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi


melalui sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi
keduanya.2

a. Aktivasi Sistem Komplemen

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyababkan


hancurnya membran sel eritosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria5.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun


melalui jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan
mengaktifkan jalur
21
klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe
dingin sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada
permukaan sel darah merah dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut
aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada
suhu tubuh2,4.

b. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik

Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai


recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi
dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.
Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b
(dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen
C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu
berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel
darah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan
C3c,C3d, dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan
merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks C4b,2b
menjadi C4b2b3b (C5-convertase). C5-convertase akan memecah C5
menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke
dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga
permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke
dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur2,3.

c. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif

Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi
akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan
melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb
merupakan suatu protease serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5
akan

22
berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b.
selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.

d. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler

Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi
aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan
dihancurkan oleh sel-sel retikulo endothelial. Proses immune adheren ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Imuno
adherens terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis3.

2.6 Gejala Klinis


Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan
terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan
pada anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi
mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh 2
faktor, yaituberkurangnya pasokan oksigen ke jaringan danadanya
hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan
oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung
pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di
bawah 5 g% atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung
karena penyakit jantung yang mendasarinya.1
Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala
khas anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing,
lelah, dan dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu
demam, perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan berat badan. Pada
pasien dengan hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik, pucat, edema, urin
berwarna gelap (hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan
limfadenopati yang

23
mengiringi anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal
ini terkait dengan infeksi virus, terutama pada anak.2
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai
gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan
lingkungan yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu episode
hemolisis akut dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering
terjadi di musim dingin. Darah lebih mudah terpengaruh suhu pada
ekstremitas, sehingga pasien lebih sering mengalami akrosianosis (warna
kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada kedua tangan dan kaki) saat serangan
terjadi.2
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi
pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan
bilirubin, laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan
pemeriksaan serologi.3
A. pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat
bervariasi dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada
AIHA tipe dingin jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat
meningkat sedangkan jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit
umumnya normal.12
B. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis,
polikromasi, sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.22 Polikromasi
menunjukkan peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang.
Sferositosis dapat terjadi pada proses hemolitik pada anemia hemolitik
sedang sampai berat.2

C. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat


dehidrogenase (LDH)
Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat
dan didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen.

24
Hemolisis ekstravaskuler terjadi melalui proses fagositosis eritrosit
oleh sistem retikuloendotelial yang menyebabkan eritrosit lisis dan
hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin
dihidrolisis menjadi asam amino. Heme kemudian menjadi besi dan
protoporfirin yang terdiri dari biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin
yang terikat dengan albumin merupakan bilirubin yang tidak terkonjugasi
di dalam darah. Bilirubin yang tidak terkonjugasi/indirek masuk ke hepar
dan menjadi bilirubin terkonjugasi/direk. Bilirubin direk dirubah menjadi
urobilinogen yang diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi
di ginjal dirubah urobilinogen urin.2
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang
menyebabkan penurunan kadar haptoglobin.20 Hemolisis intravaskuler
menimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan
dengan haptoglobin menjadi haptoglobin hemoglobin sehingga kadar
haptoglobin menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin dimetabolisme
menjadi bilirubin.

D. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT)
yang menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan
reagen anti globulin yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya
reaksi aglutinasi. Hal ini menandakan adanya Ig G dan C3d pada
permukaan eritrosit pasien.2

25
Gambar : pemeriksaan Direct Antiglobulin (Coombs) test3

2.8 Diagnosa Banding


Anemia hemolitik merupakan kelainan dekstruksi sel darah merah,
yang terbagi atas 2 tipe yaitu didapat dan herediter. Tipe didapat terbagi
menjadi immune-mediated, mikroangiopati dan infeksi. Immune-mediated
diperantarai adanya reaksi antigen-antibodi pada permukaan sel darah
merah. Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit dan DAT positif.
Pengobatan penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang
mendasarinya, hentikan penggunakan obat-obatan penyebab, dan
pemberian steroid, splenektomi, gamma globulin IV, plasmaferesis, agen
sitotoksik, atau danazol (danocrine). Mikroangiopati diperantarai adanya
mekaninsme gangguan eritrosit di sirkulasi. Dari pemeriksaan akan
didapatkan schistocytes. Pengobatan penyakit ini dengan cara obati
penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi diperantarai oleh penyakit
malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain
kultur darah, apusan darah tepi dan serologi. Pengobatan penyakit ini
dengan cara pemberian antibiotik3,2.

26
Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati,
membranopati dan hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit
defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh
obat- obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan rendahnya aktivitas enzim
G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan dan obati
penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter.
Pada pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat
keluarga dan DAT negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa
splenektomi pada kasus yang sedang sampai berat. Hemoglobinopati
terjadi pada talasemia dan penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain dengan elektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan
genetik. Penyakit ini dapat dobati dengan pemberian asam folat dan
tranfusi 17,20.

2.9 Tatalaksana

Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaituAIHA


yang diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat
yang berikatan pada temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di
perantarai oleh antibodi IgM yang berikatan maksimal pada temperatur
dibawah 320C.4 Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada
tipe AIHA nya. Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk
mengembalikan hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan
menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.2Transfusi darah
biasanya hanya digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin
diperlukan diawal sebagai upaya untuk mengatasi anemia berat sampai
terlihat efek dari pengobatan yang lain.6 Pasien biasanya ditransfusi
dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7 g/dL.2
2.9.1 Pengobatan pada AIHA tipe panas
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk
AIHA tipe panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan
menurunkan sintesis antibodi.4 Prednison diberikan secara oral
2-4mg/kgBB/hari dalam 2-

27
3 dosis selama 2-4 minggu kemudian dilakukan tappering off dalam 2-6
minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak baik, dosis prednison
ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari. 2
Pada beberapa pasien dengan hemolisis yang berat maka dosis prednison
dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk
mengurangi tingkat hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai
didapatkan penurunan hemolisis, kemudian dosis obat diturunkan secara
bertahap.Jika relaps terjadi, maka diberikan dosis awal kembali. 6 Pasien
dikatakan respon terhadap pengobatan dengan steroid akan
memperlihatkan peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang stabil
serta penurunan kadar retikulosit setelah dua minggu pengobatan.2
Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan
kortikosteroid atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang
tinggi untuk mencapai hemoglobin yang normal, maka dapat
dipertimbangkan pemberian immunoglobulin intravena dan danazol.2 Obat
immunosuppresif termasuk pengobatan baru seperti rituximab dengan
dosis 375mg/m2 dapat diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada
pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan dengan steroid,
pasien dengan steroid-dependent, pasien relaps, ataupun pasien AIHA
kronik.2,5
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid
dianjurkan untuk dilakukan splenektomi.2 Splenektomi juga dapat
dilakukan pada pasien AIHA kronik. AIHA dikatakan kronik jika gejala
dan hasil laboratorium yang abnormal tetap ditemukan selama > 6 bulan,
akan tetapi splenektomi dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi
(sepsis), terutama pada anak yang berumur < 2 tahun.2 Persiapan yang
dilakukan sebelum splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan
dengan vaksin yang sesuai ( pneumococcal, meningococcal, dan
Haemophilus influenza type b) dan pemberian penisilin secara oral setelah
splenektomi dilakukan.6

28
2.9.2 AIHA tipe dingin
AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak
dibanding dewasa. Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin
kurang efektif dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan
untuk menghindari paparan terhadap udara dingin yang dapat memicu
terjadinya hemolisis dan jika penyebab mendasari dapat diidentifikasi,
maka penyebab tersebut harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan
hemolisis berat, pengobatan termasuk immunosupresan dan plasmaferesis.
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan keberhasilan pengobatan
AIHA tipe dingin dengan menggunakan monoclonal antibodi yaitu
rituximab dengan dosis 375mg/m2. Splenektomi tidak banyak membantu
pada AIHA tipe ini. 6

Anemia hemolisis non imun.

Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena


faktor defek molekuler ,abnormalitas struktur membran, factor lingkungan
yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik
eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan
kerusakan eritrosittanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti
malaria, babesiosis, dan klostridium.3

2.9.3 Patofisiologi

Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini


tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis
intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya
pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau
infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membrane sel
eritrosit.Hemolisis intravaskular jarang terjadi. 3

Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada


hemolisisi ektravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem
retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran
tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan
dihancurkan oleh makrofog. 3
29
Hipersplenisme

Limpa normal beerbagi fungsi dengan jaringan lain dalam hal


pembentukan , penyimpanan dan penghancuran sel darah serta produksi
antibody. Namun limpa memiliki kemampuan unik maupun benda asing. Fungsi
penyaring dan surveilan terhadap komponen darah di pupla darah (oleh
makrofag ).
Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel darah yang
berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika ukuran limpa mengalami
peningkatan baik sel maupun jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan
ini meningkatkan peran fungsi penyaring , sehingga sel darah normal pun akan
mengalami perlambatan serta proses penghancuran semtara. Walaupun proses
penghancuran granulosit dan trombosit menyebabakan neutropenia dan
trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat beradaptasi dengan
perlambatan proses penyimpanan di limpa. Berbeda dengan sel darah merah
yang terperangkap aakan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. 3

Infeksi Mikroorganisme

Mikrooganisme memiliki mekanisme yang bermacam-macam saat


menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Ada yang
secara langsung menyerang eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan
bartonellosis.

Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridiumperfringens,


pembentukan antibodi atau otoantibodi terhadap eritrosit. Dapat pula dengan
deposit antigen mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit. 3

Malaria

Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak sesuai dengan
rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun penyebabnya masih belum jelas.
Fragilitas osmotik pada sel yang tidak terinfeksi mengalami peningkatan,
penghancuran eritrosit pada infeksi malaria disebabkan lisisnya eritrosit akibat
infeksi langsung, peningkatan proses penghancuran eritrosit yang mengandung
30
parasit dan proses otoimun. Namun tidak terjadi satupun mekanisme di atas
yang dapat menjelaskan terjadinya anemia berat padaa malaria. Proses
penghancuran sel darah merah sebagian besar berlangsung di limpa.
Splenopmegali merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria
kronik. Pengobatan dengan penisilin , streptomisin , kloramfenikol dan
tetrasiklin memberikan respons sangat baik. 3

Babesiosis

Babesia merupakan protozoa intra eritrosit , yang dtularkan melalui


gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan ternak maupun hewan liar.
Pada manusia penyakit ini tidak hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi
juga lewat transfusi darah. 3

2.9.3 Diagnosis dan terapi

Parasit ini dapat terlihat melalui pulasan darah tebal dengan pewarnaan
Giemsa. Uji serologi dengan antibodi terhadap Babesiaserta uji PCR dapat
membantu penegakkan diagnosis. Pengobatan dengan klindamisin dan kuinin
memberikan hasil yang memuaskan. Transfusitukar yang juga memberikan
perbaikan yang nyata.

31
BAB III
KESIMPULAN

Anemia hemolitik adalah destruksi prematur sel darah merah, yang dapat
bersifat kronik atau mengancam nyawa. Pasien dengan anemia hemolitik dapat
datang dengan gejala anemia, ikterus, hematuria, dyspnea, takikardia, dan
terkadang hipotensi. Gejala yang muncul akan merefleksikan penyebab yang
mendasari hemolisis.

Normalnya, sel darah merah memiliki usia sekitar 120 hari. Mekanisme
yang dapat menyebabkan destruksi prematur sel darah merah adalah
deformabilitas sel yang buruk, sehingga menyebabkan sel terperangkap di
pembuluh darah kecil dan limpa, serta merangsang fagositosis sel. Mekanisme
lain yang dapat menyebabkan anemia hemolitik antara lain destruksi yang
dimediasi antibodi, fragmentasi akibat mikrotrombi atau trauma mekanis,
oksidasi, atau destruksi seluler langsung.

Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA)


ialah suatu anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self
antigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit
(hemolisis). Reaksi autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa
edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih pendek. Anemia disebabkan karena
kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum tulang untuk menghasilkan sel
eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit dalam darah.

Pada kasus terlampir, pasien datang ke Poli Penyakit Dalam dengan


keluhan badan lemas disertai dengan batuk pilek sejak 3 hari SMRS. Lemas
dirasa terus menerus dan memberat saat pasien harus beraktivitas. Mual (-),
muntah (-), nyeri kepala dan pusing disangkal. Sesak (-), pasien mengeluhkan
batuk kering tidak berdahak. BAB dan BAK dalam batas normal. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva
32 dextra dan sinistra.
33
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC. hal 98-125.
2. I. Kliegman, Behrman, Jenson. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th
ed, Elsevier Science; Philadelphia. Chapter 457.
3. Parjono elias, Kartika widyanti. 20`5. Anemia Hemolitik Autoimun; dalam
Ilmu Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 660-662
4. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran
EGC.

34

Anda mungkin juga menyukai