Penyusun:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
LEMBARAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Oleh:
dr.
FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
menyusun laporan kasus ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak
yang berguna dalam proses penyusunan laporan kasus ini. Tidak lupa
membantu dalam upaya penyelesaian laporan kasus ini. Akhir kata penulis
berharap kiranya laporan kasus ini dapat menjadi masukan yang berguna
dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBARAN PENGESAHAN.........................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................5
1.1 Identitas Pasien...................................................................................5
1.2 Anamnesis...........................................................................................5
1.3 Pemeriksaan Fisik...............................................................................6
1.4 Diagnosis.............................................................................................9
1.5 Planning Tindakan.............................................................................10
1.6 Follow Up.........................................................................................15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................21
2.1 MENINGIOMA................................................................................21
BAB III KESIMPULAN.................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................50
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Umur : 22 tahun
Pekerjaan :
Agama :
Suku :
1.2 Anamnesis
Badan lemas
3. GCS : 4-5-6
4. Vital Sign
- Nadi : 60x/menit
- Suhu : 36,9 °C
- RR : 20x/menit
- SpO2 : 97%
5. Kepala / Leher
- A/I/C/D : +/-/-/-
- Peningkatan JVP :-
- Pembesaran KGB :-
- Kaku kuduk :-
- Normocephal
6. Thoraks
6
7. Abdomen
1. GCS E4V5M6
2. Meningeal Sign
- Kaku Kuduk : (-)
- Kernig : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Brudzinski IV : (-)
7
3. Nervus Cranialis
4. Refleks Patologis
- Hoffman : (-/-)
- Tromner : (-/-)
- Babinski : (-/-)
- Chaddok : (-/-)
5. Refleks Fisiologis
- TPR : +2 / +2
- BPR : +2 / +2
- APR : +2 / +2
- KPR : +2 / +2
8
6. Pemeriksaan Motorik, kesan:
5 5
5 5
7. Pemeriksaan Sensorik, kesan:
5 5
5 5
1.4 Diagnosis
1.5 Prognosis
9
1.5 Planning Diagnosis
1. Laboratorium
Tanggal 3 Maret 2023
JENIS HASIL SATUAN METODE
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Hematologi
Lengkap
Leukosit 15.90 10^3/uL FlowCytometri
Hemoglobin 5.8 g/dL Cyanide-free
Hematokrit 18.00 % Pulse Detection
Trombosit 311 10^3/uL Impedance
MPV 4.9 fL Cummulative
MCV 110.0 fL Cummulative
MCH 35.1 pg Cummulative
MCHC 31.9 g/L Cummulative
RDW% 21.1 %
Hitung Jenis
Eosinofil 0.11 % FlowCytometri
Basofil 0.27 % FlowCytometri
Neutrofil 12.60 % FlowCytometri
Limfosit 1.66 % FlowCytometri
Monosit 1.28 % FlowCytometri
Jumlah Eosinofil 0.07 10^3/uL
Jumlah Basofil 1.7 10^3/uL
Jumlah Neutrofil 12.60 10^3/uL
Jumlah Limfosit 10.4 10^3/uL
Jumlah Monosit 1.28 10^3/uL
ELEKTROLIT
Natrium 135 mmol/L ISE
Kalium 3.3 mmol/L ISE
Chlorida Darah 100 mmol/L ISE
KIMIA KLINIK
SGOT 17.4 U/L
SGPT 19.6 U/L
Glukosa sesaat 70 mg/dL
HEMATOLOGI
Malaria PV/PF Device Negative
Planning Terapi
10
Advis dr. Andhika, Sp. PD
a. D40% 1 flask
b. IVFD Asering 1500 cc / 24 jam
c. Inj. Metilprednosolon 500 mg / 24 jam IV selama 3 hari
d. Inj. Omeprazole 1 vial / 12 jam IV
e. Inj. Ceftazidim 1 gram / 8 jam IV
f. KSR 2 x 1 tab PO
g. Codein 3 x1 PO
Planning Monitoring
a. Observasi TTV
b. Observasi Klinis
1.6 Follow Up
11
500 mg
Inj. Omeprazole 1
vial.
Inj. Ceftazidim 1
gram.
KSR 2 x 1 tab PO
Codein 3 x1 PO
Inj. Sanmol 1 gr
Rhinos 1 kap
Planning tindakan:
Transfusi PRC 2 bag,
1 bag / hari.
12
Transfusi PRC 2 bag,
1 bag / hari.
13
JENIS HASIL SATUAN METODE
PEMERIKSAAN
14
HEMATOLOGI
Hematologi
Lengkap
Leukosit 15.90 10^3/uL FlowCytometri
Hemoglobin 5.8 g/dL Cyanide-free
Hematokrit 18.00 % Pulse Detection
Trombosit 311 10^3/uL Impedance
MPV 4.9 fL Cummulative
MCV 110.0 fL Cummulative
MCH 35.1 pg Cummulative
MCHC 31.9 g/L Cummulative
RDW% 21.1 %
Hitung Jenis
Eosinofil 0.11 % FlowCytometri
Basofil 0.27 % FlowCytometri
Neutrofil 12.60 % FlowCytometri
Limfosit 1.66 % FlowCytometri
Monosit 1.28 % FlowCytometri
Jumlah Eosinofil 0.07 10^3/uL
Jumlah Basofil 1.7 10^3/uL
Jumlah Neutrofil 12.60 10^3/uL
Jumlah Limfosit 10.4 10^3/uL
Jumlah Monosit 1.28 10^3/uL
ELEKTROLIT
Natrium 135 mmol/L ISE
Kalium 3.3 mmol/L ISE
Chlorida Darah 100 mmol/L ISE
KIMIA KLINIK
SGOT 17.4 U/L
SGPT 19.6 U/L
Glukosa sesaat 70 mg/dL
HEMATOLOGI
Malaria PV/PF Device Negative
15
Follow Up. Tanggal 07/03/2023
S O A P
Pasien mengatakan KU : Sedang Pneumonia + Anemia Advice dr. Andhika,
keluhan demam, Kesadaran: Hemolitik Autoimun Sp.PD:
lemas dan sesak Composmentis + Hipokalemia Lanjutkan intervensi,
membaik. Batuk GCS : 456 Obs. keluhan
kering juga Vital Sign Dx klinis: Monitor vital sign
dirasakan berkurang. TD :141/103 Gangguan perkusi Pantau KU pasien
Pusing terasa mmHg jaringan perifer. Kelola terapi medis
berkurang, nyeri N : 89x/menit Monitor tetesan
kepala cekot-cekot RR : 20x/menit infus.
(-). Pilek (+). Nyeri Suhu : 37,1˚C Ksji ulang
telan (-), mual (-), SpO2 : 97% RA kepatenan jalan
muntah (-), sesak (-), CRT : <2 detik napas pasien
pilek (-). Nafsu
Kolaborasi
makan dan minum Kepala/Leher : pemberian terapi
menurun, intake oral A/I/C/D : +/-/-/-
Motivasi intake
(+), BAB dan BAK Thorax Pulmo : dbn
adekuat kepada
dalam batas normal. Abdomen : dbn
pasien.
Ekstremitas : dbn,
AHKM. Terapi medikamentosa
dilanjutkan:
Tidak ada riwayat alergi. IVFD Asering
1500cc / 24 jam
Inj. Omeprazole 1
vial.
Inj. Ceftazidim 1
gram.
KSR 2 x 1 tab PO
Codein 3 x1 PO
Inj. Sanmol 1 gr
Rhinos 1 kap
16
MCV 110.0 fL Cummulative
MCH 35.1 pg Cummulative
MCHC 31.9 g/L Cummulative
RDW% 21.1 %
Hitung Jenis
Eosinofil 0.11 % FlowCytometri
Basofil 0.27 % FlowCytometri
Neutrofil 12.60 % FlowCytometri
Limfosit 1.66 % FlowCytometri
Monosit 1.28 % FlowCytometri
Jumlah Eosinofil 0.07 10^3/uL
Jumlah Basofil 1.7 10^3/uL
Jumlah Neutrofil 12.60 10^3/uL
Jumlah Limfosit 10.4 10^3/uL
Jumlah Monosit 1.28 10^3/uL
ELEKTROLIT
Natrium 135 mmol/L ISE
Kalium 3.3 mmol/L ISE
Chlorida Darah 100 mmol/L ISE
KIMIA KLINIK
SGOT 17.4 U/L
SGPT 19.6 U/L
Glukosa sesaat 70 mg/dL
HEMATOLOGI
Malaria PV/PF Device Negative
Rencana KRS
Obat pulang:
Methylprednisolon
2 x 16 mg
Lansoprazole 1 x
30 mg
Vit B 1 x 1
KSR 2 x 1
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Untuk mengatasi
kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel
eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum tulang
sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila
umur eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan
anemia, namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut
maka akan terjadi anemia.1,2
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik
tetapi juga terjadi pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada anemia
megaloblastik dan thalasemia. Hormon eritropoetin akan merangsang terjadinya
hiperplasia eritroid (eritropoetin-induced eritroid hyperplasia) dan ini akan diikuti
dengan pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal. Anemia terjadi
bila serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup
dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila
sumsum tulang mampu mengatasi keadaan tersebut di atas sehingga tidak terjadi
anemia, keadaan ini disebut dengan istilah anemia hemolitik kompensata. Anemia
terdiri dari anemia autoimun dan non imun.1,2
a. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)
Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA)
ialah suatu anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self
antigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit
(hemolisis). Reaksi autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa
edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih pendek.4 Anemia disebabkan
karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum tulang untuk
menghasilkan sel eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit
dalam darah.2
19
AIHA dipicu oleh infeksi virus atau vaksinasi, lebih sering terjadi pada
anak daripada orang dewasa. Imunodefisiensi atau keganasan (terutama
keganasan jaringan limforetikular), sistemik lupus eritematosus (SLE), dan
tipe lain penyakit kolagen vaskuler biasanya menjadi penyebab yang sering
AIHA sekunder pada anak. Selain itu, beberapa kelainan yang langka seperti
giant cell hepatitis mungkin dapat menyebabkan AIHA. AIHA diklasifikasikan
menjadi tipe hangat (Warm autoimmune hemolytic anemia = WAIHA) dan tipe
dingin (Cold agglutinin disease = CAD) berdasarkan kisaran suhu
autoantibodinya.
2.3 Etiologi
AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen
sehingga menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang
bereaksi terhadap self antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan
bermanifestasi sebagai penyakit autoimun. Antibodi yang terbentuk
mengakibatkan peningkatan klirens dengan fagositosis melalui reseptor (hemolisis
ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit yang diperantarai oleh komplemen
(hemolisis intravaskuler).3
2.5 Patogenesis
Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi
akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan
melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb
merupakan suatu protease serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5
akan
22
berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b.
selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi
aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan
dihancurkan oleh sel-sel retikulo endothelial. Proses immune adheren ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Imuno
adherens terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis3.
23
mengiringi anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal
ini terkait dengan infeksi virus, terutama pada anak.2
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai
gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan
lingkungan yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu episode
hemolisis akut dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering
terjadi di musim dingin. Darah lebih mudah terpengaruh suhu pada
ekstremitas, sehingga pasien lebih sering mengalami akrosianosis (warna
kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada kedua tangan dan kaki) saat serangan
terjadi.2
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi
pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan
bilirubin, laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan
pemeriksaan serologi.3
A. pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat
bervariasi dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada
AIHA tipe dingin jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat
meningkat sedangkan jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit
umumnya normal.12
B. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis,
polikromasi, sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.22 Polikromasi
menunjukkan peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang.
Sferositosis dapat terjadi pada proses hemolitik pada anemia hemolitik
sedang sampai berat.2
24
Hemolisis ekstravaskuler terjadi melalui proses fagositosis eritrosit
oleh sistem retikuloendotelial yang menyebabkan eritrosit lisis dan
hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin
dihidrolisis menjadi asam amino. Heme kemudian menjadi besi dan
protoporfirin yang terdiri dari biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin
yang terikat dengan albumin merupakan bilirubin yang tidak terkonjugasi
di dalam darah. Bilirubin yang tidak terkonjugasi/indirek masuk ke hepar
dan menjadi bilirubin terkonjugasi/direk. Bilirubin direk dirubah menjadi
urobilinogen yang diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi
di ginjal dirubah urobilinogen urin.2
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang
menyebabkan penurunan kadar haptoglobin.20 Hemolisis intravaskuler
menimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan
dengan haptoglobin menjadi haptoglobin hemoglobin sehingga kadar
haptoglobin menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin dimetabolisme
menjadi bilirubin.
D. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT)
yang menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan
reagen anti globulin yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya
reaksi aglutinasi. Hal ini menandakan adanya Ig G dan C3d pada
permukaan eritrosit pasien.2
25
Gambar : pemeriksaan Direct Antiglobulin (Coombs) test3
26
Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati,
membranopati dan hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit
defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh
obat- obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan rendahnya aktivitas enzim
G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan dan obati
penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter.
Pada pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat
keluarga dan DAT negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa
splenektomi pada kasus yang sedang sampai berat. Hemoglobinopati
terjadi pada talasemia dan penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain dengan elektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan
genetik. Penyakit ini dapat dobati dengan pemberian asam folat dan
tranfusi 17,20.
2.9 Tatalaksana
27
3 dosis selama 2-4 minggu kemudian dilakukan tappering off dalam 2-6
minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak baik, dosis prednison
ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari. 2
Pada beberapa pasien dengan hemolisis yang berat maka dosis prednison
dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk
mengurangi tingkat hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai
didapatkan penurunan hemolisis, kemudian dosis obat diturunkan secara
bertahap.Jika relaps terjadi, maka diberikan dosis awal kembali. 6 Pasien
dikatakan respon terhadap pengobatan dengan steroid akan
memperlihatkan peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang stabil
serta penurunan kadar retikulosit setelah dua minggu pengobatan.2
Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan
kortikosteroid atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang
tinggi untuk mencapai hemoglobin yang normal, maka dapat
dipertimbangkan pemberian immunoglobulin intravena dan danazol.2 Obat
immunosuppresif termasuk pengobatan baru seperti rituximab dengan
dosis 375mg/m2 dapat diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada
pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan dengan steroid,
pasien dengan steroid-dependent, pasien relaps, ataupun pasien AIHA
kronik.2,5
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid
dianjurkan untuk dilakukan splenektomi.2 Splenektomi juga dapat
dilakukan pada pasien AIHA kronik. AIHA dikatakan kronik jika gejala
dan hasil laboratorium yang abnormal tetap ditemukan selama > 6 bulan,
akan tetapi splenektomi dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi
(sepsis), terutama pada anak yang berumur < 2 tahun.2 Persiapan yang
dilakukan sebelum splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan
dengan vaksin yang sesuai ( pneumococcal, meningococcal, dan
Haemophilus influenza type b) dan pemberian penisilin secara oral setelah
splenektomi dilakukan.6
28
2.9.2 AIHA tipe dingin
AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak
dibanding dewasa. Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin
kurang efektif dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan
untuk menghindari paparan terhadap udara dingin yang dapat memicu
terjadinya hemolisis dan jika penyebab mendasari dapat diidentifikasi,
maka penyebab tersebut harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan
hemolisis berat, pengobatan termasuk immunosupresan dan plasmaferesis.
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan keberhasilan pengobatan
AIHA tipe dingin dengan menggunakan monoclonal antibodi yaitu
rituximab dengan dosis 375mg/m2. Splenektomi tidak banyak membantu
pada AIHA tipe ini. 6
2.9.3 Patofisiologi
Infeksi Mikroorganisme
Malaria
Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak sesuai dengan
rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun penyebabnya masih belum jelas.
Fragilitas osmotik pada sel yang tidak terinfeksi mengalami peningkatan,
penghancuran eritrosit pada infeksi malaria disebabkan lisisnya eritrosit akibat
infeksi langsung, peningkatan proses penghancuran eritrosit yang mengandung
30
parasit dan proses otoimun. Namun tidak terjadi satupun mekanisme di atas
yang dapat menjelaskan terjadinya anemia berat padaa malaria. Proses
penghancuran sel darah merah sebagian besar berlangsung di limpa.
Splenopmegali merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria
kronik. Pengobatan dengan penisilin , streptomisin , kloramfenikol dan
tetrasiklin memberikan respons sangat baik. 3
Babesiosis
Parasit ini dapat terlihat melalui pulasan darah tebal dengan pewarnaan
Giemsa. Uji serologi dengan antibodi terhadap Babesiaserta uji PCR dapat
membantu penegakkan diagnosis. Pengobatan dengan klindamisin dan kuinin
memberikan hasil yang memuaskan. Transfusitukar yang juga memberikan
perbaikan yang nyata.
31
BAB III
KESIMPULAN
Anemia hemolitik adalah destruksi prematur sel darah merah, yang dapat
bersifat kronik atau mengancam nyawa. Pasien dengan anemia hemolitik dapat
datang dengan gejala anemia, ikterus, hematuria, dyspnea, takikardia, dan
terkadang hipotensi. Gejala yang muncul akan merefleksikan penyebab yang
mendasari hemolisis.
Normalnya, sel darah merah memiliki usia sekitar 120 hari. Mekanisme
yang dapat menyebabkan destruksi prematur sel darah merah adalah
deformabilitas sel yang buruk, sehingga menyebabkan sel terperangkap di
pembuluh darah kecil dan limpa, serta merangsang fagositosis sel. Mekanisme
lain yang dapat menyebabkan anemia hemolitik antara lain destruksi yang
dimediasi antibodi, fragmentasi akibat mikrotrombi atau trauma mekanis,
oksidasi, atau destruksi seluler langsung.
34