Pengaruh Teori Penentuan Sasaran Terhadap Kinerja Karyawan
Pengaruh Teori Penentuan Sasaran Terhadap Kinerja Karyawan
Disusun Oleh :
MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS JENDERAL SUDIRMAN
2022
Pengaruh Teori Penentuan Sasaran Terhadap Kinerja
Karyawan (Studi Kasus Pada Pekerja Penyadap Karet
Pada PTPN IX Kebun Kawung)
Abstrak
1. Pendahuluan
Salah satu ujung tombak pada kasus yang kami angkat ini adalah
para penderes atau para penyadap getah karet pada PTPN IX Kebun
Kawung. Selama melakukan pengamatan, kami melihat bagaimana
kurangnya motivasi karyawan yang ada pada perkebunan ini. Kurangnya
motivasi karyawan kami amati dari jumlah kehadiran yang tidak terlalu
tinggi, jumlah target sadapan yang tidak terpenuhi, hingga tingkat turnover
yang tinggi dari para penyadap.
2. Landasan Teori
A. Definisi Motivasi
Robbins (2013) mendefinisikan motivasi sebagai sebagai sebuah
proses yang mendasari intensitas, arah dan persistensi individu dalam
rangka mencapai sasaran. Dalam konteks perilaku organisasi maka
sasaran yang dimaksud disini akan dipersempit menjadi sasaran
organisasi.
Makna intensitas disini merujuk pada seberapa keras seseorang
berusaha untuk melakukan sesuatu. Seringkali faktor ini saja yang kita
lihat ketika mendefinisikan apakah seseorang termotivasi atau tidak.
Faktor kedua yaitu arah, maksudnya adalah bahwa semua usaha yang
dikeluarkan tersebut diarahkan kepada sasaran organisasi yang ingin
dicapai.
Tentu saja bisa terjadi seseorang bekerja keras namun bukan pada
arah yang benar. Misalkan, seorang pelajar yang seharusnya belajar
justru menghabiskan waktunya untuk bermain game. Pada kondisi
tersebut, unsur pertama yakni intensitas terpenuhi karena pelajar
tersebut bermain game dengan antusias, namun karena arahnya tidak
tepat maka kita tidak bisa mengatakan bahwa pelajar tersebut
termotivasi belajar melainkan termotivasi bermain game.
Unsur ketiga yaitu persistensi. Persistensi pada dasarnya
menunjukan seberapa lama seseorang mampu mempertahankan
usahanya tersebut. Misalkan seorang yang termotivasi untuk bekerja
akan melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh (intensity),
dengan benar (direction) dan secara teratur (persistent).
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Robbins, Hellrieger dan
Scolum (2011) juga mengungkapkan bahwa pada dasarnya motivasi
merupakan suatu kekuatan yang mendorong atau berasal dari dalam
diri manusia itu sendiri sehingga ia melakukan suatu perilaku tertentu
yang secara spesifik ditujukan untuk memenuhi sasarannya.
Kedua penjelasan tersebut kemudian dipertegas oleh Luthans
(2011) yang melihat bahwa motivasi merupakan sesuatu yang
bersumber pada kebutuhan baik itu kebutuhan fisik maupun mental.
Kebutuhan inilah yang kemudian mendorong suatu perilaku tertentu
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu Luthans
membagi dimensi motivasi menjadi 3 elemen yang saling berkaitan
yaitu :
1) Needs (Kebutuhan), merupakan sesuatu yang muncul
karena adanya ketidakseimbangan baik secara fisik maupun
mental. Ketidakseimbangan ini misalnya, sel-sel dalam diri
manusia membutuhkan energi untuk menopang aktivitas
maka tubuh akan mengirimkan sinyal lapar. Sinyal lapar
inilah yang kemudian memberikan dorongan bagi
seseorang untuk memenuhi ketidaseimbangan tersebut
dengan cara mencari makanan untuk dimakan.
2) Drives (Dorongan), merupakan bentuk aksi atau tindakan
yang akan menuju pada insentif. Dalam kasus lapar
sebelumnya, maka aksi yang kemudian muncul adalah
mencari makanan sehingga seseorang bisa merasa kenyang.
3) Incentives (Insentif), merupakan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan atau setidaknya menurunkan
dorongan. Dalam kasus orang yang kelaparan tadi, maka
insentif yang diharapkan adalah rasa kenyang yang dapat
memenuhi kebutuhan akan rasa lapar dan menurunkan
dorongan untuk makan.
1. Clarity (Kejelasan)
Sasaran yang jelas adalah sasaran yang terukur dan tidak
ambigu. Ketika sebuah sasaran itu jelas dan spesifik, dengan
waktu pengerjaan yang jelas, maka kita akan dengan mudah
mengetahui perilaku-perilaku apa yang akan diberi
penghargaan dan perilaku apa yang akan mendapatkan
hukuman.
Salah satu contoh dari sasaran yang jelas misalnya,
“mengurangi tingkat turnover pekerjaan sebesar 15% pada
tahun ini” atau “penanganan keluhan pelanggan maksimal 1x24
jam harus selesai” dan seterusnya.
2. Challenge (Tantangan)
Salah satu karakteristik yang penting dari sebuah sasaran
adalah seberapa tinggi tantangannya. Orang-orang sering
termotivasi karena adanya suatu pencapaian, dan mereka akan
menilai sasaran berdasarkan seberapa signifikan pencapaian
yang akan diperoleh.
Penghargaan biasanya akan meningkat seiring dengan
tingkat kesulitan pekerjaan. Bila kamu percaya bahwa akan
mendapatkan penghargaan yang setimpal atas usaha keras yang
dilakukan maka hal ini akan dapat mendorongmu untuk
bersemangat mencapainya.
Bila sebuah pekerjaan itu mudah dan tidak dilihat sebagai
sesuatu yang penting dan jika kamu atau pekerjamu tidak
melihat pencapaian atas hal tersebut adalah sesuatu yang
signifikan maka usaha yang ditunjukan juga mungkin tidak
akan luar biasa.
3. Commitment (Komitmen)
Suatu sasaran akan menjadi efektif bila dimengerti dan
disetujui bersama. Para pekerja kebanyakan akan mau
menerima pekerjaan jika mereka merasa menjadi bagian dari
terwujudnya sebuah sasaran. Dengan kata lain, komitmen para
pekerja akan dapat muncul jika mereka dilibatkan dalam proses
pembuatan keputusan dan penetapan sasaran perusahaan.
C. Kinerja Karyawan
Terkait dengan definisi kinerja karyawan Pawar, B.S. (2019)
memberikan beberapa pandangan yang menarik. Pertama, dalam
merumuskan kinerja karyawan seringkali kita terjebak pada pandangan
tradisional mengenai apa itu kinerja. Konsep tradisional terkait kinerja
menurut Pawar, seringkali terjebak pada pandangan dari era
industrialisi yang melihat kinerja hanya sebagai output kerja saja.
Dengan kata lain, kinerja akan dilihat sebagai hasil dalam bentuk
kuantitas dan kualitas kerja. Misalkan, seorang yang koki di sebuah
hotel akan dianggap memiliki kinerja yang baik jika mampu
menghasilkan sejumlah masakan dalam rentang waktu tertentu dengan
kualitas yang baik.
Cara pandang ini menurut Pawar tidaklah mampu menangkap
esensi kinerja karyawan secara utuh. Menurutnya, kinerja karyawan
yang dilihat hanya dari output hanya merujuk pada kinerja terkait tugas
saja. Masih terdapat hal lain selain itu seperti extra role performance
atau contextual performance yang juga merupakan bagian dari kinerja
karyawan secara keseluruhan. Extra role performance misalnya adalah
ketika koki tadi mengajari koki baru bagaimana beradaptasi dalam
lingkungan kerja, mengenalkan prosedur, membantu memperbaiki
kesalahan koki baru dst.
Extra role ini sendiri bukanlah sesuatu yang diwajibkan, namun ia
akan dapat mempengaruhi kinerja karyawan secara keseluruhan bila
tidak dilakukan. Misalkan karyawan baru ini tidak disambut dan
dibantu untuk beradaptasi maka kemungkinan kinerja karyawan secara
keseluruhan akan menurun karena kesalahan-kesalahan yang ia buat.
Melihat hal kenyataan ini, maka muncul pandangan baru terkait
dengan kinerja karyawan. Menurut Motowildo, Borman, dan Smith,
(Dalam Pawar, 2019) kinerja haruslah juga dilihat sebagai sebuah
penilaian evaluatif terkait dengan sejauh mana perilaku karyawan
dapat mendukung atau menghambat tercapainya kinerja organisasi.
Dengan kata lain, pandangan ini tidak lagi berfokus pada hasil
kerja saja melainkan juga perilaku-perilaku yang dapat mendukung
atau menghambat tercapainya kinerja organisasi. Melalui studi tentang
perilaku karyawan maka kita bisa melihat perilaku-perilaku mana saja
yang akan berkontribusi baik atau jelek terhadap tercapainya sasaran
organisasi.
Sebagai seorang manajer hal ini menjadi penting karena kita
kemudian bisa melakukan tindakan pencegahan ataupun koreksi
terhadap perilaku-perilaku yang dianggap negatif dan pemberian
penghargaan terhadap perilaku-perilaku yang dianggap positif dalam
pencapaian sasaran organisasi.
Melalui penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa konsep kinerja
bukanlah sebuah konsep yang berdiri sendiri melainkan konsep yang
terkait satu sama lain. Hal ini juga dijelaskan oleh Shield J. (2007)
yang mengatakan bahwa konsep kinerja sendiri terdiri dari 3 dimensi
horizontal (input, proses, output) dan 3 dimensi vertikal (Individu,
kelompok kerja, organisasi)
Pada dimensi horizontal, konsep kinerja akan dimulai dengan
mengelola input kemudian memprosesnya dan akhirnya keluarannya
kita sebut sebagai output. Pada level individu input ini dapat berupa
pengetahuan, kompetensi, skill, pengalaman dsb. Kemudian semua
input ini diproses melalui proses kerja dan menghasilkan output berupa
hasil kerja seperti barang dan jasa tertentu.
Dimensi (input, proses, output) ini juga akan terus terulang
kembali pada level kelompok dan organisasi dengan input, proses dan
output yang berbeda sesuai dengan levelnya.
Melalui penjelasan diatas kita bisa memahami bahwa konsep
kinerja secara luas akan menyangkut kinerja dari level individu hingga
organisasi. Sementara kinerja individu juga akan dipengaruhi oleh
perilaku-perilaku yang akan mendorong atau menghambat kinerja
individu tersebut. Oleh karena itu, kita bisa memahami kenapa studi
perilaku terhadap individu menjadi penting.
3. Pembahasan
Isu yang diangkat dalam pembahasan kali ini sebenarnya
terinspirasi dari pengalaman penulis ketika melakukan magang pada
PTPN IX Kebun Kawung beberapa tahun yang lalu. Pada waktu itu
penulis yang berfokus pada bidang SDM mencoba untuk menilai
kinerja organisasi secara keseluruhan.
Hasilnya, selama beberapa tahun terakhir PTPN IX Kebun
Kawung mengalami masalah dalam hal pemenuhan target kuantitas
karet yang harus mereka setorkan. Setelah melakukan pengamatan
langsung di lapangan, penulis menyimpulkan bahwa permasalahan
utama terletak pada divisi tanaman dimana hasil sadapan kurang dari
target yang ditentukan.
Selama dua minggu penulis mencoba untuk turun ke lapangan
bersama-sama dengan para penderes. Penulis bertemu dengan para
penderes sekitar jam 4 pagi karena waktu awal penderesan adalah
sekitar jam 4 pagi.
Selama proses pengamatan, penulis melihat bahwa terdapat
masalah-masalah terkait dengan para pekerja penderes ini. Masalah
utamanya adalah kurangnya motivasi kerja yang menyebabkan tingkat
kinerja mereka menurun.
Kurangnya motivasi kerja terlihat dari jumlah angka kehadiran
yang tidak terlalu tinggi atau dengan kata lain, para penderes ini tidak
setiap hari hadir untuk melakukan sadapan getah pohon karet. Disisi
lain, tingkat turnover para pekerja ini terbilang tinggi dan sering terjadi
meskipun para pekerja ini hadir namun kinerja sadapan mereka tidak
maksimal.
Menggunakan teori penetapan sasaran (goal setting theory),
penulis ingin menelaah lebih jauh penyebab turunnya motivasi kerja
karyawan dan bagaimana perusahaan dapat meningkatkannya sehinga
performa kerja mereka dapat meningkat.
Untuk itu, hal yang pertama kita lakukan adalah dengan melihat 5
prinsip yang telah disebutkan oleh Locke and Latham terkait sasaran
yang efektif. Berikut penjelasan detailnya :
Clarity (Kejelasan)
Selama melakukan pengamatan di lapangan selama
kurang lebih 2 minggu, penulis melihat bahwa pola kerja
para penyadap kurang lebih adalah, berangkat ke kebun
sekitar jam 4 pagi, melakukan sadapan hingga kurang lebih
jam 7 pagi, lalu mengumpulkan hasil sadapan sekitar jam 9
pagi. Lalu melakukan hal yang sama kurang lebih di sore
hari sekitar jam 3-5 sore.
Rutinitas ini seolah-olah memberikan sasaran yang jelas
pada pekerja penyadap namun pada kenyataanya justru
tidak demikian. Bila kita merujuk pendapat Sawyer (1992)
yang membangun dua konstruk ambiguitas (proses dan
sasaran), ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
clarity adalah sampai mana sebuah hasil dari sasaran dan
sasaran pekerjaan secara jelas disebutkan dan didefinisikan.
Dalam kasus ini, para penyadap hanya diberikan arahan
untuk melakukan pekerjaan sadapan, mengumpulkan dan
menimbangnya untuk kemudian masuk sebagai elemen
upah.
Para penyadap ini tidak diberikan target secara khusus
berapa mereka harus melakukan sadapan setiap harinya
atau setiap bulannya. Hal ini bukan berarti perusahaan tidak
memiliki target namun target ini tidak disampaikan secara
langsung kepada para pekerja penyadap.
Hal ini menyebabkan para pekerja melihat pekerjaan
menyadap menjadi rutinitas yang membosankan dan tanpa
arah. Idealnya, para pekerja penyadap ini juga diberikan
target harian atau bulanan yang harus dipenuhi serta reward
yang akan didapat jika target tersebut tercapai.
Tidak adanya target dan reward yang menyertainya
ditambah dengan upah sadapan perkilonya yang rendah
merupakan salah satu alasan utama yang kami lihat
mendorong penurunan motivasi kerja para pekerja sadap
ini.
Konsep target yang harus dipenuhi menjadi penting
karena dalam penelitian Asmus (2015) yang membagi
kelompok dengan target tertentu (kuantitas, kualitas dan
efisiensi energi) jelas terlihat bahwa kelompok kualitas
tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan
kelompok kontrolnya. Hal ini karena Asmus gagal dalam
memberikan definisi kualitas dengan baik.
Dalam kaitannya dengan penelitan Asmus tadi, kita bisa
menarik kesimpulan yang sama yakni tanpa adanya target
serta reward yang jelas terkait sasaran apa yang harus
dipenuhi oleh para penyadap maka akan sulit bagi para
pekerja ini untuk mengeluarkan segenap kemampuan
mereka. Kita tidak bisa serta merta berkata pada para
penyadap bahwa mereka harus menyadap sebanyak-
banyaknya dan berharap kinerja mereka akan meningkat.
Kita harus berdiskusi dulu dengan mereka mengenai
berapa banyak hasil sadapan yang dibutuhkan perusahaan
tiap harinya, lalu kira-kira berapa target yang harus mereka
penuhi dan juga reward apa yang akan mereka terima bila
berhasil memenuhi target tersebut berapa banyak reward
yang akan diberikan dan lain sebagainya.
Challenge (Tantangan)
Sebenarnya pekerjaan para penyadap ini cukup
menantang karena mereka harus memulai bekerja pada
sekitar jam 4 pagi dan mengeksplor wilayah yang menjadi
tanggung jawab mereka. Hal lain yang membuat pekerjaan
ini menantang adalah kontur perkebunan terutama yang
berada di daerah Afdeling Cikukun yang naik turun
sehingga cukup menantang bagi pekerja.
Namun sayangnya, pekerjaan yang menantang ini tidak
dibarengi dengan sistem reward atau insentif yang memadai
sehingga kebanyakan pekerja hanya melihat pekerjaan ini
sebagai beban dan bukan tantangan.
Reward yang tidak memadai ini bisa saja mendorong
tindakan curang dari para pekerjanya untuk mendapatkan
upah lebih seperti dengan memasukan air ke dalam bak
penyimpanan getah sehingga bobot getah yang mereka
hasilkan bertambah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Georg (2015) mengenai potensi tindakan curang dari
adanya penetapan sasaran secara kaku.
Commitment (Komitmen)
Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan,
komitmen terhadap pekerjaan terlihat rendah. Hal ini
terbukti dari tingkat turnover pegawai yang tinggi. Hal lain
yang menurut kami berpengaruh pada rendahnya komitmen
adalah tidak seimbangnya antara beban pekerjaan dan upah
yang diterima.
Hal ini membuat sebagian pekerja hanya
memperlakukan pekerjaan sadap karet sebagai pekerjaan
sambilan saja sedangkan pekerjaan utama mereka tetap
bertani atau berkebun. Hal ini semakin diperparah dengan
status kepegawaian dari mayoritas penyadap yaitu pekerja
harian lepas yang notabene setara dengan honorer atau
pegawai outsourcing.
DAFTAR PUSTAKA
1) Asmus, S., Karl, F., Mohnen, A., & Reinhart, G. (2015). The Impact of Goal-
setting on Worker Performance - Empirical Evidence from a Real-effort
Production Experiment. Procedia CIRP, 26, 127-132.
2) Derrick M. Anderson, Justin M. Stritch, Goal Clarity, Task Significance, and
Performance: Evidence From a Laboratory Experiment, Journal of Public
Administration Research and Theory, Volume 26, Issue 2, April 2016, Pages
211–225, https://doi.org/10.1093/jopart/muv019
3) Goerg, S. J. (2015). Goal setting and worker motivation. IZA World of Labor.
4) Heimerdinger, S. R., & Hinsz, V. B. (2008). Failure avoidance motivation in a
goal-setting situation. Human Performance, 21(4), 383-395.
5) Hellriegel, Don, Slocum, John W.. (2011). Organizational Behavior 13th
edition (13th edition). Australia: South-Western, Cengage Learning.
6) Locke, E. A., & Latham, G. P. (2013). Goal setting theory, 1990. In E. A.
Locke & G. P. Latham (Eds.), New developments in goal setting and task
performance (pp. 3–15). Routledge/Taylor & Francis Group.
7) Luthans, F. (2011). Organizational Behavior An Evidence-Based Approach
Twelfth Edition.
8) McShane S.L., and Von Glinow, Mary Ann. (2017). Organizational Behavior
9th Edition. Mcgraw Hills.
9) Pawar, B.S. (2019). Employee Performance and Well-being: Leadership,
Justice, Support, and Workplace Spirituality (1st ed.). Routledge India.
https://doi.org/10.4324/9780429244193
10) Robbins, S.P., and Judge T.A. (2013). Organizational Behavior 15th edition.
Pearson.
11) Sawyer, J. E. (1992). Goal and process clarity: Specification of multiple
constructs of role ambiguity and a structural equation model of their
antecedents and consequences. Journal of Applied Psychology, 77(2), 130–
142. https://doi.org/10.1037/0021-9010.77.2.130
12) Shield. J (2007). Managing Employee Performance and Reward : Concepts,
Practices, Strategy. Cambridge University Press.