Anda di halaman 1dari 19

Pengaruh Teori Penetapan Sasaran

Terhadap Kinerja Karyawan


(Studi Kasus Pada Pekerja Penyadap Karet Pada
PTPN IX Kebun Kawung)

Disusun Oleh :

Irfan Rakhman Hidayat (C2C022030)

MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS JENDERAL SUDIRMAN
2022
Pengaruh Teori Penentuan Sasaran Terhadap Kinerja
Karyawan (Studi Kasus Pada Pekerja Penyadap Karet
Pada PTPN IX Kebun Kawung)

Abstrak

Suatu organisasi dibentuk karena ada sasaran bersama yang ingin


dicapai. Proses pencapaian sasaran tersebut seringkali membutuhkan
energi, waktu dan pikiran yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penting bagi
perusahaan untuk menetapkan secara jelas apa yang ingin dicapainya.
Melalui metode penentuan sasaran, penulis ingin menelaah penyebab
menurunnya kinerja para penderes pada PTPN IX Kebun Kawung.
Penelitian ini didasarkan pada pengamatan langsung dan juga diskusi
dengan para pekerja, mandor kebun dan juga para pegawai di PTPN IX
Kebung Kawung.

Kata Kunci : Sasaran, Penetapan Sasaran, Kinerja Karyawan,


Penderes, Kebun Kawung

1. Pendahuluan

Persaingan usaha yang semakin ketat mendorong perusahaan untuk


bekerja secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai sasarannya.
Semakin banyaknya pemain di pasar membuat perusahaan tidak lagi bisa
sembarangan dalam mempergunakan sumber daya yang mereka miliki.
Hal ini menimbulkan kesadaran terhadap semakin pentingnya makna
sumber daya yang dimiliki perusahaan dalam rangka mencapai
sasarannya.

Salah satu sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan adalah


sumber daya manusia. Sumber daya manusia dalam hal ini karyawan
merupakan sumber daya yang penting sekaligus unik. Penting karena
karyawanlah yang menjadi ujung tombak operasional perusahaan. Disisi
lain, sumber daya ini unik karena kita melibatkan manusia yang memiliki
kepribadian, dan motivasi yang berbeda-beda.

Salah satu ujung tombak pada kasus yang kami angkat ini adalah
para penderes atau para penyadap getah karet pada PTPN IX Kebun
Kawung. Selama melakukan pengamatan, kami melihat bagaimana
kurangnya motivasi karyawan yang ada pada perkebunan ini. Kurangnya
motivasi karyawan kami amati dari jumlah kehadiran yang tidak terlalu
tinggi, jumlah target sadapan yang tidak terpenuhi, hingga tingkat turnover
yang tinggi dari para penyadap.

Untuk meninjau apa sebenarnya yang menyebabkan menurunnya


motivasi para pekerja penderes ini, kami menggunakan teori penetapan
sasaran (Goal Setting Theory). Menurut Locke (dalam Robbins,2015)
keinginan untuk bekerja mencapai suatu sasaran merupakan sumber dari
motivasi itu sendiri. Hal ini karena, sasaran pada hakekatnya memberikan
gambaran mengenai apa saja yang harus dikerjakan dan berapa banyak
usaha yang harus dikeluarkan untuk melaksanakannya.

Melalui Locke dan Lutham (1990), kita menyadari bahwa sasaran


membuat segala segala usaha yang kita lakukan menjadi terarah. Namun,
arah saja tidaklah cukup karena arah tanpa adanya sense of distance yang
jelas juga hanya akan membuat kita kelelahan. Misalkan, kita mengetahui
bahwa arah utara merupakan tempat yang ingin kita tuju namun, tanpa
tahu seberapa jauh sasaran kita tersebut tentu akan sulit bagi kita untuk
menyiapkan diri.

Untuk mengatasi hal tersebut, Locke juga memberikan syarat


kedua yakni spesifik. Sasaran yang spesifik membantu kita untuk
mempersiapkan diri mengenai apa yang akan kita hadapi, berapa banyak
usaha yang dibutuhkan dan berapa lama kita harus melakukannya. Selain
itu, faktor tingkat kesulitan juga menjadi elemen yang penting karena
kesulitan dalam mencapai sasaran dapat menjadi tantangan yang
memotivasi karyawan.

Melalui perumusan sasaran yang terarah, spesifik dan menantang


diharapkan karyawan akan termotivasi dalam bekerja. Motivasi karyawan
inilah yang kemudian akan menjadi kunci bagi kinerja mereka dalam
perusahaan.

2. Landasan Teori
A. Definisi Motivasi
Robbins (2013) mendefinisikan motivasi sebagai sebagai sebuah
proses yang mendasari intensitas, arah dan persistensi individu dalam
rangka mencapai sasaran. Dalam konteks perilaku organisasi maka
sasaran yang dimaksud disini akan dipersempit menjadi sasaran
organisasi.
Makna intensitas disini merujuk pada seberapa keras seseorang
berusaha untuk melakukan sesuatu. Seringkali faktor ini saja yang kita
lihat ketika mendefinisikan apakah seseorang termotivasi atau tidak.
Faktor kedua yaitu arah, maksudnya adalah bahwa semua usaha yang
dikeluarkan tersebut diarahkan kepada sasaran organisasi yang ingin
dicapai.
Tentu saja bisa terjadi seseorang bekerja keras namun bukan pada
arah yang benar. Misalkan, seorang pelajar yang seharusnya belajar
justru menghabiskan waktunya untuk bermain game. Pada kondisi
tersebut, unsur pertama yakni intensitas terpenuhi karena pelajar
tersebut bermain game dengan antusias, namun karena arahnya tidak
tepat maka kita tidak bisa mengatakan bahwa pelajar tersebut
termotivasi belajar melainkan termotivasi bermain game.
Unsur ketiga yaitu persistensi. Persistensi pada dasarnya
menunjukan seberapa lama seseorang mampu mempertahankan
usahanya tersebut. Misalkan seorang yang termotivasi untuk bekerja
akan melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh (intensity),
dengan benar (direction) dan secara teratur (persistent).
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Robbins, Hellrieger dan
Scolum (2011) juga mengungkapkan bahwa pada dasarnya motivasi
merupakan suatu kekuatan yang mendorong atau berasal dari dalam
diri manusia itu sendiri sehingga ia melakukan suatu perilaku tertentu
yang secara spesifik ditujukan untuk memenuhi sasarannya.
Kedua penjelasan tersebut kemudian dipertegas oleh Luthans
(2011) yang melihat bahwa motivasi merupakan sesuatu yang
bersumber pada kebutuhan baik itu kebutuhan fisik maupun mental.
Kebutuhan inilah yang kemudian mendorong suatu perilaku tertentu
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu Luthans
membagi dimensi motivasi menjadi 3 elemen yang saling berkaitan
yaitu :
1) Needs (Kebutuhan), merupakan sesuatu yang muncul
karena adanya ketidakseimbangan baik secara fisik maupun
mental. Ketidakseimbangan ini misalnya, sel-sel dalam diri
manusia membutuhkan energi untuk menopang aktivitas
maka tubuh akan mengirimkan sinyal lapar. Sinyal lapar
inilah yang kemudian memberikan dorongan bagi
seseorang untuk memenuhi ketidaseimbangan tersebut
dengan cara mencari makanan untuk dimakan.
2) Drives (Dorongan), merupakan bentuk aksi atau tindakan
yang akan menuju pada insentif. Dalam kasus lapar
sebelumnya, maka aksi yang kemudian muncul adalah
mencari makanan sehingga seseorang bisa merasa kenyang.
3) Incentives (Insentif), merupakan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan atau setidaknya menurunkan
dorongan. Dalam kasus orang yang kelaparan tadi, maka
insentif yang diharapkan adalah rasa kenyang yang dapat
memenuhi kebutuhan akan rasa lapar dan menurunkan
dorongan untuk makan.

Tentu saja contoh orang yang kelaparan tadi merupakan contoh


yang sangat sederhana. Namun, jika kita menerapkannya pada dunia
kerja misalnya, kita akan bisa melihat hal-hal apa saja yang dapat
mendorong orang melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya.
ia mendapatkan uang yang bisa ia gunakan untuk memenuhi
kebutuhannya.

B. Teori Penetapan Sasaran

Edwin Locke (dalam Robbins, 2013) mengatakan bahwa tindakan


bekerja untuk mencapai sasaran merupakan sumber utama dari
motivasi. Hal ini karena sebuah sasaran akan memberikan gambaran
mengenai apa saja yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha
yang dibutuhkan untuk melakukannya.
Lebih lanjut ia juga menambahkan bahwa terdapat suatu bukti kuat
yang menyatakan bahwa suatu sasaran yang spesifik akan
meningkatkan kinerja; dimana suatu sasaran yang sulit jika diterima
akan membawa pada hasil kinerja yang lebih tinggi.
Selain itu, Locke juga melihat peran penting dari umpan balik,
dimana adanya umpan balik akan dapat membawa pada kinerja yang
lebih baik dibandingkan dengan tidak adanya umpan balik.
Hal yang senada juga disampaikan oleh McShane dan Von Glinow
(2017) yang menyatakan bahwa pada dasarnya penetapan sasaran
merupakan sebuah proses memotivasi karyawan dan memperjelas
persepsi peran mereka dengan cara menetapkan suatu sasaran kinerja.
Menurut mereka, penetapan sasaran akan meningkatkan performa
melalui 2 cara yaitu : 1. Meningkatkan intensitas dan persistensi usaha
dan 2. Memberikan karyawan persepsi yang lebih jelas mengenai
peran mereka sehingga usaha mereka dapat diarahkan pada perilaku-
perilaku yang akan meningkatkan performa kerja.
Selanjutnya untuk meningkatkan kesuksesan karyawan dalam
mencapai tujuannya, Locke dan Latham menyebutkan 5 prinsip yang
harus dipenuhi yaitu :

1. Clarity (Kejelasan)
Sasaran yang jelas adalah sasaran yang terukur dan tidak
ambigu. Ketika sebuah sasaran itu jelas dan spesifik, dengan
waktu pengerjaan yang jelas, maka kita akan dengan mudah
mengetahui perilaku-perilaku apa yang akan diberi
penghargaan dan perilaku apa yang akan mendapatkan
hukuman.
Salah satu contoh dari sasaran yang jelas misalnya,
“mengurangi tingkat turnover pekerjaan sebesar 15% pada
tahun ini” atau “penanganan keluhan pelanggan maksimal 1x24
jam harus selesai” dan seterusnya.

2. Challenge (Tantangan)
Salah satu karakteristik yang penting dari sebuah sasaran
adalah seberapa tinggi tantangannya. Orang-orang sering
termotivasi karena adanya suatu pencapaian, dan mereka akan
menilai sasaran berdasarkan seberapa signifikan pencapaian
yang akan diperoleh.
Penghargaan biasanya akan meningkat seiring dengan
tingkat kesulitan pekerjaan. Bila kamu percaya bahwa akan
mendapatkan penghargaan yang setimpal atas usaha keras yang
dilakukan maka hal ini akan dapat mendorongmu untuk
bersemangat mencapainya.
Bila sebuah pekerjaan itu mudah dan tidak dilihat sebagai
sesuatu yang penting dan jika kamu atau pekerjamu tidak
melihat pencapaian atas hal tersebut adalah sesuatu yang
signifikan maka usaha yang ditunjukan juga mungkin tidak
akan luar biasa.

3. Commitment (Komitmen)
Suatu sasaran akan menjadi efektif bila dimengerti dan
disetujui bersama. Para pekerja kebanyakan akan mau
menerima pekerjaan jika mereka merasa menjadi bagian dari
terwujudnya sebuah sasaran. Dengan kata lain, komitmen para
pekerja akan dapat muncul jika mereka dilibatkan dalam proses
pembuatan keputusan dan penetapan sasaran perusahaan.

4. Feedback (Umpan Balik)


Suatu program sasaran yang efektif juga harus memasukan
masalah umpan balik. Umpan balik memberikan kesempatan
untuk menjelaskan ekspektasi, menyesuaikan tingkat kesulitan,
dan mendapatkan pengakuan. Pada dasarnya melalui umpan
balik kita juga bisa menetapkan sebuah standar yang harus
dipenuhi sehingga karyawan dapat mengetahui seberapa baik
performa kerja yang telah mereka lakukan.

5. Task Complexity (Kompleksitas pekerjaan)


Terkadang suatu pekerjaan memang sangatlah kompleks
sehingga butuh perhatian lebih untuk menyelesaikannya.
Namun, dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang kompleks
seringkali para pegawai menjadi terlalu terbeban oleh
banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Hal ini akan dapat menurunkan performa kerja mereka
karena para pekerja menganggap pekerjaan tersebut mustahil
untuk diselesaikan. Tugas manajer dalam hal ini adalah
membagi tugas tersebut sehingga beban kerja yang harus
ditanggung oleh karyawan tidak terlalu membebani mereka.

C. Kinerja Karyawan
Terkait dengan definisi kinerja karyawan Pawar, B.S. (2019)
memberikan beberapa pandangan yang menarik. Pertama, dalam
merumuskan kinerja karyawan seringkali kita terjebak pada pandangan
tradisional mengenai apa itu kinerja. Konsep tradisional terkait kinerja
menurut Pawar, seringkali terjebak pada pandangan dari era
industrialisi yang melihat kinerja hanya sebagai output kerja saja.
Dengan kata lain, kinerja akan dilihat sebagai hasil dalam bentuk
kuantitas dan kualitas kerja. Misalkan, seorang yang koki di sebuah
hotel akan dianggap memiliki kinerja yang baik jika mampu
menghasilkan sejumlah masakan dalam rentang waktu tertentu dengan
kualitas yang baik.
Cara pandang ini menurut Pawar tidaklah mampu menangkap
esensi kinerja karyawan secara utuh. Menurutnya, kinerja karyawan
yang dilihat hanya dari output hanya merujuk pada kinerja terkait tugas
saja. Masih terdapat hal lain selain itu seperti extra role performance
atau contextual performance yang juga merupakan bagian dari kinerja
karyawan secara keseluruhan. Extra role performance misalnya adalah
ketika koki tadi mengajari koki baru bagaimana beradaptasi dalam
lingkungan kerja, mengenalkan prosedur, membantu memperbaiki
kesalahan koki baru dst.
Extra role ini sendiri bukanlah sesuatu yang diwajibkan, namun ia
akan dapat mempengaruhi kinerja karyawan secara keseluruhan bila
tidak dilakukan. Misalkan karyawan baru ini tidak disambut dan
dibantu untuk beradaptasi maka kemungkinan kinerja karyawan secara
keseluruhan akan menurun karena kesalahan-kesalahan yang ia buat.
Melihat hal kenyataan ini, maka muncul pandangan baru terkait
dengan kinerja karyawan. Menurut Motowildo, Borman, dan Smith,
(Dalam Pawar, 2019) kinerja haruslah juga dilihat sebagai sebuah
penilaian evaluatif terkait dengan sejauh mana perilaku karyawan
dapat mendukung atau menghambat tercapainya kinerja organisasi.
Dengan kata lain, pandangan ini tidak lagi berfokus pada hasil
kerja saja melainkan juga perilaku-perilaku yang dapat mendukung
atau menghambat tercapainya kinerja organisasi. Melalui studi tentang
perilaku karyawan maka kita bisa melihat perilaku-perilaku mana saja
yang akan berkontribusi baik atau jelek terhadap tercapainya sasaran
organisasi.
Sebagai seorang manajer hal ini menjadi penting karena kita
kemudian bisa melakukan tindakan pencegahan ataupun koreksi
terhadap perilaku-perilaku yang dianggap negatif dan pemberian
penghargaan terhadap perilaku-perilaku yang dianggap positif dalam
pencapaian sasaran organisasi.
Melalui penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa konsep kinerja
bukanlah sebuah konsep yang berdiri sendiri melainkan konsep yang
terkait satu sama lain. Hal ini juga dijelaskan oleh Shield J. (2007)
yang mengatakan bahwa konsep kinerja sendiri terdiri dari 3 dimensi
horizontal (input, proses, output) dan 3 dimensi vertikal (Individu,
kelompok kerja, organisasi)
Pada dimensi horizontal, konsep kinerja akan dimulai dengan
mengelola input kemudian memprosesnya dan akhirnya keluarannya
kita sebut sebagai output. Pada level individu input ini dapat berupa
pengetahuan, kompetensi, skill, pengalaman dsb. Kemudian semua
input ini diproses melalui proses kerja dan menghasilkan output berupa
hasil kerja seperti barang dan jasa tertentu.
Dimensi (input, proses, output) ini juga akan terus terulang
kembali pada level kelompok dan organisasi dengan input, proses dan
output yang berbeda sesuai dengan levelnya.
Melalui penjelasan diatas kita bisa memahami bahwa konsep
kinerja secara luas akan menyangkut kinerja dari level individu hingga
organisasi. Sementara kinerja individu juga akan dipengaruhi oleh
perilaku-perilaku yang akan mendorong atau menghambat kinerja
individu tersebut. Oleh karena itu, kita bisa memahami kenapa studi
perilaku terhadap individu menjadi penting.

3. Pembahasan
Isu yang diangkat dalam pembahasan kali ini sebenarnya
terinspirasi dari pengalaman penulis ketika melakukan magang pada
PTPN IX Kebun Kawung beberapa tahun yang lalu. Pada waktu itu
penulis yang berfokus pada bidang SDM mencoba untuk menilai
kinerja organisasi secara keseluruhan.
Hasilnya, selama beberapa tahun terakhir PTPN IX Kebun
Kawung mengalami masalah dalam hal pemenuhan target kuantitas
karet yang harus mereka setorkan. Setelah melakukan pengamatan
langsung di lapangan, penulis menyimpulkan bahwa permasalahan
utama terletak pada divisi tanaman dimana hasil sadapan kurang dari
target yang ditentukan.
Selama dua minggu penulis mencoba untuk turun ke lapangan
bersama-sama dengan para penderes. Penulis bertemu dengan para
penderes sekitar jam 4 pagi karena waktu awal penderesan adalah
sekitar jam 4 pagi.
Selama proses pengamatan, penulis melihat bahwa terdapat
masalah-masalah terkait dengan para pekerja penderes ini. Masalah
utamanya adalah kurangnya motivasi kerja yang menyebabkan tingkat
kinerja mereka menurun.
Kurangnya motivasi kerja terlihat dari jumlah angka kehadiran
yang tidak terlalu tinggi atau dengan kata lain, para penderes ini tidak
setiap hari hadir untuk melakukan sadapan getah pohon karet. Disisi
lain, tingkat turnover para pekerja ini terbilang tinggi dan sering terjadi
meskipun para pekerja ini hadir namun kinerja sadapan mereka tidak
maksimal.
Menggunakan teori penetapan sasaran (goal setting theory),
penulis ingin menelaah lebih jauh penyebab turunnya motivasi kerja
karyawan dan bagaimana perusahaan dapat meningkatkannya sehinga
performa kerja mereka dapat meningkat.
Untuk itu, hal yang pertama kita lakukan adalah dengan melihat 5
prinsip yang telah disebutkan oleh Locke and Latham terkait sasaran
yang efektif. Berikut penjelasan detailnya :
 Clarity (Kejelasan)
Selama melakukan pengamatan di lapangan selama
kurang lebih 2 minggu, penulis melihat bahwa pola kerja
para penyadap kurang lebih adalah, berangkat ke kebun
sekitar jam 4 pagi, melakukan sadapan hingga kurang lebih
jam 7 pagi, lalu mengumpulkan hasil sadapan sekitar jam 9
pagi. Lalu melakukan hal yang sama kurang lebih di sore
hari sekitar jam 3-5 sore.
Rutinitas ini seolah-olah memberikan sasaran yang jelas
pada pekerja penyadap namun pada kenyataanya justru
tidak demikian. Bila kita merujuk pendapat Sawyer (1992)
yang membangun dua konstruk ambiguitas (proses dan
sasaran), ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
clarity adalah sampai mana sebuah hasil dari sasaran dan
sasaran pekerjaan secara jelas disebutkan dan didefinisikan.
Dalam kasus ini, para penyadap hanya diberikan arahan
untuk melakukan pekerjaan sadapan, mengumpulkan dan
menimbangnya untuk kemudian masuk sebagai elemen
upah.
Para penyadap ini tidak diberikan target secara khusus
berapa mereka harus melakukan sadapan setiap harinya
atau setiap bulannya. Hal ini bukan berarti perusahaan tidak
memiliki target namun target ini tidak disampaikan secara
langsung kepada para pekerja penyadap.
Hal ini menyebabkan para pekerja melihat pekerjaan
menyadap menjadi rutinitas yang membosankan dan tanpa
arah. Idealnya, para pekerja penyadap ini juga diberikan
target harian atau bulanan yang harus dipenuhi serta reward
yang akan didapat jika target tersebut tercapai.
Tidak adanya target dan reward yang menyertainya
ditambah dengan upah sadapan perkilonya yang rendah
merupakan salah satu alasan utama yang kami lihat
mendorong penurunan motivasi kerja para pekerja sadap
ini.
Konsep target yang harus dipenuhi menjadi penting
karena dalam penelitian Asmus (2015) yang membagi
kelompok dengan target tertentu (kuantitas, kualitas dan
efisiensi energi) jelas terlihat bahwa kelompok kualitas
tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan
kelompok kontrolnya. Hal ini karena Asmus gagal dalam
memberikan definisi kualitas dengan baik.
Dalam kaitannya dengan penelitan Asmus tadi, kita bisa
menarik kesimpulan yang sama yakni tanpa adanya target
serta reward yang jelas terkait sasaran apa yang harus
dipenuhi oleh para penyadap maka akan sulit bagi para
pekerja ini untuk mengeluarkan segenap kemampuan
mereka. Kita tidak bisa serta merta berkata pada para
penyadap bahwa mereka harus menyadap sebanyak-
banyaknya dan berharap kinerja mereka akan meningkat.
Kita harus berdiskusi dulu dengan mereka mengenai
berapa banyak hasil sadapan yang dibutuhkan perusahaan
tiap harinya, lalu kira-kira berapa target yang harus mereka
penuhi dan juga reward apa yang akan mereka terima bila
berhasil memenuhi target tersebut berapa banyak reward
yang akan diberikan dan lain sebagainya.

 Challenge (Tantangan)
Sebenarnya pekerjaan para penyadap ini cukup
menantang karena mereka harus memulai bekerja pada
sekitar jam 4 pagi dan mengeksplor wilayah yang menjadi
tanggung jawab mereka. Hal lain yang membuat pekerjaan
ini menantang adalah kontur perkebunan terutama yang
berada di daerah Afdeling Cikukun yang naik turun
sehingga cukup menantang bagi pekerja.
Namun sayangnya, pekerjaan yang menantang ini tidak
dibarengi dengan sistem reward atau insentif yang memadai
sehingga kebanyakan pekerja hanya melihat pekerjaan ini
sebagai beban dan bukan tantangan.
Reward yang tidak memadai ini bisa saja mendorong
tindakan curang dari para pekerjanya untuk mendapatkan
upah lebih seperti dengan memasukan air ke dalam bak
penyimpanan getah sehingga bobot getah yang mereka
hasilkan bertambah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Georg (2015) mengenai potensi tindakan curang dari
adanya penetapan sasaran secara kaku.
 Commitment (Komitmen)
Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan,
komitmen terhadap pekerjaan terlihat rendah. Hal ini
terbukti dari tingkat turnover pegawai yang tinggi. Hal lain
yang menurut kami berpengaruh pada rendahnya komitmen
adalah tidak seimbangnya antara beban pekerjaan dan upah
yang diterima.
Hal ini membuat sebagian pekerja hanya
memperlakukan pekerjaan sadap karet sebagai pekerjaan
sambilan saja sedangkan pekerjaan utama mereka tetap
bertani atau berkebun. Hal ini semakin diperparah dengan
status kepegawaian dari mayoritas penyadap yaitu pekerja
harian lepas yang notabene setara dengan honorer atau
pegawai outsourcing.

 Feedback (Umpan Balik)


Selama pengamatan, kami melihat bahwa tidak ada
umpan balik yang memadai terkait kinerja para penyadap.
Satu-satunya interaksi yang menyerupai umpan balik
adalah ketika mandor kebun melakukan training kepada
para penyadap baru.
Pada masa training, para penyadap akan diajari cara
memakai alat untuk melakukan sadapan, cara membuat
gurat sadapan, memasang tempat penampungan,
mengumpulkan hasil sadapan hingga menimbang berat
hasil sadapan perhari.
Namun sayangnya, diluar hal ini kami tidak melihat
adanya umpan balik yang berarti. Kebanyakan mandor
kebun sibuk melakukan absensi dan membantu perhitungan
dari para penyadap yang berada di bawah pengawasan
mereka.
Namun begitu, bila terdapat kinerja penyadap yang
berada dibawah standar, para mandor kebun tidak dapat
berbuat banyak. Satu-satunya hal yang mereka bisa lakukan
adalah memberikan peringatan secara lisan. Namun,
mereka tidak dapat terlalu keras memberikan hukuman,
karena disamping mereka tidak memiliki kewenangan
tersebut, posisi kebanyakan pegawai yang merupakan
pekerja harian lepas sangat memudahkan mereka untuk
pergi begitu saja.

 Task Complexity (Kompleksitas Pekerjaan)


Bila kita melihat keseluruhan proses dari getah karet
berubah menjadi material karet untuk keperluan industri,
maka bisa dikatakan bahwa industri ini cukup kompleks.
Namun, bila kita hanya berfokus pada pekerjaan penyadap
saja maka aktivitas penyadapan sendiri bisa dibilang cukup
sederhana.
Secara umum, hal yang harus penyadap lakukan adalah
membuat alur baru, memasang alat penampung getah karet,
menampung getah karet, mengumpulkannya dan
menimbangnya. Hasil pekerjaan mereka akan dibayar
setiap setiap dua minggu.
Sehingga dari sisi kompleksitas, pekerjaan mereka
tidaklah kompleks. Hanya saja waktu pekerjaan dan medan
yang bergunung-gununglah yang membuat pekerjaan ini
menjadi menantang.
4. Kesimpulan
Setelah membaca hasil pembahasan diatas, kita tentu akan
mendapatkan gambaran mengapa para pekerja penyadap mengalami
masalah motivasi pekerjaan. Bila kita menggunaka teori penentuan
sasaran, maka kita bisa melihat bagaimana kejelasan tentang sasaran yang
ingin dituju cenderung rendah, tidak ada target yang harus dipenuhi. Dari
segi tantangan, sebenarnya pekerjaan ini cukup menantang namun besaran
upah dan insentif yang diberikan oleh pihak perusahaan dianggap tidak
sepadan dengan beban pekerjaan.
Tidak adanya target pekerjaan, ditambah insentif yang rendah
membuat komitmen pekerja penyadap menjadi rendah. Hal ini jelas
terlihat dari daftar hadir pegawai dan juga tingkat turnover mereka. Disisi
lain, banyak penyadap yang hanya melihat pekerjaan mereka sebagai
pekerjaan sambilan sebelum mereka bertani atau berladang.
Untuk umpan balik sendiri, kami melihat hanya diterapkan pada waktu
training pegawai baru saja. Umpan balik pada para pekerja yang memiliki
kinerja rendah sedikit urung dilakukan mengingat tingkat turnover
perusahaan yang cukup tinggi.
Dari segi kompleksitas pekerjaan, apa yang dilakukan oleh para
penyadap ini tidaklah terlalu kompleks dan justru cenderung menuju ke
arah rutinitas. Hal yang tidak biasa dari pekerjaan ini adalah jam kerjanya
dan juga medan kebun yang cenderung naik turun.
Setelah kita melihat bagaimana permasalahan motivasi pada pekerja
penyadap di PTPN IX Kebun Kawung maka langkah selanjutnya adalah
menyusun strategi sebagai solusi atas permasalahan ini. Berikut ini
beberapa solusi yang saya tawarkan :
1) Menetapkan target atau beban pekerjaan kepada tiap pegawai
penyadap dan reward yang bisa didapat bila target tersebut
terpenuhi.
2) Meningkatkan jumlah upah dan insentif pegawai yang dirasa
terlalu kecil.
3) Mengurangi jumlah pekerja harian lepas dan menambah jumlah
pekerja harian tetap untuk meningkatkan komitmen dan
menurunkan turnover pekerja.
4) Melibatkan para pekerja maupun serikat pekerja untuk bekerja
sama menetapkan sasaran-sasaran pekerjaan yang harus
dipenuhi selama jangka waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

1) Asmus, S., Karl, F., Mohnen, A., & Reinhart, G. (2015). The Impact of Goal-
setting on Worker Performance - Empirical Evidence from a Real-effort
Production Experiment. Procedia CIRP, 26, 127-132.
2) Derrick M. Anderson, Justin M. Stritch, Goal Clarity, Task Significance, and
Performance: Evidence From a Laboratory Experiment, Journal of Public
Administration Research and Theory, Volume 26, Issue 2, April 2016, Pages
211–225, https://doi.org/10.1093/jopart/muv019
3) Goerg, S. J. (2015). Goal setting and worker motivation. IZA World of Labor.
4) Heimerdinger, S. R., & Hinsz, V. B. (2008). Failure avoidance motivation in a
goal-setting situation. Human Performance, 21(4), 383-395.
5) Hellriegel, Don, Slocum, John W.. (2011). Organizational Behavior 13th
edition (13th edition). Australia: South-Western, Cengage Learning.
6) Locke, E. A., & Latham, G. P. (2013). Goal setting theory, 1990. In E. A.
Locke & G. P. Latham (Eds.), New developments in goal setting and task
performance (pp. 3–15). Routledge/Taylor & Francis Group.
7) Luthans, F. (2011). Organizational Behavior An Evidence-Based Approach
Twelfth Edition.
8) McShane S.L., and Von Glinow, Mary Ann. (2017). Organizational Behavior
9th Edition. Mcgraw Hills.
9) Pawar, B.S. (2019). Employee Performance and Well-being: Leadership,
Justice, Support, and Workplace Spirituality (1st ed.). Routledge India.
https://doi.org/10.4324/9780429244193
10) Robbins, S.P., and Judge T.A. (2013). Organizational Behavior 15th edition.
Pearson.
11) Sawyer, J. E. (1992). Goal and process clarity: Specification of multiple
constructs of role ambiguity and a structural equation model of their
antecedents and consequences. Journal of Applied Psychology, 77(2), 130–
142. https://doi.org/10.1037/0021-9010.77.2.130
12) Shield. J (2007). Managing Employee Performance and Reward : Concepts,
Practices, Strategy. Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai