LP Rheumatoid Artritis Khoirur Roziqin - Compress Salin
LP Rheumatoid Artritis Khoirur Roziqin - Compress Salin
University
Universitas Muhammadiyah Lampung
Course
Social psychology
Was this document helpful?
Academic year
2021/2022 0 0
Comments
KELAS B1 LAMPUNG TIMUR
Please sign in or register to post comments.
LAPORAN PENDAHULUAN
Reumatik athritis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik terutama mengenai jaringan persendian,
2. Etiologi
Penyebab Artritis Rhemathoid masih belum diketahui. Faktor genetik
dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam
timbulnya penyakit ini (Nugroho, 2012). Kecendrungan wanita untuk
menderita Artritis Rhemathoid dan sering dijumpainya remisi pada wanita
yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan
hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini.
Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak
pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga
kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan
penyebab penyakit ini (Nugroho, 2012).
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab Artitis
Rhemathoid. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab Artritis Rhemathoid
juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak
dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu
mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan
kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau
endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya Artritis
Rhemathoid. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab Artritis
Rhemathoid antara lain adalah bakteri, mikroplasma atau virus (Nugroho,
2012).
3. Patofisiologi
Sendi merupakan bagian tubuh yang paling sering terkena inflamasi
dan degenerasi yang terlihat pada penyakit rematik. Inflamasi akan terlihat
pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit rematik inflamatori,
inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang terjadi merupakan
proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi
jaringan synovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun (Nugroho,
2012). Pada penyakit rematik degeneratif dapat terjadi proses inflamasi
yang sekunder. Sinovitis ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan
suatu proses reaktif. Sinovitis dapat berhubungan dengan pelepasan
proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler mengalami
degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat (Nugroho,
2012).
Artritis Rhemathoid merupakan manifestasi dari respon sistem imun
terhadap antigen asing pada individu-individu dengan predisposisi genetik
(Nugroho, 2012).
Suatu antigen penyebab Artritis Rhemathoid yang berada pada
membran sinovial akan memicu proses inflamasi. Proses inflamasi
mengaktifkan terbentuknya makrofag. Makrofag akan meningkatkan
aktivitas fagositosisnya terhadap antigen dan merangsang proliferasi dan
aktivasi sel B untuk memproduksi antibody. Setelah berikatan dengan
antigen, antibody yang dihasilkan akan membentuk komplek imun yang
akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan komplek
imun ini akan mengaktivasi sistem komplemen C5a (Nugroho, 2012).
Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan
permiabilitas vaskuler, juga dapat menarik lebih banyak polimorfonukler
(PMN) dan monosit kearah lokasi tersebut (Nugroho, 2012).
Fagositosi komplek imun oleh sel radang akan disertai pembentukan
dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrin, prostaglandin yang akan
menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi (Nugroho, 2012).
Pengendapan komplek imun akan menyebabkan terjadinya
degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin
dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat yang
akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran
sinovial dan akhirnya terbentuk pannus (Nugroho, 2012).
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
komplek imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen
yang paling destruktif dalam pathogenesis Artritis Rhemathoid. Pannus
merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblast yang
berproliferasi, mikrovaskuler dan berbagai jenis sel radang. Secara
histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya
sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen
dan proteoglikan (Nugroho, 2012).
4. Pathway
reumatik
Sinovili Tenosinoitis
Mk: Gangguan rasa nyaman Mk: Hambatan mobilisasi fisik Perubahan bentuk tubuh pada tulang dan sen
Mk: gangguan
aktivitas
Mk: gangguan
konsep diri, citra diri
7. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering di jumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit
(disease modifying antirheumathoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor
penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada Artritis Rhemathoid
(Nugroho, 2012).
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas,
sehingga sukar di bedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik.
Umumnya berhubungan dengan meilopati akibat ketidakstabilan iskemik
akibat vaskulitis (Nugroho, 2012).
8. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis Artritis Rhemathoid dapat di tegakkan, pendekatan
pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina
hubungan yang baik antar pasien dengan keluargannya dengan dokter atau
tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya
akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat
dalam suatu jangka waktu yang cukup lama (Nugroho, 2012). Selanjutnya
penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Artritis Rhemathoid antara
lain sebagai berikut:
a. Obat obatan
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas untuk
rematik, oleh karena patogenesisnya yang belum jelas, obat yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, nyeri, meningkatkan
mobilitas dan mengurangi ketidak mampuan.
b. Perlindungan sendi
Rematik mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme tubuh yang
kurang baik. Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang
sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat listrik yang dapat memperingan
kerja sendi juga perlu diperhatikan. Beban pada lutut berlebihan karena
kakai yang tertekuk (pronatio).
c. Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien Rematik yang gemuk harus
menjadi program utama pengobatan Rematik. Penurunan berat badan
seringkali dapat mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.
d. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien Rematik oleh karena sifatnya
yang menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu
pihak pasien ingin menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain
dia ingin orang lain turut memikirkan penyakitnya.
e. Fisioterai dengan pemakaian panas dingin, serta program latihan yang
tepat.
f. Kompres dengan es saat kaki bengkak dan kompres air hangat saat
nyeri.
g. Kompres air hangat rebusan jahe merah menurut penelitian Ferawati
(2017) menyatakan bahwa kompres jahe merah bisa menurunkan skala
nyeri pada reumatik.
h. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan
pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien Artritis Rhemathoid
umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektomi, artrodesis, total hip
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya. (Nugroho,
2012).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Klien mengeluhkan rasa nyeri pada tiap-tiap sendi seperti tangan
dan kaki.
2) Riwayat penyakit sekarang
Adanya keluhan sakit dan kekakuan pada tangan atau kaki,
perasaan tidak nyaman dalam beberapa waktu sebelum mengetahui
dan merasakan adanya perubahan pada sendi.
3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya memiliki kecelakaan atau terbenturnya salah satu organ
tubuh waktu dulu, adanya mengalami penyakit yang sama waktu
dahulu.
4) Riwayat penyakit keluarga
Ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus dan penyakit yang lain-lain.
c. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan wajah:
Inspeksi: Kepala simetris kiri dan kanan, tidak ada pembesaran
pada kepala. Ukuran kepala normal sesuai dengan umur. Wajah
biasanya tidak simetris kiri dan kanan, wajah terlihat pucat.
Palpasi: tidak terjadi nyeri pada kepala
2) Mata: mata tampak simetris kiri dan kanan, terdapat adanya
kekeruhan pada kornea, lapang pandang terdapat penurunan lapang
pandang.
Inspeksi: Pupil sama, bulat, reaktif terhadap cahaya dan akomodasi,
Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik.
Palpasi: tidak ada pembengkakan pada mata
3) Telinga: telinga tampak simetris kiri dan kanan, tidak ada tampak
pembengkakan.
Inspeksi: Simetris telinga kiri dan kanan, terlihat bersih tanpa
serumen.
Palpasi: Tidak ada nyeri pada daun telinga, pembengkakan pada
daun telinga tidak ada.
4) Hidung: Hidung tampak simetris, tidak terdapat
perdarahan,tidak terdapat polip. Adanya penurunan kemampuan
membau.
Inspeksi: Simetris hidung kiri dan kanan, tidak terlihat
perdarahan pada hidung.
Palpasi: Tidak adanya nyeri saat diraba pada hidung,
pembengkakan tidak ada.
5) Mulut: Mulut tampak kotor terdapat mulut berbau.
Inspeksi: Membran mukosa berwarna merah jambu, lembab, dan
utuh. Uvula digaris tengah, Tidak ada lesi.
Palpasi: Tidak ada nyeri pada mulut, tidak adanya
pembengkakan pada mulut
6) Leher
Inspeksi: Posisi trakea apakah mengalami kemiringan atau tidak,
vena jugularis tidak terlihat,
Palpasi: Tidak teraba nodul pada leher, tidak terjadi pembengkakan,
apakah terjadi pembesaran kelenjar tiroid, kelenjar limfe ada
pembesaran atau tidak
7) Paru-paru
Inspeksi: Simetris kiri dan kanan, tidak adanya lesi, ada atau
tidaknya retrasi dada, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
Auskultasi: Vesikuler
Perkusi: Sonor
Palpasi: Ada pergerakan dinding dada, taktil fremitus teraba jelas
8) Jantung
Inspeksi: Iktus kordis terlihat atau tidak, lesi diarea jantung atau
tidak, pembengkakan pada jantung atau tidak
Palpasi: Pada area ICS II, ICS V kiri, dan Area midclavicula untuk
menentukan batas jantung, tidak terjadi pembesaran pada jantung
Perkusi: Redup
Auskultasi: Normalnya bunyi jantung 1 lebih tinggi dari pada bunyi
jantung II, tidak adanya bunyi tambahan seperti mur-mur.
S2 (dub) terdengar pada ICS II ketika katup aorta dan pulmonal
menutup pada saat awal sistolik, terdengar suatu split yang
mengakibatkan dua suara katup, ini diakibatkan penutupan aorta
dan pulmonal berbeda pada waktu respirasi.
S1(lub) terdengar pada ICS V ketika katup mitral dan katup
trikuspidalis tetutup pada saat awal sistolik. Terdengar bagus pada
apex jantung dan didengar dengan diafragma stetostokop dimana
terdengar secara bersamaan.
9) Abdomen
Inspeksi: tidak adanya pembengkakan pada abdomen/ asites
Palpasi: tidak adanya distensi pada abdomen
Perkusi: Tympani
Auskultasi: bising usus normal
10) Ekstremitas: Biasanya didapatkan bahwa pada ektremitas yang
tidak normal, jalan kemungkinan tidak nrmal, atau tangan susak
digerakkan terasa kaku
11) Neuro Sensori: Klien merasakan kebas, semutan pada kaki dan
tangan, hilangnya sensasi pada jari tangan, pembengkakan pada
sendi
d. Interaksi social
Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain, terjadi
perubahan peran
e. Riwayat Psikososial
Pasien dengan reumatik mungkin merasakan adanyan kecemasan yang
cukup tinggi apalagi pasien yang mengalami deformitas pada sendi-
sendi karena merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan
merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut Berhubungan Dengan Kondisi Muskuloskeletal Kronis.
b. Defisit Pengetahuan Berhubungan Dengan Kurang Terpapar
Informasi.
c. Gangguan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Gangguan
Muskuloskeletal.
d. Gangguan Citra Tubuh Berhubungan Dengan Proses Penyakit.
e. Defisit Perawatan Diri Berhubungan Dengan Gangguan
Muskuloskeletal.
3. Rencana Tindakan Keperawan (SIKI)
Standar Diagnosa
No Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Intrevensi Keperawatan
Indonesia Hasil
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
Edukasi
1. Jelaskan penyebab dan
pemicu nyeri
2. Jelasakan strategi pereda
nyeri
3. Anjurkan monitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
amalgetik (jika perlu)
Edukasi
1. Berikan informasi berupa
alur, leafket atau gambar
untuk memudahkan pasien
mendapatkan informasi
Kesehatan.
2. Anjurkan keluarga
mendampingi pasien
Teraupetik
1. Diskusiakn perubahn tubh
dan fungsinya
2. Diskusikan perbedaan
penampilan fisik terhadap
harga diri
3. Diskusikan perubahn akibat
pubertas kehamilan dan
penuaan
4. Diskusikan kondisi stress
yang memperngaruhi cintra
tubuh (luka, penyakit,
pembedahan)
5. Diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubh secara relitis
6. Diskusiakn persepsi pasien
dan keluarga tentang
perubahn citra tubuh.
Edukasi
1. Jelaskan kepada keluarga
tentangn perawatan
perubahan citra tubuh
2. Anjurkan mengungkapkan
gambaran diri terhadap
citra tubuh
3. Anjurkan mengikuti
kelompok pendukung (misal
kelompok sebaya)
4. Latih fungsi tubuh yang
dimiliki
5 Defisit Perawatan Setalh dilakukan Observasi
Diri b/d Gangguan tindkan keperawatan 1. Identifikasi pengetahuan
Muskuloskeletal selama 1x24 jam di tentang perawatan diri
harapkan kebersihan 2. Identifikasi masalah dan
diri meningkat dengan hambatan perawatan diri
Kriteria Hasil: yang dialami
Kenyaman 3. Identifikasi metode
meningkat pembelajaran yang sesuai
Kebersihan (diskusi, tanya jawab,
diri meningkat penggunan alat bantu, audio
atau visual, lisan, tulisan)
Teraupetik
1. Rencanakan strategi edukasi,
termsuk tujuan yang realitis
2. Jadwalkan waktu dan
intensitas pembelajaran
sesuai penyakit
3. Berikan penguatan positif
terhadap kemampuan yang di
dapat
Edukasi
1. Ajarkan perawatan diri
praktek keperawan diri, dan
aktivitas kehidupan sehari-
hari
2. Anjurkan mendemostrasikan
praktek perawatan diri
sesuai kemampuan
3. Anjurkan mengulang kembali
informasi edukasi tentang
perawatan mandiri
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume
2. Jakarta EGC. Carpenito, L. J. (2009).
Chabib, Lutfi., Dkk., (2016). “Review Rheumatoid Arthritis: Terapi Farmakologi,
Potensi Kurkumin Dan Analognya, Serta Pengembangan Sistem Nanopartikel”.
Jurnal Pharmascience, 3(1), Hal 12.
Dinda, Ayu, Lestari. (2016). insidence and prevalence of reumatoid artrtis in a health
manajement organization in argentina. journal of rhematology, 1306–1311.
https;//doi.org/10.3899/jrheum.151262
Nugroho Taufan.(2012). Luka Bakar dan Artritis Rhemathoid. Yogyakarta: Numed
Pradana, S.Y., 2012, Sensitifitas dan Spesifitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 Pada Penderita Arthtritis Rheumatoid di RSUP DR Kariadi Semarang,
Jurnal Media Medika Muda
Prof. Chairuddin Rasjad, M. P. (2012). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.
Yarsif Watampone.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner
& Suddarth, edisi 8. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik.Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia: Jakarta Selatan.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan.Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia: Jakarta Selatan.