net/publication/336604303
CITATIONS READS
0 11,741
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Faturochman Faturochman on 17 October 2019.
Faturochman
Tabah Aris Nurjaman
A. Pengantar
Sebelum psikologi diisbatkan sebagai disiplin ilmu, relasi sosial sudah menjadi
materi diskusi para akademisi dan bahan kontemplasi para praktisi, baik secara
implisit maupun eksplisit. Kitab agama yang mengatur hubungan antara sesama
manusia, puisi yang mengisahkan ikatan cinta dua insan, ataupun roman yang
ahli yang menapaki jejak historis untuk mengungkap awal mula munculnya diskusi
relasi sosial, namun yang jelas kontemporer relasi sosial telah dan masih
Pada khazanah psikologi, relasi sosial merupakan salah satu kajian pokok.
Mental manusia yang dimanifestasikan dalam aspek kognisi, emosi, dan perilaku
ditampilkannya kepada individu lain, akan menarik asumsi atas perilaku individu lain,
akan terbawa arus emosi individu lain, akan mengidentifikasi situasi individu lain, dan
lain sebagainya. Maka pada dimensi impersonal, mental manusia hanya dapat
dipresentasikan melalui eksistensi individu lain, baik sebagai pasangan relasi maupun
pasangan interaksi.
RELASI SOSIAL 1
Relasi sebagai kebutuhan dasar psikologis manusia ialah hakikat yang tidak
dapat dimanipulasi. Pandangan ini didasarkan atas fakta historis yang diyakini oleh
mayoritas umat manusia dengan agama Ibrahimiyyah, yakni kehadiran Hawa dalam
kehidupan Adam. Dari kacamata psikologis, Hawa tidak lain merupakan representasi
kebutuhan Adam akan sebuah relasi dengan derajat urgensi yang sama tingginya
dengan kebutuhan biologis. Konsekuensinya, manusia sebagai anak cucu Adam juga
faktor temporal. Apalagi kontemporer setelah terjadi ekspansi media relasi sosial yang
tidak lagi dibatasi ruang dan waktu, dunia seolah dibelah menjadi dua dimensi antara
nyata dan maya, sehingga batas-batas relasi sosial menjadi lebih permeabel.
Pertama, domain interpersonal mengkaji relasi diadik antara dua individu. Kedua,
domain dinamika kelompok membahas relasi antara individu di dalam suatu kelompok
tertentu. Ketiga, domain antarkelompok berfokus pada relasi antara dua atau lebih
kelompok, baik secara individual sebagai anggota ataupun secara kolektif. Pada
hakikatnya, interaksi manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari ketiga domain
ini. Namun dari sisi saliensinya mungkin akan bervariasi, bergantung pada situasi
temporal.
Pada buku ini, ketiga domain relasi sosial menjadi tema utama dari masing-
masing bab yang dimuat. Bab domain relasi interpersonal umumnya diulas
berdasarkan teori model relasional Fiske (1991) dan teori ekuitas Hatfield dan Rapson
interdependensi Thibaut dan Kelly (1959), teori kelekatan Bowlby (1988), dan
RELASI SOSIAL 2
beberapa teori dalam domain interpersonal, sementara sebagian lainnya merupakan
antarkelompok lebih banyak diuraikan dengan landasan teori kooperasi dan kompetisi
Deutsch (1949), teori kontak hipotesis Allport (1954), dan teori perdamaian Galtung
(1969).
1. Relasi Interpersonal
lain. Pada buku ini, relasi interpersonal dikategorikan menjadi tiga bentuk. Pertama,
Kedua, relasi kolegal menekankan kesetaraan yang kerap kali ditandai dengan
adanya pertukaran secara adil, seperti relasi antara karyawan. Ketiga, relasi hierarkis
menekankan otoritas dan kuasa individu terhadap individu lain, seperti relasi antara
khendak bebas untuk memilih pasangan teman, tanpa dibatasi usia, status, jabatan,
budaya, ataupun jenis kelamin. Demikian juga ketika menjalin pertemanan, individu
menjaga rahasia pasangan teman. Adapun aspek psikologis yang paling menonjol
RELASI SOSIAL 3
Beberapa akademisi memandang pertemanan sebagai manifestasi relasi
mengevaluasi ekualitas antara besaran yang diberikan dan besaran yang diperoleh
dari pasangan teman. Model pertemanan semacam ini mungkin saja terjadi, namun
perlu menimbang konteks kultural. Pada negara dengan orientasi kolektivis seperti
kebersamaan, dan dukungan. Pertemanan lebih dianggap sebagai bentuk lain dari
peleburan dua individu menjadi kesatuan, tanpa adanya kalkulasi untung-rugi. Pada
Secara umum, dinamika pertemanan yang variatif tidak hanya dilatarbelakangi oleh
perbedaan orientasi kultural, melainkan juga status dan diversitas fisik, seperti
pertemanan siswa SMA dan pertemanan individu difabel, sebagaimana yang dimuat
relasi yang dibangun bersifat horizontal, seperti relasi antara karyawan. Pada sebuah
perusahaan, karyawan menjalin relasi dengan karyawan lain tidak disandarkan pada
aturan komunal yang menekankan kesatuan, melainkan terjadi oleh karena adanya
tugas fungsional. Misalnya, karyawan A dan B ditugaskan dalam suatu proyek yang
sama. Situasi semacam ini membuka ruang interaksi antara kedua belah pihak.
Mengingat tujuan interaksinya ialah produktivitas dan pencapaian tujuan, dan bukan
kesejahteraan relasional, maka pola interaksi antara kedua belah pihak dapat
RELASI SOSIAL 4
diidentifkasi. Artinya, tugas fungsional karyawan A dan B dapat saling mendukung,
saling menghambat, atau tidak keduanya yang berarti tidak ada interaksi. Pola
interaksi semacam ini erat kaitannya dengan konsep interdependensi. Ketika interaksi
dan B pada situasi tertentu. Apakah A bergantung kepada B atau sebaliknya? Apakah
A dan B saling bergantung satu sama lain atau tidak sama sekali?
konteks perusahaan, karyawan A dan B misalnya bekerja pada satu devisi dengan
jabatan sama. Kedua belah pihak akan mengalkulasi antara besaran upaya untuk
mencapai tujuan bersama dengan besaran pemerolehan, yang dalam hal ini gaji.
Ketika kontribusi A lebih besar daripada B, namun gaji yang diperoleh keduanya
sama, maka A cenderung akan merasa dieksploitasi dan dirugikan. Potret ini
praktiknya, kedua belah pihak akan membagi tugas dengan kesepakatan bersama,
sebagaimana yang seringkali terjadi pada perusahaan atau organisasi. Hal ini tidak
kolegal, yang akan berdampak pada pencapaian tujuan bersama dan kesejahteraan
Berbeda dengan relasi komunal dan kolegal, relasi hierarkis merupakan bentuk
relasi interpersonal yang bersifat vertikal atas dasar otoritas dan kuasa, seperti
hubungan antara orangtua dengan anak. Secara teoretis, orangtua sebagai pihak
RELASI SOSIAL 5
dominan memegang kuasa atas sumber daya dan bertanggungjawab terhadap
anaknya sebagai pihak subordinat. Namun teori ini tidak selamanya berlaku
khususnya di Indonesia yang kental dengan nilai kultural, misalnya nilai hormat
terhadap orang yang lebih tua, sekalipun belum kenal sebelumnya. Artinya, individu
dengan sendirinya memposisikan diri sebagai pihak subordinat dan orang yang lebih
tua sebagai pihak dominan yang padahal tidak memiliki kuasa atas sumber daya dan
pada situasi lainnya, ketika anak sudah berkeluarga dan mempunyai penghasilan
subordinat dengan tetap menghormati orangtua, sekalipun kali ini ia menjadi pihak
nilai hormat pada masyarakat Jawa, seiring eskalasi penggunaan gadget dan
Sementara sekolah juga tidak memberi jaminan transmisi nilai hormat terhadap siswa,
oleh karena anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebayanya yang
juga menggunakan gadget. Potret ini menuntut perlunya revitalisasi transmisi nilai
hormat orangtua kepada anak, yang sekaligus juga meningkatkan frekuensi interaksi
antara kedua belah pihak. Dengan demikian, kajian terkait relasi orangtua dengan
anak perlu diketahui oleh masyarakat sehingga kami muat dalam buku ini.
RELASI SOSIAL 6
2. Dinamika Kelompok
baik skala besar maupun kecil. Sekurangnya terdapat dua kajian yang signifikan untuk
diketahui, yaitu relasi antaranggota suatu kelompok dan konsep rukun. Kajian relasi
antaranggota kelompok berfokus pada identifikasi model relasi, yang dalam buku ini
rasa memiliki dan komitmen terhadap kelompoknya. Namun demikian, relasi komunal
model relasi lain. Misalnya, pertukaran sebagai model relasi sekunder antaranggota
komunitas hijabers. Hal tersebut cukup logis, mengingat mayoritas anggota komunitas
ini bekerja di bidang wirausaha. Maka model relasi sekunder akan berbeda pada
kelompok atau komunitas lain, walaupun model relasi utamanya ialah komunal.
Adapun konsep rukun berimplikasi lebih luas. Konsep rukun tidak hanya
kelompok. Meskipun secara generik demikian, namun pada tataran praktiknya rukun
RELASI SOSIAL 7
skala besar akan berbeda dengan konsep rukun pada masyarakat yang tidak pernah
mengalami hal serupa. Oleh karena itu, kedua konsep rukun yang demikian sengaja
dimuat dalam buku ini, sehingga kita dapat mengidentifikasi letak perbedaan dan
3. Relasi Antarkelompok
daripada identitas personal. Pada buku ini, relasi antarkelompok berfokus pada kajian
konflik dan perdamaian. Di Indonesia, nampaknya berita berbau konflik kerap kali
muncul, baik karena faktor perbedaan identitas etnis, religius, kepentingan politik,
ataupun lain sebagainya. Namun sayangnya, kabar seputar konflik jauh lebih
karena perbedaan identitas etnis dan religius, yang kemudian kerap kali ikut meyeret
faktor lainnya. Jika kita menapaki jejak historis, bahwa dahulu nusantara terdiri dari
yang kemudian diperkuat dengan arus sejarah lainnya, maka tidak heran jika hingga
RELASI SOSIAL 8
saat ini etnisitas dan religiusitas jauh lebih menonjol daripada identitas nasional yang
masih sulit diidentifikasi. Konsekuensinya, konflik kerap kali terjadi dalam skala besar
Tidak hanya konflik berskala besar, konflik berskala kecil pun kerap terjadi di
Indonesia. Misalnya, tawuran antarpelajar sekolah. Jelas konflik semacam ini tidak
dilatarbelakangi identitas etnis ataupun religius, melainkan hal yang lebih dangkal.
Namun demikian, konflik tetaplah konflik, yang selalu berujung pada kerugian baik
bersifat fisik maupun psikologis. Adanya perbedaan konflik skala besar dan kecil
yang berbeda pula. Bedanya, resolusi konflik skala besar memerlukan upaya masif
dari berbagai pihak dengan proses yang panjang dan bertahap, sementara konflik
skala kecil memerlukan upaya perdamaian yang cukup praktis. Dengan demikian,
maka kedua tema tersebut penting dimuat dalam buku ini, yang diulas dalam kajian
dinamika kontak pasca konflik Ambon dan strategi pemutusan rantai tawuran.
legislatif yang sarat konflik atas perbedaan kepentingan kelompok partai ataupun
personal.
Buku ini tidak lain merupakan indigenisasi menuju psikologi indigenos. Tidak
seperti ilmu alam yang dapat diimplementasikan secara global, indigenisasi psikologi
dan cabang ilmu sosial lainnya cukup mendesak oleh karena perbedaan kultural
menuntut konsep yang berbeda juga. Setiap bab yang dimuat dalam buku ini disusun
RELASI SOSIAL 9
berdasarkan penelitian yang telah diujikan di hadapan sejumlah ilmuan psikologi.
metode penelitian, sebagian bab lainnya dideskripsikan dalam bentuk diskusi namun
tetap menjaga orisinalitas dan objektivitas penelitian. Di samping keduanya, ada juga
beberapa bab yang khusus menguraikan teori, dengan maksud agar pembaca terlebih
setiap bab diuraikan secara sederhana sehingga lebih mudah dicerna dan
memungkinkan diimplementasikan.
Tema-tema yang diangkat dalam buku ini tidak jauh dari kehidupan sehari-hari
yang sarat nilai kultural, namun tetap memperhatikan urgensinya di era kontemporer.
Pada domain relasi interpersonal, kajian berfokus pada tema pertemanan, relasi di
dunia kerja, dan aspek-aspek psikologis di dalamnya. Kajian yang lebih jelas sisi
konsep rukun dan hormat, dengan penambahan kajian pada konteks perkawinan dan
keluarga. Adapun pada domain relasi antarkelompok, kajian berfokus pada tema
Referensi
Allport, G. (1954). The nature of prejudice. Cambridge: Addison-Wesley.
Bowlby, J., (1988). A secure base : Parent-child attachment and healthy human
development. New York : Basic.
Deutsch, M. (1949). A theory of cooperation and competition. Human Relations, 2,
129–151.
Faturochman. (2014). Eksplorasi pola dan komponen relasi interpersonal pada
RELASI SOSIAL 10
masyarakat yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Fiske, A. P. (1991). Structure of social life: The four elementary forms of human
relations. New York: Free Press.
Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research,
6(3), 167-191.
Hatfield, E. & Rapson, R.L. (2012). Equity Theory in Close Relationships. In Van
Lange, P.A.M., Kruglanski, A.W. & Higgins, E.T. (Eds). Handbook of Theories of
Social Psychology. Volume 2. Pp. 200-217. London: Sage.
Thibaut, J. W., & Kelley, H. H. (1959). The social psychology of group. New York:
Wiley
RELASI SOSIAL 11