Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336604303

Pendahuluan - Relasi Sosial

Chapter · January 2018

CITATIONS READS
0 11,741

2 authors:

Faturochman Faturochman Tabah Aris Nurjaman


Universitas Gadjah Mada Universitas Teknologi Yogyakarta
118 PUBLICATIONS   234 CITATIONS    9 PUBLICATIONS   11 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Interpersonal relations View project

Psychology in pandemic View project

All content following this page was uploaded by Faturochman Faturochman on 17 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENDAHULUAN: RELASI SOSIAL

Faturochman
Tabah Aris Nurjaman

A. Pengantar

Sebelum psikologi diisbatkan sebagai disiplin ilmu, relasi sosial sudah menjadi

materi diskusi para akademisi dan bahan kontemplasi para praktisi, baik secara

implisit maupun eksplisit. Kitab agama yang mengatur hubungan antara sesama

manusia, puisi yang mengisahkan ikatan cinta dua insan, ataupun roman yang

melukiskan situasi masyarakat; semuanya bernuansa relasional. Meskipun tidak ada

ahli yang menapaki jejak historis untuk mengungkap awal mula munculnya diskusi

relasi sosial, namun yang jelas kontemporer relasi sosial telah dan masih

dikonseptualisasi, diteorisasi, dan dipelajari untuk terus dikembangkan oleh para

akademisi dari beragam disiplin ilmu, termasuk psikologi.

Pada khazanah psikologi, relasi sosial merupakan salah satu kajian pokok.

Mental manusia yang dimanifestasikan dalam aspek kognisi, emosi, dan perilaku

sejatinya selalu muncul ketika individu berinteraksi dengan pasangan

relasinya. Individu akan memprediksi konsekuensi dari perilaku yang akan

ditampilkannya kepada individu lain, akan menarik asumsi atas perilaku individu lain,

akan terbawa arus emosi individu lain, akan mengidentifikasi situasi individu lain, dan

lain sebagainya. Maka pada dimensi impersonal, mental manusia hanya dapat

dipresentasikan melalui eksistensi individu lain, baik sebagai pasangan relasi maupun

pasangan interaksi.

RELASI SOSIAL 1
Relasi sebagai kebutuhan dasar psikologis manusia ialah hakikat yang tidak

dapat dimanipulasi. Pandangan ini didasarkan atas fakta historis yang diyakini oleh

mayoritas umat manusia dengan agama Ibrahimiyyah, yakni kehadiran Hawa dalam

kehidupan Adam. Dari kacamata psikologis, Hawa tidak lain merupakan representasi

kebutuhan Adam akan sebuah relasi dengan derajat urgensi yang sama tingginya

dengan kebutuhan biologis. Konsekuensinya, manusia sebagai anak cucu Adam juga

membutuhkan relasi sosial dalam perjalanan hidupnya masing-masing, tanpa terikat

faktor temporal. Apalagi kontemporer setelah terjadi ekspansi media relasi sosial yang

tidak lagi dibatasi ruang dan waktu, dunia seolah dibelah menjadi dua dimensi antara

nyata dan maya, sehingga batas-batas relasi sosial menjadi lebih permeabel.

Secara umum, psikologi memetakan relasi sosial ke dalam tiga domain.

Pertama, domain interpersonal mengkaji relasi diadik antara dua individu. Kedua,

domain dinamika kelompok membahas relasi antara individu di dalam suatu kelompok

tertentu. Ketiga, domain antarkelompok berfokus pada relasi antara dua atau lebih

kelompok, baik secara individual sebagai anggota ataupun secara kolektif. Pada

hakikatnya, interaksi manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari ketiga domain

ini. Namun dari sisi saliensinya mungkin akan bervariasi, bergantung pada situasi

temporal.

Pada buku ini, ketiga domain relasi sosial menjadi tema utama dari masing-

masing bab yang dimuat. Bab domain relasi interpersonal umumnya diulas

berdasarkan teori model relasional Fiske (1991) dan teori ekuitas Hatfield dan Rapson

(2012). Sebagian bab domain dinamika kelompok memakai perspektif teori

interdependensi Thibaut dan Kelly (1959), teori kelekatan Bowlby (1988), dan

RELASI SOSIAL 2
beberapa teori dalam domain interpersonal, sementara sebagian lainnya merupakan

konseptualisasi rukun dan hormat yang indigenos. Adapun bab domain

antarkelompok lebih banyak diuraikan dengan landasan teori kooperasi dan kompetisi

Deutsch (1949), teori kontak hipotesis Allport (1954), dan teori perdamaian Galtung

(1969).

1. Relasi Interpersonal

Relasi interpersonal merupakan hubungan antara satu individu dengan individu

lain. Pada buku ini, relasi interpersonal dikategorikan menjadi tiga bentuk. Pertama,

relasi komunal menekankan kesatuan tanpa terdiferensiasi, seperti pertemanan.

Kedua, relasi kolegal menekankan kesetaraan yang kerap kali ditandai dengan

adanya pertukaran secara adil, seperti relasi antara karyawan. Ketiga, relasi hierarkis

menekankan otoritas dan kuasa individu terhadap individu lain, seperti relasi antara

orangtua dengan anak.

Relasi komunal dimanifestasikan melalui berbagai jenis relasi interpersonal,

namun yang paling menonjol ialah pertemanan. Berdasarkan perspektif psikologis,

pertemanan dibangun atas dasar ketulusan. Sepenuhnya individu mempunyai

khendak bebas untuk memilih pasangan teman, tanpa dibatasi usia, status, jabatan,

budaya, ataupun jenis kelamin. Demikian juga ketika menjalin pertemanan, individu

mempunyai kebebasan untuk menolong, mempercayai, menghormati, ataupun

menjaga rahasia pasangan teman. Adapun aspek psikologis yang paling menonjol

pada konteks pertemanan indigenos diidentifikasi oleh Faturochman (2014), yang di

antaranya kecocokan, kebersamaan, dan dukungan.

RELASI SOSIAL 3
Beberapa akademisi memandang pertemanan sebagai manifestasi relasi

pertukaran, yang ditandai dengan adanya kalkulasi untung-rugi. Artinya, individu

mengevaluasi ekualitas antara besaran yang diberikan dan besaran yang diperoleh

dari pasangan teman. Model pertemanan semacam ini mungkin saja terjadi, namun

perlu menimbang konteks kultural. Pada negara dengan orientasi kolektivis seperti

Indonesia, model pertemanan semacam ini relatif tidak terjadi. Argumentasinya

terletak pada entitas pertemanan yang lebih menekankan aspek kecocokan,

kebersamaan, dan dukungan. Pertemanan lebih dianggap sebagai bentuk lain dari

peleburan dua individu menjadi kesatuan, tanpa adanya kalkulasi untung-rugi. Pada

konteks ini, individu justru cenderung lebih mempedulikan kesejahteraan pasangan

teman; sekaligus merefleksikan relasi komunal-mutual dan bukan relasi pertukaran.

Secara umum, dinamika pertemanan yang variatif tidak hanya dilatarbelakangi oleh

perbedaan orientasi kultural, melainkan juga status dan diversitas fisik, seperti

pertemanan siswa SMA dan pertemanan individu difabel, sebagaimana yang dimuat

dalam buku ini.

Bentuk relasi interpersonal lainnya ialah kolegal. Dikatakan kolegal lantaran

relasi yang dibangun bersifat horizontal, seperti relasi antara karyawan. Pada sebuah

perusahaan, karyawan menjalin relasi dengan karyawan lain tidak disandarkan pada

aturan komunal yang menekankan kesatuan, melainkan terjadi oleh karena adanya

tugas fungsional. Misalnya, karyawan A dan B ditugaskan dalam suatu proyek yang

sama. Situasi semacam ini membuka ruang interaksi antara kedua belah pihak.

Mengingat tujuan interaksinya ialah produktivitas dan pencapaian tujuan, dan bukan

kesejahteraan relasional, maka pola interaksi antara kedua belah pihak dapat

RELASI SOSIAL 4
diidentifkasi. Artinya, tugas fungsional karyawan A dan B dapat saling mendukung,

saling menghambat, atau tidak keduanya yang berarti tidak ada interaksi. Pola

interaksi semacam ini erat kaitannya dengan konsep interdependensi. Ketika interaksi

antarkaryawan terjadi, maka dapat dilihat derajat ketergantungan antara karyawan A

dan B pada situasi tertentu. Apakah A bergantung kepada B atau sebaliknya? Apakah

A dan B saling bergantung satu sama lain atau tidak sama sekali?

Relasi kolegal direfleksikan dengan adanya aturan ekualitas. Masih pada

konteks perusahaan, karyawan A dan B misalnya bekerja pada satu devisi dengan

jabatan sama. Kedua belah pihak akan mengalkulasi antara besaran upaya untuk

mencapai tujuan bersama dengan besaran pemerolehan, yang dalam hal ini gaji.

Ketika kontribusi A lebih besar daripada B, namun gaji yang diperoleh keduanya

sama, maka A cenderung akan merasa dieksploitasi dan dirugikan. Potret ini

mengindikasikan perlunya keadilan distributif pada relasi kolegal. Maka pada

praktiknya, kedua belah pihak akan membagi tugas dengan kesepakatan bersama,

sebagaimana yang seringkali terjadi pada perusahaan atau organisasi. Hal ini tidak

lain merupakan upaya preventif dalam mencegah terjadinya ketidakseimbangan relasi

kolegal, yang akan berdampak pada pencapaian tujuan bersama dan kesejahteraan

psikologis individual. Relasi kolegal antarkaryawan yang berdampak pada

kesejahteraan psikologis individual menjadi salah satu argumentasi kami untuk

memuatnya dalam buku ini.

Berbeda dengan relasi komunal dan kolegal, relasi hierarkis merupakan bentuk

relasi interpersonal yang bersifat vertikal atas dasar otoritas dan kuasa, seperti

hubungan antara orangtua dengan anak. Secara teoretis, orangtua sebagai pihak

RELASI SOSIAL 5
dominan memegang kuasa atas sumber daya dan bertanggungjawab terhadap

anaknya sebagai pihak subordinat. Namun teori ini tidak selamanya berlaku

khususnya di Indonesia yang kental dengan nilai kultural, misalnya nilai hormat

masyarakat Jawa. Potret sederhananya dapat diamati dari penghormatan individu

terhadap orang yang lebih tua, sekalipun belum kenal sebelumnya. Artinya, individu

dengan sendirinya memposisikan diri sebagai pihak subordinat dan orang yang lebih

tua sebagai pihak dominan yang padahal tidak memiliki kuasa atas sumber daya dan

tidak bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan pihak subordinat. Begitu juga

pada situasi lainnya, ketika anak sudah berkeluarga dan mempunyai penghasilan

ekonomi lebih besar daripada orangtuanya, ia masih memposisikan sebagai pihak

subordinat dengan tetap menghormati orangtua, sekalipun kali ini ia menjadi pihak

yang bertanggungjawab atas perekonomian orangtuanya.

Penelitian indigenos kontemporer mengonfirmasi kecenderungan melemahnya

nilai hormat pada masyarakat Jawa, seiring eskalasi penggunaan gadget dan

perkembangan internet. Hal ini mungkin saja terjadi, mengingat

penggunaan gadget tentunya mengurangi frekuensi interaksi anak dengan orangtua.

Sementara sekolah juga tidak memberi jaminan transmisi nilai hormat terhadap siswa,

oleh karena anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebayanya yang

juga menggunakan gadget. Potret ini menuntut perlunya revitalisasi transmisi nilai

hormat orangtua kepada anak, yang sekaligus juga meningkatkan frekuensi interaksi

antara kedua belah pihak. Dengan demikian, kajian terkait relasi orangtua dengan

anak perlu diketahui oleh masyarakat sehingga kami muat dalam buku ini.

RELASI SOSIAL 6
2. Dinamika Kelompok

Dinamika kelompok berfokus pada relasi antaranggota dalam sebuah kelompok,

baik skala besar maupun kecil. Sekurangnya terdapat dua kajian yang signifikan untuk

diketahui, yaitu relasi antaranggota suatu kelompok dan konsep rukun. Kajian relasi

antaranggota kelompok berfokus pada identifikasi model relasi, yang dalam buku ini

konteksnya ialah komunitas hijabers. Seperti halnya kajian pertemanan, relasi

antaranggota komunitas merefleksikan relasi komunal yang ditandai dengan adanya

kedekatan dan kenyamanan. Relasi yang kuat antaranggota akan menumbuhkan

rasa memiliki dan komitmen terhadap kelompoknya. Namun demikian, relasi komunal

bukan satu-satunya model yang muncul, melainkan juga memungkinkan adanya

model relasi lain. Misalnya, pertukaran sebagai model relasi sekunder antaranggota

komunitas hijabers. Hal tersebut cukup logis, mengingat mayoritas anggota komunitas

ini bekerja di bidang wirausaha. Maka model relasi sekunder akan berbeda pada

kelompok atau komunitas lain, walaupun model relasi utamanya ialah komunal.

Adapun konsep rukun berimplikasi lebih luas. Konsep rukun tidak hanya

berbicara seputar model relasi antaranggota kelompok, melainkan juga bagaimana

setiap anggota kelompok berkontribusi dan berupaya menciptakan suasana yang

harmonis. Menciptakan suasana harmonis tidak cukup hanya dengan menghindari

timbulnya konflik, melainkan juga upaya menjaga keseimbangan relasi antaranggota

kelompok. Meskipun secara generik demikian, namun pada tataran praktiknya rukun

dimanifestasikan dalam bentuk yang bervariasi. Perbedaan ini salah satunya

dilatarbelakangi dinamika kultural dengan segala historisnya. Dengan kata lain,

konsep rukun pada masyarakat yang antaranggotanya pernah mengalami konflik

RELASI SOSIAL 7
skala besar akan berbeda dengan konsep rukun pada masyarakat yang tidak pernah

mengalami hal serupa. Oleh karena itu, kedua konsep rukun yang demikian sengaja

dimuat dalam buku ini, sehingga kita dapat mengidentifikasi letak perbedaan dan

persamaannya. Demikian halnya dimuat juga tentang bagaimana nilai rukun

ditransmisikan oleh orangtua terhadap anaknya, sebagai upaya konservatif akan

kerukunan masyarakat di kemudian hari.

3. Relasi Antarkelompok

Khususnya bagi negara dengan orientasi kultur kolektivis seperti Indonesia,

literatur seputar relasi antarkelompok cukup signifikan untuk diketahui. Pasalnya,

masyarakat kolektivis kerap kali lebih menonjolkan identitas kenggotaan kelompok

daripada identitas personal. Pada buku ini, relasi antarkelompok berfokus pada kajian

konflik dan perdamaian. Di Indonesia, nampaknya berita berbau konflik kerap kali

muncul, baik karena faktor perbedaan identitas etnis, religius, kepentingan politik,

ataupun lain sebagainya. Namun sayangnya, kabar seputar konflik jauh lebih

mendominasi daripada kabar tentang proses perdamaian. Dengan demikian, maka

kajian tentang perdamaian juga perlu diangkat sebagai penyeimbang asupan

informasi seputar konflik.

Konflik antarkelompok di Indonesia salah satu yang paling menonjol disebabkan

karena perbedaan identitas etnis dan religius, yang kemudian kerap kali ikut meyeret

faktor lainnya. Jika kita menapaki jejak historis, bahwa dahulu nusantara terdiri dari

beragam bangsa dengan kerajaan-kerajaan kecil di daerahnya masing-masing dan

yang kemudian diperkuat dengan arus sejarah lainnya, maka tidak heran jika hingga

RELASI SOSIAL 8
saat ini etnisitas dan religiusitas jauh lebih menonjol daripada identitas nasional yang

masih sulit diidentifikasi. Konsekuensinya, konflik kerap kali terjadi dalam skala besar

dengan jumlah korban kematian yang signifikan.

Tidak hanya konflik berskala besar, konflik berskala kecil pun kerap terjadi di

Indonesia. Misalnya, tawuran antarpelajar sekolah. Jelas konflik semacam ini tidak

dilatarbelakangi identitas etnis ataupun religius, melainkan hal yang lebih dangkal.

Namun demikian, konflik tetaplah konflik, yang selalu berujung pada kerugian baik

bersifat fisik maupun psikologis. Adanya perbedaan konflik skala besar dan kecil

mengindikasikan perlunya resolusi konflik dan proses perdamaian dengan strategi

yang berbeda pula. Bedanya, resolusi konflik skala besar memerlukan upaya masif

dari berbagai pihak dengan proses yang panjang dan bertahap, sementara konflik

skala kecil memerlukan upaya perdamaian yang cukup praktis. Dengan demikian,

maka kedua tema tersebut penting dimuat dalam buku ini, yang diulas dalam kajian

dinamika kontak pasca konflik Ambon dan strategi pemutusan rantai tawuran.

Sebagai tambahan, dimuat juga kajian tentang relasi interpersonal antaranggota

legislatif yang sarat konflik atas perbedaan kepentingan kelompok partai ataupun

personal.

B. Seputar Buku Ini

Buku ini tidak lain merupakan indigenisasi menuju psikologi indigenos. Tidak

seperti ilmu alam yang dapat diimplementasikan secara global, indigenisasi psikologi

dan cabang ilmu sosial lainnya cukup mendesak oleh karena perbedaan kultural

menuntut konsep yang berbeda juga. Setiap bab yang dimuat dalam buku ini disusun

RELASI SOSIAL 9
berdasarkan penelitian yang telah diujikan di hadapan sejumlah ilmuan psikologi.

Sebagian bab diuraikan dengan mengikuti pola penelitian yang mengikutsertakan

metode penelitian, sebagian bab lainnya dideskripsikan dalam bentuk diskusi namun

tetap menjaga orisinalitas dan objektivitas penelitian. Di samping keduanya, ada juga

beberapa bab yang khusus menguraikan teori, dengan maksud agar pembaca terlebih

dahulu memahami konsep-konsep yang hendak digunakan. Secara keseluruhan,

setiap bab diuraikan secara sederhana sehingga lebih mudah dicerna dan

memungkinkan diimplementasikan.

Tema-tema yang diangkat dalam buku ini tidak jauh dari kehidupan sehari-hari

yang sarat nilai kultural, namun tetap memperhatikan urgensinya di era kontemporer.

Pada domain relasi interpersonal, kajian berfokus pada tema pertemanan, relasi di

dunia kerja, dan aspek-aspek psikologis di dalamnya. Kajian yang lebih jelas sisi

indigenosnya dimuat pada domain dinamika kelompok, yang di antaranya membahas

konsep rukun dan hormat, dengan penambahan kajian pada konteks perkawinan dan

keluarga. Adapun pada domain relasi antarkelompok, kajian berfokus pada tema

konflik dan perdamaian, dengan menambahkan paparan teoretis tentang persaingan-

kerjasama dan pertukaran sosial.

Referensi
Allport, G. (1954). The nature of prejudice. Cambridge: Addison-Wesley.
Bowlby, J., (1988). A secure base : Parent-child attachment and healthy human
development. New York : Basic.
Deutsch, M. (1949). A theory of cooperation and competition. Human Relations, 2,
129–151.
Faturochman. (2014). Eksplorasi pola dan komponen relasi interpersonal pada

RELASI SOSIAL 10
masyarakat yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Fiske, A. P. (1991). Structure of social life: The four elementary forms of human
relations. New York: Free Press.
Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research,
6(3), 167-191.
Hatfield, E. & Rapson, R.L. (2012). Equity Theory in Close Relationships. In Van
Lange, P.A.M., Kruglanski, A.W. & Higgins, E.T. (Eds). Handbook of Theories of
Social Psychology. Volume 2. Pp. 200-217. London: Sage.
Thibaut, J. W., & Kelley, H. H. (1959). The social psychology of group. New York:
Wiley

RELASI SOSIAL 11

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai