Anda di halaman 1dari 27

TUNANETRA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Dosen Pengampu : Dr. Sumiyati, M.Pd.I.

INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH

MAKALAH

Disusun oleh :

1. A’ida Sufrotus Sofi (20.13.00015)


2. Arum Dewi Puspita Sari (20.13.00127)
3. Putri Intan Aulia (20.13.00022)
4. Yaya Irwana (20.13.00021)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH
PATI
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tunanetra memiliki keterbatasan dalam kondisi fisiknya yaitu adanya
hambatan penglihatan dalam melakukan segala aktivitas sehari-hari. Penyandang
tunanetra berbekal pendengaran, perabaan dan penciuman dalam menjalankan
segala aktivitasnya. Pada dasarnya anak tunanetra sama dengan anak-anak yang lain
pada umumnya seperti kebutuhan jasmani dan rohani, akan tetapi yang
membedakan antara anak tunanetra dengan anak lainnya adalah kelainan atau
gangguan yang disandangnya.
Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam menerima rangsangan atau
informasi dari luar dirinya melalui indera penglihatannya, maka pengenalan atau
pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh.
Sehingga perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat
dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan
perkembangan kognitif tidak saja dengan kecerdasan atau kemampuan
intelegensinya, tetapi juga dengan kemampuan indera penglihatannya.1
Indera penglihatan ialah salah satu indera penting dalam menerima informasi
yang datang dari luar dirinya. Sekalipun cara kerjanya dibatasi oleh ruang, indera
ini mampu mendeteksi objek pada jarak jauh. Melalui indera penglihatan seseorang
mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya
(pada objek berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi
tiga), warna, dan dinamikanya. Melalui indera ini pula sebagian besar rangsangan
atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan otak, sehingga timbul
kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsangan tersebut. Melalui
kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus menerus seperti inilah yang pada

1
Sutjihati T Somantri, Psikologi Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm. 67.

1
akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang
sehingga mampu berkembang secara optimal.2
Penerimaan rangsangan hanya dapat dilakukan melalui pemanfaatan indera-
indera lain di luar indera penglihatannya. Namun karena dorongan dan kebutuhan
anak untuk tetap mengenal dunia sekitarnya, anak tunanetra biasanya
menggantikannya dengan indera pendengaran sebagai saluran utama penerima
informasi. Sedangkan indera pendengaran hanya mampu menerima informasi dari
luar yang berupa suara. Berdasarkan suara, seseorang hanya akan mampu
mendeteksi dan menggambarkan tentang arah, sumber, jarak suatu objek informasi,
tentang ukuran dan kualitas ruangan, tetapi tidak mampu memberikan gambaran
yang konkret mengenai bentuk, kedalaman, warna, dan dinamikanya.
Tunanetra juga akan mengenal bentuk, posisi, ukuran, dan perbedaan
permukaan melalui perabaan. Melalui bau yang diciumnya ia dapat mengenal
seseorang, lokasi objek, serta membedakan jenis benda. Walaupun sedikit perannya
melalui pengecapan, tunanetra juga dapat mengenal objek melalui rasanya
walaupun terbatas. Karena itu bagi anak tunanetra setiap bunyi yang didengarnya,
bau yang diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya, dan rasa yang dicecapnya
memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya. Implikasinya,
kebutuhan akan rangsangan sensoris bagi anak tunanetra harus benar-benar
diperhatikan agar ia dapat mengembangkan pengetahuannya tentang benda-benda
dan peristiwa-peristiwa yang ada dilingkungannya.3
Hambatan penglihatan yang dimiliki oleh anak tunanetra dalam melakukan
aktivitas sehari-hari dengan menggunakan indera pendengaran, perabaan,
penciuman serta pengecapan sebagai media untuk mengenal lingkungan dalam
memperoleh informasi. Sehingga, anak tunanetra sering mempunyai pengertian
yang tidak lengkap terhadap suatu objek, variasi pengalaman yang diperoleh anak
tunanetra menjadi tidak selengkap anak normal. Masing-masing tunanetra juga
mempunyai variasi pengalaman sendiri-sendiri. Tunanetra sering melakukan

2
Ibid., hlm. 67.
3
Ibid., hlm. 68.

2
verbalism yang dimana anak tunanetra memiliki kepercayaan terhadap suatu kata
atau kelompok kata yang tidak didukung dengan pengalaman penginderaan.
Sehingga hal ini menyebabkan anak tunanetra kurang tepat dalam melakukan
gerakan karena sesuai dengan apa yang mereka peroleh.
Tanpa penglihatan, perkembangan motorik dari anak tunanetra cenderung
lambat. Sebelum melakukan gerakan sesuai dengan lingkungannya, maka ia harus
mengetahui terlebih dahulu bagian tubuhnya, mengetahui arah, literalitas, posisi
dan ruang, serta keterampilan seperti duduk, berdiri ataupun berjalan. 4Untuk
mewujudkan gerakan secara optimal, maka anak tunanetra perlu perhatian khusus
dibandingkan dengan anak normal dengan mengajarkan serta membimbing anak
tunanetra secara berulang-ulang sehingga anak tunanetra dapat memahami apa yang
dikerjakannya.
Anak tunanetra mempunyai kewajiban yang sama seperti anak normal pada
umumnya dalam hal melaksanakan ibadah, khususnya ibadah shalat seperti bacaan
dan gerakan shalat, karena shalat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan
tanpa dapat diwakilkan oleh siapapun. Oleh karena itu, anak harus diberikan
tuntunan tentang shalat sedini mungkin. Sesuai dengan perkembangan
intelektualnya (berpikirnya) yang terungkap dalam kemampuan berbahasa, yaitu
sudah dapat membentuk kalimat, mengajukan pertanyaan dengan kata-kata, maka
pada usia tujuh tahun anak sudah dapat diajarkan syahadat, bacaan dan gerakan
salat, doa-doa dan Al-Qur’an. Mengajarkan salat pada usia ini dalam rangka
memenuhi tuntunan Rasulullah, yaitu bahwa orangtua harus menyuruh anaknya
salat pada usia tujuh tahun. Dengan demikian, mengajarkan bacaan dan gerakan
salat pada usia ini adalah dalam rangka mempersiapkan dia untuk dapat
melaksanakan salat pada usia tujuh tahun tersebut.5

4
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Depok:
LPSP3 UI, 2009), hlm. 62.
5
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung:Rosda, 2014), hlm.
177

3
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berharap dengan adanya makalah dengan
judul “Tunanetra” ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pembaca dan senantiasa
dapat dijadikan bahan mencari illmu untuk seluruh pembaca.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memiliki beberapa rumusan
masalah diantaranya:
1. Apa pengertian Tunanetra?
2. Apa saja Klasifikasi Tunanetra?
3. Bagaimana karakteristik Tunanetra?
4. Apa saja faktor penyebab Tunanetra?
5. Bagaimana cara mendiagnosis anak yang tunanetra?
6. Apa saja keterbatasan Tunanetra?
7. Bagimana langkah pemberian stimulus penglihatan kepada Tunanetra?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penulisan
makalah akan direlevansikan dengan rumusan masalah yang dipaparkan, sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Tunanetra.
2. Untuk mengetahui Klasifikasi pada Tunanetra
3. Untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik Tunanetra.
4. Untuk mendapatkan informasi mengenai faktor penyebab Tunanetra.
5. Untuk mendapatkan informasi mengenai cara mendiagnosis anak yang
tunanetra.
6. Untuk mendapatkan informasi mengenai keterbatasan Tunanetra.
7. Untuk mengetahui Langkah pemberian stimulus penglihatan kepada Tunanetra.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Turnanetra
Tunanetra berasal darai kata tuna dan Netra. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) tuna berarti luka, rusak, kurang atau tidak memiliki.
Sementara itu Netra berarti mata atau penglihatan. Jadi, tunanetra sendiri berarti
rusak penglihatan.6 Beberapa pengertian tunanetra menurut para ahli:

1. Menurut Persatuan Tunanetra Indonesia (pertuni)


Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki pengelihatan
sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa
pengelihatan tetapi tidak mampu menggunakan pengelihatannya untuk
membaca tulisan biasa berukuran 12 poin dalam keadaan cahaya normal
meskipun dibantu dengan kaca mata.
2. Menurut Somantari
Tunanetra yaitu individu yang memiliki hambatan dalam melihat
dikarenakan indera pengelihatannta tidak berfungsi seperti orang normal,
seseorang dikatakan tunanetra jika memiliki ketajaman pengelihatan kurang
dari 6/21 artinya membaca huruf pada jarak 6 m yang oleh orang normal
dapat dibaca pada jarak 21 m atau tidak bisa melihat sama sekali.
3. Menurut Hadi
Tunanetra merupakan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan
yang berarti adanya kerugian yang disebabkan oleh kerusakan atau
terganggunya organ mata.
4. Menurut Barraga
Tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan fungsi
pengelihatan untuk mengikuti belajar dan mencapai prestasi secara
maksimal.

6
Asep Supena et al, Pendidikan Inklusi Untuk ABK, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2022),
hlm. 1-3.

5
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan
sebagai anak yang rusak penglihatannya, yang walaupun dibantu dengan
perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang
bersangkutan7.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah kondisi seseorang
dimana mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang
melibatkan aktivitas pengelihatan, hal ini disebabkan karena adanya
kerusakan pada mata dan organ-organ lain yang mendukung terjadinya
proses pengelihatan.
Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam
kondisi seperti berikut ini:
1. Ketajaman penglihatnnya berkurang dari ketajaman orang yang dimiliki
orang awam.
2. Terjadi keluruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak.
4. Terjadi kerusakan susunan saraf otak yang berhubungan dengan
penglihatan.
Kondisi di atas pada umumnya digunakan sebgaai patokan apakah
seorang anak termasuk tunanetra atau tidak, yaitu dengan berdasarkan
pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui
ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai Snellen
Card.
B. Klasifikasi Visual Disability (Tunanetra)
Klasifikasi tunanetra yang akan dijelaskan di bawah ini cukup
beragam. Bukan untuk menyekat-nyekatnya, melainkan sebagai starting
point (titik dimulainya) asesmen agar mempermudah dalam menyediakan
pelayanan pendidikan (Pendidikan Inklusi). Klasifikasi yang dialami anak
tunanetra, antara lain sebagai berikut:

7
Jati Rinarki Atmaja, Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2018) hlm.22

6
❖ Menurut Lowenfeld, (1955:219) 8, klasifikasi tunanetra yang didasarkan pada
waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu:
1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali
tidak memiliki pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki
kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah
terlupakan.
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah
memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang
mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti
latihan-latihan penyesuaian diri.
Klasifikasi tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu:
1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang
memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat
mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan
pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang
kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca
pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca
tulisan yang bercetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak
dapat melihat.
❖ Menurut A kirk dan James J Gallagher membuat klasifikasi ketunanetraan,
sebagai berikut:

8
Jati Rinakri Atmaja, Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2018)hlm. 23

7
1. Totally blind (Tunanetra Total)
Menurut Utomo dan Muniroh, seseorang dikatakan tunanetra total jika
mengalami hambatan visual yang sangat berat atau tidak dapat melihat
sama sekali. Penyadang tunanetra total mempergunakan kemampuan
perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar.
2. Low Vision
Low vision merupakan bagian dari kebutaan. Tetapi istilah low vision
diberikan kepada orang yang memiliki lemah daya pengelihatan namun
masih dapat melihat meskipun terbatas. Menurut Utomo dan Muniroh
low vision rusaknya fungsi pengelihatan yang tidak dapat dikembalikan
kepada keadaan semula meskipun melalui penanganan medis, seperti
operasi, penggunaan obat-obatan, dan tidak dapat dikoreksi secara
refraktif dengan kacamata ataupun lensa kontak.
❖ Berikut adalah klasifikasi ketajaman pengelihatan menurut WHO
Tabel 1.1 klasifikasi ketajaman pengelihatan Menurut WHO
No Sisa Pengelihatan Kondisi
1. 6/6 hingga 6/18 Normal vision (pengelihatan normal)
2. < 6/18 hingga > 3/60 Kurang low vision (kurang dari 6/18
tetapi lebih baik atau awas sama dengan
3/60)
3. < 3/60 Blind (buta)
❖ Sedangkan menurut Pratiwi tunanetra diklasifikasikan menjadi tiga yang
didasarkan pada:
1. Didasarkan pada usia
a. Anak tunanetra pra sekolah, adalah anak tunanetra yang berusia kurang
dari lima tahun.
b. Anak tunanetra usia sekolah, adalah anak tunanetra yang berusia enam
sampai delapan belas tahun yang mengikuti Pendidikan formal.

8
c. Para tunanetra yang berusia lima belas tahun atau lebih dan sudah tidak
tatau belum pernah mengikuti Pendidikan formal.
2. Didasarkan pada saat terjadinya ketunanetraan
a. Mereka yang tunanetra pada saat prenatal atau sebelum berusia empat
tahun bagi mereka, ingatan mengenal pengalaman visual yang mungkin
ada akan hilang dalam waktu yang cepat.
b. Mereka yang menjadi tunanetra pada usia empat sampai enam tahun.
Mereka akan tetap memiliki ingatan visual yang cukup berarti.
c. Mereka yang menjadi tunanetra pada usia antara tujuh sampai dengan
usia dewasa awal. Mereka pada umumnya akan mengalami guncangan
batin yang diwarnai oleh tahap perkembangan jiwa masing-masing.
3. Didasarkan pada tingkat ketunanetraan
a. Tunanetra golongan buta
1) Mereka yang sama sekali tidak memiliki atau hamper tidak
memiliki persepsi visual.
2) Mereka yang hanya memiliki persepsi cahaya.
3) Mereka yang memiliki persepsi sumber cahaya. Mereka
menggunakan tanda-tanda braille sebagai media baca pengajaran.
b. Tunanetra golongan kurang Lihat
1) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda ukuran besar (benda-
benda berukuran satu dm atau lebih besar). Mereka masih
membutuhkan tanda-tanda braille sebagai media baca pengajaran.
2) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda sedang (benda-benda
berukuran satu dm dan 2 cm). di antara mereka ada yang
membutuhkan tanda-tanda Braille, dan ada yang menggunakan
huruf dan tanda visual yang diperbesar.
3) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda ukuran kecil (benda-
benda berukuran 2 cm atau lebih kecil). Mereka pada umumnya
dapat menggunakan huruf dan tanda visual sebagai media baca dan
pengajaran.

9
C. Karakteristik Tunanetra
Anak-anak tunanetra cenderung berkembang lebih lambat dibandingkan
anak-anak tanpa disabilitas. Ada variasi yang luas dalam perkembangan anak
tunanetra, dan dengan lingkungan fisik yang kaya dan dengan dorongan untuk
mengambil risiko yang wajar, orang tua dapat meningkatkan keterampilan
adaptif anak-anak mereka (Kirk, et al., 2009: 366).
Anak-anak tunanetra kehilangan masa belajar dalam hidupnya. Anak
tunanetra yang memiliki keterbatasan pengelihatan tidak mudah untuk
bergerak dalam interaksi dengan lingkungannya, kesulitan dalam menemukan
mainan dan teman-temannya, serta mengalami kesulitan untuk meniru orang
tuanya dalam kehidupan seharihari. Hal inilah yang dikhawtirkan akan
memberikan dampak terhadap perkembangan, belajar, ketrampilan sosial, dan
perilakunya.
1. Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan
dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfield menggambarkan
dampak kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif.
Adapun identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak
tunanetra ada dalam tiga area, antara lain: Tingkat dan keanekaragaman
pengalaman. Keterbatasan pengalaman anak tunanetra dikarenakan
pengaruh pengalih fungsian organ-organ yang masih normal lainnya.
Seorang anak tunanetra lebih mengandalkan indra peraba dan
pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar,
walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal
layaknya indra pengelihatan yang secara cepat dangan menyeluruh dalam
memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan hubungan ruang yang
dapat dengan mudah diperoleh dengan indra penglihatan. Sehingga hal ini

10
berpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman anak yang membutuhkan
strategidan kemampuan anak dalam memahami informasi tersebut.
Kemampuan untuk berpindah tempat Indera penglihatan yang
normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan leluasa dalam
suatu lingkungan, tapi keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi
kemampuan untuk bergerak (mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari.
Keterbatasan tersebut menghalangi mereka untuk memperoleh
pengalaman dan juga berpengaruh juga pada hubungan sosial lingkungan
sekitar mereka. Kemampuan untuk bergerak pada anak tunanetra
memerlukan pembelajaran yang mengakomodasi indera nonvisual dalam
bergerak secara mandiri, sehingga anak tunanetra harus belajar bagaimana
berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan
kemampuan orientasi dan mobilitas.
2. Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan
kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan
akademisnya, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai
contoh, ketika seorang yang normal melakukan kegiatan membaca dan
menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau
kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada
gangguan pada ketajaman pengelihatan. Kesulitan mereka dalam kegiatan
membaca dan menulis biasanya sedikit mendapat pertolongan dengan
mempergunakan berbagai alternatif media atau alat membaca dan menulis,
sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
3. Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi
kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya
dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan
meminta masukan dari orang lain yang berkompeten. Karena tunanetra
mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan

11
menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai kesulitan dalam melakukan
perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu siswa tunanetra harus
mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang
pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah,
penampilan postur tubuh yang baik mempergunakan gerakan tubuh dan
ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan suara
dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat
pada waktu melakukan komunikasi serta menggunakan alat bantu yang
tepat.
4. Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut
berpengaruh pada perilakunya sebagai berikut: Rasa curiga terhadap orang
lain tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh terhadap
penerimaan informasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang
anak tunanetra tidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau
hanya dapat melalui suara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman
bicaranya berbicara dengan orang lainnya secara berbisik-bisik atau
kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman dan
cepat curiga terhadap orang lain.
D. Faktor Penyebab Tunanetra
Anak-anak dan individu yang mengalami gangguan penglihatan
memiliki faktor penyebab yang berbeda. Beberapa di antaranya berasal dari
dalam diri mereka, sebagain dari luar diri, ada yang telah tunanetra karena
bawaan lahir, ada pula yang justru terjadi setelah dilahirkan. Untuk lebih
jelasnya, beberapa faktor penyebab tunanetra adalah sebagai berikut.
1. Faktor Prenatal (Sebelum Kelahiran)
Faktor prenatal adalah bermaam faktor yang mempengaruhi
perkembangan sebelum anak lahir atau pada saat masa anak di dalam
kandungan dan diketahui sudah mengalami ketunaan. Berdasarkan

12
periodisasinya, faktor prenatal dapat dibedakan menjadi periode embrio,
periode janin muda, dan periode janin aktini. Pada tahap ini anak sangat
rentan terhadap pengaruh trauma akibat guncangan, atau bahan kimia
(Efendi, hlm. 12-13). Faktor lain yang menjadi faktor anak mengalami
tunanetra berkaitan dengan kondisi anak sebelum dilahirkan yaitu gen (sifat
pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat,
virus, dan sebagainya (Kosasih, 2012, hlm. 182).
2. Faktor Neonatal (Saat Kelahiran)
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketunanetraan pada saat
kelahiran meliputi: anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir
dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal, kelahiran
ganda atau kesehatan bayi.
3. Posnatal (Setelah Kelahiran)
Kelainan pada saat posnatal yaitu kelainan yang terjadi setelah anak
lahir atau saat anak dimasa perkembangan. Pada periode ini ketunaan bisa
terjadi akibat kecelakaan, panas badan yang terlalu tinggi, kekurangan
vitamin, bakteri (Kosasih, 2021, hlm. 182). Selain itu, faktor ini juga dapat
disebabkan oleh kecelakaan yang sifatnya ekstern seperti masuknya benda
keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan kendaraan, dan
lain-lain (Smart, 2020, hlm. 44).
E. Cara Mendiagnosis Tunanetra
Kebanyakan anak tunanetra berat diidentifikasi oleh orang tua dan
dokter jauh sebelum mereka masuk sekolah. Pengecualian paling umum
adalah anak-anak penyandang disabilitas ganda. Ada kemungkinan untuk
kondisi lain misalnya, cerebral palsy atau autisme untuk menutupi gangguan
penglihatan. Kunci untuk mengidentifikasi adalah pemeriksaan yang
komprehensif. Banyak dari komponen ini tidak memerlukan pengujian
formal, hanya pengamatan terhadap orang-orang di sekitar anak. Misalnya,
keluarga dapat sangat membantu dalam menentukan apakah seorang anak
telah menguasai keterampilan hidup fungsional. Dan guru kelas adalah

13
sumber informasi yang baik tentang perkembangan sosial dan emosional
anak. Sebagian besar negara bagian memerlukan pemeriksaan penglihatan
prasekolah, yang mengidentifikasi anak-anak dengan masalah penglihatan
sedang (Kirk, et al., 2009: 376).
Jelas, identifikasi awal memungkinkan kami untuk memperluas
pengalaman tersebut bagi anak dengan disabilitas visual melalui program
koreksi maksimum dan prasekolah. Istilah asesmen menggambarkan proses
yang harus terjadi sebelum siswa yang diduga cacat menerima layanan
pendidikan khusus. Empat langkah khusus diambil dalam penilaian:
penyaringan, kelayakan, perencanaan instruksional, dan evaluasi kemajuan
(Lewis & Russo, 1998).
Gangguan penglihatan tidak hanya terjadi pada orang dewasa,
bahkan anak-anak yang masih kecil pun bisa mengalami masalah
penglihatan, misalnya mata silinder atau mata minus. Mengatasi gangguan
penglihatan pada anak ini biasanya dokter mata menyarankan Si Kecil untuk
menggunakan kacamata. Namun jika gangguan penglihatan pada anak
masih dalam kategori cukup ringan, terkadang dokter tidak memberikan
perawatan apapun. Biasanya gangguan mata pada anak ini terjadi karena
gaya hidup Si Kecil yang tidak sehat, misalnya terlalu sering menatap layar
atau terlalu sering menggunakan gadget.
F. Tanda-Tanda Gangguan Penglihatan pada Anak
Anak bisa saja mengalami mata silinder sejak lahir. Namun,
biasanya hal ini tidak diketahui sampai mereka melakukan tes mata. Para
orangtua perlu ingat bahwa tes kesehatan mata ini sangatlah penting agar
kondisi mata minus atau mata silinder pada anak segera terdeteksi. Beberapa
tanda-tanda anak yang mengalami mata silinder, antara lain:
a. Sering mengucek mata meskipun tidak mengantuk
b. Mata terlihat berair
c. Memiringkan kepala saat melihat sesuatu
d. Menutup sebelah mata untuk bisa melihat dengan lebih fokus

14
e. Menghindari aktivitas yang memerlukan fokus penglihatan
f. Mengeluh mata lelah hingga sakit kepala. Jika anak menunjukkan
tanda-tanda tersebut, segera periksakan mata anak ke dokter mata.
G. Strategi Pembelajaran Anak Tunanetra
Pendidik yang mengajar siswa tunanetra harus membantu siswanya
mendapatkan informasi sebanyak mungkin melalui indra non visual (Chen,
dalam Heward 2017). 9 Beberapa bentuk pendekatan pendidikan untuk anak
tunanetra yang dilakukan melalui indra non visual diantaranya yaitu :
a. Braille, merupakan sistem taktil dalam membaca dan menulis di mana
huruf, kata, angka, dan sistem lain dibuat dari pengaturan titiktitik;
b. Tactile Aids and Manipulative, alat yang efektif untuk mengajar mulai
keterampilan matematika;
c. Technological Aids for Reading Print, yaitu perangkat lunak yang
mengubah teks cetak atau elektronik menjadi kata-kata yang diucapkan;
d. Teknologi asistif, yakni teknologi yang menyediakan komputer dengan
fungsi dapat memperbesar gambar layar, memungkinkan pengguna
untuk memberi perintah pada komputer melalui pesan suara serta
mengubah file teks menjadi ucapan yang disintesis;
e. Tongkat pemandu;
f. Anjing pemandu; dan
g. Alat Bantu Perjalanan Elektronik, yakni alat bantu perjalanan elektronik
yang memfasilitasi orientasi dan mobilitas individu dengan gangguan
penglihatan (Heward, 2017).

Siswa low vision dalam proses pembelajarannya tidak perlu dibatasi


pada indra nonvisual dan mereka umumnya dapat belajar membaca cetak.
Beberapa pendekatan pembelajaran untuk low vision diantaranya:

9
Heward, W.L.(2017). Exceptional Children: An Introduction to Special Education 8th
Edition. New Jersey: Merrill Prentice Hall - Pearson Education, Inc.

15
a. Efisiensi visual, yang meliputi keterampilan menyadari secara visual
keberadaan objek atau gerakan, membedakan dan mengurutkan,
memperbaiki atau menemukan, mengalihkan pandangan dan melacak
obyek;
b. Penggunaan alat optik yang sesuai berdasarkan pemeriksaan profesional;
c. Penggunaan tiga pendekatan dasar untuk membaca cetak:
(a) Pendekatan (mengurangi jarak antara mata dan halaman hasil cetak,
(b) Perangkat optik, dan
(c) Memperbesar ukuran huruf yang dicetak; dan
(d) Adaptasi kelas, misalnya dengan pencahayaan ruangan yang tepat,
meja yang dapat disesuaikan posisi anak sehingga dapat membaca
dengan jarak dekat tanpa harus membungkuk (Heward, 2017).10

Selain keterampilan komunikasi dan sensorik, keterampilan


penglihatan fungsional, dan teknologi bantu, kurikulum inti perlu diperluas
untuk siswa dengan gangguan penglihatan termasuk orientasi dan mobilitas,
keterampilan mendengarkan, keterampilan interaksi sosial, keterampilan
hidup mandiri, dan pendidikan karir (Allman, dalam Heward 2017).11 Perla
(dalam Heward, 2017). Menekankan pentingnya mengajar siswa untuk
menanggapi hambatan orientasi dan mobilitas agar anak dengan tidak harus
bergantung pada orang lain setiap kali diri mereka berada di lingkungan
baru. Selain itu, keterampilan mendengarkan merupakan komponen penting
dari program pendidikan setiap anak dengan gangguan penglihatan
Ketrampilan ini meliputi kemampuan menyadari suara, membedakan suara,
mengidentifikasi sumber suara, dan memberikan makna pada suara (Ferrel,
dalam Heward 2017).

10
R. Aulia W, “E-Learning Pada Visual Impairment: a Literature Review”,
file:///D:/my%20%20docoment%20makalah/199-Article%20Text-540-2-10-20221230.pdf, diakses
tanggal 27 Maret 2023.
11
Jati Fatwamati “Literatur Review”, https://www.academia.edu/37567843/
Literature_Review Visual_Impairment, diakses tanggal 27 Maret 2023.

16
Penggunaan kemampuan mendengar dan indra peraba secara
bersama-sama dapat membantu anak dengan untuk terhubung dan
memahami lingkungan mereka. Terkait dengan ketrampilan hidup mandiri,
Jagung (dalam Heward,2017) menyatakan bahwa pengajaran khusus dan
dukungan yang berkelanjutan harus diberikan untuk memastikan bahwa
siswa dengan gangguan penglihatan memperoleh keterampilan seperti
memasak, kebersihan pribadi dan perawatan, manajemen keuangan, dan
transportasi yang diperlukan untuk masa dewasa yang mandiri dan
menyenangkan.

H. Anggapan yang Salah terhadap Tunanetra


Banyak anggapan yang salah tentang orang tunanetra, khususnya
bagi mereka yang masih awam. Ini perlu diungkapkan dalam uraian ini,
supaya ada kesamaan persepsi pada masyarakat awam mengenai
ketunanetraan. Anggapan yang salah tentang orang tunaetra itu antara lain:
a. Anak tunanetra mendengar lebih baik dan lebih tajam dari orang awas.
Pernyataan ini kurang benar sebab kemampuan mendengar anak
tunanetra adalah sama dengan kemampuan mendengar anak awas.
Secara sepintas, seolah-olah memang tampak lebih tajam, tetapi
sebenarnya hal ini disebabkan oleh karena nak tunanetra lebih
konsentrasi terhadap suara yang ada dan ada keterpaksaan untuk
memanfaatkan pendengaran lebih banyak. Jadi tunanetra tidak secara
otomatis akan mendengar lebih baik karena ia tidak melihat, tetapi untuk
mampu secara ,aksimal menggunakan ketajaman pendengarannya perlu
latihan yang lebih banyak dan sungguh-sungguh.
b. Mata seorang tunanetra akan bertambah rusak apabila ia membaca
mendekatkan bukunya kematanya. Pendapat ini kurang benar, sebab
kemunduran kemampuan penglihatan tidak disebabkan oleh karena
melihat objek dari dekat, tetapi tergantung dari jenis penyakit yang
dideritanya. Lagi pula mata mempunyai focus untuk dapat melihat lebih

17
jelas, dengan demikian anak akan melihat sesuatu dari jarak yang sesuai
dengan kebutuhannya.
c. Penglihatan akan hilang atau tambah rusak apabila ia sering
menggunakan matanya. Pernyataan ini juga kurang benar, Anak harus
dirangsang untuk menggunakan matanya sampai detik terakhir
semaksimal mungkin. Kecuali ada larangan dari dokter mata, maka baru
dihindari. Sebab dengan menggunakan mata informasi yang didapat
akan lebih banyak dan kongkrit, bahkan dapat mempertinggi fungsi
melihatnya. Hilangnya sisa penglihatan pada seseorang bukan karena
dipakai melainkan karena penyakitnya. Penyakit mata pada tunanetra
ada yang bersifat tetap dan ada yang bersifat dinamis. Penyakit yang
bersifat tetap artinya sisa penglihatan yang dimiliki tunanetra dipakai
atau tidak sisa maka sisa pebglihatannya akan tetap seperti sedia kala.
akan tetap. Bahkan bila sisa penglihatan tersebut digunakan secara
optimal akan meningkatkan fungsi sisa penglihatannya.
d. Orang sering menganggap seorang tunanetra membutuhkan lampu dan
cahaya yang terang untuk dapat melihat lebih baik. Pernyataan inipun
kurang benar. Tidak semua jenis ketunanetraan membutuhkan cahaya
yang sangat terang untuk melihat dengan jelas. Tergantung dari jenis
penyebab ketunanetraannya. Penyakit yangmenyerang mata sehingga
tunanetra mempunyai karakteristik sendri-sendiri. Ada tunanetra yang
senang dan dapat melihat lebih baik dengan cahaya yang normal, bahkan
ada tunanetra melihat lebih baik dengan cahaya yang sedikit redup.
e. Banyak lagi anggapan yang salah tentang tunanetra seperti setiap
tunanetra membutuhkan kacamata,orang buta melihat hitam, tunanetra
mempunyai indera keenam dan sebagainya. Anggapan yang salah ini
perlu diluruskan. Guru dan tenaga rehabilitasi bagi orang tunanetra perlu
memahami secara tepat tentang tunanetra sebelum ia memberikan
pelayanan pada orang tunanetra.

18
I. Kebutuhan Khusus Tunanetra
Tunanetra adalah seorang individu yang mengalami kelainan pada
penglihatan sehingga ia tidak dapat menggunakan penglihatannya sebagai
saluran utama dalam menerima informasi dari lingkungan. Adanya kelainan
penglihatan pada seseorang mempunyai akibat langsung maupun tidak
langsung. Akibat langsung adalah akibat yang disebabkan oleh
ketunanetraan sedangkan akibat tidak langsung adalah akibat yang
disebabkan oleh lingkungan. Akibat yang tidak langsung ini lebih sulit
diatasi daripada akibat langsung dari ketunanetraannya.
Sebagai adanya akibat langsung dantidak langsung ini menyebabkan
adanya kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus tunanetra bias ditinjau dari
tiga aspek:
a. Fisiologis
Tunanetra adalah akibat adanya perubahan secara fisiologis dari sebagian
aspek dalam organisme. Dengan demikian seorang tunanetra mungkin
membutuhkan perawatan dan pemeriksaan medis, pengobatan dan evaluasi
medis secara umum. Sebagai kegiatan organisme diperlukan latihan gerak
dan ekspresi tubuh.
b. Personal
Ketunanetraan merupakan pengalaman personal, orang diluar dirinya
tidak akan merasakan tanpa ia mengalaminya. Meskipun sama-sama
mengalami tunanetra, belum tentu sama apa yang dirasakannya. Individu
yang mengalami tunanetra tidak hanya terganggu dan terhambat
mobilitasnya tetapi ia juga akan terganggu keberadaannya sebagai manusia.
Akibat dari ketunanetraan sebagai pengalaman personal, maka efek
psikologisnya yang ditimbulkan banyak tergantung pada kapan terjadinya
ketunanetraan dan bagimana kwalitas serta karakteristik susunan
kejiwaannya.
Akibat ketunanetraan sebagai pengalaman personal, maka timbul
beberapa kebutuhan yang bersifat personal pula. Kebutuhan tersebut antara

19
lain adalah latihan Orientasi dan Mobilitas, minat untuk berinteraksi dengan
lingkungan terutama dalam hal mengolah dan menerima informasi dari
lingkungan, keterampilan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti menolong
diri sendiri. Pendidikan dan bimbingan penyuluhan juga merupakan
kebutuhan personal secara khusus dan banyak lagi kebutuhab yang bersifat
individual.
c. Sosial
Ketunanetraan merupakan fenomena social. Apabila ketunanetraan
terjadi dalam suatu kelompok masyarakat, maka struktur masyarakat akan
mengalami perubahan. Keluarga merupakan unit terkecil dalam kelompok
masyarakat. Apabila ketunanetraan terjadi dan muncul dalam suatu
keluarga, maka tidak mungkin susunan keluarga kembali seperti sebelum
adanya anggota keluarga yang mengalami tunanetra. Keluarga akan
mengadakan perubahan dan penyesuaian baik secara total maupun sebagian
Perubahan dan penyesuaian yang terjadi mungkin berakibat baik dan
menyenangkan bagi semua anggota keluarga.
Mungkin pula berakibat buruk terhadap hubungan dan interaksi antar
anggota keluarga. Kurang baiknya hubungan dan interaksi keluarga karena
adanya seorang tunanetra di tengah keluarga, bias terjadi antara anggota
keluarga yang awas maupun antara anggota keluarga yang awas dengan
yang mengalami tunanetra. Baik buruknya pengaruh adanya seorang
tunanetra di tengah keluarga tergantung pada menerima tidaknya semua
anggota keluarga terhadap adanya kenyataan tersebut diatas.
Dengan adanya pandangan ketunanetraan sebagai fenomena social, maka
kebutuhan dari segi social adalah adanya hubungan yang baik antar personal
(personal relationship), interaksi yang baik antar anggota keluarga, interaksi
dan hubungan dengan teman-temannya, dan membutuhkan pula untuk ikut
berpartisipasi dengan berbagai kegiatan dalam lingkungannya. Persiapan
vocational merupakan aspek lain dari kebutuhan khusus tunanetra ditinjau
dari segi sosial. Untuk membina hubungan baik keluarga, memerlukan

20
bimbingan tersendiri. Bimbingan keluarga perlu diadakan dan diberikan
untuk menyadarkan kedudukan tunanetra ditengah keluarga. Bimbingan
keluarga juga dapat menyadarkan bagaimana peranan masing-masing
dalam hubungan anatar anggota keluarga atau keluarga dengan masyarakat
sekitarnya.
J. Kebutuhan Pengembangan Motorik Tunanetra.
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa tunanetra memiliki tiga
keterbatasan yaitu:
a. Keterbatasan dalam lingkup keaneka ragaman pengalaman.
b. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
c. Keterbatasan dalam mobilitas.
Dalam keterbatasan diatas sudah jelas bahwa itu merupakan akibat
langsung dari ketunanetraannya. Dengan terganggunya penglihatan
tunanetra maka ia tidak bias leluasa bergerak dan berpindah tempat secara
leluasa. Ketidak leluasaan bergerak maka akan berakibat kepada input yang
akan diperolehnya sebagai masukan pengetahuan dan pengalaman. Input,
masukan pengetahuan, keterampilan yang secara tidak disengaja selalu
dapat diterima oleh orang awas, maka bagi tunanetra tidak demikian. Hal
ini tunanetra diperparah oleh tidak dapatnya bergerak secara leluasa.
Untuk dapat bergerak secara leluasa tunanetra perlu mempelajari secara
khusus dan terprogram tehnik mobilitas dengan baik dan benar. Menguasai
tehnik mobilitas dengan baik maka tunanetra akan bergerak dengan bebas.
Dapat bergerak dengan bebas mandiri berarti tunanetra akan menemukan
berbagai hal sebagai pengalaman. Ini berarti akan mengatasi keterbatasan
untuk memperoleh pengalaman baru.
Pengalaman yang diperoleh sangat dibutuhkan untuk melalkukan
interaksi dengan lingkungan. Interaksi bias berlangsung kalau ada
hubungan timbal balik antara tunanetra dengan lingkungannya. Hubungan
timbal balik akan aktif bila tunanetra memiliki sumber informasi didalam
mentalnya yang berbentuk konsep-konsep. Konsep sesuatu akan dikuasai

21
anak menjadi suatu data yang benar sesuai dengan realitas bila strategi
pengajaran menggunakan prinsip:
a. Kongkrit artinya pengajaran ahrus sesuai dengan aslinya atau
menampilkan modelnya. Jadi menekankan pada contoh kongkrit bukan
verbalistis.
b. Melakukan, artinya dalam mengajar tunanetra harus menekankan pada
praktek yaitu melakukan kegiatan secara langsung, bukan hanya
menerangkan secara lisan.
c. Memadukan, karena keterbatasan dalam penglihatan maka dalam
menerangkan pada tunanetra harus utuh dan sistimati. Sistimatis dan
menyelur secara terpadu menyebabkan tunanetra dapat memiliki konsep
sesuatu pengetahuan dan keterampilan secara utuh.
Semua yang diuraikan tersebut tidak mungkin dilakukan secara optimal
oleh tunanetra bila ia tidak memiliki fisik yang segar, kuat dan sehat. Sehat
dan kesegaran fisik hanya bias dimiliki oleh mereka yang memil;iki
kemampuan utuk mengembangkan fisiknya melalui gerak. Padahal
tunanetra memiliki keterbatasan dalam bergerak baik bergerak secara
sepontan maupun bergerak secara terencana. Dan ini dimiliki sejak mereka
menyandang tunanetra atau sejak tunanetra ada pada dirinya.
Anak awas tanpa harus diprogram secara khusus ia akan melatih
fisiknya secara tidak disengaja, karena penglihatannya dapat merangsang
dirinya untuk bergerak mendekati, meraih dan mendapatkan objek yang
merangsang dirinya. Misalnya ada layanga putus dia kejar, lihat sarang
burung dia naik pohon. Ini semua secara tidak disengaja telah membina
keterampilan geraknya, kekuatan fisiknya, kelenturan geraknya sehingga
mencapai kesegaran fisiknya.
Bagi tunanetra sekali lagi hal ini tidak akan terjadi, sedangkan disisi lain
dalam kehidupannya ia harus bersaing dengan orang awas. Oleh karena itu
olah raga dan bimbingan jasmani bagi tunanetra merupakan salah satu
kebutuhan dasar. Akibat ketunanetraannya, sebagian besar tunanetra

22
memiliki gerak yang kaku dan sikap tubuh yang jelek. Kepala sedikit
menunduk, punggung membungkuk tetapi bagian perut kedepan. Secara
rinci alas an dibutuhkannya bimbingan jasmani bagi tunaneta adalah sebagai
berikut:
a. Dalam perkembangan motoriknya, tunanetra mengikuti urutan
perkembangan yang sama dengan orang awas akan tetapi ia mengalami
keterlambatan dalam “motor miliestones” termasuk didalamnya
mobilitas.
b. Kehilangan penglihatan membuat stimulasi penglihatan berkurang dan
tidak merangsang untuk bergerak dan bahkan membuat gerakan menjadi
sulit.
c. Banyak tunanetra yang dating dari keluarga yang terlalu melindungi
sehingga iatidak ada kesempatan untuk melakukan eksplorasi
lingkungan menyebabkan keterampilan motoknya tidak terlatih.
d. Ketunanetraan tidak memberikan kesempatan untuk membetulkan
gerak, gaya jalan dan sikap tubuhnya karena ia tak bias mencontoh
orang sekitarnya.
e. Tunanetra sebagai kelompok memiliki tingkat kesegaran jasmaninya
jauh dibawah orang awas.
f. Mata dengan fungnya sebagai alat untuk melihat dapat berfungsi sebagai
alat untuk menyeimbangkan tubuh, oleh karena itu tunanetra memiliki
keseimbangan yang kurang baik.
g. Penyimpangan sikap tubuh (posture) banya terjadi pada tunanetra.
h. Tunanetra harus hidup dihabitatnya seperti orang awas lainnya dan ia
harus bersaing dengan orang awas. Karena itu ia harus memiliki tubuh
yang kuat dan sehat. Tidak ada pilihan lain bimbingan jasmani harus
menjadi bagian yang terintegrasi kedalam program rehabilitasi bagi
tunanetra.

23
BAB III
PENUTUP

Tunanetra berasal darai kata tuna dan Netra. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) tuna berarti luka, rusak, kurang atau tidak memiliki. Sementara
itu Netra berarti mata atau penglihatan. Jadi, tunanetra sendiri berarti rusak
penglihatan. Tunanetra disebabkan oleh retrolenta fibroplasia (RLF)/ banyaknya
bayi lahir prematur serta faktor internal (bawaan) daneksternal yang lain (penyakit).
Pembendaharaan kosakata pada anak tunanetra diperoleh dari dalam dirinya sendiri
dan orang lain.

Hambatan-hambatan dalam perkembangan motorik anak tunanetra


berhubungan erat dengan ketidak mampuannya dalam penglihatannya yang
selanjutnya berpengaruh terhadapa faktor psikis dan fisik anak pada tahap-tahap
perkembangan anak tunanetra selanjutnya. Masalah-masalah yang dihadapi anak
tunanetra sangat beragam termasuk dalam ruang lingkup pendidikan, sosial, emosi,
kesehatan, pengajaran mencakup kesulitan dalam proses belajar anak, orientasi dan
mobilitas serta kebiasaan diri, gangguan emosi, penyesuaian diri, keterampilan dan
pekerjaan, ketergantungan diri dan penggunaan waktu senggang.

Dampak yang diterima orang terdekat penderita tunanetra akan dilimpahkan


kembali kepada anak tunanetra, misalnya melalui reaksi-reaksi orang tua terhadap
ketunanetraan anaknya, yaitu penerimaan secara realistik terhadap anak dan
ketunanetraannya, penyangkalan terhadap ketunetraan anak, perlindungan yang
berlebihan, penolakan secara tertutup dan penolakan secara terbuka.

24
DAFTAR PUSTAKA

Asep Supena et al, Pendidikan Inklusi Untuk ABK, Yogyakarta: CV Budi Utama,
2022.
Conny Semiawan, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
297 Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan,
1994.
Frieda M, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Depok: LPSP3
UI, 2009.
Heward, W.L. Exceptional Children: An Introduction to Special Education 8th
Edition. New Jersey: Merrill Prentice Hall - Pearson Education, Inc.
2017.
Hidayat Dkk, Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung: UPI, 2006.
Ishartiwi. Keefektifan Penggunaan Media Audio (Tolking Book) dalam Kegiatan
Belajar Tunanetra. Tesis. Fakultas PascaSarjana. IKIP malang, 1991.
Jati Fatwamati “Literatur Review”, https://www.academia.edu/37567843/
Literature_Review Visual_Impairment, diakses tanggal 27 Maret 2023.
Jati Rinarki Atmaja, Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2018.
Johnsen, H. dan Skjorten, D. Pendidikan Kebutuhan Khusus, Program
Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, 2004.
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1991 tentang Pendidikan Anak Luar Biasa.
R. Aulia W, “E-Learning Pada Visual Impairment: a Literature Review”,
file:///D:/my%20%20docoment%20makalah/199-Article%20Text-540-
2-10-20221230.pdf, diakses tanggal 27 Maret 2023.
Sutjihati, T., Somantri, Psikologi Luar Biasa, Bandung: Refika Aditama, 2012.
Syamsu Y, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Bandung: Rosda, 2014.
Tirtonegoro, Sutratinah, (1984), Anak Supernormal dan Program Pendidikannya,
Jakarta, PT. Bina aksara.

25
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai