Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH RESPONSIF GENDER

HAK WARIS PEREMPUAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir


Mata Kuliah : Tafsir Responsif Gender
Dosen Pengampu : Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA

Disusun Oleh :
Irkham Fitrah Maulana (2107015014)
Semester / Kelas : 4 / B

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat
dan hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Prof. Dr. M.
Yunan Yusuf, MA yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami,
dan tidak luput juga kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang
ikut menyumbang pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami memohon maaf kepada bapak dosen Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA
khususnya dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya,
kami mengharap kritik dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua
pembaca demi lebih baiknya makalah ini.

Bekasi, 25 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3. Tujuan Pembahasan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

2.1 Pengertian Hak Waris ............................................................................... 3

2.2 Pandangan dan Sikap Masyarakat yang Masih Keliru terhadap Pewarisan
Harta bagi Perempuan ......................................................................................... 5

2.3 Dampak dari Ketidaksetaraan Hak Waris Perempuan ............................ 7

2.4 Pembagian Hak Waris menurut Islam dalam kajian Tafsir Responsif
Gender ................................................................................................................. 9

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 12

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan Ini sebenarnya dimulai
sebelum kedatangan Islam. Dalam struktur sosial budaya negara-negara Arab saat
itu, perempuan adalah makhluk yang tidak berharga, sehingga masyarakat Arab
selalu memandang mereka dengan sebelah mata. Mereka merasa terhina dan malu
memiliki anak perempuan. Oleh karena itu, tidak jarang mereka mengubur anak
perempuannya hidup-hidup, atau ketika sudah dewasa, perempuan diperlakukan
sebagai harta atau barang yang akan diwariskan, bukan sebagai penerima warisan.
Di banyak negara, terutama di negara-negara berkembang, tradisi dan
kebiasaan masyarakat yang patriarkis menyebabkan ketidaksetaraan hak antara
perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hak waris. Di
Indonesia, salah satu contoh ketidaksetaraan tersebut terlihat pada sistem waris
yang mengutamakan laki-laki sebagai penerima utama warisan.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tekanan budaya, agama, dan
kebijakan hukum yang tidak mendukung kesetaraan gender. Padahal, dalam
pandangan Islam sebenarnya wanita dan pria memiliki hak yang sama dalam
warisan. Namun, pemahaman ini seringkali diabaikan atau bahkan disalahartikan
oleh masyarakat.
Untuk mengatasi masalah ini, maka diperlukan pendekatan yang responsif
terhadap gender, yang bertujuan untuk menciptakan kesetaraan hak dan
memperjuangkan hak-hak perempuan dalam lingkungan masyarakat yang berbeda-
beda. Salah satu bentuk pendekatan responsif gender adalah dengan menggunakan
pendekatan tafsir responsif gender yang mencerminkan keadilan gender dan
inklusivitas.
Makalah ini tertuju pada hak waris perempuan dalam perspektif tafsir
responsif gender, dengan mengupas faktor-faktor yang menyebabkan
ketidaksetaraan hak waris perempuan, diskursus dan teori tentang tafsir responsif
gender, serta tanggapan masyarakat terhadap tafsir ini. Dengan demikian, makalah
ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang luas dan mendalam tentang hak

1
waris perempuan dan pentingnya menerapkan tafsir responsif gender untuk
menciptakan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu hak waris?
2. Bagaimana pandangan dan sikap masyarakat yang keliru terhadap
perempuan dalam hal pewarisan harta?
3. Apa dampak dari ketidak setaraan hak waris perempuan?
4. Bagaimana seharusnya pembagian hak waris menurut tafsir responsif
gender?

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Mengetahui pengertian hak waris?
2. Mengetahui pandangan dan sikap masyarakat yang keliru terhadap
pewarisan harta bagi perempuan?
3. Mengetahui dampak dari ketidaksetaraan hak waris perempuan?
4. Mengetahui bagaimana seharusnya pembagian hak waris menurut islam
dalam tafsir responsif gender?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hak Waris


Hak waris merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok
dalam menerima harta atau hibah dari pewaris, sesuai dengan ketentuan yang diatur
oleh hukum dan adat istiadat yang berlaku. Dalam hukum Islam, hak waris secara
prinsipal diberikan secara adil kepada ahli waris yang telah ditetapkan oleh Al
Quran dan Hadist.
(Ash-Shabuni, 1995) dalam bukunya “Pembagian Waris Menurut Islam”
mengatakan bahwa “Waris” berasal dari kata al-miirats, berarti berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Makna waris jika dilihat dari pengertian bahasa ini tak sebatas pada hal berkaitan
dengan harta benda, tetapi juga mencakup nonharta benda, seperti keimanan, sifat,
serta kecerdasan.
Sementara para ulama mendefinisikan waris, yakni berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa
hak milik legal secara syariat. (Nurfajrina, 2023)
Waris memiliki unsur-unsur penting yang harus ada agar harta tersebut
dapat dikatakan harta wariis, yaitu;
a. Waris
Waris merujuk pada orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan) orang yang telah meninggal.
b. Warisan
Warisan merupakan harta peninggalan, pusaka, dan surat
wasiat. Warisan tidak hanya berupa harta, tetapi dapat berupa hutang
yang harus dibayar oleh orang yang masih hidup dan menjadi
pewaris atau ahli warisnya.
c. Pewaris
Pewaris adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan,

3
pusaka, maupun surat wasiat. Umumnya, pewaris memberikan
harta, kewajiban, ataupun hutang kepada orang lain atau ahli waris.
d. Ahli Waris
Ahli waris merujuk pada sekalian orang yang menjadi waris,
berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris. Ahli waris ini memiliki hak secara hukum untuk menerima
seluruh harta, kewajiban, bahkan hutang yang ditinggalkan pewaris.
e. Mewarisi
Mewarisi merujuk pada makna mendapat harta pusaka, biasanya
segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
f. Proses Pewarisan
Istilah proses pewarisan mempunyai dua makna; 1. Penerusan
atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup, 2.
Pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Adapun penyebab saling mewarisi dari orang yang telah meninggal ke


orang yang masih hidup adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban hukum: Hukum waris diatur oleh undang-undang di setiap
negara dan biasanya menetapkan siapa yang berhak menerima warisan
dari seseorang yang telah meninggal, seperti anak, cucu, pasangan, atau
kerabat terdekat lainnya.
b. Kewajiban moral: Seseorang dapat mewariskan harta kepada anak atau
cucunya ketika ia telah meninggal sebagai bentuk kewajiban moral
untuk membantu keluarganya dan memastikan bahwa mereka memiliki
sumber daya yang cukup untuk hidup.
c. Kehendak pewaris: Beberapa orang membuat wasiat atau surat wasiat
ketika mereka masih hidup untuk menentukan siapa yang akan
menerima warisan mereka setelah meninggal.
d. Keputusan keluarga: Kadang-kadang, keluarga dapat memutuskan
untuk saling mewarisi harta dari orang yang telah meninggal untuk
mencegah terjadinya sengketa atau untuk membangun hubungan
keluarga yang lebih baik.

4
e. Kewajiban agama: dalam Islam, terdapat aturan tentang bagaimana
harta warisan harus dibagikan antara ahli waris setelah seseorang
meninggal, dan hal ini dapat memengaruhi keputusan tentang saling
mewarisi.

2.2 Pandangan dan Sikap Masyarakat yang Masih Keliru terhadap


Pewarisan Harta bagi Perempuan
Bagi suatu masyarakat yang penduduknya mayoritas beragama Islam-pun
mengalami perubahan sosial yang berkaitan dengan pembagian harta warisan.
Pembagian harta warisan yang diamalkan oleh masyarakat adalah lebih kepada
budaya turun-temurun sehingga menimbulkan ketidakpuasan hati kepada semua
pihak karena terjadi ketidakadilan dalam pembagiannya. Mereka menganggap telah
terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam persoalan harta warisan
jika mengikuti pembagian harta warisan menurut ulama fiqh mazhab. (Wahyunadi
& Azahari, 2015)
Pandangan patriaki yang mengaggap bahwa wanita hanya bertugas dirumah
dan laki-laki lah pemilik kekuasaan utama menjadisalah satu sebab penyimpangan
hak waris tersebut. Seperti yang terjadi pada suku Batak Toba yaitu dimana pihak
yang berhak sebagai penerima warisan atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja
dan kaum perempuan tidak memiliki hak untuk mendapat warisan sedikitpun
kecuali apabila ada kesepakatan bersama dalam suatu keluarga.
Masyarakat patrilineal ini menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga
atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap
sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya. Sebaliknya
anak perempuan nanti akan “dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan
mengikuti marga yang dimiliki suaminya. (Palty, n.d.)
Pandangan/sikap tersebut sama dengan bangsa arab jahiliyah sebelum
datangnya islam, dimana mereka sangat tidak memandang sosok perempuan.
Perempuan pada saat itu merupakan sosok yang tidak ada nilainya. Dalam hal
waris, perempuan tidak mendapatkan sedikitpun, bahkan perempuan itu sendiri
masuk kedalam harta yang dapat diwariskan kepada anak laki-nya.

5
Masih ada juga pandangan dan sikap masyarakat yang keliru terkait
pewarisan harta bagi perempuan, terutama di daerah-daerah yang masih konservatif
dan patriarkal. Beberapa pandangan dan sikap keliru tersebut adalah:
a. Perempuan tidak berhak menerima warisan.
Beberapa masyarakat masih berpikir bahwa pewarisan harta
hanya untuk kaum laki-laki dan tidak untuk perempuan. Hal ini
disebabkan karena adanya konsep bahwa perempuan hanya akan
meninggalkan keluarga setelah menikah, sehingga tidak perlu
diberikan warisan.
b. Perempuan tidak bisa mengelola harta dengan baik
Masyarakat sering menganggap bahwa perempuan kurang bisa
mengelola harta dengan baik dan akan menghabiskan harta warisan
dengan percuma. Namun, kenyataannya perempuan juga bisa
memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan dan
harta.
c. Perempuan yang menerima warisan atau harta dianggap tidak sopan
Pola pikir yang masih konservatif membuat masyarakat masih
memandang negatif perempuan yang menerima warisan atau harta.
Mereka dianggap tidak sopan dan bisa menimbulkan cemoohan dari
masyarakat sekitar.
d. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan dalam pewarisan harta
Di beberapa masyarakat, pewarisan harta masih lebih
mengutamakan kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini
biasanya terjadi pada kasus-kasus tertentu, seperti pengelolaan tanah
warisan atau usaha keluarga. Padahal, hukum dan aturan agama
menentukan bahwa perempuan juga berhak atas harta warisan.

Terkait dengan pandangan dan sikap yang keliru tersebut, maka perlu
dilakukan edukasi dan pembinaan yang intensif kepada masyarakat tentang hak-
hak perempuan dalam pewarisan harta serta bagaimana cara menghindari
diskriminasi dan perlakuan tidak adil dalam pembagian harta warisan. Hal ini
sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan diakui dan dihargai

6
dalam masyarakat dan agar tercipta kesetaraan gender di dalam keluarga dan
masyarakat secara keseluruhan.
Terlebih dalam memaknai sebuah ayat, perlulah kajian yang mendalam
terkait ayat tersebut. Jagan sampai malah menaggap bahwa ketetapan yang Allah
SWT tulis dalam Al-Qur'an tidaklah adil.

2.3 Dampak dari Ketidaksetaraan Hak Waris Perempuan


Secara umum, hukum Islam berdiri di atas prinsip-prinsip yang harus
dipertahankan secara mutlak dan universal. Hukum Islam disyariatkan oleh Allah
dengan tujuan utama merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia,
baik kemaslahatan individu maupun masyarakat.
Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut
seluruh aspek kepentingan manusia atau dikenal dengan istilah Maqasid
Khomsah/Maqosid Syari’ah (Vela, 2015). Jika Maqosid syari’ah tersebut
dilaksanakan, maka akan terciptanya kehidupan yang adil, tentram, damai, dan
sejahter bagi seluruh makhluknya.
Islam tentu tidak melarang tentang adanya adat pada tiap daerah yang
berbedaa. Adat kebiasaan sudah banyak berlaku pada masyarakat dari berbagai
penjuru dunia sebelum adanya ajaran Islam. Adat kebiasaan yang dibangun oleh
nilai-nilai yang dianggap baik dari masyarakat itu sendiri, yang kemudian
diciptakan, dipahami, disepakati, dan dijalankan atas dasar kesadaran. (Vela, 2015)
Akan tetapi, Tradisi/kebiasaan yang sudah menjadi adat istiadat dalam
masyarakat tidak semuanya dapat diterima dalam hukum Islam. Tradisi/kebiasaan
tersebut bisa diterima dalam hukum Islam apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Suatu perbuatan yang dilakukan itu logis dan relevan dengan akal sehat
manusia, hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak mungkin
berkenaan dengan perbuatan maksiat.
b. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu berulang-ulang atau telah
mendarah daging pada perilaku masyarakat.

7
c. Tidak mendatangkan kemadaratan atau kerusakan serta sejalan dengan
jiwa dan akal sehat yang sejahtera.
d. Perbuatan itu tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Al Qur’an
dan as-Sunnah. (Abdul Mudjib, n.d.)

Maka jika ada suatu daerah yang menetapkan tradisi/adat tentang


pembagian waris tidak sesuai dengan ketetuan Allah SWT dan malah menyalahi
syariat, akan menyebabkan terjadinya dampak-dampak negatif, diantaranya;
a. Kemiskinan: Ketika perempuan tidak diberikan bagian yang adil dari
warisan, mereka berisiko tinggi untuk hidup di bawah garis kemiskinan.
Tanpa sumber daya ekonomi dan akses ke aset seperti tanah atau
properti, perempuan akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar
mereka.
b. Kehilangan keamanan finansial: Ketika seorang suami atau kepala
keluarga meninggal, perempuan yang tidak diberikan hak waris
mungkin kehilangan sumber keamanan finansial mereka. Ini dapat
menyebabkan mereka terlunta-lunta dan tidak berdaya untuk
menyelesaikan kebutuhan finansial mereka sendiri dan keluarga
mereka.
c. Perempuan menjadi rentan mengalami kekerasan: Ketidaksetaraan hak
warisan dapat mengurangi otoritas dan kekuatan perempuan dalam
keluarga. Ini membuat perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan
dan penindasan, karena mereka tidak memiliki sumber daya dan
kekuasaan yang cukup untuk membela diri atau melindungi hak-hak
mereka.
d. Pendidikan yang terhambat: Ketika perempuan tidak memiliki hak atas
warisan, mereka sering kehilangan akses ke pengetahuan dan
keterampilan baru karena mungkin tidak dapat membayar biaya
pendidikan.
e. Ketidaksetaraan Gender: Ketidaksetaraan hak waris juga menyebabkan
terjadinya ketidaksetaraan gender, karena perempuan tidak
diperlakukan sama seperti pria dalam hal penerimaan hak-hak properti

8
dan aset berharga lainnya. Hal ini merugikan mereka secara finansial
dan memberikan pandangan yang keliru bahwa perempuan tidak setara
dengan pria.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menjamin
bahwa perempuan diberikan hak yang sama dalam hal warisan dan keadilan dalam
pembagian harta warisan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan
merata.

2.4 Pembagian Hak Waris menurut Islam dalam kajian Tafsir


Responsif Gender
Merupakan hal yang telah diketahui bersama bahwa islam adalah agama
yang sangat sempurna, islam mengatur segala urusan yang berkaitan dengan ibada
dan muamalaah. Salah satu muamalah disini ialah hak waris. Hak waris dalam islam
memiliki ketentuannya secara terprinci. Namun seringkali terjadi bias geder dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hak waris tersebut.
Dalam hukum Islam, khususnya hukum mawaris, al-fiqhu al-mawaris, al-
fara’id telah diatur secara rinci dan komprehensif mengenai ketentuan- ketentuan
yang mencakup seluruh aspek kewarisan, mulai dari pengertian, rukun, syarat,
sebab-sebab menerima warisan, penghalang pewarisan, para ahli waris maupun
bagian masing-masing para ahli waris. Tujuan dari ketentuan-ketentuan itu adalah
untuk terwujudnya tujuan pewarisan dan terhindar dari perpecahan dalam keluarga,
dalam hal ini adalah para ahli waris. (Vela, 2015)
Isu gender yang terkait dengan waris adalah pembagian 2:1 (bagian laki-
laki: perempuan) dalam ayat berikut:
‫س ۤا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۚ َوا ِْن‬
َ ِ‫ّٰللاُ فِ ْْٓي ا َ ْو ََل ِد ُك ْم ِللذَّك َِر ِمثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنثَيَي ِْن ۚ فَا ِْن ُك َّن ن‬
‫ص ْي ُك ُم ه‬
ِ ‫ي ُْو‬
‫ُس ِم َّما ت ََركَ ا ِْن َكانَ لَهٗ َولَدٌ ۚ فَا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَدٌ َّو َو ِرثَ ٗ ْٓه‬ ُ ‫سد‬ ِ ‫ف ۗ َو َِلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل َو‬
ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ال‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫احدَة ً فَلَ َها الن‬ ِ ‫َت َو‬ ْ ‫كَان‬
‫ص ْي ِب َها ْٓ ا َ ْو دَي ٍْن ۗ ٰابَ ۤا ُؤ ُك ْم َوا َ ْبن َۤا ُؤ ُك ۚ ْم ََل‬ ِ ‫ُس ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّْو‬ ُ ‫سد‬ ُ ُ‫اَبَ ٰوهُ فَ ِِلُ ِم ِه الثُّل‬
ُّ ‫ث ۚ فَا ِْن َكانَ لَ ٗ ْٓه ا ِْخ َوة ٌ فَ ِِلُ ِم ِه ال‬
ِ ‫ضةً ِمنَ ه‬
‫ّٰللا ۗ ا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللاَ َكان‬
‫ع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ ُ ‫تَد ُْر ْونَ اَيُّ ُه ْم ا َ ْق َر‬.
َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِر ْي‬
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan

9
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika
dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.” (Qs. An-Nisa' : 11)
‘Abd al-Rauf Singkel menafsirkan penggalan ayat ‫ّٰللاُ فِ ْْٓي ا َ ْو ََل ِد ُك ْم ِللذَّك َِر‬
‫ص ْي ُك ُم ه‬
ِ ‫ي ُْو‬
‫مثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنثَيَي ِْن‬,
ِ yaitu “Disuruhkan Allah ta‘ala kamu pada pekerjaan pusaka segala
anak kamu bagi seorang laki-laki seperti perolehan dua orang perempuan (al-Jawi
t.th., 79 dalam Shihab, n.d.).” Ia menafsirkan sambungan ayat selanjutnya, ‫َفا ِْن ُك َّن‬
َ‫س ۤا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََرك‬
َ ِ‫ ن‬, bahwa jika anak itu seluruhnya perempuan lebih dari
dua orang, maka mereka mendapatkan bagian dua pertiga harta yang telah
ditinggalkan oleh mayit; dan jika hanya ada seorang anak perempuan saja, maka
dia memperoleh bagian separuhnya.
Penafsiran ‘Abd al-Rauf Singkel dalam konteks ini lebih singkat
dibandingkan tafsir al-Jalâlain. ‘Abd al-Rauf Singkel tidak pernah mempersoalkan
pembagian waris 2:1. Boleh jadi ketentuan itu sudah dianggap qath‘î. Ia juga tidak
membahas hikmah di balik itu. Padahal, beberapa mufasir Indonesia telah
membicarakannya (Subhan 2008, 257-258).
M. Quraish Shihab lebih jauh menjelaskan indahnya syariat Islam dalam
soal waris dan menepis kritikan sebagian feminis. Jika dalam konteks formula 2:1
sebagai persoalan juz`î, lalu mana yang disebut M. Quraish Shihab sebagai ushûlî?
Menurutnya, setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan pandangan
dasarnya tentang wujud, alam, dan manusia.

10
Dalam konteks kewarisan, prinsip dasarnya laki-laki dan perempuan adalah
dua jenis manusia yang harus diakui, suka atau tidak suka, berbeda (QS. Ali-Imran,
36). Sangat sulit menyatakan keduanya sama, lewat pembuktian agama maupun
ilmu pengetahuan. “Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia
baru, bukan lelaki bukan pula perempuan”, tegasnya. (Shihab, n.d.)
Menurut (Nuraeni, 2014), ada beberapa argumen atas komposisi kaum
perempuan mendapat hanya setengah dari komposisi kaum laki-laki;
a. Pertama, ayat ini sebenarnya merupakan respons terhadap kondisi
sosial yang berkembang saat itu. Sebagaimana diketahui, perempuan
masa itu tidak mempunyai hak untuk memiliki apa pun yang diberikan
kepadanya. Secara historis-sosiologis, ayat ini sebenarnya bentuk
penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki,
mempunyai hak untuk mempunyai harta, baik melalui warisan, mas
kawin, nafkah dan wasiat. Dengan pemahaman seperti ini, berarti
realitas 2:1 sebenarnya adalah cerminan realitas historis-sosiologis
yang sangat bergantung pada ruang dan waktu. (Subhan, 2016)
b. Kedua, secara teologis, bagian warisan laki-laki dilebihkan dari bagian
perempuan, karena Islam membebani laki-laki dengan tanggung jawab
dan kewajiban memberi mas kawin bagi isteri dan nafkah bagi keluarga.
Sementara perempuan tidak memiliki kewajiban tersebut. Bahkan
mereka akan menerima maskawin dan nafkah dari suaminya.

Mahmud Thahâ, sebagaimana dikutip oleh Masdar F. Mas’udi dalam


(Nuraeni, 2014), menyatakan bahwa semua ketentuan tentang waris bersifat kon-
disional. Ayat tersebut (Qs. An-Nisa:11) merupakan ayat Madaniyah. Sehingga
ketika menilainya kita juga harus mempertimbangkan konteks. Jangan sampai
menilai suatu gagasan empat belas abad yang lalu dalam perspektif hari ini.
Dengan mengatakan bagian warisan perempuan separuh bagian laki-laki
dalam perspektif hari ini, tawaran al-Quran tadi tidak radikal. Tapi dalam perspektif
saat itu dinilai sangat radikal, karena sebelumnya perempuan hanya bagian dari
barang warisan. Kemudian Islam datang dan mengangkat perempuan dari objek
menjadi subjek, meskipun belum full capacity. Mungkin karena caranya yang tadrîj

11
(bertahap), sehingga tidak langsung seratus persen sebagaimana laki-laki. Ini se-
benarnya baru langkah pertama. Suatu saat jika memungkinkan dan dikehendaki,
perempuan bisa mendapatkan sama, bahkan lebih dari laki-laki.
Guru besar FAI Uhamka, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA dalam
perkuliahannya pada matakuliah Tafsir Responsif Gender juga berpendapat bahwa
pembagian warisan antara laki dan perempuan tidak selalu harus lelaki yang paling
banyak mendapatkan warisan. Beliau menjelaskan tentang bagaimana cara agar
perempuan bisa memperoleh bagian yang setara atau bahkan lebih dari laki-laki,
yaitu dengan menggunakan “hibah” dan “wasiat”.
Hibah adalah pemberian harta atau hak milik kepada orang lain secara
sukarela. Jika dengan hibah, maka dilakukan dengan cara pemberian
saudara/keluarga yang laki kepada saudara perempuannya setelah pembagian
warisan sesuai aturan yang Allah SWT tetapkan. Dengan begitu seorang perempuan
tersebut dapat memperoleh warisan lebih besar dari saudara laki-lakinya. Tentu hal
tersebut setelah melalui kesepakatan antar pihak.
Bisa juga dilakukan dengan wasiat, menurut Dr. Budi Sunarso dalam
bukunya Merajut Kebahagiaan Keluarga, wasiat adalah suatu pesan yang
mengandung kebaikan yang akan dijalankan ketika seseorang sudah meninggal
dunia. Maka seorang yang ingin meninggal memberikan wasiat kepada anak
perempuannya sesuai dengan aturan syariat juga tentunya, yaitu tidak lebih dari 1/3
harta yang dimiliki. Dengan begitu, setelah orang yang memberi wasiat tersebut
meninggal, maka pemberian wasiat harus dilakukan dahulu sebelum pembagian
harta waris dari yang meninggal, sehingga si perempuan yang ditinggal tersebut
bisa mendapat harta peninggalan yang lebih banyak dari saudara lakinya.
Menurut Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA pemaknaan suatu kalimat atau kata
memiliki masanya tersendiri, Bahasa qur’an yang dipakai pada ayat tersebut
menyesuaikan dengan kondisi saat itu. Sama seperti pendapat Mahmud Thahâ
bahwa sebelumnya perempuan hanya bagian dari barang warisan, kemudian Islam
datang dan mengangkat perempuan dari objek menjadi subjek, meskipun belum full
capacity. Adapun sekarang, setelah zaman berubah dan pemahaman masyarakat
tentang responsif gender, makna tersebut dapat diubah namun harus tetap kepada
ketentuan syariat yang telah ditetapkan.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa waris merupakan berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syariat. Memiliki unsur-unsur penting yaitu; pewaris, ahli waris, dan
warisan/harta. Beberapa penyebab terjadinya waris diantaranya; kewajiban hukum,
moral, kehendak pewaris, kehendak keluarga, kewajiban agama.
Saat ini masih ada masyarakat patrilineal yang menganggap bahwa anak
laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki
dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya.
Pandangan patriaki tersebut akhirnya memberikan dampak-dampak negatif
dimasyarakat, diantaranya; Kemiskinan, Kehilangan keamanan finansial,
Perempuan menjadi rentan mengalami kekerasan, Pendidikan yang terhambat,
dan Ketidaksetaraan Gender.
Permasalahan yang masih sering terjadi yaitu pembagian 2:1 antara laki dan
perempuan yang masih dirasa tidak adil dalam pembagian harta warisan. Dalam hal
ini para mufasir menjelaskan tentang dasar pembagian warisan 2:1; 1. Pendapat
Subhan, bahwa ayat ini sebenarnya merupakan respons terhadap kondisi sosial yang
berkembang saat itu. Sebagaimana diketahui, perempuan masa itu tidak mempunyai
hak untuk memiliki apa pun yang diberikan kepadanya. Secara historis-sosiologis,
ayat ini sebenarnya bentuk penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan mempunyai
hak untuk mempunyai harta. 2. Islam membebani laki-laki dengan tanggung jawab
dan kewajiban memberi mas kawin bagi isteri dan nafkah bagi keluarga. Sementara
perempuan tidak memiliki kewajiban tersebut.
Namun syariat juga membolehkan harta yang diperoleh perempuan lebih
besar dari laki-laki jika memang keadaannya harus seperti itu (perempuan yang
menanggung beban keluarga), yaitu dengan cara melakukan hibah dan wasiat
kepada perempuan yang ditinggalkannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mudjib. (n.d.). Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa’idul... - Google


Scholar. Retrieved June 26, 2023, from
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=21+Abdul+Mu
djib%2C+Kaidah-Kaidah+Ilmu+Fiqih+%28Al-
Qowa’idul+Fiqhiyyah%29%2C+%28Jakarta%3A+Kalam+Mulia%2C+2001
%29%2C+h.+45&btnG=
Ash-Shabuni, M. (1995). Pembagian Waris Menurut Islam.
https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=hO6WHRiJpdAC&oi=fnd&
pg=PA11&dq=Muhammad+Ali+Ash-
Shabuni+dalam+bukunya+“Pembagian+Waris+Menurut+Islam”&ots=5cpB
wXemHU&sig=NB6NCBtj2xSwwk0c-1Gg_BEpPt8
Nuraeni, N. (2014). TAFSIR AYAT AHKÂM GENDER (Kajian tentang Bagian
Hak Waris dan Kepemimpinan Perempuan). Asy-Syari’ah, 16(1).
https://doi.org/10.15575/as.v16i1.624
Nurfajrina, A. (2023). Pengertian Waris dalam Islam dan Ketahui Dalil hingga
Dasar Hukumnya. https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-
6556793/pengertian-waris-dalam-islam-dan-ketahui-dalil-hingga-dasar-
hukumnya
Palty. (n.d.). Diskriminasi Pembagian Harta Warisan pada Wanita Batak Toba
(Selamat Hari HAM ke-67) Halaman all - Kompasiana.com. Retrieved June
26, 2023, from
https://www.kompasiana.com/paltyzan/566fc8863793737e07df433f/diskrimi
nasi-pembagian-harta-warisan-pada-wanita-batak-toba-selamat-hari-ham-
ke67?page=all
Shihab, S. (n.d.). Pergeseran Wacana Relasi Gender Dalam Kajian Tafsir Di
Indonesia:(Perbandingan Penafsiran ’Abd Al-Rauf. Core.Ac.Uk. Retrieved
June 26, 2023, from https://core.ac.uk/download/pdf/327227329.pdf
Subhan, Z. (2016). Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Cir.Nii.Ac.Jp, 256. https://cir.nii.ac.jp/crid/1130848326314482048
Vela, A. (2015). Pembagian Waris pada Masyarakat Jawa Ditinjau dari Hukum

14
Islam dan Dampaknya. Ejournal.Staidarussalamlampung.Ac …, IV, 67–91.
http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index.php/assalam/article/downl
oad/74/132
Wahyunadi, Z., & Azahari, R. H. (2015). PERUBAHAN SOSIAL DAN
KAITANNYA DENGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 14(2), 166–189.
https://doi.org/10.22373/JIIF.V14I2.328

15

Anda mungkin juga menyukai