Disusun Oleh :
Irkham Fitrah Maulana (2107015014)
Semester / Kelas : 4 / B
Puji dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat
dan hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Prof. Dr. M.
Yunan Yusuf, MA yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami,
dan tidak luput juga kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang
ikut menyumbang pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami memohon maaf kepada bapak dosen Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA
khususnya dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya,
kami mengharap kritik dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua
pembaca demi lebih baiknya makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
2.2 Pandangan dan Sikap Masyarakat yang Masih Keliru terhadap Pewarisan
Harta bagi Perempuan ......................................................................................... 5
2.4 Pembagian Hak Waris menurut Islam dalam kajian Tafsir Responsif
Gender ................................................................................................................. 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
waris perempuan dan pentingnya menerapkan tafsir responsif gender untuk
menciptakan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
pusaka, maupun surat wasiat. Umumnya, pewaris memberikan
harta, kewajiban, ataupun hutang kepada orang lain atau ahli waris.
d. Ahli Waris
Ahli waris merujuk pada sekalian orang yang menjadi waris,
berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris. Ahli waris ini memiliki hak secara hukum untuk menerima
seluruh harta, kewajiban, bahkan hutang yang ditinggalkan pewaris.
e. Mewarisi
Mewarisi merujuk pada makna mendapat harta pusaka, biasanya
segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
f. Proses Pewarisan
Istilah proses pewarisan mempunyai dua makna; 1. Penerusan
atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup, 2.
Pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.
4
e. Kewajiban agama: dalam Islam, terdapat aturan tentang bagaimana
harta warisan harus dibagikan antara ahli waris setelah seseorang
meninggal, dan hal ini dapat memengaruhi keputusan tentang saling
mewarisi.
5
Masih ada juga pandangan dan sikap masyarakat yang keliru terkait
pewarisan harta bagi perempuan, terutama di daerah-daerah yang masih konservatif
dan patriarkal. Beberapa pandangan dan sikap keliru tersebut adalah:
a. Perempuan tidak berhak menerima warisan.
Beberapa masyarakat masih berpikir bahwa pewarisan harta
hanya untuk kaum laki-laki dan tidak untuk perempuan. Hal ini
disebabkan karena adanya konsep bahwa perempuan hanya akan
meninggalkan keluarga setelah menikah, sehingga tidak perlu
diberikan warisan.
b. Perempuan tidak bisa mengelola harta dengan baik
Masyarakat sering menganggap bahwa perempuan kurang bisa
mengelola harta dengan baik dan akan menghabiskan harta warisan
dengan percuma. Namun, kenyataannya perempuan juga bisa
memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan dan
harta.
c. Perempuan yang menerima warisan atau harta dianggap tidak sopan
Pola pikir yang masih konservatif membuat masyarakat masih
memandang negatif perempuan yang menerima warisan atau harta.
Mereka dianggap tidak sopan dan bisa menimbulkan cemoohan dari
masyarakat sekitar.
d. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan dalam pewarisan harta
Di beberapa masyarakat, pewarisan harta masih lebih
mengutamakan kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini
biasanya terjadi pada kasus-kasus tertentu, seperti pengelolaan tanah
warisan atau usaha keluarga. Padahal, hukum dan aturan agama
menentukan bahwa perempuan juga berhak atas harta warisan.
Terkait dengan pandangan dan sikap yang keliru tersebut, maka perlu
dilakukan edukasi dan pembinaan yang intensif kepada masyarakat tentang hak-
hak perempuan dalam pewarisan harta serta bagaimana cara menghindari
diskriminasi dan perlakuan tidak adil dalam pembagian harta warisan. Hal ini
sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan diakui dan dihargai
6
dalam masyarakat dan agar tercipta kesetaraan gender di dalam keluarga dan
masyarakat secara keseluruhan.
Terlebih dalam memaknai sebuah ayat, perlulah kajian yang mendalam
terkait ayat tersebut. Jagan sampai malah menaggap bahwa ketetapan yang Allah
SWT tulis dalam Al-Qur'an tidaklah adil.
7
c. Tidak mendatangkan kemadaratan atau kerusakan serta sejalan dengan
jiwa dan akal sehat yang sejahtera.
d. Perbuatan itu tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Al Qur’an
dan as-Sunnah. (Abdul Mudjib, n.d.)
8
dan aset berharga lainnya. Hal ini merugikan mereka secara finansial
dan memberikan pandangan yang keliru bahwa perempuan tidak setara
dengan pria.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menjamin
bahwa perempuan diberikan hak yang sama dalam hal warisan dan keadilan dalam
pembagian harta warisan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan
merata.
9
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika
dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.” (Qs. An-Nisa' : 11)
‘Abd al-Rauf Singkel menafsirkan penggalan ayat ّٰللاُ فِ ْْٓي ا َ ْو ََل ِد ُك ْم ِللذَّك َِر
ص ْي ُك ُم ه
ِ ي ُْو
مثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنثَيَي ِْن,
ِ yaitu “Disuruhkan Allah ta‘ala kamu pada pekerjaan pusaka segala
anak kamu bagi seorang laki-laki seperti perolehan dua orang perempuan (al-Jawi
t.th., 79 dalam Shihab, n.d.).” Ia menafsirkan sambungan ayat selanjutnya, َفا ِْن ُك َّن
َس ۤا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََرك
َ ِ ن, bahwa jika anak itu seluruhnya perempuan lebih dari
dua orang, maka mereka mendapatkan bagian dua pertiga harta yang telah
ditinggalkan oleh mayit; dan jika hanya ada seorang anak perempuan saja, maka
dia memperoleh bagian separuhnya.
Penafsiran ‘Abd al-Rauf Singkel dalam konteks ini lebih singkat
dibandingkan tafsir al-Jalâlain. ‘Abd al-Rauf Singkel tidak pernah mempersoalkan
pembagian waris 2:1. Boleh jadi ketentuan itu sudah dianggap qath‘î. Ia juga tidak
membahas hikmah di balik itu. Padahal, beberapa mufasir Indonesia telah
membicarakannya (Subhan 2008, 257-258).
M. Quraish Shihab lebih jauh menjelaskan indahnya syariat Islam dalam
soal waris dan menepis kritikan sebagian feminis. Jika dalam konteks formula 2:1
sebagai persoalan juz`î, lalu mana yang disebut M. Quraish Shihab sebagai ushûlî?
Menurutnya, setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan pandangan
dasarnya tentang wujud, alam, dan manusia.
10
Dalam konteks kewarisan, prinsip dasarnya laki-laki dan perempuan adalah
dua jenis manusia yang harus diakui, suka atau tidak suka, berbeda (QS. Ali-Imran,
36). Sangat sulit menyatakan keduanya sama, lewat pembuktian agama maupun
ilmu pengetahuan. “Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia
baru, bukan lelaki bukan pula perempuan”, tegasnya. (Shihab, n.d.)
Menurut (Nuraeni, 2014), ada beberapa argumen atas komposisi kaum
perempuan mendapat hanya setengah dari komposisi kaum laki-laki;
a. Pertama, ayat ini sebenarnya merupakan respons terhadap kondisi
sosial yang berkembang saat itu. Sebagaimana diketahui, perempuan
masa itu tidak mempunyai hak untuk memiliki apa pun yang diberikan
kepadanya. Secara historis-sosiologis, ayat ini sebenarnya bentuk
penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki,
mempunyai hak untuk mempunyai harta, baik melalui warisan, mas
kawin, nafkah dan wasiat. Dengan pemahaman seperti ini, berarti
realitas 2:1 sebenarnya adalah cerminan realitas historis-sosiologis
yang sangat bergantung pada ruang dan waktu. (Subhan, 2016)
b. Kedua, secara teologis, bagian warisan laki-laki dilebihkan dari bagian
perempuan, karena Islam membebani laki-laki dengan tanggung jawab
dan kewajiban memberi mas kawin bagi isteri dan nafkah bagi keluarga.
Sementara perempuan tidak memiliki kewajiban tersebut. Bahkan
mereka akan menerima maskawin dan nafkah dari suaminya.
11
(bertahap), sehingga tidak langsung seratus persen sebagaimana laki-laki. Ini se-
benarnya baru langkah pertama. Suatu saat jika memungkinkan dan dikehendaki,
perempuan bisa mendapatkan sama, bahkan lebih dari laki-laki.
Guru besar FAI Uhamka, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA dalam
perkuliahannya pada matakuliah Tafsir Responsif Gender juga berpendapat bahwa
pembagian warisan antara laki dan perempuan tidak selalu harus lelaki yang paling
banyak mendapatkan warisan. Beliau menjelaskan tentang bagaimana cara agar
perempuan bisa memperoleh bagian yang setara atau bahkan lebih dari laki-laki,
yaitu dengan menggunakan “hibah” dan “wasiat”.
Hibah adalah pemberian harta atau hak milik kepada orang lain secara
sukarela. Jika dengan hibah, maka dilakukan dengan cara pemberian
saudara/keluarga yang laki kepada saudara perempuannya setelah pembagian
warisan sesuai aturan yang Allah SWT tetapkan. Dengan begitu seorang perempuan
tersebut dapat memperoleh warisan lebih besar dari saudara laki-lakinya. Tentu hal
tersebut setelah melalui kesepakatan antar pihak.
Bisa juga dilakukan dengan wasiat, menurut Dr. Budi Sunarso dalam
bukunya Merajut Kebahagiaan Keluarga, wasiat adalah suatu pesan yang
mengandung kebaikan yang akan dijalankan ketika seseorang sudah meninggal
dunia. Maka seorang yang ingin meninggal memberikan wasiat kepada anak
perempuannya sesuai dengan aturan syariat juga tentunya, yaitu tidak lebih dari 1/3
harta yang dimiliki. Dengan begitu, setelah orang yang memberi wasiat tersebut
meninggal, maka pemberian wasiat harus dilakukan dahulu sebelum pembagian
harta waris dari yang meninggal, sehingga si perempuan yang ditinggal tersebut
bisa mendapat harta peninggalan yang lebih banyak dari saudara lakinya.
Menurut Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA pemaknaan suatu kalimat atau kata
memiliki masanya tersendiri, Bahasa qur’an yang dipakai pada ayat tersebut
menyesuaikan dengan kondisi saat itu. Sama seperti pendapat Mahmud Thahâ
bahwa sebelumnya perempuan hanya bagian dari barang warisan, kemudian Islam
datang dan mengangkat perempuan dari objek menjadi subjek, meskipun belum full
capacity. Adapun sekarang, setelah zaman berubah dan pemahaman masyarakat
tentang responsif gender, makna tersebut dapat diubah namun harus tetap kepada
ketentuan syariat yang telah ditetapkan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa waris merupakan berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syariat. Memiliki unsur-unsur penting yaitu; pewaris, ahli waris, dan
warisan/harta. Beberapa penyebab terjadinya waris diantaranya; kewajiban hukum,
moral, kehendak pewaris, kehendak keluarga, kewajiban agama.
Saat ini masih ada masyarakat patrilineal yang menganggap bahwa anak
laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki
dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya.
Pandangan patriaki tersebut akhirnya memberikan dampak-dampak negatif
dimasyarakat, diantaranya; Kemiskinan, Kehilangan keamanan finansial,
Perempuan menjadi rentan mengalami kekerasan, Pendidikan yang terhambat,
dan Ketidaksetaraan Gender.
Permasalahan yang masih sering terjadi yaitu pembagian 2:1 antara laki dan
perempuan yang masih dirasa tidak adil dalam pembagian harta warisan. Dalam hal
ini para mufasir menjelaskan tentang dasar pembagian warisan 2:1; 1. Pendapat
Subhan, bahwa ayat ini sebenarnya merupakan respons terhadap kondisi sosial yang
berkembang saat itu. Sebagaimana diketahui, perempuan masa itu tidak mempunyai
hak untuk memiliki apa pun yang diberikan kepadanya. Secara historis-sosiologis,
ayat ini sebenarnya bentuk penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan mempunyai
hak untuk mempunyai harta. 2. Islam membebani laki-laki dengan tanggung jawab
dan kewajiban memberi mas kawin bagi isteri dan nafkah bagi keluarga. Sementara
perempuan tidak memiliki kewajiban tersebut.
Namun syariat juga membolehkan harta yang diperoleh perempuan lebih
besar dari laki-laki jika memang keadaannya harus seperti itu (perempuan yang
menanggung beban keluarga), yaitu dengan cara melakukan hibah dan wasiat
kepada perempuan yang ditinggalkannya.
13
DAFTAR PUSTAKA
14
Islam dan Dampaknya. Ejournal.Staidarussalamlampung.Ac …, IV, 67–91.
http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index.php/assalam/article/downl
oad/74/132
Wahyunadi, Z., & Azahari, R. H. (2015). PERUBAHAN SOSIAL DAN
KAITANNYA DENGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 14(2), 166–189.
https://doi.org/10.22373/JIIF.V14I2.328
15