Anda di halaman 1dari 47

USUL PENELITIAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP RESOLUSI KONFLIK


KAWASAN HUTAN MELALUI KEMITRAAN KONSERVASI
DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI DUMAI

OLEH :
ERLANGGA LUMBAN TOBING
NIM. 1806110157

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2022
USUL PENELITIAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP RESOLUSI KONFLIK


KAWASAN HUTAN MELALUI KEMITRAAN KONSERVASI
DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI DUMAI

OLEH :
ERLANGGA LUMBAN TOBING
NIM. 1806110157

Diajukan sebagai salah satu syarat


Untuk melaksanakan penelitian

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2022

ii
USUL PENELITIAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP RESOLUSI KONFLIK


KAWASAN HUTAN MELALUI KEMITRAAN KONSERVASI
DI TAMAN WISATA ALAM KOTA DUMAI

Oleh :
ERLANGGA LUMBAN TOBING
NIM. 1806110157

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Nurul Qomar., S.Hut., M.P Kausar, S.Sos., M.Si


NIP.197402281999031000 NIP. 197407122008121002

Mengetahui

Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian

Dr. Nurul Qomar, S.Hut., M.P


NIP. 197402281999031003

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan usul penelitian yang berjudul “Persepsi Masyarakat terhadap Resolusi

Konflik Melalui Kemitraan Konservasi di Taman Wisata Alam Sungai Dumai”.

Penulisan usul penelitian ini tidak luput dari bantuan, bimbingan dan

dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak

Dr. Nurul Qomar, S.Hut., M.P selaku dosen pembimbing I dan bapak Kausar,

S.Sos., M.Si selaku dosen pembimbing II. Ucapan terimakasih juga penulis

ucapkan kepada rekan-rekan yang telah berkontribusi memberikan gagasannya

dalam penulisan usul penelitian ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan penulisan usul penelitian ini. Semoga usul penelitian ini

bermanfaat bagi pembaca sekaligus sebagai pedoman dalam rangka

pengembangan ilmu pengetahuan.

Pekanbaru, Mei 2022

Erlangga Lumban Tobing

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii

I PENDAHULUAN ............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................5

II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................7


2.1 Persepsi Masyarakat ..................................................................................7
2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Hutan.........................................................8
2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi Masyarakat .........................10
2.4 Kawasan Konservasi ...............................................................................12
2.5 Taman Wisata Alam ................................................................................13
2.6 Konflik Tenurial ......................................................................................14
2.7 Resolusi Konflik ......................................................................................17
2.8 Kemitraan Konservasi .............................................................................20
2.8.1 Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat .. 21
2.8.2. Kemitraan Konservasi Pemulihan Ekosistem ............................... 24

III METODOLOGI ...........................................................................................27


3.1 Tempat dan waktu ...................................................................................27
3.2 Bahan dan Alat ........................................................................................27
3.3 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................28
3.4 Jenis Data ................................................................................................29
3.5 Analisis Data ...........................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................32


LAMPIRAN ......................................................................................................34

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tahapan kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat ........22


2. Tahapan pelaksanaan dalam kemitraan konservasi pemulihan ekosistem. .......26
3. Peta kawasan TWA Sungai Dumai ...................................................................27

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Daftar pertanyaan kepada informan ................................................................ 34

vii
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia pada tahun 2017 memiliki kawasan konservasi dengan luasan

yang mencapai 27,14 juta hektar, yang kemudian terbagi menjadi 552 unit

pengelolaan kawasan konservasi. Rincian 552 unit pengelolaan kawasan

konservasi tersebut meliputi 214 cagar alam, 79 suaka margasatwa, 131 taman

wisata alam, 34 taman hutan raya, 11 taman buru, 54 taman nasional, dan 29 unit

kawasan yang masih berstatus kawasan suaka alam (KSA) atau kawasan

pelestarian alam (KPA). Selain itu, telah terbentuk 12 unit kelembagaan kawasan

ekosistem esensial (KEE), yang terdiri dari 6 taman keanekaragaman hayati, 2

KEE mangrove, dan 4 KEE koridor satwa (Statistik Dirjen KSDAE, 2017).

Taman Wisata Alam Sungai Dumai ditunjuk berdasarkan SK Gubernur

KDH Tk I Riau No.85/I/1985 Tanggal 23 Januari 1985 dengan luas kawasan 5

ribu ha dan selanjutnya penetapan kawasan berdasarkan SK.Menhut No.154/Kpts-

II/1990 Tanggal 10 April 1990 dengan luas kawasan 4.712,50 ha. Suatu wilayah

ditetapkan menjadi kawasan TWA berdasarkan beberapa kriteria antara lain (1)

mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa, bentang alam, dan gejala

alam serta formasi geologi yang unik, (2) mempunyai luas yang cukup untuk

menjamin kelestarian potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi

pariwisata dan rekreasi alam, dan (3) kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung

upaya pengembangan pariwisata alam.

Taman Wisata Alam Sungai Dumai merupakan salah satu kawasan

pelestarian alam yang mempunyai potensi objek daya tarik wisata kota Dumai.

Letak Taman Wisata Alam Sungai Dumai ini berada tidak jauh dari pusat Kota
Dumai dan memiliki aksebilitas yang mudah, menjadikan kawasan ini memiliki

kegunaan dan nilai yang sangat tinggi bagi masyarakat Kota Dumai. Namun

dalam pengelolannya cenderung belum optimal dan efektif karena terbentur

berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah permasalahan konflik

tenurial lahan, yang dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk perkebunan kelapa

sawit, perambahan ilegal, dan tempat tinggal/pemukiman yang memicu terjadinya

kebakaran hutan dan lahan. Semua permasalahan ini menjadi bahaya untuk

kondisi dan keberadaan bagi kawasan konservasi.

Konflik perambahan ilegal mengakibatkan hilangnya sekitar 35% dari luas

kawasan konservasi Taman Wisata Alam Sungai Dumai yang sebagian besar

diperuntukkan perkebunan sawit. Tahun 2017-2018 TWA Sungai Dumai juga

terbakar hebat akibat adanya perambahan ilegal (Suharyono, 2018). Konflik-

konflik yang terjadi menunjukkan bahwa keterbatasannya sumberdaya hutan dan

semakin tingginya kebutuhan masyarakat, semakin bertambahnya jumlah

penduduk akan memunculkan konflik-konflik yang mementingkan berbagai

kepentingan terhadap sumber daya hutan.

Selain menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat terhadap kawasan

konservasi, konflik-konflik di atas menunjukkan adanya dilema dalam

pengelolaan kawasan konservasi. Pemerintah atau pengelola harus secara efektif

dan optimal menjamin kehidupan dan kesejahteraan mayarakat di dalam dan di

sekitar kawasan hutan, namun di sisi lain pemerintah atau pengelola membatasi

akses masyarakat terhadap kawasan konservasi untuk menjaga dari fungsi

konservasi tersebut. Pembatasan akses ini tertuang pada Undang-Undang No. 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

2
pada pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan

suaka alam”.

Resolusi konflik harus menjadi perhatian bagi seluruh pihak yang terlibat

dalam pengelolaan kawasan hutan. Resolusi konflik adalah sebuah upaya untuk

menyelesaikan permasalahan secara bersama. Resolusi konflik di kawasan

konservasi dibutuhkan agar terciptanya pengelolaan kawasan yang dapat

melibatkan peran dan memberikan akses bagi masyarakat dalam pemanfaatan

kawasan konservasi. Kemitraan konservasi menjadi salah satu resolusi konflik

pada kawasan konservasi yang tertuang dalam Perdirjen Konservasi Sumber Daya

Alam Ekosistem (KSDAE) No. 6/2018. Proses setelah adanya identifikasi konflik

tenurial yang terjadi di dalam kawasan TWA Sungai Dumai kemudian

diketahuinya areal-areal mana saja yang terkena dan seberapa luas kawasan yang

terkeana konflik, pihak-pihak terkait menentukan solusi konflik tenurial tersebut.

Resolusi konflik yang diprioritaskan di kawasan TWA Sungai Dumai adalah

kemitraan konservasi.

Kemitraan konservasi adalah kerja sama antara unit pengelola kawasan

konservasi dengan masyarakat setempat untuk pemberdayaan masyarakat dan

pemulihan ekosistem. Kemitraan konservasi selain bertujuan melindungi alam

juga mengedepankan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar

kawasan hutan. Kemitraan atau perlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan

bukanlah sebuah konsep baru, perlibatan masyarakat telah menjadi bagian dari

pengelolaan hutan sejak disahkannya UU No. 5 Tahun 1990 yang memuat pada

pasal 4, pasal 10 dan pasal 37. Ketiga pasal tersebut menegaskan bahwa

3
pemerintah dan masyarakat bersama-sama bertanggung jawab atas konservasi

sumber daya alam dan ekosistem. Pemerintah harus melibatkan masyarakat

dalam rehabilitasi kawasan konservasi akibat bencana alam (longsor, erosi,

kebakaran, dan gempa bumi) atau pemanfaatan kawasan konservasi yang tidak

semestinya, namun Kemitraan konservasi yang tertuang pada dalam Perdijen

KSDAE No. 6/2018 dapat dikatakan sebagai terobosan yang dapat menjadi solusi

pada konflik tenurial yang terjadi di kawasan konservasi.

Ada tiga peraturan, yaitu: (a) Permenlhk No. 83/2016, (b) Permenlhk No.

43/2017, dan (c) Permenlhk No. 44/2017, yang mendasari keluarnya Peraturan

Dirjen KSDAE No. 6/ 2018. Semangat perubahan ketiga regulasi tersebut

dipadukan dalam Perdirjen KSDAE No. 6/2018. Semangat perubahan dalam

Perdirjen KSDAE No. 6/2018 antara lain (a) pelibatan masyarakat dimulai dengan

pengusulan kemitraan konservasi, penyusunan rencana kemitraan, pelaksanaan

konservasi, dan pemantauan kemitraan , (b) memposisikan masyarakat sebagai

mitra dan sederajat dalam pengelolaan kawasan konservasi, dan (c) menyusun dua

ruang lingkup kemitraan konservasi, yaitu kemitraan konservasi dalam rangka

pemberdayaan masyarakat dan kemitraan konservasi dalam rangka kemitraan

konservasi.

Sejak lahirnya Perdirjen KSDAE No.6.2018, kawasan TWA Sungai Dumai

untuk kemitraan konservasi pemberdayaan masyarakat setempat telah melakukan

beberapa kali sosialisasi kepada masyarakat yang sudah terlanjur memiliki lahan

perladangan di dalam konservasi seperti, lahan sawit atau lahan yang sudah

terlanjur terbuka. Kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem pihak

TWA Sungai Dumai telah melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yaitu

4
penanaman jenis tanaman kehutanan di lahan bekas terbakar di areal blok

rehabilitasi di Desa Mundam, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai. Secara

keseluruhan program kemitraan konservasi yang sudah ada di TWA Sungai

Dumai hanya satu yakni kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan

ekosistem.

Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan TWA Sungai Dumai yang selama

ini menggunakan lahan di dalam kawasan, seharusnya bisa memanfaatkan

kemitraan konservasi sebagai solusi untuk membuka dan menggunakan lahan

secara aman dengan mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam

Perdirjen KSDAE No.6/2018. Kenyataannya konflik tenurial masih saja terus

terjadi di dalam kawasan TWA Sungai Dumai. Hal ini bisa terjadi karena

kurangnya pendekatan atau sosialisasi terkait kemitraan konservasi, sehingga

pemahaman masyarakat dalam kemitraan konservasi masih sedikit atau bahkan

ada yang tidak mengetahui resolusi konflik melalui kemitraan konservasi.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penelitian yang berjudul “Persepsi

Masyarakat Terhadap Resolusi Konflik Melalui Kemitraan Konservasi di Taman

Wisata Alam Sungai Dumai“ menarik untuk dilakukan.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman keberadaan Taman

Wisata Alam Sungai Dumai.

2. Mengetahui konflik tenurial yang ada di TWA Sungai Dumai.

3. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap resolusi konflik melalui

kemitraan konservasi di TWA Sungai Dumai.

5
4. Mengetahui bentuk-bentuk kemitraan konservasi yang sudah ada dan

yang sedang berjalan di TWA Sungai Dumai.

6
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi Masyarakat

Persepsi berasal dari bahasa Inggris yaitu perception, dan juga berasal dari

bahasa latin percipare yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) persepsi adalah tanggapan

(penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang untuk mengetahui

beberapa hal melalui panca indera. Menurut kamus lengkap psikologi, persepsi

adalah (1) proses mengetahui atau mengenali objek dan peristiwa objektif dengan

bantuan indera, (2) Kesadaran dari proses-proses organik (3) suatu kelompok

penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman dimasa

lalu (4) Kemampuan organisasi untuk membedakan antara rangsangan adalah

variabel yang menghalangi atau mengganggu (5) Persepsi intuitif tentang

kebenaran langsung atau kepercayaan pada sesuatu.

Menurut Walgito (1997), agar individu dapat menyadari dan dapat membuat

persepsi, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut :

a. Adanya objek yang dipersepsikan (fisik).

b. Adanya alat indera/reseptor untuk menerima stimulus (fisiologis).

c. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama dalam mengadakan

persepsi (psikologis).

Berdasarkan definisi tersebut maka pengertian persepsi merupakan

pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh

dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Jalaludin

(1993), persepsi adalah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory

stimuly).
Istilah "masyarakat" mengacu pada sekelompok orang yang hidup bersama

dan terkait dalam suatu tatanan sosial. Persepsi masyarakat adalah suatu proses di

mana sekelompok orang yang tinggal dan bekerja di wilayah yang sama

menanggapi hal-hal yang mereka anggap menarik di lingkungan mereka. Individu

dapat menyadari dan mengerti tentang keadaan diri individu yang bersangkutan

melalui persepsi. Persepsi Masyarakat dapat didefinisikan sebagai respon atau

pemahaman terhadap lingkungan dari kumpulan orang yang saling bergaul dan

berinteraksi karena keyakinan dan standar yang sama (Kartono dan Gulo, 1987).

2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Hutan

Ruhimat (2010) menyatakan bahwa, optimalisasi pemanfaatan dan

pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan

berpegang pada premis bahwa setiap kawasan memiliki nilai. Hutan harus

dikelola sesuai dengan sifat, fungsi, dan karakteristik alamnya. Masalah mendasar

dalam menyelesaikan sengketa pengelolaan hutan adalah menyeimbangkan

kebutuhan banyak pihak, terutama masyarakat lokal, dengan kepentingan

kelestarian hutan dalam jangka panjang.

Masyarakat yang tinggal di dalam hutan, maupun yang mengkonsumsi hasil

hutan secara langsung maupun tidak langsung, membentuk komunitas di sekitar

hutan. Meski jumlah sebenarnya tidak diketahui, namun banyak masyarakat

Indonesia yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan dan menggantungkan mata

pencahariannya. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 691/Kpts II/1992, yang

dimaksud dengan “masyarakat sekitar hutan” adalah pengelompokan masyarakat

yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan. Masyarakat yang tinggal di tepi hutan

dianggap sebagai penyangga semua elemen kehidupan sosial, ekonomi, dan

8
budaya. Sebagian besar masyarakat hutan menggunakan berbagai taktik ekonomi

tradisional, termasuk bertani dan berburu, serta memanen sumber daya hutan

seperti kayu, rotan, madu, dan hasil hutan lainnya (Hardjasoematri, 1985).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Damanik (2017) dengan

judul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumber Daya Hutan Studi

Kasus Tahura Bukit Barisan, Kawasan Hutan Sibayak II, Kabupaten Karo. Salah

satu hasil wawancara yang dilakukan, sebagian masyarakat meyakini bahwa hutan

berfungsi sebagai sumber kayu untuk membangun rumah. Persepsi ini tidak boleh

dilakukan karena membahayakan kelestarian hutan dan dapat digolongkan sebagai

illegal logging, karena dianggap mengurangi fungsi pokok masing-masing

kawasan dan mengakibatkan perubahan keutuhan taman nasional. Hal terebut

tercantum dalam Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka kegiatan illegal logging ini

dapat ditanggulangi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Irawan (2017) dengan judul

penelitian Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat terhadap Keberadaan

Kawasan KPHP Model Poigar, diketahui bahwa secara umum tingkat persepsi

masyarakat Desa Lolan terhadap keberadaan kawasan KPHP Model Poigar adalah

pada kategori baik. Jika dirinci lebih lanjut dari seluruh responden diketahui

bahwa 70% responden berada pada tingkat persepsi baik, sedangkan 30% berada

pada tingkat persepsi sedang. Sebagian besar responden menyatakan bahwa hutan

mampu berpengaruh terhadap kondisi lingkungan serta mampu mencegah

terjadinya bencana alam. Masyarakat Desa Lolan beranggapan bahwa rusaknya

hutan akan berakibat terhadap ketidakseimbangan kondisi alam yang selanjutnya

9
akan berpengaruh pada kebutuhan masyarakat secara langsung, misalnya dalam

hal ketersediaan sumber air. Kegiatan-kegiatan seperti pembukaan lahan dalam

kawasan hutan, penebangan kayu secara ilegal, dan kegiatan pertambangan juga

merupakan kegiatan yang tidak dibenarkan oleh pandangan masyarakat.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa

adanya perbedaan persepsi terhadap keberadaan hutan. Salah satu konflik yang

sering dihadapi dalam permasalahan konservasi adalah perbedaan persepsi yang

berkaitan dengan aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Persepsi yang benar untuk keberadaan hutan dapat menghasilkan dampak positif

dalam mengelola hutan yang baik dan benar sebaliknya jika persepsi yang tidak

benar dapat menimbulkan perrmasalahan yang akan menimbulkan konflik antara

pengguna lahan dan pihak pengelola.

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi Masyarakat

Menurut rahmat (2005), Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi

masyarakat terbagi atas tiga yaitu sebagai berikut :

a) Pengalaman, ketepatan seseorang dalam meningkatkan persepsi akan

dipengaruhi oleh seseorang yang telah memiliki keahlian dalam hal

tertentu. Semakin besar persepsi seseorang maka semakin banyak pula

pengalaman yang dimilikinya dalam bidang tersebut.

b) Motivasi, motivasi individu terhadap informasi berdampak pada bagaimana

dia mempersepsikannya. Seseorang yang sangat termotivasi dan memiliki

harapan yang tinggi untuk sesuatu lebih mungkin untuk memiliki pendapat

yang baik tentang hal itu.

10
c) Kepribadian, dalam psikoanalisis ini disebut sebagai proyeksi, yang

merupakan upaya bawah sadar untuk mengeksternalisasi sensasi subjektif.

Pernyataan lain menurut Thoha (2003), persepsi dipengaruhi oleh:

a) Psikologis, kondisi psikologis seseorang memiliki dampak yang signifikan

terhadap cara melihat sesuatu yang ada didunia ini.

b) Keluarga, keluarga adalah fakta kehidupan dalam masyarakat ini, dan

keturunan mereka mewarisi banyak sikap dan persepsi mereka.

c) Kebudayaan, budaya dan lingkungan masyarakat juga merupakan

pengaruh kuat pada sikap, nilai, dan bagaimana seseorang memandang dan

memahami status dunia. Keluarga memiliki pengaruh paling besar pada

anak-anak. Orang tua yang telah mengembangkan cara unik dalam melihat

dan memahami dunia.

Menurut Walgito dan Bimo (2010), hakikatnya persepsi dapat

mencerminkan suatu interaksi dari proses untuk mencapai tujuan sistem.

Komponen-komponen persepsi dibagi atas tiga macam, yaitu:

a) Komponen kognitif, merupakan komponen yang terdiri dari pengetahuan

atau informasi tentang objek yang dimiliki seseorang. Keyakinan tentang

objek akan terbentuk berdasarkan pengalaman.

b) Komponen afektif, afektif mengacu pada emosi positif dan negatif.

Akibatnya, ia terkait erat dengan nilai-nilai budaya atau sistem nilainya.

c) Komponen konatif, merupakan persiapan seseorang untuk bertindak

sehubungan dengan objek sikapnya.

11
2.4 Kawasan Konservasi

Undang-undang Nomor. 41 Tahun 1999 merumuskan pengertian hutan

adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati

yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut Suhardjito (2000), mengartikan

hutan sebagai ekosistem dengan tutupan pohon yang luas, biasanya terdiri dari

tegakan yang berbeda dalam komposisi spesies, struktur, kelas umur dan proses

terkait, dan umumnya termasuk padang rumput, uap, ikan dan satwa liar.

Peruntukan kawasan hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya menurut

Pasal 1 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dibagi menjadi tiga yaitu hutan

produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan konservasi adalah kawasan

hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Konservasi

keanekaragaman hayati yang diwujudkan dalam bentuk kawasan konservasi

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep pembangunan

berkelanjutan untuk mengelola sumberdaya alam dan ekosistemnya yang meliputi

aspek pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan sehingga bermanfaat dan

mendukung kehidupan manusia. Hermawan (2014) menyatakan bahwa inti dari

kawasan konservasi didasarkan pada kawasan tertentu, tujuan untuk

keanekaragaman hayati membutuhkan pengelolaan ada otoritas pengelolaan untuk

memastikan bahwa upaya konservasi dilaksanakan.

Menurut PP RI No. 28 Tahun 2011 menyebutkan bahwa kawasan

konservasi terdiri dari : (1) Kawasan hutan suaka alam (KSA) adalah kawasan

dengan kenampakan tertentu, baik di darat maupun di air yang berfungsi sebagai

12
kawasan sistem untuk melestarikan keanekaragaman tumbuhan, satwa, dan

ekosistemnya, serta menyediakan penyangga kehidupan. Terdiri dari Suaka

Margasatwa dan Cagar Alam. (2) Kawasan hutan pelestarian alam (KPA) adalah

kawasan dengan kenampakan tertentu, baik di darat maupun di air yang memiliki

sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa, serta pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya secara lestari,

terdiri dari Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman

Nasional (TN).

2.5 Taman Wisata Alam

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dimaksud dengan taman

wisata alam adalah kawasan lindung yang terutama digunakan untuk pariwisata

dan rekreasi. Pasal 31 dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 menyebutkan

bahwa taman wisata alam sebagai suatu kegiatan untuk kepentingan penelitian,

ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta menunjang budidaya dan wisata alam.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian No. 681/KPTSUM/1981 kriteria

taman wisata alam adalah (1) Kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan alam

yang menarik dan indah baik secara alamiah maupun buatan manusia. (2)

memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan terletak dekat pusat-pusat

pemukiman penduduk. Modal dasar dalam pengembangan wisata alam pada

hakekatnya adalah sumberdaya dan tata lingkungan berupa (1) flora, baik jenis

maupun keragamannnya, (2) fauna, baik jenis maupun keragamannya, (3) tata

lingkungan alam yaitu bentuk dari sistem hubungan timbal balik antar unsur

dalam alam baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan saling

13
mempengaruhi, (4) gejala alam yaitu bentuk sumberdaya alam yang dipengaruhi

oleh kondisi fisik bumi, seperti susunan geomorfologi, air terjun, sumber air panas

dan kawah, dan (5) pemandangan alam yaitu bentuk sumber daya alam dan tata

lingkungannya yang ditentukan oleh ciri khasnya.

Taman Wisata Alam (TWA) Sungai Dumai secara geografis terletak di 1

31’-1 38’LU dan 100 31’-101 28’BT dan secara administrasi kehutanan berada di

bawah pengawasan Seksi Konservasi Wilayah IV Bidang KSDA Wilayah II Balai

Besar KSDA Riau. Lokasi TWA Sungai Dumai terbelah menjadi dua bagian

yang diapit oleh beberapa kelurahan antara lain, Kelurahan Mundam Kecamatan

Medang Kampai, Kelurahan Dumai Timur Kecamatan Dumai Timur, Kelurahan

Bukit Datuk dan Kelurahan Bukit Timah Kecamatan Dumai Selatan dan

Kelurahan Gurun Panjang Kecamatan Bukit Kapur (BBKSDA Riau, 2018).

Kawasan Taman Wisata Alam Sungai Dumai ini merupakan hutan hujan

tropis dataran rendah dengan tipe hutan rawa kering. Hutan ini mampu

menghasilkan banyak hal termasuk keanekaragaman hayati serta memiliki peran

yang penting sebagai pencegah perubahan iklim. Nurjaman (2018) menyatakan

bahwa TWA Sungai Dumai adalah kawasan yang diperuntukkan untuk tempat

wisata dan ada beberapa keanekaragaman flora dan faunanya. Keanekaragaman

flora yang ada antara lain kempas dengan capaian tinggi 40-50 m, durian,

bintangur dan meranti dan keanekaragaman fauna antara lain kucin hutan, burung

rangkong, dan trenggiling.

2.6 Konflik Tenurial

Menurut Marina dan Darmawan (2011), Konflik didefinisikan sebagai

perselisihan antara dua pihak atau lebih, baik individu atau kelompok, yang sering

14
dipicu oleh perbedaan nilai, sudut pandang, kegiatan, status, dan kelangkaan

sumber daya alam. Konflik muncul ketika dua pihak atau lebih berkonflik karena

perbedaan sosiokultural, nilai, status, dan kekuasaan, atau persepsi tentang

kepentingan yang bersaing (Fuad dan Maskanah, 2000).

Perubahan sosial budaya yang cepat terhadap cengkeraman dan kehidupan

konvensional dapat menyebabkan konflik, karena orang kehilangan identitas

mereka dan merasa tercabut dari akar budaya mereka, membuat mereka acuh tak

acuh dan melakukan kekerasan (Koentjaraningrat dan Ajamiseba, 1994).

Wirawan (2010) menyebutkan beberapa sumber konflik diantaranya “keterbatasan

sumber, tujuan yang berbeda, interdependensi tugas, keragaman sistem sosial,

deferensiasi organisasi, ambiguitas yurisdiksi, pribadi orang, sistem imbalan yang

tidak layak, komunikasi yang tidak baik dan perlakuan tidak manusiawi”. Konflik

Tenurial

Sengketa yang terkait dengan penguasaan lahan/tanah dan sumber daya

alam disebut konflik tenurial (Sylviani dan Hakim, 2014). Konflik tenurial di

kawasan hutan mengacu pada ketidaksepakatan atas lahan dan pengelolaan

sumber daya, seperti antara pengelola hutan dan masyarakat yang menggunakan

kawasan hutan untuk pemukiman, jalan, sawah, ladang, dan kebun (Dassir, 2008).

Keterbatasan sumber daya hutan menghasilkan konflik dalam pengelolaan sumber

daya hutan, sementara kebutuhan masyarakat terus bertambah. Seiring

bertambahnya populasi manusia, demikian pula beragam kepentingan atas sumber

daya hutan yang sama, yang mengakibatkan perubahan kondisi sosial, budaya,

lingkungan, ekonomi, hukum, dan politik, yang menghasilkan kepentingan dan

persyaratan sumber daya hutan yang baru (Fuad dan Maskanah, 2000).

15
Perambahan hutan, sengketa lahan, konflik perbatasan hutan, dan

penebangan adalah masalah umum dalam pengaturan hutan. Konflik tenurial

tenurial hutan dimaknai sebagai fenomena yang muncul akibat dominasi

pemerintah sebagai pemegang kewenangan, sehingga menimbulkan resistensi

masyarakat. Berbagai kelompok terlibat dalam konflik tenurial hutan, termasuk

pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat.

Pemerintah tertarik untuk melindungi hutan negara, masyarakat tertarik untuk

memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi mereka, bisnis tertarik untuk

menghasilkan uang, dan organisasi non-pemerintah tertarik untuk melestarikan

hak-hak masyarakat (Fisher et al., 2017).

Menurut Fuad dan Maskanah (2000), perselisihan tertutup (laten), macet

(muncul), dan terbuka (manifest) adalah tiga jenis konflik. Lebih lanjut disebutkan

bahwa, tergantung pada beratnya situasi, ada dua jenis konflik: konflik vertikal

dan horizontal. Konflik tenurial di kawasan hutan dapat diklasifikasikan sebagai

konflik masyarakat dengan pemerintah, konflik masyarakat dengan perusahaan,

konflik antara pemegang izin pengelolaan hutan, konflik antar masyarakat, dan

konflik antar pemerintah, tergantung pada tujuan sengketa (Lasmi, 2015).

Menurut Safitri et al. (2011), tipologi konflik kehutanan digolongkan

menjadi beberapa katagori, yakni:

1. Konflik antara masyarakat adat dengan kementerian kehutanan

(pemerintah).

2. Konflik antara masyarakat, kementerian kehutanan dan Badan

Pertanahan Nasional (BPN).

16
3. Konflik antara masyarakat transmigran dengan kementerian kehutanan

dan BPN.

4. Konflik antara petani desa atau pendatang dengan kementerian

kehutanan dan pemerintah daerah.

5. Konflik antara calo tanah, masyarakat petani, dan pemerintah

(kementerian kehutanan dan BPN).

Menurut Dassir (2008), Konflik muncul baik secara lateral maupun vertikal

akibat adanya klaim masyarakat di sekitar pemanfaatan kawasan hutan. Konflik

vertikal terjadi antara masyarakat pengguna kawasan hutan dengan pemerintah

yang melarang pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang

mengelola kehutanan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Konflik

horizontal terjadi antar masyarakat karena tuntutan berdasarkan hak waris dan hak

pengelolaan, sedangkan konflik vertikal terjadi antara masyarakat pengguna

kawasan hutan dengan pemerintah, yang melarang pemanfaatan kawasan hutan

tanpa izin dari instansi yang mengelola kehutanan, baik pemerintah pusat atau

pemerintah daerah. Konflik sumber daya alam biasanya berbentuk konflik vertikal

antara pemerintah dan masyarakat, tetapi bisa juga berupa konflik antar

masyarakat, antar pemerintah, antara pemerintah dengan masyarakat, dan antara

perusahaan dengan masyarakat, tergantung dari berat ringannya masalah.

2.7 Resolusi Konflik

Menurut para ahli yang mempelajari konflik istilah "resolusi konflik" yang

dieja "conflict resolution" dalam bahasa Inggris, memiliki berbagai konotasi.

Resolusi konflik menurut fisher dalam Suhardono, (2015) adalah usaha

menangani sebab-sebab terjadinya konflik dan membangun hubungan yang baru

17
yang bisa bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru. Menurut

Weitzman dalam Suhardono, (2015), ada beberapa pendekatan untuk menangani

konflik yang terkadang juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses,

menggambarkan sebagai berikut:

1. Istilah pencegahan konflik yang bertujuan untuk mencegah timbulnya

konflik yang keras.

2. Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan

melalui suatu persetujuan perdamaian.

3. Pengelolaan konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari

kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak

yang terlibat.

4. Resolusi konflik yaitu kegiatan menangani sebab-sebab konflik dan

berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara

kelompok-kelompok yang bermusuhan.

Menurut Rahmadi (2011) Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan

berbagai cara, antara lain sebagai berikut:

a. Negoisasi adalah diskusi langsung antara dua pihak atau lebih yang terlibat

dalam suatu perselisihan tanpa kehadiran pihak lain digunakan untuk

menyelesaikan konflik tersebut. Tujuan ini seharusnya menghasilkan

keputusan yang diterima dan diikuti secara sukarela.

b. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau konflik antara

dua pihak atau lebih dengan cara merundingkan atau mencapai

kesepakatan dengan bantuan pihak ketiga yang netral yang tidak

mempunyai kekuasaan untuk memutuskan kesimpulan masalah tersebut.

18
c. Arbitrasi merupakan proses penyelesaian antara para pihak dengan

meminta bantuan pihak ketiga yang netral dengan otoritas pengambilan

keputusan. Para pihak yang dirugikan mengajukan gugatan di pengadilan

terhadap pihak yang menyebabkan kerugian tersebut. Putusan arbitrase

dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Para arbiter dipilih

berdasarkan preferensi para pihak yang berkonflik.

d. Litigasi merupakan sistem hukum digunakan untuk menyelesaikan

perselisihan. Pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke

pengadilan. Putusan litigasi bersifat mengikat, dan persidangan akan

dipimpin oleh pihak lawan, yang akan memutuskan kasus tersebut.

Menurut Nenytriana (2019), secara garis besar resolusi konflik tenurial

kawasan hutan terbagi menjadi dua yaitu:

1. Sebelum sebidang tanah ditetapkan sebagai kawasan hutan, tanah tersebut

harus memiliki penguasaan tanah. Bidang tanah akan dihapus dari

kawasan hutan dengan memodifikasi batas kawasan hutan, menyelesaikan

konflik untuk "Penguasaan tanah sebelum bidang tanah diklasifikasikan

sebagai kawasan hutan."

2. Penguasaan tanah setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan

hutan. Terdapat empat resolusi konflik untuk penguasaan tanah setelah

bidang tanah tersebut ditunjuk kawasan hutan yaitu:

 Mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan

batas kawasan hutan

 Tukar menukar kawasan hutan

19
 Memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan

sosial

 Melakukan resettlement (pemindahan penduduk dari kawasan hutan ke

luar kawasan hutan).

2.8 Kemitraan Konservasi

Kemitraan dapat didefinisikan sebagai semacam kerjasama antara pihak-

pihak yang mendapat manfaat dari upaya satu sama lain untuk mencapai tujuan

yang sama. Saling percaya, saling menguntungkan, dan gotong royong

merupakan nilai-nilai yang hadir dalam pengertian kemitraan ini. Konsep

kemitraan adalah sebuah konsep kerjasama yang memfokuskan pada aspek

“caring” yang saling memberikan empati dan perhatian pada mitra sehingga

menghasilkan kebermanfaatan dan keuntungan (Surono, 2008).

Kemitraan konservasi bertujuan untuk memprioritaskan tidak hanya

perlindungan lingkungan, tetapi juga pengembangan dan pemberdayaan populasi

yang tinggal di dekat kawasan hutan. Kemitraan konservasi sendiri dalam

Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem

Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan

Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dimaknai

sebagai kerja sama antara kepala unit pengelola kawasan atau pemegang izin pada

kawasan konservasi dengan masyarakat setempat berdasarkan prinsip saling

menghargai, saling percaya, dan saling menguntungkan (Prayitno, 2020).

Kemitraan konservasi terbagi dalam dua kategori, kemitraan konservasi

yang memberdayakan masyarakat lokal dan kemitraan konservasi yang

memulihkan ekosistem. Masyarakat dalam kemitraan pemberdayaan, akan

20
diarahkan pada blok pemanfaatan berdasarkan aksesibilitas, kesejahteraan

masyarakat, dan potensi sumber daya hutan atau air bukan kayu yang tidak

dilindungi. Kemudian ada kolaborasi konservasi restorasi ekosistem, yang

tujuannya berkolaborasi dalam restorasi hutan (Mutiono, 2020).

2.8.1 Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat

Sasaran mitra untuk program kemitraan konsevasi dalam rangka

pemberdayaan masyarakat dapat berupa perseorangan masyarakat, kelompok

masyarakat atau pemerintah desa. Adapun persyaratan bagi perseorangan atau

kelompok masyarakat yang harus dimiliki sebagai calon mitra adalah sebagai

berikut (Perdirjen KSDAE Nomor : P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018) :

1. Kartu tanda penduduk atau surat domisili atau surat dari pihak berwenang

yang membuktikan bahwa yang bersangkutan tinggal di sekitar KSA atau

KPA.

2. Bagi mitra yang berasal dari lintas desa, diberikan keterangan oleh camat

atau lembaga adat setempat.

3. Mempunyai mata pencaharian pokok bergantung pada KSA dan atau

KPA.

4. Mempunyai potensi pengembangan usaha padat karya secara

berkelanjutan.

5. Berbentuk kelompok masyarakat setempat.

21
Gambar 1. Tahapan kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan
Masyarakat

PERSIAPAN USULAN RENCANA


KEGIATAN
• Invent-Ident lokasi, potensi,
masyarakat
Pengajuan Permohonan
• Pengkajian karakter karakteristik
(proposal dan peta lokasi)
lokasi
• Fasilitasi pembentukan kelompok
• Penguatan kelembagaan

PERUMUSAN DAN PENANDATANGANAN PENILAIAN DAN PERSETUJUAN


PerPERSETUJUAN
• Perumusan PKS • Penilaian proposal dan
• Penandatanganan PKS, RPP dan verifikasi lapangan
RKT
• Lapor Dirjen • Penerbitan persetujuan

(Sumber : Peraturan Dirjen KSDAE Nomor : P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018)

Tahap persiapan meliputi inventarisasi dan identifikasi karakteristik lokasi,

penentuan dan penetapan arah pengelolaan dan pemanfaatan, pengkajian

karakteristik lokasi, memfasilitasi pembentukan kelompok dan penguatan

kelembagaan kelompok. Calon mitra pada tahap usulan rencana kegiatan,

mengajukan usulan rencana kegiatan memuat organisasi kelompok masyarakat,

lokasi dilengkapi peta lokasi, jenis yang dimanfaatkan, dan waktu pemanfaatan.

pengelola UPT menerbitkan persetujuan hal usulan memenuhi syarat. Usulan

yang telah disetujui, dirumuskan dan dituangkan dalam perjanjian kerja sama

yang ditandatangani oleh Kepala UPT dengan kelompok masyarakat dan

dilaporkan kepada Direktur Jenderal. Kerja sama dengan jangka waktu sampai

lima tahun ditindak lanjuti dengan penyusunan rencana pelaksanaan program

sepanjang jangka pelaksanaan kerja sama dan dijabarkan dalam rencana kerja

22
tahunan setiap tahunnya. Waktu kerja sama dapat diperpanjang berdasarkan hasil

evaluasi (Mutino, 2020).

Persyaratan calon mitra pemberdayaan masyarakat antara lain (Perdirjen

KSDAE Nomor : P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018) :

 Membentuk kelompok berdasarkan data keanggotaan berdasarkan KTP

atau identitas kependudukan atau surat keterangan domisili yang disahkan

oleh aparat desa setempat.

 Jumlah anggota untuk setiap kelompok maksimal 50 KK dan disahkan

oleh pemerintah desa setempat.

 Membuat peraturan kelompok yang mengatur tentang nilai-nilai

kelompok, tujuan kelompok, hak dan kewajiban kelompok sesuai dengan

kearifan lokal masyarakat setempat.

Mitra konservasi berhak mengakses koleksi hasil hutan bukan kayu,

budidaya tradisional, perburuan tradisional, pemanfaatan sumber daya perairan,

dan jasa wisata alam terbatas, serta fasilitas pembentukan kelompok dan

penguatan kelembagaan kelompok, pada saat melakukan kemitraan konservasi

dalam rangka pelestarian alam. memberdayakan masyarakat lokal. Mitra

konservasi bertanggung jawab mengikuti kesepakatan kerjasama, pembibitan atau

pembudidayaan HHBK yang dikumpulkan di dalam atau di luar KSA atau KPA

melalui pengembangan pembibitan kelompok, tidak menebang pohon, melindungi

kawasan kemitraan dari gangguan luar seperti kebakaran, perburuan, perampasan

tanah, penambangan, dan gangguan lainnya, serta melaporkan setiap gangguan

kepada UPT Pengelola Kawasan. UPT memberikan bantuan untuk kegiatan yang

23
dipermasalahkan sebagai bagian dari dukungannya terhadap inisiatif kemitraan

(Mutiono, 2020).

2.8.2. Kemitraan Konservasi Pemulihan Ekosistem

Ekosistem yang rusak di KSA dan KPA dapat dilakukan kerjasama konservasi

dalam rangka restorasi ekosistem. Kekuatan alam seperti bencana alam seperti

kebakaran, spesies yang menyerang, dan aktivitas manusia semuanya dapat

merusak ekosistem. Kemitraan konservasi restorasi ekosistem dibentuk dengan

maksud untuk memulihkan jasa ekosistem secara bertahap sehingga kembali ke

keadaan semula atau memenuhi tujuan pengelola. Kemitraan konservasi restorasi

ekosistem berlokasi di kawasan rehabilitasi taman nasional atau blok rehabilitasi

suaka margasatwa, taman hutan raya, taman wisata alam, atau kawasan rusak

lainnya, bukan pada kawasan jelajah satwa yang dilindungi atau habitat satwa

yang dilindungi (Perdirjen KSDAE Nomor : P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018).

Adapun masyarakat calon mitra pemulihan ekosistem wajib memiliki

persyaratan sebagai berikut (Perdirjen KSDAE Nomor :

P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018) :

1. Kartu tanda penduduk atau surat domisili atau surat dari pihak berwenang

yang membuktikan bahwa yang bersangkutan tinggal di sekitar areal.

2. Bagi mitra yang berasal dari lintas desa, diberikan keterangan oleh camat

atau lembaga adat setempat.

3. Mempunyai mata pencaharian pokok bergantung pada lahan garapan.

4. Mempunyai potensi untuk pengembangan usaha padat karya secara

berkelanjutan.

24
5. Masyarakat di dalam kawasan konservasi sebagai penggarap dibuktikan

dengan areal garapan sebelum ditunjuk atau ditetapkan kawasan

konservasi berupa tanaman kehidupan berumur paling sedikit 20 tahun.

Ketentuan dalam pelaksanaan kemitraan konservasi dalam rangka

pemulihan ekosistem adalah sebagai berikut:

1. Mitra menandatangani pernyataan pengakuan bahwa areal yang dipulihkan

adalah KSA atau KPA dan tidak memperluas areal garapan.

2. Tujuan kemitraan untuk memulihkan ekosistem KSA atau KPA.

3. Jangka waktu kemitraan maksimal 10 tahun atau satu daur dan dapat

diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.

4. Melakukan pemulihan ekosistem secara bertahap.

5. Mitra konservasi berbentuk kelompok atau lembaga. Adanya jaminan

untuk beralih mata pencaharian atau ketergantungan pada kawasan

konservasi.

25
Gambar 2 Tahapan pelaksanaan dalam kemitraan konservasi pemulihan
ekosistem.
INVENTARISASI DAN RENCANA KEGIATAN
IDENTIFIKASI

1.Lokasi,Jenis tanaman, 1. Lokasi


Identifikasi penggarap 2. Calon mitra
2. Motif Penggarapan 3. Metode Pelaksanaan
3. Cara mendapatkan garapan 4.Jangka waktu
5. Pembiyaan

PENYUSUNAN NASKAH KESEPAKATAN

DILAKSANAAN
NASKAH KERJASAMA
MUSYAWARAH
DILAPORKAN KE DIRJEN

(Sumber : Peraturan Dirjen KSDAE Nomor : P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018)

Melalui studi diagnostik atau penelitian etnografi, kemitraan konservasi

restorasi ekosistem dimulai dengan inventarisasi dan penilaian kerusakan

ekosistem yang disebabkan oleh tindakan manusia di wilayah kerjanya.

Inventarisasi dan identifikasi tersebut meliputi lokasi dan tingkat kerusakan

ekosistem, jenis tanaman, identitas pembudidaya, motivasi budidaya, cara

memperoleh areal garapan, tingkat ketergantungan pembudidaya terhadap lahan,

riwayat dan bentuk interaksi masyarakat dengan KSA atau KPA, serta lahan dan

sistem kepemilikan sumber daya. Persepsi dan nilai KSA atau KPA, serta

persepsi dan nilai masyarakat. Rencana kerjasama dibangun dalam rangka

restorasi ekosistem berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi. Lokasi, calon

mitra, strategi, implementasi, waktu kemitraan, dan pembiayaan adalah semua

elemen dari strategi kemitraan (Mutiono, 2020).

26
III METODOLOGI

3.1 Tempat dan waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Wisata Alam Sungai Dumai, Kota

Dumai, Provinsi Riau. Alasan memilih dilokasi ini karena kawasan TWA Sungai

Dumai termasuk kawasan konservasi yang sedang menggalakkan kemitraan

konservasi sebagai resolusi konflik. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan

dimulai pada bulan Juni hingga bulan Juli 2022.

Gambar 3. Peta kawasan TWA Sungai Dumai


(Sumber: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA))

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta penelitian dan

dokumen-dokumen terkait dengan penelitian yang didapat dari pemerintah atau

instansi terkait. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar
pertanyaan sebagai panduan dalam wawancara, alat rekam untuk wawancara,

kamera untuk dokumentasi saat penelitian dilakukan, dan alat tulis.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a) Obervasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

mengadakan pengamatan secara langsung terhadap objek yang akan

diteliti. Adapun objek yang diteliti adalah masyarakat yang ada di

sekitaran Taman Wisata Alam Sungai Dumai di Kota Dumai, Provinsi

Riau.

b) Wawancara, kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi

langsung dari berbagai pihak melalui daftar wawancara yang diajukan

kepada informan. Penentuan informan pada penelitian ini dengan cara

Snowball Sampling. Teknik Snowball Sampling merupakan teknik

pengambilan sampel dalam penelitian yang memiliki hubungan secara

terus menerus dalam suatu jaringan. Teknik Snowball Sampling dapat

menemukan sampel yang sulit ditemukan terkait data yang lebih spesifik

melalui keterkaitan hubungan dalam suatu jaringan, apabila informasi

sudah memenuhi kebutuhan penelitian maka akan dihentikan pengambilan

sampel (Nurdiani, 2014).

Adapun informan kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah

masyarakat yang memiliki lahan dan yang terlibat konflik tenurial di

dalam kawasan TWA Sungai Dumai dan pihak pengelola kawasan TWA

Sungai Dumai. Apabila informasi yang didapatkan belum cukup maka

dapat menanyakan kepada key informan yang telah diwawancarai untuk

28
merekomendasikan siapa saja yang dapat memberikan informasi tambahan

yang dibutuhkan sesuai dengan kriteria infoeman yang telah ditetapkan..

c) Studi literatur, yaitu data ini diperoleh dengan mempelajari literatur,

laporan, karya ilmiah, hasil penelitian, dan sumber-sumber lain yang

berhubungan dengan penelitian.

3.4 Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder

sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari hasil observasi dan

wawancara langsung kepada informan. Data primer terdiri atas :

a) Karakteristik responden meliputi nama, umur, pendidikan dan mata

pencarian.

b) Persepsi masyarakat terhadap TWA Sungai Dumai dan kemitraan

konservasi

c) Konflik tenurial yang terjadi di TWA Sungai Dumai

d) Jenis-jenis kemitraan yang sudah ada di TWA Sungai Dumai dan yang

masih berjalan

b. Data Sekunder

Data sekunder berupa data tambahan yang diperoleh dari pengumpulan

yang menunjang data primer sehingga lebih cepat dicari dari berbagai sumber.

Data sekunder diperoleh dari studi literatur yang relevan dengan objek kajian yang

menunjang penelitian (Purhantara, 2010). Data sekunder yang diambil adalah

29
data yang diperlukan sebagai penunjang dalam penelitian ini, yaitu keadaan umum

lokasi yang meliputi keadaan fisik lokasi penelitian serta data penunjang yang

diperoleh dari sumber yang terkait yakni instansi-instansi yang berkaitan dengan

penelitian.

3.5 Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori dan satuan urai dasar. Tujuan analisis adalah untuk

menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan

diimplementasikan. Peneliti menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dalam

penelitian ini. Metode deskriptif kualitatif adalah proses menganalisis,

menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi tergantung pada data

yang dikumpulkan dari wawancara atau pengamatan tentang masalah yang diteliti.

Penelitian deskriptif kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau

keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian

dilakukan untuk menganalisis data supaya bisa dijadikan dalam bentuk deskripsi

maka dilakukan langkah-langkah berikut (Rohidi dan Rohendi, 1992):

1. Reduksi data

Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara

sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Peneliti mengolah

data dari teori-teori untuk mendapatkan kejelasan pada masalah, baik data yang

terdapat di lapangan maupun yang terdapat pada kepustakaan. Data dikumpulkan

dan dipilih secara selektif dengan disesuaikan pada permasalahan yang diangkat

dalam penelitian. Kemudian dilakukan pengolahan dengan meneliti ulang data

30
yang didapat, apakah data tersebut sudah cukup baik dan dapat segera

dipersiapkan untuk proses selanjutnya.

2. Display data

Display data adalah penyajian dan pengorganisasian data ke dalam satu bentuk

tertentu sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Penulis melakukan

penyajian data secara induktif, yakni menguraikan setiap permasalahan dalam

pembahasan penelitian ini dengan cara pemaparan secara umum kemudian

menjelaskan dalam pembahasan yang lebih spesifik.

3. Menarik kesimpulan

Langkah selanjutnya dalam menganalisis data kualitatif adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi, setiap kesimpulan awal yang sudah ada masih bersifat

sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung

pada tahap pengumpulan data berikutnya. Upaya penarikan kesimpulan yang

dilakukan peneliti secara terus-menerus selama berada di lapangan. Setelah

pengumpulan data, peneliti mulai mencari arti penjelasan-penjelasan.

Kesimpulan-kesimpulan itu kemudian diverifikasi selama penelitian berlangsung

dengan cara memikir ulang dan meninjau kembali catatan lapangan sehingga

terbentuk penegasan kesimpulan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Damanik, R. N., O. Affandi, dan L. P. Asmono. 2014. Persepsi dan partisipasi


masyarakat terhadap sumber daya hutan (Studi Kasus Tahura Bukit
Barisan, Kawasan Hutan Sibayak II, Kabupaten Karo). Peronema Forestry
Science Journal. 3(2): 1–9.

Dassir, M. 2008. Resolusi konflik pemanfaatan lahan masyarakat dalam kawasan


hutan di Kabupaten Luwu Timur. Jurnal Hutan dan Masyarakat. III (1):
1–9.
Fisher, L., Y. Kim, S. Lattifah, dan M. Makarom, M. 2017. Managing Forest
Conflict : Perspectives of Indonesia’s Forest Management Unit Directors.
Forest and Society 1 (1) : 8–26.
Hardjasoemantri, K. 1985. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Irawan, A., I. Iwanuddin, J. E. Halawane, dan S. Ekawati. 2017. Analisis persepsi
dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP model
poigar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 14(1): 71–82.
Jalaludin, R. 1993. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Penerbit PT. Remaja
Rosodakarya. Bandung.
Kartono, K dan D. Gulo 1987. Kamus Psikologi. Pionerjaya. Bandung.
Koentjaraningrat dan D. Ajamiseba. 1994. Reaksi Penduduk Asli terhadap
Pembangunan dan Perubahan dalam Irian Jaya Membangun. Djambatan.
Jakarta.
Lasmi, S. 2015. Penanganan Konflik Tenurial dan Skema Pemberdayaan
Masyarakat di dalam Kawasan Hutan. Jakarta.
Mutiono, S. 2020. Mengenal Kemitraan Konservasi. https://bbksda-
papuabarat.com/mengenal-kemitraan-konservasi/. Diakses 27 februari
2022.
Nenytriana. 2019. Resolusi Konflik Tenurial Hutan.
https://nenytriana.wordpress.com/2019/05/19/resolusi-konflik-tenurial-
hutan/. Diakses 29 Maret 2022.
Nurdiani, N. 2014. Teknik sampling snowball dalam penelitian lapangan.
ComTech: computer. Mathematics and Engineering Applications Journal.
5(2): 1110–1118.
Nurjaman. 2018. Yuk Kenali TWA Sungai Dumai.
https://www.riauonline.co.id/riau/kota-pekanbaru/read/2018/09/05/yuk-
kenali-twa-sungai-dumai-lokasi-ibu-ibu-padamkan-karhutla. Diakses 5
april 2022.

32
Prayitno, D. E. 2020. Kemitraan konservasi sebagai upaya penyelesaian konflik
Tenurial dalam Pengelolaan Kawasan. Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia. 6(2): 184-209.
Purhantara, W. 2010. Metode Penelitian Kualitatif untuk Bisnis. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Rahmadi, T. 2011. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Rajawali Pers. Jakarta.
Rahmat. 2005. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi Masyarakat. Universitas
Sumatera Utara.
Rohidi dan Rohendi, J. 1992. Analisis data Kualitatif. UI Press. Jakarta.
Ruhimat, I. S. 2010. Implementasi kebijakan kesatuan pengelolaan hutan (KPH)
di Kabupaten Banjar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 7(3): 169–
178.
Safitri, M. A., M. A. Muhshi, M. Muhajir, M. Shohibuddin. Y. Arizona. M. Sirait,
G. Nagara, dan H. Santoso. 2011. Menuju Kepastian dan Keadilan
Tenurial. Epistema Institut. Jakarta.
Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Pustaka Setia. Jakarta
Suhardjito, D. 2000. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pustaka Jaya.
Jakarta.
Suhardono, W. 2015. Konflik dan resolusi. Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I. 2(1):
1–17.
Suharyono. 2018. Deklarasi Penyelamatan TWA Sungai Dumai.
https://www.antaranews.com/berita/2046150/bbksda-riau-inisiasi-
deklarasi-penyelamatan-twa-sungai-dumai. Diakses 27 Febuari 2022.
Surono, A. 2008. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif
Kemitraan. Universitas Al-Azhar Indonesia. Jakarta.
Sylviani dan I. Hakim. 2014. Analisis tenurial dalam pengembangan kesatuan
pengelolaan hutan (KPH): studi kasus KPH Gedong Wani Provinsi
Lampung. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Hutan. 11(4): 309–322.
Thoha, M. 2003. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Walgito dan Bimo. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Andi Offset. Yogyakarta.
Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik. Salemba Humanika. Jakarta

33
LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar pertanyaan kepada informan

PANDUAN WAWANCARA PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP


RESOLUSI KONFLIK KAWASAN HUTAN MELALUI KEMITRAAN
KONSERVASI DI TAMAN WISATA ALAM KOTA DUMAI

A. IDENTITAS INFORMAN

Nama :

Jenis kelamin :

Umur :

Status/Perkawinan :

Pekerjaan :

Pendidikan Terakhir :

Alamat :

B.DAFTAR PERTANYAAN

a) Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan TWA Sungai Dumai


1. Apa yang anda ketahui tentang TWA Sungai Dumai?

Jawaban :
…………………………………………………………………………………
……………………………………………………………

2. Apakah bapak/ibu tahu bahwa kawasan ini merupakan kawasan konservasi?

a. Tahu, dari mana?

…………………………………………………………………………………
……………………………………………………………

b. Tidak tahu

34
2. Apa fungsi TWA Sungai Dumai menurut bapak/ibuk/saudara ?

Jawaban………………………………………………………………………
………………………………………………………………………

3. Apakah ada manfaat yang bapak/ibu rasakan dengan adanya TWA Sungai
Dumai ? Apa saja ?

Jawaban………………………………………………………………………
……………………………………………………………………….

4. Jika TWA ini habis/rusak apa akibatnya menurut bapak/ibuk/saudara?

Jawaban:………………………………………………………………………
……………………………………………………………………….

5. Menurut bapak/ibuk apakah pengamanan kawasan secara rutin perlu


dilakukan di kawasan TWA Sungai Dumai ?

Jawaban:………………………………………………………………………
……………………………………………………………………….

b) Konflik Tenurial di Kawasan TWA Sungai Dumai

1. Apakah ada dilakukan sosialisasi tentang pemanfaatan kawasan hutan TWA


Sungai Dumai ? Siapa dan kapan dilakukan?

Jawaban…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

2. Apakah bapak/ibu ada memanfaatkan kawasan TWA Sungai Dumai ?


digunakan untuk apa?

Jawaban…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

35
3. Berapa luas lahan yang bapak/ibu manfaatkan?

Jawaban…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

4. Sejak kapan bapak/ibu memanfaatkan kawasan TWA Sungai Dumai?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

5. Bagaimana cara bapak/ibu mendapatkan lahan tersebut?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

6. Apakah lahan yang bapak/ibu miliki sekarang ini memiliki status


kepemilikan yang legal?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

7. Jika status lahan yang bapak/ibu miliki ini legal apa bukti kepemilikan
lahan yang anda miliki?

Jawab…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

8. Adakah konflik tenurial yang bapak/ibu rasakan selama memanfaatkan


lahan tersebut ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

9. Sejak kapan konflik tenurial itu terjadi ?

Jawab…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

10. Siapa saja yang terlibat dalam konflik tenurial tersebut ?

Jawab…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

36
11. Apa saja langkah langkah yang dilakukan pihak TWA Sungai Dumai
dalam mengatasi konflik tenurial?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

c) Persepsi Masyarakat terhadap kemitraan konservasi

1. Apakah bapak/ibu tahu jika ingin memanfaatkan kawasan TWA Sungai


Dumai harus menggunakan izin?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

2. Apakah ada solusi yang ditawarkan pengelola kepada bapak/ibu dalam


memanfaatkan kawasan TWA Sungai Dumai? Jika ada, solusi apa ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

3. Apakah pernah bapak/ibu mengikuti sosialisasi tentang kemitraan konservasi


yang dilakukan oleh pengelola?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

4 Apa saja yang bapak/ibuk/saudara ketahui tentang Kemitraan Konservasi di


TWA Sungai Dumai ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

5.Jika tahu, kapan dan dari mana bapak/ibu/saudara tentang kemitraan


konservasi ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

37
6. Bagaimana pendapat bapak/ibu/saudara terhadap syarat yang harus dipenuhi,
seperti KTP hingga membentuk suatu kelompok tani untuk mengajukan
kemitraan konservasi ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

7.. Apakah bapak/ibu/saudara bersedia mengikuti proses perijinan kemitraan


konservasi yang cukup panjang, dan apa alasan jika bersedia dan tidak
bersedia ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

8. Menurut bapak/ibu apakah kemitraan konservasi ini menjadi angin segar


untuk solusi bapak/ibuk dalam memanfaatkan kawasan TWA Sungai Dumai?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

d) Jenis jenis kemitraan konservasi di TWA Sungai Dumai

D. IDENTITAS INFORMAN

Nama :

Jenis kelamin :

Umur :

Jabatan :

Alamat :

1. Apa saja bentuk kemeitraan konservasi yang direncanakan dan atau sedang
dilakukan oleh pihak TWA Sungai Dumai dalam mengatasi konflik tenurial?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

38
2. Bagaimana cara pendekatan pihak pengelola TWA Sungai Dumai dengan
masyarakat untuk pelaksanaan kemitraan konservasi?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

3. Sejak kapan pihak pengelola TWA Sungai Dumai aktif melakukan


kemitraan konservasi?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

4. Sudah ada berapa jenis kemitraan konservasi yang sudah selesai atau
sedang berjalan di TWA Sungai Dumai?

Jawaban…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

5. Bagaimana tata cara pengajuan program kemitraan konservasi oleh


masyarakat ?

Jawaban…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

6. Apakah ada administrasi yang harus dibayarkan dalam pengajuan kemitraan


konservasi ? Kalau ada, berapa jumlahnya dan dikasih kesiapa?

Jawaban…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

7. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk pengajuan kemitraan konservasi?

Jawaban…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….

8. Ada berapa banyak masyarakat yang terlibat dalam kemitraan konservasi di


TWA Sungai Dumai?

39
Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

9. Apakah gender menjadi masalah untuk masyarakat yang ingin mengajukan


kemitraan konservasi ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

10. Bagaimana sistem pembagian penghasilan dari jenis program kemitraan


konservasi yang sudah ada di TWA Sungai Dumai ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

11. Apa saja hambatan dalam melakukan kemitraan konservasi ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

12. Bagaimana pendampingan yang dilakukan TWA Sungai Dumai kepada


masyarakat yang mengajukan kemitraan konservasi hingga selesai program
kemitraan konservasi ?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

13. Apakah pihak pengelola TWA Sungai Dumai yakin bisa meminimalisir
konflik lahan dengan kemitraan konservasi tersebut?

Jawab……………………………………………………………………………
………………………………………………………………….

40

Anda mungkin juga menyukai