EKO WIRATMOKO
MAPD 30.2606/KELAS B
Pengertian kebijakan publik dewasa ini begitu beragam, namun demikian tetap
saja pengertian kebijakan publik berada dalam wilayah tentang apa yang dilakukan
dan tidak dilakukan oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan. Untuk
mempermudah memahami makna kebijakan publik, beberapa pendapat para ahli
diantaranya: Bridgman dan Davis (2004), Hogwood dan Gunn (1990). Menurut
Thomas R. Dye, kebijakaan publik tidak lebih dari pengertian mengenai “ Whatever
government choose to do or not to do “. Menurut Hogwood dan Gunn, kebijakan
publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-
hasil tertentu. Carl Friedrich (1969) pada buku Leo Agustino yang berjudul Dasar-
Dasar Kebijakan Publik (2008:7) yang mengatakan bahwa:
a. William N. Dunn
Proses pembuatan kebijakan merupakan aktifitas/ kegiatan yang bersifat
politis dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang salin
bergantung yang diatur menurut urutan waktu.
1
Fase Karakteristik Ilustrasi
Penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih Pemerintah menyiapkan
dan diangkat rancangan kebijakan
menempatkan masalah penenggelaman kapal
pada agenda publik. asing yang melakukan
Banyak masalah tidak illegal fishing dan
disentuh sama sekali, mencuri di wilayah
sementara lainnya perairan Indonesia,
ditunda untuk waktu yang moratorium izin kapal
sangat lama. dan pelarangan
penggunaan alat tangkap
yang merusak
ekosistem..
Formulasi kebijakan Para pejabat Untuk mengatasi
merumuskan alternatif permasalahan publik
kebijakan untuk terkait kenaikan harga
mengatasi masalah. ikan di pasaran yang
Alternatif kebijakan membuat masyarakat
melihat perlunya mulai resah, Pendapatan
membuat perintah Negara yang tidak efisien
eksekutif, keputusan dibandingkan dengan
peradilan dan tindakan potensi alam yang dimiliki
legislatif. serta kerusakan
ekosistem laut, maka
para pembuat kebijakan/
stakeholder mengambil
alternative melalui
pembahasan yang
panjang yaitu:
Penenggelaman kapal
asing, Moratorium izin
kapal, Pelarangan
transhipment/ bongkar
2
muatan di tengah laut.
Adopsi kebijakan Alternatif kebijakan yang Dalam keputusan
diadopsi dengan Mahkamah Agung pada
dukungan dari mayoritas kasus Roe V. Wade
legislatif, consensus tercapai keputusan
diantara direktur lembaga mayoritas bahwa wanita
atau keputusan peradilan berhak untuk mengakhiri
kehamilan melalui aborsi.
Implementasi kebijakan Kebijakan yang telah Kementrian Pendidikan
diambil dilaksanakan oleh dan Kebudayaan terus
unit-unit administrasi mengupayakan wajib
yang memobilisasikan belajar 12 tahun melalui
sumber daya finansial pelaksanaan Program
dan manusia Indonesia Pintar (PIP).
Penilaian Kebijakan Unit-unit pemeriksaan Insepktorat jenderal
dan akuntansi dalam Kementrian Pendidikan
pemerintahan dan kebudayaan l
menentukan apakah memantau program-
badan-badan eksekutif, program di bidang
legislatif dan peradilan pendidikan seperti wajib
Undang-Undang dalam belajar 12 tahun melalui
pembuatan kebijakan dan pelaksanaan Program
pencapaian tujuan Indonesia Pintar untuk
menentukan pencapaian
dan keberhasilan
program tersebut.
3
b. James Anderson ( 1975 )
4
2) Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan
redistributive
Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan
pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori merupakan kebijakan
yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau
kelompok masyarakat. Sedangkan, kebijakan redistributif merupakan
kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau
hak-hak diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.
3) Kebijakan materal versus kebijakan simbolik
Kebijakan materal adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber
daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis
adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok
sasaran.
4) Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan
barang privat (privat goods)
Kebijakan publik goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang
atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan privat goods adalah
kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar
bebas.
c. Suharno (2010)
Proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan
kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para
administrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki
tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga
dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks)
5
maupun yang tidak diharapkan (unintended risks). Pembuatan kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal penting yang turut diwaspadai dan
selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering
terjadi kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan
kebijakan adalah:
a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau
membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan dari luar.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigro
disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal
yang hingga saat ini belum professional dan terkadang amat birikratik,
cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun
keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena
sebagai suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut
sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu
kebijakan yang telah ada tersebut dipandang memuaskan.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai keputusan/kebijakan yang dibuat oleh para pembuat
keputusan/kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Sifat
pribadi merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan
keputusan/kebijakan.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan
besar.
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman
sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan
kebijakan/keputusan. Misalnya, orang mengkhawatirkan pelimpahan
wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir
disalahgunakan
6
d. Thomas R. Dye ( 1981 )
7
memadukan antara top-down dengan bottom-up menjadi pilihan yang
banyak mendapat perhatian dan pertimbangan yang realistis.
3) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
Administrasi.
Langkah pertama dalam menganalisis perkembangan kebijakan
negara ialah perumusan apa yang sebenarnya diharapkan oleh para
pembuat kebijakan. Pada kenyataannya cukup sulit mencocokkan
antara perilaku yang senyatanya dengan harapan para pembuat
keputusan.
4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan.
Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan melakukan tindakan
yang tidak disengaja, serta keputusan untuk tidak berbuat yang
disengaja (deliberate decisions not to act). Ketiadaan keputusan
tersebut meliputi juga keadaan dimana seseorang atau sekelompok
orang yang secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja
menciptakan atau memperkokoh kendala agar konflik kebijakan tidak
pernah tersingkap di mata publik.
5) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai, yang
mungkin sudah dapat diantisipasikan sebelumnya atau mungkin belum
dapat diantisipasikan. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam
mengenai pengertian kebijakan perlu pula kiranya meneliti dengan
cermat baik hasil yang diharapkan ataupun hasil yang senyatanya
dicapai. Hal ini dikarenakan, upaya analisis kebijakan yang sama
sekali mengabaikan hasil yang tidak diharapkan (unintended results)
jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik kebijakan yang
sebenarnya.
6) Kebijakan kebanyakan didefenisikan dengan memasukkan perlunya
setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu baik secara
eksplisit atau implisit.
Umumnya, dalam suatu kebijakan sudah termaktub tujuan atau
sasaran tertentu yang telah ditetapkan jauh hari sebelumnya,
walaupun tujuan dari suatu kebijakan itu dalam praktiknya mungkin
saja berubah atau dilupakan paling tidak secara sebagian.
8
7) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang
waktu. Kebijakan itu sifatnya dinamis, bukan statis. Artinya setelah
kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu diimplementasikan, akan
memunculkan umpan balik dan seterusnya.
8) Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar organisasi
ataupun yang bersifat intra organisasi. Pernyataan ini memperjelas
perbedaan antara keputusan dan kebijakan, dalam arti bahwa
keputusan mungkin hanya ditetapkan oleh dan dan melibatkan suatu
organisasi, tetapi kebijakan biasanya melibatkan berbagai macam
aktor dan organisasi yang setiap harus bekerja sama dalam suatu
hubungan yang kompleks.
9) Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintah,
walaupun tidak secara ekslusif. Terhadap kekaburan antara sektor
publik dengan sektor swasta, disini perlu ditegaskan bahwa sepanjang
kebijakan itu pada saat perumusannya diproses, atau setidaknya
disahkan atau diratifikasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka
kebijakan tersebut disebut kebijakan negara.
10) Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Hal ini
berarti pengertian yang termaktub dalam istilah kebijakan seperti
proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan serta hasil akhir
suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh orang yang menilainya,
sehingga mungkin saja bagi sementara pihak ada perbedaan
penafsiran mengenai misalnya tujuan yang ingin dicapai dalam suatu
kebijakan dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
9
Daftar Pustaka
10
2. Pengentasan kemiskinan di Indonesia
A. Latar belakang
Masalah kemiskinan merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dipungkiri
hadir di tengah-tengah masyarakat di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Berbagai upaya penanggulangannya pun telah dilakukan pemerintah melalui
berbagai kebijakan, diantaranya berupa bantuan langsung dan program
pemberdayaan yang diharapkan mampu menyentuh langsung kebutuhan
masyarakat kelas bawah agar mampu mandiri baik secara ekonomi, social maupun
pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Oleh karenanya, diperlukan kebijakan
pemerintah yang komperenehsif dan bersinergis antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat dalam memberdayakan masyarakat
miskin tersebut. Keberhasilan suatu kebijakan sangat bergantung pada berbagai
faktor, diantaranya adalah pemahaman kebijakan dan masyarakat menerima
kebijakan tersebut secara sadar. Di samping itu, kebijakan yang kurang efektif dan
efisien sejatinya dapat dikaji kembali dan direvisi bila diperlukan, sehingga kebijakan
yang ada benar-benar mampu mangatasi permasalahan di masyarakat.
Menurut Dunn (2000:21) Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima
prosedur umum yaitu:
1. Perumusan Masalah (Definisi)
2. Peramalan (Prediksi)
3. Rekomendasi (Preskripsi)
4. Pemantauan (Deskripsi)
5. Evaluasi
11
C. Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan melalui Program perlindungan
sosial di Indonesia
Perlindungan sosial merupakan elemen penting dalam strategi kebijakan
sosial untuk menurunkan tingkat kemisikinan serta memperkecil kesenjangan
multideimensional. Perlindungan sosial sangat penting dalam menanggulangi
problematika kemiskinan. Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi
perlindungan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan
politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang
digunakan oleh berbagai institusi dan negara. Perlindungan sosial didefinisikan
oleh Asian Development Bank‟s (ADB‟s, 2001) sebagai “the set of policies and
programs designed to reduce poverty and vulnerability by promoting efficient labor
markets, diminishing people’s exposure to risks, and enhancing their capacity to
protect themselves against hazards and the interruption loss of income”
(perangkat kebijakandan program yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan
dan kerentanan dengan mempromosikan secara pasar tenaga kerja, mengurangi
terhadap risiko masyarakat, dan meningkatkan kapasitas mereka untuk
melindungi diri terhadap bahaya dan hilangnya gangguan pendapatan). ADB
membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (1) pasar tenaga
kerja (labor markets); (2) asuransi sosial (social insurance); (3) bantuan sosial
(social assitance); (4) skema mikro dan area-based (micro and area based
schemes) untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (5) perlindungan
anak (child protection).
Namun, menurut Bank Dunia, konsep yang digunakan oleh ADB dalam
membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia
mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (1) jejaring pengaman; (2) investasi
pada sumberdaya manusia; (3) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (4)
berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (5) mempertimbangkan
keadaan yang sebenarnya. Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia,
menyejajarkan perlindungan sosial dengan jejaring pengaman bisa berarti
menyempitkan makna perlindungan sosial itu sendiri. Sementara, menurut ILO
(2002), perlindungan sosial merupakan konsep yang luas yang juga
mencerminkan perubahan-perubahan ekonomi dan sosial pada tingkat
internasional. Konsep ini termasuk jaminan sosial (social security) dan skema-
skema swasta. Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan sosial bisa
12
dibedakan dalam 3 (tiga) lapis. Lapis Pertama, merupakan jejaring pengaman
sosial yang didanai penuh oleh pemerintah; Lapis Kedua, merupakan skema
asuransi sosial yang didanai dari kontribusi pemberi kerja (employer) dan pekerja;
dan Lapis Ketiga, merupakan provisi suplementari yang dikelola penuh oleh
swasta. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa definisi tersebut berdasarkan
kontributor dana dalam tiap skema. Sedangkan, Conway, de Haan dan Norton
(Barrientos dan Hulme, 2008:5).
Perlindungan sosial terutama dipahami sebagai kerangka kebijakan yang
menjelaskan "tindakan publik yang diambil sebagai tanggapan terhadap tingkat
kerentanan, risiko, dan kekurangan yang dianggap tidak dapat diterima secara
sosial dalam pemerintahan atau masyarakat" Conway, Haan dan Norton (dalam
Barrientos dan Santibanez, 2009: 2) mendefinisikan perlindungan sosial sebagai
„public actions taken in response to levels of vulnerability, risk and deprivation,
which are deemed socially unacceptable within a given polity and society ‟.
Selanjutnya, Conway, Haan dan Norton (Barrientos dan Santibanez, 2009:2)
menjelaskan perlindungan sosial memiliki tiga komponen utama: social insurance,
social assistance, and labour market regulation. Social insurance refers to
programmes providing protection against life course and employment hazards,
financed out of contributions from employers, workers and governments. Social
assistance includes programmes supporting those in poverty, and is largely
financed from government revenues. Labour market regulation includes protection
against unfair dismissal, and the right to voice and representation of workers.
Banyak orang memberikan penilaian bahwa perlindungan sosial yang
dilakukan negara bersifat mahal, boros dan karenanya kontradiktif dengan
pembangunan ekonomi. Buku berbasis riset yang ditulis Adam, Hauff, dan John
(2002:17) itu menunjukkan hal yang sebaliknya, “... it is often forgotten in this
context that social security can also make a positive contribution to the economic
development of an industrialized or developing nation ... Social security should
therefore always be a central component of economic development policy”.
Dengan demikian, pernyataan bahwa perlindungan sosial yang berbasis negara
tidak bermanfaat bagi pembangunan ekonomi adalah asumsi yang keliru, karena
tidak didasari landasan teori dan penelitian empiris.
Kebijakan jaminan sosial negara yang diterapkan dari negara maju dan
berkembang telah: a. Memberi kontribusi penting bagi pencapaian tujuan ideal
13
bangsa, seperti keadilan sosial dan kebebasan individu, dan karenanya
mendukung kedamaian dan keamanan sosial; b. Mencegah atau memberi
konvensasi terhadap dampak-dampak negatif yang timbul dari sistem produksi
ekonomi swasta, seperti perusahaan bisnis dan asuransi swasta; c. Menciptakan
modal manusia (human capital) dan pra-kondisi bagi penguatan produktivitas
ekonomi mikro dan makro, dan karenanya memberi kontribusi bagi pembangunan
ekonomi jangka berkelanjutan (Adam, Hauff, dan John, 2002:18).
Senada dengan temuan di atas, Lampert dan Althammer (2001:436) juga
menyatakan banyak kritik telah salah menilai dan mengesampingkan bukti-bukti
sejarah yang menunjukkan betapa jaminan sosial negara telah membangun dan
merealisasikan masyarakat yang humanis dan tingkat kesejahteraan sosial yang
tinggi. Abramovitz (1981:2), memberi bukti yang jelas lagi, ketika mengatakan
bahwa perluasan peran ekonomi pemerintah, termasuk dukungannya terhadap
pencapaian pendapatan minimal, perawatan kesehatan, asuransi sosial, dan
elemen-elemen lain dari sistem negara kesejahteraan, telah sampai pada satu
kesimpulan bahwa jaminan sosial negara adalah bagian dari proses produksi itu
sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka kebijakan perlindungan sosial khususnya
bagi masyarakat miskin adalah dibutuhkan. Kebijakan perlindungan sosial (social
protection policy), menurut Wiranto (2002) adalah berkaitan dengan upaya
memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, utamanya
kelompok masyarakat yang paling miskin (fakir miskin, orang jompo, anak
terlantar, cacat) kelompok masyarakat miskin yang disebabkan oleh bencana
alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial. Yang diarahkan melalui
mekanisme tabungan kelompok (pood funds). Kebijakan tersebut meliputi:
1) Meningkatkan penanganan jaminan sosial anak terlantar dan fakir miskin;
2) Penanganan masyarakat miskin pada kawasan terisolir dan terbelakang;
3) Peningkatan kemampuan jaringan lembaga perlindungan sosial masyarakat
pemerintah daerah dalam pengelolaan jaminan sosial khususnya pendidikan,
dan kesehatan; dan
4) Mengembangkan system jaminan social terutama pada tingkat daerah yang
mampu melindungi masyarakat dalam menangani fakir miskin, anak-
anakterlantar, orang jompo, masa pensiun, bencana alam, krisis ekonomi,
dan konflik sosial (Wiranto, 2002).
14
Agar efektif dan berkelanjutan, menurut Suharto (2009:55-56) kebijakan
perlindungan sosial bagi masyarakat miskin perlu mempertimbangkan beberapa
prinsip sebagai berikut:
1) Skema-skema yang dibangun mampu memberikan perlindungan yang
memadai bagi penerima pelayanan;
2) Terhindar dari penciptaan budaya ketergantungan di antara penerima
pelayanan;
3) Mendorong efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam perencanaan,
implementasi, dan pengawasan program;
4) Sejalan dengan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial makro,
khususnya yang menyangkut kemampuan anggaran, kebijakan fiskal, dan
strategi nasional investasi sosial;
5) Diselenggarakan oleh lembaga yang tepat dan kredibel, serta ditunjang oleh
teknologi dan sumberdaya manusia yang memiliki komitmen dan kompetensi
tinggi;
6) Perumusan kebijakan dan program sebaiknya dilakukan pada saat situasi
sosial dan ekonomi sedang baik (normal) dan bukan saat kritis, sehingga
mampu mencegah dan mengatasi situasi yang memburuk.
Permasalahan
Peramalan (Prediksi)
16
mereka dapatkan. Hal ini menyebabkan program pengentasan kemiskinan
tersebut tidak berjalan efektif seperti yang diharapkan.
Rekomendasi
Pemantauan (Deskripsi)
17
sasaran penerima manfaat program keluarga harapan menjadi 10 juta keluarga
dan cakupan penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan sebesar 92,4 juta orang.
Selain itu, program Perlindungan Sosial juga mendapatkan sentimen yang
cukup positif di masyarakat. Opini masyarakat pun beragam meminta agar
Pemerintah dapat meningkatkan performa dalam menjalankan Program tersebut
agar di masa mendatang mampu menjadi jawaban atas permasalahan-
permaslahan yang ada pada masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.
Evaluasi
18
Daftar Pustaka
Adam, E., Hauff, M. & John, M. (2002). Social Protection in Southeast and
Asia, Singapore: Friedrich Eber Stiftung
Badan Pusat Statistik. 2017. Survei Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk
20016/2017, Jakarta: BPS
Jurnal
Abramovitz, M. (1981). “Welfare Quandaries and Productivity Concerns” dalam
jurnal Abu Huraerah, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 14, No. 2, Desember
2015 Penerbit Universitas Pasundan Bandung
Barrientos, A. & Santibanez, C. (2009). New Forms of Social Assistance and
the Evolution of Social Protection in Latin America dalam jurnal Abu Huraerah,
Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 14, No. 2, Desember 2015 Penerbit
Universitas Pasundan Bandung
Suharto, E. (2009). Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia
(Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan) dalam jurnal
Abu Huraerah, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 14, No. 2, Desember 2015
Penerbit Universitas Pasundan Bandung
19