Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak-anak sulit untuk bersikap diam di dalam kelas, terutama saat pembelajaran

mengajar berlangsung. Mereka senang berbicara. Bahkan saat mengerjakan tugas yang

diberikan guru pun mereka masih sempat mencuri kesempatan untuk bermain, berteriak,

berlari, gaduh, dan sebagainya. Dilihat dari usia mereka, hal ini merupakan sesuatu yang

wajar, meskipun kadang terasa cukup mengganggu dan “menjengkelkan”. Jika hal ini

dibiarkan maka dapat mengganggu ketertiban kelas. Suasana belajar menjadi tidak nyaman,

anak sulit berkonsentrasi, bahkan tujuan pembelajaran tidak tercapai. Kenyataan ini pun

dialami orangtua di rumah. Mereka mengalami kesulitan yang sama tentang kurangnya

disiplin anak dalam banyak hal. Dalam kumpulan catatan karakter anak yang ditulis oleh para

orangtua, disebutkan bahwa mayoritas anak tidak senang belajar, mereka tidak mau

mendengarkan perkataan orangtua, bahkan sering berbicara tidak sopan terhadap orang lain.

Orangtua dan guru juga kadang dibuat repot oleh ulah anak yang tidak terduga, seperti

ngambek, rewel, menangis, berteriak-teriak, dan sebagainya, terutama di tempat-tempat

umum. Hal ini sungguh memancing emosi orang dewasa yang melihatnya, sehingga mereka

merasa ingin sekali menghentikan ulah anak-anak itu, tak peduli dengan cara apapun, baik

dengan mengikuti keinginan mereka saat itu atau bahkan membentak dan memarahi mereka.

Terkadang orang tua dan guru berusaha sabar untuk menasihati anak panjang lebar dengan

tujuan membuat anak tahu dan sadar bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah benar. Namun

seberapa banyak pun kata yang terucap, hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Peneliti sadar bahwa ulah anak tersebut di atas bukan disebabkan oleh bakat “nakal”

atau sikap melawan anak, namun lebih dikarenakan mereka belum paham tentang sikap

belajar yang baik. Mereka belum memiliki minat belajar yang baik dari dalam. Dan ciri yang

paling menonjol dari anak adalah: mereka sangat cepat bosan. Kemampuan berkonsentrasi

mereka masih sangat terbatas dan mudah terpecah perhatiannya 1. Anak juga belum memiliki

kemampuan mengendalikan diri dengan baik, maka secara spontan mereka sering melakukan

apa saja yang diinginkannya, di mana pun dan kapan pun. Mereka bagaikan seorang raja

egois, dimana setiap orang di sekelilingnya dituntut untuk mau dan dapat memahami dirinya.

Bukan hanya itu, sikap empati mereka pun masih sangat lemah, sehingga mereka belum dapat

bersikap penuh pengertian terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi guru atau orang tua.

Mereka juga sering kali tidak peduli terhadap perasaan teman-teman atau orang lain bila

mereka berkata kasar dan tidak sopan.

Anak pada usia dini belum mampu menangkap konsep abstrak. Anak masih berada

pada fase berpikir konkret. Mereka hanya dapat mengerti tentang hal yang dapat ditangkap

oleh inderanya. Hal yang bersifat abstrak dan berupa konsep, seperti: kejujuran, masih sulit

diterima oleh akalnya, kecuali bila dijelaskan dengan contoh yang bersifat konkret pula.

Segala hal yang bersifat teoritis, kaku, banyak nasihat, dan monoton membuat mereka

kehilangan minat dan tidak segan untuk mengalihkan perha-tiannya pada hal lain yang lebih

memuaskan hatinya.

Namun sebaliknya, mereka akan sangat antusias terhadap segala bacaan atau

tontonan yang dapat membangkitkan imajinasi dan daya fantasinya, seperti: menggambar,

bermain peran, bermain, dan mendengarkan cerita. Daya tarik cerita bagi anak tidak terlepas

1
http://www.psikologizone.com/melatih-konsentrasi-anak/06511400, diakses tanggal 05
Oktober 2011, Pukul 17:11 Wib.
dari sifat-sifat dasar anak. Rasa ingin tahu terhadap hal yang baru, aneh, bersifat rahasia bagi

anak, merupakan dasar berkembangnya daya analisis, kritis, dan fantasi mereka. Dalam

keseluruhan cerita, aspek-aspek tersebut terkandung dalam suatu keutuhan dan jalinan

kehidupan yang lebih mudah mereka tangkap. Anak juga cenderung meniru orang lain.

Kecenderungan mencontoh atau meniru orang lain ini merupakan salah satu naluri

manusia yang kuat. Tatkala anak berusia 1-5 tahun, dorongan untuk meniru orang lain

amatlah kuat. Anak tidak mengetahui hal yang baik dan yang buruk bagi dirinya. Ia tidak

dapat menunjukkan alasan yang logis terhadap apa yang sedang dilakukannya. Kadangkala,

kita melihat seorang anak yang setelah menonton film di TV, kemudian berfantasi dengan

menirukan perilaku sang tokoh tersebut. Proses identifikasi semacam ini kerap terjadi pada

diri anak, sebab daya fantasi mereka kuat terhadap sesuatu atau seseorang yang memiliki

kehebatan tertentu.

Kecenderungan meniru ini menjadi aspek utama dan mendasar dari pendidikan awal

seorang anak. Dalam hal ini, mendidik dan mengajar anak dengan memberi contoh lebih

efektif daripada menasihatinya. Secara tersirat, dongeng atau cerita adalah wujud pengajaran

yang memberikan contoh nyata kepada anak-anak melalui tokoh cerita.

Oleh Clark (Handayu, 2001), sifat ini disebut imitative. Clark menyatakan bahwa

sifat dasar anak dalam melakukan perilaku sehari-hari adalah menirukan apa yang diserap dari

lingkungannya. Karena itu, tokoh dalam cerita dapat memberikan teladan bagi anak-anak.

Anak mempunyai kecenderungan untuk meniru dan mengidentifikasikan diri dengan tokoh-

tokoh yang dikaguminya, entah itu baik atau buruk.


Dari latar belakang masalah yang dihadapi peneliti di kelas dan beberapa keluhan

orangtua inilah maka peneliti melakukan penelitian tindakan kelas yang dikaitkan dengan

upaya meningkatkan kedisiplinan anak di dalam kelas.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang dihimpun oleh peneliti, maka dilakukanlah

identifikasi masalah yang timbul adalah pertama, bagaimana caranya meningkatkan

kedisiplinan anak?. Kedua, faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan anak?.

Ketiga, apakah cerita dapat meningkatkan kedisiplinan anak? Keempat, bagaimanakah cerita

dapat mempengaruhi tingkat kedisiplinan anak?

Peneliti membatasi masalah penelitian ini dengan membahas upaya meningkatkan

kedisiplinan anak di kelas melalui metode cerita, pada mata pelajaran Pendidikan Agama

Kristen.

C. Perumusan & Pemecahan Masalah

a. Perumusan Masalah

1. Apakah penerapan metode cerita dapat meningkatkan kedisiplinan siswa SD

Negeri No. 124399 Pematangsiantar ?

b. Pemecahan Masalah

1. Siswa terlibat secara aktif melalui metode cerita sehingga meningkatkan

kedisiplinan siswa dalam kelas.

2. Siswa memiliki sikap disiplin dalam kegiatan belajar mengajar.


D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui apakah penerapan-penerapan metode cerita dapat meningkatkan

kedisiplinan siswa SD Negeri No. 124399 Pematangsiantar

E. Manfaat Penelitian

Bagi siswa : Meningkatkan kedisiplinan siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama

Kristen.

Bagi peneliti : Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan evaluasi dan perbaikan kinerja

Bagi guru : Penelitian ini diharapkan dapat membangun ketekunan dalam mencari bahan

cerita yang baik dan tepat untuk siswa dalam membangun kreativitas tentang

teknik atau cara penyampaian cerita yang menarik dan sesuai dengan usia

anak.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Metode Bercerita

Penceritaan atau bercerita adalah pemindahan cerita atau penyampaian cerita kepada

penyimak atau pendengar. Penceritaan akan menyebarkan roh baru yang kuat dan

menampakkan gambaran yang hidup di hadapan pendengar. Memberikan potret yang jelas

dan menarik, melalui intonasi, gerakan-gerakan, dan emosi yang dapat menghidupkan setiap

tokoh dengan karakter seperti yang dituntut dalam cerita.

Bercerita itu sendiri terdiri dari bermacam-macam metode atau cara dalam

penyampaian-nya. Dalam menyampaikan cerita kepada anak, ada dua cara yang dapat

dilakukan, yaitu bercerita secara langsung di luar kepala atau membacakan buku cerita kepada

anak-anak. Keduanya merupakan suatu aktivitas yang mempergunakan visualisasi atau dapat

disaksikan dan diperagakan.

Visualisasi dapat berbentuk visualisasi non-verbal, yaitu apabila cerita yang

dibawakan didukung dengan bantuan media lain, seperti boneka, cerita bergambar, maupun

gerak-gerik badan pada waktu bercerita. Sedangkan visualisasi secara verbal, yaitu dengan

menggunakan kata-kata yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak menjadi lebih

konkret dan menjadikan sesuatu yang hidup dan dekat dengan kehidupan yang dirasakan.

Visualisasi merupakan teknik yang sering digunakan dalam rangka mempengaruhi,

mengajak, mendidik, membimbing, dan sebagainya, agar perilaku seseorang berubah. Suatu

cerita yang dibawakan menjadi lebih efektif apabila disertai dengan contoh benda atau
gambar yang dapat ditunjukkan, agar dapat membantu menangkap konsep nilai yang

disampaikan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih tepat dan lebih utuh 2. Hal tersebut

juga perlu didukung dengan nada suara yang bervariasi, dan ekspresi wajah yang

menggambarkan perasaan sang tokoh serta keahlian membacakan situasi, sehingga dapat

dibayang-kan jelas di depan mata anak.

Dongeng atau cerita juga dapat dilakukan dengan membacakan buku cerita kepada

anak. Membacakan buku untuk anak-anak jelas berbeda dengan cara seseorang membaca

berita atau membaca untuk dirinya sendiri. Perlu trik-trik tersendiri yang membuat anak betah

untuk mendengarkan3. Cerita yang dibawakan untuk anak, pada hakikatnya bukanlah bercerita

kepada anak, melainkan bercerita bersama anak, yaitu adanya dialog bersama dengan anak

tentang cerita, sekaligus penerapan nilai-nilai moral yang patut diteladani4.

Memahami isi dan nilai praktis dari sebuah cerita, setiap anak memerlukan waktu

yang berbeda, mungkin beberapa hari, minggu, atau bulan, untuk menangkap suatu petunjuk

sekaligus menerapkannya. Yang terpenting, pastikan anak mengerti satu pengertian praktis

dari sebuah episode cerita, sebelum melanjutkan cerita dengan episode yang lain. Oleh sebab

itu, sebenarnya tidak ada pantangan untuk mengulang-ulang cerita tertentu, selama anak

masih menginginkan dan tetap senang mendengarnya. Terlebih lagi apabila bahasa yang

dipergunakan berbeda-beda dalam menyampaikan episode yang sama. Yang terpenting adalah

anak harus menikmati cerita yang dibawakan. Jangan mencoba untuk memaksanya. Lebih

2
http://vickyoktrya.blogspot.com/2009/10/media-pembelajaran-dan-media.html, diakses
tanggal 05 Oktober 2011, Pukul 18.20 Wib
3
http://dunianyaanakkita.blogspot.com/2011/01/18-trik-mendisiplinkan-anak.html, diakses
tanggal 05 Oktober 2011, Pukul 18.23 Wib
4
?
http://anaknusantara.com/artikel/82, diakses tanggal 05 Oktober 2011, Pukul 18.25 Wib
bijaksana lagi bila dapat menciptakan rasa senang bercakap-cakap dengan anak tentang

banyak hal dari sebuah cerita tanpa harus dimulai secara formal.

Kadangkala orang dewasa cenderung mengira anak tidak tahu dan tidak mengerti

apa-apa. Menganggap segala sesuatu harus dengan tegas dan jelas diberitahu. Buku-buku

yang terlalu banyak nasihat pun umumnya kurang disukai anak-anak. Cerita yang terlalu sarat

dengan nasihat dan pesan, akan terasa menyebalkan. Oleh sebab itu, jauh lebih baik bila

membiarkan anak mengambil sendiri inti sari dari cerita yang dibacakan dan tidak bertindak

sepihak. Sebenarnya setiap anak cerdas, sehingga setelah selesai membaca atau

mendengarkan cerita, anak akan mempunyai sesuatu yang dapat menjadi bahan pertimbangan

maupun penilaiannya.

Setiap cerita pada umumnya mempunyai misi atau pesan terselubung yang ingin

disampaikan. Misi tersebut mungkin terdapat di awal, tengah, atau akhir cerita. Pada waktu

menutup cerita, misi tersebut dapat digaris-bawahi dengan mengambil kesimpulan bersama-

sama dengan anak. Karena pada dasarnya buku yang baik dengan sendirinya akan menggugah

perasaan, menenggelamkan, serta mengajak anak melihat sesuatu yang baik dan yang buruk,

juga kesengsaraan, kebahagiaan, atau keindahan. Jadi, buku beserta isinya sendirilah yang

berbicara, tidak perlu komentar tambahan dari orang lain. Karena hakikat bercerita adalah

cerita itu sendiri yang merupakan cara tidak langsung dalam memberikan nasihat tentang

nilai-nilai.

2. Pengertian Disiplin

Disiplin berasal dari bahasa Inggris discipline yang berarti “training to act in

accordance with rules,” melatih seseorang untuk bertindak sesuai aturan (Roswitha, 2009).
Karena itu, anak didisiplinkan (dilatih) supaya berperilaku sesuai aturan (rule) yang berlaku

dalam masyarakat. Hal yang hendak ditanamkan dalam diri anak dapat berupa nilai (value)

dan norma (rule).

Mendisiplinkan dapat berarti langsung menanamkan norma sebagai input, biasanya

melalui instruksi. Menanamkan norma dengan cara itu akan menuai anak yang patuh, tetapi

tanpa kesadaran akan tanggung jawab. Berbeda halnya jika pendisiplinan tersebut dilakukan

secara bertahap – nilai terlebih dahulu untuk membuka kesadaran – kemudian menanamkan

norma yang telah disepakati bersama. Pendisiplinan seperti ini menuai anak yang taat dan

bertanggung jawab.

Dalam bahasa Latin disiplin (discere) berarti belajar. Dari kata ini timbul kata

disciplina yang berarti pengajaran atau pelatihan. Sekarang kata disiplin mengalami

perkembangan makna dalam beberapa pengertian. Pertama, disiplin diartikan sebagai

kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan, dan pengen-dalian. Kedua,

disiplin sebagai latihan yang bertujuan mengembangkan diri agar dapat berperilaku tertib5.

Disiplin dalam pengertian yang amat dasar ada dua, yaitu: (1) ketaatan pada tata

tertib, dan (2) latihan batin dan watak dengan maksud akan mentaati peraturan. Arti disiplin

menurut definisi tersebut adalah kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan tata tertib,

karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada hatinya.

Dilihat dari sudut pandang sosiologis dan psikologis, disiplin adalah suatu proses

belajar mengembangkan kebiasaan, penugasan diri, dan mengakui tanggung jawab pribadinya

terhadap masyarakat. Maka kedisiplinan peserta didik dalam mengikuti suatu kegiatan pun

5
http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/2114586-pengertian-disiplin/, diakses
tanggal 05 Oktober 2011, Pukul 17:58 Wib.
akan menimbulkan sikap tanggung jawab, atau disiplin dalam menghadapi pelajaran atau

dalam belajarnya.

Dengan demikian indikator disiplin belajar dapat dilihat dalam proses dan hasil

belajar. Dalam proses belajar indikatornya dapat dilihat dari: kehadiran di kelas, motivasi

belajar, partisipasi dalam kelas, etika dan sopan santun, kerapian berpakaian, belajar beberapa

jam setiap hari, menyimak dengan sungguh-sungguh setiap pelajaran, dan mencapai Standar

Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM).

Akhir-akhir ini, kedisiplinan sering diidentikkan dengan kekerasan. Sejak dini, anak

telah dididik disiplin dengan kekerasan seperti: hukuman, makian, dan lain-lain. Hal tersebut

diterapkan agar anak menjadi takut dan patuh pada aturan yang ada. Dorongan untuk belajar

berupa kekerasan seperti itu merupakan pendidikan yang berdasarkan materialistis. Tuntutan

yang diberikan hanya akan menim-bulkan rasa kecewa, berontak, dan keputusasaan.

Sebaliknya, bila pendidikan memiliki dasar rohani, maka kebutuhan untuk menjatuhkan

hukuman atau memarahi dapat ditiadakan. Sejak dini, anak ditanamkan cinta kasih dalam

belajar segala hal, sehingga akan timbul hasrat yang besar dari motivasi seperti itu.

Pendidik dapat mengajarkan cinta kasih dan sifat-sifat baik pada anak dengan bahasa

yang sederhana dan dimengerti anak. Hal itu adalah langkah awal untuk memunculkan

pemahaman anak. Selanjutnya, tujuan dari pendidikan anak ialah memperoleh sifat-sifat

mulia. Mengekspresikan tujuan lain (misalnya: anak tidak boleh berkelahi) juga tidak akan

efektif, karena terfokus pada apa yang dilarang, bukannya pada apa yang harus dilakukan.

Pendidik dapat lebih fokus mengekspresikan hal-hal yang positif, misalnya; menghargai

teman, dan lain-lain.


Sehubungan dengan hal di atas, langkah selanjutnya adalah: pendidik seharusnya

dapat menjadi teladan bagi anak. Pendidik diharapkan dapat memberi contoh sikap disiplin

agar anak dapat menerapkannya. Akhirnya, pendidikan harus dilandasi kasih sayang. Pendidik

harus memberikan motivasi pada anak untuk mengembangkan sifat-sifat baiknya.

3. Membangun Disiplin dan Karakter Melalui Cerita

George W. Burns dalam bukunya 101 Kisah Yang Memberdayakan: Penggunaan

Metafora sebagai Media Penyembuhan (Roswitha, 2009) mengemukakan bahwa anak-anak di

Nepal tidak dihukum secara fisik karena para ibu tidak suka melihat anak-anaknya murung

atau menangis. Sebaliknya, mereka mengontrol perilaku anak dengan cerita. Usaha mereka

melalui cerita itu membawa hasil. Karena ternyata sebuah cerita dapat memiliki kekuatan

yang dahsyat. Seperti dikutip Roswita, Burns menyatakan bahwa cerita memiliki kekuatan

sebagai berikut: menumbuhkan sikap disiplin, membangkitkan emosi, memberi inspirasi,

memunculkan perubahan, menumbuhkan kekuatan pikiran-tubuh, dan menyembuhkan.

Melalui cerita, anak akan dengan mudah memahami sifat-sifat, figur-figur, dan

perbuatan-perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Cerita dapat berperan dalam

proses pembentukan watak seorang anak. Bahkan menurut tokoh pendidik anak Seto Mulyadi

(Handayu, 2001), cerita sangat penting bagi anak untuk memacu mereka memiliki semangat

juang dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.

B. Hipotesa Tindakan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan pada bab I, maka diajukan

hipotesis tindakan: metode cerita dapat meningkatkan kedisiplinan siswa kelas 1 SD Negeri
No. 124399 Pematangsiantar dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen Tahun

Pelajaran 2011/2012.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Subjek penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SD Negeri No. 124399 Pematangsiantar,

kelas 1 yang beragama Kristen sejumlah 20 orang.

B. Tempat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di SD Negeri No. 124399

Pematangsiantar, yang berkedudukan di Jl. Rajawali, Kelurahan Sipinggol-pinggol

Kecamatan Siantar Barat.

C. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu Juli s/d September. Waktu dari

perencanaan sampai penulisan laporan hasil penelitian tersebut pada semester I Tahun

pelajaran 2011/2012.

D. Langkah – Langkah Penelitian

I. Tahap Perencanaan:
 Penyampaian cerita direncanakan akan dilakukan sebelum pelajaran dimulai.
 Waktu yang diperlukan untuk bercerita kurang lebih sepuluh menit.
 Peserta didik dikelompokkan berdasarkan postur tubuh.
 Guru menggunakan gambar yang sudah ditentukan sebagai alat peraga.
 Setelah selesai, guru akan mengadakan tanya jawab seputar cerita.
II. Tahapan Tindakan:
 Setelah peserta didik berkumpul, guru mengarahkan suasana kelas menuju kondisi
yang diinginkan untuk mempersiapkan anak-anak mendengarkan cerita.
 Beberapa dari mereka duduk di atas karpet, dan beberapa lagi duduk di atas kursi
di belakang karpet.
 Mereka dikelompokkan berdasarkan postur tubuh, dengan pandangan diarahkan
kepada gambar tersebut. Guru duduk di samping/dekat gambar (sedikit
membelakangi anak).
 Saat bercerita, guru dengan sengaja tidak memperhatikan ekspresi anak.
 Guru mengandalkan suara dan memperlihatkan gambar. Sementara anak-anak
belajar mendengarkan suara dan melihat gambar.
 Guru mengadakan tanya jawab seputar perubahan baik yang dialami oleh si tokoh.
Apa kerugian si tokoh sebelum berjumpa Yesus, dan apa keuntungan-nya setelah
ia mendengarkan perkataan Tuhan.
 Guru juga kembali mengingatkan peserta didik untuk meneladani tokoh tersebut.
III. Tahap Pengamatan atau Observasi
 Pada saat guru bercerita, peneliti yang bertindak sebagai observer mengamati guru
yang menyampaikan cerita dan peserta didik.
 Selanjutnya setelah guru bercerita, peneliti dan dua guru lain (sebagai kolaborator)
bersama-sama mengamati secara langsung perubahan yang terjadi pada peserta didik
saat kegiatan belajar mengajar berlangsung di hari itu, dengan berpatokan pada format
yang tersedia.

IV. Tahap Refleksi


Peneliti dan kolaborator menganalisis dan mengolah nilai yang terdapat pada

lembar observasi yang ada. Kemudian, dilakukan siklus kedua dan ketiga. Pada siklus

ketiga ini dapat disimpulkan bahwa target yang ditentukan telah tercapai. Maka

peneliti dan kolaborator menyepakati untuk mengakhiri tindakan sampai pada siklus

ketiga ini.
V. Jadwal Penelitian

Juli Agustus September


No Kegiatan
1 2 3 4 1` 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
1 penyusunan
Proposal
Pelaksanaan
2
Siklus I
Pelaksanaan
3
Siklus II
Pelaksanaan
4
Siklus III
5 Analisa Data
Laporan Hasil
6
Penelitian

VI. Penelitian

1. Siklus Pertama
a. Perencanaan : Mempersiapkan materi dan indikator sebagai panduan siswa untuk
bahan yang harus dibahas, membuat data pengamatan tingkat kedisiplinan siswa
dalam mengikuti KBM.
b. Pelaksanaan :
- Kegiatan awal, kebaktian singkat dan
- Kegiatan Inti
- Membagi kelompok atas dan bawah membagi materi dan indikator yang akan
dipelajari, menyampaikan materi pembelajaran dengan metode bercerita
kepada kelompok anak.
- Kegiatan akhir: Guru membuat rangkuman, doa penutup akhir pembelajaran.
c. Refleksi
Dari hasil proses kegiatan belajar dengan metode kooperatif siklus pertama ini
diambil hasil pengamatan mengenai tingkat kedisiplinan siswa jika pengajaran
disampaikan dengan metode ini.
2. Siklus Kedua
a. Perencanaan : Mempersiapkan materi dan indikator sebagai panduan siswa untuk
bahan yang harus dibahas, membuat data pengamatan tingkat minat siswa untuk
belajar
b. Pelaksanaan :
Kegiatan awal: kebaktian singkat dan
Kegiatan Inti: Mengelompokkan siswa kembali dengan cara duduk di ambal, diurutkan
sesuai dengan ukuran tubuhnya (yang paling kecil duduk di barisan paling depan).
Kemudian menyampaikan pembelajaran dengan metode cerita.
Kegiatan akhir : Guru membuat rangkuman, doa penutup akhir pembelajaran
c. Refleksi
Pada tahap ini ditemukan bahwa kedisiplinan siswa mulai meningkat diperlihatkan dari
tingkat antusiasme dalam mengikuti pembelajaran. Di samping itu juga tingkat
keributan dan aktivitas saling mengganggu juga semakin berkurang.
3. Siklus Ketiga
a. Perencanaan : Mempersiapkan materi dan indikator sebagai panduan siswa untuk
bahan yang harus di bahas, membuat data pengamatan tingkat minat siswa untuk
belajar.
b. Pelaksanaan :
- Kegiatan awal kegiatan kebaktian singkat dan
- Kegiatan inti
- Mendudukkan siswa menurut ukuran tubuh. Kemudian menyampaikan materi
pembelajaran dengan metode bercerita.
- Kegiatan akhir : Guru menyempurnakan, membuat rangkuman, doa penutup akhir
pembelajaran.
c. Refleksi
Pada tahap ini diamati bahwa tingkah laku disiplin semakin menetap dan jumlah siswa yang

sering mengganggu temannya sewaktu belajar semakin berkurang, bahkan tidak ada lagi.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang kemudian diinterpretasikan sebagai acuan untuk

menetapkan kesimpulan maka pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi atau

mengamati secara langsung perilaku yang ditunjukkan oleh siswa selama kegiatan belajar.

Yaitu dengan cara:

1. Mencatat nama siswa yang ada di kelas observasi.

2. Mencatat perilaku yang termasuk ke dalam kriteria disiplin.

3. Melakukan penandaan atau memberi tanda cek list pada perilaku yang semakin

menetap mulai dari siklus 1 sampai siklus 3.

4. Menyimpulkan hasil observasi atau temuan di lapangan dengan membandingkan hasil

temuan pada siklus 1, 2, 3.

F. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis hasil temuan maka temuan pada penelitian tindakan kelas “Upaya

Meningkatkan Kedisiplinan Anak dengan Metode Bercerita” dinyatakan dalam tabel persentase

sebagai berikut:

Tingkat Keberhasilan Arti

>80% Sangat Tinggi


60-79% Tinggi
40-59% Sedang
20-39% Rendah
<20% Sangat Rendah
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Observasi Siklus 1

Pertemuan pada siklus 1 dihadiri oleh seluruh siswa kelas 1 yaitu 20 orang, pada saat

kegiatan belajar mengajar berlangsung ternyata dengan metode mengajar bercerita ditemukan:

yang suka mengganggu teman ketika sedang belajar ada ada 3 orang (15%), selalu gelisah

waktu belajar ada 5 orang (25%), berbicara kepada teman ada 4 orang (20%), tidak

mendengar penjelasan guru ada 4 orang (20%) dan hanya 4 orang (20%) yang mengikuti

kegiatan belajar dengan disiplin.

Jika disajikan dalam tabel adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Observasi Siklus 1

Frekwensi Frekwensi
Jenis Perilaku %
Absolut Relatif
Suka Menggganggu Teman 3 0,15 15
Gelisah Saat Belajar 5 0,25 25
Suka Berbicara Kepada Teman 4 0,20 20
Tidak Mendengar Penjelasan Guru 4 0,20 20
Mengikuti Pelajaran dengan Baik 4 0,20 20

2. Hasil Observasi Siklus 2

Pertemuan pada siklus 2 dihadiri oleh seluruh siswa yaitu 20 orang. Pada saat

kegiatan belajar mengajar dengan metode bercerita sedang berlangsung ditemukan: siswa

yang suka mengganggu teman ketika belajar ada 2 orang (10%), selalu gelisah ketika belajar

ada 3 orang (15%), berbicara kepada teman ada 3 orang (15%), tidak mau mendengar
penjelasan guru ada 3 orang (15%), dan yang mengikuti KBM dengan tertib dan disiplin ada 9

orang (45%).

Tabel 2. Hasil Observasi Siklus 2

Frekwensi Frekwensi
Jenis Perilaku %
Absolut Relatif
Suka Menggganggu Teman 2 0,10 10
Gelisah Saat Belajar 3 0,15 15
Suka Berbicara Kepada Teman 3 0,15 15
Tidak Mendengar Penjelasan Guru 3 0,15 15
Mengikuti Pelajaran dengan Baik 9 0,45 45

3. Hasil Observasi Siklus 3

Pada pertemuan siklus 3 dihadiri oleh seluruh siswa kelas 1 yaitu sejumlah 20 orang.

Pada saat kegiatan belajar mengajar dengan metode bercerita sedang berlangsung, ditemukan:

siswa yang suka mengganggu teman ketika belajar ada 1 orang (5%), selalu gelisah ketika

belajar ada 1 orang (5%), berbicara kepada teman ada 1 orang (5%), tidak mau mendengar

penjelasan guru ada 2 orang (15%), dan yang mengikuti KBM dengan tertib dan disiplin ada

15 orang (75%).

Tabel 3. Hasil Observasi Siklus 3

Frekwensi Frekwensi
Jenis Perilaku %
Absolut Relatif
Suka Menggganggu Teman 1 0,05 5
Gelisah Saat Belajar 1 0,05 5
Suka Berbicara Kepada Teman 1 0,05 5
Tidak Mendengar Penjelasan Guru 2 0,10 10
Mengikuti Pelajaran dengan Baik 15 0,75 75
B. Pembahasan Hasil Penelitian

Temuan utama dari hasil penelitian ini adalah bahwa metode bercerita efektif untuk

menumbuhkan disiplin pada diri anak kelas 1 di SD Negeri No. 124399 Pematangsiantar, khususnya

pada pelajaran Pendidikan Agama Kristen.. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan terjawab

secara positif dengan semakin menurunnya perilaku negatif dan periaku disiplin siswa pada setiap

siklus pertemuan yang dilaksanakan. Jika disajikan pada tabel akan terlihat sebagai berikut:

Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3


Jenis Perilaku
Jlh % Jlh % Jlh %

Suka Mengganggu Teman Saat Belajar 3 15 2 10 1 5


Gelisah Saat Belajar 5 25 3 15 1 5
Suka Berbicara Kepada Teman 4 20 3 15 1 5
Tidak Mendengar Penjelasan Guru 4 20 3 15 2 10
Mengikuti Pelajaran dengan Baik dan disiplin 4 20 9 45 15 75

Berdasarkan sajian data hasil observasi yang menunjukkan perilaku positif atau

disiplin selalu meningkat seperti terlihat pada tabel. Dan hasil observasi akhir menunjukkan

bahwa siswa yang disiplin dalam belajar adalah 75%. Dengan demikian jika dibandingkan

pada tabel kategori tingkat keberhasilan, maka tingkat keberhasilan metode bercerita dalam

meningkatkan disiplin anak ada pada kategori Tinggi.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dengan mempedomani hasil observasi, maka disimpulkan bahwa menyampaikan

pelajaran Pendidikan Agama Kristen dengan metode bercerita memiliki tingkat keberhasilan

yang tinggi untuk meningkatkan disiplin siswa kelas 1 di SD Negeri No. 124399

Pematangsiatar Tahun Pelajaran 2011/2012.

B. Saran

1. Dengan memperhatikan bahwa penelitian ini hanya dilangsungkan secara sederhana

dan mempedomani hasil observasi semata, maka perlu disusun instrument dan

pedoman yang lebih baik untuk menjaring data yang lebih akurat.

2. Penelitian perlu dilaksanakan secara lebih spesifik lagi untuk memperjelas tindakan

kelas yang lebih operasional sesuai dengan mata pelajaran yang diteliti PTK-nya.

DAFTAR PUSTAKA
http://anaknusantara.com/artikel/82, diakses tanggal 05 Oktober 2011, Pukul
18.25 Wib
http://dunianyaanakkita.blogspot.com/2011/01/18-trik-mendisiplinkan-
anak.html, diakses tanggal 05 Oktober 2011, Pukul 18.23 Wib
http://vickyoktrya.blogspot.com/2009/10/media-pembelajaran-dan-media.html,
diakses tanggal 05 Oktober 2011, Pukul 18.20 Wib
http://www.psikologizone.com/melatih-konsentrasi-anak/06511400, diakses
tanggal 05 Oktober 2011, Pukul 17:11 Wib.
N, Roswitha, Mendisiplin anak dengan cerita, Jakarta: ANDI, 2009.
T., Handayu, Memaknai cerita mengasah jiwa, Solo: Era Intermedia, 2001

PENELITIAN TINDAKAN KELAS


 TUGAS MATA KULIAH PENELITIAN TINDAKAN KELAS
 
PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)
DOSEN PENGAMPU:

Upaya Meningkatkan Kedisiplinan Anak Kelas 1


Dalam Belajar Pendidikan Agama Kristen
Melalui Metode Cerita
di SD Negeri No. 124399 Pematangsiantar
Tahun Pelajaran 2011/2012

 Disusun oleh : EPHRAIM PANDIANGAN

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (IAKN)


AMBON

2019
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................................... 4
C. Perumusan dan Pemecahan Masalah .......................................................................... 4
D. Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 5
E. Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Metode Bercerita 6
2. Pengertian Disiplin 9
3. Membangun Disiplin Melalui Cerita 11
B. Hipotesa Tindakan 12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Subyek Penelitian 13
B. Tempat Penelitian 13
C. Waktu Penelitian 13
D. Langkah-Langkah Penelitian 13
E. Teknik Pengumpulan Data 17
F. Teknik Analisis Data 18
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Observasi Siklus 1 19
2. Hasil Observasi Siklus 2 19
3. Hasil Observasi Siklus 3 20
B. Pembahasan Hasil Penelitian 21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 22
B. Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23

Anda mungkin juga menyukai