Anda di halaman 1dari 60

SKRIPSI

ANALISIS DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENURUNAN


KECEMASAN PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK (PPOK) DI RUANG VIP RUMAH SAKIT MITRA MEDIKA
BONDOWOSO

Oleh :
Leni Septa Kurniawati, NIM 2211A1109
Kurniawan Edi P. S.Kep.,Ns.,M.Kes, NIDN. 0714058006

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN & KEBIDANAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN STRADA
KEDIRI 2023

1
SKRIPSI

ANALISIS DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENURUNAN


KECEMASAN PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK (PPOK) DI RUANG VIP RUMAH SAKIT MITRA MEDIKA
BONDOWOSO

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam


Program Studi S1 Keperawatan IIK STRADA Indonesia

OLEH :
Leni Septa Kurniawati
2211A1109

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN & KEBIDANAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN STRADA
KEDIRI 2023

2
LEMBAR PERSETUJUAN

ANALISIS DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PASIEN DENGAN


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI RUANG VIP
RUMAH SAKIT MITRA MEDIKA BONDOWOSO

Diajukan Oleh :

Leni Septa Kurniawati


NIM. 2211A1109

TELAH DISETUJUI UNTUK DI LAKUKAN UJIAN

Pada tanggal, Desember 2023


Pembimbing

Bd,.Erma Retnaningtyas, SST,SKM, S.Keb,.M.Kes


NIDN. 0726038204

Mengetahui
Dekan Fakultas Keperawatan & Kebidanan
Institut Ilmu Kesehatan STRADA Indonesia

Dr. Agusta Dian Ellina,.S.Kep,.Ns,.M.Kep


NIDN. 0720088503

3
LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PASIEN DENGAN


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI RUANG VIP
RUMAH SAKIT MITRA MEDIKA BONDOWOSO

Oleh :
Leni Septa Kurniawati
NIM. 2211A1109

Skripsi ini telah di uji dan di nilai


Oleh Panitia Penguji
Pada Program Studi S1 Keperawatan
Pada hari, Tanggal, Desember 2023

DOSEN PENGUJI

Ketua : (.....……….……….)

Anggota : 1. (.....……….……….)

2.Erma Retnaningtyas,SST,.Bd.,SKM,M.Kes (.....……….

……….)

Mengetahui
Dekan Fakultas Keperawatan & Kebidanan
Institut Ilmu Kesehatan STRADA Indonesia

Dr. Agusta Dian Ellina,.S.Kep,.Ns,.M.Kep


NIDN. 0720088503

4
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga usulan penelitian yang berjudul “Analisis Dukungan

Keluarga Terhadap Penurunan Kecemasan Pasien Dengan Penyakit Paru

Obstruktif Kronik “ dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat

untuk meneruskan jenjang penelitian pada Program Studi S1 Keperawatan di IIK

STRADA Indonesia

Bersama ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr Sentot Imam Suprapto.,MM,. selaku Rektor IIK STRADA Indonesia yang

telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan di Program Studi S1 Kebidanan

2. Dr Byba Melda Suhita,.S.Kep,.Ns,.M.Kep selaku Dekan Fakultas

Keperawatan dan Kebidanan IIK STRADA Indonesia

3. Nur Yenni H, S.Kep.,Ns.,M.Kes, selaku kepala program Studi Ilmu S1

Keperawatan Institut Ilmu kesehatan (IIK) Strada Indonesia yang telah

memberikan bimbingan pendidikan selama peneliti mengikuti pendidikan

4. Kurniawan Edi P, S.Kep.,Ns.,M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan pada penyusunan Skripsi ini.

5. Segenap dosen dan karyawan Program Studi S1 Keperawatan IIK STRADA

Indonesia Kediri yang telah memberikan ilmu, bimbingan selama

perkuliahan.

6. Teman seperjuangan, sahabat dan Keluarga Tersayang terimakasih atas

semangat dan dudkungan yang kalian berikan selama penyususnan skripsi ini

5
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Untuk itu segala kritik dan saran dari semua pihak sangatlah kami

butuhkan demi kesempurnaan Usulan Penelitian ini. Semoga Usulan penelitian

ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Amin.

Kediri, Februari 2022

Peneliti

6
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Surat Pernyataan ii
Halaman Persetujuan iii
Halaman Penetapan Panitia Penguji iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi viii
Daftar Gambar x
Daftar Tabel xi
Daftar Lampiran xii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 6
1. Manfaat teoritis 6
2. Manfaat praktis 7
E. Keaslian Penelitian 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 9
1. Konsep dukungan keluarga 9
2. Konsep tingkat kecemasan 16
3. Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 18
4. 36
B. Kerangka Konsep 38
C. Hipotesis 39
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian 40
B. Kerangka Kerja 41
C. Populasi, Sampel, dan Sampling 42
1. Populasi 42
2. Sampel 42
3. Sampling 43
D. Variabel Penelitian 43
E. Definisi Operasional 44
F. Lokasi Penelitian 45
G. Teknik Pengumpulan Data 45
H. Analisis Data 47
I. Etika penelitian 48

DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 7

7
DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 2.1

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Kerja.

8
DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 2.1

Tabel 2.2 Keaslian penelitian

Tabel 3.1 Definisi Operasional

9
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Ijin Pengambilan Data Awal 74


Lampiran 2 Surat Balasan Ijin Pengambilan Data Awal 75
Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian 76
Lampiran 4 Surat Balasan Penelitian 77
Lampiran 5 Lembar Informasi Penelitian (Inform consent) 78
Lampiran 6 Lembar Persetujuan Menjadi Responden 76
Lampiran 7 Kisi-Kisi Kuesioner 80
Lampiran 8 Lembar Kuesioner 81
Lampiran 13 Lembar Konsultasi 107

10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obtruktif Kronik dan chronic obstructive pulmonary

diseases (COPD) adalah kelainan paru yang di tandai dengan gangguan

fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh

adanya penyempitan saluran nafas dan tidak banyak mengalami perubahan

dalam masa observasi beberapa waktu (Padilla, 2012). Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK) mempunyai tanda dan gejala yakni batuk

(mungkin produktif atau non produktif), sesak napas, mengi dan ronchi saat

inspirasi (Brunner & Suddart, 2015). Proses peradangan dapat mengakibatkan

produksi sputum berlebih pada paru dan reflek batuk yang tidak efektif

menyebabkan sumbatan saluran napas sehingga terjadi gangguan pada jalan

napas yang mengakibatkan pernapasan tidak adekuat. Sehingga kondisi

tersebut dapat mengakibatkan klien dengan Penyakit Paru obstruktif kronik

mengalami masalah sulit tidur. Rasa sakit yang di alami, kesulitan

memperoleh posisi yang nyaman, penggunaan obat-obatan, serta perubahan

lingkungan fisik adalah beberapa faktor yang mengganggu terpenuhinya tidur

klien (Hardinage 2003 dalam Muhtar, 2011).

Menurut data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2018,

jumlah penderita Penyakit Paru Obstrultif Kronik (PPOK) mencapai 274 juta

jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 400 juta jiwa di tahun 2020

mendatang, dan setengah dari angka tersebut terjadi di negara berkembang,

1
termasuk negara Indonesia. Adapun informasi prevalensi asma, PPOK, dan

kanker di Indonesia masing-masing 4,5 persen, 3,7 persen, dan 1,4 per mil.

Prevalensi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) tertinggi terdapat di

Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi

Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen (WHO, 2018). Dari

data RISKESDAS Prevalensi Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Indonesia

sebanyak 3,7% dengan prevalensi terbanyak yaitu provinsi Nusa Tenggara

Timur sebanyak 10%. Sementara untuk provinsi Jawa Timur prevalensi

kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik sebanyak 3,6% (RISKESDAS,

2019).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) bisa di sebabkan oleh karena

fungsional atau mekanis. Sebab-sebab fungsional yang biasanya

menyebabkan kelainan ini adalah kelainan pada sisitem saraf pusat dan

disfungsi neuromuskuler (Ikawati 2011 dalam Rahmawati, 2016). Penyakit

ini juga beresiko utama yang di bedakan menjadi paparan lingkungan, seperti

merokok, pekerjaan dan polusi udara, usia dan jenis kelamin (Chang 2010

dalam rahmawati, 2016). Gejala yang muncul pada Penyakit Paru Obstruktif

Kronik antara lain sesak nafas, produksi sputum meningkat dan keterbatasan

aktivitas, akibat yang di timbulkan dari produksi sputum meningkat

mengakibatkan obstruksi saluran pernafasan sehingga mempengaruhi pola

tidur klien (Khotimah 2013 dalam ikawati, 2016). Kondisi Sesak Nafas Saat

tidur mengakibatkan sistem aktivasi retikular (SAR) meningkat dan

melepaskan katekolamin seperti norepinefrin yang menyebabkan individu

2
terjaga dan mengakibatkan gangguan Pola tidur. Bila pasien tidak tertangani

akan mengakibatkan gagal jantung (Potter 2005 dalam Umiyatun, 2016).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan

masalahnya, yaitu : Adakah hubungan

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk Mengetahui hubungan………………

2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi Variabel Independen

2. Mengidentifikasi Variabel Dependen

3. Menganalis Hubungan/pengaruh antara Variabel Independen &

Dependen

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat dipakai sebagai dasar dan dijadikan bahan

perbandingan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya,

khususnya mengenai.

2. Manfaat Praktis

3
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diambil manfaatnya oleh

semua pihak, khusunya :

a. Bagi Responden

b. Bagi Lahan Peneliti

c. Bagi peneliti lain

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kebiasaan sarapan dan konsumsi teh dengan

kejadian anemia pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu :

4
No Nama Peneliti, Judul Nama Jurnal Variabel Metode Desain Sampling Hasil
Tahun Independen Dependen Penelitian
1 Indonesia
2 Indonesia
3 Luar Negri

1
BAB II

KONSEP TEORI

A. Dukungan Keluarga

a. Konsep keluarga

Definisi keluarga menurut Notoatmojo (2016) keluarga adalah unit


terkecil dari masyarakat yan terdiri atas kepala keluarga dan beberapa
orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap
dalam keadaan saling ketergangtungan , adanya ikatan perkawinan atau
pertaian darah, berinteraksi di antara sesame anggota keluarga, memiliki
perannya masing-masing. Keluarga adalah suatu ikatan anatar laki-laki dan
perempuan berdasarkan hokum dan undang-undang perkawinan yang sah.

b. Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga menurut Friedman (2013) adalah sikap,


tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa
dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan
dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk
hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan
terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang
memperhatikan. Orang yang berada dalam lingkungan sosial yang suportif
umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan rekannya yang
tanpa keuntungan ini, karena dukungan keluarga dianggap dapat
mengurangi atau menyangga efek kesehatan mental individu.

Dukungan keluarga adalah bantuan yang dapat diberikan kepada


anggota keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasihat yang
mampu membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai, dan
tenteram. Dukungan ini merupakan sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang
bahwa orang yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi

9
pertolongan dan bantuan yang diperlukan. Dukungan keluarga yang
diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga yang lainnya
dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat dalam sebuah
keluarga. Bentuk dukungan keluarga terhadap anggota keluarga adalah
secara moral atau material. Adanya dukungan keluarga akan berdampak
pada peningkatan rasa percaya diri pada penderita dalam menghadapi
proses pengobatan penyakitnya (Misgiyanto & Susilawati, 2014).
a. Bentuk dan Fungsi Dukungan Keluarga

Friedman (2013) membagi bentuk dan fungsi dukungan keluarga

menjadi 4 dimensi yaitu:

1) Dukungan Emosional

Dukungan emosional adalah keluarga sebagai tempat yang

aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu

penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan

emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk

afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan

didengarkan. Dukungan emosional melibatkan ekspresi

empati, perhatian, pemberian semangat, kehangatan pribadi,

cinta, atau bantuan emosional (Friedman, 2013). Dengan

semua tingkah laku yang mendorong perasaan nyaman dan

mengarahkan individu untuk percaya bahwa ia dipuji,

dihormati, dan dicintai, dan bahwa orang lain bersedia untuk

memberikan perhatian (Sarafino, & Smith 2011)

2) Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental adalah keluarga merupakan sumber

10
pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya adalah dalam hal

kebutuhan keuangan, makan, minum, dan istirahat (Friedman,

2013).

3) Dukungan Informasional

Dukungan informasional adalah keluarga berfungsi sebagai

pemberi informasi, dimana keluarga menjelaskan tentang

pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan

mengungkapkan suatu masalah. Aspek-aspek dalam dukungan

ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian

informasi (Friedman, 2013).

4) Dukungan Penilaian atau Penghargaan

Dukungan penghargaan atau penilaian adalah keluarga

bertindak membimbing dan menengahi pemecahan masalah,

sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga

diantaranya memberikan support, penghargaan, dan perhatian

(Friedman, 2013).

Sedangkan menurut Indriyani (2013) membagi dukungan

keluarga menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Dukungan Fisiologis

Dukungan fisiologis merupakan dukungan yang dilakukan

dalam bentuk pertolongan-pertolongan dalam aktivitas

seharihari yang mendasar, seperti dalam hal mandi

menyiapkan makanan dan memperhatikan gizi, toileting,

11
menyediakan tempat tertentu atau ruang khusus, merawat

seseorang bila sakit, membantu kegiatan fisik sesuai

kemampuan, seperti senam, menciptakan lingkungan yang

aman, dan lain-lain

2) Dukungan Psikologis

Dukungan psikologis yakni ditunjukkan dengan memberikan

perhatian dan kasih sayang pada anggota keluarga,

memberikan rasa aman, membantu menyadari, dan memahami

tentang identitas. Selain itu meminta pendapat atau melakukan

diskusi, meluangkan waktu bercakap-cakap untuk menjaga

komunikasi yang baik dengan intonasi atau nada bicara jelas,

dan sebagainya.

3) Dukungan Sosial

Dukungan sosial diberikan dengan cara menyarankan individu

untuk mengikuti kegiatan spiritual seperti pengajian,

perkumpulan arisan, memberikan kesempatan untuk memilih

fasilitas kesehatan sesuai dengan keinginan sendiri, tetap

menjaga interaksi dengan orang lain, dan memperhatikan

norma-norma yang berlaku.

b. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2013) ada bukti kuat dari hasil penelitian

yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara

kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman

12
perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil

menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak yang

berasal dari keluarga yang lebih besar. Selain itu dukungan

keluarga yang diberikan oleh orang tua (khususnya ibu) juga

dipengaruhi oleh usia. Ibu yang masih muda cenderung untuk

lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya

dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua.

Friedman (2013) juga menyebutkan bahwa faktor yang

mempengaruhi dukungan keluarga adalah kelas sosial ekonomi

meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan dan tingkat

pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan

yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam

keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas dan

otokrasi. Selain itu orang tua dan kelas sosial menengah

mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih

tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah. Faktor

lainnya adalah adalah tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat

pendidikan kemungkinan semakin tinggi dukungan yang

diberikan pada keluarga yang sakit.

c. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan

Menurut Mubarak (dalam Misgiyanto & Susilawati, 2014)


terdapat hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan
anggotanya dimana peran keluarga sangat penting bagi setiap aspek
perawatan kesehatan anggota keluarga, mulai dari strategi-strategi

13
hingga fase rehabilitasi. Pernyataan ini berarti bahwa dukungan
keluarga yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap penderita sakit merupakan salah satu peran dan fungsi
keluarga yaitu memberikan fungsi afektif untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial anggota keluarganya dalam memberikan
kasih sayang (Friedman, 2013).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Romadoni

(2016) bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga

dengan tingkat ansietas pasien pre operasi mayor disebabkan

bahwa dukungan keluarga dari pihak keluarga sangat dibutuhkan

terhadap penderita sakit, anggota keluarga sangat penting,

sehingga anggota keluarga tersebut meras nyaman dan dicintai

apabila dukungan keluarga tersebut tidak adekuat maka merasa

diasingkan atau tidak dianggap oleh keluarga, sehingga seseorang

akan mudah mengalami ansietas dalam menjalani operasi.

d. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Menurut Andarmoyo (2012) tugas kesehatan keluarga adalah

sebagai berikut:

1) Mengenal masalah kesehatan.

2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.

3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.

4) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.

5) Mempertahankan hubungan dengan menggunakan fasilitas

kesehatan masyarakat.

Menurut Donsu (2015) tugas keluarga adalah:

14
1) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2) Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

3) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai

dengan kedudukannya masing-masing.

4) Sosialisasi antar anggota keluarga Pengaturan jumlah anggota


keluarga.

5) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

6) Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat

yang lebih luas.

7) Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.

e. Instrumen Dukungan Keluarga

Untuk mengungkap variabel dukungan keluarga, dapat

menggunakan skala dukungan keluarga yang diadaptasi dan

dikembangkan dari teori Friedman yang telah dimodifikasi oleh

Nurwulan (2017). Aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur

dukungan keluarga adalah dukungan emosional, dukungan

instrumental, dukungan penilaian/penghargaan, dan dukungan

informasional.

Tabel 1. Indikator Alat Ukur Dukungan Keluarga

No. Indikator
1. Dukungan emosional
2. Dukungan instrumental
3. Dukungan penilaian/
penghargaan
4. Dukungan informasional

15
8) Pada pengisian skala ini, sampel diminta untuk

menjawab pertanyaan yang ada dengan memilih salah

satu jawaban dari beberapa alternatif jawaban yang

tersedia. Skala ini menggunakan skala model likert yang

terdiri dari pernyataan dari empat alternatif jawaban

yaitu 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= sering ,

4=selalu

B. Konsep Dasar Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Menurut Stuart (2013) kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak

jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Kecemasan merupakan suatu kondisi emosional yang ditandai

dengan rasa takut yang tidak jelas sumbernya. Ia diliputi oleh

kekhawatiran terhadap berbagai hal yang mungkin dialami dalam

perjalanan hidupnya (Surya, 2014). Sedangkan menurut Hawari (2016)

kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan

perasaan ketakutan dan khawatir yang mendalam dan berkelanjutan,

tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (masih baik),

kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian),

perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas normal.

Jadi berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan

bahwa kecemasan adalah perasaan takut dan khawatir yang menyebar

namun tidak jelas sumbernya dan biasanya berhubungan dengan berbagai

hal yang dialami dalam hidupnya.

16
2. Jenis-Jenis Kecemasan

Menurut Spielberger (dalam Safaria & Saputra, 2012)

menjelaskan kecemasan dalam dua jenis, yaitu:

a. Trait Anxiety

Yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang menghinggapi

diri seseorang terhadap kondisiyang sebenarnya

tidak berbahaya Kecemasan ini disebabkan oleh

kepribadian individu yang memang memiliki potensi cemas

dibandingkan dengan individu yang lainnya.

1) State Anxiety

Merupakan kondisi emosional dan keadaan sementara pada

diri individu dengan adanya perasaan tegang dan khawatir

yang dirasakan secara sadar serta bersifat subjektif.

Sedangkan menurut Freud (dalam Olson & Hergenhahn, 2013)

membedakan 3 jenis kecemasan, yaitu :

1) Kecemasan Realitas

Disebabkan oleh sumber-sumber bahaya yang riil dan objektif

di lingkungan dan jenis kecemasan yang paling mudah

diredakan lantaran dengan bertindak sesuatu, maka persoalan

memang akan bisa selesai secara objektif.

2) Kecemasan Neurotik

Rasa takut bahwa impuls-impuls id akan mengatasi

kemampuan ego menangani, dan menyebabkan manusia

17
melakukan sesuatu yang akan membuatnya dihukum.

3) Kecemasan Moral

Rasa takut bahwa seseorang akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

nilai-nilai superego sehingga membuatnya mengalami rasa bersalah

b. Aspek-Aspek Kecemasan

Stuart (2013) mengelompokkan kecemasan (anxiety) dalam

respon perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya;

1) Perilaku, diantaranya: gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi

terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung

mengalami cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal,

inhibisi, melarikan diri dari masalah, menghindar,

hiperventilasi, dan sangat waspada.

2) Kognitif, diantaranya: perhatian terganggu, konsentrasi buruk,

pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi,

hambatan berpikir, lapang persepsi menurun, kreativitas

menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada,

keasadaran diri, kehilangan objektivitas, takut kehilangan

kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera atau

kematian, kilas balik, dan mimpi buruk.

3) Afektif, diantaranya: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah,

tegang, gugup, ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran,

kecemasan, mati rasa, rasa bersalah, dan malu.

Kemudian Shah (dalam Ghufron & Risnawita, 2014) membagi

18
kecemasan menjadi tiga aspek, yaitu:

1) Aspek fisik, seperti pusing, sakit kepala, tangan mengeluarkan

keringat, menimbulkan rasa mual pada perut, mulut kering,

grogi, dan lain-lain.

2) Aspek emosional, seperti timbulnya rasa panik dan rasa takut

3) Aspek mental atau kognitif, timbulnya gangguan terhadap

perhatian dan memori, rasa khawatir, ketidakteraturan dalam

berpikir, dan bingung.

c. Rentang Respons Kecemasan

Gambar 1. Rentang Respons


Kecemasan Sumber: Stuart
(2013)

1) Respons Adaptif

Hasil yang positif akan didapatkan jika individu dapat

menerima dan mengatur kecemasan. Kecemasan dapat menjadi

suatu tantangan, motivasi yang kuat untuk menyelesaikan

masalah dan merupakan sarana untuk mendapatkan

penghargaan yang tinggi. Strategi adaptif biasanya digunakan

seseorang untuk mengatur kecemasan antara lain dengan

berbicara kepada orang lain, menangis, tidur, latihan, dan

19
menggunakan teknik relaksasi (Stuart, 2013)

2) Respons Maladaptif

Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu menggunakan

mekanisme koping yang disfungsi dan tidak berkesinambungan

dengan yang lainnya. Koping maladaptif mempunyai banyak

jenis termasuk perilaku agresif, bicara tidak jelas isolasi diri,

banyak makan, konsumsi alkohol, berjudi, dan penyalahgunaan

obat terlarang (Stuart, 2013)

Menurut Stuart (2013), ada beberapa tingkat

kecemasan dan karakteristiknya antara lain:

1) Kecemasan Ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,

kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan

meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta

kreativitas.

2) Kecemasan Sedang

Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting

dan mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit

lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu

mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus

pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

3) Kecemasan Berat

20
4) Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu
cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta
tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak
arahan untuk berfokus pada area lain. Tingkat Panik

Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal

yang rinci terpecah dari proporsinya karena mengalami

kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak

mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik

mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan

peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,

dan kehilangan pemikiran yang rasional.

d. Gejala Kecemasan

Hawari (2015) mengemukakan gejala kecemasan diantaranya:

1) Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang,

2) Memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir),

3) Kurang percaya diri, gugup apabila tampil di muka umum

(demam panggung),

4) Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain,

5) Tidak mudah mengalah, suka ngotot,

6) Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah,

7) Sering mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik),

khawatir berlebihan terhadap penyakit,

21
8) Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah

yang kecil (dramatisasi),

9) Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa

bimbang dan ragu Bila mengemukakan sesuatu atau

bertanya seringkali diulang- ulang,

10) Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris.

e. Faktor-Faktor Kecemasan

Blackburn & Davidson (dalam Safaria & Saputra, 2012)

menjelaskan faktor-faktor yang menimbulakan kecemasan, seperti

pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai situasi yang

sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut mengancam atau

tidak memberikan ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai

kemampuan diri untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan

emosi serta fokus kepermasalahannya).

Menurut Lutfa dan Maliya (dalam Nurwulan, 2017) faktor-faktor

yang mempengaruhi kecemasan operasi adalah sebagai berikut:

1) Faktor-Faktor Intrinsik, antara lain:

a) Usia Pasien

Gangguan kecemasan lebih sering terjadi pada usia dewasa

dan lebih banyak pada wanita. Menurut Stuart & Sundeen

(dalam Nurwulan, 2017) Sebagian besar kecemasan terjadi

pada umur 21-45 tahun.

b) Pengalaman

22
Menjelaskan bahwa pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan

sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.

Apabila pengalaman individu tentang pengobatan kurang, maka

cenderung mempengaruhi peningkatan kecemasan saat menghadapi

tindakan pengobatan selanjutnya.

c) Konsep Diri dan Peran

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan

pendirian yang diketetahui individu terhadap dirinya dan

mempengaruhi individu untuk berhubungan dengan orang

lain. Peran adalah pola, sikap, perilaku dan tujuan yang

diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di

masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran

seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai

dengan peran, konsistensi respon orang lain yang berarti

terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran

yang dialaminya, serta keselarasan budaya dan harapan

individu terhadap perilaku peran. Selain itu terjadinya

situasi yang menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran,

akan mempengaruhi kehidupan individu. Pasien yang

mempunyai peran ganda baik di dalam keluarga atau di

masyarakat akan cenderung mengalami kecemasan yang

berlebih disebabkan konsentrasi terganggu.

2) Faktor-Faktor Ekstrinsik, antara lain :

a) Kondisi Medis

23
Terjadinya kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis

sering ditemukan, walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk

masing-masing kondisi medis, misalnya: pada pasien yang

mendapatkan diagnosa operasi akan lebih mempengaruhi tingkat

kecemasan pasien dibandingkan dengan pasien yang didiagnosa

baik.

b) Tingkat Pendidikan

Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola

pikir, pola bertingkah laku dan pola pengambil keputusan.

Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam

mengidentifikasi stressor dalam diri sendiri maupun dari

luarnya.

c) Akses Informasi

Akses informasi merupakan pemberitahuan tentang sesuatu

agar orang membentuk pendapat berdasarkan sesuatu yang

diketahuinya. Informasi yang akan didapatkan pasien

sebelum pelaksanaan tindakan operasi terdiri dari tujuan,

proses, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan yang

tersedia, serta proses administrasi (Smeltzer dan Bare dalam

Nurwulan, 2017).

d) Adaptasi

Kozier dan Olivery (dalam Nurwulan, 2017), menjelaskan bahwa

tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan

24
eksternal dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.

Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan

bantuan dari sumber-sumber dimana individu berada. Perawat

merupakan sumber daya yang tersedia dirumah sakit yang

mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien

mengembalikan atau mencapai keseimbangan diri dalam

menghadapi lingkungan yang baru

e) Tingkat Sosial Ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat

kelas sosial ekonomi rendah memililki prevalensi gangguan

psikiatrik yang lebih banyak. Dari penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa keadaan ekonomi yang rendah atau

dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pada pasien

menghadapi tindakan operasi.

f) Tindakan Operasi

Adalah klasifikasi tindakan terapi medis yang dapat

mendatangkan kecemasan karena terdapat ancaman pada

integritas tubuh dan jiwa seseorang (Muttaqin dan Sari,

dalam Nurwulan 2017).

g) Lingkungan

Menurut Ramaiah (dalam Nurwulan, 2017) lingkungan atau

sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir. Hal ini

bisa saja disebabkan pengalaman dengan keluarga, sahabat,

rekan sejawat dan lain-lain. Kecemasan wajar timbul jika

25
anda merasa tidak aman terhadap lingkungan.

f. Alat Ukur Kecemasan

Perdana, dkk. (2015) mengatakan untuk mengetahui tingkat

kecemasan dari ringan, sedang, berat dan sangat berat dapat

diukur dengan skala APAIS (Amsterdam Preoperative Anxiety

and Information Scale).

Alat ukur APAIS ini terdiri dari 6 item kuestioner yaitu:

1) Mengenal Anestesi

a) Saya merasa cemas mengenai tindakan anestesi (1= tidak

cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).

b) Saya memikirkan mengenai tindakan anestesi (pembiusan)

(1= tidak cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat

sekali).

c) Saya ingin tahu sebanyak mungkin mengenai tindakan

anestesi (pembiusan) (1= tidak cemas, 2= ringan,3= sedang,

4= berat, 5= berat sekali).

2) Mengenai Pembedahan/Operasi

a) Saya merasa cemas mengenai prosedur operasi (1= tidak

cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).

b) Saya memikirkan mengenai prosedur operasi (1= tidak

cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).

c) Saya ingin tahu sebanyak mungkin mengenai prosedur

operasi (1= tidak cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5=

26
berat sekali).

Skor interpretasi kecemasan APAIS adalah sebagai

berikut, 1-6 : Tidak ada kecemasan

7-12 : Kecemasan

ringan 13-18 :

Kecemasan sedang

19-24 : Kecemasan

berat

25-30 : Kecemasan berat sekali/panic

C. Konsep Dasar Penyakit Paru Obstruktif Kronik

1. Pengertian

Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit paru kronik yang

ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

nonreversibel atau reversibel parsial. penyakit paru obstruktif kronik terdiri dari

bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2011).

Penyakit obstruktif kronik (penyakit paru obstruktif kronik) adalah

penyakit yang di tandai dengan adanya keterbatasan aliran udara kronis dan

perubahan patologis pada paru-paru, beberapa memiliki efek extra

pulmonal.Ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang sepenuhnya tidak

reversible ( Alwi, dkk, 2015 ).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau disebut juga Chronic Obstruktive

Pulmonary Disease ( COPD ) adalah penyakit paru yang dapat ditimbulkan akibat

27
paparan dari debu batu bara yang mengakibatkan timbulnya penyakit. Ada dua

penyakit yaitu Chronic Bronchitis (Bronkitis kronis) dan emphysema (emfisema).

Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah penurunan angka restriktif pada saat

pemeriksaan paru dan nafas yang terputus putus dan pendek. Penurunan fungsi

paru timbul pada saat terjadi peningkatan jumlah pajanan debu batu bara dalam

tubuh ditambah dengan adanya kebiasaan merokok dan beberapa faktor lainnya

(Sugiharti dan Sondari, 2015 ).

2. Etiologi

Padilla (2012) menjelaskan Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya

Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah:

1. Kebiasaan merokok

2. Polusi udara

3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja

4. Riwayat infeksi saluran nafas

5. Bersifat genetik yaitu defisiensi

3. Patofisiologi

Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lender dan

inflamasi, karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang

mensekresi lender dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia

menurun, dan lebih banyak lender yang di hasilkan, sebagai akibat,

bronkiolus menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan

dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis,

28
mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar, yang berperan

penting dalam menghancurkan partikel asing, termasuk bakteri. Pasien

kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan

bronchial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotic yang terjadi

dalam jalan napas. Pada waktunya, mungkin terjadi perubahan paru yang

irreversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkietasis

(brunner & suddarth, 2017).

4. WOC/PATHWAY

29
5. Gambaran Klinis

1) Secara Umum

Brunner and Suddarth (2015) menjelaskan tentang tanda dan gejala

Penyakit Paru Obstruktif Kronik antara lain :

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum,

dan dispnea saat mengerahkan tenaga kerap memburuk seiring dengan waktu.

2. Penurunan berat badan sering terjadi.

3. Gejala yang spesifik sesuai dengan penyakit, yaitu sebagai berikut :

2) Secara Khusus

1) Bronkitis Kronis

Padila (2012) menjelaskan tanda gejala bronkitis kronik meliputi :

a. Batuk yang sangat produktif, puruken, dan mudah memburuk oleh

iritan – iritan inhalan, udara dingin atau infeksi.

30
b. Sesak napas dan dispnea.

c. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru

menyebabkan dada mengembang.

d. Hipoksia dan hiperkapnea

e. Takipnea

f. Dispnea yang menetap

2) Emfisema

Padila (2012) menjelaskan tentang tanda dan gejala emfisema adalah

sebagai berikut :

a. Dispnea

b. Takipnea

c. Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan

d. Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru

e. Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi

f. Hipoksemia

g. Hiperkapnia

h. Anoreksia

i. Penurunan Berat Badan

j. Kelemahan

3) Asma

Padila (2012) menjelaskan tentang tanda dan gejala asma antara lain :

a. Batuk

b. Dispnea

31
c. Mengi

d. Hipoksia

e. Takikardi

f. Berkeringat

g. Pelebaran tekanan nadi

6. Penatalaksanaan

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) menjelaskan tentang tujuan

penatalaksanaan pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik antara

lain :

1) Mengurangi gejala

2) Mencegah eksaserbasi berulang

3) Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

4) Meningkatkan kualitas hidup penderita

1) Penatalaksanaan secara umum penyakit paru obstruktif kronik

meliputi :

1) Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

penyakit paru obstruktif kronik stabil. Edukasi pada penyakit paru

obstruktif kronik berbeda dengan edukasi pada asma. Karena penyakit

paru obstruktif kronik adalah penyakit kronik yang ireversibel dan

progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas

dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan

32
asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan

memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan

dari asma (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

a. Tujuan edukasi pada pasien penyakit paru obstruktif kronik

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) menjelaskan tentang tujuan edukasi

pada pasien penyakit paru obstruktif kronik antara lain

a) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

b) Melaksanakan pengobatan yang maksimal

c) Mencapai aktivitas optimal

d) Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi penyakit paru obstruktif kronik diberikan sejak ditentukan

diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi

penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan

dipoliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di

rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik

konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat

peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien

penyakit paru obstruktif kronik, memberikan semangat hidup walaupun

dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup

merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien

penyakit paru obstruktif kronik. Bahan dan cara pemberian edukasi harus

disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan

33
sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2011). Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :

a) Pengetahuan dasar tentang penyakit paru obstruktif kronik

b) Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

c) Cara pencegahan perburukan penyakit

d) Menghindari pencetus (berhenti merokok)

e) Penyesuaian aktivitas

2) Obat – obatan

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) menjelaskan obat – obatan

pada salah satu anggota keluarga yang mengalami Penyakit paru obtruksi

kronik (penyakit paru obstruktif kronik) adalah sebagai berikut:

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan

pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan

pemberian obat lepas lambat (slow release ) atau obat berefek panjang (

longacting ) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Macam - macam bronkodilator menurut Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (2011) antara lain:

a) Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai

bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali

34
perhari ).

b) Golongan agonis beta – 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan

jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya

eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan

bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat

digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan

untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau

drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta –2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek

bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang

berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih

sederhana dan mempermudah penderita.

d) Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan

jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega

napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi

eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan

pemeriksaan kadar aminofilin darah.

35
b. Anti inflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau

injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,

dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi

sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji

kortikosteroid positif yaituterdapat perbaikan FEV1

pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

c. Anti biotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan

menurut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011) antara lain :

(1) Lini I : amoksisilin makrolid

(2) Lini II : amoksisilin dan asam klavulan atsefal osporinkuinol

onmakrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih

(1) Amoksilin dan klavulanat

(2) Sefalosporin generasi II & III injeksi

(3) Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas

(1) Aminoglikose per injeksi

(2) Kuinolon per injeksi

(3) Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Anti oksidan

36
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup

digunakan N-asetilsistein.Dapat diberikan pada penyakit paru

obstruktif kronik dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan

sebagai pemberian yang rutin (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2011).

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan

mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis

kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada

penyakit paru obstruktif kronik bronkitis kronik, tetapi tidak

dianjurkan sebagai pemberian rutin (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2011).

3) Terapi Oksigen

Pada penyakit paru obstruktif kronik terjadi hipoksemia progresif dan

berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.

Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk

mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik

di otot maupun organ -organ lainnya (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2011).

a. Manfaat oksigen :

a) Mengurangi sesak

b) Memperbaiki aktivitas

c) Mengurangi hipertensi pulmonal

37
d) Mengurangi vasokonstriksi

e) Mengurangi hematokrit

f) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

g) Meningkatkan kualiti hidup

(1) Indikasi

a) Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

b) Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor

Pulmonal, perubahan Ppullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal

jantung kanan, sleep apnea, penyakit parulain

(2)Macam terapi oksigen :

a) Pemberian oksigen jangka panjang

b) Pemberian oksigen pada waktu aktivitas

c) Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

d) Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan dirumah maupun dirumah sakit. Terapi

oksigen dirumah diberikan kepada penderita penyakit paru obstruktif

kronik stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan

dirumah sakit oksigen diberikan pada penyakit paru obstruktif kronik

eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011). Oksigen untuk penderita

penyakit paru obstruktif kronik yang dirawat dirumah dibedakan :

a) Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy

= LTOT )

38
b) Pemberian oksigen pada waktu aktivitas

c) Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan dirumah pada keadaan

stabil terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam

setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi

oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering

terjadi bila penderita tidur (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2011).

Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak

napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter

digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen

harus mencapai saturasi oksigen di atas 90% (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2011).

(3) Alat bantu pemberian oksigen

a) Nasal kanul

b) Sungkup venturi

c) Sungkup rebreathing

d) Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan

kondisi analisis gasdarah pada waktu tersebut.

4) Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik,

kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja

39
muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan

hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi

akan menambah mortaliti penyakit paru obstruktif kronik karena

berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan

analisis gas darah (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

a. Penurunan berat badan

b. Kadar albumin darah

c. Antropometri

d. Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot

pipi)

e. Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak

akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada penyakit paru

obstruktif kronik tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat

metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang

masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan

secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster

(perhimpunan dokter paru indonesia, 2011).

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah

karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat

meningkatkan ventilasi semenit oxigencomsumption dan respons ventilasi

terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada penyakit paru obstruktif

40
kronik dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat

menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi

pada penyakit paru obstruktif kronik karena berkurangnya fungsi

muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.

Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :

a) Hipofosfatemi

b) Hiperkalemi

c) Hipokalsemi

d) Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian

nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu

pemberian yang lebih sering.

7. Pemeriksaan Penunjang

Alwi (2015) menjelaskan tentang adanya beberapa pemeriksaan penunjang,

yaitu :

1) Uji spirometri ( standard baku )

Volume Ekspirasi Paksa ( VEP )1 atau Kapasitas Vital Paru ( KVP ) atau

FEV1 / FVC < 70 %. Meningkatnya kapasitas total paru – paru,

kapasitas residual fungsional, dan volume residual.

2) Rontgen thorax : paru hiperinflasi, diafragma mendatar

3) Analisis gas darah

4) Level serum a1 antitripsin sesuai indikasi.

8. Komplikasi

41
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ( 2011 ), menjelaskan bahwa komplikasi

yang terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik adalah :

1) Gagal napas

a. Gagal napas kronik

b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

2) Infeksi berulang

3) Kor pulmonal

Gagal napas kronik :

Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH

normal, penatalaksanaan :

1) Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

2) Bronkodilator adekuat

3) Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur

4) Antioksidan

5) Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :

1) Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

2) Sputum bertambah dan purulen

3) Demam

4) Kesadaran menurun

42
B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang ingin diamati atau di ukur melalui penelitian-

penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini

kerangka konsepnya adalah sebagai berikut :

INPUT PROSES OUTPUT

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

C. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil

sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut.

43
Setelah melalui pembuktian hasil penelitian maka hipotesis ini dapat benar atau

salah, dapat diterima atau ditolak (Notoadmodjo,2010)

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ada hubungan kebiasaan makan pagi dan konsumsi teh dengan kejadian

anemia pada remaja putri di SMA Pawyatan Daha Kota Kediri.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

44
Dalam penelitian ini menggunakan desain Analitik Koresional dengan

pendekatan waktu Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara factor-faktor resiko dengan efek, dengan cara

pendekatan, observasi atau pengumpulan data di amil sekali saja

(Notoatmojo,2016)

B. Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah bagian kerja terhadap rancangan kegiatan yang

akan dilakukan (Hidayat,2010).

Populasi
Seluruh siswi kelas XI SMA Pawyatan Daha Kota Kediri
sebanyak 47 siswi

Purposive sampling

Sampel
Sebagian siswi kelas XI SMA Pawyatan Daha Kota Kediri
yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 30 Responden

Pengumpulan Data

Variabel Independent Variabel Independen Variabel


Kebiasaan makan Konsumsi Teh Dependent
pagi (kuesioner) Kejadian anemia
(kuesioner) (observasi)

Pengolahan data
Editing, Coding, Tabulating

Analisa data
menggunakan uji statistik Chi-Square

45
Hasil

Kesimpulan

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian

C. Populasi, Sampel, dan Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti (Wasis,

2008). Dalam penelitian ini adalah Seluruh

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai/karateristiknya

kita ukur dan yang nantinya kita pakai untuk menduga karakteristik dari

populasi (Hastono, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian .

Ada dua kreteia sampel yaitu inklusi dan kreteria eksklusi.

Penentuan kreteria sampel diperlukan untuk mengurangi hasil penelitiaan

yang bias. Kreteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Notoatmodjo,

2010).

3. Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi posisi dari populasi untuk

dapat mewakili populasi (Nursalam, 2011).

Teknik sampling yang digunakan adalah

D. Variabel Penelitian

46
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2010).

1. Variabel Independen

Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan

variabel lain (Nursalam, 2011). Variabel Independen pada penelitian ini

adalah

2. Variabel Dependen

Variabel Dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh

variabel lain (Nursalam, 2011). Variabel Dependen dalam penelitian ini

adalah

E. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang dapat diamati dari suatu yang didefinisikan

tersebut yang memungkinkan peneliti untuk melakukan secara cermat terhadap

obyek atau fenomena (Nursalam, 2011).

47
Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Parameter / Alat Ukur Skala Data Kategori


Indikator
Bebas :

Terikat :

1
F. Lokasi Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di

2. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal

G. Teknik Pengumpulan Data

Instrumen merupakan alat ukur yang digunakan peneliti pada waktu penelitian

menggunakan suatu metode (Arikunto, 2010). Pada penelitian ini data yang digunakan adalah

jenis data primer. Jenis data primer diperoleh dari pengukuran gaya hidup dengan

menggunakan kuesioner dan kejadian anemia dengan lembar observasi.

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Meminta surat Ijin survey dan pengambilan data awal ke Kampus

2. Meminta ijin kepada Kepala Sekolah SMA Pawyatan Daha Kota Kediri.

3. Memberikan informed consent kepada responden dan menerangkan maksud dan tujuan

penelitian.

4. Jika disetujui dilakukan pemberian kuesioner kepada responden.

4. Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data melalui tahapan berikut :

a. Editing

Editing adalah mengkaji dan meneliti kembali data yang akan dipakai apakah

sudah baik dan dipersiapkan untuk proses berikutnya.

b. Coding

2
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari responden dan menurut

macamnya dengan memberi kode pada masing-masing jawaban. Adapun pengkodean

variabel meliputi :

Variabel Kebiasaan Makan Pagi

1. Selalu (5-7 kali seminggu) (3)

2. Kadang-kadang (3-4 kali seminggu) (2)

3. Jarang atau tidak pernah (0-2 kali seminggu) ( 1 )

Variabel konsumsi Teh

1. Konsumsi teh ≤ 3 jam setelah makan pagi (2)

2. Konsumsi teh > 3 jam setelah makan pagi (1)

Variabel Anemia

1. Tidak anemia (2)

2. Anemia (1)

c. Scoring

Setelah data terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan pemberian skor

penelitian (Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini terdapat 3 pertanyaan untuk kebiasaan

makan pagi dan konsumsi teh. Dimana setiap item memiliki skor yang berbeda-beda.

Setelah skor tiap pertanyaan didapatkan kemudian dilakukan penjumlahan skor dari

seluruh item pertanyaan, dimana nilai tertinggi adalah 3 dan terendah 1 pada kuesioner

kebiasaan makan pagi sedangkan pada kuesioner konsumsi teh nilai tertinggi 2 dan

terendah 1. Dari skor yang didapatkan kemudian dilakukan klasifikasi dalam bentuk

presentase dengan rumus :

Sp
N= = X 100%
Sm

Keterangan :

3
N = nilai yang didapat

Sp = skor yang didapat

Sm = skor maksimal.

d. Tabulating

Tabulasi adalah penyusunan data dalam bentuk table

H. Analisis Data

Analisa data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok

penelitian, yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengungkap fenomena

(Nursalam, 2011). Pada penelitian setelah data terkumpul maka dilakukan tabulasi data.

Untuk mengetahui hubungan antara variabel, dilakukan uji statistik Chi-Square

menggunakan Statistical Product and Solution Service (SPSS) untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung yang berskala

nominal (Sugiyono, 2009). dengan derajat kemaknaan ditentukan α = 0,05 artinya jika hasil

uji statistik menunjukkan p ≤ α maka ada hubungan signifikan antar variabel.

I. Etika penelitian

1. Informed Consent

Lembar persetujuan ini diberikan kepada subyek yang akan diteliti. Peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan yang akan dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi

selama dan sesudah pengumpulan data. Jika calon responden bersedia untuk diteliti,

maka ,mereka harus menandatangani lembar tersebut. Jika calon responden menolak untuk

diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormati hak-haknya (Hidayat,

2011).

2. Anomnity

4
Untuk menjaga kerahasiaan responden maka peneliti tidak akan menentukan nama

responden pada lembar pengumpulan data. Cukup dengan memberi kode pada masing-

masing lembar tersebut (Hidayat, 2011).

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi responden terjamin oleh peneliti karena hanya kelompok data

tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset (Hidayat, 2011)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, D. 2005. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa Profesi Di Indonesia.Jakarta :

Dian Rakyat.

Alsuhendra. Makan Nasi, Jangan Minum Teh. Kompas, 2002


http://www.kompas.com/kesehatan/news/0204/18/080652.htm (Diunduh pada tanggal
13-05-2015 pukul 15.00 WIB)
5
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
2013.

Besral, LM, Junaiti, S. 2007. Pengaruh Minum The terhadap KejadianAnemia pada Usila di
Kota Bandung. MAKARA, Kesehatan, Vol. 11, No. 1. Juni 2007.

Sumber Pustaka Terbaru (5 Tahun)

Anda mungkin juga menyukai