Anda di halaman 1dari 226

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


RSUD DOKTER SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA

Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pembimbing Akademik : Siti Rohimah, S.Kep., Ners.,M.Kep.

Oleh :

Profesi Ners FIKes Universitas Galuh

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
RSUD DOKTER SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA

Dosen Pembimbing : Siti Rohimah, S.Kep., Ners.,M.Kep. NIK.3112770619


Akademik

Disusun Oleh : Acep Diki NIM. 1490121080


Ahmad Taupik Hidayat NIM. 1490121070
Akmal Fadillah Sidiq NIM. 1490121090
Angga Rai Gunawan NIM. 1490121030
Arina Asmara Putri NIM. 1490121095
Asep Nuryana NIM. 1490121081
Asti Ginantika NIM. 1490121047
Astri Diansari NIM. 1490121032
Candra Maolana Ramdhani NIM. 1490121083
Deden Nugraha NIM. 1490121092
Detya Nurrahmatilah NIM. 1490121042
Devi Apriyanti NIM. 1490129024
Dian Setiawan NIM. 1490121085
Diana Nuraeni NIM. 1490121060
Dina Sobarina NIM. 1490121018
Elin Novia Ratnasari NIM. 1490121027
Erick Ramadhan NIM. 1490121038
Eriska Valency NIM. 1490121086
Erli Wiji Astuti NIM. 1490121036
Faisal Kurnia Muharam NIM. 1490121077
Fitri Risnawaty NIM. 1490121097
Ida Mildayani NIM. 1490121040
Iga Damayanti NIM. 1490121029
Ika Komalasari NIM. 1490121028
Ilham Syehabudin NIM. 1490121084
Intan Nurlaelasari NIM. 1490121041
Iqbal Raja Fauzan NIM. 1490121031
Karina Agustin NIM. 1490121037
Lina Yuliana NIM. 1490121049
Merisa Putri Utami NIM. 1490121093
Mita Herdiana NIM. 1490121026
Monica Kurnia N NIM. 1490121063
Nabila Ramadhanty NIM. 1490121035
Novia Puspita Dewi NIM. 1490121063
Nur Aini NIM. 1490121033
Nur Seha Romadoni NIM. 1490121039
Nurul Aini Cahyani NIM. 1490121023
Rena Resita NIM. 1490121100
Rima Rismalah NIM. 1490121050
Risa Yulianti NIM. 1490121091
Siti Aisyah NIM. 1490121034
Sri Wahyuni NIM. 1490121044
Tika Kartika NIM. 1490121082
Wildan Sofia Dewi NIM. 1490121048
Wulan Sari Dewi NIM. 1490121051
Wulan Septieni NIM. 1490121025
Yulianti NIM. 1490121116
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-
Nya Laporan Pendahuluan Stase Keperawatan Gawat Darurat RSUD Dokter Soekardjo
Kota Tasikmalaya ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan kepada
umatnya yang senantiasa taat sampai akhir zaman.
Keperawatan gawat darurat (emergency nursing) adalah asuhan keperawatan
yang diberikan kepada individu dan keluarga yang rnengalami kondisi yang mengancam
kehidupan yang terjadi secara tiba-tiba. Laporan pendahuluan ini bertujuan untuk
mengetahui asuhan keperawatan kasus kegawat daruratan.

Kami menyadari bahwa selama penyusunan laporan ini kami banyak


mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi – tingginya kami sampaikan kepada :
1. Ibu Siti Rohimah, S.Kep., Ners.,M.Kep selaku pembimbing akademik Stase
Keperawatan Gawat Darurat;
2. Rekan-rekan, yang senantiasa berbagi ilmu dan motivasi;
3. Orang tua yang telah memberi dukungan moral maupun moril dan
4. Pihak-pihak lainnya yang tidak dapat kami tuliskan satu persatu namanya.

kami berharap laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami
dan umunya bagi pembaca.

Tasikmalaya, Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................. i


Daftar Isi....................................................................................................................... ii
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Syok Hipovolemik ............................... 1
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Trauma Dada......................................... 14
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Trauma Kepala ...................................... 27
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Sengatan Binatang Berbisa ........ 37
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Nafas ............................... 49
Laporan Pendahuluan Acut Coronaria Syndrome/ Acute Miokard Infark .................. 54
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen ................................. 77
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Trauma Muskuloskeletal....................... 91
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Kegawatan Obstetri............................... 109
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Keracunan (Intoksinasi) ........................ 146
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien DM dengan Hipoglikemia 157

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Krisis Tiroid ..................... 169

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Disease (Ckd) ............... 188
Laporan Pendahuluan Pasien DM dengan Ketoasidosis /Kegawatan Hiperglikemia.. 211

ii
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN SYOK HIPOVOLEMIK

A. Pengertian
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan akut dimana tubuhkehilangan
cairan tubuh, cairan ini dapat berupa darah, plasma, danelektrolit (Grace,
2006).Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif.Kemudian
diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, yangakibat akhirnya
gangguan metabolik selular. Pada beberapa situasikedaruratan adalah bijaksana
untuk mengantisipasi kemungkinan syok.Seseorang dengan cidera harus dikaji
segera untuk menentukan adanyasyok. Penyebab syok harus ditentukan
(hipovolemik, kardiogenik,neurogenik, atau septik syok).
Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai
denganmenurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan.
Syokhipovolemik juga bisa terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang
lain.Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan
volumeintraventrikel kiri pada akhir distol yang akibatnya juga
menyebabkanmenurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini
jugamenyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh darahdimana
terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makinmemburuk. Pada
luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang
hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat ataudiare juga dapat mengakibatkan
kehilangan cairan intravaskuler. Padaobstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa
liter cairan di dalam usus.
Padadiabetes atau penggunaan diuretic kuat dapat terjadi kehilangan cairan
karena dieresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada
sepsis berat, pancreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus. Padasyok
hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokardsudah
mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respontubuh terhadap
perdarahan tergantung pada volume, kecepatan dan lama perdarahan. Bila volume
intravaskuler berkurang, tubuh akan selalu berusaha mempertahankan perfusi
organ-organ vital (jantung dan otak)dengan mengorbankan perfusi organ yang
lain seperti ginjal, hati dan kulitakan terjadi perubahan-perubahan hormonal
melalui system rennin-angiotensin-aldosteron, system ADH, dan system saraf
simpatis. Cairaninterstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk
mengembalikanvolume intravascular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi
plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan demikian
tujuanutama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan
kembalivolume intravascular dan interstitial. Bila deficit volume
intravascularhanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap
terjadideficit interstistial, dengan akibatnya tanda-tanda vital yang masih

1
belumstabil dan produksi urin yang berkurang. Pengambilan volume plasma
daninterstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid(darah,
plasma, dextran, dan sebagainya) dan cairan garam seimbang.

B. Klasifikasi
Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadidekompensasi
atauirreversible sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:
1. Stadium 1 Anticipation StageGangguan sudah ada tetapi bersifat lokal.
Parameter-paramatermasih dalam batasnormal. Biasanya masih cukup waktu
untukmendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.
2. Stadium 2. Pre-Shock Slideangguan sudah bersifat sistemik.Parameter mulai
bergerak danmendekati batas atas atau batas bawah kisarannormal.
3. Stadium 3 Compensated ShockCompensated shock bisa berangkat dengan
tekanan darah yangnormal rendah,suatu kondisi yang disebut "normotensive,
crypticshock" Banyak klinisi gagalmengenali bagian dini dari stadium syokini.
Compensated shock memiliki artikhusus pada pasien DBD dan perlu dikenali
dari tanda-tanda berikut: Capillaryrefill time > 2 detik; penyempitan tekanan
nadi, takikardia, takipnea, akral dingin.
4. Stadium 4 Decompensated ShockReversible di sini sudah terjadi hipotensi.
Normotensi hanya bisadipulihkan dengan cairanintravena dan/atau vasopressor
5. Stadium 5 Decompensated Irreversible ShockKerusakan mikrovaskular dan
organ sekarang menjadi menetapdan tak bisa diatasi.
Syok dibagi dalam 4 derajat, yaitu:
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vitalseperti kulit, lemak,
otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapathidup lebih lama dengan
perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible).
Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun,
asidosis metaboliktidak ada atau ringan.
2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati,usus, ginjal).
Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusilebih lama seperti pada
lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapatoliguri (urin kurang dari 0,5
mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akantetapi kesadaran relatif masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanismekompensasi syok beraksi
untuk menyediakan aliran darah ke dua organvital. Pada syok lanjut terjadi
vasokontriksi di semua pembuluh darahlain. Terjadi oliguri dan asidosis berat,
gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah
jantung menurun).

2
C. Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah
efektif.Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya
akanmenyebabkan penurunan tekanan darah sistolik; sedangkan deficit
volumedarah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok setelah trauma biasanya
jenis hipovolemik, yang disebabkan oleh perdarahan (internal ataueksternal) atau
karena kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio atauusus yang mengembang
kerusakan jantung dan paru-paru dapat jugamenyokong masalah ini secara
bermakna. Syok akibat kehilangan cairan berlebihan bias juga timbul pada pasien
luka bakar yang luas (johna.boswick,1998:44).Syok hipovolemik yang dapat
disebabkan oleh hilangnya cairanintravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yangmengalir keluar
tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dankehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampungkehilangan
darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500 – 1000 ml
perdarahan atau fraktur femur menampung 1000 – 1500ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karenakehilangan
protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
b. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.Pada syok, konsumsi oksigen
dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang
mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringanmenyebabkan sel terpaksa
melangsungkan metabolisme anaerob danmenghasilkan asam laktat.
Keasaman jaringan bertambah dengan adanyaasam laktat, asam piruvat,
asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991).Yang penting dalam klinik
adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatiansyok hipovolemik yang
disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perludiperbaiki serta perfusi
jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis
merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

D. Manifestasi Klinis Gejala


Syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia,kondisi
premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung.
Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritisrespon kompensasi.
Pasian muda dapat dengan mudah mengkompensasikehilangan cairan dengan
jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia.Kehilangan volume yang cukup
besar dalam waktu lambat, meskipunterjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat
ditolerir juga dibandingkankehilangan dalam waktu yang cepat atau
singkat.Apabila syok talahterjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan

3
hipovolemia, penurunandarah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali
dalam beberapa menit.
Tanda-tanda syok adalah menurut Toni Ashadi, 2006 adalah:
1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisiankapiler
selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah
responhomeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan
alirandarah ke homeostasis penting untuk
hopovolemia.peningkatankecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi
mengurangiasidosis jaringan
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluhdarah
sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer adalah faktoryang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasialiran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidakdibawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syokhipovolemik.
Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urinkurang dari 30ml/jam.

E. Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut denganmengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi,kardiovaskuler, ginjal, dan
sistem neuroendokrin.
1. Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat danakut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
(melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga
melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) danmembentuk bekuan darah
immatur pada sumber perdarahan. Pembuluhdarah yang rusak menghasilkan
kolagen, yang selanjutnyamenyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan
bekuan darah.Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasidari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
2. Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syokhipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkankontraktilitas miokard,
dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.Respon ini terjadi akibat
peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus
vagus (diatur oleh baroreseptordi arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan
penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan
mengalirkandarah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi
kulit,otot, dan traktus gastrointestinal.
3. Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatansekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubahangiotensinogen
menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akandikonversi menjadi angiotensin II
di paru-paru dah hati. Angotensin IImempunyai 2 efek utama, yang keduanya
membantu perbaikankeadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi
arteriol otot polos,dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.

4
Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya
akanmenyebabkan retensi air.
4. Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik denganmeningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADHdilepaskan dari glandula
pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi
oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi
oleh osmoreseptor).Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan
reabsorbsi airdan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus,
danlengkung Henle.

5
F. Pathway

6
G. Komplikasi
1. .Gagal Jantung, Gagal ginjal
2. Kerusakan jaringan ARDS (Acute Respiratory Disstres Syndrom)
3. Kerusakan otak irreversible
4. Dehidrasi kronis
5. Multiple organ failure DIC (Disseminated Intravascular Coagulation

H. Pemeriksaan Penunjang
Pada anamnesis Pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehinggariwayat sakit
mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atauorang yang mengetahui
kejadiannya, cari : Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut),
Riwayat penyakit jantung (sesaknafas), Riwayat infeksi (suhu tinggi), Riwayat pemakaian
obat ( kesadaranmenurun setelah memakan obat).
1. Pemeriksaan fisik KulitSuhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya
bersifatsementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia). Warna pucat
(kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenikdan syok hemoragi
terminal)
2. Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
3. Tekanan darahHipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita
yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septic)
4. Status jantungTakikardi, pulsus lemah dan sulit diraba.
5. Status respirasi ,Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi)kemudian
menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jikakondisi menjelek)
6. Status MentalGelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran danorientasi
menurun, sopor sampai koma. Fungsi Ginjal Oliguria, anuria(curah urin < 30 ml/jam,
kritis)
7. Fungsi MetabolikAsidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awalsyok septik
dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui).Alkalosis respirasi akibat
takipnea. Sirkulasi Tekanan vena sentralmenurun pada syok hipovolemik, meninggi
pada syok kardiogenik.Keseimbangan Asam Basa. Pada awal syok pO2 dan pCO2
menurun(penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2 karena adanyaaliran pintas
di paru). Pemeriksaan Penunjang Darah (Hb, Hmt,leukosit, golongan darah), kadar
elektrolit, kadar ureum, kreatinin,glukosa darah. Analisa gas darah, EKG.

I. Penatalaksanaan
1. Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah :
a. Memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak
mengarah pada perfusi jaringan yangtidak adekuat.
b. Meredistribusi volume cairan
c. Memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepatmungkin.
2. Terapi FarmakologiObat analgetika yang direkomendasikan :
a. Morfin 10-15 mg IM atau 15 mg IV b.
b. Petidin 50-100 mg per oralc.
c. Parasetamol 500 mg per orald.
d. Parasetamoldancodein 30 mg per orale.
e. Tradamol oral atau IM 50 mg atausupossitaria 100 mg3.

7
f. Terapi non farmakologia.
Pengobatan penyebab yang mendasariJika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya
dilakukan untukmenghentikan perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan padatempat
perdarahan atau mungkin diperlukan pembedahan untukmenghentikan perdarahan internal.
1. Penggantian cairan dan darahPemasangan dua jalur intra vena dengan kjarum
besardipasang untuk membuat akses intra vena guna pemberiancairan. Maksudnya
memungkinkan pemberian secara simultanterapi cairan dan komponen darah jika
diperlukan. Contohnya :Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin
dandekstran 6 %).
2. Redistribusi CairanPemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasidengan
meninggikan tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lututdiluruskan, trunchus horizontal dan
kepala agak dinaikan.Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yangdipengaruhi
oleh gaya gravitasi.
3. Military anti syoc trousersn(MAST)Adalah pakaian yang dirancang untuk memperbaiki
perdarahan internal dan hipovolemia dengan memberikantekanan balik disekitar tungkai
dan abdomen.Alat inimenciptakan tahanan perifer artificial dan membantu menahan
perfusi coroner.

J. Tahap syok

8
Rumus pemberian resusitasi cairan :

K. Analisa Data
DATA ANALAISA DATA MASALAH
DS- Menurunnya volume Hipovolemia
DO- intravaskuler→ Hipovolemia
DS- Menurunnya volume Penurunan curah jantung
DO- intravaskuler→Menurunnya
tekanan pengisian sirkulasi
sistemik→Penurunan curah
jantung
DS – sistemik→Penurunan curah Pola nafas tidak efektif
DO - jantung → Perubahan perfusi
jaringan→Penurunan perfusi ke
paru paru →gangguan proses
oksigenasi → memicu
hiperventilasi → Pola nafas tidak
efektif

L. Diagnosa Keperawatan
1. Hipovolemia B.d Menurunnya volume intravaskuler
2. Penurunan curah jantung B.d Menurunnya tekanan pengisian sirkulasi sistemik
3. Pola napas tidak efektif Gejala dan tanda mayor B.d Gangguan proses oksigenasi

9
M. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1. Hipovolemia Setelah dilakukan intervensi 1.Monitor status kardiopulmonal
B.d keperawatan selama 1x2 (frekuensi dan kekuatan nadi,
Menurunnya jam maka status cairan frekuensi napas, tekanan darah,
volume membaik dengan kriteria MAP)
intravaskuler hasil: 2.Monitor status oksigenasi
1. Kekuatan nadi (oksimetri, AGD)
meningkat 3. Monitor status cairan (masukkan
2. Turgor kulit dan haluaran, turgor kulit, CRT)
meningkat 4. Periksa tingkat kesadaran dan
3. Output urine respon pupil
meningkat 5. Periksa seluruh permukaan tubuh
4. Pengisian vena terhadap adanya DOTS (deformitas,
meningkat open wound, tenderness/nyeri tekan,
5. Frekuensi nadi swelling/bengkak) 6.Pertahankan
membaik jalan napas paten
6. Tekanan darah 7. Berikan oksigen untuk
membaik mempertahankan saturasi oksigen
7. Tekanan nadi >94%
membaik 8.Persiapkan intubasi dan ventilasi
8. Membran mukosa mekanis, jika perlu
mebaik 9.Lakukan penekanan langsung
9. JVP membaik (direct pressure) pada perdarahan
eksternal
10. Berikan posisi syok (modified
Trendelenberg)
11. Pasang jalur IV berukuran besar
(mis. Uk 14 atau 16).
12.Pasang kateter urine untuk menilai
produksi urine
13.Memasang selang nasogastrik
untuk dekompresi lambung
14. Ambil sampel darah untuk
pemeriksaan darah lengkap dan
elektrolit
15.Kolaborasi pemberian infus cairan
kristaloid 1-2 L pada dewasa
16.Kolaborasi pemberian infus cairan
kristaloid 20 Ml/KgBB pada anak 17.
Kolaborasi pemberian tranfusi darah,
jika perlu
2. Penurunan Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor status kardiopulmonal
curah jantung keperawatan selama 1x2 (frekuensi dan kekuatan nadi,
B.d jam maka curah jantung frekuensi napas, tekanan darah,
Menurunnya meningkat dengan kriteria MAP)

10
tekanan hasil: 2. Monitor status oksigenasi
pengisian 1. Kekuatan nadi (oksimetri, AGD)
sirkulasi perifer meningkat 3. Monitor status cairan (masukkan
sistemik 2. Palpitasi menurun dan haluaran, turgor kulit, CRT)
3. Bradikardia 4. Periksa tingkat kesadaran dan
menurun respon pupil
4. Takikardiia 5. Periksa seluruh permukaan tubuh
menurun terhadap adanya DOTS
(deformitas, open wound,
5. Gambaran EKG
tenderness/nyeri tekan,
aritmia
swelling/bengkak)
6. Lelah menurun 6. Pertahankan jalan napas paten
7. Edema menurun 7. Berikan oksigen untuk
8. Distensi vena mempertahankan saturasi oksigen
jugularis menurun >94%
9. Dispnea menurun 8. Persiapkan intubasi dan ventilasi
10. Oliguria menurun mekanis, jika perlu
11. Pucat/sianosis 9. Lakukan penekanan langsung
menurun (direct pressure) pada perdarahan
eksternal
12. Proxysmal 10. Berikan posisi syok (modified
nocturnal dyspnea
Trendelenberg)
(PND) menurun
11. pasang jalur IV berukuran besar
13. Ortopnea menurun (mis. Uk 14 atau 16).
14. Suara jantung S3 12. Pasang kateter urine untuk
menurun menilai produksi urine
15. Suara jantung S4 13. Memasang selang nasogastrik
menurun untuk dekompresi lambung
16. Tekanan darah 14. Ambil sampel darah untuk
membaik pemeriksaan darah lengkap dan
elektrolit
15. Kolaborasi pemberian infus cairan
kristaloid 1-2 L pada dewasa
16. Kolaborasi pemberian infus cairan
kristaloid 20 Ml/KgBB pada anak
17. Kolaborasi pemberian tranfusi
darah, jika perlu
Pola napas Setelah dilakukan intervensi 1. SLKI Pemantauan Respirasi
tidak efektif keperawatan selama 1x2 2. Monitor frekuensi, irama,
Gejala dan jam maka pola napas kedalaman dan upaya napas.
tanda mayor membaik dengan kriteria 3. Monitor pola napas
B.d Gangguan hasil: 4. Monitor kemampuan batuk
proses 1. Venyilasi semenit efektif
oksigenasi meningkat 5. Monitor adanya produksi
2. Kapasitas vital sputum
meningkat 6. Monitor adanya sumbatan

11
3. Diameter anterior- jalan napas
posterior meningkat 7. Palpasi kesimetrisan ekspansi
4. Tekanan ekspirasi paru
meningkat 8. Auskultasi bunyi napas
5. Tekanan inspirasi 9. Monitor saturasi oksigen
meningkat 10. Monitor nilai AGD
6. Dispnea menurun 11. Monitor hasil x-ray toraks
7. Penggunaan otot Oxygen Therapy
bantu napas 12. Bersihkan mulut, hidung dan
menurun secret trakea
8. Pemanjangan fase 13. Pertahankan jalan nafas yang
ekspirasi paten
14. Siapkan peralatan oksigenasi
15. Monitor aliran oksigen
16. Monitor respirasi dan status
O2
17. Pertahankan posisi pasien
18. Monitor volume aliran
oksigen dan jenis canul yang
digunakan.
19. Monitor keefektifan terapi
oksigen yang telah diberikan
20. Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
21. Monitor tingkat kecemasan
pasien yang kemungkinan
diberikan terapi O2

12
DAFTAR PUSTAKA

Boughman & Diane, C. (2010). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku dari Brunner &
Suddart. Jakarta: EGC
Dewi, E, & Rahayu, S. (2010). Kegawatadaruratan Syok Hipovolemik. Solo: FIK UMS
Dewi, Rismala. 2013. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat Pada Anak. Jakarta :
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2(3), 1-5 Horne, M. M., & Swearingen P. L. (2010).
Keseimbangan Cairan, Elektrolit, dan Asam Basa. Jakarta: EGC
NANDA International. (2017). Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2015-2017.
Jakarta: EGC
Nurarif, Amin & Kusuma, Hadi. 2014. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA. Yogyakarta. Mediaction.
Ramdani, B. Syok Hipovolemik pada Anak. 2016. http://www.pustakadokter.com/2016/11/12/syok-
hipovolemik-padaanak/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2018.
Ashadi, T. 2001. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) Pada Syok Hipovolemik. Online (terdapat
pada) : http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001/sek-1.htm diakses pada tanggal
18 September 2017
Ashadi, T. 2006. Syok Hipovolemik. Online (terdapat pada) : Http://
www.Mediastore.com/med/.detail-pyk.Phd?id. diakses pada tanggal 18 September
2017
Brunner, Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Doenges, E, Marilynn, Mary Frances Moorhause, Alice C. Geissler. 2002. Rencana Asuhan
Keperawatan. (Edisi 3). EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Price, A, Sylvia & Lorraine M. Willson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Prosesproses
Penyakit. (Edisi 4). EGC, Jakarta.

13
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA DADA
A. Definisi
Trauma adalah cedera / ruda paksa atau kerugian psikologi atau
emosional (Dorland, 2002). Trauma adalah luka aatau cedera fisik
lainnya atau cedera fisiologi akibat gangguan emosional yang hebat
(Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak
dan dewasa kurang dari 44 tahun.
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat
menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks,
hematothoraks, hematopneumothorak. Trauma thorak adalah semua ruda
paksa pada thorak dan dinding thorax, baik traumma atau ruda paksa
tajam atau tumpul.
B. Etiologi
1. Tamponade jantung
Disebabkan luka tusuk dada yang tembus ke mediastinum / daerah
jantung
2. Hematotoraks
Disebabkan luka tembus thoraks oleh bena tajam, traumatik atau
spontan
3. Pneumothoraks
Spontan (bula yang pecah), trauma (Penyedotan luka rongga dada)
iatrogenik (pleura tap) biopsi paru-paru, insersi CVP, ventilasi
dengan tekanan positif)
C. Manisfestasi Klinik
1. Tamponade jantung :
a. Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan
menembus jantung
b. Gelisah
c. Pucat, keringat dingin
d. Peningkatan TVJ (tekanan vena juularis)
e. Pekak jantung melebar
f. Jantung melemah
g. Bunyi
h. Pulse pressure
i. Terdapat tanda-tanda paradoxical
j. ECG terdapat low voltage seluruh lead
k. Perikardiosentesis keluar darah
2. Hematoraks
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSA
b. Gangguan pernafasan
3. Pneumothoraks
a. Nyeri dada mendadak dan sesak nafas
b. Gagal pernafasan dan sianosis
c. Kolaps sirkulasi

14
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara
nafas yang terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali
e. Pada auskultrasi terdengar bunyi klik
f. Jarang terdapat luka rongga dada walaupun terdapat luka internal
hebat seperti aorta yang ruptur
g. Luka tikaman dapat penetrasi melewati diafragma dan
menimbulkan luka intra abdominal
D. Klasifikasi
Trauma thoraks dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu trauma
tembus dan tumpul
1. Trauma tembus (tajam)
a. Terjadi diskontinuitas dinding thorak (laserasi) langsung akibat
penyebab trauma
b. Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau
pelru
c. Sekitar 10-30% memerlukan operasi trokotomi
2. Trauma tumpul
a. Terjadi diskontinuitas dinding thorak
b. Terutama akibat kecelakaan lalu lintas, terjatuh, olahraga, crush
atau blast injuries
c. Kelainan tersering akibat trauma tumpul adalah kontusio paru
d. Sekitar <10% yang memerlukan iperasi torakotomi
E. Mekanisme Trauma Dada
1. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari
penyebab trauma. Gaya perusakan berbanding lurus dengan massa
dan percepatan (akselerasi ) sesuai dengan hukum newton II
(kerusakan yang terjadi kua tergantung pada luas jaringan tubuh
yang menerima gaya penusukan dari trauma tersebut.
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak
tembak : penggunaan sendata dengan kecepatan tinggi seperti senjata
militer high velocity (>300 ft/sc) pada jarak dekat akan
mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas
dibandingkan besar lubang masuk peluru.
2. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari
jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba
terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat
trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagai
aorta, organ , visera, dsb) masih bergerak dan gaya merusak terjadi
akibat tumbukan pada dinding toraks / rongga tubuh lain atau oleh
karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh
adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya
memiliki jaringan pengikat / fiksasi, seperti isthmus aorta, bronkus

15
utama, diaftagma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-
tiba organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan
riksasi sebagai titik tumpu atau porosnya.
a. Kerusakan jaringan ada blast injuri terjadi tanpa adanya kontak
langsung dengan penyebab trauma seperti pada ledakan bom
b. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energi
F. Patofisiologi
Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman hidup. Luka
pada rongga thoraks dan isinya dapat membatsi kemampuan jantung
untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara
dan oksigen darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dan
biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis serih disebabkan oleh trauma
thorakx. Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia (kehilangan
darah), pulmonary ventilation (contoh kontusio, hematoma, kolaps
alveolus) dan perubahan dalam tekanan intra thorax ( contoh : tension
pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering
disebabkan oleh tidak adekuanya ventilasi akibat perubahan tekanan
intra thorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik
disebabkan oleh hipoperpusi dan jaringan.
Fraktur iga, merupakan ko ponen dinding thorax yang paling sering
mengalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, nyeri pada
pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara
keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif
untuk mngeluarkan secret dapat mengakibatkan inside atelaktis dan
pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit
paru-paru. Pneumotoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang
potensial antara pleura viseral dan pariental. Dislokasi fraktur vertebra
torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi
paru merupakan penyebab tersering dari pneumotoraks akibat trauma
tumpul. Dalam keadaan normal rongga thorax dipenuhi oleh paru-paru
yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya
tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di
dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru.
Gangguan ventilasi perfusi terjadi karena darah menuju paru yang
kolaps tidak menglami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika
pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan
pada perkusi hipersonor. Foto thoras pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalh dengan

16
pemasangan chest tube pada sela iga ke-4 atau ke 5, anterior dari garis
mid-aksilaris. Bila pneumotorajs hanya dilakukan observasi atau aspirasi
saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan
dihubungkan dengan WSD dengan atau tanap penghisap, dan foto
thoraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-
paru.
Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh
diberikan pada penderita dngan pneumotoraks traumatik atau pada pada
penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif
yang tidak terduga sebelumya, sampai dipasang chest tube hematorax.
Penyebab utama dari hematorax adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau asteri mamaria internal yang
disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari
vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hematoraks.
G. Penatalaksanaan
1. Penanganan Pertama
Pasien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian
maupun di unit gawat darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan
sejenisnya harus mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan
memeprhatikan prinsip kegawatdaruratan. Penanganan yang
diberikan harus sistematis sesuai dengan keadaan masing-masing
klien secara spesifik. Bantuan oksigenisasi penting dilakukan untuk
mempertahankan saturasi oksigen klien. Jika ditemui dengan kondidi
kesadaran yang mengalami penurunan/tidak sadar maka tindakan
tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan :
a. Airway
Klien dengan trauma dada seringkali mengalami
permasalahan pada jalan nafas. Jka terdapat sumbatan harus
dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat
dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi
dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras
dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang di
bengkokkan. Mulut dapat dibua dengan teknik cros finger,
dimana ibu jari teletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada
mulut korban.
Setelah jalan nafas dipastikan bebas dari sumbatan benda
asing, biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang,
maka lidah dan epiglotis akan menutup faring dan laring, inilah
salah satu penyebab sumbatan jalan nafas. Pembebasan jalan
nafas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara mengadah kepala
topang dagu (head tild-chin lift) dan manuver pendorong
mandibula (jaw trust manuver).
b. Breathing

17
Kondisi pernafasan dapat diperiksa dengan melakukan
teknik melihat gerakan dinding dada, mendengar suara nafas,
dan merasakan hembusan nafas klien (look,listen and feel),
biasanya teknik ini dilakukan secara bersamaan dalam satu
waktu. Bantuan nafas diberikan sesuai dengan indikasi yang
ditemui dari hasil pemeriksaan dan dengan menggunakan
metode serta fasilitas yang sesuai dengan kondsi klien.
c. Circulation
Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi
jantung, tekanan darah, vaskularisasi feriper, serta kondisi
perdarahan. Klien dengan trauma dada kadang mengalami
kondisi perdarahan aktif, baik yang di akibatkanoleh luka
tembus akibat trauma benda tajam maupun yang diakibatkan
oleh kondisi fraktur tuang terbuka dan tertutup yang
mengenai/melukai pembuluh darah atau organ (multiple).
Tidakan menghentikan perdarahan diberikan dengan metode
yang sesuai mulai dari penekanan hingga penjahitan luka,
pembuluh darah, hingga prosedur operatif. Jika diperlukan
pemberian RJP (resusitasi jantung paru) pada penderita trauma
dada, maka tindakan harus diberikan degan sangat hati-hati agar
tidak menimbulkan atau meminimalisir komplikasi dari RJP
seperti frakyur tulang kosta dan sebagainya.
d. Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan
jenis dan waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-
masing klien yang mengalami trauma dada. Adapun tindakan
yang diberikan yaitu : pemberian terapi obat emergensi,
resusitasi cairan dan elektrolit, pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium darah vena dan AGD, hingga tindakan operatif
yang bersifat darurat.
2. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk menangani pasien
trauma thorax, yaitu :
a. Bullow drainase/WSD
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakuka untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah,pus) dari rongga pleura,
rongga thorax, dan mediastinum mengunakan pipa penghubung,
dengan indikasi :
1) Pneumotoraks
2) Hemathoraks
3) Thoraktomy
4) Efusi pleura
5) Emfisema

18
Pada trauma thoraks, WSD dapat berarti :
1) Diagnostik
Menentukan perdarahan dari pembuluha darah besar atau
kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi toraktomi atau
tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
2) Terapi
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga
pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga
“mechanis of breathing” datapat kembali seperti seharusnya.
3) Preventive
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga
pleura sehingga “mechanis of brething” tetap baik.
b. Primary survey
Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa,
pertolongan ini dimulai dengan menggunakan teknik ABC
(Airway, breathing, circulation)
c. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan :
1) Mempertahankan saluran bafas yang paten dengan pemberian
oksigen
2) Mengontrol tekana darah berdasarkan kondisi pasien
d. Pemasangan infuse
e. Pemeriksaan kesadaran
f. Jika dalam keadaan gawat darurat, dapat dilakukan massage
jantung
g. Dalam keadaan stabil dapat dilakukan pemeriksaan radiology
seperti foto thorak.
H. Pengkajian
1. Pengkajian Umum
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses
keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 194 : 10). Pengkajian
pasien dengan trauma thoraks. (Doenges, 1999) meliputi :
a. Aktivita/istirahat
Gejala : dispnea dngan aktivitas ataupun istirahat
b. Sirkulasi
Tanda : takikardia, disritmia, irama jantung gallops
c. Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah
d. Makanan dan cairan tanda : adanya pemasangan IV vena
sentral/infuse tekanan
e. Nyeri/ketidaknyamanan
1) Gejala : nyeri uni lateral, timbul tiba-tiba selama batuk atau
regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh
nafas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.

19
2) Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,
mengkerutkan wajah.

f. Pernafasan
Kesulitan bernafas, batuk, riwayat bedah dada/trauma, penyakit
paru kronis, inflamasi, insfeksi paru, penyakit interstitial menyebar,
keganasan, pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda : takipnea, peningkatan kerja nafas, bunyi nafas turun atau
tak ada, fremitus menurun, perkusi dada hipersonan, gerakan dada
tidak sama, kulit pucat, sianosis, berkeringat,krepitasi subkutan,
mental ansietas, bingung gelisah, pingsan, penggunaan ventilasi
mekanik tekanan positif
g. Keamanan
Gejala : adanya trauma dada, radiasi/kemoterapi untuk keganasan
h. Penyuluhan /pembelajaran
Gejala : riwayat faktor risiko keluarga, TBC, kanker, adanya bedah
intratorakal/biopsy paru
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernafasan :
1. Sesak nafas
2. Nyeri, batuk-batuk
3. Terdapat retaksi klavikula/dada
4. Pengembangan paru tidak simetris
5. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
6. Pada perkusi ditemukan adanya suara
sonor/hipersonor/timpani, hematotoraks (redup)
7. Pada auskultrasi suara nafas menurun, bising nafas yang
berkurang/menghilang
8. Pekak dengan bats seperti garis miring/tidak jelas
9. Dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat
10. Gerakan dada tidak sama waktu bernafas
b. Sistem kardiovaskuler
1. Nyeri dada meningkat karena pernafasan dan batuk
2. Takhikardia, lemah
3. Pucat, HB turun/normal
4. Hipotensi
c. Sistem persyarafan :
Tidak ada kelainan
d. Sistem perkemihan
Tidak ada kelainan
e. Sistem pencernaan
Tidak ada kelainan
f. Sistem muskuloskeletal-integument
1. Kemampuan sendi terbatas
2. Ada luka bekas tusukan benda tajam

20
3. Terdapat kelemahan
4. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub
kutan
g. Sistem endokrin :
1. Terjadi peningkatan metabolisme
2. Kelemahan
h. Sistem sosial/interaksi
Tidak ada hambatan
i. Spiritual
Ansietas, gelisah, bingung, pingsan
I. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan adanya nyeri
3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan masukan
J. Rencana Keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
1 (D.0077) Nyeri Setelah dilakukan Observasi
Berhubungan dengan tindakan o lokasi, karakteristik,
agen pencedera fisik keperawatan 3x24 durasi, frekuensi,
Ditandai dengan : jam diharapkan kualitas, intensitas
DS: tingkat nyeri nyeri
Mengeluh nyeri menurun dengan o Identifikasi skala nyeri
DO: kriteria hasil o Identifikasi respon
- Tampak meringis - nyeri non verbal
- Bersikap protektif o Identifikasi faktor yang
( mis.waspada, memperberat dan
posisi menghindar) memperingan nyeri
- Gelisah o Identifikasi
- Frekuensi nadi pengetahuan dan
meningkat keyakinan tentang
- Sulit tidur nyeri
- Tekanan darah o Identifikasi pengaruh
meningkat budaya terhadap
- Pola nafas berubah respon nyeri
- Nafsu makan o Identifikasi pengaruh
berubah nyeri pada kualitas
- Proses berfikir hidup
terganggu o Monitor keberhasilan
- Menarik diri terapi komplementer
- Berfokus pada diri yang sudah diberikan
sendiri o Monitor efek samping
- diaforesis penggunaan analgetik
Terapeutik
o Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi

21
musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma
terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
o Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
o Fasilitasi istirahat dan
tidur
o Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
o Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
o Jelaskan strategi
meredakan nyeri
o Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
o Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
o Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 (D.0056) Intoleransi Setelah dilakukan Utama:
aktivitas berhubungan tindakan selama - Manajemen energi
dengan imobilitas, 3x24 jam - Terapi aktivitas
ditanai dengan adanya diharapkan toleransi Pendukung :
nyeri aktivitas meningkat. - Dukungan ambulasi
Kriteria hasil : - Dukungan kepatuhan
- Kemudahan program pengobatan
dalam - Dukungan meditasi
beraktivitas - Dukungan
sehari-hari pemeliharaan rumah
- Kekuatan tubuh - Dukungan perawatan
bagian atas dan diri
bawah - Dukungan spiritual
meningkat - Dukungan tidur
- Keluhanlelah - Edukasi latihan fisik

22
berkurang - Manajemen aritmia
- Dispnea saat - Manajemen mood
aktivitas - Manajemen program
berkurang. latihan
- Pemantauan tanda-
tanda vital
- Pemberian obat
- Pemberian obat
inhalasi
- Pemberian obat
intravena
- Pemberian obat oral
- Penetuan tujuan
bersama
- Promosi berat badan
- Promosi dukungan
keluarga
- Promosi latohan fisik
- Rehabilitasi jantung
- Terapi aktivitas, terapi
bantuan hewan
- Terapi musik.
D ( 0005) Pola nafas Setelah dilakukan Pemantauan respirasi
tidak efektif tindakan Observasi :
berhubungan dengan keperawatan 3x24 - Monitor pola nafas,
penurunan ekspansi jam inspirasi dan monitor saturasi
paru ekspirasi yang tidak oksigen
Ditandai dengan : memberikan - Monitor frekuensi,
DS: ventilasi adekuat irama, kedalaman dan
- Dipsnea membaik upaya napas
DO: Kriteria hasil : - Monitor adanya
- Penggunaan otot - Dispnea sumbatan jalan nafas
bantu pernafasan menurun Teurapetik
- Fase ekspirasi - Penggunaan - Atur interval
memanjang obat bantu nafas pemantauan respirasi
- Pola nafas cukup menurun sesuai kondisi pasien
abnormal (mis - Frekuensi nafas Edukasi
takipnea, sedang - Jelaskan tujuan dan
bradipnea, - Kedalaman prosedur pemantauan
hiperventilasi nafas sedang - Informasikan hasil
kussmaul pemantauan jika perlu
cheyne-stokes) Terapi oksigen
Observasi:
Gejala dan tanda minor - Monitor kecepatan
: aliran oksigen
DS: ortopnea - Monitor posisi alat
DO: terapi oksigen
- Pernafasan pursed- - Monitor tanda”
lip hipovolemi
- Pernafasan cuping - Monitor integritas

23
hidung mukosa hidung akibat
- Diameter thoraks pemasangan oksigen
anterior – posterior Teurapetik
meningkat - Bersihkan sekret pada
- Ventilasi semenit mulut, hidung dan
menurun trakhea, jika perlu
- Kapasitas vital - Pertahankan
menurun kepatenan jalan nafas
- Tekanan ekspirasi - Berikan oksigen jika
menurun perlu
- Tekanan inspirasi Edukasi
menurun - Ajarkan keluarga cara
- Ekskursi dada menggunalan oksigen
berubah dirumah.
Kolaborasi
- Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
(D.0080) Ansietas Setelah dilakukan Reduksi ansietas
berhubungan dengan tindakan Observasi
krisis situasional keperawatan 3x24 - identifikasi saat tingkat
Ditandai dengan : jam diharapkan ansietas berubah
DS: tingkat ansietas - identifikasi
- meraasa khawatir menurun kemampuan
dengan akibat dari Kriteria hasil : mengambil keputusan
kondisi yang - konsentrasi baik - monitor tanda-tanda
dihadapi - pola tidur cukup ansietas
- merasa bingung - perilaku gelisah terapeutik
- sulit menurun - ciptakan suasana
berkonsentrasi - verbalisasi terapeutik untuk
- mengeluh pusing kekhawatiran menumbuhkan
- anoreksia akibat kondisi kepercayaan
- palpitasi yang dihadapi - temani pasien untuk
- merasa tidak - perilaku tegang mengurangi
berdaya kecemasan, jika
DO memungkinkan
- tampak gelisah - pahami situasi yang
- tampak tegang membuat ansietas
- sulit tidur - dengarkan dengan
- frekuensi nafas penuh perhatian
meningkat - gunakan pendekatan
- tekanan darah yang tenang dan
meningkat meyakinkan
- diaforesis - motivasi
- tremor mengidentifikasi situasi
- muka tampak yang memicu
pucat kecemasan
- suara bergetar Edukasi
- kontak mata buruk - jelaskan prosedur,
- sering berkemih termasuk sensasi yang
- berorientasi pada mungkin dialami

24
masalalu - informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis, pengobatan
dan prognosis
- anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
pasien
- latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
- latihan teknik relaksasi.

D(0019) Defisit Setelah dilakukan Manajemen nutrisi


Nutrisi berhubungan tindakan Observasi
dengan: keperawatan 3x24 - identifikasi status
- ketidak mampuan jam status nutrisi nutrisi
menelan terpenuhi - identifikasi alergi dan
- ketidak mampuan Kriteria hasil intoleransi makanan
mencerna makanan - porsi makan - identifikasi perlunya
- ketidak mampuan yang dihabiskan penggunaan selang
mengabsorpsi - berat badan dan NGT
nutrisi IMT ideal - monitor asupan
- peningkatan - frekuensi makanan
kebutuhan makan - monitor berat badan
metabolisme meningkat Terapeutik
- faktor ekonomi - nafsu makan - lakukan oral hygiene
(mis. Finansial meningkat sebelum makan jika
tidak mencukupi) perlu
- faktor psikologi - sajikan makanan secara
(mis.. stress, menarik dan suhu yang
keengganan untuk sesuai
mamkan) - hentikan pemberian
ditandai dengan : makanan melalui
DS: selang NGT jika
- cepat kenyang asupan oral dapat di
setelah makan intoleransi
- kram / nyeri Edukasi
abdomen - anjurkan posisi duduk,
- nafsu makan jika mampu
menurun - ajarkan diet yang di
DO: programkan
- berat badan Kolaborasi
menurn minimal - kolaborasi dengan ahli
10% di bawah gizi untuk menentukan
rentang ideal jumlah kalori dan
- bising usus nutrien yang dibutuh
hiperaktif kan
- otot mengunyah promosi berat badan
lemah Observasi:
- membran mukosa - identifikasi

25
pucat kemungkinan penyebab
- sariawan BB kurang
- serum albumin - monitor adanya mual
turun muntah
- rambut rontok terapeutik:
berlebihan - sediakan makanan yang
- diare tepat sesuai kondisi
pasien
- berikan pujian kepada
pasien untuk
peningkatan yang
dicapai
Edukasi
- jelaskan jenis makanan
yang bergizi tinggi,

26
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA
A. Definisi
Trauma kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada,
mulai dari kulit kepala, tulang, dan jaringan otak atau kombinasinya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Price dan Wilson, 2012).
Trauma kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya
trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek
sekunder dari trauma yang terjadi. Disebut cedera kepala sedang bila GCS
9-14, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan
sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
B. Etiologi
Menurut Rosjidi (2007), penyebab trauma kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat
5. merobek otak.
6. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
7. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapatmerobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
C. Manifestasi Klinik
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

27
D. Patofisiologi
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan
pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh
kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan
sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, Arifin (2002)
membagi cedera kepala menjadi dua :
1. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai
akibat langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang
menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson
pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak.
2. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang
dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera
setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak
faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah
otak, gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan
hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species,
infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan
intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan
mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak
disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati
dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit,
jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses
biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan
seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera.
Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh
beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari :
perdarahan intracranial dan edema serebral
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi
serebral, hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia
dan infeksi, hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme
serebri dankejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai
dengan aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi
pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler
yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan
leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam
respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit
Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit
yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi

28
berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi
infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag
ini membantu aktivitas sel polymorphonuclear (PMN) dalam proses
fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses
inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan
beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1(ICAM-
1).
Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/
merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu,
netrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau
mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa- senyawa
ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga
mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada
cedera otak (Hergenroeder, 2008).
E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Pertama
Mempelajari tanda-tanda cedera kepala sedang dan cara untuk
melakukan pertolongan pertama saat kepala terbentur akan mampu
menyelamatkan nyawa seseorang. Segera hubungi unit gawat
darurat (UGD) terdekat, jika orang yang diduga mengalami cedera
kepala memiliki tanda-tanda berikut :
a. Penurunan kesadaran.
b. Tidak bisa menggerakkan salah satu atau kedua lengan
dan/atau kaki, kesulitan berbicara, atau pandangan kabur.
c. Muntah lebih dari satu kali.
d. Hilang ingatan jangka pendek
e. Mudah mengantuk
f. Tingkah laku tidak seperti biasanya.
g. Mengeluh nyeri kepala berat atau kaku leher.
h. Pupil (bagian hitam di tengah bola mata) tidak sama
ukurannya.
i. Orang dengan cedera kepala yang memiliki kebiasaan
mengonsumsi alkohol.
j. Orang dengan cedera kepala yang sedang mengonsumsi obat-
obatan pengencer darah, misalnya warfarin dan heparin.
Sambil menunggu bantuan atau ambulans, pertolongan pertama
kepala bocor dapat dilakukan hal-hal berikut :
a. Pertolongan pertama pada cedera kepala adalah periksa jalan
napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi jantung
(circulation) pada orang tersebut. Bila perlu, lakukan bantuan
napas dan resusitasi (CPR).
b. Jika orang tersebut masih bernapas dan denyut jantungnya
normal, tetapi tidak sadarkan diri, stabilkan posisi kepala dan
leher dengan tangan atau collar neck (bila ada). Pastikan kepala

29
dan leher tetap lurus dan sebisa mungkin hindari menggerakkan
kepala dan leher. Bila ada perdarahan, hentikan perdarahan
tersebut dengan menekan luka dengan kuat menggunakan kain
bersih. Pastikan untuk tidak menggerakkan kepala orang yeng
mengalami cedera kepala tersebut. Jika darah merembes pada
kain yang ditutupkan tersebut, jangan melepaskan kain
tersebut, tetapi langsung merangkapnya dengan kain yang lain.
c. Jika dicuriga ada patah tulang tengkorak, jangan menekan luka
dan jangan mencoba membersihkan luka, tetapi langsung tutup
luka dengan pembalut luka steril.
d. Jika orang dengan cedera kepala tersebut muntah, miringkan
posisinya agar tidak tersedak oleh muntahannya. Pastikan
posisi kepala dan leher tetap lurus.
e. Boleh juga dilakukan kompres dingin pada area yang bengkak.
f. Jangan mencoba mencabut benda apapun yang tertancap di
kepala. Langsung bawa ke unit gawat darurat terdekat.
2. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah
mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder
disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia
atau oleh karena kompresi jaringan otak. (Tunner, 2000).
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada
pendertia cedera kepala (Turner, 2000). Penatalaksanaan umum
adalah:
a. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
b. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
c. Berikan oksigenasi
d. Awasi tekanan darah
e. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
f. Atasi shock
g. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk
mengurangi vasodilatasi.
c. Pemberian analgetika
d. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu
manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
e. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
f. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-
muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus
dextrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan
lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak
terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer

30
dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein
tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
a. Pemantauan TIK dengan ketat
b. Oksigenisasi adekuat
c. Pemberian mannitol
d. Penggunaan steroid
e. Peningkatan kepala tempat tidur
f. Bedah neuro
Tindakan pendukung lain yaitu:
a. Dukungan ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
d. Terapi anti konvulsan
e. Klorpromazin untuk menenangkan klien
f. Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000).
F. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal
ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan
bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari
leher.
b. Breathing dan ventilasi
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari
tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
1) Volume darah dan Curah jantung Kaji perdarahan klien.
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh
hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik
yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil.
e. Exposure dan Environment control

31
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa
jejas.
2. Pengkajian sekunder
a. Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat
badan, tinggi badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
anggota keluarga, agama.
b. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi
saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang
diberikan segera setelah kejadian.
c. Aktivitas/istirahat
1) Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
2) Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.
d. Sirkulasi
1) Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,
takikardi.

e. Integritas Ego
1) Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
2) Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
f. Makanan/cairan
1) Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
2) Tanda : muntah, gangguan menelan.
g. Eliminasi
1) Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau
mengalami gangguan fungsi.
h. Neurosensori
1) Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilanganpendengaran, gangguan pengecapan
dan penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
2) Tanda: Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah
laku dan memoris.
i. Nyeri/kenyamanan
1) Gejala : Sakit kepala.
2) Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat,
merintih.
j. Pernafasan
1) Tanda: Perubahan pola pernafasan (apneu yang diselingi
oleh hiperventilasi nafas berbunyi)
k. Keamanan
1) Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
2) Tanda: Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum

32
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh.
l. Interaksi social
1) Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
bicara berulang-ulang, disartria.
G. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
4. Kerusakan integritas jaringan kulit
5. Ketidakefektifan pola nafas
H. Rencana Keperawatan
SDKI SLKI SIKI
Risiko perfusi Perfusi Serebral Manajemen Peningkatan TIK
serebral tidak L.02014 hal 86 I.06194 hal 513
efektif  Tingkat Observasi
berhubungan kesadaran  Identifikasi peningkatan TIK
dengan cedera meningkat  Monitor tanda/gejala
kepala D.0017  TIK menurun peningkatan TIK
hal51  Nilai rata-rata TD  Monitor MAP
membaik  Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output
cairan
Teurapetik
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari pemberian cairan IV
hipotonik
 Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian sedasi
antikonvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis, jika perlu
Menurut (Amri, 2017) dalam
penelitiannya mengatakan
diuretik osmosis yang dapat
diberikan seperti
a) Salin hipertonik : loading
dose 30 ml salin 23%
diberikan dalam 10-20 menit
melalui CVC,dosis
pemeliharaan adalah salin
3% 1 mg/kg/jam dengan
kadar Na serum 150-155
mEq/jam. Na harus diperiksa
tiap 6 jam. Salin hipertonik
dihentikan setelah 72 jam
untuk mencegah terjadinya

33
edema rebound.
b) Mannitol 20% (dosis 0,25-1
gr/kg) : Loading dose 1gr/kg
BB, diikuti dengan dosis
pemeliharaan 0,5 gr/kg BB
tiap 4-6 jam dengan kadar
osmolaritas serum 300-320
mOsm
Pemantauan Tekanan
Intrakranial I.06198 hal
Observasi
 Identifikasi peningkatan TIK
 Monitor peningkatan TD
 Monitor penurunan frekuensi
jantung
 Monitor iregulasi irama
napas
 Monitor penurunan tingkat
kesadaran
Teurapetik
 Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Pola nafas tidak Pola nafas L.01004 Manajeman jalan nafas I.01011
efektif hal : 95 hal : 186
berhubungan  Tekanan ekspirasi Observasi
dengan hambatan meningkat  Monitor pola nafas
upaya nafas  Tekanan inspirasi (frekuensi, kedalaman,
D.0005 hal 26 meningkat usaha nafas)
 Penggunaan otot  Monitor bunyi nafas
bantu nafas tambahan (mis. Gurgling,
menurun mengi, weezing, ronkhi
 Frekuensi nafas kering)
membaik  Monitor sputum (jumlah,
 Kedalaman nafas warna, aroma)
membaik Teurapetik
 Pertahankan kepatenan
jalan nafas dengan head-tilt
dan chin-lift (jaw-thrust
jiga curiga traumaservikal)
 Posisikan semi fowler atau
fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu

34
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endrotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsef McGill
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
kontra indikasi
 Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Latihan Batuk Efektif I.01006
hal : 142
Observasi
 Identifikasi kemampuan
batuk
 Monitor adanya retensi
sputum
 Monitor tanda dan gejala
infeksi saluran nafas
 Monitor input dan output
cairan
Terapeutik
 Atur posisi semi fowlar
atau fowlar
 Pasang perlak atau
bengkok di pangkuan
pasien
 Buang sekret pada tempat
sputum
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
 Anjurkan Tarik nafas
melalui hidung selama 4
detik, ditahan selama 2
detik, kemudian keluarkan
dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi tarik
nafas dalam hingga 3 kali

35
 Anjurkan batuk dengan
kuat langsung setelah Tarik
nafas dalam yang ke-3
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu

Resiko infeksi Resiko Infeksi Pencegahan infeksi I.14539 hal.


berhubungan L.14137 hal 139 278
dengan tindakan  Kemerahan Observasi
invasif D.0142 hal menurun  Monitor tanda gejala
304  Nyeri menurun infeksi lokal dan sistemik
 Bengkak Terapeutik
menurun  Batasi jumlah pengunjung
 Berikan perawatan kulit
pada daerah edema
 Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien
 Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara memeriksa
luka
 Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
imunisasi, Jika perlu

36
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN SENGATAN BINATANG BERBISA
A. Definisi
Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan yang
diakibatkan oleh gigitan hewan seperti ular, laba-laba, kalajengking dll.
Korban gigitan ular adalah pasien yang digigit atau diduga digigit ular
berbisa. Bisa ular merupakan senyawa kimiawi yang diproduksi oleh
kelenjar khusus dari sejumlah spesies ular tertentu (seperti: King Cobra
dan Viper) yang digunakan untuk melumpuhkan mangsa dan
mempertahankan diri. Kelenjar yang mensekresikan zootoksin
merupakan modifikasi kelenjar parotis vertebrata lain, dan bisanya
terletak di setiap sisi kepala di bawah dan di belakang mata, terbungkus
selubung otot. Kelenjar ini diperlengkapi dengan alveolus
besar di mana bisa disimpan sebelum disalurkan melalui
sebuah duktus ke dasar taring bersaluran atau tubular yang dari situ racun
dikeluarkan. Bisa ular merupakan gabungan sejumlah protein dan enzim
yang berbeda. Banyak dari protein itu yang tak berbahaya bagi manusia,
tetapi beberapa protein beracun.
B. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae,
dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti
edema dan pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal,
tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan
beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8
jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular
yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah
dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah
merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan
keluar menembus pembuluh- pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung,
tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan
sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel
saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan
tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan
selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui
pembuluh limfe.
3. Bisa ular yang bersifat Myotoksin

37
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal
dan hiperkalemia akibatkerusakan sel-sel otot.
4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot
jantung.
5. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya
berakibat terganggunya sistem kardiovaskuler.
6. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini dapat menyebabkan peradangan dan nekrose dab jaringan
pada tempat gigitan
7. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.
C. Manifestasi Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada
semua gigitan binatang berbisa:
1. Tanda gigitan taring (fang marks)
2. Nyeri lokal
3. Pendarahan lokal
4. Kemerahan
5. Limfangitis (peradangan / pembagkakan pembuluh limfatik)
6. Pembesaran kelenjar limfe
7. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
8. Melepuh
9. Infeksi lokal, terbentuk abses
10. Nekrosis (kematian sel)
D. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang
berada di bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak
di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada
rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang
terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta
ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari
mangsa, yang dapatmemungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang
dikeluarkan. Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa
menyalurkan bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan
arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal
dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari
fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal,
koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa
edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di
paru-paru. Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek
akhirnya berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam
laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan
peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat

38
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat
disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh
myoglobinuria dan gangguan ginjal.
E. Pathway

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, Pemeriksaaan kimia darah, Hitung
sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial,hitung trombosit, urinalisis, dan
penentuan kadar gula darah, BUN, dan elektrolit. Untuk gigitan yang
hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
G. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk
memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang
pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien

39
terbuka. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan
airway dan ventilasi. tulang belakang leher harus dilinsungi selama
intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher
atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh
obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar. yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas
2) tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
a) Adanya snoring atau gurgling
b) Stridor atau suara napas tidak normal
c) agitasi (hipoksia)
d) Penggunaan otot bantu pernafsan /paradoxical chest
movements
e) e.Sianosis
3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas
bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
a) Muntahan
b) Perdarahan
c) Gigi lepas atau hilang
d) Gigi palsu
e) Trauma wajah
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
5) lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
a) Chin lift jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway , nasopharyngeal airway, Paryngeal
laryngeal mask airway
d) Lakukan intubasi
b. Breathing ( pernafasan )
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. jika
pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah
yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainasetension pneumothorax/haemothorax,closure of open chest
injury dan ventilasi buatan. Yang perlu diperhatikan dalam
pengkajian Breathing pada pasien antara lain:
1) Look, Listen dan feel
a) Inspeksi dari tingkat pernafasan sangat penting. Apakah
ada tanda-tanda sebagai berikut: cyanosis, penetrating
injury, flail chest, sucking chest wound, dan penggunaan

40
otot bantu pernafasan.
b) Palpasi untuk adanya pergeseran trakhea, fraktur ruling iga,
subcutaneus emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
c) Auskultasi untuk adanya suara abnormal pada dada
c. Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ
dan oksigenasi jaringan. hipovolemia adalah penyebab syok
paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada
temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebablain yang mungkin membutuhkan
perhatian segera adalah:tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac spinal shock dan anaphylaxis Semua
perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan padapasien secara memadai dan dikelola dengan
baiklangkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain :
1) cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian
penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan
5) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda
hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill time )
6) Lakukan treatment terhadap hipoperfus
d. Pengakajian Disabilitiy
Pada primary survey Disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU:
A : alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang
diberikan
V : vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bisa
dimengerti
P: responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)

41
U : unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri
e. Exposure, Examine Dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada
pasien. jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang
belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log
roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien yang
perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien
adalah mengekspose pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.
Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien
dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika
diperlukan pemeriksaan ulang. Dalam situasi yang diduga telah
terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,maka rapid
trauma
Assessment harus segera dilakukan:
1) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
2) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien lukadan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabilatau kritis
2. Pengakajian sekunder
a. Pemeriksaan fisikPengkajian
Dasar data pengkajian pasien, yaitu:
1) Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
2) Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan
normal (selama hasil curahjantung tetap meningkat). Denyut
perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik),lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem
(syok).
3) Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis,
ketergantungan, menyangkal,menarik diri.
4) Eliminasi
Gejala: Diare.
5) Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
6) Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak
subkutan/massa otot (malnutrisi).
7) Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi,
delirium/koma.
8) Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri,

42
urtikaria/pruritus umum.
9) Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi
mungkin normal, kadang subnormal (dibawah 36,63oC),
menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
10) Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j)Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit
teraba hangat
3. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan laboratorium :
a) Penghitungan jumlah sel darah
b) Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
c) Fibrinogen dan produk pemisahan darah
d) Tipe dan jenis golongan darah
e) Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
f) Urinalisis untuk myoglobinuria
g) Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
2) Pemeriksaan Penunjang lainnya
a) EKG
b) Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
c) Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal.
H. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin.
2. Nyeri akut
3. Hipertermia berhubungan dengan endotoksin
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan gigitan

43
I. Rencana Keperawatan
Rencana Tindakan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
Rasional
NIC NOC
1. Gangguan jalan napas tidak NOC NIC 1. Meningkatkan ekspansi paru-
paru.
efektif berhubungan dengan Hasil yang diharapkan/kriteria 1. Pertahankan jalan napas 2. Pernapasan cepat/dangkal
reaksi endotoksin. evaluasi pasien akan: klien. terjadikarena hipoksemia, stres,
2. Pantau frekuensi dan dan sirkulasi endotoksin.
Menunjukkan bunyi napas 3. Kesulitan pernapasan dan
kedalaman pernapasan. munculnya bunyi adventisius
jelas, frekuensi pernapasan
3. Auskultasi bunyi napas. merupakan indikator dari
dalam rentang normal, bebas
atelektasis. kongesti pulmonal/edema
dispnea/sianosis.
4. Sering ubah posisi. interstisial,
ventelasi/perfusi. 4. Bersihan pulmonal yang baik
5. Berikan O2 melalui cara sangat diperlukan untuk
mengurangi ketidakseimbangan
yang tepat, misal masker waja 5. O2 memperbaiki
hipoksemia/asidosis.
Pelembabanmenurunkan
pengeringan saluran pernapasan

44
2. Nyeri akut Melaporkan 1. Kaji tanda-tanda vital. 1. Mengetahui keadaan
nyeriberkurang/terkontrol, 2. Kaji karakteristik nyeri. umumklien, untuk
menunjukkan ekspresi 3. Ajarkan tehnik distraksi menentukan intervensi
wajah/postur tubuh tubuh dan relaksasi. selanjutnya.
rileks, berpartisipasi dalam 4. Pertahankan tirah 2. Rasional: Dapat
aktivitas dan tidur/istirahat menentukan
baring selama
pengobatan nyeri yang
terjadinya nyeri.
pas dan mengetahui
5. Kolaborasi dengan tim penyebab nyeri.
medis dalam pemberian
3. Membuat klien merasa
analgetik.
nyamandan tenang.
4. Rasional: Menurunkan
spasmeotot.
5. Memblok lintasan
nyeri sehingga
berkurang dan untuk
membantu
penyembuhan luka.
3. Hipertermia berhubungandengan Hasil yang 1. Pantau suhu klien 1. Suhu 38,9-41,1oC
endotoksin diharapkan/kriteriaevaluasi suhu menunjukkanproses
dalam batas normal (36-37,5oC), 2. Pantau asupan dan penyakit infeksi akut
bebas darikedinginan haluaran serta berikan 2. Memenuhi kebutuhan cairan
minuman yang disukai klien dan membantu
untuk mempertahankan menurunkansuhu tubuh
keseimbangan antara 3. Suhu ruangan/jumlah
asupan dan haluaran. selimut harus diubah untuk
3. Pantau suhu mempertahankan suhu
lingkungan, mendekatinormal.
batasi/tambahan linen

45
tempat tidur sesuai 4. Dapat membantu
indikasi. mengurangidemam,
4. Berikan mandi kompres karena alkohol dapat
hangat, hindari membuat kulit kering.
penggunaan alkohol. 5. Digunakan untuk
mengurangidemam.
5. Berikan selimut 6. Digunakan untuk
pendingin. mengurangidemam
6. Berikan Antiperitik dengan aksi sentralnya
sesuai program. pada hipotalamus.
4. Ketakutan/ansietas berhubungan Hasil yang diharapkan/kriteria 1. Berikan penjelasan 1. Pengetahuan apa yang
dengan gigitan evaluasi pasien akan: dengan sering dan diharapkanmenurunkan
Menyatakan kesadaran perasaan informasi tentang ketakutan dan ansietas,
dan menerimanya dengan cara prosedur perawatan. memperjelas kesalahankonsep
yang sehat, mengatakan 2. Tunjukkan keinginan dan meningkatkan kerja sama
ansietas/ketakutan menurun untuk mendengar dan 2. Membantu pasien/orang
sampai tingkat dapat ditangani, berbicara pada pasien bila terdekatuntuk mengetahui
menunjukkan keterampilan prosedur bebas darinyeri. bahwa dukungan tersedia
pemecahan masalah dengan 3. Kaji status mental, dan bahwa pembrian asuhan
penggunaansumber yang efektif termasuk suasana tertarik pada orang tersebut
hati/afek. tidak hanya merawat luka
4. Dorong pasien untuk 3. Pada awal, pasien dapat
bicara tentang luka menggunakan penyangkalan
setiap hari. danrepresi untuk menurunkan
5. Jelaskan pada pasien dan menyaring informasi
apa yang terjadi. Berikan keseluruhan. Beberapa pasien
kesempatan untuk bertanya menunjukkan tenang dan
danberikan jawaban status mental waspada,

46
terbuka/jujur. menunjukkan disosiasi
kenyataan, yang juga
merupakan mekanisme
perlindungan
4. Pasien perlu membicarakan apa
yang terjadi terus menerus
untuk membuat beberapa rasa
terhadapsituasi apa yang
menakutkan.
5. Pernyataan kompensasi
menunjukkan realitas situasi
yang dapat membantu
pasien/orang terdekat menerima
realitas dan mulai menerima
apa yang terjadi.

47
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddart. 2002 . Buku Ajar Keperawatan . Edisi 3. EGC. Jakarta.
Corwin , Mutaqin .2003 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medical Bedah .
Jakarta : SalembaMedic
Wilkinson. Judith. M. 2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
Intervensi NIC danKriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal BedahBrunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC.
NANDA.(2012-2014). PanduanDiagnosakeperawatan. Prima Medika

48
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GAGAL NAFAS
A. Definisi
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk
mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah
yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (corwin 2011).
Gagal nafas terjadi apabila pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memlihara laju konsumsi
oksigen dan pembetukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh (morton
2010)
B. Etiologi
Penyebab dari gagal nafas menurut morton 2012 diantaranya:
1. Depresi sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang mengendalikan pernafasan, terletak dibawah otak
(pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan mempengaruhi fungsi pernapasan menjalar melalui saraf
yang membentang dari batang otak terus ke spinal ke reseptor pada
otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla
spinalis, otot-otot pernafasan atau pertemuan neuromuscular yang
terjadi pada pernafasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumotoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui
pengahambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan
penyakit paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera
dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan motor dapat menjadi penyebab gagal
nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cedera kepala, ketidaksadaran
dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mengarah pada obstuksi
jalan nafas atas dan depresi pernafasan. Hemothoraks, pneumotoraks
dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin menyebabkan gagal
nafas.
5. Penyakit akut paru
Pneumoni disebabkan oleh bakteri atau virus. Pneumoni kimiawi
atau pneumoni diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengiritasi
dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronchial, embolisme
paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyebabkan
gagal nafas.
C. Manifestasi Klinis
1. Gagal nafas total
a. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat di dengar/ dirasakan.
b. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela
iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.

49
c. Adanya kesulitan inflasi paru
2. Gagal nafas parsial
a. Terdengar suara nafas tamabahan seperti snoring dan whizing.
b. Ada retraksi dada
3. Hiperkapnia atau hipoksemia
a. Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2) 
b. Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
(PO2) menurun
D. Klasifikasi
1. Tipe I
Disebut gagal nafas normokapneu hipoksemia : PaO2 rendah dan
PCO2 normal. Gagal napas hipoksemia (tipe I) ditandai dengan
menurunnya tekanan arterial oksigen (Pa O2) hingga di bawah 60 mm
Hg dengan tekanan arterial karbon dioksida yang normal atau rendah
(Pa CO2). Ini merupakan bentuk paling umum dari gagal napas dan
dapat diasosiasikan dengan segala bentuk penyakit paru yang akut,
yang secara menyeluruh melibatkan pengisian cairan pada unit
alveolus atau kolaps dari unit alveolus. Beberapa contoh dari gagal
napas tipe I adalah edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik,
pneumonia, dan perdarahan pulmoner.
2. Tipe II
Disebut gagal nafas Hiperkapneu hipoksemia : PaO2 rendah dan
PCO2 Tinggi. Gagal napas hiperkapnia (tipe II) ditandai dengan
meningkatnya PaCO2melebihi 50 mm Hg. Hipoksemia biasa terjadi
pada pasien dengan gagal napas tipe ini yang bernapas dengan udara
ruangan. Keasaman atau pH bergantung pada kadar bikarbonat, yang
kembali lagi bergantung pada durasi hiperkapnia. Etiologi umum
termasuk overdosis obat, penyakit neuromuskular, abnormalitas
dinding dada, dan gangguan jalan napas berat (contohnya padaasma
dan PPOK/penyakit paru obstruktif kronis).(morton 2012).
E. Patofisiologi
1. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru
kembali keasalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami
kerusakan yang ireversibel.
2. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi pernafasan normal ialah 16-20x/menit. Kapasitas vital adalah
ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
3. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan pernafasan terletak dibawah batang
otak(pons dan medulla).
4. Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepal, stroke, tumor, otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia, dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lamba dan dangkal.

50
5. Pada periode post operatif dengan anstesi bisa terjadi penafasan tidak
adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang
dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opoid
F. Penatalaksanaan
1. Suplemen oksigen
a. Merupakan tindakan temporer sambil dicari diagnosis etiologi dan
terapinya
b. Pemberian oksigen peningkatan gradien tekanan oksigen alvelolus
dan kapiler difusi lebih banyak peningkatan PaO2
2. Obat dan penatalaksanaan lainnya
a. Mukolitik
b. Postural drainase
c. Chest physical therapy
d. Nasotracheal suctioning
e. Cough/ deep breathing exercise
G. Pengkajian
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi napas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/
bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernapasan
c. Kesulitan bernapas : lapar udara, diaforesis, sianosis.
3. Circulation
a. Penururnan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau, mental,
mengantuk
d. Pupil edema
e. Penurunan haluaran urin
H. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi –
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema pulmo
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah
jantung
I. Rencana Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
a. Tujuan : setelah di lakukan tindakan keprawatan pasien dapat
mempertahankan pola pernafasan yang efekti
b. Kriteria hasil : pasien menunjukkan: frekuensi, irama dan kedalan
pernafasan normal, adanya penurunan dispneu, analisa gas darah
dalam batas normal

51
c. Intervensi :
1) Kaji frekuensi, kedalaman, kualitas pernapasan serta pola
pernapasan.
2) Kaji tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam
3) Monitor pemberian trakeostomi bila PaO2 < 60 mmHg
4) Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan Humidififer
sesuai dengan pesanan
5) Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji
kecendrungan kenaikan PaCO2 atau kecendrungan PaO2
6) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
7) Pertahankan tirah baring dengan kepala di tinggikan 300 -450
untuk mengoptimalkan pernapasan.
8) Beringan dorongan untuk batuk dan napas dalam, bantu apsien
untuk membebat dada selama batuk
9) Intruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diafragma
atau bibir
10) Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg.
PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi mmHg / jam.
PaO2 tidak dapat di p[ertahankan pada 60 mmHg2 atau lebih,
atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau
sekresi menjadi sulit untuk dilatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi –
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
a. Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas yg adekuat
b. Kriteria hasil : Pasien mampu menunjukkan : bunyi paru bersih,
warna kulit normal, gas –gas darah dalam batas normal untuk usia
yang di perkirakan.
c. Intervensi :
1) Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
2) Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap jam
3) Laporkan perubahan tingkat kesadaran pada dokter.
4) Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya
kecendrungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam
PaO2
5) Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi
6) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
7) Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan
peningkatan atau penyimpangan
8) Pantau irama jantung
9) Berikan cairan prenteral sesuai pesanan
10) Berikan obat-obatan sesuai pesanan: bronkodilator, antibiotik,
steroid
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema pulmo
a. Tujuan : setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi
kelebihan volume cairan

52
b. Kriteria hasil : Pasien mampu menunjukkan : TTV normal, balance
cairan dalam batas normal, tidak terjadi edema

c. Intervensi :
1) Timbang BB tiap hari
2) Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
3) Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
4) Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB,CVP
5) Monitor parameter hemodinamik
6) Kolaborasi untuk pemberian cairan dan elektrolit
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah
jantung
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mapu
mempertahankan perfusi jaringan
b. Kriteria hasil : pasien mampu menunjukkan : status hemodinamik
dalam batas normal dan TTV normal.
Intervensi :
1) Kaji tingkat kesadaran
2) Kaji penurunan perfusi jaringan
3) Kaji status hemodinamik
4) Kaji irama EKG
5) Kaji sistem gastrointestinal

53
LAPORAN PENDAHULUAN
ACUT CORONARIA SYNDROME/ ACUTE MIOKARD INFARK

A. Defenisi
Menurut WHO definisi penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang
disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah. Macam-macam
penyakit kardiovaskuler, namun yang paling umum adalah penyakit jantung
koroner.Acute coronary syndrome (ACS) adalah keadaan terjadinya
perubahan patologis dalam dinding arteri koroner, sehingga menyebabkan
iskemik miokardium (Tumade, Jim, & Joseph, 2016). ACS adalah Suatu
keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis perasaan tidak enak
di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard (Idrus Alwi,
2006). ACS dibagi menjadi Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
(STEMI), infark miokard akut non-elevasi segmen ST (NSTEMI), dan angina
pektoris tidak stabil (UAP) (PERKI, 2018).
ACS terlihat timbul secara mendadak, namun sebenarnya proses
terjadinya penyakit ini memerlukan waktu yang lama. Patofisiologi ACS pada
24 jam pertama adalah periode kritis yang membutuhkan perawatan intensif.
Terutama pada klasifikasi STEMI karena memiliki potensi mengalami
komplikasi gagal jantung, shok kardiogenik dan bahkan kematian mendadak.
Penyebab ACS 90% adalah arteriosklerosis dimana pembuluh darah koroner
mengalami penyempitan satu atau lebih lumen arteri koronaria kemudian
berlanjut ke pembentukan plak (Halimuddin, 2016).

B. Klasifikasi Acute Coronary Syndrome (ACS)


ACS dibagi menjadi Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
(IMA-EST), Infark miokard akut non-elevasi segmen ST (IMA-NST), dan
Angina pektoris tidak stabil (APTS). Infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (IMA-EST) merupakan indikator terjadinya oklusi total pembuluh
darah arteri koroner yang memerlukan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi secepatnya dengan agen fibrinolitik atau perkutan
primer. Diagnosis IMA-EST ditegakkan bila terdapat keluhan angina pektoris
dengan hasil EKG elevasi ST persisten 2 sadapan yang bersebelahan (PERKI,
2018).
Keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap
di 2 sadapan yang bersebelahan, kemudian dilakukan pemeriksaan biomarka
jantung untuk melihat apakah diagnosis IMA-NST atau APTS. Apabila hasil
pemeriksaan biokimia bermakna biomarka jantung terjadi peningkatan
bermakna maka diagnosisnya IMA NST, jika biomarka tidak meningkat
secara bernakna diagnosisnya APTS (Darliana, 2010).

54
C. Etiologi
Ateroskelosis berat dan kronis yang menyebabkan penyempitan lumen
satu bahkan lebih arteria koronaria merupakan gangguan yang menyebabkan
penyakit jantung koroner. Ketika terjadi penyempitan aterosklerotik lumen
sebesar >75% pada satu atau lebih arteri koronaria besar, setiap peningkatan
aliran darah koroner yang mungkin terjadi akibat vasodilatasi koroner.
kompensatorik masih akan kurang memadai untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan oksigen miokardium sehingga timbul angina pektoris.
Gejala dan prognosis penyakit jantung iskemik bergantung pada luas,
keparahan kelainan anatomik kronis, dan perubahan dinamik dalam morfologi
plak koroner. Perubahan tersebut mencakup perubahan plak akut, trombosis
arteria koronaria, dan vasospasme arteri koronaria (Kumar, Cotran, &
Robbins, 2013).
1. Perubahan Plak Akut
Perubahan akut bagian plak aterosklerotik kronis mencakup
pembentukan fisura, perdarahan ke dalam plak, dan ruptur plak disertai
embolisasi debris ateromatosa ke pembuluh koroner distal yang
menyebabkan pembesar plak, perubahan lokal pada plak meningkatkan
risiko agregasi trombosit dan trombosis di tempat tersebut. Perubahan akut
ini sering terjadi pada plak yang menyebabkan stenosis kurang dari tingkat
kritis 75% di atas. Perubahan akut yang terjadi (50%-75%) merupakan
penyebab infark miokardium akut yang terjadi pada orang yang
sebelumnya asimtomatik. Plak yang mengalami kelainan tampak eksentrik
dan memiliki inti lunak besar yang terdiri atas debris nekreik dan lemak
dilapisi oleh selapis tipis jaringan fibrosa.
Selain itu jaringan ini kaya akan makrofag dan Sel T. Diperkirakan
metaloprotease yang dikeluarkan oleh makrofag membantu menguraikan
kolagen. Sel T mungkin mengaktifkan makrofag melalui sekresi
interferon. Trauma hemodinamika juga mungkin berperan. Oleh karena itu
plak cenderung mengalami fisura dipertemuan antara lapisan fibrosa dan
dinding pembuluh bebas plak di dekatnya, tempat stres mekanis yang
ditimbulkan oleh aliran darah maksimal.
2. Trombosis arteria koronaria
Ruptur plak menyebabkan lemak trombogen dan kolagen
subendotel terpajan. Hal ini memicu gelombang agregasi trombosit,
pembentukan trombin, dan akhirnya pembentukan trombus. Apabila
pembuluh tersumbat total oleh, trombus yang menutupi plak yang ruptur,
terjadi infark miokard akut. Dan apabila sumbatan lumen oleh trombus
tidak total dan dinamik, pasien dapat mengalami angina tidak stabil atau
aritmia letal yang menyebabkan kematian jantung mendadak. Trombus
mural nonoklusif juga dapat melepaskan potongan kecil bahan trombotik
yang menyebabkan embolus di cabang distal arteri koronaria. Yang dapat
menyebabkan mikroinfark, yang ditemukan pada pasien angina tidak
stabil.

55
3. Vasospasme arteri koronaria
Mekanisme terjadinya vasospasme koroner masih belum jelas. Di
tempat kerusakan plak, vasospasme ini mungkin dipicu oleh pembebasan
mediator vasospastik seperti tromboksan A₂ dari agregat trombosit.
Disfungsi endotel dapat memicu vasospasme dengan mengurangi
pengeluaran endhotelial-derived relaxing factors. Peningkatan aktivitas
adfenergik dan merokok juga diperkirakan ikut mempengaruhi.
4. Proses Patologik Lain
Proses selain aterosklerosis atau penyulitnya yang mengganggu
aliran darah melalui arteria koronaria jarang terjadi, namun ada. Proses ini
mencakup embolus yang berasal dari vegetasi pada katup aorta atau mitral
dan vaskulitis koroner. Hipotensi sistemik yang parah juga dapat
menyebabkan penurunan aliran arteria koronaria dan iskemia miokardium,
terutama pada pasien yang sudah mengalami aterosklerosis koroner. Selain
faktor yang mengurangi aliran darah koroner, peningkatan kebutuhan
oksigen miokardium juga berperan menyebabkan iskemia miokardium Hal
ini sering terjadi pada hipertrofi miokardium kiri yang mungkin ditemukan
pada Pasien dengan hipertensi sistemik atau penyakit katup jantung.
5. Kongenital
Kelainan arteri koronaria kongenital terdapat pada 1-2 % populasi.
Namun, hanya sebagian kecil dari kelainan ini yang menyebabkan iskemia
simtomatik ( Mc Phee & Ganong, 2012).

D. Manifestasi Klinis Acute Coronary Syndrome (ACS)


Bagi pasien ACS aktivitas fisik merupakan pemicu timbulnya serangan
atau nyeri dada. Aktivitas yang berlebihan akan meningkatkan kebutuhan
oksigen (Yuliati, Kosasih, & Emaliyawati, 2019). Keluhan pasien dengan
iskemia miokard berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) berupa rasa
tertekan atau berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang,
area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
beberapa menit atau > 20 menit. Keluhan angina tipikal biasanya disertai
keluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI, 2018). Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada pasien STEMI terutama pada pasien yang lanjut usia dan
diabetes melitus (Darliana, 2010).
Angina atipikal (angina ekuivalen) biasanya nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, gangguan pencernaan, sesak napas, atau rasa lemah mendadak.
Keluhan atipikal ini sering dijumpai pada pasien usia muda (20-40 tahun) atau
usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, dan
demensia. Walaupun keluhan atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini
patut dicurigai sebagai, angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner. Hilangnya
keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosa ACS (PERKI, 2018).

56
E. Path Way

57
F. Data Penunjang
1. EKG, adanya perubahan segmen ST, gelombang Q, dan perubahan
gelombang T.
2. Berdasarkan hasil sinar X dada terdapat pembesaran jantung dan kongestif
paru.
3. Enzim jantung (Gawlinski, 1989)
a. Kreatinin kinase (CK) – isoenzim MB mulai naik dalam 6 jam,
memuncak dalam 18 – 24 jam dan kembali normal antara 3 – 4 hari,
tanpa terjadinya neurosis baru. Enzim CK – MB ssering dijadikan
sebagai indikator Infark Miokard.
b. Laktat dehidrogenase (LDH) mulai meningkat dalam 6 – 12 jam,
memuncak dalam 3 – 4 hari dan normal 6 –12 hari.
4. Troponin T. m. Test tambahan termasuk pemeriksaan elektrolit serum,
lipid serum, hematologi, GDS, analisa gas darah (AGD).
5. Elektrolit.
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas,
missal hipokalemi, hiperkalemi.
6. Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA
berhubungan dengan proses inflamasi.
7. AGD
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
8. Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI.
9. Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau
aneurisma ventrikuler
10. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
11. Pemeriksaan pencitraan nuklir
Talium: mengevaluasi aliran darah miocardia dan status sel miocardia
missal lokasi atau luasnya IMA.
12. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya
dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji
fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pad
fase IMA kecuali mendekati bedah jantung angioplasty atau emergensi.
13. Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup
ventrikel, lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan
bekuan darah.
14. Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering
dilakukan sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.

58
G. Penatalaksanaan Umum
1. Penatalaksanaan awal
a. Oksigen 4 liter / menit ( saturasi O2 dipertahankan > 90 % ).
b. Nitrogliserin 5 mg sl untuk memperbaiki pengiriman oksigen ke
miokard dan menurunkan kebutuhan oksigen di miokard. Dapat
diulang 3 kali lalu di drip bila masih nyeri.
c. Aspirin 160 mg kunyah bila tidak ada kontra indikasi, untuk
menghambat agregasi platelet dan mencegah konstriksi arterial
d. Morphin 2-4 mg IV untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan,
mengurangi rasa sakit akibat iskemia, menurunkan tahanan pembuluh
sistemik, menurunkan afterload dan preload sehingga menurunkan
kerja jantung. Morphine juga merelaksasikan bronkhiolus untuk
meningkatkan oksigenasi.
e. Clopidogrel, dosis awal diberikan 300 mg pada pasien tanpa riwayat
pemakaian clopidogrel sebelumnya.
2. Penatalaksanaan lanjut
a. UAP dan NSTEMI
1) Heparin
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat
baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan
lebih mudah pemantauannya (tanpa APTT). Heparin mempunyai
efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin,
namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang
dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan
infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus
1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg . Low
Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH) Diberikan pada
UAP atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh
lebih lama; high bioavailability.
b. STEMI sesuai indikasi dan kontraindikasi ( jangan tunda/ reperfusi )
1) Terapi Fibrinolitik dengan Streptokinase atau Alteplase
Dianjurkan pada :
a) Presentasi < 3 jam
b) Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau terlambat
c) Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon > 90
menit
d) Waktu antara sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu
antara pasien tiba sampai dengan fibrinolitik > 1 jam.
e) Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik Kontraindikasi absolut :
f) Riwayat perdarahan intrakranial kapanpun
g) Lesi struktur cerebrovaskular
h) Tumor intrakranial ( primer maupun metastasis )
i) Stroke iskemik dalam tiga bulan atau 3 jam terakhir
j) Dicurigai adanya suatu diseksi aorta

59
k) Adanya trauma/pembedahan/trauma kepala dalam 3 bulan
terakhir.
l) Adanya perdarahan aktif tidak termasuk menstruasi
m) Diseksi aorta

H. Data Fokus Pengkajian


1. Pengkajian primer
a. Airways
Sumbatan atau penumpukan secret atau krekles
b. Breathing
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
3) Ronchi, krekles d) Ekspansi dada tidak penuh
4) Penggunaan otot bantu nafas
c. Circulation
1) Nadi lemah , tidak teratur
2) Takikardi
3) TD meningkat / menurun
4) Edema
5) Gelisah
6) Akral dingin
7) Kulit pucat, sianosis
8) Output urine menurun
9) Pengkajian sekunder
d. Aktifitas Gejala :
1) Kelemahan
2) Kelelahan
3) Tidak dapat tidur
4) Pola hidup menetap
5) Jadwal olah raga tidak teratur Tanda :
a) Takikardi
b) Dispnea pada istirahat atau aaktifitas.
6) Sirkulasi Gejala :
a) Riwayat IMA sebelumnya,
b) Penyakit arteri koroner,
c) Masalah tekanan darah,
7) Diabetes mellitus. Tanda :
a) Tekanan darah : Dapat normal / naik / turun, Perubahan
postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri.
b) Nadi : Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat
kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratus
(disritmia).
c) Bunyi jantung : Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin
menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau
komplain ventrikel.

60
d) Murmur : Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot
jantung.
e) Friksi : Dicurigai Perikarditis.
f) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur.
g) Edema : Distensi vena juguler, edema dependent , perifer,
edema umum,krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau
ventrikel.
h) Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran
mukossa atau bibir
8) menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,
9) perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan,
10) khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga.
e. Eliminasi
1) normal,
2) bunyi usus menurun.
f. Makanan atau cairan
1) mual,
2) anoreksia,
3) bersendawa,
4) nyeri ulu hati atau terbakar
5) penurunan turgor kulit,
6) kulit kering,
7) berkeringat,
8) muntah,
9) perubahan berat badan.
g. Hygiene
lesulitan melakukan tugas perawatan.
h. Neurosensori
1) pusing,
2) berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat ).
3) perubahan mental,
4) kelemahan .

61
I. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. DS : ACS aliran darah Gangguan
Pasien mengeluh menurun O2 & perfusi jaringan
kesemutan/mati rasa nutrisimenurun
DO : infarkmiokardium
- CRT >3 detik suplai O2 ke miokard
- Nadi perifer menurun integritas
menurun/ tidak membran sel berubah
teraba kontraktilitas menurun
- Akral dingin gagal jantung meningkat
- Warna kulit pucat fe menurun perfusi
- Turgor kulit perifer hipotensi
menurun perfusi perifer tidak
- Edema efektif
- Penyembuhan luka
lambat
2. DS : ACS aliran darah Pola nafas tidak
Pasien mengeluh menurun O2 & efektif
sesak nafas nutrisimenurun
DO : infarkmiokardium
- Pola nafas abnormal suplai O2 ke miokard
- Pernafasan cuping menurun Kontraksi
hidung Jantung Meningkat
- Penggunaan otot Hipertrofi ventrikel kiri
bantu pernafasan transudasi cairan
- Fase ekspirasi Pengembangan paru
memanjang tidak optimal pola
- Kapasitas vital nafas tidak efektif
menurun
- Ekskursi dada
berubah
3. DS : ACS aliran darah Gangguan
Pasien mengeluh menurun O2 & pertukaran gas
sesak nafffas nutrisimenurun
Pasien mengeluh infarkmiokardium
pusing dan suplai O2 ke miokard
penglihatan kabur menurun Kontraksi
DO : Jantung Meningkat
- Spo2 meningkat Hipertrofi ventrikel kiri
- Po2 menurun transudasi cairan
- Takikardi Pengembangan paru
- Ph arteri tidakoptimal
meningkat/menurun gangguan pertukaran gas
- Bunyi nafas
tambahan

62
- Sianosis
- Gelisah
- Nafas cuping hidung
- Pola nafas abnormal
- Kesadaran menurun
4. DS : ACS aliran darah Gangguan rasa
Pasien mengeluh menurun O2 & nyaman nyeri
nyeri dada nutrisimenurun
DO : infarkmiokardium
- Pasien tampak suplai O2 ke miokard
meringis menurun
- Pasien tampak metabolisme anaerob
gelisah Produksi asam laktat
- Frekuensi nadi meningkat gangguan
meningkat rasa nyaman nyeri
- Tekanan darah
meningkat
- Susah tidur
- Pola nafas berubah
- Nafsu makan
berubah
5. DS : ACS aliran darah Kelebihan
Pasien mengeluh menurun O2 & volume cairan
sesak nafas nutrisimenurun
DO : infarkmiokardium
- Edema perifer suplai O2 ke miokard
- BB meningkat menurun Kontraksi
dalam waktu singkat Jantung Meningkat
- Distensi vena Hipertrofi ventrikel kiri
jugularis transudasi cairan
- Terdengar suara edema paru
tambahan kelebihan volume cairan
- Kadar hb/ht turun
- Oliguria
- Intake lebih banyak
dari output
- Kongesti paru
6. DS : ACS aliran darah Intoleransi
Pasien mengeluh menurun O2 & Aktivitas
lelah dan lemah nutrisimenurun
DO : infarkmiokardium
- Frekuensi jantung suplai O2 ke miokard
meningkat >20 % menurun integritas
dari kondisi istirahat membran sel berubah
- Gambaran EKG kontraktilitas menurun
menunjukkan gagal jantung meningkat

63
aritmia saat / setelah fe menurun perfusi
aktivitas perifer
- Sianosis hipotensi,asidosis,
- Gambaran EKG metabolik dan
menunjukkan hipoksemia
iskemia kelemahanfisik
intoleransi aktivitas
7. DS : ACS aliran darah Koping tidak
Pasien mengatakan menurun O2 & efektif
tidak mampu nutrisimenurun
mengatasi masalah infarkmiokardium
DO: suplai O2 ke miokard
- Tidak mampu menurun integritas
memenuhi peran membran sel berubah
yang diharapkan kontraktilitas menurun
- Menggunakan gagal jantung meningkat
mekanisme koping fe menurun perfusi
yang tidak sesuai perifer
- Penyalahgunaan zat hipotensi,asidosis,
- Perilaku tidak asertif metabolik dan
- Partisipasi sosial hipoksemia
kurang kelemahanfisik
kondisi dan prognosis
penyakit Koping tidak
efektif
8. DS : ACS aliran darah Kurang
Pasien menanyakan menurun O2 & Pengetahuan
masalah yang sedang nutrisimenurun
dihadapi infarkmiokardium
DO : suplai O2 ke miokard
- Menunjukkan menurun integritas
perilaku tidak sesuai membran sel berubah
anjuran kontraktilitas menurun
- Menunjukan gagal jantung meningkat
persepsi yang keliru fe menurun perfusi
terhadap masalah perifer
- Menujukkan hipotensi,asidosis,
perilaku yang metabolik dan
berlebihan hipoksemia
- Menjalani kelemahanfisik
pemeriksaan yang kondisi dan prognosis
tidak tepat penyakit Koping tidak
efektif
9. DS : ACS aliran darah Ansietas
Pasien mengeluh menurun O2 &
merasa bingung nutrisimenurun

64
Pasien mengeluh infarkmiokardium
pusing dan sulit suplai O2 ke miokard
berkonsentrasi menurun integritas
DO: membran sel berubah
- Tampak gelisah kontraktilitas menurun
- Tampak tegang gagal jantung meningkat
- Sulit tidur fe menurun perfusi
- Frekuensi nafas perifer
meningkat hipotensi,asidosis,
- Frekuensi nadi metabolik dan
meningkat hipoksemia
- Tremor kelemahanfisik
- Tekanan darah kondisi dan prognosis
meningkat penyakit Koping tidak
- Sering berkemih efektif
- Muka tampak pucat
10. DS : ACS aliran darah Risiko
menurun O2 & penurunan curah
DO : nutrisimenurun jantung
- Perubahan frekuensi infarkmiokardium
jantung suplai O2 ke miokard
- Perubahan irama menurun integritas
jantung membran sel berubah
- Perubahan kontraktilitas menurun
kontraktilitas resiko penurunan curah
- Perubahan preload jantung
- Perubahan afterload

J. Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi perifer tidak efektifb/d hipotensi
2. Pola nafas tidak efektif b/d pengembangan paru tidak optimal
3. Gangguan pertukaran gas b/d edema paru
4. Nyeri akut b/d metabolisme anaerob
5. Hipervolemia b/d edema paru
6. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik
7. Koping Defensif b/d kondisi dan prognosis penyakit
8. Defesit Pengetahuan b/d kondisi dan prognosis penyakit
9. Ansietas b/d kondisi dan prognosis penyakit
10. Risiko penurunan curah jantung b/d kontraktilitas menurun

65
K. Nursing Clan Plan

No Dx Keperawatan Tujuan Intervensi


1. Perfusi perifer Setelah dilakukan tindakan 1. Periksa sirukalis perifer ( nadi perifer,
tidak efektif b/d keperawatan selama 3x24jam maka edema,pengisian kafiler,warna,suhu)
hipotensi perfusi perifer meningkat dengan 2. Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
kriteria hasil : (DM,Perokok,kadar glukosa tinggi,monitor
 Denyutnadi meningkat panas,kemerahan,nyeri, atau bengkak
 Penyembuhan luka meningkat padaekstremitas)
 Sensadi meningkat 3. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
 Warna kulit pucat menurun darah di area keterbatasan perfusi
edema perifer menurun 4. Hindari pengukuran tekanan darah pada
 Nyeri ektremitas menurun ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
 Parastesia menurun 5. Lakukan pencegahan infeksi
6. Lakukan perawatan kaki dan kuku
 Kelemahan otot menurun
7. Lakukan hidrasi
 Keram otot menurun
8. Anjurkan berhenti merokok
 Bruit pemoraris menurun 9. Anjurkan oah raga rutin
 Pengisian kapiler membaik 10. Anjurkan menggunakan obatpenurun tekanan
 Akral membaik darah, antikoagulan dan penurunan kolestrol
 Turgor kulit membaik 11. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan
 Tekanan darah membaik darah cara teratur
12. Ajarkan program diet untuk memperbaiki
sirkulasi
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pola nafas
efektif b/d keperawatan selama 3x24jam maka 2. Monitor bunyi nafas tambahan
pengembangan pola nafas membaikt dengan kriteria 3. Monitor sputum
paru tidak optimal hasil : 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas

66
 Ventilasi semenit meningkat 5. Posisi smi powler
 Kapasitas vital meningkat 6. Berika minum hangat
 Diameter thoraks 7. Lakukan pisioterapi dada
anteriorposterior meningkat 8. Lakukan penghisapan lendir
 Tekanan ekspirasi meningkat 9. Lakukan hiperoksigenasi
 Tekaan inspirasi meningkat 10. Berikan oksigen
 Dopsnea menurun 11. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari jika tidak
kontra indikasi
 Penggunaan otot bantu nafas
12. Ajarkan teknik atuk efektif
menurus
13. Kolaborasi pemberian brocodilator
 Pemanjangan fase ekspirasi
14. Ekspektoran mukolitik jika perlu
 Ortopnea menurun
 Pernafasan persue-lip
menurun
 Pernafasan cuping hidung
menurun
 Frekuensi nafas membaik
 Kedalaman namafs membaik
 Eksrusi dada membaik
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
pertukaran gas b/d keperawatan selama 3x24jam maka upaya nafas
edema paru pertukaran gas membaik dengan 2. Monitor pola nafas
kriteria hasil : 3. Monitorkemampuan batuk efektif
 Verbalisasi mendengar 4. Monitoradanya produksi sputum
bisikan menurun 5. Monitor adanya penyumbatan jalan nafas
 Verbilisasi melihat bayangan 6. Palpasi kesimestrisan ekspansi paru
menurun 7. Auskultasi bunyi nafas
 Verbalisasi meraskan sesuatu 8. Monitor saturasi oksigen

67
melalui indra perabaan 9. Monitor Nilai AGD
 Verbalisasi meraskan sesuatu 10. Monitor hasil x-ray thoraks
melalui indra penciuman 11. Atur inteval pemantaua respirasu sesuai
 Verbalisasi meraskan sesuatu kondidi pasien
melalui indra pengecapan 12. Dokumentasi hasil pemantauan
 Distrosi sensori menurun 13. Jelaskan prosedur dan prosedurpemantauan
 Perilaku halusilasi menurun 14. Informasikan hasil pemantauan jika perlu
 Menarik diri menurun
 Melamun menurun
 Curiga menurun
 Mondar mandir menurun
 Respon sesuai stimulus
membaik
 Konsentrasi membaik
 Orientasi membaik
4. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi,
metabolisme keperawatan selama 3x24jam maka frekuensi,kualitas,intensitas nyeri
anaerob perfusi perifer nyeri akut menurun 2. Identifikasi skala nyeri
meningkat dengan kriteria hasil : 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
 Keluhan nyeri menurun 4. Identifikasi faktor yang memberatkan dan
 Meringis menurun memperingan nyeri
 Sikap protektifmenurun 5. Idemtifikasi pengetahuan dan keyakinan
 Gelisah menurun tentangnyeri
 Kesulitan menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
 Menarik diri menurun nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada lia;itas hidup
 Berfokus pada diri sendiri
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer
menurun

68
 Diaforesis menurun yang sudah di berikan
 Perasaan depresi menurun 9. Monitor efesamping penggunaan analgetik
 Perasaan takut mengalami 10. Berikan teknik nonfarmologis untuk megurangi
cedera berulang menurun untuk rasa nyeri
 Anoreksia menurun 11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
 Perineum terasa tertekan nyeri
menurun 12. Fasilitasi istirahat tidur
 Uterus teraba membulat 13. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
menurun pemilihan strategi meredakan nyeri
14. Jelaskan penyebab atau pemicu nyeri
 Ketegangan otot menurun
15. Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Pulpi dilatasi menurun
16. Anjurkanmemonitor nyeri secara mandiri
 Muntah menurun 17. Anjurkanmenggunakan analgetik secara tepat
 Mual menurun 18. Anjarkan teknik nonfarmakologi untu
 Frekuensi nadi membaik mengurangi rasa nyeri
 Tekanan darah membaik 19. Kolaborasi pemberian analgetik
 Proses berokus membaik
 Fungsi berkemih membaik
 Perilaku membaik
 Nafsu makan membaik
 Pola tidur membaik
5. hipervolemia b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Periksa tanda dan geja hiverpolemia
edema paru. keperawatan selama 3x24jam maka 2. Identifikasi penyebab hiverpolemia
hipervolemia membaik dengan 3. Monitor status hemogenamik
kriteria hasil : 4. Monitor intake dan output cairan
 Kekuatan nadi meningkat 5. Monitortanda hemo konsentrasi
 Turgor kulitmeningkat 6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik
 Output urine meningkat plasma

69
 Pengisian vena meningkat 7. Monitor kecepatan infus secara ketat
 Ortopnea menurun 8. Monitor efek smping bioretik
 Dispnea menurun 9. Timbang bb setiaphari pada waktu yang sama
 Edema anasarka menurun 10. Batasi asupan cairan dan gambaran
 Edema perifer menurun 11. Tinggika kepala tempattidur sampai 30-40
 Berat badan menurun derajat
12. Anjurkan lapor jika haluaran urine kurangdari
 Distensi vena juguralis
0,5ml/kg/jam dalam 6 jam
menurun
13. Anjurkan melapor jika BB bertambah lebih
 Suara nafas tambahan
dari 1kg dalam sehari
menurun
14. Ajarkancara membatasi cairan
 Kongestiparu menurun 15. Kolaborasi pemberian diuretikom
 Perasaan lemah menurun 16. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium
 Keluhan haus menurun akibat bioretik
 Kosentrasi urine menurun
 Prekuensi nadi membaik
 Tekanan darah membaik
 Tekanan nadi membaik
 Membran mukosa membaik
 Jvp membaik
 Kadar hb membaik
 kadar ht membaik
 Berat badan membaik
 Hepatomegali membaik
 Oliguria membaik
 Intakecairan membaik
 Status mental membaik
 Suhu tubuh membaik

70
6. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh
b/d kelemahan fisik keperawatan selama 3x24jam maka yangmengakibatkan kelelahan
intoleransi aktivitas membaik dengan 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
kriteria hasil : 3. Monitorpola dan jam tidur
 Kemampuan berkemih 4. Monitor lokasi dan ketidk nyamanan selama
meningkat melakukan aktivitas
 Nokturia menurun 5. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
 Residu volume urine ketika stimulus
berkemih menurun 6. Lakukan latihan rentang gerak pasif atau aktif
 Distensi kandung kemih 7. Berikan aktifitas distraksi yang menenangkan
menurun 8. Pasilitasi posisi duduk di sisi tempat tidur jika
 Dribbling menurun tidak bisa bertambah atau berjalan
 Hsitanchi menurun 9. Anjurkan tirah baring
10. Anjurkanmelakukan aktifitas secarabertahap
 Enuresis menurun
11. Anjurkanmenghubungi perawat jika tanda dan
 Verbalisasi pengeluaran urine
gejala kelelahan tidak berkurang
tidak tuntas menurun
12. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
 Frekuensi berkemih membaik kelelahan kolaborasi dengan ahli gizi tentang
 Sensasi berkemih membaik ara mengasupkan makanan
7. Koping Defensif Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi kemampuan yang di miliki
b/d kondisi dan keperawatan selama 3x24jam maka 2. Identifikasi sumberdaya yang tersedia untuk
prognosis penyakit koping defensif membaik dengan memenuhi tujuan
kriteria hasil : 3. Identifikasi pemahaman proses penyakit
 Kemampuan memenuhi peran 4. Identifikasi metode penyelesaian masalah
sesuaiusia meningkat 5. Dikusikan perubahan peran yang d alamai
 Prilaku koping adaftif 6. Gunakan pendekatan yang tenang dan
meningkat meyakinkan
 Herbalisasi kemampuan 7. Diskusikan alasanmengkritik diri sendiri

71
mengatasai masalah 8. Kurangi rangsangan nyeri yang mengancam
meningkat 9. Anjurkan menjalin hubungan yang memiliki
 Perbilasasi kemampuan kepentingan dan tujuan sama
mengatasi masalah meningkat 10. Anjurkan menggunakan sumber spiritual
 Perbalisasi kelemahn diri 11. Anjurkan keluarga terlibat
meningkat 12. Latih mengembagkan penilaian obyktif
 Prilaku asertif meningkat
 Partisivasi sosial meningkat
 Taggung jawabmeningkat
 Orientasi realita meningkat
 Minat mengikuti perawatan
atau pengobatan meningkat
 Kemampuan membina
hubungan meningkat
 Perbalisasi menyalahkan
orang lain menurun
 Perbalisasi rasinolisasi
kegagalan menurun
 Hipersensitif terhadap kritik
menurun
 Prilaku penyalahgunaan jat
menurun
 Prilaku manifulasi menrun
 Prilaku permusushan menurun
 Prilaku superior menurun
8. Defesit Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan
Pengetahuan b/d keperawatan selama 3x24jam maka menerima informasi

72
kondisi dan pengetahuan meningkat dengan 2. Identifikasi faktor2 yang dapat meningkatkan
prognosis penyakit kriteria hasil : dan menurunkan motifasi prilaku hidup bersih
 Prilaku sesuai anjuran dan sehat
meningkat 3. Sediakan materi dan media pendidikan
 Perbalisasi minat dalam kesehatan
belajar meningkat 4. Jadwakan penidikan kesehatan sesuai
 Kemampuan menjelaskan kesepakatan
pengetahuan tentang suatu 5. Berikan kesempatan untuk bertaya
tofik meningkat 6. Jelaskan faktor resiko yang dapat resiko yang
 Kemampuan menggambarkan dapa tmempengaruhi
pengalam sebelumnya yang 7. Ajurkan prilaku hidup sehat dan bersih
sesuai dengan tofik meningkat
 Prilaku sesuai dengan
pengetahuan meningkat
 Pertanyaan masalahyang di
hadapi menurun
 Persepsi yang keliru terhadap
masalah menurun
 Menjalani pemeriksaan yang
tidak tepat menurun
 Prilaku membaik menurun
9. Ansietas b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi penurunan tingkat energi
kondisi dan keperawatan selama 3x24jam maka 2. Identifikasi penurunan tigkat energi
prognosis penyakit ansietas menurun dengan kriteria 3. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
hasil : digunakan
 Verbalisisasi kebingungan 4. Identifikasi kesediaan, kemampuan dan
menurun penggunaan teknik sebelumnya
5. Priksa ketegangan otot dan TTV

73
 Perbalisisasi akibat kondisi 6. Monitor respon terhadap terapi relaksasi
yang d hadapi menurun 7. Ciptakan lingkungan tenang dan nyaman
 Prilaku gelisah meurun 8. Berikan informasi tertulis tentang persiapan
 Prilaku tegang menurun dan prosedur teknik relaksasi
 Keluhan pusing menurun 9. Gunakan pakaian longgar
 anoreksia menurun 10. Guanakan nada suara lembut dan lambat
 Palpitasi menrun 11. Gunakan relaksasi sebagai penunjang dengan
analgetik atau tindakan medis lain
 Prekuensi pernafasanmenurun
12. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis
 Prekuansi nadi menurun
relaksasiyang tersedia
 Tekanan darah menurun 13. Jelaskan seacara rinci intervensi dan relaksasi
 Diaforesis menurun yang dipilih
 Tremor menurun 14. Anjurkan mengambil posisi nyaman
 Pucat menurun 15. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
 Konsentrasi membaik relaksasi
 Pola tidur membaik
 Perasaan keberdayaan
membaik
 Kontak mata membaik
 Pola berkemih membaik
 Orientasi membaik
10. Risiko penurunan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan
curah jantung b/d keperawatan selama 3x24jam curah jantung
kontraktilitas menurun maka curah jantung 2. Identifikasi tanda dan gejala penurunan curah
menurun meningkat dengan kriteria hasil : jantung
 Kekuatan nai perifer 3. Monitor tekanan darah, monitor intake output
meningkat cairan
 Cardiac index meningkat 4. Monitor BB setiap hari pada waktu yang sma

74
 Palpitasi menurun 5. Monitor saturasi oksigen
 Bradicardi menurun 6. Monitor keluhan pada nyeri
 Takikardi menurun 7. Monitor EKG 12 Sadapan
 Gambaran ekg aretmia 8. Monitor aritmia
menurun 9. Monitor nilai laboratorium jantung
 Lelah menurun 10. Monitor fungsi alat pacu jantung, tekanan
 Edema menurun darah dan nadi sebelum dan sesudah aktivitas
11. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi
 Distensi venajuguralis
sebelum memberikan obat
menurun
12. Posisikan pasien semi fowler atau posisi
 Dispnea menurun
nyaman
 Oliguriia menurun 13. Berikan diet jantung yang sesuai
 Pucat atau sianois menurun 14. Gunakan stoking elastis atau pneumatic
 Ortopnea menurun intermiten
 Batuk menurun 15. Falisistasi pasien dan keluarga untuk
 Suara jantung s3 meurun modifikasi gaya hidup sehat
 Suarajantung s4 menurun 16. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi
 Murmur jantung menurun stres
 Bb menurun 17. Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Hepatomigali menurun 18. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
 Pulmonari paspular resistance 19. Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
menurun 20. Anjurkan berhenti merokok
 Tekanan darah membaik 21. Kolaborasi pemberian anti aritmia
22. Rujuk ke program anti rehabi;itas jantung
 Crt membaik

 Pulmonaly artery wedge


pressure membaik

75
DAFTAR PUSTAKA

Lita. 2021. Pra Hospitalisasi Pasien Acute Coronary Syndrome (ACS). Surabaya :
Gobal Aksara Pres

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan : DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan : DPP PPNI

Mutarobin. 2018. Modul Sistem Kardiovaskuler Acute Coronary Syndrome


(ACS). Jakarta

76
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA ABDOMEN

A. Definisi
Trauma adalah cedera fisik maupun psikis, serta kekerasan yang bisa
mengakibatkan cedera (Sjamsuhidayat, 1998). Trauma Abdomen merupakan
kerusakan atau cedera yang terjadi pada rongga abdomen sehingga
mengakibatkan perubahan fisiologi yang berdampak pada gangguan
metabolism dan imunologi. Trauma merupakan penyebab kematian ke Tiga
pada pasien usia dibawah 4o tahun (Elliot,D.C, Rodriguzed, 1996).
Trauma abdomen adalah trauma/cedera yang mengenai daerah
abdomen yang menyebabkan/timbulnya gangguan/kerusakan pada
organ yang ada di dalamnya.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada
organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga
terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ (Yudhautama, 2013).

B. Etiologi
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) Trauma atau kecelakaan yang terjadi
pada abdomen yang kebanyakan disebabkan oleh trauma tumpul. Deselerasi
yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang mengakibatkan terjadinya
trauma saat tubuh seseorang terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma yang disebabkan oleh benda tajam biasanya diakibatkan oleh luka
tembakan yang menyebabkan kerusakan besar dalam abdomen. Tidak hanya
luka tembak, trauma abdomen bisa juga disebabkan oleh luka tusuk. Luka
tusuk tersebut juga bisa meyebabkan trauma organ intraabdomen.
Penyebab trauma abdomen berdasarkan klasifikasinya:
1. Penyebab trauma tumpul abdomen:
 Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
 Hancur (tertabrak mobil)
 Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
 Cidera akselerasi/deserasi kecelakaan olahraga
Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan
karena adanya potensi cedera yang tersembunyi yang
mungkin sulit dideteksi.. insiden komplikasi berkaitan
dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besar
dari insiden yang berhubungan dari luka tusuk.
Khususnya cedera tumpul yang mengenai hati, limpa,

77
ginjal, atau pembuluhdarah, yang dapat menimbulkan
kehilangan darah substansial kedalam orgam perineum
(Brunner & Suddarth, 2001).
2. Penyebab trauma tembus abdomen
 Luka akibat terkena tembakan
 Luka akibat tikaman benda tajam
 Luka akibat tusukan

C. Tanda dan Gejala


a. Manifestasi Klinis secara umum menurut Smelzer (2001):
 Nyeri (khususnya karena gerakan)
 Nyeri tekan dan lepas (mumgkin menandakan iritasi periotonium
cairan gasrtointestinalatau darah)
 Distensi abdomen
 Demam
 Anoreksia
 Mual dan muntah
 Takikardi
 Peningkatan suhu tubuh
b. Manifestasi Klinis berdasarkan Jenis Trauma (FKUI, 1995) :
1. Trauma Tembus: trauma perut dengan penetrasi kedalaman rongga
peritoneum
 Hilangnya selurus/sebagian fungsi organ
 Respon stress simpatis
 Perdarahan dan pembekuan darah
 Kontaminasi bakteri
 Kematian sel
2. Trauma Tumpul : trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritoneum
 Kehilangan darah
 Memar/jejas pada dinding perut
 Kerusakan organ-organ
 Nyeri tekan-ketok-lepas dan kekauan (rigidity) dinding perut
 Iritasi cairan usus
 Bising usus melemah/menghilang
c. Berdasarkan tipe trauma (Diklat. 2004) :
a. Pada organ padat : yang paling sering engalami
kerusakan adalah hati dan limpa yang akan
menyebabkan perdarahan bervariasi dari ringan –
sangat berat bahkan kematian.

78
Gejala perdarahan secara umum :
 Penderita tampak anemis
 syokhemoragik
Gejala adanya darah intraperitoneal :

 Nyeri abdomen bervariasi ringan – berat


 Bising usus menurun / hilang
 Nyeri tekan – lepas dan kekauan otot dinding perut
 Pembesaran – distensi abdomen
 Suara pekak pada posisi abdomen yang meninggi
b. Pada organ berongga

 Infeksi rongga peritoneum

 Rasa neri di seluruh area abdomen

 Terkadang ditemukan penonjolan organ abdomen :


omentum, usus halus atau kolon

 Bising usus menurun dan kekauan otot dinding perut

D. Patofisiologi
Perdarahan intraabdomen yang serius kemunginan terjadi apabila
terdapat trauma penetrasi ataupun non-penetrasi, akan didapatkan tanda-tanda
iritasi dan penurunan hitung sel darah merah yang akan memperlihatkan
gambaran lasi syok hemoragik. Jika tanda-tanda perforasi dan tanda-tanda
iritasi peritoneum cepat tampak menandakan suatu organ visceral yang
mengalami perforasi. Hal yang dapat dinilai dari trauma abdomen tersebut
meliputi nyeri spontan maupun nyeri tekan, nyeri lepas dan distensi abdomen
tanpa bising usus, hal tersebut menandakan bahwa terdapat peritonitis umum.
Pasien akan mengalami takikardi, peningatan suhu badan, dan terdapat
leukositosis jika terdapat syok lebih lanjut. Pada keadaan ini, biasanya tanda-
tanda peritonitis belum tampak. Hanya tandatanda tidak khas yang akan
muncul pada fase awal perforasi kecil. Operasi harus segera dilakukan apabila
terdapat kecurigaan trauma masuk kedalam rongga abdomen (Mansjoer,
2001).

E. Penatalaksanaan
1) Manajemen Non Operatif
Strategis intervensi nonoperatif berdasarkan pemerikaan CT scan dan
kestabilan hemodinamik pasien yang saat ini digunakan dalam

79
penatalaksanaan trauma organ padat orang dewasa, hati dan limpa.
Angiografi merupakan keutamaan pada manajemen nonoperatif trauma
organ padat pada orang dewasa dari traum tumpul. Digunakan untuk
kontrol perdarahan. Pada trauma tumpul abdomen, termasuk beberapa
trauma organ padat, manajemen nonoperatif yang selektif menjadi standar
perawatan (Dana et al, 2019)
 Berdasarkan diagnosis CT Scan dan stabilitas hemodinamik untuk
pengobatan cedera organ padat, terutama hati dan limpa.
 Angiography sebagai manajemen nonoperative dari cedera organ
padat trauma tumpulpada organ dewasa untu mengontrol perdarahan.
 Splenic Artery EMbolotherapy (SAE) untuk manajemen nonoperative
cedera limpa.
2) Manajemen Operatif (Laparotomi)
Saat didapatkan indikasi laparotomi, dinjurkan pemberian antibiotik
spektrum luas. Insisi midline biasanya menjadi pilihan. Saat abdomen
mulai dibuka, dilakukan dengan memindahkan darah dan bekuan
darah, membalut semua 4 kuadran, dan mengklem semua struktur
vaskuler Kerusakan pada lubang berongga dijahit untuk menghindari
pendarahan yang terjadi. Setelah kerusakan intra-abdomen teratasi dan
perdarahan terkontrol dengan pembalutan, eksplorasi abdomen dengan
teliti kemudian dilihat untuk evaluasi seluruh isi abdomen.
a. Berdasarkan evaluasi klinis
 Trauma tumpul dengan hipotensi terus walaupun dilakukan
resusitasi.
 Adanya peritonitis : defance muscular dan nyeri seluruh perut
 Hipotensi, syok atau perdarahan tidak terkontrol
 Trauma tumpul dengan DPL positif.
 Eviserasi isi perut
 Perdarahan gaster, rectum, genitourinaria pada trauma tajam.
 Luka tembak melintasi rongga peritoneum, dan
retroperitoneum.
 Klinis memburu selama observasi.
b. Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang
 CT scan dengan kontras ada rupture organ-organ vaskuler.
 Didapatkan hemoperitoneum pada pemeriksaan CT scan.
 Adanya udara bebas intraperitoneal atau retroperitoneal dan
rupture diafragma.
Retroperitoneum dan pelvis wajib diinspeksi setelah trauma
intra abdomen bisa dikontrol. Jangan memeriksa hematom pelvis.
Penggunaan fiksasi eksternal fraktur pelvis untuk mengurangi atau
menghentikan kehilangan darah pada daerah ini. Selanjutnya
menstabilkan pasien dengan memberikan resusitasi cairan dan

80
pemberian suasana hangat, ini dilakukan setelah sumber pendarahan
dapat dihentikan. Setelah semua telah dilakukan, melihat pemeriksaan
laparotomy dengan cermat dengan mengatasi segala kerusakan yang
terjadi (Dana et al, 2019). Follow Up : harus dilakukan observasi
terhadap pasien, monitoring tandatanda vital dan mengulangi
pemeriksaan fisik. Peningkatan temperature atau respirasi
menunjukkan adanya perforasi viscus atau pembentukan abses. Nadi
dan tekanan darah dapat berubah dengan adanya sepsis atau
perdarahan intra abdomen. Perkembangan peritonitis berdasar pada
pemeriksaan fisik yang mengindikasikan untuk intervensi bedah.
Penatalaksanaan Kedaruratan
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan nafas, pernafasan,
sirkulasi) sesuai indikasi :
 Pertahankan pasien dan brankar atau tandu papan : gerakab dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan
menimbulkan hemoragi masif.
 Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernafasan serta
system saraf.
 Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher
didapatkan.
 Gunting baju dari luka
 Hitung jumlah luka
 Tentukan lokasi luka masuk dan keluar
2. Kaji tanda dan gejala hemoragi, hemoragi sering menyertai cedera
abdomen khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
3. Control perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan
dilakukan:
 Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan
bendungan luka dada.
 Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan
cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
 Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi
terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya
perdarrahan internal.
 Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi
tempat perdarahan.
i. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur
ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi
kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah
komplikasi paru karena aspirasi.
ii. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril,
balutan salin basah untuk mencegah kekeringan visera :

81
1. Fleksikan lutut pasien : posisi ini mencegah protusi
lanjut
2. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah
meningkatnya peristaltic dan muntah
iii. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan
kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
iv. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda
vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral
pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status
neurologik.
v. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika
terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan
intraperitonium.
vi. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat
penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk :
 Jahitan dilakukan disekeliling luka.
 Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
 Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar
x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah
dilakukan.
vii. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
viii. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi.
trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan
barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu
cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi
nosokomial).
ix. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya
syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma,
eviserasi, atau hematuria.

F. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian
Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan
prinsip-prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat
yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B (Breathing),
C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus
dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam
pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja.
i. Anamnesa
1. Biodata

82
 Keluhan utama
 Keluhan yang dirasakan sakit
 Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya
2. Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
 Penyebab dari traumanya dikarenakan benda
tumpul atau peluru.
 Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa
dan bagaimana posisinya saat jatuh.
 Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
 Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri,
bagaimana sifatnya pada quadran mana yang
dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.

3. Riwayat Penyakit yang lalu

 Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita


gangguan jiwa.

 Apakah pasien menderita penyakit asthma atau


diabetes mellitus dan gangguan faal hemostasis.

4. Riwayat psikososial spiritual

 Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.

 Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan


mental.

 Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri


(tentamen-suicide).
2) Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernafasan
 Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah
jejas pada dada serta jalan napasnya.
 Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi
dan pernapasan tertinggal.
 Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.

 Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan


ronchi.

83
b. Sistem Cardiovaskuler (B2 = Blood)
 Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif
yang keluar dari daerah abdominal dan adakah
anemis.
 Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu
daerah akral dan bagaimana suara detak jantung
menjauh atau menurun dan adakah denyut
jantung paradoks.
c. Sistem Neurologis (B3 = Brain)
 Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan
adakah jejas di kepala.
 Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi
pada anggota gerak.
 Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami
dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS).
d. Sistem Gatrointestinal (B4 = bowel)
Pada inspeksi :
 Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
 Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya
perdarahan dalam cavum abdomen.
 Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
 Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada
quadran berapa, kemungkinan adanya abdomen
iritasi.
Pada palpasi :
 Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
 Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
 Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
Pada perkusi :
 Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
 Kemungkinan-kemungkinan adanya cairan/udara bebas
dalam cavum abdomen.
Pada Auskultasi :
 Kemungkinan adanya peningkatan atau
penurunan dari bising usus atau menghilang.
Pada rectal toucher :

84
 Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung
tangan.
 Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot
rectum.

e. Sistem Urologi (B5 = bladder)

 Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga


pelvis dan adakah distensi pada daerah vesica
urinaria serta bagaimana produksi urine dan
warnanya.

 Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica


urinaria dan adanya distensi.

 Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica


urinaria.
f. Sistem Muskuloskeletal (B6 = Bone)
 Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas
terutama daerah pelvis.
 Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul
atau pelvis.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi :
 Foto BOF (Buick Oversic Foto)
 Bila perlu thoraks foto.
 USG (Ultrasonografi)

b. Laboratorium :
 Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi)
 Disini terpenting Hb serial ½ jam sekali sebanyak 3 kali.
 Urine lengkap (terutama ery dalam urine)

c. Elektro Kardiogram
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun.

85
G. Diagnosa Keperawatan
1. Defisite volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi
abdomen
3. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan tidak
adekuatnya pertahanan tubuh
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status
kesehatan
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik

H. Nursing Care Plan

N Diagnose Tujuan Intervensi Rasional


o.
1. Defisite Tupan: setelah 1. Kaji ttv 1. Untuk
volume dilakukan 2. Pantau cairan mengetahui
cairan tindakan parenteral keadaan
dan keperawatan dengan elektrolit umum pasien
elektrolit selama 3x24 jam 3. Kaji tetesan 2. Mengidentifik
berhubun diharapkan infus asi keadaan
gan masalah teratasi 4. Kolaborasi pendarahan
dengan Tupen: setelah dalam 3. Awasi tetesan
perdaraha dilakukan pemberian untuk
n tindakan cairan sesuai mengidentidik
keperawatan dengan indikasi asi kebutuhan
selama 1x24 jam cairan
diharapkan 4. Cara
masalah teratasi parenteral
dengan KH: membantu
1. Cairan memenuhi
dan kebutuhan
elektrolit nutrisi tubuh.
seimbang
2. Hidrasi
status
seimbang
2. Nyeri Tupan: setelah
berhubun dilakukan 1. Kaji skala 1. Untuk
gan tindakan nyeri mengetahui
dengan keperawatan secara skala nyeri
adanya selama 3x24 jam berkala yang

86
trauma diharapkan dirasakan
abdomen masalah teratasi 2. Bantu pasien
atau luka Tupen: setelah pasien
penetrasi dilakukan dalam 2. Nyeri
abdomen tindakan mengidenti dipengaruhi
keperawatan fikasi oleh
selama 1x24 jam faktor kecemasan,
diharapkan pencetus suhu,
masalah teratasi nyeri distensi
dengan KH: kandug
3. Berikan kemih dll.
1. Klien lingkungan
merasa yang 3. Memberika
nyaman nyaman n rasa
2. Skala nyaman
nyeri 4. Ajarkan dapat
berkuran pasien membantu
g teknik mengontrol
relaksasi nyeri
5. Kolaborasi 4. Dapat
dengan menurunkan
dokter rasa nyeri
dalam
pemberian 5. Untuk
obat menghilang
kan rasa
nyeri
3. Risiko Tupan: setelah 1. Kaji tanda-tanda 1. Mengidentifik
infeksi diberikan infeksi asi adanya
berhubun tindakan selama 2. Kaji keadaan risiko nyeri
gan 3x24jam luka lebih dini
dengan diharapkan 3. Kaji TTV 2. Keadaan luka
tindakan masalah teratasi 4. Lakukan yang
pembeda dengan KH: perawatan luka diketahui
han tidak 1. Tidak dengan prinsif lebih awal
adekuatn terjadi sterilisasi dapat
ya tanda2 5. Kolaborasi mengurangi
pertahana infeksi dengan dokter risiko infeksi
n tubuh. dalam 3. Suhu tubuh
pemberian naik dapat
antibiotik diindikasikan
adanya proses
infeksi

87
4. Teknik
aseptic dapat
risiko infeksi
nasokomial
5. Antibiotic
mencegah
adanya infeksi
bakteri dari
luar.
4. Tupan: setelah 3. Kaji perilaku 1. Koping yang
Ansietas diberikan koping baru dan baik akan
berhubun tindakan anjurkan mengurangi
gan keperawatan penggunaan ansietas klien
dengan selama 3x24 jam keterampilan 2. Untuk
krisis diharapkan yang berhasil mengidentifik
situasi masalah teratasi pada waktu lalu asi masalah
dan Tupen: setelah 4. Dorong dan 3. Klien
perubaha diberikan sediakan waktu diharapkan
n status tindakan untuk mengerti dan
kesehatan keperawatan menggungkapan ansietas
selama 1x24 jam perasaannya berkurang
diharapkan 5. Jelaskan 4. Lingkungan
masalah teratasi prosedur dan yang nyaman
dengan KH: tindakan dan dapat
1. Klien beri penjelasan membuat
dapat 6. Pertahankan klien nyaman
mengiden lingkungan yang
tifikasi tenang
dan
mengung
kapkan
rasa
cemasnya
2. Klien
dapat
mendisku
sikan
yang
menyeba
bkan
cemas
5. Ganggua Tupan: setelah 4. kaji kemampuan 1. Identifikasi

88
n dilakukan pasien untuk kemampuan
mobilitas tindakan bergerak klien dalam
fisik keperawatan 5. dekatkan mobilisasi
berhubun selama 3x24 jam peralatan yang 2. Meminimalisi
gan diharapkan dibutuhkan r epergerakan
dengan masalah teratasi pasien klien
kelemaha Tupen: setelah 6. berikan latihan 3. Melatih otot2
n fisik dilakukan gerak aktif dan klien
tindakan pasif 4. Membantu
keperawatan 7. bantu kebutuhan dalam
selama 1x24 jam pasien mengatasi
diharapkan 8. kolaborasi kebutuhan
masalah teratasi dengan ahli dasar klien
dengan KH: fisioterafi. 5. Therapy
1. Pergerak fisioterapi
an dapat
ekstrimit memulihkan
as kondisi klien
adekuat
2. Kekuatan
otot
meningka
t
3. Rentang
gerak
(ROM)
meningka
t

89
DAFTAR PUSTAKA

Denti S, 2016, Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Trauma Abdomen di Ruang 13 RSUD Dr Saeful Anwar, Malang.
Endah, Laporan Pendahuluan Trauma Abdomen, Scribe, Online:
Https://id.sribd.com/document/laporan-pendahuluan-trauma-abdomen

90
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Menentukan mekanisme terjadinya trauma merupakan hal yang penting


karena dapat membantu kita dalam menduga kemungkinan trauma yang
mungkin saja tidak segera timbulsetelah kejadian. Trauma musculoskeletal
bisa saja dikarenakan oleh berbagai mekanisme.
Ada beberapa macam mekanisme trauma diantaranya:
a. Direct injury
Dimana terjadi fraktur pada saat tulang berbenturan langsung dengan
benda keras seperti dashboard atau bumper mobil.
b. Indirect injury
Terjadi fraktur atau dislokasi karena tulang mengalami benturan yang
tidak langsung seperti fraktur pelpis yang disebabkan oleh lutut
membentur dashboard mobil padasaat terjadi tabrakan.
c. Twisting injury
Menyebabkan fraktur, sprain, dan dislokasi, biasa terjadi pada pemain
sepak bola dan pemain sky, yaitu bagian distal kaki tertinggal ketika
seseorang menahan kaki ketanah sementara kekuatan bagian proksimal
kaki meningkat sehingga kekuatan yang dihasilkan menyebabkan fraktur.
d. Powerfull muscle contraction
Seperti terjadinya kejang pada tetanus yang mungkin bisa merobek otot
dari tulang atau bisa juga membuat fraktur.
e. Fatique fracture
Disebabkan oleh penekanan yang berulang-ulang dan umumnya terjadi
pada telapak kaki setelah berjalan terlalu lama atau berjalan dengan jarak
yang sangat jauh.
f. Pathologic fracture
Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang seperti
kanker yang sudah metastase.

I. FRAKTUR

A. DEFINISI FRAKTUR
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menjadi dua
bagian atau lebih sehingga menimbulkan gerakan yang abnormal disertai
krepitasi dan nyeri. Apabila terjadi fraktur maka tulang harus
diimobilisasi untuk mengurangi terjadinya cedera berkelanjutan dan
untuk mengurangi rasa sakit pasien.
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung (Sjamsuhidajat &Jong, 2005).

91
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor. Sedangkan pada orangtua, wanita lebih sering mengalami
fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada
menopouse (Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas
seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang
dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan
subjektif dimana seseorang memperlihatkan ketidaknyamanan secara
verbal maupun non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi
oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa
lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan
seseorang untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatanyang biasa
dilakukan (Engram, 1999).

B. ETIOLOGI
1. Fraktur terjadi karena tekanan yang menimpa tulang kebih besar dari
pada daya tulang akibar trauma
2. Fraktur karena penyakit patah tulang seperti tumor osteoporosis yang
disebut fraktur patologis
3. Fraktur stress / fatique (akibat dari penggunaan tulang yang berulang-
ulang).

C. TANDA DAN GEJALA


Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang
terlokalisir pada bagian fraktur. Biasanya pasien mengatakan ada yang
menggigitnya atau merasakan ada tulang yang patah. Apa yang dikatakan
pasien merupakan sumber informasi yang akurat. Pada pasien dengan
multiple trauma, fraktur adalah trauma yang paling nyata dan dramatis
juga hal yang paling serius. Oleh karena itu lakukan primary survey dan
lakukan tindakan penanganan trauma dan lakukan stabilisasi jika
memungkinkan
a. Swelling
Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah
dari pembuluh darah yang telah rupture pada fraktur pangkal tulang.
b. Deformitas
Pada kaki dapat menandakan adanya trauma skeletal.
c. Tenderness
Sampai palpitasi biasanya terlokalisir diatas bare trauma skeletal yang
dapat dirasakan dengan penekanan secara halus di sepanjang tulang.
d. Krepitasi
Terjadi bila bagian tulang yang patah bergesekan dengan tulang yang
lainnya. Hal ini dapat dikaji selama pemasangan splin. Jangan

92
berusaha untuk mereposisi karena dapat menyebabkan nyeri trauma
lebih lanjut.
e. Disability
Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal pasien
dengan fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma tetap pada posisi
yang nyaman dan akan menolak menggerakannya. Bahkan pada
pasien dengan disklokasi akan menolak untuk menggerakan
ektremitas yang mengalami dislokasi.
f. Exposed bone ends
Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau coumpound fraktur. Periksa
pulsasi, gerakan dan sesnsori dibagian distal pada setiap pasien
dengan trauma musculoskeletal

D. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur Tertutup (Simple Fracture)
Fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang tanpa disertai
hilangnya integritas kulit. Fraktur tertutup dapat menjadi salah satu
pencetus terjadinya perdarahan internal kekompartemen jaringan dan
dapat menyebabkan kehilangan darah sekitar 500 cc tiap fraktur.
Setiap sisi patahan memiliki potensi untuk menyebabkan kehilangan
darah dalam jumlah besar akibat laserasi pembuluhdarah di dekat sisi
patahan.
Fraktur tertutup biasanya disertai dengan pembengkakan dan
hematom. Strain dan sprain mungkin akan memberikan gejala seperti
fraktur tertutup dan karena diagnosis pasti terjadinya fraktur hanya
dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi maka berilah
penanganan strain dan sprain seperti penanganan terhadap fraktur
tertutup.
b. Fraktur Terbuka (Compound Fracture)
Fraktur terbuka adalah keadaan patah tulang yang disertai
gangguan integritas kulit. Hal ini biasanya disebabkan oleh ujung
tulang yang menembus kulit atau akibat laserasi kulit yang terkena
benda-benda dari luar pada saat cedera.
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur terbuka adalah
perdarahan ekternal, kerusakan lebih lanjut pada otot-otot dan syaraf
serta terjadinya kontaminasi. Sangat penting untuk mengenal adanya
luka didekat fraktur karena bisa menjadi pintu masuk dari kontaminasi
kuman.
Fraktur terbuka dapat ditemukan dengan mudah pada penderita
trauma. Adanya luka terbuka didekat yang diduga terjadi fraktur,
harus dipertimbangkan sebagai fraktur terbuka dan harus diberikan
penangan seperti fraktur terbuka. Denyut nadi, pergerakan sensasi dan
warna kulit harus segera dinilai dan terus dilakukan penilaian ulang
secara berkala.

E. TIPE FRAKTUR

93
a. Fraktur Transversal
Garis frakturnya memotong melintang dari arah luar sampai
menembus bagian tengah secara tegak lurus dari tulang biasanya
disebabkan oleh kecelakaan langsung

b. Fraktur Greenstick
Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokkan seperti
dahan yang masih muda dan garis frakturnya melintang lurus pada
bagian luar dari tulang perpendicular sampai batas tengah tulang
c. Fraktur Spiral
Biasanya terjadi karena kecelakaan memutar (terpelintir) dan garis
frakturnya tidak rata
d. Fraktur Oblique
Garis fraktur melintang pada tulang tegak lurus dan oblik
e. Fraktur Comminuted
Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.

F. PENATALAKSANAAN
Kejadian fraktur jarang yang mengancam nyawa meskipun demikian
pada kejadian yang mengancam nyawa telah dilaksanakan sampai
kondisi pasien stabil. Pertahankan jalan nafas, control perdarahan, tutup
luka terbuka pada dada dan lakukan resusuitasi cairan. Jika telah selesai
identifikasi dan imobilisasi semua fraktur dan siapkan untuk transportasi
a. Penatalaksanaan fraktur
 Stabilkan jalan nafas
 Kontrol perdarahan
 Tutup sucking chest wound (lika terbuka pada dada)
 Resusitasi cairan
 Jika ada fraktur terbuka , balut luka sebelum melakukan
pembidaian dan jangan mendorong kembali tulang yang terlihat
 Jangan pernah berusaha untuk meluruskan fraktur termasuk sendi-
sendi, meskipun ada beberapa tulang pada fraktur yang dapat
diluruskan
 Tornikuet tidak dianjurkan pada fraktur terbuka kecuali pada
trauma amputasi atau gerak yang sudah tidak dapat diselamatkan
lagi
 Imobilisasi ekstremitas sebelum memindahkan pasien dan
imobilisasi sendi bagian atas dan bawah dari tulang yang fraktur
b. Tujuan Imobilisasi
 Untuk menjaga fraktur tertutup agar jangan menjadi fraktur
terbuka. Hal ini mungkin terjadi jika ujung tulang yang fraktur
masih dapat bergerak bebas ketika pasien dipindahkan
 Untuk mencegah kerusakan sekitar nervus, pembuluh darah dan
jaringan yang lain dari ujung tulang yang fraktur
 Untuk meminimalkan perdarahan yang fraktur

94
 Untuk mengurangi nyeri.

II. DISLOKOKASI
A. DEFINISI
Dislokasi adalah keluarnya pangkal tulang dari permukaan articular,
kadang-kadang diserai dengan robeknya ligament yang seharusnya
menahan pangkal tulang agar tetap berada pada tempatnya. Persendian
yang biasanya terkenal adalah bahu, siku, panggul dan pergelangan.

B. ETIOLGI
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor
predisposisi, diantaranya :
 Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir
 Trauma akibat kecelakaan
 Trauma akibat pembedahan ortoped
 Terjadi infeksi disekitar sendi

C. KLASFIKASI
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital : terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik: akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar
sendi. Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini
disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatic: kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan
saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi
karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari
jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang
dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :
 Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeriakut
dan pembengkakan di sekitar sendi.
 Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, makadisebut
dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan
patello femoral joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan
patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung
tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi
otot dan tarikan.

95
D. TANDA DAN GEJALA
 Nyeri
 Deformitas
 Paralisis
 Hilangnya pulsasi (jika tekan nervus dan pembuluh darah)
E. PATOFISOLOGI
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan. Humerus
terdorong kedepan, merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid
teravulsi. Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti
jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan
menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ; lengan ini
hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid).

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien dengan diskolasi adalah imobilisais
pasien pada posisinya saat pertma kali ditemukan. Jangan coba
meluruskan atau mengurangi diskolasi kecuali jika ada seorang ahli.
Lakukan imobilisasi pada bagian atas dan bawah sendi yang dislokasi
untuk menjaga kestabilan waktu transport.
Mungkin satu-satunya dislokasi yang paling berbahaya pada
ekstremitas bawah adalah dislokasi lutut, sedangkan dislokasi pada
pergelangan, siku, bahu, panggul pergelangan kaki masih dapat
ditoleransi 2 atau 3 jam tanpa adanya bahaya kerusakan permanen

III. SPRAIN
A. DEFINISI
Sprain adalah injuri dimana sebagai ligament robek, biasanya
disebabkan memutar secara mendadak dimana sendi bergerak melebihi
batas normal. Organ yang sering terkena biasanya lutut dan pergelangan
kaki ciri utamanya adalah nyeri, bengkak, dan kebiruan pada daerah
injuri.
Untuk membedakan fraktur dan dislokasi, sprain biasanya tidak
disertai deformitas. Bagaimanapun juga lebih baik lakukan penanganan
sprain seperti penanganan fraktur lalu imobilisasi. Biarkan sendi yang
mengalami sprain pada posisi elevasi dan berikan kompres dingin jika
mungkin.

B. ETIOLOGI
 Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi
yangnormal, seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki.
 Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari
posisinormalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir.

C. MANIFESTASI KLINIK
 Nyeri
 Inflamasi / peradangan

96
 Ketidakmampuan menggerakkan tungkai

D. TANDA DAN GEJALA


 Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
 Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata.
 Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
 Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan

E. PATOFISIOLOGI
Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran
atau mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-
jari tangan dan kaki. Pada trauma olahraga (sepak bola) sering terjadi
robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir
jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa
diselingi peredaan (Brunner & Suddart,2001: 2357).

F. PENATALAKSANAAN
a. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya;
pengurangan- pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang
terkoyak.
b. Kemotherapi
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk
meredakan nyeridan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik
(codeine 30-60 mg peroralsetiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
c. Elektromekanis.
 Penerapan dingin dengan kantong es 24
 Pembalutan / wrapping eksternal. Dengan pembalutan, cast
atau pengendongan (sung)
 Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
 Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat
dan perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-
10 hari tergantung jaringan yang sakit.

IV. STRAIN
A. DEFINISI STRAIN
Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlabihan, peregangan
berlebihan atau stres yang berlebihan.
Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan
kedalam jaringan (Brunner & Suddart, 2001: 2355 ).
Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot
disekitar sendi dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain tidak ada
deformitas atau bengkak. Strain lebih baik ditangani dengan
menghilaangkan beban pada daerah yang mengalami injuri. Jika tidak

97
ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi ekstremitas danevaluasi
dilanjutkan di ruang gawat darurat.

B. ETIOLOGI
 Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak,
seperti pada pelari atau pelompat.
 Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara
mendadak.
 Pada strain kronis : terjadi secara berkala oleh karena penggunaan
yang berlebihan / tekanan berulang-ulang menghasilkan tendoniis
(peradangan pada tendon)

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa:
 Nyeri
 Spasme otot
 Kehilangan kekuatan
 Keterbatasan lingkup gerak sendi.
 Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh
karena penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-ulang,
menghasilkan : Tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh,
pemain tennis bisa mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai
hasil tekanan yang terus-menerus dari servis yang berulang-ulang.

D. PATOFISIOLOGI
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung
(impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat
tertarik pada arah yang salah kontraksi otot yang berlebihan atau ketika
terjadi kontraksi otot berlebihan atau ketika kontraksi ptot belum siap,
terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha), hamstring (otot
paha bagian bawah) dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik
bisamenghindarkan daerah sekitar cedera kontusio dan membengkak
(ChairudinRasjad,1998).

E. PENATALAKSANAAN
 Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat
penyembuhan
 Meninggikan bagian yang sakit, tujuannya peninggian akan
mengontrol pembengkakan.
 Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering
diberikan secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan
mengurangi perdarahan edema dan ketidaknyamanan.
 Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24-72 jam sedangkan mati rasa
biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung

98
selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin
untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan
memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan
perawatan konservatif.

V. KONTUSIO
A. DEFINISI KONTUSIO
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul, mis :
pukulan, tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart, 2001: 2355).
Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan
pada kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah
kecil pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan
sekitarnya (Morgan, 1993: 63).

B. ETIOLOGI
 Benturan benda keras
 Pukulan
 Tendangan / jatuh

C. MANIFESTASI KLINIS
 Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis) karena rupture pembuluh
darah kecil, juga berhubungan dengan fraktur.
 Nyeri, bengkak dan perubahan warna.
 Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan
kehilangan darah yang banyak (Brunner & Suddart,2001: 2355).
Gejala
- Nyeri
- Bengkak
- Perubahan warna
- Kompres dingin intermitten kulit berubah menjadi hijau/kuning,
sekitar satu minggu kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan
pergerakan terbatas.
- Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau
ungunya beberapa hari setelah terjadinya cedera.
- Kontusio ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada
kulit.
- Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah
yang terbatas disebut hematoma.
- Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkak
an yang menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191)

D. PATOFISIOLOGI
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada
kerusakan kulit. Kontusio dapat jug terjadi dimana pembuluh darah lebih
rentan rusak dibanding orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka
darah akan keluar dari pembuluhnya ke jaringan kemudian menggupal

99
menjadi Kontusio atau biru. Kontusio memang dapat terjadi jika sedang
stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah mudah
menggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut menurun
(Hartono Satmoko,1993: 192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalami fagositosis dan
di daur ulang oleh makrofag.Warna biru atau ungu yang terdapat pada
kontusio merupakan hasil reaksi konversi dari hemoglobin menjadi
bilirubin. Lebih lanjut bilirubin akan dikonversi menjadi hemosiderin
yang berwarna kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetao berbentuk cairan dan
tetap mengalir dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh
kondisi pembuluh darah, jumlah dan kondisi sel darah trombosit serta
mekanisme pembekuan darah yang harus baik pada purpura simplex
pengumpulan darah atau pendarahan akan terjadi bilafungsi salah satu
atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (Hartono Satmoko,
1993:192).

E. PENATALAKSANAAN
 Mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman.
 Tinggikan daerah injury.
 Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit setiap
pemberian) untuk vasokonstriksi, menurunkan edema,
dan menurunkan rasa tidak nyaman.
 Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam pertama
(20-30 menit) 4 kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan absorpsi.
 Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak.
 Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila ada
indikasi (Brunner & Suddart,2001: 2355).

Menurut Agung Nugroho (1995: 53) penatalaksanaan pada cedera


kontusio adalah sebagai berikut:
 Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan
pendarahan kapiler.
 Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat
pemulihan jaringan-jaringan lunak yang rusak.
 Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun
pertandingan berikutnya.

VI. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
A = Airway dengan control servikal
Kaji :
- Bersihan jalan nafas

100
- Adanya tidaknya sumbatan jalan nafas
- Distres pernafasan
- Tanda-tanda pendarahan dijalan nafas, muntahan, edema laring
B = Breating dan Ventilasi
Kaji :
- Frekuensi nafas, Usaha dan pergerakan dinding dada
- Suara pernafasan melalui hidung/mulut
- Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
C = Circulation
Kaji :
- Denyut Nadi karotis,
- Tekanan darah,
- warna kulit,
- kelembaban kulit
- Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
D = Disabillity
Kaji :
- Tingkat kesadaran
- Gerakan ekstremitas
- GCS/ pada anak tentukan respon A = Alort, V= Verbal P= paint atau
respon nyeri U= Unresponsip
- Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
E = Eksporsure
Kaji :
- Tanda-tanda trauma yang ada.

2. Pengkajian Sekunder (Secundary survey)


a. Pengkajian Riwayat Penyakit
1. Keluhan utama dan alasan pasien datang ke Rs
2. Tipe cidera, posisi saat cidera, dan lokasi cidera
3. Lama waktu kejadiansampai dengan dibawa ke rs
4. Gambaran mekanisme cidera dan penyakit yang ada
5. Waktu makan terakhir
6. Prngobatan yang dilakukan untuk mengatasi penyakit sekarang,
imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien
Metode pengkajian :
1. Metode yang sering dipakai untuk mengkaji riwayat klien
- S ( sign an symptoms) : tanda dan gejala yang diobservasi
dan dirasakan klien
- A (Alergis) : alergi yang dipunyai klien
- M (Medication) : tanyakan obat yang diminum klien
untuk mengatasi nyeri
- P ( Pertined past Medikal History): Riwayat penyakit yang diderita
klien

101
- L ( Last Oral Intake Solid) : Makan atau minum terakhir, jenis
Makanan, ada penurunan atau peningkatan kualitas makan
- E ( event loading injury ort ilnes ) : Pencetus atau kejadian penyebab
keluhan.

2. Metode yang sering dipakai untuk mengkaji :


- P ( Propoked) : Pencentus nyeri, tanyakan hal yang menimbulkan
dan mengurangi nyeri
- Q (Quality) : kualitas nyeri
- R (Radiar) : Arah penjalaran nyeri
- S (Severity) : Skala nyeri (1-10)
- T (time) : lamanya nyeri sudah dialami klien

b. Tanda tanda vital dengan mengukur


- Tekanan darah
- Irama dan kekuatan nadi
- Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu pernafasan
- Suhu tubuh

c. Pengkajian head to toe yang berfokus, meliputi :


1. Pengkajian Kepala, leher dan wajah
- Periksa rambut, kulit kepala dan wajah
Adakah luka, perubahan tulang kepala, wajah dan jaringan lunak,
adakah pendarahan serta benda asing
- Periksa mata, telinga, hidung, mulut dan bibir
Adakah pendarahan, benda asing, kelainan bentuk, perlukaan atau
keluaran lain seperti cairan otak.
- Periksa leher
Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, trakheamiring atau
tidak, distensi vena leher, perdarahan, edema dan kesulitan
menelan.

2. Pengkajian dada
Hal hal yang perlu dikaji dari rongga thoraks :
- Kelainan bentuk dada
- Pergerakan dinding dada
- Amati penggunaanotot bantu nafas
- Perhatikan tanda tanda injuri atau cidera, petekiae, perdarahan,
sianosis abrasi dan
Laserasi.

3. Pengkajian Abdomen dan pelvis


Hal hal yang perlu dikaji :
- Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
- Tanda tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk,alserasi,
abrasi,distensi abdomen dan jejas.

102
- Masa : besarnya, lokasi dan mobilitas
- Nadi femoralis
- Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRST)
- Distensi abdomen

4. Pengkajian Ekstremitas
Hal hal yang peril dikaji :
- Tanda tanda injuri eksternal
- Nyeri
- Pergerakan
- Sensasi keempat anggota gerak
- Warna kulit
- Denyut nadi perifer

5. Pengkajian Tulang belakang


Bila tidak terdapat frakyur, klien dapat dimiringkan untuk mengkaji :
- Deformitas
- Tanda-tanda jejas perdarahan
- Jejas
- Laserasi
- Luka

6. Pengkajian Psikososial
- Kaji reaksi emosional : cemas kehilangan
- Kaji riwayat serangan panic akibat adanya faktor pencetus seperti
sakit tiba tiba, kecelakaan,kehilangan anggota tubuh ataupun
anggota keluarga. tanda tanda gangguan psikososial yang
dimanifestasikan dengan takikardi,tekanan darah meningkat dan
hiperventilasi

3. Pemeriksaan Penunjang
- Rontgen
- Pemeriksaan laboratorium
- X-ray
- CT-Scan

4. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d inkontinuitas jaringan
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neumuskular
3. Kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan atau pendarahan
4. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit
dan program pengobatan
5. Gangguan pola tidur b/d nyeri (fraktur)
6. Resiko infeksi b/d pendarahan

VII. Nursing Care Plan

103
NO Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Kep
1 Nyeri akut Tupan: setelah - Identifikasi skala - Untuk
b/d dilakukan nyeri mengetahui
inkontinuitas tindakan - Identifikasi respon tingkat nyeri
jaringan keperawatan non verbal - Untuk
selama 3x24 jam - Identifikasi faktor mengetahui
diharapkan yang memperberat respon terhadap
masalah nyeri dan memperingan nyeri
teratasi nyeri - Untuk
Tupen: setelah - Berikan teknik non mengetahui
dilakukan farmakologik keadaan nyeri
tindakan untuk mengurangi klien
keperawatan rasa nyeri - untuk
selama 1x24 jam - Jelaskan strategi mengurangi rasa
diharapkan meredakan nyeri nyeri tanpa obat
masalah teratasi - Kolaborasi - untuk
dengan kriteria pemberian mempercepat
hasil: analgetik penyembuhan
 Keluhan klien
nyeri
menurun
 Pola nafas
membaik
 Nafsu makan
membaik
 Kualitas tidur
meningkat
2 Gangguan Tupan: setelah - Identifikasi adanya - Untuk
mobilitas dilakukan nyeri/keluhan fisik mengetahui
fisik b/d tindakan lainnya. keluhan fisik
nyeri atau keperawatan - Identifikasi toleransi yang dirasakan
ketidakmamp selama 3x24 jam fisik, melakukan klien
uan, ditandai diharapkan ambulasi - Untuk melatih
dengan masalah nyeri - Monitor kondisi fisik klien
ketidakmamp teratasi umum selama - Untuk
uan untuk Tupen: setelah tindakan ambulasi mengetahui
memperguna dilakukan - Libatkan keluarga tanda tanda vital
kan sendi, tindakan untuk membantu klien
otot, dan keperawatan pasien dalam - Untuk
tendon selama 1x24 jam meningkatkan mempermudah
diharapkan ambulasi jalannya
masalah teratasi - Jelaskan tujuan dan ambulasi
dengan kriteria prosedur ambulasi - Untukmeningkat
hasil: kan pengetahuan

104
 pergerakan klien
ekstremitas
meningkat
 kekuatan otot
meningkat
 rentang gerak
(ROM)
meningkat

3 Kekurangan Tupan: setelah - Monitor intake dan - Untuk


volume dilakukan output cairan mengetahui
cairan b/d tindakan - Hitung kebutuhan balance cairan
kehilangan keperawatan cairan - Untuk
cairan atau selama 3x24 jam - Anjurkan mengetahui
pendarahan diharapkan memperbanyak pemasukan dan
masalah nyeri asupal oral pengeluaran
teratasi - Kolaborasi cairan
Tupen: setelah pemberian cairan IV - Untuk memunuhi
dilakukan kebutuhan cairan
tindakan
keperawatan
selama 1x24 jam
diharapkan
masalah teratasi
dengan kriteria
hasil:
 Kekuatan
nadi
meningkat
 Turgor kulit
meningkat
 Output urine
meningkat
 Bb menurun

4 Kurang Tupan: setelah - Identifikasi kesiapan


pengetahuan dilakukan dan kemampuan
b/d tindakan menerima informasi
kurangnya keperawatan - Sediakan materi dan
informasi selama 3x24 jam media pendidikan
mengenai diharapkan kesehatan
penyakit dan masalah nyeri - Ajarkan prilaku
program teratasi bersih dan sehat
pengobatan Tupen: setelah Ajarkan strategi yang
dilakukan dapat digunakan untuk
tindakan prilaku bersih dan

105
keperawatan sehat
selama 1x24 jam
diharapkan
masalah teratasi
dengan kriteria
hasil:
 Prilaku
sesuai
anjuran
meningkat
 Prilaku
sesuai
pengetahuan
meningkat
 Persepsi
yang keliru
dalam
masalah
menurun
Prilaku membaik
5. Gangguan Tupan: setelah - Identifikasi pola - Untuk
pola tidur b/d dilakukan aktivitas dan tidur meningkatkan
nyeri tindakan - Identifikasi faktor kualitas tidur
(fraktur) keperawatan pengganggu tidur - Untuk
selama 3x24 jam - Identifikasi obat mengetahui
diharapkan tidur yang faktor kesulitan
masalah nyeri dikonsumsi tidur
teratasi - Fasilitasi - Untuk
Tupen: setelah menghilangkan mengetahui
dilakukan stress sebelum tidur riwayat obat
tindakan - Lakukan prosedur yang
keperawatan untuk meningkatkan dikonsumsi
selama 1x24 jam kenyamanan - Untuk mencapai
diharapkan tidur yang baik
masalah teratasi - Untuk
dengan kriteria meningkat
hasil: pengetahuan
 Keluhan sulit
tidur
menurun
 Keluhan
sering terjaga
menurun
 Keluhan
tidak puas
tidur

106
mrnurun
 Keluhan pola
tidur berubah
 Keluhan
istirahat tidak
cukup
menurun
 Kemampuan
berarktivitas
meningkat
7. Resiko Tupan: setelah - Identifikasi riwayat - Untuk
infeksi b/d dilakukan kesehatan dan mengetahui
pendarahan tindakan riwayat alergi riwayat alergi
keperawatan - Identifikasi status klien
selama 3x24 jam imunisasi setiap - Untuk
diharapkan kunjungan ke mengetahui
masalah nyeri pelayanan kesehatan imunisai yg
teratasi - Identifikasi telah dilakukan
Tupen: setelah kontraindikasi klien
dilakukan pemberian imunisasi
tindakan
keperawatan
selama 1x24 jam
diharapkan
masalah teratasi
dengan kriteria
hasil:
 Kebersihan
tangan
meningkat
 Kebersihan
badan
meningkat
 Nafsu makan
meningkat

107
DAFTAR PUSTAKA

Price,S.A.,dkk.,Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, edisi 6


Volume 2, 2006, EGC, Jakarta
Tim pokja SLKI DPP PPNI, 2019, Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta:Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim pokja SLKI DPP PPNI, 2018, Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta:Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim pokja SLKI DPP PPNI, 2017, Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta:Dewan Pengurus Pusat PPNI

108
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATAN OBSTETRI

A. Definisi Kegawatdaruratan Obtetri

Kegawatdaruratan Obstetri adalah Perdarahan yang mengancam

nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdamhan yang

terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler,

kehamilan. ekstrauteri/ ektopik) dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan

dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri,

perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae

plasenta inkomplet). perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan

koagulopatiobstetri.

B. Klasifikasi

1. Abortus.

Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya

kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda

kehamilan, perdarahan hebat per vaginam, pengeluaran jaringan plasenta

dan kemungkinan kematian janin. Abortus diklasifikasikan menjadi

a. Abortus spontan

b. Abortus Habitualis

c. Abortus infeksius

109
d. Abortus septik

e. Missed abortion.

2. Mola Hidatidosa (hamil anggur)

Mola Hidatidosa (hamil anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan

di dalam rahim yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa

merupakan kehamilan abnormal, dimana seluruh villi korialisnya

mengalami perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa juga dihubungkan

dengan edema vesskular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak

disertai fetus yang intak. Secara histologist, ditemukan proliferasi

trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili

khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh

darah.

3. Kehamilan Etopik Terganggu

Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi

diluar rongga uterus, tuba falopi merupakan tempat tersering untuk

terjadinya implantasi kehamilan ektopik.sebagian besar kehamilan ektopik

berlokasi di tuba jarang terjadi implantasi pada ovarium,rongga

perut.kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel

pada uterus.

110
4. Plasenta Previa

Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu

pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh

pembukaan jalan lahir.

5. Antonia Uteri

Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak

berkontraksi dalam 15detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri

(plasenta telah lahir).

6. Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan

plasenta yang berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan

sebelum anak lahir.

7. Retensio plasenta

Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit setelah

bayi lahir. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir

spontan dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.

8. Ruptur Uten

Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh

dinding uterus dan isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen

111
(komplit), atau dapat pula ruptur hanya meluas ke endometrium dan

miometrium, tetapi peritoneum di sekitar uterus tetap utuh (inkomplit).

9. Pre eklamsia dan eklamsia

Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi

kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.

Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, edema disertai proteinuria

akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah

persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi

penyakit trofoblastik. Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil.

dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau

koma. Sebelumnya wanita tersebut menunjukkan gejala-gejala

preeklampsia.

C. Etiologi

Etiologi kegawatdaruratan obstetri berdasarkan klasifikasinya:

1. Abortus.

Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan inilah yang paling umum

menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur kehamilan 8

minggu. Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan ini antara lain

kelainan kromoson/genetik, lingkungan tempat menempelnya hasil

112
pembuahan yang tidak bagus atau kurang sempurna dan pengaruh zat zat

yang berbahaya bagi janin seperti radiasi, obat obatan, tembakau, alkohol

dan infeksi virus.

1) Kelainan pada plasenta

Kelainan ini bisa berupa gangguan pembentukan pembuluh darah pada

plasenta yang disebabkan oleh karena penyakit darah. tinggi yang

menahun.

2) Faktor ibu seperti penyakit penyakit kronis yang diderita oleh sang ibu

seperti radang paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi

virus toxoplasma.

3) Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada

mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang

lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke

depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim.

2. Mola hitadidosa (hamil anggur)

Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang

mungkin dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola, antara lain:

a) Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati,

tetapi terlambat dikeluarkan

b) Imunoselektif dari trofoblast

c) Keadaan sosioekonomi yang rendah

d) Paritas tinggi

113
e) Kekurangan protein

f) Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas

3. Kehamilan Etopik Terganggu

Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor penyebab yang terjadi

pada tuba yang dapat mendukung terjadinya kehamilan ektopik

1) Faktor dalam lumen tuba:

a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping,

sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.

b) Lumen tuba sempit dan bertekuk-lekuk yang dapat terjadi pada

hipoplasia uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia

endosalping.

c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan

sterilisasi yang tidak sempurna.

2) Faktor pada dinding tubu

a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang

dibuahi dalam tuba.

b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat

menahan telur yang dibuahi ditempat itu.

3) Faktor diluar dinding tuba:

a) Perlekatan peritubal dengan distorsiatau lekukan tuba dapat

menghambat perjalanan telur

114
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen

tuha.

4) Faktor lain

a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri-

atau sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang

dibuahi ke uterus. Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat

menyebabkan implantasi prematur.

b) Fertilisasi in vitro.

4. Plasenta Previa

Mengapa Plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu

dapat diterangkan, bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau

perubahan atrofi pada dosidua akibat persalinan yang lampau dan dapat

menyebabkan plasenta previa tidak selalu benar, karena tidak nyata

dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada

penderita dengan paritas fungsi, memang dapat dimengerti bahwa apabila

aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti

pada kehamilan kembar. Plasenta yang letaknya normal sekalipun akan

meluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali

pembukaan jalan lahir.

5. Antonia uten

115
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol

perdarahan setelah melahirkan. Atonia uten terjadi karena kegagalan

mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh

kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah

yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi

apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi. Hal-hal

yang dapat menyebabkan atonia uteri antara:

a) Disfungsi uterus: atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik

uterus.

b) Partus lama: kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang

lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga

ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.

c) Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak besar

dengan BB> 4000 gr).

d) Multiparitas uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung

bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.

e) Mioma uteri: dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu

kontraksi dan retraksi miometrium.

f) Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi

miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi

menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.

116
g) Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba mempercepat

kali III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme

fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan

sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

6. Solusio plasenta

Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti.

Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi nya,

antara lain:

a) Penyakit hipertensi menahun

b) Pre-eklampsia

c) Tali pusat yang pendek

d) Trauma

e) Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior.

f) Uterus yang sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban

pecah, kehamilan ganda pada waktu anak pertama lahir.

Di samping hal-hal di atas, ada juga pengaruh dari

a) Umur lanjut

b) Multiparitas

c) Ketuban pecah sebelum waktunya

d) Defisiensi asam folat

e) Merokok, alkohol, kokain:

117
f) Mioma uteri

7. Retensio plasenta

Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum

tindakan. Beberapa penyebab retensio plasenta adalah:

a) His kurang kuat (penyebab terpenting) Plasenta sudah lepas tetapi

belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan

yang banyak.. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian

bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang

akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).

b) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),

bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis): dan ukurannya

(plasenta yang sangat kecil).Plasenta yang sukar lepas karena

penyebab ini disebut plasenta adhesiva. Plasenta adhesiva ialah jika

terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga

menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan fisiologis.

8. Rupturuteri

Penyebab kejadian ruptur uteri, yakni:

a) Tindakan obstetric

118
b) Ketidakseimbangan fetopelvik.

c) Letak lintang yang diabaikan

d) Kelebihan dosis obat bagi nyeri persalinan atau induksi persalinann

e) Jaringan parut pada uterus

f) Kecelakaan.

g) Pre eklamsia dan eklamsia

Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui

dengan pasti Banyak teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang

mampu memberi jawaban yang memuaskan tentang penyebabnya. Teori

yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal sebagai berikut:

a) Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,

hidramnion,dan mola hidatidosa.

b) Bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan.

c) Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin

intrauterin.

d) Jarangnya ditemukan kejadian preeklampsia pada kehamilan

berikutnya.

e) Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.

D. Patofisiologi

1. Abortus

119
Abortusterjadi karena adanya perdarahan desidua basalis yang

berdampak terjadi nekrosis jaringan sekitar sehingga sebagian atau seluruh

hasil konsepsi keluar dan menyebabkan uterusmenjadi berkontraksi. Hasil

konsepsi kurang dari umur kehamilan 8 minggu dapat keluar seluruhnya,

sedangkan hasil konseps! dengan umur kehamilan 8-14 minggu maka

hasil konsepsi keluar sebagian atau seluruhnya. Pengeluaran hasil

konsepsi umumnya ditandai dengan perdarahan.

2. Mola hitadidosa (hamil anggur)

Patofisiologi mola hidatidosa berkaitan dengan gangguan proliferasi

trofoblas saat pembentukan plasenta. Mola hidatidosa merupakan bentuk

hiperplasia trofoblas difus, dimana vili-vili yang terbentuk sebagian besar

bersifat hidropik. Bagaimana terjadinya masalah saat proliferasi hingga

kini belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi faktor mutasi genetik

diduga berperan. Sekitar 5-0 hari setelah konsepsi pada manusia, zigot

yang terbentuk akan berkembang menjadi blastosis. Sel perifer dari

blastosis ini akan berdiferensiasi menjadi dua lapisan yaitu trofoblas

seluler (sitotrofoblas) dan sinsitiotrofoblas yang kemudian menginvasi

endometrium dan pembuluh darah uterus. Kedua jaringan yang berkaitan

dengan mesoderm ekstraembrional ini merupakan awal mula terbentuknya

plasenta. Ketika proliferasi yang terjadi tidak terkontrol. sel-sel trofoblas

dapat menjadi mola hidatidos

3. Kehamilan Etopik Terganggu

120
Patofisiologi kehamilan ektopik (ectopic pregnancy) didasari oleh

adanya cacat pada proses fisiologis organ reproduksi sehingga hasil

konsepsi melakukan implantasi dan maturasi di luar uterus. Hal ini paling

sering terjadi karena sel telur yang sudah dibuahi dalam perjalanannya

menuju endometrium mengalami hambatan, sehingga embrio sudah

berkembang terlebih dulu sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya

akan tumbuh di luar kavum uteri. Hal lain yang juga dapat menyebabkan

kehamilan ektopik walaupun jarang terjadi adalah terjadinya pertemuan

antara ovum dan sperma di luar organ reproduksi, sehingga hasil konsepsi

akan berkembang di luar uterus. Apabila kehamilan ektopik terjadi di

tuba, pada proses awal kehamilan dimana hasil konsepsi tidak bisa

mencapai endometrium untuk proses nidasi, ia dapat tumbuh i saluran

tuba dan kemudian akan mengalami beberapa proses seperti pada

kehamilan normal. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik

untuk pertumbuhan embrio, maka pertumbuhan ini dapat mengalami

beberapa kemungkinan, yaitu hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi,

abartus dalam lumen tuba, ataupun terjadi ruptur dinding tuba.

4. Plasenta Previa

Patofisiologi plasenta previa (placenta previa) adalah gangguan

implantasi karena vaskularisasi endometrium yang abnormal akibat

adanya atrofi atau scaring akibat trauma dan inflamasi. Hal ini

menyebabkan plasenta berimplantasi pada segmen bawah rahim, dan

121
seiring perkembangan kehamilan, plasenta dapat menutup jalan lahir.

Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan. maternal

yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh. Seining dengan

perkembangan kehamilan, isthmus uteri akan melebar menjadi segmen

bawah. rahim. Apabila plasenta berimplantasi pada segmen bawah rahim,

pergeseran ini. akan mengakibatkan laserasi akibat pelepasan tapak

plasenta. Demikian pula pada. waktu serviks mendatar (effacement) dan

membuka (dilatation).

5. Antonia uteri

Patofisiologi dari perdarahan postpartum disebabkan oleh beberapa

faktor, namun sebelum membahas mengenai patofisiologi, perlu diketahui

bahwa selama masa kehamilan volume darah ibu meningkat hingga 50%

atau setara dengan 4-6 liter. Volume plasma mengalami peningkatan

hingga melebihi kadar total sel darah merah (red blood cell/ RBC),

sehingga menimbulkan kesan penurunan konsentrasi hemoglobin dan

penurunan jumlah hematokrit. Peningkatan volume darah ini bertujuan

untuk memenuhi kebutuhan perfusi uteroplasenta serta agar dapat

menggantikan volume perdarahan yang akan terjadi pada saat proses

persalinan. Pada saat persalinan terjadi, plasenta akan terpisah secara

spontan dari tempat implantasinya beberapa menit setelah bayi lahir.

Dibalik tempat melekatnya plasenta terdapat pembuluh-pembuluh darah

uterus yang melintas di antara serat-serat otot miometrium. Selama proses

122
melahirkan, otot-otot ini akan mengalami kontraksi dan retraksi. Proses

kontraksi dan retraksi akan mengkompresi pembuluh-pembuluh darah

tersebut sehingga perdarahan dapat berhenti. Hal ini ini sering kali disebut

sebagai "jahitan fisiologis" atau mekanisme pertahanan tubuh pada wanita

hamil tanpa penyulit ataupun komplikasi.

6. Solusio plasenta

Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula

dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta

dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi

perdarahan. oleh karena itu patofisio loginya bergantung pada etiologi.

Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah

desidua. Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel

(apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia.

7. Retensio plasenta

Patofisiologi retensio plasenta sampai sekarang belum diketahui pasti.

Akan tetapi, berbagai studi menyatakan bahwa patofisiologi retensio

plasenta dapat dibagi menjadi tiga mekanisme, yaitu plasentasi invasif,

hipoperfusi plasenta, dan kontraktilitas inadekuat. Plasentasi invasif

abnormal umumnya terjadi akibat trauma pada endometrium. Tindakan

operasi pada uterus (seperti sectio caesarea) dapat menyebabkan gangguan

integritas endometrium uterus dan lapisan miometrium. Serabut

miometriuetrium setelah dilakukannya tindakan operasi m di sekitar luka

123
operasi sering kali mengalami perubahan degeneratif dengan peningkatan

jaringan fibrosa disertai infiltrasi sel inflamasi.

8. Rupturuteri

Patofisiologi ruptur uteri adalah pemisahan jaringan uterus dengan

jaringan serosa secara spontan atau karena penyebab iatrogenik dan

traumatik. Hal ini menyebabkan isi rahim keluar dari rongga uteri dan

masuk ke rongga peritoneum. Ketika ada robekan, darah dan isi dari rahim

akan mengisi ruang peritoneum sehingga menyebabkan aliran darah ke

fetal menjadi terganggu. Faktor risiko yang dapat memicu terjadinya

pemisahan antara jaringan uterus dengan jaringan serosa misalnya trauma

pada abdomen, riwayat sectio caesarca, atau penggunaan forceps saat

persalinan.

E. Manifestasi klinis

1. Abortus

a) Sudah terjadi abortus dengan mengeluarkan jaringan tetapi sebagian

masih berada dalam uterus.

b) Merupakan ancaman terjadi perdarahan.

c) Pada pemeriksaan dalam mungkin teraba jaringan sisa dan mungkin

perdarahan bertambah setelah pemeriksaan dalam.

d) Tes kehamilan mungkin masih positif, tetapi kehamilan tidak dapat

dipertahankan.

2. Mola Hidatidosa

124
a) Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.

b) Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat.

Merupakan gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa

intermiten selama berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga

dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.

c) Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan

usia kehamilan.

d) Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun

ballottement

e) Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.

f) Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24

g) Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa

pasti

h) Gejala Tirotoksikosis

3. Kehamilan Ektopik Terganggu

Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering

unilateral (abortus tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan

abdomen yang jelas dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan

sensitive terhadap tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal, gejalanya

sebagai berikut:

125
a) Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang

pada abdomen bagian atas.

b) Abdomen tegang.

c) Mual.

d) Nyen bahu.

e) Membran mukosa anemist Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi

lemah dan cepat, tekanan darah di bawah 100 mmHg, wajah

tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama hidung, keringat

dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin - terjadi

gangguan kesadaran.

4. Plasenta Previa

a) Perdarahan tanpa nyeri

b) Perdarahan berulang

c) Wama perdarahan merah segar

d) Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah

e) Timbulnya perlahan-lahan

f) Waktu terjadinya saat hamil

g) His biasanya tidak ada t

h) Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi

i) Denyut jantung janin

j) Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina k) Penurunan

kepala tidak masuk pintu atas panggul

126
k) Presentasi mungkin abnormal.

5. Atonia Uteri

Gejala dan tanda yang selalu ada:

a) Uterus tidak berkontraksi dan lembek

b) Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pasca persalinan

primer) Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada: syok (tekanan

darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil. ekstremitas dingin, gelisah,

mual, dan lain-lain).

6. Solusio Plasenta

a) Perdarahan yang disertai nyeri, juga diluar his

b) Anemi dan syok, beratnya anemi dan syok sering tidak sesuai dengan

banyaknya darah yang keluar,

c) Uterus keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi uterus

bertambah dengan darah yang berkumpul di belakang placenta

sehingga uterus teregang (uterus enbois).

d) Palpasi sukar karena rahim keras.

e) Fundus uteri makin lama makin naik.

f) Bunyi jantung biasanya tidak ada

g) Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi

uterus bertambah)

h) Sering ada proteinuri karena disertai preeclampsia

7. Retensio Plasenta

127
Gejala utama ditandai dengan tertahannya plasenta di dalam rahim setelah

ibu melahirkan. Gejala utama akan diikuti dengan sejumlah gejala berikut

ini:

a) Rasa nyeri pada perut yang terjadi dalam waktu lama,

b) Keluarnya cairan berbau busuk dari dalam vagina.

c) Pendarahan hebat setelah keluamya janin.

d) Kenaikan suhu tubuh.

Ketika retensio plasenta terjadi, langkah utama yang paling tepat

dilakukan adalah mengeluarkan plasenta dari rahim menggunakan

tangan. Namun, cara ini memerlukan kehati-hat yang ekstra, karena

risiko. mengalami infeks angat besar. Selain menggunakan tangan,

dokter dapat memberikan obat suntik. guna membantu ibu

berkontraksi, sehingga plasenta bisa keluar.

8. Ruptur Uteri

Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah

bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda

syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan

kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain. Penderita tanpa disadari dapat

kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat bila pendarahan

tersebut sedikit dalam waktu yang lama.

128
129
F. Pathway

130
G. Komplikasi

1. Abortus

Komplikasi abortus antara lain:

a) Perdarahan (hemorrhage)

b) Perforasi

c) Infeksi dan tetanus

d) Ginjal akut, dan

e) Syok

2. Mola Hidatidosa

a) Akan terjadi pendarahan yang sangat hebat sampai terkadi syok dan

akan menjadi sangat fatal kalau tidak segera ditangani

b) Jika terjadi pendarahan terus menerus pasti akhirnya akan

menyebabkan kekurangan sel darah putih atau anemia

c) Akan terjadi Infeksi Sekunder

d) Perforasi Karena Keganasan dan Tindakan

e) Sekitar 18-20 persen orang yang mengidap penyakit ini berubah dari

awal berupa molahodati dosa bisa menjadi mola destruens atau

kariokarsinoma.

3. Kehamilan Ektopik Terganggu

Menurut Syaifuddin (2008) kehamilan ektopik ini akan mengalami

abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi

kapasitas ruang implantasi (misalnya di tuba). Tanpa intervensi bedah,

131
kehamilan ektopik yang rupture dapat menyebabkan perdarahan yang

mengancam nyawa (≥ 0.1 % mengakibatkan kematian ibu). Infeksi sering

terjadi setelah rupture kehamilan ektopik yang terabaikan (Benson dan

Martin, 2009).

4. Plasenta Previa

Menurut Dutta (2004) komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi

yaitu: Selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan

antepartum yang dapat menimbulkan syok, kelainan letak pada janin

sehingga meningkatnya letak bokong dan letak lintang. Selain itu juga

dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Selama persalinan plasenta

previa dapat menyebabkan ruptur atau robekan jalan lahir, prolaps tali

pusat, perdarahan postpartum, perdarahan intrapartum, serta dapat

menyebakan melekatnya plasenta sehingga harus dikeluarkan secara

manual atau bahkan dilakukan kuretase. Menurut Dutta (2004) komplikasi

dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu: Selama kehamilan pada ibu. dapat

menimbulkan perdarahan antepartum yang dapat menimbulkan syok,

kelainan letak pada janin sehingga meningkatnya letak bokong dan letak

lintang. Selain itu juga dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Selama

persalinan plasenta previa dapat menyebabkan ruptur atau robekan jalan

lahir, prolaps tali pusat, perdarahan postpartum, perdarahan intrapartum,

serta dapat menyebakan melekatnya plasenta sehingga harus dikeluarkan

secara manual atau bahkan dilakukan kuretase.

132
5. Atonia Uten

Penyebab keadaan ini diawali pembekuan darah yang berlebihan.

Tubuh akan mengaktivasi antiplasmin untuk menghancurkan produk

pembekuan tersebut hingga jumlah faktor pembekuan berkurang dan

malah 1 terjadi perdarahan yang berlebihan. Kerusakan semua organ

utama adalah mungkin; sistem pernapasan dan ginjal paling sering

mengalami kerusakan, tetapi jarang. Edema paru jarang terjadi. Namun,

hal itu dapat berkembang dengan cepat atau selama masa pemulihan

karena kelebihan cairan atau disfungsi miokard.

6. Solusio Plasenta

Solusio plasenta dapat menimbulkan komplikasi serius, baik pada ibu

maupun bayi. Komplikasi tersebut dapat berupa:

Ibu hamil yang menderita solusio plasenta kemungkinan bisa

mengalami:

a) Gangguan pembekuan darah.

b) Syok akibat kehilangan darah.

c) Gagal ginjal atau kegagalan fungsi organ tubuh lainnya.

Komplikasi yang dapat dialami bayi akibat solusio plasenta adalah:

a) Kelahiran prematur, sehingga bayi lahir dengan berat badan lahir

rendah.

133
b) Asupan nutrisi dan oksigen pada janin terganggu, sehingga

pertumbuhan janin di dalam kandungan juga terhambat.

c) Meninggal dalam kandungan, jika kondisi solusio plasenta yang

dialami tergolong parah.

7. Retensio Plasenta

Terjadinya komplikasi retensio plasenta umumnya tergantung pada

faktor risiko pasien. Komplikasi retensio plasenta yang paling sering

ditemukan adalah perdarahan postpartum dan endometritis postpartum.

8. Ruptur Uteri

Komplikasi yang mungkin muncul karena rahim robek ketika

melahirkan dapat berisiko fatal bagi ibu dan bayi di dalam kandungan:

a) Perdarahan dalam jumlah banyak

b) Kemungkinan besar bayi meninggal karena kekurangan oksigen di

dalam

H. Pemeriksaan penunjang

Kandungan

1. USG

2. CT Scan

3. Pemeriksaan laboratorium

4. Pemeriksaan ultrasonografi

5. Pemeriksaan histologis

134
I. Penatalaksanaan

1. Evakuasi

a) Perbaiki keadaan umum

b) Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap, Bila

kanalis sevikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12 jam

kemudian dilakukan kuret

c) Memberikan obat-obatan antibuotik, uterownika dan perbaiki keadaan

umum penderita.

d) 7 10 hari setelah kerokan pertama dilakukan kerokan kedua untuk

membersihkan sisa jaringan

e) Histerektomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih dari 30

tahun.

f) Paritas 4 atau lebih dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi pusat

atau lebih

2. Pengawasan lanjutan

a) Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai kontrasepsi

oral pill

b) Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun, yaitu setiap minggu

pada triwulan pertama, setiap 2 minggu pada triwulan kedua, setiap

bulan pada 60 bulan berikutnya.

135
c) Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan gejala klinis, keadaan

umum dan perdarahan

J. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

1. Ds : Kejadian Resiko Syok


- Pasien mengalami kecelakaan lalu
(Hipovolemik)
pendarahan hebat lintas
- Pasien mengalami
keluar darah segar Benturan
dan menggumpal
pada daerah jalan Abortus spontan
lahir
DO : Ansietas
- Konjungtiva anemis
- Pasien pucat Nyeri
- Pasien lemah
Gangguan rasa
nyaman

Perdarahan

Resiko syok
(hipovelamik)

2. Ds : Kejadian Kekurangan

- Pasien mengeluarkan kecelakaan lalu Volume Cairan

136
banyak darah lintas

Do :

- TD darah lebih dari Benturan

150/90 mmHg

Abortus spontan

Ansietas

Gangguan rasa

nyaman

Perdarahan

Kekurangan

volume cairan

3. Ds : Kecelakaan lalu Gangguan rasa

- Pasien biasanya nyeri lintas nyaman

pada perut bagian

bawah dan pinggang Benturan

Do :

- Pasien tidak sadarkan Perdarahan

diri

137
Abortus

Ansietas

Nyeri abdomen

Gangguan rasa

nyaman

4. Ds : Kurangnya Ansietas

- Pasien cemas pengetahuan

- Pasien tidak tenang Ansietas

Do

- Pasien terlihat gelisah

- Tekanan darah naik

5. Ds : Kurangnya Kurangnya

- Badan klien pengetahuan pengetahuan

berkeringat

Do :

- Wajah pasien

berminyak

- Tampak berkeringat

138
K. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko Syok b.d perdarahan

2. Kekurangan volume cairan b.d perdarahan

3. Gangguan rasa nyaman b.d ansietas dan nyeri pada abdomen

4. Ansietas

5. Kurangnya pengetahuan

L. Intervensi

No. Diagnosa Tujuan Intervensi

1. Resiko syok ( - Syok prevetion - Monitor sirkulasi,

hipovolemik ) b.d - Syok management warna kulit, suhu

perdarahan Kriteria hasil tubuh, denyut

- Nadi normal jantung dan ritme,

- Irama jantung nadi perifer dan

dalam batas kapiler refill.

normal - Monitor suhu dan

- Irama pernafasan pernafasan

yang diharapkan - Monitor tanda awal

syok

- Monitor tanda dan

139
gejala asites

- Berikan cairan IV

oral yang tepat

- Mengajarkan

keluarga dan pasien

tentang tanda dan

gejala datangnya

syok

2. Kekurangan volume - fluid balace Fluid management

cairan b.d perdarahan - hydration - Pertahankan catatan

- nutritional status intek dan putput

kriteria hasil : yang akurat

- mempertahankan - Monitor TD pasien

urine output sesuai - Monitor vital sign

dengan usia, BB, Hypovolemia Management

BJ, urine normal - Memberikan cairan

HT normal. IV dan monitor

- TD, nadi, suhu adanya tanda dan

tubuh dalam batas gejala kelebihan

normal. volume cairan

- Turgor kulit baik - Monitor tingkat HB

140
dan HT

- Dorong pasien

untuk menambah

intek oral

3. Gangguan rasa Setelah dilakukan - Gunakan

nyaman b.d ansietas tindakan keperawatan pendekatan yang

dan nyeri pada selama 2x24 jam menenengangkan

abdomen gangguan rasa nyaman - Temani pasien

teratasi dengan kriteria untuk memberikan

hasil : keamanan dan

- Mampu mengurangi takut

mengontrol - Bantu pasien

kecemasan mengenali situasi

- Kualitas istirahat yang menimbulkan

dan tidur adekuat kecemasan

- Dapat mengontrol - Dorong pasien

ketakutan untuk

- Mengontrol nyeri mengungkapkan

ketakutan, persepsi

- Berikan obat untuk

mengurangi

141
kecemasan

- Monitor fungsi

renal

- Monitor tekanan

darah, nadi

- Monitor status

cairan

4. Ansietas Setelah dilakukan asuhan - Pantau perubahan

keperawatan selama tanda-tanda vital

2x24 jam ansietas - Berikan informasi

teratasi dengan kriteria serta bimbingan

hasil : tentang segala

- Tidak ada cemas bentuk

- Tidak ada gelisah kemungkinan yang

- Klien tenang akan terjadi di masa

depan

- Ajarkan teknik

menenangkan diri

dan pengendalian

perasaan

- Intruksikan untuk

142
melaporkan

timbulnya gejala

kecemasan

5. Kurangnya Setelah dilakukan asuhan - Kaji tingkat

pengetahuan keperawatan selama 2x24 pengetahuan klien

jam kurangnya yang berhubungan

pengetahuan teratasi dengan

dengan kriteria hasil : perkembangan

- Mengetahui proses penyakit

penyakit secara - Jelaskan

spesifik penyebab,komplika

- Mengetahui si penyakit dan cara

penyebab serta mencegahnya

faktor yang

mempengaruhi

terjadinya penyakit

- Mengetahui efek

dari penyakit yang

dialami

- Mengetahui tanda

dan gejala dari

143
penyakit

- Mengetahui

komplikasi dari

penyakit

144
DAFTAR PUSTAKA

Rahma, Sitti (2019) “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan

Kegawatdaruratan Obstreti”. Stikes Widya Nusantara Palu.

145
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KERACUNAN (INTOKSINASI)

1. Definisi
Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap diabsorpsi, menempel
pada kulit, atau dihasilkan didalam tubuh dalam jumlah relaktif kecil
menyebabkan cedera tubuh dengan adanyareaksi kimia (Smeltzer suzana dalam
nurarif kusuma, 2015).
Keracunan adalah bila suatu zat yang masuk kedalam tubuh manusi
baik disengaja maupun tidak di sengaja dapat menyebabkan sakit atau
mengancam nyawa (sartono,2009)
Intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui
saluranpencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan
gejala klinis.Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada
kulit, ataudialirkan didalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil menyebabkan
cedera dari tubuhdengan adanya reaksi kimia. Reaksi kimia racun mengganggu sistem
kardiovaskular,pernapasan sistem saraf pusat, hati, pencernaan (GI), dan ginjal (Nurarif
& Kusuma,2013)

2. Etiologi
1. Keracunan Hidrokarbon Kelompok Kelompok hidrokarbon hidrokarbon yang
sering menyebabkan menyebabkan keracunan keracunan adalahminyak tanah,
bensin, minyak cat ( tinner ) dan minyak untuk korek api.
2. Keracunan Makanan
a. Keracunan Jamur: keracunan setelah memakan jamur belakangan ini sering
terjadi. Adajamur yang mengandung racun amanitin dan m uskarin dimana
uskarin dimana muskarinmerupakan muskarinmerupakan zat alkaloid zat
alkaloid beracun beracun yang menyebebkan paralisis otot danbereaksi sangat
cepat.
b. Keracunan Makanan Kaleng: Disebabkan Disebabkan oleh kuman Clostridium
Clostridium botulinum, terdapat botulinum, terdapat dalammakanan kaleng
yang diawetkan dan dikalengkan secara tidak sempurnasehingga tercemar
kuman tersebut.

146
c. Keracunan Jengkol: Pada keracunan jengkol terjadi penumpukan kristal asam
pada tubuli,ureter dan urethrae. Keluhan terjadi 5 - 12 jam sesudah makan
jengkol. d) Keracunan Ketela Pohon Dapat terjadi karena ada ketela pohon
yang mengandung asam sianida(HCN) atau sianogenik glikosida. Ketela pohon
pahit mengandung lebihdari 50mg HCN per 100gr ketela pohon segar
d. Keracunan Makanan yang Terkontaminasi Tidak jarang terjadi keracunan
bahan makanan yang tercemar olehkuman, parasit, virus, maupun bahan kimia.
Kuman-kuman yang dapatmenyebabkan dapatmenyebabkan keracunan
keracunan bahan makanan makanan ialah Staphilococcus,Salmonella,
Clostridium Botulinum, E. Coli, Proteus, Proteus, Klebsiella,Enterobacter,
Klebsiella,Enterobacter, dll. Tercemarnya Tercemarnya makanan
makanan biasanya melalui biasanya melalui lalat, udara,kotoran rumah t
udara,kotoran rumah tangga, dan angga, dan terutama terutama melalui melalui
juru masak yang menjadipembawa menjadipembawa kuman. Kuman yang
masuk kedalam makanan cepatmemperbanyak diri dan memproduksi
memproduksi toksin. toksin. Akibat keracunantergantung keracunantergantung
dari virulensi dan banyaknya kuman, sifat kuman ialah tidaktahan panas.
3. Keracunan Bahan Kimia
a. Keracunan Arsen Lebih dari 20 abad yang lalu arsen digunakan baik oleh
orang yunanimaupun roma untuk pengobatan maupun sebagai racun. Pada saat
ini tidakbanyak obat mengandung arsen, akan tetapi kadang kadang dipakai
padapembuatan beberapa herbisida dan peptisida. Arsen dapat juga ditemukan
sebagai hasil sampingan dari peleburan timah, seng, dan logam lainnya.
b. Keracunan Asam Basa Zat asam Zat asam kuat seperti kuat seperti asam sulfat,
asam sulfat, asam klorida klorida dan zat dan zat basa kuatseperti KOH, NaOH
banyak dipakai sebagai bahan kimia untuk keperluanrumah tangga, seperti
pembersih porselen, bahan anti sumbat saluran air,pembasmi serangga, maupun
untuk memasak seperti cuka bibit
c. Keracunan Insektisida (Pestisida) Walaupun tujuan pemakaian insektisida itu
untuk membasmi berbagaimacam berbagaimacam serangga serangga seperti
seperti kecoa dan sebagainya. sebagainya. Bahan- bahan demikiandapat
demikiandapat pula membunuh membunuh manusia. manusia. Pestisida
Pestisida yang termasuk termasuk ke dalamgolongan dalamgolongan
organofosfat organofosfat antara lain : Azinophosmethyl, Azinophosmethyl,

147
Chloryfos,Demeton Chloryfos,Demeton Methyl, Methyl, Dichlorovos,
Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion,Malathion, Parathion,
Diazinon, Diazinon, Chlorpyrifos. Chlorpyrifos. Dengan demikian demikian
jikabarang jikabarang tersebut tersebut tidak disimpan disimpan di tempat y
tempat yang aman dan jauh darijangkauan darijangkauan anak-anak, anak-anak,
maka kejadian kejadian keracuan keracuan baik melalui melalui kontakmaupun
kontakmaupun inhalasi inhalasi dan minum tidak dapat dihindarkan.
Untukmenanggulangi kejadian keracunan insektisida tidak mudah karena
bahankimia yang dipergunakan oleh tiap produsen tidak sama (Prijanto, 2009)

3. Manifestasi Klinis
a. Gejala Yang Paling Menonjol Menurut Nurarif & Kusuma 2013, gejala yang paling
menonjol pada keracunan meliputi :
1. Kelainan visus
2. Hiperaktivitas kelenjar ludah dan keringat
3. Gangguan saluran pencernaan
4. Kerusakan bernafas.
b. Keracunan Hidrokarbon
Gejala klinik : terutama terjadi sebagai akibat dari iritasi pulmonal dan
depressisusunan saraf pusat. b.Iritasi pulmonal : Batuk, sesak, retraksi, tachipneu,
cyanosis, batuk darah dan udema paru. Pada pemeriksaan foto thorak bisa
didapatkan adanya infiltrat di kedua lapangan paru, effusi pleura atau udema
paru.c.Depresi CNS (Central Nervous System) / SSP (Sistem Saraf Pusat) : Terjadi
penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma, kadang-kadang disertai kejang.
d.Gejala-gejala GI Tract : Mual, muntah, nyeri perut dan diare (Arisman, 2008)
c. keracunan makanan
1. Keracunan Jamur
Gejala klinik : Rasa mual, Muntah, Sakit perut, Mengeluarkan banyak ludahdan
keringat, Miosis, Diplopia, Bradikardi sampai konfusi (Kejang)
2. Keracunan Makanan Kaleng
Gejala klinik : Penglihatan kabur, refleks cahaya menurun atau negatif,midriasis
dan kelumpuhan otot-otot mata, Kelumpuhan saraf-saraf otak yangbersifat
simetrik, dysphagia, dysarthria, kelumpuhan (general paralyse)

148
3. Keracunan Jengkol
Gejala klinik : Sakit pinggang, nyeri perut, muntah, hematuria, oliguria
sampaianuria dan urin berbau jengkol, dapat terjadi gagal ginjal akut.
4. Keracunan Ketela Pohon
Gejala klinis : Tergantung pada kandungan asam sianida (HCN), kalau banyak
dapat menyebabkan menyebabkan kematian kematian dengan cepat, penderita
penderita merasa mual, perut terasapanas, pusing, lemah dan sesak, kejang,
lemas, berkeringat, mata menonjol,midriasis, mulut
berbusa bercampur bercampur darah, warna kulit merah bata (pada orangkulit
orangkulit putih) dan sianosis.
5. Keracunan Makanan yang Terkontaminas
Gejala timbul 3-24 jam setelah makan makanan yang tercemar kuman terdiridari
mual muntah, diare, sakit perut, disertai pusing dan lemas.
d. Keracunan Bahan Kimia
1. Keracunan arsen
Gejala klinis keracunan akut : Dalam 1 jam setelah menelan arsen sudahtimbul :
Rasa tidak enak dalam perut, bibir terasa terbakar, sukar menelankemudian
disusul sakit pada lambung dengan muntah-muntah dan diare berat,adakalanya
terdapat pula : oliguria sampai anuria, kejang otot dan rasa haus.Gejala klinis
keracunan kronis : Otot-otot lemah, gatal-gatal, pigmentasi, keratosiskulit dan
edema.
2. Keracunan Asam Basa
Gejala : zat asam atau basa kuat dapat merusak epitel atau mukosa dan
disebutbahan korosif. Bahan ini akan membuat nekrosis di bagian tubuh yang
terkena,seperti kulit dan mata jika tersiram, saluran pernafasan jika terhirup,
saluranpencernaan seperti kulit mukosa mulut, esofagus, lambung jika
terminum.Dalam fase penyembuhan penyembuhan pada lokasi luka akan
terbentuk terbentuk jaringan jaringan granulasi granulasi yangakan
menyebabkan stiktura (peradangan pada esofagus karena akumulasi akumulasi
jaringanparut) jaringanparut) dan stenosis, stenosis, sehingga sehingga
menimbulkan menimbulkan kesukaran kesukaran menelan. menelan.
Untukmenghindarkan Untukmenghindarkan kejadian kejadian ini maka pada
keracunan demikian tindakan cepat dantepat sangatlah penting.
3. Keracunan Insektisida

149
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12jam
kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahansecara
hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan perubahan /pembentukan /pembentukan ini mempunyai toksisitas
rendah dan akan keluar melalui urine.Adapun 3 gejala keracunan pestisida
golongan organofosfat yaitu : 1)Gejala awalGejala awal akan timbul : mual/rasa
penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakitkepala dan gangguan penglihatan.
2)Gejala LanjutanGejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah
yang berlebihan,pengeluaran berlebihan,pengeluaran lendir dari hidung
(terutama (terutama pada keracunan melalui hidung),kejang usus
hidung),kejang usus dan diare, keringat keringat berlebihan, berlebihan, air mata
yang berlebihan,kelemahan berlebihan,kelemahan yang disertai disertai sesak
nafas, akhirnya akhirnya kelumpuhan otot rangka. 3)Gejala SentralGelaja
sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan, hilangnyareflek,
kejang dan koma.4)Kematian, koma.4)Kematian, apabila apabila tidak segera di
beri pertolongan pertolongan berakibat berakibat kematiandikarenakan
kematiandikarenakan kelumpuhan kelumpuhan otot pernafasan.

150
4. Parthway

Makanan Bahan Kimia & obat obatan Gigitan binatang berbisa


( Bakteri & non bakteri ) obat – obatan

Saluran cerna Sal.Pernafasan Kulit

Mual, muntah & diare pemb.darah korosi trachea pemb.darah nyeri lokal
& kemerahan

Gg.sistem saraf otonom edema laring saluran cerna gangguan


integritas kulit
keseimbang
an cairan &
Obstruksi sal.nafas mual,muntah
elektrolit
Bersihan jalan
Ketidak
nafas tdk efektif
seimbangan
cairan
Nyeri kepala kelemahan otot pusat pernafasan
& otot kram,opistotonus
Gg pergerakan
Nafas cepat & dalam
gg. rasa
nyaman
Intoleransi
pola nafas
aktifitas
tidak epektif

5. Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan umum
a. Kurangi kadar racun yang masih ada didalam lambung denganmemberi korban minum air
putih atau denganmemberi korban minum air putih atau susus ses susus sesegera mungkin.
egera mungkin.
b. Usahakan untuk mengeluarkan racun dengan merangsang korbanuntuk muntah.

151
c. Usahakan korban untuk muntah dengan wajah menghadap ke bawah dengan kepala
menunduk lebih rendah dari badannya agar tidak tersedak.
d. Bawa segera ke ruang gawat darurat rumah sakit Bawa segera ke ruang gawat darurat
rumah sakit terdekat.
e. Jangan memberi minuman atau berusaha memuntahkan isi perutkorban bila ia bila ia
dalam keadaan pingsan. dalam keadaan pingsan. Jangan berusaha Jangan berusaha
memuntahkannya jika memuntahkannya jika tidak tahu racun yang di telan.
f. Jangan berusaha memuntahkan korban bila menelan bahan-bahan seperti anti karat, cairan
pemutih, sabun cuci, bensin, minyak tanah,tiner, serta pembersih toilet (Arisman, 2009).
 Penatalaksanaan di Rumah Sakit
a. Tindakan emergency: Airway bebaskan jalan nafas, kalau perlu di lakukan inkubasi
Breathing berikan nafas buatan, bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak
adekuat Circulasi Pasang infus bila keaadaan penderita gawat darurat dan perbaiki perfusi
jaringan. Gangguan sistem susunan saraf pusat : - Kejang : beri diazepam atau fenobarbital
- Odem otak : beri manitol atau dexametason
b. Resusitasi Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernafasan dan nadi.
infus dextrose : 5% kec. 15-20 tetes/menit.
nafas buatan,oksigen,hisap buatan,oksigen,hisap lendir dalam saluran saluran
pernafasan,hindari pernafasan,hindari obatobatan depresan saluran nafas, kalau perlu
respirator pada kegagalannafas berat. Hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut, sebab
racun organo fosfatat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernafasan buatan hanya
dilakukan dengan meniup facemask atau menggunakan alat bag-valve-mask.
c. Eliminasi Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau
dengan pemeberian sirup ipecac 15-30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak
berhasil. Katarsis '(intestinal lavage) dengan pemberian laksan bila diduga racun telah
sampai diusus halus dan besar. Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila
kumbah lambung dikerjakan dalam 84 jam setelah keracunan. Keramas rambut dan
memandikan seluruh tubuh dengan sabun. Emesis, katarsis dan dengan sabun. Emesis,
katarsis dan kumbah lambung s kumbah lambung sebaiknya hanya ebaiknya hanya
dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 2-6 jam pada koma derajat sedang hingga
berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa
endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.
d. Anti Dotum (Penawar Racun) Atropin sulfat Atropin sulfat SA bekerja SA bekerja dengan
menghambat efek menghambat efek akumulasi akhir akumulasi akhir pada tempat
penumpukan.

152
 Mula-mula diberikan bolus IV 1-2,5 mg
 Dilanjutkan dengan 0,5-1 mg setiap 5-10-15 menit sampai timbul gejala-gejala
atropinasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris dan psikosis).
 Kemudian interval diperpanjang setiap 15-30-60 menit selanjutnya setiap 2-4-6-8
dan 12 jam d. Pemberian SA dihentikan minimal set Pemberian SA dihentikan
minimal setelah 2x24 jam. P elah 2x24 jam. Penghentian yang enghentian yang
mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan paru dan
kegagalan nafas fatal (Arisman, 2009).

6. Data Fokus Pengkajian


1. Pengkajian primer
A (Airway) : Terjadi hambatan jalan nafas karena terjadi hipersaliva
B (Breathing) : Terjadi kegagalan dalam pernafasan, nafas cepat dan
dalam
C(Circulation) : Apabila terjadi keracunan karena zat korosif maka
pencernaan akan mengalami perdarahan dalam terutama
lambung
D(Dissability) : Bisa menyebabkan pingsan atau hilang kesadaran apabila
keracunan dalam dosis yang banyak
E (Eksposure) : Nyeri perut, perdarahan saluran pencernaan, pernafasan
cepat, kejang, hipertensi, aritmia, pucat, hipersaliva
F (Fluid / Folley : jika pasien tidak sadarkan diri kateter diperlukan untuk
Catheter) pengeluaran urin

2. Pengkajian sekunder
A. Data subjektif
- Riwayat kesehatan sekarang
Nafas yang cepat, mual muntah,perdarahan saluran cerna, kejang,
hipersaliva, dan rasa terbakar di tenggorokan dan lambung.
- Riwayat kesehatan sebelumnya
Riwayat keracunan, bahan racun yang dipergunakan, berapa lama
diketahui setelah keracunan, ada masalah lain sebagai pencetus keracunan
dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.
B. Data objektif
- Saluran pencernaan : mual, muntah, nyeri perut, dehidrasi dan perdarahan
saluran pencernaan
- Susunan saraf pusat : pernafasan cepat dan dalam tinnitus, disorientasi,
delirium, kejang sampai koma.

153
- BMR meningkat : tachipnea, tachikardi, panas dan berkeringat.
- Gangguan metabolisme karbohidrat : ekskresi asam organic dalam jumlah
besar, hipoglikemi atau hiperglikemi dan ketosis
- Gangguan koagulasi : gangguan aggregasi trombosit dan trombositopenia
- Gangguan elektrolit : hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia atau
hipokalsemia.

7. Diagnosa Keperawatan
A. Bersihan jalan napas tidak epektif b.d obstruksi saluran napas
B. Keseimbangan cairan b.d mual muntah
C. Gangguan pola napas b.d napas cepat dan dalam
D. Gangguan integritas kulit b.d Gigitan binatang berbisa

8. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Setelah dilakukan Tindakan -identifikasi
1. Bersihan jalan napas tidak
keperawatan selama …x24 kemampuan batuk
epektif b.d obstruksi
jam, diharapkan jalan napas - monitor adanya
saluran napas
meningkat dengan kriteria retensi sputum
hasil : - atur posisi semi
a. Batuk epektif meningkat powler
b. Sianosis menurun - jelaskan tujuan
c. Wheezing menurun dan batuk epektif
d. Mengi menurun - Anjurkan Tarik
e. Produksi secret menurun napas dalam
-anjurkan
pemberian obat
Setelah dilakukan Tindakan - monitor status
2. Ketidakseimbangan
keperawatan selama …x24 hidrasi
cairan b.d mual muntah
jam, diharapkan cairan - monitor berat
meningkat badan harian
Dengan kriteria hasil : -catat intake
a.asupan cairan meningkat output dan hitung

154
b. kelembaban membrane balance
mukosa meningkat - berikan cairan
c. asupan cairan meningkat sesuai kebutuhan
d. dehidrasi menurun - berikan cairan
e. tekanan darah membaik intravena
f. turgor kulit membaik -kolaborasi
g. mata cekung membaik pemberian direutik
Setelah dilakukan Tindakan -monitor
3. pola napas tidak epektif
keperawatan selama …x24 frekuensi, irama,
b.d napas cepat dan dalam
jam, diharapkan pola napas kedalaman, dan
membaik dengan kriteria upaya napas
hasil : -monitor pola
a. Frekuensi napas napas
normal -monitor sumbatan
b. Kedalaman napas jalan napas
meningkat -monitor satuasi
c. Tidak dispnea oksigen
d. Pernapasan cuping - ajarkan tehnik
hidung relaksasi napas
dalam
-auskultasi bu nyi
napas
-pemberian
oksigen
-identifikasi
4. Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan Tindakan
penyebab
b.d Gigitan binatang keperawatan selama …x24
gangguan
berbisa jam, diharapkan integritas
integritas kulit
kulit menurun dengan
-ubah posisi tiap 2
kriteria hasil :
jam sekali
a.kerusakan jaringan
- bersihkan luka
menurun
setiap hari
b.kerusakan lapisan kulit
- monitor tanda
menurun

155
c.kemerahan menurun tanda kerusakan

156
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DM DENGAN HIPOGLIKEMIA

1. Pengertian
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik
menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau
kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin menurun.
Akibatnya, terjadi peningkatan glukosa di dalam darah
(hiperglikemia) (Kemenkes RI, 2014). Insulin diibaratkan
sebagai anak kunci yang dipergunakan untuk membuka pintu
sel, sehingga glukosa di dalam darah dapat masuk ke dalam sel
yang kemudian diubah menjadi energi untuk kehidupan sel
(Rudijanto, 2014). Berkurang atau tidak adanya insulin
menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan menimbulkan
peningkatan gula darah, sementara sel menjadi kekurangan
glukosa yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi
sel (Tarwoto dkk, 2012).
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic
yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar
glukosa darah < 60 mg/dl. Hiperglikemia yang berkepanjangan
mengakibatkan perubahan struktur pembuluh darah perifer yang
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke arah distal
khususnya pada ekstremitas bawah yang menyebabkan
permasalahan pada sistem persarafan (neuropati) (Tarwoto
dkk, 2012). Neuropati perifer sering mengenai bagian distal
serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Penurunan
sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati
berisiko mengalami cidera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui
(Brunner & Suddarth, 2013), sehingga bila penderita Diabetes
Melitus mengalami luka sedikit saja akan sangat mudah
berkembang menjadi ulkus bahkan mengalami nekrosis jaringan
yang berakhir pada amputasi bila tidak dilakukan penanganan
dengan benar (Tarwoto dkk, 2012)

2. Etiologi
Etiologi dari hipoglikemia antara lain
a. Aktivitas fisik yang berat
b. Keterlambatan asupan makanan
c. Puasa
d. Penurunan respon hormonal (adrenergik)
e. Regimen insulin yang tidak fisiologis
f. Overdosis insulin atau sulfonylurea

157
g. Gerak badan tanpa kompensasi makanan
h. Penyakit ginjal stadium akhir
i. Penyakit hati stadium akhir
j. Konsumsi alcohol
k. Kebutuhan insulin
l. Penyembuhan dari keadaan stress
m. Penggunaan zat – zat hipoglikemia

3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala hipoglikemia terdiri dari dua fase, yaitu :
a. Fase I : gejala-gejala akibat aktivasi pusat otonom di
hipotalamus sehingga hormon epinefrin masih dilepaskan.
Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien
masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu
untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.
b. Fase II : gejala-gejala yang terjadi akibat mulai
terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala
neurologis. Pada awalnya tubuh memberikan respon
terhadap rendahnya kadar gula darah dengan
melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan
beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan
gula dari cadangan tubuh tetapi jugamenyebabkan gejala
yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat,
kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar
dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia yang lebih berat
menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan
menyebabkan pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala,
perilaku yang tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi,
gangguan penglihatan, kejang dan koma. Hipoglikemia
yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak
yang permanen. Gejala yang menyerupai kecemasan
maupun gangguan fungsi otak bisa terjadi secara perlahan
maupun secara tiba-tiba. Hal ini paling sering terjadi
pada orang yang memakai insulin atau obat hipoglikemik
per-oral. Pada penderita tumor pankreas penghasil insulin,
gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa semalaman,
terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan
olah raga sebelum sarapan pagi. Pada mulanya hanya terjadi
serangan hipoglikemia sewaktu-waktu, tetapi lama-lama
serangan lebih sering terjadi dan lebih berat.

158
4. Patofisiologi
Normal tubuh mempertahankan kadar gula darah antara
60-120 mg/dl. agar dapat memberi sumber energi bagi
metabolisme sel. Pemasukan glukosa dari berbagai sumber
seperti pemasukan makanan, pemecahan glikogen,
glukoneogenesis memacu terjadinya respon insulin. Orang sehat
akan segera memproduksi Hormon insulin untuk menurunkan
kembali kadar gula darah ke level yang normal. Pada orang
Diabetes Melitus, terjadi defisiensi Insulin, sehingga Glukosa
tidak bisa dimanfaatkan oleh sel dan hanya beredar di pembuluh
darah sehingga menimbulkan Hiperglikemia. Untuk
menurunkan kadar gula darah biasanya diberikan Insulin,
namun karena dosis yang kurang tepat bisa menimbulkan
penurunan glukosa darah yang cepatEfek dari penurunan
glukosa darah , bisa timbul Hipoglikemia, dengan gejala yang
ringan sampai berat. Gejala Hipoglikemia Ringan, ketika kadar
glukosa darah menurun, sistem syaraf simpatis akan terangsang.
Terjadi pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan
gejala : perspirasi, tremor, takhikardia, palpitasi, gelisah dan
rasa lapar. Pada Hipoglikemia Sedang, penurunan kadar glukosa
darah menyebabkan sel- sel otak tidak memperoleh cukup
bahan bakar dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada
sistem syaraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi,
sakit kepala, vertigo, konfusio, penurunan daya ingat, patirasa di
daerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi,
perubahan emosional, penglihatan ganda dan perasaan ingin
pingsan.
Pada Hipoglikemia Berat, fungsi sistem syaraf pusat
mengalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien
memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi
Hipoglikemia yang diderita, gejalnya : Disorientasi, serangan
kejang, sulit dibangunkan dari tidur, kehilangan
kesadaran.Terjadi hipoglikemia bila serum glukosa tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Sistem saraf sangat
sensitif terhadap penurunan kadar glukosa serum, karena
glukosa merupakan sumber energi utama. Otak tidak dapat
menggunakan sumber energi lain ( ketone, lemak ) kecuali
glukosa. Sebagai konsekwensi penurunan kadar glukosa, maka
akan mempengaruhi aktivitas sistem saraf.

159
5. Pemeriksaan Penunjang dan Hasilnya
a. Prosedur khusus: Untuk hipoglikemia reaktif tes toleransi
glukosa postpradial oral 5 jam menunjukkan glukosa serum
<50 mg/dl setelah 5 jam
b. Pengawasan di tempat tidur: peningkatan tekanan darah
c. Pemeriksaan laboratorium : glukosa serum <50 mg/dl, spesimen urin
dua kali negatif terhadap glukosa
d. EKG : Takikardia
6. Pathway

160
II. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian Primer – Primary Survey (A, B, C,D, E)
a. Airway (jalan napas) Kaji adanya sumbatan jalan napas.
Terjadi karena adanya penurunan kesadaran/koma sebagai
akibat dari gangguan transport oksigen ke otak.
b. Breathing (pernapasan) Merasa kekurangan oksigen dan
napas tersengal – sengal , sianosis.
c. Circulation (sirkulasi) Kebas , kesemutan dibagian
ekstremitas, keringat dingin, hipotermi, nadi lemah, tekanan
darah menurun.
d. Disability (kesadaran) Terjadi penurunan kesadaran, karena
kekurangan suplai nutrisi ke otak.
e. Exposure. Pada exposure kita melakukan pengkajian secara
menyeluruh. Karena hipoglikemi adalah komplikasi dari
penyakit DM kemungkinan kita menemukan adanya
luka/infeksi pada bagian tubuh klien / pasien.
2. Pengkajian Sekunder – Pemeriksaan Fisik, Laboratorium, dan Penunjang
Lain
a. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah,
rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak
sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab
terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan
oleh penderita untuk mengatasinya.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit –
penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi
insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat
penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis,
tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-
obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu
anggota keluarga yang juga menderita DM atau
penyakit keturunan yang dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.

161
4) SAMPLE
a) S : tanda dan gejala yang dirasakan klien
b) A : alergi yang dipunyai klien
c) M : tanyakan obat yang dikonsumsi untuk mengatasi masalah
d) P : riwayat penyakit yang diderita klien
e) L : makan minum terakhir, jenis yang
dikonsumsi, penurunan dan peningkatan
napsu makan
f) E : pencetus atau kejadian penyebab keluhan
g) Q : kualitas nyeri
h) R : arah perjalanan nyeri
i) T : lamanya nyeri sudah dialami klien
c. Tanda tanda vital
Tekanan darah, irama dan kekuatan nadi, irama
kedalaman pernapasan, dan penggunaan otot bantu
pernapasan, suhu tubuh
d. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah
pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang
berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah
sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi
mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah,
apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa
mata keruh.
2) Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna
kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu
kuli tdaerah sekitar ulkus dan gangren,
kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur
rambut dan kuku.
3) Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada
penderita DM mudah terjadi infeksi.
4) Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer
lemah atau berkurang, takikardi/bradikardi,
hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegali

162
5) Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare,
konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan,
peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
6) Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine,
rasa panas atau sakit saat berkemih.
7) Sistem musculoskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn
tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya
gangren di ekstrimitas.
8) Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia,
letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental,
disorientasi
e. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan
emosi yang dialami penderita sehubungan dengan
penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap
penyakit penderita.
f. Diagnosa Keperawatan
1. pola napas tidak efektif b.d
2. Ketidakstabilan gula darah b.d hipoglikemi
3. Resiko perfusi cerebral tidak efktif b.d penurunan sirkulasi darah
ke otak
4. Intoleransi Aktivitas b.d imobilitas

163
Perencanaan Intervensi

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi

Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan Observasi


glukosa darah b.d tindakan keperawatan 1. identifikasi
hipoglikemi (D.0038) 1x8 jam diharapkan tandadan gejala
masalah dapat teratasi hipoglikemi
dengan kriteria hasil : 2. identifikasi
1. kontrol resiko kemungkinan
2. perilaku penyebab
mempertahankan hipoglikemi
BB
Terapeutik
3. perilaku
1. berikan karbohidrat
menurunkan BB
sederhana, jika
4. status nutrisi
perlu
5. tingkat pengetahuan
2. berikan glukagon,
jika perlu
3. berikan karbohidrat
komleks dan
protein sesuai diet
4. pertahankan
kepatenan jalan
napas

Edukasi
1. anjurkan monitor
kadar glukosa darah
2. anjurkan membawa
karbohidrat
sederhana setiap
saat
3. anjurkan berdiskusi
dengan tim
perawatan diabetes
tentang
penyesuaian
program
pengobatan
4. ajarkan pengelolaan
hipoglikemia
5. jelaskan interaksi,
antara diet, insulin
atau agen oral, dan
olahraga.

Resiko perfusi cerebral Setelah dilakukan Manajemen


tidak efektif b.d tindakan keperawatan peningkatan tekanan
penurunan sirkulasi 1x8 jam diharapkan intrakranial

164
darah ke otak (D.0017) masalah dapat teratasi Observasi
dengan kriteria hasil : 1. identifikasi
penyebab
1. komunikasi verbal peningkatan TIK
2. kontrol resiko 2. monitor tanda dan
3. memori gejala peningkatan
4. mobilitas fisk TIK
5. status neurologis 3. monitor CVP
4. monitor CPP
5. monitor status
pernapasan
6. monitor intake dan
output cairan
7. monitor cairan
serebro spinalis

Terapeutik
1. meminimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
2. berikan posisi semi
fowler
3. cegah terjadinya
kejang
4. atur ventilator agar
PaCO2 optimal
5. pertahankan suhu
tubuh normal

Kolaborasi
1. kolaborasi
pemberian sedasi
dan anti konvulsan,
jika perlu
2. kolaborasi
pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
3. kolaborasi
pemberian pelunak
tinja, jika perlu

Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan Manajemen energi


kelemahan untuk tindakan keperawatan
melakukan aktivitas 1x8 jam diharapkan Observasi
sehari-hari (D.0056) masalah dapat teratasi 1. identifikasi
dengan kriteria hasil : gangguan fungsi
1. ambulasi tbuh yang
2. curah jantung mengakibatkan

165
3. konservasi energi kelelahan
4. tingkatkeletihan 2. monitor kelelahan
fisik dan emosional
3. monitorpola dan
jam tidur
4. monitor lokasi dan
ketidaknyamanan
selama beraktivitas

Terapeutik
1. sediakan
lingkungan yang
nyaman dan rendah
stimulus
2. lakukan latian
rentang gerak
pasifdan aktif
3. berikan aktifitas
distraksi yang
menenamgkan
4. pasilitasi duduk di
sisi tempat tidur,
jika tidak dapat
berpindah atau
berjalan

Edukasi
1. anjurkan tirah
baring
2. anjukan melakukan
aktivitas secara
bertahap
3. ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan

Kolaborasi
1. kolaborasi denan
ahli gizi tentang
cara meningkatkan
asupan makanan

166
Setelah dilakukan Mengidentifikasi dan
Pola nafas tidak efektif tindakan keperawatan 1x8 mengelola kepatenan
berhubungan dengan jam diharapkan masalah jalan nafas
inspirasi atau ekspirasi teratasi Kriteria Hasil :
yang tidak memberikan 1. frekuensi nafas Observasi :
ventilasi adekuat (D. membaik 1. monitor pola nafas
0005) 2. kedalaman nafas (frekuensi
membaik kedalaman, usaha
3. dispneu menurun nafas)
2. monitor bunyi
nafas tambahan
(gurgling, mengi,
wheezing, ronchi)
3. monitor sputum
(jumlah, warn,
aroma)

Terapeutik :
1. pertahankan
kepatenan jalan
nafas
2. posisikan semi
fowlwe atau
fowler
3. lakukan fisioterafi
dada
4. lakukan
penghisapan lendir
5. berika oksigen

Edukasi :
1. anjrkan asupan
cairan 200ml/hari
2. ajarkan teknik
batuk efektif

Kolaborasi
1. kolaborasi
pemberian
bronkodilaror

167
DAFTAR PUSTAKA

PPNI DPP SDKI Pokja Tim, 2018. Standar Diagnosia Keperawatan Indonesia
Edisi 1 : Jakarta: DPP PPNI

PPNI DPP SIKI Pokja Tim, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Edisi 1 : Jakarta: DPP PPNI

PPNI DPP SLKI Pokja Tim, 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi
1 : Jakarta: DPP PPN

168
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KRISIS TIROID

A. Defenisi
Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering
berhubungan dengan stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah keadaan
krisis terburuk dari status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan
kematian dapat terjai jika tidak segera ditangani. (Hudak & Gallo 1996).
Krisis tiroid merupakan ekserbasi keadaan hipertiroidisme yang
mengancam jiwa yang diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih sistem
organ (Bakta dan Sustika,1999)
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling
berat mengancam jiwa, umumnya ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit
Graves atau Struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor
pencetus: infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus,
stressemosi, penghentian obat anti tiroid, ketoasidosis, tromboemboli paru,
penyakitserebrovaskuler/strok, palpasi tiroid terlalu kuat.
B. Etiologi
1. Operasi dan urut atau pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada
bagian tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol
hormon tiroidnya
2. Infeksi
3. Stroke
4. Trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat
memicu terjadinya krisis tiroid meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme
sebelumnya.
5. Penyakit grave, toxic multinodular, dan “Solitary toxic adenoma”
6. Tiroiditis
7. Penyakit troboblastik
8. Ambilan hormon tiroid secara berlebihan
9. Pemakaian yodium yang berlebihan
10. Kanker pituitari
11. Obat-obatan seperti Amiodarone
12. Stop obat anti tiroid pada pemakaian anti-tiroid

169
C. Tanda dan gejala
1. Takikardia (lebih dari 130x/menit)
2. Su u tu u le i dari ,
3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan (Diaphoresis, Kelemahan,
Eksoftalamus, Amenore)
4. Penurunan BB, diare, nyeri abdomen (sistem gastrointestinal)
5. Psikosis, somnolen, koma (neurologi)
6. Edema, nyeri dada, dipsnea, palpitasi (kardiovaskuler)

170
D. Pathway

Hipertiroid kronis Penyakit graves


Faktor pemicu lainnya:
infeksi, trauma,
tiroidektomi, kehamilan
Produksi LATS
Penurunan TSH
Penurunan perfusi
serebral
Tirotoksikosis
Peningkatan T3 dan
T4 yang berlangsung Agitasi kejang koma
lama

Peningkatan
aktivitas SSP

Krisis tiroid

Kekurangan Peningkatan hormon Peningkatan hormon Peningkatan Peningkatan


Peningkatan hormon
volume cairan tiroid tiroid metabolisme basal hormon tiroid
tiroid

Peningkatan Sering lapar Peningkatan


peningkatan enzim peningkatan enzim
Keringat berlebih transkrip Ca-ATP ase transkrip Ca-ATP ase
Na/K-ATP ase Na/K-ATP ase
dalam retikulum dalam retikulum
sarkoplasma Nafsu makan sarkoplasma
meningkat
Peningkatan Peningkatan 171 Peningkatan
metabolisme basal metabolisme panas peristaltik usus
Peningkatan Peningkatan suhu Penurunan Protcolisis + Lipolisis
penggunaan O2 tubuh (tiroksikosis) reabsorpsi peningkatan
pembentukan &
ekskresi BB turun
Hiperventilasi Gangguan motilitas
Hiperpireksia (>38,5̊
usus
C/>41̊C)
Masa otot berkurang
Sesak nafas, (pemecahan matriks Ketidakseimbanga
dipsnea Diare otot dan tulang) n nutrisi kurang
dari kebutuhan
Hipertermia tubuh
Ketidakefektifan
pola nafas Intoleransi aktivitas

Peningkatan
kontriktilitas jantung
dan frekuensi denyut
Penurunan curah jantung jantung

Takikardi,
Nyeri dada, edema peningkatan volume
palpitasi sekuncup

Peningkatan GFR, Peningkatan CO2


RPF, reabsorpsi dan sistolik jantung
natrium

172
E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
a. Koreksi hipertiroidisme
1. Menghambat sintesis hormon tiroid
Obat yang dipilih adalah propilitiourasil (PTU) atau metimazol. PTU
lebih banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4 menjadi
T3 di perifer. PTU diberikan lewat selang NGT dengan dosis awal
600-1000 mg kemudian diikuti 200-250 mg tiap 4 jam. Metimazol
diberikan dengan dosis awal 60-100 mg.
2. Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk
Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan dosis 5
tetes tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes per hari dengan dosis terbagi
4.
3. Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer
Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan
kortikosteroid.
4. Menurunkan kadar hormon secara langsung
Dengan plasmaferesis, tukar plasma dialisis secara peritoneal, transfusi
tukar, dan charcoal plasma perfusion hal ini dilakukan apabila
pengobatan konvensional tidak berhasil.
5. Terapi depinitif
Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau total)
b. Menormalkan dekompensasi homeostatis
1) Terapi suportif
a. Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan
intravena
b. Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen
c. Multivitamin, terutama vitamin B
d. Obat aritmia, gagal jantung kongestif
e. Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan
f. Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan karena
dapat meningkatkan kadar T3 dan T4)
g. Glukokortikoid
h. Sedasi jika perlu
2) Obat anti-adregenik
Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan guatidin.
Reserpin dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi, diganti dengan beta
bloker yang paling banyak digunakan adalah propanolol. Penggunaan
propanolol ini tidak ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi

173
mengatasi gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan dari terapi ini
adalah untuk menurunkan konsusmsi oksigen miokardium, penurunan
frekuensi jantung, dan meningkatkan curah jantung.

c. Pengobatan faktor pencetus


Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama mencari fokus
infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine dan sputum juga foto dada.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Tujuan penatalaksanaan keperawatan mencakup, mengenali efek dari krisis
yang timbul, memantau hasil klinis secara tepat, dan memberikan perawatan
suportif untuk pasien dan keluarga. Intervensi keperawatan berfokus pada
hipermetabolisme yang dapat menyebabkan dekompensasi sistem organ,
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan memburuknya status neurologis. Ini
termasuk penurunan stimulasi eksternal yang tidak perlu, penurunan konsumsi
oksigen secara keseluruhan dengan memberikan tingkat aktivitas yang sesuai,
pemantauan kriteria hasil. Setelah periode krisis, intervensi diarahkan pada
penyuluhan pasien dan keluarga dan pencegahan proses memburuknya
penyakit.

F. Pengkajian keperawatan
Tanda dan gejala krisis tiroid adalah bervariasi dan non-spesifik. Tanda klik yang
dapat dilihat dari peningkatan metabolisme adalah demam, takikardi, tremor,
delirium, stuppor, coma, dan hiperpireksia
1. B1 (Breathing)
Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen
sebagai bentuk kompensasi peningkatan laju metabolisme yang ditandai
dengan takipnea.
2. B2 (Blood)
Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang
mengakibatkan kontraktilitas jantung, denyut nadi dan cardiac output. Ini
mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen dan nutrisi. Peningkatan
produksi panas membuat dilatasi pembuluh darah sehingga pada pasien
didapatkan palpitasi, takikardia, dan peningkatan tekanan darah. Pada
auskultasi jantung terdengar mur-mur sistolik pada area pulmonal dan aorta.
Dan dapat terjadi disritmia, atrial fibrilasi, dan atrial flutter. Serta krisis
tiroid dapat menyebabkan angina pectoris dan gagal jantung.
3. B3 (Brain)
Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi iritabel,
penurunan kesadaran, agitasi, takut. Pasien juga dapat mengalami delirium,
kejang, stupor, apatis, depresi dan bisa menyebabkan koma.
4. B4 (Bladder)
Perubahan pola berkemih (poliuria, nocturia)

174
5. B5 (Bowel)
Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan
kehilangan berat badan. Krisis tiroid juga dapat mengakibatkan motilitas
usus sehingga pasien dapat mengalami diare, nyeri perut, mual dan muntah.
6. B6 (Bone)
Degradasi protein dalam muskuloskeletal menyebabkan kelemahan, dan
kehilangan BB
1. Aktivitas atau istirahat
G. Diagnosa keperawatan
1. Deficit volume cairan berhubungan dengan hipermetabolik
2. Hipertermi berhubungan dengan hipermetabolik
3. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan hipertiroidisme
4. Penurunan curah cantung berhubungan dengan gagal jantung
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan proses pembakaran lemak meningkat
6. Diare berhubungan dengan gangguan motilitas usus
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
8. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan dipsnea

175
H. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Perencanaan Keperawatan Intervensi


Keperawata Tujuan dan kriteria hasil
n
1 Pola nafas Pola nafas Pemantauan Respirasi
tidak efektif Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam inspirasi dan ekspirasi Observasi:
D.0005 yang tidak memberikan ventilasi adekuat membaik  Monitor pola nafas, monitor
Kriteria Hasil: saturasi oksigen
Menuru Cukup Sedang Cukup Meningkat  Monitor frekuensi, irama,
n menuru meningkat kedalaman dan upaya napas
n  Monitor adanya sumbatan
1. Dipsnea jalan napas
1 2 3 4 5 Teurapeutik
 Atur interval pemantauan
2. Penggunaan otot bantu napas respirasi sesuai kondisi
1 2 3 4 5 pasien
3. Frekuensi nafas Edukasi
1 2 3 4 5  Jelaskan tujuan dan prosedur
4. Kedalaman nafas pemantauan
1 2 3 4 5  Informasikan hasil
pemantauan jika perlu
Terapi oksigen
Observasi
 Monitor kecepatan aliran
oksigen
 Monitor posisi alat terapi
oksigen

176
 Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
 Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
Teurapeutik
 Bersihkan sekret pada mulut,
hidung dan trakea, jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan
napas
 Berikan ksigen jika perlu
Edukasi
 Ajarkan keluarga cara
menggunakan O2 di rumah
Kolaborasi

177
2 Hipertermia Termoregulasi Manajemen Hipertermia
D.0130 Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan suhu tubuh Observasi:
tetap berada pada rentang normal  Identifikasi penyebab
Kriteria Hasil: hipertermia (mis.
Meningkat Cukup Meningkat Sedang Cukup Menurun Dehidrasi, terpapar
Menurun lingkungan panas,
1. Menggigil penggunaan inkubator)
1 2 3 4 5  Monitor suhu tubuh
2.  Monitor kadar elektrolit
Memburuk Cukup Memburuk Sedang Cukup Membaik  Monitor haluaran urine
Membaik  Monitor komplikasi
3. Suhu Tubuh akibat hipertermia
1 2 3 4 5 Teurapeutik:
4. Suhu Kulit  Sediakan lingkungan
1 2 3 4 5 yang dingin
 Longgarkan atau
lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit

178
intravena,jika perlu

179
3 Risiko Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan Manajemen Cairan
ketidakseim keseimbangan cairan meningkat Observasi:
bangan Kriteria Hasil:  Monitor status hidrasi
cairan Menurun Cukup Menurun Sedang Cukup sedang Meningkat  Monitor berat badan
 D.00 1. Asupan Cairan harian
36 1 2 3 4 5  Monitor berat badan
2. Haluaran Urine sebelum dan sesudah
1 2 3 4 5 dialisis
Meningkat Cukup Meningkat Sedang Cukup Menurun Menurun  Monitor status dinamik
3. Edema Teurapeutik
1 2 3 4 5  Catat intake output dan
4. Asites hityung balance cairan
1 2 3 4 5  Berikan asupan cairan
sesuai kebutuhan
 Berikan cairan intravena,
jika perlu
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu

180
4 Diare Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Manajemen Diare
D.0020 eliminasi fekal membaik Observasi:
Kriteria Hasil:  Identifikasi penyebab
Menurun Cukup Menurun Sedang Cukup meningkat diare
Meningkat  Identifikasi riwayat
1. Control pengeluaran feses pemberian makanan
1 2 3 4 5  Identifikasi gejala
2. Keluhan defekasi lama dan sulit invaginasi
1 2 3 4 5  Monitor warna, volume,
3. Mengejan saat defekasi frekuensi dan konsistensi
1 2 3 4 5 tinja
 Monitor tanda dan gejala
hypovelmia,
 Monitor iritasi dan
ulserasi kulit di daerah
parineal
 Monitor jumlah
pengeluaran diare
 Monitor keamanan
penyiap makanan
Teurapeutik
 Berikan asupan cairan
oral
 Anjurkan jalur intravena
 Berikan cairan intravena
 Ambil sampel
pemeriksaan darah untuk
pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit

181

Ambil sampel feses
untuk kultru,jika perlu
Edukasi
 Anjurkan makanan porsi
kecil dan sering secara
bertahap
 Anjurkan menghindari
makanan pembentuk gas,
pedas dan mengundang
luktosa
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
obat pengeras feses
5 Intoleransi Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Manajemen Energi
Aktivitas toleransi aktivitas meningkat Observasi:
D.0056 Kriteria Hasil:  Identifikasi gangguan
Menurun Cukup Menurun Sedang Cukup Meningkat fungsi tubuh yang
Meningkat mengakibatkan kelelahan
1. Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari  Monitor pola dan jam
1 2 3 4 5 tidur
2. Kekuatan tubuh bagian atas dan bawah  Monitor kelelahan fisik
1 2 3 4 5 dan emosional
3. Keluhan lelah Edukasi:
1 2 3 4 5  Anjurkan tirah baring
4. Dispnea saat aktivitas  Anjurkan melakukan
1 2 3 4 5 aktivitas secara bertahap
Teurapeutik
 Sediakan lingkngan yang
nyaman dan rendah

182
stimulus
 Lakukan latihan rentang
gerakan pasif dan atau
aktif
 Berikan aktivitas ditraksi
yang menenangkan
 Fasilitas duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
mengingatkan asupan
makanan
6 Defisit Tujuan: Setelah dialakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam status nutrisi Manajemen Nutrisi
nutrisi terpenihu Observasi:
D.0019 Kriteria Hasil:  Identifikasi status nutrisi
Menurun Cukup menurun Sedang Cukup meningkat Meningkat  Identifikasi alergi dan
1. Porsi makanan yang dihabiskan intoleransi makanan
1 2 3 4 5  Identifikasi perlunya
2. Berat badan atau IMT penggunaan selang
1 2 3 4 5 nasogastrik
3. Frekuensi makan  Monitor asupan makanan
1 2 3 4 5  Monitor berat badan
4. Nafsu makan Teurapeutik
1 2 3 4 5  Lakukan oral hygiene
5. Perasaan cepat kenyang sebelum makan
1 2 3 4 5  Sajikan makanan secara

183
menarik dan suhu yang
sesuai
 Hentikan pemberian
makanan melalui selang
nasogastric, jika asupan
oral dapat ditoleransi
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk
jika mampu
 Anjurkan diet yang di
programkan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien ynag dibutuhkan

7 Penurunan Tujuan: setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Perawatan Jantung
Curah ketidakadekuatan jantung memompa darah meningkat. Observasi:
Jantung Kriteria Hasil:  Identifikasi tanda dan
D.0008 Memburuk Cukup Memburuk Sedang Cukup menurun Menurun gejala primer penurunan
1. Tekanan darah curah jantung
1 2 3 4 5  Identifikasi tanda dan
2. CRT gejala sekunder
1 2 3 4 5 penurunan curah jantung
Meningkat Cukup meningkat Sedang Cukup menurun Menurun  Monitor tekanan darah
3. Palpitasi  Monitor intake dan
1 2 3 4 5 output cairan
4. Gambaran EKG aritmia  Monitor saturasi oksigen

184
1 2 3 4 5  Monitor keluhan nyeri
5. Lelah dada
1 2 3 4 5  Monitor EKG 12
sandapan
Teurapeutik
 Posisikan pasien semi
fowler atau fowler
dengan kaki kebawah
atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung tang
sesuai
 Fasilitas pasien dan
keluarga untuk
memotivasi gaya hidup
sehat
 Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stres,
jika perlu
 Berikan dukungan
emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen>94%
Edukasi
 Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
 Anjurkan beraktifitas
fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti

185
merokok
 Anjurkan pasien dan
keluarga mengukur berat
badan
 Anjurkan pasien dengan
keluarga mengukur
intake dan output cairan
harian
 Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
aritmia, jika perlu
 Rujuk ke program pasien

8. Resiko Tujuan dan Kriteria hasil: Setelah dialakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam Manajemen Nutrisi
perfusi tidak terjadi resiko perfusi serebral tidak efektif Observasi:
serebral  Identifikasi penyebab
tidak efektif peningkatan TIK
D.0017  Monitor tanda atau
gejala TIK
 Monitor MAP
Teurapeutik
 Berikan posisi semi
fowler
 Hindari pemberian cairan
hipotonik
 Cegah terjadinya kejang
Kolaborasi

186
 Kolaborasi dengan
pemberian sedasi dan
antikonvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis, jika
perlu.

187
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHA KEPERAWATAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2001)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun) (Price &
Wilson, 2005) . Gagal ginjal kronis adalah kondisi penyakit pada ginjal
yang persisten (keberlangsungan lebih dari 3 bulan dengan kerusakan ginjal
dan kerusakan glomerulus filtration rate (GFR) dengan angka GFR
<60ml/menit/1.73m2 (MC Cllelan (2006).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gagal
ginjal kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversible dan sudah berlangsung lama, sehingga mengakibatkan gangguan
yang persisten dan mengganggu berbagai sistem tubuh.
2. Etiologi
Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya, sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illnes). Penyebab
yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Selain itu ada penyebab
lainnya dari gagal ginjal kronis menurut (Prabowo,Eko.2014) diantaranya:
a. Penyakit dari ginjal :
1) Penyakit pada saringan (glomerulus) : glomerulonefritis.
2) Infeksi kronis : pyelonefritis, ureteritis.
3) Batu ginjal : nefrolitiasis.
4) Kista di ginjal : polcystis kidney.
5) Trauma langsung pada ginjal.

188
6) Keganasan pada ginjal.
7) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur
b. Penyakit umum di luar ginjal:
1) Penyakit sistemik : diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi
2) Dyslipidemia
3) SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
4) Infeksi di badan : TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
5) Preeklampsia
6) Obat-obatan
7) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)
3. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju
Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2
dengan rumus Kockroft – Gault sebagai berikut :
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi.
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -
angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner

189
(akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan,
kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak
kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.

190
h. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.
5. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal
untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang
harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat
diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah
hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (
Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

191
6. Pathway

192
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urin
1) Volume : biasanya kurang dari 400cc/24 jam atau tak ada (anuria)
2) Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan menunjukkkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
3) Berat jenis; kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
4) Osmoalitas; kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
5) Klirens kreatinin; menurun
6) Natrium; lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
7) Protein; derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
b. Darah
1) BUN/kreatinine meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir
2) Hb menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/db
3) SDM; menurun, defisiensi eritropoitin
4) GDA; asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2
5) Natrium serum; rendah
6) Kalium; meningkat
7) Magnesium; meningkat
8) Kalsium; menurun
9) Protein (albumin); menurun
c. Osmolalitas serum; lebih dari 285 mOsm/kg
d. Pelogram retrograd; abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasono ginjal; menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal, nefroskopi; untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif
g. Arteriogram ginjal; mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa

193
h. EKG; ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
i. Foto polos abdomen; menunjukkan ukuran ginjal/ureter /kandung kemih dan
adanya obstruksi (batu).
8. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama
mungkin serta mencegah atau mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001;
Rubenstain dkk, 2007).
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu :
a. Konservatif
Terapi konservatif tidak dapat mengobati GGK namun dapat
memperlambat progres dari penyakit ini, diantaranya :
1) Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
2) Observasi balance cairan
3) Observasi adanya odema
4) Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
1) peritoneal dialysis biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak
bersifat akut adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial
Dialysis).
2) Hemodialisis yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di
vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis
dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan :
3) AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
4) Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke
jantung )

194
c. Operasi
1) Pengambilan batu
2) Transplantasi ginjal
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis
adalah (Prabowo, 2014)) :
a. Penyakit Tulang. Penurunan kadar kalsium secara langsung akan
mengakibatkan dekalsifikasimatriks tulang, sehingga tulang akan menjadi
rapuh dan jika berlangsung lama akan menyebabkan fraktur pathologis.
b. Penyakit Kardiovaskuler. Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan
berdampak secara sistemik berupa hipertensi, kelainan lifid, intoleransi
glukosa, dan kelainan hemodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
c. Anemia. Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam
rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoeitin yang mengalami
defiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.
d. Disfungsi seksual. Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido
sering mengalami penurunan dan terjadi impoten pada pria. Pada wanita
dapat terjadi hiperprolaktinemia.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-laki
sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup
sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari insidensi gagal
ginjal akut.
b. Keluhan utama : sangat bervariasi, keluhan berupa urine output menurun
(oliguria) sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada
sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah, fatigue, napas berbau
urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu oleh karena penumpukan zat sisa
metabolisme/toksik dalam tubuh karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi.
c. Riwayat penyakit sekarang : Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya
terjadi penurunanurine output, penurunan kesadaran, penurunan pola nafas

195
karena komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan
fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena berdampak pada
metabolisme, maka akan terjadi anoreksia, nausea, dan vomit sehingga
beresiko untuk terjadi gangguan nutrisi.
d. Riwayat penyakit dahulu: informasi penyakit terdahulu akan menegaskan
untuk penegakan masalah. Kaji penyakit pada saringan (glomerulus):
glomerulonefritis, infeksi kuman; pyelonefritis, ureteritis, nefrolitiasis, kista
di ginjal: polcystis kidney, trauma langsung pada ginjal, keganasan pada
ginjal, batu, tumor, penyempitan/striktur, diabetes melitus, hipertensi,
kolesterol tinggi, infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis,
preeklamsi.
e. Riwayat Kesehatan keluarga. Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular
atau menurun, sehingga silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada
penyakit ini. Namun pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki
pengaruh terhadap penyakit gagal ginjal kronik, karena penyakit tersebut
bersifat herediter.
f. Fokus Pengkajian (Doenges, 2000).
1) Aktifitas /istirahat
Gejala : Kelelahan ekstrem; kelemahan malaise; Gangguan tidur
(insomnis/gelisah atau somnolen)
Tanda; kelemahan otot; kehilangan tonus; penurunan rentang gerak
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat; Palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda : Hipertensi; nadi kuat; edema jaringan umum dan piting pada kaki
dan telapak tangan; Disritmia jantung; Nadi lemah halus; hipotensi
ortostatik; Friction rub perikardial; Pucat pada kulit; Kecenderungan
perdarahan
3) Integritas ego
Gejala : Faktor stress contoh finansial, hubungan dengan orang lain;
Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekakuan
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian

196
4) Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut);
Abdomen kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat
berawan; Oliguria, dapat menjadi anuria
5) Makanan/cairan
Gejala : Peningkatan BB cepat (edema), penurunan BB (malnutrisi);
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada
mulut (pernafasan amonia)
Tanda : Distensi abdomen/ansietas, pembesaran hati (tahap akhir);
Perubahan turgor kuit/kelembaban; Edema (umum, tergantung); Ulserasi
gusi, perdarahan gusi/lidah; Penurunan otot, penurunan lemak subkutan,
penampilan tak bertenaga
6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur; Kram otot/kejang, sindrom kaki
gelisah, kebas rasa terbakar pada telapak kaki; Kebas/kesemutan dan
kelemahan khususnya ekstrimitas bawah (neuropati perifer).
Tanda : Gangguan status mental, contohnya penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran, stupor, koma.; Kejang, fasikulasi otot, aktivitas
kejang; Rambut tipis, uku rapuh dan tipis.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyei panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki
Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
8) Pernapasan
Gejala : Napas pendek, dispnea nokturnal paroksismal, batuk
dengan/tanpa Sputum
Tanda : Takipnea, dispnea, pernapasan kusmaul; Batuk produktif dengan
sputum merah muda encer (edema paru)
9) Keamanan
Gejala : Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi
Tanda : Pruritus; Demam (sepsis, dehidrasi)

197
10) Seksualitas
Gejala : Penurunan libido, amenorea, infertilitas
11) Interaksi sosial
Gejala : Kesulitan menurunkan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran dalam keluarga.
12) Penyuluhan : Riwayat DM keluarga (resti GGK), penyakit pokikistik,
nefritis herediter, kalkulus urinaria; Riwayat terpajan pada toksin, contoh
obat, racun lingkungan; Penggunaan antibiotik retroteksik saat ini
berulang.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan NANDA internasional 2015-2017 yang
mungkin muncul pada pasein CKD yaitu :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (SDKI
D.0005 hal 26)
b. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi (SDKI
D.0022 hal 62)
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
(SDKI D.0008 hal 34)
d. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
koagulopati (uremia) (SDKI D.0017 hal 51)
e. Risiko cedera berhubungan dengan ketidaknormalan profil darah
(uremia) (SDKI D.0136 hal 294)
f. Risiko perfusi renal tidak efektif berhubungan dengan hipoksia (SDKI
D.0016 hal 49)
g. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
dan/atau vena (SDKI D.0009 hal 37)
h. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual dan muntah/anoreksia (NANDA domain 2 kelas 1 kode
00002)
i. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis (SDKI
D.0078 hal 174)

198
j. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen (SDKI D.0056 hal 128)
k. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (SDKI D.0142
hal 304)
l. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan
kekurangan/kelebihan cairan (SDKI D.0139 hal 300)

199
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Pola nafas tidak efektif Pola Napas (SLKI L.01004 hal. 95) Manajemen Jalan Napas (SIKI I.01011 hal
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 187)
hiperventilasi (SDKI selama .... x 24 jam dengan diharapkan Observasi :
D.0005 hal 26) pola napas efektif dengan kriteria hasil : 1. Monitor suara napas (frekuensi, kedalaman,
 Dispnea menurun (5) usaha napas)
 Penggunaan otot bantu napas 2. Monitor bunyi napas tambahan
menurun (5) 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
 Frekuensi nafas membaik (5) Terapeutik :
 Kedalaman napas membaik (5) 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
head-lift dan chin-lift (jaw trust jika curiga
trauma servikal)
2. Posisikan semi fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
6. Berikan oksigen
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu
2. Hipervolemia berhubungan Keseimbangan Cairan (SLKI L.05020 Manajemen Hipervolemia (SIKI I.03114 hal
dengan gangguan hal 41) 181)
mekanisme regulasi (SDKI Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi :
D.0022 hal 62) selama .... x 24 jam dengan diharapkan 1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia
keseimbangan cairan meningkat dengan 2. Identifikasi penyebab hipervolemia

200
kriteria hasil : 3. Monitor status hemodinamik
 Keluaran urin meningkat (5) 4. Monitor intake dan output cairan
 Edema menurun (5) 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
 Asites menurun (5) Terapeutik :
 Tekanan darah membaik (5) 1. Timbang berat badan setiap hari pada waktu
 Berat badan membaik (5) yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan kepala tempat tidur 20-40º
Edukasi :
1. Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5
mL/kg/jam dalam 6 jam
2. Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg
dalam sehari
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian diuretik
2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium
akibat diretik
3. Penurunan curah jantung Curah Jantung (SLKI L. 02008 hal Perawatan Jantung (SIKI I.02075 hal 317)
berhubungan dengan 20) Observasi :
perubahan kontraktilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
(SDKI D.0008 hal 34) selama .... x 24 jam dengan diharapkan curah jantung (m. dispnea, kelelahan, edema)
curah jantung meningkat dengan kriteria 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan
hasil : curah jantung (m. peningkatan BB)
 Kekuatan nadi perifer meningkat (5) 3. Monitor tekanan darah (termasuk tekanan
 Lelah menurun (5) darah ortostik)
 Gambaran EKG aritmia menurun (5) 4. Monitor intake dan output cairan
 Distensi vena jugularis menurun (5) 5. Monitor saturasi oksigen
 Berat badan menurun (5) 6. Monitor keluhan nyeri dada

201
 Tekanan darah membaik (5) Terapeutik :
 Cappilary refill time (CRT) membaik 1. Posisikan paien semi-Fowler atau Fowler
(5) dengan kaki ke bawah atau posisi nyaman
2. Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Edukasi :
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan bberhenti merokok
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
2. Rujuk ke program rehanilitasi jantung
4. Risiko ketidakefektifan Perfusi Serebral (SLKI L.02014 hal Manajemen Peningkatan Tekanan
perfusi jaringan serebral 86) Intrakranial (SIKI I.09325 hal 205)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi :
koagulopati (uremia) (SDKI selama .... x 24 jam dengan diharapkan 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
D.0017 hal 51) perfusi serebral meningkat dengan 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
kriteria hasil : 3. Monitor CVP dan PAP, jika perlu
 Tingkat kesadaran meningkat (5) 4. Monitor status pernapasan
 Tekanan intra kranial menurun (5) 5. Monitor intake dan output cairan
 Nilai rata-rata tekanan darah membaik Terapeutik :
(5) 1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
 Kesadaran membaik (5) lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi Fowler
3. Cegah terjadinya kejang
4. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu

202
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika
perlu
5. Risiko cedera berhubungan Tingkat Cedera (SLKI L.14136 hal Manajemen Keselamatan Lingkungan (SIKI
dengan ketidaknormalan 135) I.14513 hal 192)
profil darah (uremia) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi :
(SDKI D.0136 hal 294) selama .... x 24 jam dengan diharapkan 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan
tingkat cedera menurun dengan kriteria 2. Monitor perubahan status keselamatan
hasil : lingkungan
 Toleransi aktivitas meningkat (5) Terapeutik :
 Kejadian cedera menurun (5) 1. Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan
 Tekanan darah membaik (5) 2. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
 Frekuensi nadi membaik (5) bahaya dan resiko
 Frekuensi napas membaik (5) 3. Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
Edukasi :
1. Ajarkan individu, keluarga, dan kelompok
risiko tinggi bahaya lingkungan
6. Risiko perfusi renal tidak Perfusi Renal (SLKI L.02011 hal 85) Pencegahan Syok (SIKI I. 02068 hal 285)
efektif berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi :
hipoksia (SDKI D.0016 hal selama .... x 24 jam dengan diharapkan 1. Monitor status kardiopulmonal
49) perfusi renal meningkat dengan kriteria 2. Monitor status oksigenasi
hasil : 3. Monitor status cairan
 Jumlah urine meningkat (5) 4. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
 Nyeri abdomen menurun (5) Terapeutik :
 Distensi abdomen menurun (5) 1. Berikan oksigen untuk mempertahankan
 Kadar urea nitrogen daran membain saturasi oksigen >94%
(5) 2. Pasang jalur IV
 Kadar kreatinin plasma membaik (5) 3. Pasang kateter urine untuk menilai produksi
 Keseimbangan asam basa membaik urine

203
(5) Edukasi :
1. Anjurkan memperbanyan asupan cairan oral
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian tranfusi darah, jika
perlu
7. Perfusi perifer tidak efektif Perfusi Perifer (SLKI L.02011) hal 84 Perawatan Sirkulasi (SIKI I.02079) hal 345
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi :
penurunan aliran arteri selama .... x 24 jam dengan diharapkan 1. Periksa sirkulasi perifer
dan/atau vena (SDKI perfusi perifer meningkat dengan 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
D.0009 hal 37) kriteria hasil : 3. Monitor panas, kemerahann, nyeri, atau
 Warna kulit pucat menurun (5) bengkak pada ekstremitas
 Edema perifer menurun (5) Terapeutik :
 Akral membaik (5) 1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
 Turgor kulit membaik (5) darah di area keterbatasan perfusi
 Tekanan darah sistolik dan diastolik 2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
membaik (5) ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
 HB dalam batas normal 3. Hindari penekanan dan pemasangan
tourniquet pada area yang cedera
4. Lakukan pencegahan infeksi
5. Lakukan perawatan kaki dan kuku
6. Lakukan hidrasi
Edukasi :
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan mengecek air mandi untuk
menghindari kulit terbakar
4. Anjurkan menggunakan obat penurun

204
tekanan darah, antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jika perlu
5. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan
darah secara teratur
6. Anjurkan melakukan perawatan kulit yang
tepat
7. Anjurkan program diet untuk memperbaiki
sirkulasi
8. Ketidakseimbangan nutrisi NOC : Nutritional Status Nutritional Management
kurang dari kebutuhan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor adanya mual dan muntah
tubuh berhubungan dengan selama .... x24 jam diharapkan nutrisi 2. Monitor adanya kehilangan berat badan dan
mual dan muntah/anoreksia seimbang dan adekuat dengan kriteria perubahan status nutrisi.
(NANDA domain 2 kelas 1 hasil: 3. Monitor albumin, total protein, hemoglobin,
kode 00002)  Nafsu makan meningkat dan hematocrit level yang menindikasikan
 Tidak terjadi penurunan BB status nutrisi dan untuk perencanaan
 Masukan nutrisi adekuat treatment selanjutnya.
 Menghabiskan porsi makan 4. Monitor intake nutrisi dan kalori klien.
 Hasil lab normal (albumin, kalium) 5. Berikan makanan sedikit tapi sering
6. Berikan perawatan mulut sering
7. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian
diet sesuai terapi
9. Nyeri Akut berhubungan Tingkat Nyeri (SLKI L. 08066) hal Manajemen Nyeri (SIKI I.08238) hal 201
dengan kondisi 145 Observasi :
muskuloskeletal (SDKI Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
D.0078 hal 174) selama .... x24 jam diharapkan tingkat frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
nyeri menurun dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
a. Keluhan nyeri menurun (5) 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
b. Meringis menurun (5) 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan

205
c. Ketegangan otot menurun (5) memperingan nyeri
d. Frekuensi nadi membaik (5) 5. Monitor efek samping penggunaan analgetik
e. Tekanan darah membaik (5) Terapeutik :
f. Skala nyeri menurun 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredekan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Anjurkan teknik nonfarmokologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
10. Intoleransi aktifitas Toleransi Aktivitas (SLKI L.05047 Manajemen Energi (SIKI I.05178 hal 176)
berhubungan dengan hal 149) Observasi :
ketidakseimbangan antara Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
suplai dan kebutuhan selama .... x24 jam diharapkan toleransi mengakibatkan kelelahan
oksigen (SDKI D.0056 hal aktivitas meningkat dengan kriteria 2. Monitor kelelahan fisik dan emosinal
128) hasil : 3. Monitor pola dan jam tidur
 Frekuensi nadi meningkat (5) Terapeutik :
 Saturasi oksigen meningkat (5) 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan
 Kemudahan dalam melakukan rendah stimulus

206
aktivitas sehari-hari meningkat (5) 2. Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Tekanan darah membaik (5) 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Frekuensi napas membaik (5) Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
11. Risiko infeksi berhubungan Tingkat Infeksi (SLKI L. 14137 hal Pencegahan Infeksi (SIKI I.14539) hal 278 :
dengan efek prosedur 139) Observasi
invasif (SDKI D.0142 hal Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor tanda dan gejala infeksin lokal dan
304) selama .... x24 jam diharapkan tingkat sistemik
infeksi menurun dengan kriteria hasil : Terapeutik
a. Demam menurun (5) 1. Batasi jumlah pengunjung
b. Kemerahan menurun (5) 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
c. Nyeri menurun (5) dengan pasien dan lingkungan pasien
d. Bengkak menurun (5) 3. Pertahankan teknik aseptik pada pasien yang
e. Letargi menurun (5) beresiko tinggi
f. Kultur urine membaik (5) Edukasi
g. Kadar sel darah putik membaik (5) 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi

207
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
12. Risiko gangguan integritas Integritas Kulit dan Jaringan (SLKI Perawatan Integritas Kulit (SIKI I. 11353 hal
kulit/jaringan berhubungan L.14125 hal 33) 316)
dengan kekurangan / Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi :
kelebihan cairan (SDKI selama .... x24 jam diharapkan integritas 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas
D.0139 hal 300) kulit dan jaringan meningkat dengan kulit
kriteria hasil : Terapeutik :
 Perfusi kjaringan meningkat (5) 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
 Kerusakan jaringan menurun (5) 2. Gunakan produk berbahan petrolium atau
 Kerusakn lapisan kulit menurun (5) minyak pada kulit kering
 Suhu kulit membaik (5) 3. Gunakan produk berbahan ringan atau alami
dan hipoaergik pada kulit sensitif
Edukasi :
1. Anjurkan minum air yang cukup
2. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
3. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun
secukupnya

208
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan langkah ke 4 dalam tahap asuhan
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan (Santa, 2019).
Implementasi adalah suatu proses pelaksanaan terapi keperawatan yang
berbentuk intervensi mandiri atau kolaborasi melalui pemanfaatan sumber-
sumber yang dimiliki klien. Implementasi di prioritaskan sesuai dengan
kemampuan klien dan sumber yang dimiliki klien (Friedman, 2010).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
merupakan sekumpulan metode dan keterampilan untuk menentukan apakah
program sudah sesuai dengan rencana dan tuntutan keluarga (Ayu, 2010).
Evaluasi adalah langkah terakhir dalam proses asuhan keperawatan
denguan cara melakukan identifikasi apakah tujuan dan rencana
keperawatan tercapai tercapai atau tidak (Santa, 2019).
Penyusunan evaluasi dengan menggunakan SOAP yang operasional,
dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan
saat implemantasi. O adaah objektif dengan pengamatan objektif perawat
setelah implementasi. A merupakan analisa perawat setelah mengetahui
respon subjektif dan objektif keluarga yang dibandingkan dengan kriteria
dan standar mengacu pada intervensi keperawatan keuarga. P adalah
perencanaan selanjutnya setelah perawat meakukan analisa (Kucoro
Fadli,2013).

209
DAFTAR PUSTAKA

Kardiyudiani & Susanti,Brigitta A.D. (2019). Keperawatan Medikal Bedah.


Yogyakarta : Pustaka Baru

Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2011. Asuhan keperawatan klien dengan
gangguan sistem perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Oxtavia, Jumaini, & Lestari . 2013. Hubungan Citra Tubuh Dengan Kualitas
Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis.
http://download.portalgaruda.org Diakses pada tanggal 7 Januari 2016.

Prabowo, Eko & Pranata, A.E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta : Naha Medika

Santa, M. (2019). Teori Keperawatan profesional. Journal of Chemical


Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Susatyo, Bambang. 2016. Gambaran Kepatuhan Diet Pasien Gagagl Ginjal
Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Rawat Jalan di RSUD Kayen
Kabupaten Pati Tahun 2015. Jurnal kesehatan Masyarakat (e-Journal)
Volume 4 Nomor 3. April 2016
Tjekyan. 2012. Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. MKS, Th.46, No.4, Oktober
2014.http://eprints.unsri.ac.id/5558/1/Prevalensi_dan_Faktor_Risiko_Penyak
it_Ginjal_Kronik_di.pdf Diakses tanggal 08 Januari 2017

210
LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DM DENGAN KETOASIDOSIS
/KEGAWATAN HIPERGLIKEMIA

A. Definisi
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan
metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
(hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya (Smellze dan Barre, 2015). Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi urine, kerja insulin, atau kedua duanya (ADA, 2017).
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi
metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis.
tertama disebabkan oleh defisiensi insulin abslut atau relatif. KAD
dan hiperglikemia merupakn komplikasi akut diabetes melitus yang
serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. KAD
merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang ditandai dengan
dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidos. Ketoasidosis diabetik
merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai
gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak.Keadaan ini
merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes
ketergantuan insulin.

B. Etiologi
Menurut Smeltzer 2015 Diabetes Mellitus dapat diklasifikasikan
kedalam 2 kategori klinis yaitu :
1. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DM TIPE 1)
a. Genetik
Umumnya penderita diabetes tidak mewarisidiabetes type 1
namun mewarisi sebuah predisposisis atau sebuh
kecendrungan genetik kearah terjadinya diabetes type 1.
kecendrungan genetik ini ditentukan pada individu yang
memiliki antigen HLA (Human Lecocyte Antigen) tertentu.
HLA ialah kumpulan gen yang bertanggung jawab atas
antigen transplantasi dan proses imunnya (Smeltzer 2015 dan
bare, 2015).
b. Imunologi
Pada diabetes type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon
autoimun. ini adalah respon abdomal dimana antibodi terarah
pada jaringan normal tubuh secara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang di anggapnya sebagai jaringan asing (Smeltzer
2015 dan bare, 2015).
2. Diabetes tida tergantung insulin (DM TYPE II)

211
Menurut Smeltzer 2015 mekanisme yang tepat yang
menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes tioe II masih belum diketahui. faktor genetik
memegang peranan dalam proes terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resistensi :
 Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas
65 tahun).
 Obesitas
 Riwayat keluarga

C. Manifestasi Klinis
Menurut PERKENI (2015), PENYAKIT Diabetes Mellitus
pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari
penderita. tandaawal yang dapat diketahui bahwa seseorang
menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek
peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula
dalam darah mencapai nilai 160-180 mg/dl dan air seni (urine)
penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose),
sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut.
Menurut PRERKENI gejala dan tanda DM dapat digolongkan
menjadi 2 yaitu :
1) Gejala akut penyakit DM
Pemulaan gejala yang ditunjukan meliputi :
a. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (poliphagi)
b. Sering merasa haus (polidipsi)
c. Jumlah urine yang dikeluarkan banyak (Poliuri)
2) Gejala kronik penyakit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM
(PERKENI 2015):
a. Kesemutan
b. Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum
c. Rasa tebal dikulit
d. Kram
e. Mudah mengantuk
f. Mata kabur
g. Biasanya sering ganti kacamata
h. Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita
i. Gigi mudah goyah dan mudah lepas
j. Kemampuan seksual menurun
k. dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau
kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat
lahir lebih dari 4 kg.

212
D. Patofisiologi
Ketoasidosis terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin.
karena dipakai jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi,
maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi,
darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh rusak dan bisa
menderita koma. Hal biasanya terjadi karena tidak mematuhi
perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak
tahu bahwa dirinya sakit DM, mendapat infeksi atau penyakit berat
lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya.
menurunnya transfort glukosa kedalam jaringan tubuh akan
menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria.
glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan
kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium,
magnesium, posfat, dan klorida. Dehidrasi terjadi bila secara hebat,
akan menimbulkan urimia prarenal dan dapat menimbulkan syok
hipovolemik. asidosi metabolik yang hebat sebagian akan
dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (pernafasan
kussmaul).
Muntah muntah juga biasanya sering terjadi dan akan
mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga perkembangan
KAD adalah rangkaian dari siklus interlocking vicsious yang
seluruhnya diputuskan untuk membatu pemulihan metablisme
karbohidrat dan lipid normal.
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang
memasuki sel akan berkurang juga. Disamping itu produksi glukosa
dihati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan
hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang
berlebihan didalam tubuh, ginjal akan mengeksresikan glukosa
bersama sama air dan elektrolit (seperti natrium, dan kalium).
Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan
(poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit.

213
E. Penatalaksanaan
a. Diet
Syarat diet hendaknya dapat :
1) Memperbaiki kesehatan umum penderita
2) Mengerahkan pada BB normal
3) Menekan dan menunda timbulnya penyakit diabetik
4) Memberikan modifikasi diet sesuai dengan penderita
b. Olahraga
Beberapa kegunaan olahraga teratur setiap hari bagi penderita
DM adalah :
1) meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap
11/2 jam sesudah makan, berari pula mengurangi insulin
resisten padapenderitadengan kegemukan atau menambah
jumlah reseptor insulin dan meningkatkan sensifitas insulin
dengan reseptornya.
2) Mencegah kegemukan bila ditambah olahraga pagi dan sore.
3) Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai Oksigen
4) Meningkatkan kadar kolesterol high density lipoprotein
5) Kadar glukosa otot dan hati menjadiberkurang, maka
olahrga akan dirangsang pembentukan glikogen baru
6) Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah
karena pembakaran aasam lemak menjadi lebih baik

214
c. Edukasi Penyuluhan
Harus rajin mencari banyak informasi mengenai diabetes dan
pencegahannya misalnya mendengarkan pesan dokter, bertanya
pada dokter, mencari artikel mengenai diabetes.
d. Pemberian obat-obatan
Dilakukan apabila pencegahan dengan cara (edukasi, pengaturan
makan, aktifitas fisik) belum berhasil, berarti harus diberian
obat-obatan.
e. Pemantauan gula darah
Pemantauan gula darah harus dilakukan secara rutin bertujuan
untuk mengevaluasi pemberian kepada diabetes. jika melakukan
5 pilar diatas mencapai target, tidak akan terjadi komplikasi
f. Melakukan perawatan luka
g. Melakukan Observasi tingkat kesadaran dan TTV
h. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi
hiperdehidrasi.
i. Mengelola pemberian obat sesuai program.

F. Konsep Asuhan Keperawatan


I. Pengkajlan
Asuhan keperawatan pada tahap pertarna yaitu pengkajian.
Dalam pengkajian perlu dikaji biodata pasien dan data data
untuk menunjang diagnosa. Data tersehut harus scakurat
akuratnya. agar dapat digunakan dalarn tahap berikutnva.
meliputi nama pasien.umur. keluhan utama.
1. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang biasanva klien masuk
ke Rs dengan keluhan nyeri. kesemutan pada
ekstremitas luka yang sukar sembuh Sakit kepala,
menyatakan seperti rnau muntah. Kesemutan, Iemah
otot, disonentasi. letargi. korna dan bingung.
b. Riwayat kesehatan ¡alu Biasanya klien DM
rnernpunyai riwaat hipertensi. penvakit jantung seperti
Infark miokard
c. Riwayat kesehatan keluarga Biasanva ada riwayat
anggota keluarga yang menderita DM
2. Pengkajian Pola Gordon

215
a. Pola persepsi
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan
persepsi dan tatalaksana hidup schat karcna kurangnya
pengetahuan cntang dampak gangren pada kaki
diabetik. sehingga menimbulkan persepsi negative
terhadup diri dan kecendurangan untuk tidak mematuhi
prosedur pengobatan dan perawatan yang lebih dari 6
juta dan penderita DM tidak mcnyadari akan terjadinya
resiko kaki diabetik bahkan mereka takut akan
terjadinya amputasi (Debra Clair.Jounal Februari 201)
b. Pola nutnisi metaholik
Akibat produksi insulin yang tidak adekuat atau adanya
defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat
dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering
kencing, banyak makan, banyak minum. berat hadan
menurun dan mudah lelah, Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metaholisme yang dapat rnempengarui status kesehatan
penderita. Nausea, vomitus berat badan menurun. turgor
kulit jelek, mual muntah.
c. Pola elirninasi
Adanya hiperglikemia rnenvebabkan terjadinva diuresis
osmotik yang menyebabkan pasien sering
kencing(poliuro) dan pengeluaran glukosa pada urine
gIukosuria. Pada eliminasi alvi relatif tidak ada
gangguan
d. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan. susah berjalan dan bergerak. kram otot.
gangguan istirahat dan tidur, takikardi/takipneu pada
waktu melakukun aktivitas dan bahkan sampai terjadi
korna. Adanva hika gangren dan kelemahan otot otot
pada tungkai bawah menvehabkan penderita tidak
mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara
maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan
e. Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif adanya poliuri, nveri pada kaki
yang luka, sehingga klien mengalami kesulitan lidur
f. Kongnitir persepsi
Pasien dcngan gangrcn cendrung mengalami neuropati
mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap
adanya nyeri. Pengecapan mengalami penurunun.
gangguan penglihatan.
g. Persepsi dan konsep diri
Adanya peruhahun fungsi dan struktur tubuh
menyebabkan penderita mengalarni gangguan pada

216
gambaran diri, luka yang sukar sembuh, lamannya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengohatan
menyehabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem)
h. Peran hubungan
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau
menyebabkan penderita malu dan menarik diri dan
pergaulan.
i. Seksualitas
Angiopali dapat terjadi pada pembuluh darah diorgan
reproduksi sehingga menyebabkun gangguan potensi
seks, ganguan kualitas maupun ereksi seta memberi
dampak dalam proses ejakulasi serta orgasme. Adanya
perdangan pada vagina, seria orgasme menurun dan
terjadi impoten pada pria. Risiko lehih tinggi terkena
kanker prostat berhubungan dengan netropatai.
j. Koping toleransi
Lamanya vaktu perawatan.perjalannya penyakit kronik.
perasaan tidak berdava karena ketergantungan
menyebahkan reaksi psikologis yang negatif berupa
marah. kecemasan. mudah tersinggung. Dapat
menyebkan penderita tidak mampu mcnggunakan
mekanisme koping yang kontruktif adaptif.
k. Nilai kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan
fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghalangi
penderila dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadah penderita.
l. Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan Vital Sign
Yang terdiri dan tekanan darah. nadi. pernafasan,
dan suhu. Tekanan darah dan pernafasan pada
pasien dengan pasien DM bisa tinggi atau normal.
Nadi dalam batas normal. sedangkan suhu akan
mengalami peruhahan jika terjadi infeksi.
b) Perneriksaan Kulit
Kuilt ukan tampak pucat karenu Hb kurang dan
normal dan jika kekurangan cairan maka turgor
kulit akan tidak elastis. kalau sudah terjadi
komplikasi kulit terasa gatal.
c) Pemeriksaan Kepala dan leher kaji
bentuk kepala.keadaan rambut biasanya tidak
terjadi pembesaran kelenjar tiroid, kelenjar getah
bening. dan JVP (Jugularis Venous Pressure)
normaI 5-2 cmH2.
d) Pemeriksaan Dada (Thorak Path)

217
pasien dengan penurunan kesadaran acidosis
metabolic pernafasan cepat dan dalam.
e) Pemeriksaan Jantung (Cardiovaskuler) Pada
keadaan lanjut bisa terjadiadanva kegagalan
sirkulasi.
f) Pemeriksaan Abdomen
Dalam batas normal
g) Pemeriksaan inguinal, genetalia, sering BAK
h) pemeriksaan Muskuloskeletal
Sering merasa lelah dalam melakukan aktifitas.
sering merasa kesemutan
i) Pemeriksaan Ekstremitas
Kadang terdapat luka pada ekstermitas bawah bisa
terasa nyeri, bisa terasa mual
j) Pcmeriksaan Neurologi
GCS: 15, Kesadran Compos Mentis Cooperative
(CMC)

II. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien DM hiperglikemi KAD adalah :
1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan
perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal
maupun ekternal yang disertai dengan respon yang
berkurang, berlebihan atau terdistorsi. (D. 0085)
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan tidak
terpenuhinya kebbutuhan metabolisme (D.0019)
3. Hipovolemia berhubungan dengan penurunan
volume cairan intravaskuler, intertisial, dan
intraseluler (D.0003)
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Pola
inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberikan
ventilasi adekuat (D. 0005)

III. Intervensi Keperawatan


Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
Gangguan persepsi Setelah dilakukan Minimalisasi rangsangan
sensori berhubungan tindakan Observasi :
dengan perubahan keperawatan 1x8 Periksa status mental,
persepsi terhadap jam diharapkan status sensori dan tingkat
stimulus baik internal persepsi sensori kenyamanan (nyeri dan
maupun ekternal yang membaik kelelahan)
disertai dengan respon Kriteria hasil : Terapeutik :
yang berkurang, 1) verbalisasi  Diskusikan tingkat
berlebihan atau mendengar toleransi terhadap
terdistorsi. (D. 0085) bisikan bebab sensori (bising

218
2) verbalisasi atau terlalu terang)
melihat  Batasi stimulus
bayangan lingkungan (Cahaya
3) verbalisasi suara aktifitas)
merasakan  Jadwalkan aktivitas
sesuatu melalui harian
indra peraba  Kombinasikan
4) verbalisasi prosedur dalam satu
merasakan waktu sesuai
sesuatu melalui kebutuhan
indera Edukasi :
penciuman Ajarkan cara
5) perilaku meminimalisasi stimulus
halusinasi misal mengatur
menurun pencahyaan, membatasi
6) orientasi kunjungan)
membaik Kolaborasi :
 Kolaborasi dalam
meminimalkan
tindakan
 Kolaborasi pemberian
obat yang
mempengaruhi presepsi
stimulus

Setelah
d dilakukan Mengidentifikasi dan
Defisit nutrisi tindakan mengelola asupan nutrisi
berhubungan dengan keperawatan 1x8 yang seimbang
tidak terpenuhinya jam diharapkan Observasi
kebbutuhan status nutrisi  identifikasi status
metabolisme (D.0019) terpenuhi nutrisi
Kriteria hasil :  identifikasi alergi dan
1) porsi makan itoleransi makanan
yang dihabiskan  monitor BB
2) verbalisasi  monitor hasil lab
keinginan untuk Terpautik
meningkatkan  Fasilitasi menentukan
nutrisi pedoman diet
meningkat  sajikan makanan secara
3) pengetahuan menarik dan suhu yang
tentang pilihan sesuai
makanan dan
 berikan makanan
minuman yang tinggikalori dan tinggi
sehat meningkat protein
4) sikap terhadap
 berikan suplemen
makanan dan

219
minuman sesuai makanan, jika perlu
dengan tujuan Edukasi
kesehatan  anjurkan posisi duduk
5) BB membaik jika mampu
6) frekuensi  ajarkan diet yang di
makan programkan
membaik Kolaborasi :
7) nafsu makan  kolaborasi pemberian
membaik medikasi sebelum
makan (misal : pereda
nyeri (antiemetik)
 kolaborasi pemberian
dengan ahli gizi
Hipovolemia Setelah dilakukan Mengidentifikasi dan
berhubungan dengan tindakan mengelola volume cairan
penurunan volume keperawatan 1x8 intra vaskuler
cairan intravaskuler, jam diharapkan Observasi
intertisial, dan status cairan  periksa tanda dan
intraseluler (D.0003) terpenuhi gejala hipovolemia
Kriteria hasil : (misal : FREKUENSI
1) kekuatan nadi NADI MENINGKAT,
meningkat TD menurun, turgor
2) turgor kulit kulit menurun
meningkat  monitor intake da
3) pengisian vena output cairan
menigkat Terapueutik
4) edema menurun  Hitung kebutuhan
5) output urine cairan
menurun  berikan posisi modified
trendeleburg
berikan asupan cairan
oral
Edukasi
 anjurkan untuk
memperbanyak asupan
cairan oral
 anjurkan untuk
menghindari posisi
mendadak
Kolaborasi
 kolaborasi pemberian
cairan IV (Misal : Nacl
dan RL)
 kolaborasi pemberian
cairan IV Hipotonis

220
(misal : glukosa 2,5%,
Nacl 0,4%)
 kolaborasi pemberian
cairan koloid (albumin,
plasmanate)
 kolaborasi pemberian
produk darah
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Mengidentifikasi dan
berhubungan dengan tindakan mengelola kepatenan
inspirasi atau ekspirasi keperawatan 1x8 jalan nafas
yang tidak memberikan jam diharapkan Observasi :
ventilasi adekuat (D. pola nafas efektif  monitor pola nafas
0005) Kriteria Hasil : (frekuensi kedalaman,
1) frekuensi nafas usaha nafas)
membaik  monitor bunyi nafas
2) kedalaman tambahan (gurgling,
nafas membaik mengi, wheezing,
3) dipsneu ronchi)
menurun  monitor sputum
(jumlah, warn, aroma)
Terapeutik :
 pertahankan kepatenan
jalan nafas
 posisikan semi fowlwe
atau fowler
 lakukan fisioterafi dada
 lakukan penghisapan
lendir
 berika oksigen
Edukasi
 anjrkan asupan cairan
200ml/hari
 ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
 kolaborasi pemberian
bronkodilaror

221

Anda mungkin juga menyukai