Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

, manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial memiliki fungsi masing-
masing dalam menjalankan peranannya dalam kehidupan. Sebagai makhluk individu 
manusia merupakan bagian dan unit terkecil dari kehidupan sosial atau masyarakat
dan sebaliknya sebagai makhluk sosial yang membentuk suatu kehidupan masyarakat,
manusia merupakan kumpulan dari berbagai individu. Dalam menjalankan
peranannya masing-masing dari kedua hal tersebut secara seimbang, maka setiap
individu harus mengetahui dari peranannya masing-masing tersebut.
Untuk itu, perlu kiranya penulis menulis sebuah makalah yang mengemukakan
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Semoga dengan adanya
makalah ini dapat menginspirasi pembaca.

B. Rumusan masalah.
Mengetahui hubungan Stereotip, Prasangka, Diskriminasi dan Konflik dalam
interaksi sosial

C. Tujuan
Mengkaji stereotip, prasangka dan konslik yang terjadi akibat interaksi sosial

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan penulisan............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2
A. Interaksi Sosial Memunculkan Berbagai Corak stereotip, prasangka yang
Berakibat Adanya Diskriminasi dan Konflik...................................... 2-5
B. Hubungan Antara Stereotip, Prasangka dan Diskriminasi.......................... 5-6
C. Beberapa Kasus Stereotip, Prasangka, Diskriminasi Serta Konflik.............. 6-8
D. Solusi Tentang Stereotip, Prasangka, Diskirmimasi dan Konflik.................. 8-10
E. Dilema Antara Kepentingan Individu dan Sosial.......................................... 10-13

BAB III PENUTUP............................................................................................... 14


A. Kesimpulan.................................................................................................... 14
B. Saran.............................................................................................................. 14
DAFTAR RUJUKAN.............................................................................................. 15

ii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Interaksi sosial memunculkan berbagai corak stereotip, prasangka yang


berakibat adanya diskriminasi dan konflik.

Setiadi, Hakam, dan Effendi (2007:90) menjelaskan pengertian dari interaksi sosial
yang ada dilingkungan masyarakat, diantaranya...

Menurut Setiadi, Hakam, dan Effendi (dalam Gillin and Gillin, 1954)
berpendapat bahwa interaksi sosial adalah hubungan-hubungan antara orang-
orang secara individual, antar kelompok dan perorang, dan orang perorangan
dengan kelompok.

Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu dengan


individu, antara kelompok dengan kelompok, antara individu dengan kelompok.

Jadi, interaksi sosial merupakan suatu aktivitas yang melibatkan hubungan timbal
balik maupun stimulus dan respon orang baik itu secara individu dengan individu,
kelompok dengan kelompok ataupun individu dengan kelompok.

Setiadi, Hakam, dan Effendi (2007:90) menjelaskan bahwa...

Interaksi sosial dapat juga dinamakan proses sosial, karena interaksi sosial
meruapakan syarat utama untuk aktivitas sosial. Interaksi sosial adalah
hubungan sosial yang dinamis. Apabila dua orang bertemu interaksi sosial
dimulai, pada saat itu mereka saling menegur sapa, berjabat tangan, atau bahkan
mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk interaksi
sosial

Berikut ini akan dibahas bagaimana dari interaksi sosial ini memuculkan berbagai
corak stereotip, prasangka yang berakibat adanya disriminasi dan konflik. Interaksi
sosial secara langsung memberikan keharusan manusia hidup berkelompok. Cara yang
sangat mudah untuk memahami mengapa manusia harus hidup berkelompok adalah
membandingkan antara anak manusia dengan anak hewan pada waktu lahir dan
beberapa waktu sesudahnya.

1
Hewan yang terlahir, kemudian hidup tanpa bantuan dan perlindungan induknya
tetap dapat hidup dan setelah dewasa mereka akan hidup dengan cara yang sama dengan

2
3

jenisnya masing-masing. Misal: anak ayam yang baru menetas ditinggal induknya,
sampai besar ia akan tetap hidup sebagaimana seekor ayam.
 Berbeda dengan manusia, ia tak akan dapat hidup terus tanpa ada manusia lainnya.
Ia tak akan hidup sebagai manusia, jika tidak dirawat oleh manusia. Misal: Manusia
yang dirawat Kera, maka ia akan hidup seperti kera, bukan seperti manusia.
Pembeda lainnya antara manusia dengan hewan adalah kemampuan biologis manusia
yang dianggap “kurang” dibanding hewan. Manusia tidak dapat berenang selincah ikan,
berlari secepat ceetah atau kuda, memburu mangsa secepat harimau, dan berayun
melompat sepandai kera.
 Dan spesialnya manusia dianugerahi kelebihan berupa kemampuan mental dan fisik
yang lebih fleksibel. Kemampuan mental yang bersumber dari akal dan nurani,
merupakan modal berharga yang digunakan untuk mengendalikan gerakan-gerakan
anggota badan, sehingga kemampuan fisiknya menjadi beragam dan fleksibel. Di dalam
berinteraksi dengan orang lain, terkadang tidak dapat lepas dari apa yang disebut
sebagai prasangka dan stereotipe.
a. Prasangka

Menurut Wikipedia Prasangka berarti membuat keputusan sebelum


mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini
merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang
relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga
diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap
yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional

John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori.

 Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.


 Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
 Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam
bertindak.
Proses terbentuknya prasangka - prasangka sosial yang memiliki konotasi negara
dalam hubungannya antara mayoritas dan minoritas. Oleh karena itu, beberapa faktor
penentu prasangka, yaitu antara lain:
1.   Kekuasaan faktual yang terlibat hubungan antara mayoritas dan minoritas
4

2.  Fakta tentang perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan minoritas


3.  Fakta mengenai kesempatan usaha pada mayoritas dan minoritas
4. Fakta mengenai unsur geografis, dimana keluarga minoritas menduduki daerah-
daerah tertentu
5. Posisi dan peranan dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasai oleh
kelompok  minoritas
6. Potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas dalam mempertahankan hidupnya

Adapun beberapa hipotesa yag menjadi penyebab terjadinya prasangka


antara lain adalah:
1. Adanya ketegangan situasiyang senantiasa relatif dan bersifat individual atau
kelompok  sentris
2. Dalam tiap-tiap kelompok akan selalu terdapat minoritas
3. Adanya persaingan yang menimbulkan prasangka

b. Stereotipe

Wikipedia menjelaskan...

Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi


terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe
merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia
untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam
pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat
berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranganggapan bahwa
segala bentuk stereotipe adalah negatif.

Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang
benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin
ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula
stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok,
pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik
antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan
posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi
5

psikoanalisis, semisal Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara


definisi tidak pernah akurat, tetapi merupakan penonjolan ketakutan seseorang
kepada orang lainnya, tanpa mempedulikan kenyataan yang sebenarnya.
Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, tetapi beberapa
penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai
dengan fakta terukur.

Dalam membahas baik prasangka maupun stereotipe, kita tidak dapat lepas
dari mental set dan konsep interaksi sosial. Permasalahan yang akan muncul dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu: image dan sikap. Image menyangkut persepsi sosial
sehingga tiap hubungan antar manusia, Antar kelompok, dan antar bangsa telah ada
suatu mental set tersendiri tentang opini, sistem nilai, norma, konsep tertentu. Hubungan
ini akan mengarah kepada komponen emosional yang relevan dengan hubungan interaksi
ini. Sikap terhadap pengertian sinonim ini sebenarnya menjadikan prasangka dapat
diidentifikasikan dengan sikap yang merupakan predisposisi sosial. Di samping
prasangka tersebut dapat pula disamakan dengan opini atau kepercayaan (belief).

c. Diskriminasi
Menurut wikipedia Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil
terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan
karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan
suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam kehidupan Masyarakat, ini
disebabkan karena kecenderungan sikap manusia yang lebih suka membeda-
bedakan yang lain.

Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena


karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan,alira
n politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari
tindakan diskriminasi.

Diskriminasi terbagi menjadi beberapa bagian:

Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-


jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan
sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
6

Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang


bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.

d. Konflik
Menurut Wikipedia Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.

Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam


suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut
ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai


sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan
konflik.

B. Hubungan antara stereotip prasangka dan diskriminasi

Sebenarnya stereotip, prasangka, dan diskriminasi memiliki hubungan yang sangat


erat satu sama lain karena dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi adalah
stereotip.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa stereotip merupakan aspek


kognitif yang terjadai akibat adannya pengetahuan yang terbatas terhadap suatu objek.
Stereotip merupakan keadaan yang dapat bersifat positif serta bersifat negatif.
7

Sedangkan prasangka lebih mengarah kepada evaluasi yang negatif. Sebagai akibat dari
stereotip cenderung menimbulkan sikap berprasangka sebagai bentuk afektifnya.
Sedangkan dari aspek konatifnya, stereotip cenderung dapat menimbulkan tindakan
diskriminasi yang diakibatkan dari sikap berprasangka. Atau dalam hal lain stereotip
dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif, stereotip yang
berlebihan dapat menimbulkan prasangka.

Stereotip dapat memunculkan prasangka, dan setiap orang yang berprasangka


cenderung melakukan diskriminasi. Sebagai contoh ; stereotip pada orang barat
kebanyakan menganggap islam adalah agama teroris, berbahaya, disamping itu ada
juga ada yang menganggap islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan oleh
Allah kepada nabi Muhammad. Dari stereotip tersebut timbul prasangka yang hanya
mengambil sisi negative yaitu orang yang berprasangka akan menganggap islam adalah
benar agama teroris. Akibat dari prasangka itu menimbulkan diskriminasi terhadap
agama islam. Dengan prasangka bahwa islam adalah agama teroris yang kejam maka
islam akan dijauhi, akan di benci.

Asal - usul stereotip, prasangka, dan diskriminasi

Stereotip, prasangka, dan diskriminatif itu tidak dibawa seseorang sejak lahir,
melainkan hal tersebut dipelajaridan terbentuk pada manusia selama perjalanan
hidupnya melalui proses sosialisasi dalam masyarakat. Seorang akan mempunyai
stereotip, prasangka, dan diskriminasi ketika mereka bergaul dengan orang yang telah
mempunyai hal tersebut. Dan hal ini berlangsung dengan sendirinya serta berlangsung
pada taraf tidak sadar melalui proses imitasi, seggesti, identifikasi, dan simpati, yang
memegang peranan utama dalam interaksi sosial. Dalam hal itu secara tidak sadar
secara lambat mereka mungkin memperoleh sikap-sikap tertentu terhadap kelompok
atau golongan tertentu, hingga lambat laun dapat melahirkan stereotip, prasangka dan
diskriminasi.

C. Beberapa kasus stereotip, prasangka dan diskriminasi serta konflik

Kalimantan
Kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di
Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa
tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan
8

ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah menyebutkan


bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda
etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang
terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik
tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat
sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.

Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain
analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir
terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai
perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya
ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat
sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik
terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin
banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya.
Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah
terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain
menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.

Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya
kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik.
Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan
sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut
Purbangkoro kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga
tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak
dan etnik Madura di Kalimantan.

Sementara itu Asykien menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat
negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan
kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3)
menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4)
melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka
buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1)
mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3)
membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik
9

lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas
menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya
prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan
digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya
pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk
seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab
berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau
kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik
antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.

Maluku (Ambon)

Kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun
awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis
yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai
hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai
oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis
pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan
dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan
konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon
dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya
prasangka mayoritas-minoritas. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan
Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon.

D. Solusi tentang stereotipe, prasangka, diskriminasi dan konflik


1.   Stereotipe:
a.       Jangan hanya memandang suatu kelompok atau individu dari satu sisi saja dan
mengabaikan sisi lainnya yang merupakan sebuah kelengkapan dalam diri objek dan
dilewatkan. Kita harus menyadari bahwa setiap individu terlahir dengan keunikan
tersendiri sehingga tidak perlu disamakan dengan individu yang lain apalagi
kelompok.
b.      Menumbuhkan rasa saling menghargai terhadap perbedaan pada suatu kelompok.
Maka dari itu sudah saatnya masyarakat lebih objektif dalam menerima sebuah
stereotipe yang hadir di tengah kehidupan bermasyarakat. Di antaranya menanamkan
rasa toleransi dalam merajut sebuah keberagaman yang dimuai sejak dini, hal ini perlu
10

dilakukan mengingat stereotipe dapat terus-menerus dilestarikan melalui komunikasi


yang beredar di kalangan masyarakat, dan dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

2.      Prasangka:
a.       Memutuskan siklus prasangka: belajar tidak membenci karena dapat membahayakan
diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan orang dewasa
lainnya untuk melatih anak menjadi fanatik.
b.      Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda: i) contact hypothesis—pandangan
bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok sosial dapat efektif
mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut tampaknya berhasil
hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu. ii) extended
contact hypothesis—sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hanya dengan
mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah membentuk persahabatan
dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok
tersebut.
c.       Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang ini,
orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat
dipandang sebagai bagian dari in-group.
d.      Intervensi kognitif: memotivasi orang lain untuk tidak berprasangka, pelatihan
(belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotype).
e.       Pengaruh sosial untuk mengurangi prasangka.

3.      Diskriminasi
Untuk menghindari sikap diskriminasi seseorang harus mempunyai sikap
kebersamaan. sikap ini memiliki tujuan tentang adanya kesetaraan , kesamaan ,
keseimbangan , keselarasan , serta penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan . menempatkan kesejajaran antar sesama menghantarkan setiap orang
memberikan yang terbaik pada ketaqwaan yang tinggi. sehingga sikap kebersamaan
menjadi jalan baru untuk melakukan kebajikan dalam membangun kebersamaan untuk
kemaslahatan morlitas yang berkualitas.
11

Dari ketiga solusi tersebut, satu jalan keluar dari masalah yang paling utama adalah
perlunya pemahaman masyarakat mengenai kesadaran multikulturalisme yang
merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemahaman tersebut dapat muncul jika
ditunjang dengan sosialisasi secara terus-menerus kepada masyarakat. Pengembangan
demokrasi di Indonesia perlu ditopang oleh kesadaran multikultural, yaitu kesediaan
untuk menerima dan menghargai perbedaan. Tanpa kesadaran tersebut, bangsa ini sulit
membangun kemajuan di tengah masyarakat yang majemuk dalam hal agama, etnis,
dan Perbedaan merupakan keniscayaan yang mesti dan harus diterima. Fakta
menunjukkan bahwa manusia memang makhluk unik dan khas. Keunikan dan kekhasan
ini, dalam konteks bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, dapat me nimbulkan
keragaman tatanan sosial dan kebudayaan. Keragaman ini seperti ditunjukkan oleh
Indonesia sebagai negarabangsa yang terdiri atas beragam etnis, agama, dan bahasa.
Keragaman ini perlu dikelola secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu bentuk
tatanan nilai yang dapat dibagi bersama.

Oleh karena itu, keragaman masyarakat Indonesia merupakan tantangan yang


menuntut upaya sungguh-sungguh dalam bentuk transformasi kesadaran multikultural.
Suatu kesadaran yang diarahkan untuk membangun identitas nasional, integrasi
nasional, dan kesadaran menempatkan agama untuk kesatuan bangsa. Ini akan
membuat kesatuan Indonesia dapat ditegakkan sejalan dengan teks ideal Bhinneka
Tunggal Ika.

Bhineka tunggal ika adalah bentuk kesatuan yang menjadi panduan bagi segenap
bangsa yang ada di Indonesia. Keberagaman yang dimiliki Indonesia dari sabang
sampai merauke inilah yang menjadikan pesona di Indonesia. Bhineka tunggal ika
menyatukan setiap bangsa, tidak peduli mereka berasal dari mana, bagaimana
kebudayaan setempat mereka, apa warna kulit mereka, seperti apa bahasa mereka,
mereka adalah satu kesatuan bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia, yang diikat
dalam Pancasila, dan di atur dalam undang-undang.

Fishmanpun memandang Indonesia sebagai raksasa sosiolinguistik


dan negara multikultur terbesar di dunia (Juditha, 2015, h.87; Yaqin, 2005, h.
3)

E. Dilema antara kepentingan individu dan sosial.


12

Setiap yang disebut manusia selalu terdiri dari dua kepentingan, yaitu kepentingan
individu yang termasuk kepentingan keluarga, kelompok atau golongan dan
kepentingan masyarakat yang termasuk kepentingan rakyat . Dalam diri manusia, kedua
kepentingan itu satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu kepentingan
tersebut hilang dari diri manusia, akan terdapat satu manusia yang tidak bisa
membedakan suatu kepentingan, jika kepentingan individu yang hilang dia menjadi
lupa pada keluarganya, jika kepentingan masyarakat yang dihilangkan dari diri manusia
banyak timbul masalah kemasyarakatan contohnya korupsi. Inilah yang menyebabkan
kebingungan atau dilema manusia jika mereka tidak bisa membagi kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat.

Dilema anatara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah pada


pertanyaan mana yang harus diutamakan, kepentingan manusia selaku individu atau
kepentingan masyarakat tempat saya hidup bersama? Persoalan pengutamaan
kepentingan individu atau masyarakat ini memunculkan dua pandangan yang
berkembang menjadi paham/aliran bahkan ideologi yang dipegang oleh suatu kelompok
masyarakat.

1.         Pandangan Individualisme

Individualisme berpangkal dari konsep bahwa manusia pada hakikatnya adalah


makhluk individu yang bebas. Paham ini memandang manusia sebagai makhluk pribadi
yang utuh dan lengkap terlepas dari manusia yang lain. Pandangan individualisme
berpendapat bahwa kepentingan individulah yang harus diutamakan. Yang menjadi
sentral individualisme adalah kebebasan seorang individu untuk merealisasikan dirinya.
Paham individualisme menghasilkan ideologi liberalisme. Paham ini bisa disebut juga
ideologi individualisme liberal.

Paham individualisme liberal muncul di Eropa Barat (bersama paham sosialisme)


pada abad ke 18-19. Yang dipelopori oleh Jeremy Betham, John Stuart Mill, Thomas
Hobben, John Locke, Rousseau, dan Montesquieu. Beberapa prinsip yang
dikembangkan ideologi liberalisme adalah sebagai berikut.

1. Penjaminan hak milik perorangan. Menurut paham ini , pemilikan sepenuhnya


berada pada pribadi dan tidak berlaku hak milik berfungsi sosial,
13

2. Mementingkan diri sendiri atau kepentingan individu yang bersangkutan.


3. Pemberian kebebasan penuh pada individu
4. Persaingan bebas untuk mencapai kepentingannya masing-masing.

Kebebasan dalam rangka pemenuhan kebutuhan diri bisa menimbulkan persaingan


dan dinamika kebebasan antar individu. Menurut paham liberalisme, kebebasan antar
individu tersebut bisa diatur melalui penerapan hukum. Jadi, negara yang menjamin
keadilan dan kepastian hukum mutlak diperlukan dalam rangka mengelola kebebasan
agar tetap menciptakan tertibnya penyelenggaraan hidup bersama.

2.        Pandangan Sosialisme

Paham sosialisme ditokohi oleh Robert Owen dari Inggris, Lousi Blanc, dan
Proudhon. Pandangan ini menyatakan bahwa kepentingan masyarakatlah yang
diutamakan. Kedudukan individu hanyalah objek dari masyarakat. Menurut pandangan
sosialis, hak-hak individu sebagai hak dasar hilang. Hak-hak individu timbul karena
keanggotaannya dalam suatu komunitas atau kelompok.

Sosialisme adalah paham yang mengharapkan terbentuknya masyarakat yang adil,


selaras, bebas, dan sejahtera bebas dari penguasaan individu atas hak milik dan alat-alat
produksi. Sosialisme muncul dengan maksud kepentingan masyarakat secara
keseluruhan terutama yang tersisih oleh system liberalisme, mendapat keadilan,
kebebasan, dan kesejahteraan. Untuk meraih hal tersebut, sosialisme berpandangan
bahwa hak-hak individu harus diletakkan dalam kerangka kepentingan masyarakat yang
lebih luas. Dalam sosialisme yang radikal/ekstem (marxisme/komunisme) cara untuk
meraih hal itu adalah dengan menghilangkan hak pemilikan dan penguasaan alat-alat
produksi oleh perorangan. Paham  marxisme/komunisme dipelopori oleh Karl Marx.

Paham individualisme liberal dan sosialisme saling bertolak belakang dalam


memandang hakikat manusia. Dalam Declaration of Independent Amerika Serikat
1776, orientasinya lebih ditekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk individu
yang bebas merdeka, manusia adalah pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang
luhur. Sedangkan dalam Manifesto Komunisme Karl Marx dan Engels, orientasinya
sangat menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial semata. Menurut
14

paham ini manusia sebagai makhluk pribadi yang tidak dihargai. Pribadi dikorbankan
untuk kepentingan negara.

Dari kedua paham tersebut terdapat kelemahannya masing-masing. Individualisme


liberal dapat menimbulkan ketidakadilan, berbagai bentuk tindakan tidak manusiawi,
imperialisme, dan kolonialisme, liberalisme mungkin membawa manfaat bagi
kehidupan politik, tetapi tidak dalam lapangan ekonomi dan sosial.  Sosialisme dalam
bentuk yang ekstrem, tidak menghargai manusia sebagai pribadi sehingga bisa
merendahkan sisi kemanusiaan. Dalam negara komunis mungkin terjadi kemakmuran,
tetapi kepuasan rohani manusia belum tentu terjamin.

3.        Kehidupan di Indonesia

Dalam negara Indonesia yang berfalsafahkan  Pancasila, hakikat manusia dipandang


memiliki sifat pribadi sekaligus sosial secara seimbang. Manusia bukanlah makhluk
individu dan sosial, tetapi manusia adalah makhluk  individu sekaligus makhluk sosial.
Frans Magnis Suseno, (2001) menyatakan bahwa manusia adalah individu yang secara
hakiki bersifat sosial dan sebagai individu manusia bermasyarakat.

Bung Karno menerangkan tentang seimbangnya dua sifat tersebut dengan ungkapan
“Internasianalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak hidup subur  kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme” (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1998). Paduan harmoni antara
individu dan sosial dalam diri bangsa Indonesia diungkap dalam sila kedua dan ketiga
Pancasila. Bangsa Indonesia memiliki prinsip menempatkan kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi dan golongan. Namun demi kepentingan bersama tidak dengan
mengorbankan hak-hak dasar setiap warga negara.

Akan tetapi pada masyarakat Indonesia sekarang lebih condong ke arah liberalisme
bagaimana tidak ? seorang pejabat pemerintah bisa mengkorupsi uang pajak untuk
rakyat sampai bermiliyar – miliyar rupiah itu yang torbongkar, belum lagi yang tidak
terbongkar. Dari yang terkecil seperti premanisme juga mengakar pada budaya kita.
Semua itu tidak dipungkiri masalah ekonomi Indonesia yang kurang baik, banyak suap
dimana – mana , dari jalan raya sampai gedung bertingkat, ada juga nipotisme yang
masih banyak terjadi banyak orang yang tidak berkompeten menjadi ketua organisasi
15

karena saudaranya seorang pejabat publik, akan tetapi jika sesorang itu ahli
dibidangnya dan mendaptkan pekerjaaan di bidangnya karena saudaranya malah
dianjurkan.

Banyak juga orang yang mementingkan masyarakat dari pada diri sendiri seperti
pekerja sosial yang lupa pada keluarganya sehingga terlantar. Hal inilah yang harus
dibenahi kita harus kembali menengok kepada pancasila yang benar – benar
memandang  sifat pribadi sekaligus sosial secara seimbag.
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan

Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial memiliki fungsi masing-
masing dalam menjalankan peranannya dalam kehidupan. Sebagai makhluk individu 
manusia merupakan bagian dan unit terkecil dari kehidupan sosial atau masyarakat
dan sebaliknya sebagai makhluk sosial yang membentuk suatu kehidupan masyarakat,
manusia merupakan kumpulan dari berbagai individu. Kita sebagai manusia tidak
dapat hidup sendiri karena kita membutuhkan satu sama lain. satu sama lain.

b. Saran
Kita sebagai manusia memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan
dilakukan dengan baik. Dalam Interaksi sosial pasti akan selalu muncul yang
namanya streotip, prasangka dan diskriminasi. Oleh karena itu kita sebagai manusia
harus bisa meminimalisirkan hal tersebut agar tidak terjadi konflik diantara manusi

16
DAFTAR RUJUKAN

Christiany, J. (2015). Stereotip dan Prasangka dalam Konflik


Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar. Jurnal Ilmu Komunikasi (Nomor 1), 87

Setiadi, Hakam, dan Effendi. (2007). Ilmu sosial dan budaya dasar. Jakarta: Kencana

https://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi Diakses pada hari Sabtu 06 Februari 2020


pukul 06.52 Wib

https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik diakses Diakses pada hari Sabtu 06 Februari 2020


pukul, 06.56 Wib

https://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka diakses . Diakses pada hari Sabtu 06 Februari


2020 pukul 06.59 Wib

https://id.wikipedia.org/wiki/Stereotipe Diakses pada hari Sabtu 06 Februari 2020


pukulWib 06.31

https://laksmanacip.wordpress.com/2011/10/06/dilema-antara-kepentingan-individu-
dan-mayarakat/ Diakses pada hari Sabtu 08 Februari 2020 pukul 15.50 wib

17

Anda mungkin juga menyukai