DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAMPU:
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Perkembangan
Moral dan Agama ini dengan lancar, serta dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktu
yang telah ditentukan.
Penyusun menyadari bahwa terlaksananya ini berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu kami dalam pembuatan makalah Perkembangan Moral dan Agama ini.
Penyusun sangat memahami bahwa apa yang telah di dapatkan selama pembuatan
makalah Perkembangan Moral dan Agama ini belum lah seberapa. Penyusun menyadari
sepenuhnya bahwa makalah Perkembangan Moral dan Agama ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun
sendiri khususnya dan bagi para pembaca yang budiman umumnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan dan Manfaat.................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
4
jawab dalam memberikan berbagai macam stimulasi dan bimbingan yang
tepat sehingga akan tercapai generasi penerus yang tangguh.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan pendidikan bertujuan “mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. (Republik Indonesia, 2003).
Sementara itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
16 Tahun 2007 kompetensi yang harus dimiliki guru adalah “menguasai
karakteristik peserta didik pada aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual”. (Depdiknas, 2007)
Tuntutan kompetensi ini mengharuskan guru untuk mempelajari,
memahami, dan mampu mengimplementasikan konsepsi perkembangan
anak usia dini dan mengarahkannya pada aspek moral, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual yang lebih baik.
Oleh karena itu, kajian terhadap implementasi nilai moral dan agama
bagi anak usia dini, khususnya anak usia 0-6 tahun menjadi sangat penting
dan strategis bagi guru PAUD maupun pengelola PAUD secara
keseluruhan. Mengingat fenomena negatif yang mengemuka dan sering
menjadi tontonan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui media cetak
maupun elektronik dijumpai kasus-kasus anak usia dini sudah mulai meniru
ujaran kebencian (hate speech), berbicara kurang sopan, senang meniru
adegan kekerasan, bahkan meniru perilaku orang dewasa yang belum
semestinya dilakukan anak-anak. Kondisi ini tentu cukup beralasan,
mengingat pada fase ini anak usia 0-6 menurut para ahli berada pada fase
peniruan (imitasi). Jadi, apapun kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar
lingkungan anak dengan sangat cepat diserap dan ditiru untuk dijadikan
sebuah kebiasaan. Jika fenomena-fenomena yang dilihat anak cenderung ke
5
arah negatif maka kecenderungan perilaku menyimpang akan lebih
mengemuka terjadi pada anak.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perkembangan agama pada anak.
2. Mengetahui perkembangan moral pada anak.
3. Mengetahui hambatan-hambatan dalam perkembangan pada masa anak.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
7
Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkembangan tidaklah terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin
membesar, melainkan didalamnya juga terkandung serangkaian perubahan
yang berlangsung secara terus menerus yang bersifat tetap dari fungsi fungsi
jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan
melalui pertumbuhan, pemasakan, dan belajar.
Perkembangan dalam konteks psikologi diartikan sebagai proses yang
terjadi secra terus menerus atau berkesinambungan dan juga perubahan yang
terjadi di dalam individu secara sistematis (Shaffer & Kipp, 2014). Adapun
karakteristik perkembangan di antaranya adalah perkembangan itu:
1) Sepanjang hayat.
2) Multidimensional.
3) Multiarah.
4) Seperti plastisin.
5) Kontekstual.
8
kesejahteraan dirinya. Dapat memelihara kesehatan dan
keselamatan diri, menyayangi diri, senang berolah raga serta
berekreasi untuk menjaga kesehatan dirinya.
3. Belajar berkawan dengan teman sebaya. Pada masa ini anak
dituntut untuk mampu bergaul, bekerjasama dan membina
hubungan baik dengan teman sebaya, saling menolong dan
membentuk kepribadian sosial
4. Belajar menguasai keterampilan-keterampilan intelektual dasar
yaitu membaca, menulis dan berhitung. Untuk melaksanakan
tugasnya di sekolah dan perkembangan belajarnya lebih lanjut,
anak pada awal masa ini belajar menguasai kemampuan
membaca, menulis dan berhitung.
5. Pengembangan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari. Agar dapat menyesuaikan diri dan berperilaku sesuai
dengan tuntutan dari lingkungannya, anak dituntut telah memiliki
konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
6. Pengembangan moral, nilai dan hati nurani. Pada masa ini anak
dituntut telah mampu menghargai perbuatan yang sesuai dengan
moral dan dapat melakukan kontrol terhadap perilakunya sesuai
dengan moral.
7. Memiliki kemerdekaan pribadi. Secara berangsur-angsur pada
masa ini anak dituntut memiliki kemerdekaan pribadi. Anak
mampu memilih, merencanakan, dan melakukan pekerjaan atau
kegiatan tanpa tergantung pada orang tua atau orang dewasa lain.
8. Pengembangan sikap terhadap lembaga dan kelompok sosial.
Anak diharapkan telah memiliki sikap yang tepat terhadap
lembaga dan unit atau kelompok sosial yang ada dalam
masyarakat.
9
2.2 Pengertian Agama, Moral, dan Anak
2.2.1 Agama
“Agama” berasal dari bahasan Sansakerta, “gam” artinya pergi;
kemudian setelah mendapatkan awalan dan akhiran “a” menjadi “agama”,
artinya menjadi jalan. Gam dalam bahasa Sansakerta ini mempunyai
pengertian yang sama dengan to go (Inggris), gehen (Jerman), dan gaan
(Belanda) yang artinya juga “pergi”. Menurut Bahrun Rangkuti, agama
berasal dari kata “a-gama”. Arti “a” panjang ialah cara atau the way;
sedangkan “gama” berasal dari kata Indojerman “gam” berarti sama
dengan kata Inggris to go, yaitu berjalan atau pergi. Jadi agama artinya
adalah cara-cara berjalan atau cara-cara untuk sampai pada keridlaan Tuhan.
Dengan demikian, agama dirumuskan sebagai suatu jalan yang harus diikuti
agar orang sampai ke suatu tujuan yang suci dan mulia (Kurnia, 2015).
Pendapat lain mengatakan juga bahwa agama berasal dari bahasa
Sansakerta, yakni “a” yang artinya tidak, dan “gam” artinya pergi, berubah,
atau bergerak. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa agama (maksudnya
ajarannya) merupakan sesuatu yang tidak berubah, atau sesuatu yang kekal
abadi.
Masih berkaitan dengan pengertian agama, ada juga pendapat bahwa
agama berasal dari kata “a” artinya tidak, dan “gama” artinya kacau. Jadi
agama artinya sesuatu yang tidak kacau. Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa agama adalah:
a. Jalan yang harus diikuti supaya orang sampai ke tujuan
b. Cara-cara berjalan atau cara-cara agar sampai ke suatu tujuan
yang diridlai Tuhan
c. Sesuatu yang membuat tidak kacau (suatu tuntunan yang tidak
membuat kacau manusia atau sesuatu yang menertibkan hidup)
Adapun yang dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama
memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu
membandingkan tingkah lakunya, agama dapat menstabilkan tingkah laku
dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada
10
di dunia ini, agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi
remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
2.2.2 Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan,
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Pengertian moral, menurut Suseno dalam (Kurnia, 2015) adalah
ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai
warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah
pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral dan manusiawi.
Sedangkan menurut Ouska dan Whellan (Kurnia, 2015), moral adalah
prinsip baik-buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang.
Walaupun moral itu berada dalam diri individu, tetapi moral berada dalam
suatu sistem yang berwujud aturan. Moral dan moralitas memiliki sedikit
perbedaan, karena moral adalah prinsip baik-buruk sedangkan moralitas
merupakan kualitas pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, hakekat
dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral
dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.
Ada beberapa pakar yang mengembangkan pembelajaran nilai moral,
dengan tujuan membentuk watak atau karakteristik anak. Pakar-pakar
tersebut diantaranya adalah Newman, Simon, Howe, dan (Lickona, 1992).
Dari beberapa pakar tersebut, pendapat (Lickona, 1992) yang lebih cocok
diterapkan untuk membentuk watak/ karater anak. Pandangan (Lickona,
1992) tersebut dikenal dengan educating for character atau pendidikan
karakter/watak untuk membangun karakter atau watak anak. Dalam hal ini,
Lickona mengacu pada pemikiran filosofi Michael Novak yang berpendapat
bahwa watak/ karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek yaitu, moral
knowing, moral feeling, dan moral behavior, yang satu sama lain saling
berhubungan dan terkait. Lickona menggarisbawahi pemikiran Novak. Ia
berpendapat bahwa pembentukan karakter/watak anak dapat dilakukan
11
melalui tiga kerangka pikir, yaitu konsep moral (moral knowing), sikap
moral (moral feeling), dan prilaku moral (moral behavior). Dengan
demikian, hasil pembentukan sikap karekter anak pun dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.
2.2.3 Anak
Adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak
membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan
kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa
orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang
normal. Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi
yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal
dari lingkungan. Augustinus (dalam Suryabrata, 1987), yang dipandang
sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak
tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk
menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih
mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan
yang bersifat memaksa.
Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai
pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan
segala keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa
anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang
dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari
keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah
laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan
bersama.
12
of religious on children ia mengatakan bahwa perkembangan pada anak-
anak itu melalui tiga tingkatan :
1) The fairy stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai anak yang berusia 3-6 tahun, pada tingkatan
ini konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan
emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-
Tuhanan sesuai dengan tingkat intelektualnya.
13
mempunyai arti apa-apa, jika sering diucapkan dan terdengar oleh mereka
maka akan menjadi pusat perhatiannya. Demikian juga sikap, mimik, dan
situasi, saat orang tua mengucapkannya lambat laun akan diamatinya, dan
selanjutnya ditirunya. Pada saat demikian, si anak belum mengerti tentang
agama dan belum tahu tentang Tuhan. Tetapi anak telah tumbuh untuk
memasuki kehidupan beragama.
Secara umum tujuan pengembangan nilai agama pada diri anak adalah
meletakkan dasar-dasar keimanan dengan pola takwa kepada-Nya dan
keindahan akhlak, cakap, percaya pada diri sendiri, serta memiliki kesiapan
untuk hidup di tengah-tengah dan bersama-sama dengan masyarakat untuk
menempuh kehidupan yang diridhai-Nya.
Adapun tujuan khusus pengembangan nilai agama pada anak-anak
usia prasekolah yaitu:
a. Mengembangkan rasa iman dan cinta terhadap Tuhan
b. Membiasakan anak-anak agar melakukan ibadah kepada Tuhan
c. Membiasakan agar perilaku dan sikap anak didasari dengan nilai-
nilai agama
d. Membantu anak agar tumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
14
dan lingkungan, hubungan itu begitu menentukan sama halnya dlam
perkembangan moral seseorang.
Perkembangan merupakan proses dinamis yang umum dalam setiap
budaya. Moral berkembang menurut serangkaian tahap perkembangan
psikologis. Kohlberg telah menunjukkan dengan penelitiannya bahwa tahap-
tahap perkembangan moral berlaku sama bagi setiap orang, tidak
memandang lingkup budaya, tempat, kelas dalam masyarakat, kasta dan
agama. Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg menunjukkan
suatu tingkatan sistematis , urutan bertahap, dari tingkat prakonvensional
sampai pascakonvensional. Itu berarti bahwa perkembangan pengertian dan
pertimbangan moral dibatasi oleh perkembangan umur dan tahapan. Isi
pertimbangan moralnya dapat berbeda-beda, namun kerangka berpikir
pertimbangannya sama, begitu juga urutan tahap perkembangannya sama.
Memang jarang ada orang yang perkembangan moralnya mencapai tahap
lima atau enam, karena perkembangan pendewasaan moral itu tidak terjadi
dengan sendirinya secara otomatis. Orang harus mengembangkannya
sendiri. Partisipasi dalam peran-peran sosial serta hubungan antarpribadi
yang dialami seseorang amat menentukan proses perkembangan
kedewasaan moralnya. Pengalaman itulah yang akan mengajar mereka
untuk berkembang mencapai tahap terakhir.
Perkembangan moral itu bertahap, artinya kedewasaan moral
seseorang hanya dapat meningkat satu tahap lebih tinggi keatasnya.
Kedewasaan moral tahap kedua hanya dapat memahami pertimbangan
moral tahap keempat. Tiap tahap yang lebih tinggi selalu lebih umum dan
kurang berpusat pada diri sendiri serta menghendaki sedikit saja
rasionalisasi. Oleh sebab itu, pendidikan moral tidak banyak artinya jika
materi tentang tahap-tahap tentang kedewasaan moral disampaikan hanya
dengan ceramah, tanpa mengajak peserta didik mengalami sendiri tingkat
kedewasaan tiap tahap dan bagaimana dapat berkembang ke satu tingkat
diatasnya (Cheppy, 1988).
Menurut (Kohlberg, 1995), perkembangan moral anak usia prasekolah
berada pada tingkatan yang paling dasar, yaitu penalaran moral
15
prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum menunjukkan
pengembangan nilai-nilai moral. Pertimbangan moralnya didasarkan pada
akibat-akibat yang bersifat fisik dan hedonistik. Ada 4 (empat) area
perkembangan yang perlu ditingkatkan dalam kegiatan pengembangan atau
pendidikan usia prasekolah, yaitu perkembangan fisik, sosial emosional,
kognitif dan bahasa.
Di dalam perkembangan moral pada anak, terdapat beragai teori
seperti :
1) Teori psikoanalisa
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa
dengan pembagian struktur kepribadian manusia ada tiga, yaitu id, ego
dan superego. Menurut psikolanalisa klasik freud, semua orang
mengalami konflik oedipus. Konflik ini akan menghasilkan
pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan freud sebagai
superego. Ketika anak mengatasi konflik oedipus ini, maka
perkembangan moral dimulai. Salah satu alasan mengapa anak
mengatasi konflik oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan
kasih sayang orang tua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan
seksual mereka yang tidak dapat diterima terhadap orang tua yang
berbeda jenis kelamin
2) Teori belajar sosial
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons
atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman,
peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
3) Teori kognitif piaget
Teori piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip
prinsip dan proses proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif
yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi
piaget, perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan.
Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima
dan menaati sistem peraturan.
4) Teori kohlberg
16
Teori kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas,
modifikasi, dan redefeni atas teori piaget. Teori ini didasarkan atas
analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10
hingga 16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral, dimana
mereka harus memilih antara tindakan mentaati peraturan atau
memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan
peraturan.
17
tersebut tidaklah melalui prose berpikir sebelumnya, tetapi lebih
bersifat emosional.
Di samping kemampuan rasional, kemampuan emosional juga
akan berpengaruh terhadap perkembangan rasa keagamaan anak,
seperti dihinggapi rasa enggan untuk mengerjakan kelakuan-kelakuan
keagamaan atau keengganan merubah dari sesuatu yang sebenarnya
tidak diyakini (ragu) kepada yang tidak diragukan karena rasa
solidaritas yang terlalu besar.
Termasuk juga faktor diri sendiri adalah pengalaman yang
dimiliki. Semakin banyak dan luas pengalaman seseorang dalam
bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam
mengerjakan kelakuan-kelakuan religius, tetapi bagi anak yang
mempunyai pengalaman sedikit dan sempit maka dia akan mengalami
berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan kepada
hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara
mantap dan stabil. Sehingga perkembangannya akan lebih bersifat
statis.
2. Faktor luar (lingkungan)
Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang
tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah
justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang
telah ada. Faktor luar antara lain tradisi agama atau pendidikan yang
diterima. Kultur kemasyarakatan yang sudah dikuasai tradisi tertentu
dan berjalan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu
belenggu yang tidak pernah selesai. Kadang-kadang tradisi itu sendiri
tidak ketemu dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan
ada dan bagaimana ceritanya.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan di dalam makalah ini dapat diambil
kesimpulan bahwa rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak bersifat
instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya.
Meskipun seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah, peran orang tua
sangat pengaruh dalam perkembangan agama pada anak. Orang tualah yang
menentukan jenis pendidikan agama apa yang diberikan kepada anaknya.
Bagi orang tua yang tidak memperdulikan agama namun mengharapkan
anaknya akan memperoleh dasar keyakinan agama yang baik, hal itu tidak
memungkinkan.
Selain ditentukan oleh peran orang tua, perkembangan agama pada
anak juga sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman. Seorang anak
yang tidak mendapat pendidikan agama dan tidak pula mempunyai
pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung
terhadap sikap negatif terhadap agama. Dengan demikian nilai-nilai ajaran
agama dalam kehidupan seorang anak sebelum bersekolah, atau sebelum
mereka remaja akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak
itu, sampai ia menjadi dewasa.
Pengembangan nilai agama, moral dalam program pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai/ pembentukan perilaku dalam
mempersiapkan anak sedini mungkin untuk mengembangkan sikap dan
perilaku yang didasari oleh nilai agama dan moral sehingga dapat hidup
sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Pembentukan
perilaku ini berfungsi untuk mencapai beberapa hal:
1) Menanamkan pembiasaan sikap dan perilaku yang didasari
oleh nilai agama dan moral sehingga anak dapat hidup sesuai
dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat.
2) Membantu anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang dan
mandiri.
19
3) Menanamkan budi pekerti yang baik.
4) Melatih anak untuk dapat membedakan sikap dan perilaku yang baik
dan yang tidak baik sehingga dengan sadar berusaha menghindarkan
diri dari perbuatan tercela. Sebagai wahana untuk terciptanya situasi
belajar anak yang berlangsung tertib, aktif, dan penuh perhatian.
5) Melatih anak didik untuk mencintai lingkungan yang bersih dan
sehat.
6) Menanamkan kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis mengharapkan kepada guru/
pembaca agar dapat mengetahui perkembangan moral dan agama pada anak.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah berikutnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
http://enamberita.blogspot.com/2016/10/makalah-perkembangan-agama-
dan-moral.html
https://www.researchgate.net/publication/342332646_Implementasi_Nilai -
nilai_Moral_dan_Agama_pada_Anak_Usia_Dini
21