Anda di halaman 1dari 21

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

PERKEMBANGAN MORAL DAN AGAMA

DISUSUN OLEH:

DOSEN PENGAMPU:

UNIT PROGRAM BELAJAR JARAK JAUH PRABUMULIH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2022

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Perkembangan
Moral dan Agama ini dengan lancar, serta dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktu
yang telah ditentukan.
Penyusun menyadari bahwa terlaksananya ini berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu kami dalam pembuatan makalah Perkembangan Moral dan Agama ini.
Penyusun sangat memahami bahwa apa yang telah di dapatkan selama pembuatan
makalah Perkembangan Moral dan Agama ini belum lah seberapa. Penyusun menyadari
sepenuhnya bahwa makalah Perkembangan Moral dan Agama ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun
sendiri khususnya dan bagi para pembaca yang budiman umumnya.

Prabumulih, Mei 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................iii

ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan dan Manfaat.................................................................................2

BAB II KAJIAN PUSTAKA.......................................................................................3


2.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak.................................3
2.2 Pengertian Agama, Moral, dan Anak......................................................4
2.2.1 Agama..........................................................................................4
2.2.2 Moral............................................................................................5
2.2.3 Anak............................................................................................6
2.3 Perkembangan Agama pada Anak...........................................................7
2.4 Perkembangan Moral pada Anak............................................................8
2.5 Hambatan-hambatan dalam Perkembangan pada Masa Anak...............10

BAB III PENUTUP......................................................................................................12


3.1 Simpulan................................................................................................12
3.2 Saran.....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini perkembangan teknologi sangat gencar sekali. Hal ini
terlihat dari beberapa fenomena terkait barang dan alat-alat teknologi. Salah
satu contoh paling nyata adalah penggunaan telepon seluler atau ponsel.
beberapa tahun yang lalu HP masih menjadi barang yang dianggap mewah
dan hanya orang-orang dari kalangan tertentu yang bisa memilikinya.
Jangan harap orang-orang dari kalangan ekonomi lemah bisa membelinya
karena untuk makan saja pun terkadang pas-pasan. Ketika itu barang ini
menjadi sebuah identitas yang membedakan status sosial seseorang.
Seiring zaman yang terus berkembang, kini telah terjadi pergeseran
yang cukup signifikan. Telepon seluler di era sekarang nampaknya
merupakan barang yang wajib dimiliki oleh setiap orang termasuk orang-
orang yang dikategorikan berpenghasilan rendah. Fenomena sekarang yang
notabene seorang penjual sayur, ojek, bahkan pengamen sekalipun
memilikinya. Hal tersebut karena harga barang teknologi yang satu ini
perlahan mulai merosot seiring persaingan yang terjadi di pasar teknologi.
Hal ini tentunya memiliki dampak positif yang sangat besar, karena
dengan alat tersebut kita menjadi mudah dalam proses berkomunikasi.
Tentunya bukan hanya sebatas  pada telpon seluler saja namun lingkup
teknologi itu sangat luas. Kita ambil contoh lain yaitu internet. Internet
adalah sebuah perkembangan teknologi yang sangat canggih. Di dalamnnya
banyak fitur- fitur atau hal- hal yang bisa mempermudah kita baik dalam
pencarian informasi atau proses komunikasi.
Anak adalah penerus generasi keluarga dan bangsa. Sebagai generasi
penerus, setiap anak perlu mendapat pendidikan yang baik sehingga potensi-
potensi dirinya dapat berkembang dengan pesat, tumbuh menjadi manusia
yang memiliki kepribadian tangguh dan memiliki berbagai macam
kemampuan serta keterampilan yang bermanfaat. Oleh karena itu penting
bagi orang tua dan lembaga-lembaga pendidikan berperan serta bertanggung

4
jawab dalam memberikan berbagai macam stimulasi dan bimbingan yang
tepat sehingga akan tercapai generasi penerus yang tangguh.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan pendidikan bertujuan “mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. (Republik Indonesia, 2003).
Sementara itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
16 Tahun 2007 kompetensi yang harus dimiliki guru adalah “menguasai
karakteristik peserta didik pada aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual”. (Depdiknas, 2007)
Tuntutan kompetensi ini mengharuskan guru untuk mempelajari,
memahami, dan mampu mengimplementasikan konsepsi perkembangan
anak usia dini dan mengarahkannya pada aspek moral, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual yang lebih baik.
Oleh karena itu, kajian terhadap implementasi nilai moral dan agama
bagi anak usia dini, khususnya anak usia 0-6 tahun menjadi sangat penting
dan strategis bagi guru PAUD maupun pengelola PAUD secara
keseluruhan. Mengingat fenomena negatif yang mengemuka dan sering
menjadi tontonan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui media cetak
maupun elektronik dijumpai kasus-kasus anak usia dini sudah mulai meniru
ujaran kebencian (hate speech), berbicara kurang sopan, senang meniru
adegan kekerasan, bahkan meniru perilaku orang dewasa yang belum
semestinya dilakukan anak-anak. Kondisi ini tentu cukup beralasan,
mengingat pada fase ini anak usia 0-6 menurut para ahli berada pada fase
peniruan (imitasi). Jadi, apapun kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar
lingkungan anak dengan sangat cepat diserap dan ditiru untuk dijadikan
sebuah kebiasaan. Jika fenomena-fenomena yang dilihat anak cenderung ke

5
arah negatif maka kecenderungan perilaku menyimpang akan lebih
mengemuka terjadi pada anak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian pertumbuhan dan perkembangan anak ?
2. Apakah pengertian Agama, moral, dan anak ?
3. Bagaimana perkembangan agama pada anak?
4. Bagaimana perkembangan moral pada anak?
5. Bagaimana Hambatan-Hambatan dalam Perkembangan Pada Masa Anak
?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui perkembangan agama pada anak.
2. Mengetahui perkembangan moral pada anak.
3. Mengetahui hambatan-hambatan dalam perkembangan pada masa anak.

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan yang bersifat
kuantitatif atau  mengandung arti adanya perubahan dalam ukuran dan
struktur tubuh sehingga lebih banyak menyangkut perubahan fisik. Selain
itu, pertumbuhan dipandang pula sebagai perubahan secara fisiologis
sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik. Hasil dari
pertumbuhan ini berupa  bertambah panjang tulang-tulang terutama lengan
dan tungkai, bertambah tinggi dan berat badan serta makin bertambah
sempurnanya susunan tulang dan jaringan  syaraf. Pertumbuhan ini akan
terhenti setelah adanya maturasi atau kematangan pada diri individu.
Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan adalah suatu perubahan
yang bersifat kualitatif yaitu berfungsi tidaknya organ-organ tubuh.
Perkembangan dapat juga dikatakan sebagai suatu urutan perubahan yang
bersifat saling mempengaruhi antara aspek-aspek fisik dan psikis dan
merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh, anak diperkenalkan
bagaimana cara memegang pensil, membuat huruf-huruf dan diberi latihan
oleh orang tuanya. Kemampuan belajar menulis akan mudah dan cepat
dikuasai anak apabila proses latihan diberikan pada saat otot-ototnya telah
tumbuh dengan sempurna, dan saat untuk memahami bentuk huruf telah
diperoleh.
Dalam kamus bahasa indonesia kontemporer, perkembangan adalah
perihal berkembang. Selanjutnya, kata berkembang diartikan mekar,
terbuka, membentang, menjadi besar, luas, banyak dan menjadi bertambah
sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan dan lain sebagainya.
Sedangkan pengertian perkembangan menurut istilah asingnya adalah
development, merupakan rangkaian perubahan yang bersifat progresif dan
teratur dari fungsi jasmaniah dan rohaniah, sebagai akibat kerjasama antara
kematangan (maturation) dan pelajaran (learning).

7
Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkembangan tidaklah terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin
membesar, melainkan didalamnya juga terkandung serangkaian perubahan
yang berlangsung secara terus menerus yang bersifat tetap dari fungsi fungsi
jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan
melalui pertumbuhan, pemasakan, dan belajar.
Perkembangan dalam konteks psikologi diartikan sebagai proses yang
terjadi secra terus menerus atau berkesinambungan dan juga perubahan yang
terjadi di dalam individu secara sistematis (Shaffer & Kipp, 2014). Adapun
karakteristik perkembangan di antaranya adalah perkembangan itu:
1) Sepanjang hayat.
2) Multidimensional.
3) Multiarah.
4) Seperti plastisin.
5) Kontekstual.

Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk dan ciri-ciri kemampuan


baru yang berlangsung dari tahap aktivitas yang sederhana ketahap yang
lebih tinggi. Perkembangan itu bergeraak secara berangsur angsur tetapi
pasti, melalui suatu bentuk/tahap kebentuk atau tahap/bentuk berikutnya,
yang kian hari kian bertambah maju, mulai dari masa pembuahan dan
berakhir dengan kematian.

Dalam masa perkembangan, anak diharapkan dapat menguasaikan


kemampuan  sebagai berikut.
1. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan.
Anak pada masa ini senang sekali bermain, untuk itu diperlukan
keterampilan-keterampilan fisik seperti menangkap, melempar,
menendang bola, berenang, atau mengendarai sepeda.
2. Pengembangan sikap yang menyeluruh terhadap diri sendiri
sebagai individu yang sedang berkembang. Pada masa ini anak
dituntut untuk mengenal dan dapat memelihara kepentingan dan

8
kesejahteraan dirinya. Dapat memelihara kesehatan dan
keselamatan diri, menyayangi diri, senang berolah raga serta
berekreasi untuk menjaga kesehatan dirinya.
3. Belajar berkawan dengan teman sebaya. Pada masa ini anak
dituntut untuk mampu bergaul, bekerjasama dan membina
hubungan baik dengan teman sebaya, saling menolong dan
membentuk kepribadian sosial
4. Belajar menguasai keterampilan-keterampilan intelektual dasar
yaitu membaca, menulis dan berhitung. Untuk melaksanakan
tugasnya di sekolah dan perkembangan belajarnya lebih lanjut,
anak pada awal masa ini belajar menguasai kemampuan
membaca, menulis dan berhitung.
5. Pengembangan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari. Agar dapat menyesuaikan diri dan berperilaku sesuai
dengan tuntutan dari lingkungannya, anak dituntut telah memiliki
konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
6. Pengembangan moral, nilai dan hati nurani. Pada masa ini anak
dituntut telah mampu menghargai perbuatan yang sesuai dengan
moral dan dapat melakukan kontrol terhadap perilakunya sesuai
dengan moral.
7. Memiliki kemerdekaan pribadi. Secara berangsur-angsur pada
masa ini anak dituntut memiliki kemerdekaan pribadi. Anak
mampu memilih, merencanakan, dan melakukan pekerjaan atau
kegiatan tanpa tergantung pada orang tua atau orang dewasa lain.
8. Pengembangan sikap terhadap lembaga dan kelompok sosial.
Anak diharapkan telah memiliki sikap yang tepat terhadap
lembaga dan unit atau kelompok sosial yang ada dalam
masyarakat.

9
2.2 Pengertian Agama, Moral, dan Anak
2.2.1 Agama
“Agama” berasal dari bahasan Sansakerta, “gam” artinya pergi;
kemudian setelah mendapatkan awalan dan akhiran “a” menjadi “agama”,
artinya menjadi jalan. Gam dalam bahasa Sansakerta ini mempunyai
pengertian yang sama dengan to go (Inggris), gehen (Jerman), dan gaan
(Belanda) yang artinya juga “pergi”. Menurut Bahrun Rangkuti, agama
berasal dari kata “a-gama”. Arti “a” panjang ialah cara atau the way;
sedangkan “gama” berasal dari kata Indojerman “gam” berarti sama
dengan kata Inggris to go, yaitu berjalan atau pergi. Jadi agama artinya
adalah cara-cara berjalan atau cara-cara untuk sampai pada keridlaan Tuhan.
Dengan demikian, agama dirumuskan sebagai suatu jalan yang harus diikuti
agar orang sampai ke suatu tujuan yang suci dan mulia (Kurnia, 2015).
Pendapat lain mengatakan juga bahwa agama berasal dari bahasa
Sansakerta, yakni “a” yang artinya tidak, dan “gam” artinya pergi, berubah,
atau bergerak. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa agama (maksudnya
ajarannya) merupakan sesuatu yang tidak berubah, atau sesuatu yang kekal
abadi.
Masih berkaitan dengan pengertian agama, ada juga pendapat bahwa
agama berasal dari kata “a” artinya tidak, dan “gama” artinya kacau. Jadi
agama artinya sesuatu yang tidak kacau. Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa agama adalah:
a. Jalan yang harus diikuti supaya orang sampai ke tujuan
b. Cara-cara berjalan atau cara-cara agar sampai ke suatu tujuan
yang diridlai Tuhan
c. Sesuatu yang membuat tidak kacau (suatu tuntunan yang tidak
membuat kacau manusia atau sesuatu yang menertibkan hidup)
Adapun yang dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama
memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu
membandingkan tingkah lakunya, agama dapat menstabilkan tingkah laku
dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada

10
di dunia ini, agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi
remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.

2.2.2 Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan,
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Pengertian moral, menurut Suseno dalam (Kurnia, 2015) adalah
ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai
warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah
pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral dan manusiawi.
Sedangkan menurut Ouska dan Whellan (Kurnia, 2015), moral adalah
prinsip baik-buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang.
Walaupun moral itu berada dalam diri individu, tetapi moral berada dalam
suatu sistem yang berwujud aturan. Moral dan moralitas memiliki sedikit
perbedaan, karena moral adalah prinsip baik-buruk sedangkan moralitas
merupakan kualitas pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, hakekat
dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral
dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.
Ada beberapa pakar yang mengembangkan pembelajaran nilai moral,
dengan tujuan membentuk watak atau karakteristik anak. Pakar-pakar
tersebut diantaranya adalah Newman, Simon, Howe, dan (Lickona, 1992).
Dari beberapa pakar tersebut, pendapat (Lickona, 1992) yang lebih cocok
diterapkan untuk membentuk watak/ karater anak. Pandangan (Lickona,
1992) tersebut dikenal dengan educating for character atau pendidikan
karakter/watak untuk membangun karakter atau watak anak. Dalam hal ini,
Lickona mengacu pada pemikiran filosofi Michael Novak yang berpendapat
bahwa watak/ karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek yaitu, moral
knowing, moral feeling, dan moral behavior, yang satu sama lain saling
berhubungan dan terkait. Lickona menggarisbawahi pemikiran Novak. Ia
berpendapat bahwa pembentukan karakter/watak anak dapat dilakukan

11
melalui tiga kerangka pikir, yaitu konsep moral (moral knowing), sikap
moral (moral feeling), dan prilaku moral (moral behavior). Dengan
demikian, hasil pembentukan sikap karekter anak pun dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.

2.2.3 Anak
Adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak
membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan
kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa
orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang
normal. Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi
yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal
dari lingkungan. Augustinus (dalam Suryabrata, 1987), yang dipandang
sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak
tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk
menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih
mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan
yang bersifat memaksa.
Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai
pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan
segala keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa
anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang
dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari
keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah
laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan
bersama.

2.3 Perkembangan Agama pada Anak


Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan anak-anak itu
mengalami beberapa fase (tingkatan). Didalam bukunya The Thevelopment

12
of religious on children ia mengatakan bahwa perkembangan pada anak-
anak itu  melalui tiga tingkatan :
1) The fairy stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai anak yang berusia 3-6 tahun, pada tingkatan
ini konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan
emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-
Tuhanan sesuai dengan tingkat intelektualnya.

2) The realistic stage (tingkat kenyataan)


Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar sampai ke
usia (masa usia) adolensense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak
sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada
kenyataan (realis). Konsep ini melalui lembaga-lembaga keagamaan
dan pengajarn agama dari orang dewasa lainnya.

3) The individual stage (tingkat individu)


Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling
tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep ini terbagi
menjadi tiga :
a. Konsep ketuhanan yang konvesional dan konservatif dengan
dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh
pengaruh luar.
b. Konsep ke-Tuhanan yang murni yang dinyatakan dalam
pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ke-Tuhanan yang humanistik. Agama telah menjadi etos
humanistik pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor intern  yaitu perkembangan
usia dan faktor ekstern  berupa pengaruh luar yang dialaminya.
Menurut Darajat (Kurnia, 2015), pertumbuhan agama telah muncul
ketika anak belum bisa bicara. Sebelum anak belum bisa bicara anak telah
dapat melihat dan mendengarkan kata-kata yang sering diucapkan orang
tuanya yang semula tidak mendapatkan perhatian dari anak-anak dan tidak

13
mempunyai arti apa-apa, jika sering diucapkan dan terdengar oleh mereka
maka akan menjadi pusat perhatiannya. Demikian juga sikap, mimik, dan
situasi, saat orang tua mengucapkannya lambat laun akan diamatinya, dan
selanjutnya ditirunya. Pada saat demikian, si anak belum mengerti tentang
agama dan belum tahu tentang Tuhan. Tetapi anak telah tumbuh untuk
memasuki kehidupan beragama.
Secara umum tujuan pengembangan nilai agama pada diri anak adalah
meletakkan dasar-dasar keimanan dengan pola takwa kepada-Nya dan
keindahan akhlak, cakap, percaya pada diri sendiri, serta memiliki kesiapan
untuk hidup di tengah-tengah dan bersama-sama dengan masyarakat untuk
menempuh kehidupan yang diridhai-Nya.
Adapun tujuan khusus pengembangan nilai agama pada anak-anak
usia prasekolah yaitu:
a. Mengembangkan rasa iman dan cinta terhadap Tuhan
b. Membiasakan anak-anak agar melakukan ibadah kepada Tuhan
c. Membiasakan agar perilaku dan sikap anak didasari dengan nilai-
nilai agama
d. Membantu anak agar tumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan

2.4 Perkembangan Moral pada Anak


Perkembangan moral pada dasarnya merupakan interaksi, suatu
hubungan timbal balik antara anak dengan anak, antara anak dengan orang
tua, antara peserta peserta didik dengan pendidik, dan seterusnya. Unsur
hubungan timbal balik ini sedemikian penting karena hanya dengan adanya
interaksi berbagai aspek dalam diri seseorang (kognitif, afektif,
psikomotorik) dengan sesamanya atau dengan lingkungannya, maka
seseorang dapat berkembang menjadi semakin dewasa baik secara fisik,
spiritual dan moral (Sjakarwi, 2006). Dengan interaksi maka kesejajaran
perkembanagan moral, kognitif dan inteligensi akan terjadi secara harmonis.
Hal itu sejalan dengan dengan pandangan Piaget bahwa intelegensi
berkembang sebagai akibat hubungan timbal balik antara unsur keturunan

14
dan lingkungan, hubungan itu begitu menentukan sama halnya dlam
perkembangan moral seseorang.
Perkembangan merupakan proses dinamis yang umum dalam setiap
budaya. Moral berkembang menurut serangkaian tahap perkembangan
psikologis. Kohlberg telah menunjukkan dengan penelitiannya bahwa tahap-
tahap perkembangan moral berlaku sama bagi setiap orang, tidak
memandang lingkup budaya, tempat, kelas dalam masyarakat, kasta dan
agama. Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg menunjukkan
suatu tingkatan sistematis , urutan bertahap, dari tingkat prakonvensional
sampai pascakonvensional. Itu berarti bahwa perkembangan pengertian dan
pertimbangan moral dibatasi oleh perkembangan umur dan tahapan. Isi
pertimbangan moralnya dapat berbeda-beda, namun kerangka berpikir
pertimbangannya sama, begitu juga urutan tahap perkembangannya sama.
Memang jarang ada orang yang perkembangan moralnya mencapai tahap
lima atau enam, karena perkembangan pendewasaan moral itu tidak terjadi
dengan sendirinya secara otomatis. Orang harus mengembangkannya
sendiri. Partisipasi dalam peran-peran sosial serta hubungan antarpribadi
yang dialami seseorang amat menentukan proses perkembangan
kedewasaan moralnya. Pengalaman itulah yang akan mengajar mereka
untuk berkembang mencapai tahap terakhir.
Perkembangan moral itu bertahap, artinya kedewasaan moral
seseorang hanya dapat meningkat satu tahap lebih tinggi keatasnya.
Kedewasaan moral tahap kedua hanya dapat memahami pertimbangan
moral tahap keempat. Tiap tahap yang lebih tinggi selalu lebih umum dan
kurang berpusat pada diri sendiri serta menghendaki sedikit saja
rasionalisasi. Oleh sebab itu, pendidikan moral tidak banyak artinya jika
materi tentang tahap-tahap tentang kedewasaan moral disampaikan hanya
dengan ceramah, tanpa mengajak peserta didik mengalami sendiri tingkat
kedewasaan tiap tahap dan bagaimana dapat berkembang ke satu tingkat
diatasnya (Cheppy, 1988).
Menurut (Kohlberg, 1995), perkembangan moral anak usia prasekolah
berada pada tingkatan yang paling dasar, yaitu penalaran moral

15
prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum menunjukkan
pengembangan nilai-nilai moral. Pertimbangan moralnya didasarkan pada
akibat-akibat yang bersifat fisik dan hedonistik. Ada 4 (empat) area
perkembangan yang perlu ditingkatkan dalam kegiatan pengembangan atau
pendidikan usia prasekolah, yaitu perkembangan fisik, sosial emosional,
kognitif dan bahasa.
Di dalam perkembangan moral pada anak, terdapat beragai teori
seperti :
1) Teori psikoanalisa
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa
dengan pembagian struktur kepribadian manusia ada tiga, yaitu id, ego
dan superego. Menurut psikolanalisa klasik freud, semua orang
mengalami konflik oedipus. Konflik ini akan menghasilkan
pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan freud sebagai
superego. Ketika anak mengatasi konflik oedipus ini, maka
perkembangan moral dimulai. Salah satu alasan mengapa anak
mengatasi konflik oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan
kasih sayang orang tua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan
seksual mereka yang tidak dapat diterima terhadap orang tua yang
berbeda jenis kelamin
2) Teori belajar sosial
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons
atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman,
peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
3) Teori kognitif piaget
Teori piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip
prinsip dan proses proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif
yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi
piaget, perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan.
Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima
dan menaati sistem peraturan.
4) Teori kohlberg

16
Teori kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas,
modifikasi, dan redefeni atas teori piaget. Teori ini didasarkan atas
analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10
hingga 16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral, dimana
mereka harus memilih antara tindakan mentaati peraturan atau
memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan
peraturan.

2.5 Hambatan-hambatan dalam Perkembangan pada Masa Anak


Di dalam menuju kedewasaan beragaman, maka akan terjadi hal-hal
yang kadang-kadang mengganggu perkembangan pada anak. Perkembangan
memerlukan waktu, karena kedewasaan beragama tidak terjadi secara tiba-
tiba. Dan juga perkembangan tersebut tidaklah monoton, tetapi banyak
variasi secara berirama dijumpai di dalamnya. Menurut M. Hafi Anshari
dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Ilmu Jiwa
Agama” menyebutkan dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan,
yaitu:
1. Faktor diri sendiri
Dalam hal ini ada dua yang menonjol yaitu kapasitas diri dan
pengalaman. Kapasitas diri berupa kemampuan ilmiah (ratio) dalam
menerima ajaran-ajaran agama. Di sini akan terlihat perbedaan antara
anak yang mampu dan kurang mampu dalam menerima agama. Bagi
yang mampu menerima dengan rationya, mereka akan menghayati dan
kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama itu dengan baik.
Namun lain lagi dengan anak yang kurang mampu menerima
dengan rationya, dia akan lebih banyak terganggu kepada kondisi
masyarakat yang ada. Dalam keaktifan berbuat melakukan perbuatan
religious sebenarnya mereka penuh keraguan dan kebimbangan,
sehingga apabila terjadi perubahan-perubahan, maka perubahan

17
tersebut tidaklah melalui prose berpikir sebelumnya, tetapi lebih
bersifat emosional.
Di samping kemampuan rasional, kemampuan emosional juga
akan berpengaruh terhadap perkembangan rasa keagamaan anak,
seperti dihinggapi rasa enggan untuk mengerjakan kelakuan-kelakuan
keagamaan atau keengganan merubah dari sesuatu yang sebenarnya
tidak diyakini (ragu) kepada yang tidak diragukan karena rasa
solidaritas yang terlalu besar.
Termasuk juga faktor diri sendiri adalah pengalaman yang
dimiliki. Semakin banyak dan luas pengalaman seseorang dalam
bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam
mengerjakan kelakuan-kelakuan religius, tetapi bagi anak yang
mempunyai pengalaman sedikit dan sempit maka dia akan mengalami
berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan kepada
hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara
mantap dan stabil. Sehingga perkembangannya akan lebih bersifat
statis.
2. Faktor luar (lingkungan)
Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang
tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah
justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang
telah ada. Faktor luar antara lain tradisi agama atau pendidikan yang
diterima. Kultur kemasyarakatan yang sudah dikuasai tradisi tertentu
dan berjalan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu
belenggu yang tidak pernah selesai. Kadang-kadang tradisi itu sendiri
tidak ketemu dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan
ada dan bagaimana ceritanya.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan di dalam makalah ini dapat diambil
kesimpulan bahwa rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak bersifat
instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya.
Meskipun seorang anak terlahir dalam keadaan fitrah, peran orang tua
sangat pengaruh dalam perkembangan agama pada anak. Orang tualah yang
menentukan jenis pendidikan agama apa yang diberikan kepada anaknya.
Bagi orang tua yang tidak memperdulikan agama namun mengharapkan
anaknya akan memperoleh dasar keyakinan agama yang baik, hal itu tidak
memungkinkan.
Selain ditentukan oleh peran orang tua, perkembangan agama pada
anak juga sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman. Seorang anak
yang tidak mendapat pendidikan agama dan tidak pula mempunyai
pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung
terhadap sikap negatif terhadap agama. Dengan demikian nilai-nilai ajaran
agama dalam kehidupan seorang anak sebelum bersekolah, atau sebelum
mereka remaja akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak
itu, sampai ia menjadi dewasa.
Pengembangan nilai agama, moral dalam program pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai/ pembentukan perilaku dalam
mempersiapkan anak sedini mungkin untuk mengembangkan sikap dan
perilaku yang didasari oleh nilai agama dan moral sehingga dapat hidup
sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Pembentukan
perilaku ini berfungsi untuk mencapai beberapa hal:
1) Menanamkan pembiasaan sikap dan perilaku yang didasari
oleh nilai agama dan moral sehingga anak dapat hidup sesuai
dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat.
2) Membantu anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang dan
mandiri.

19
3) Menanamkan budi pekerti yang baik.
4) Melatih anak untuk dapat membedakan sikap dan perilaku yang baik
dan yang tidak baik sehingga dengan sadar berusaha menghindarkan
diri dari perbuatan tercela. Sebagai wahana untuk terciptanya situasi
belajar anak yang berlangsung tertib, aktif, dan penuh perhatian.
5) Melatih anak didik untuk mencintai lingkungan yang bersih dan
sehat.
6) Menanamkan kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis mengharapkan kepada guru/
pembaca agar dapat mengetahui perkembangan moral dan agama pada anak.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah berikutnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Felicia, Nisa. 2021. Perkembangan Peserta Dididk (edisi ke-2). Jakarta: PT


Macananjaya Cemerlang.

http://enamberita.blogspot.com/2016/10/makalah-perkembangan-agama-
dan-moral.html

https://www.researchgate.net/publication/342332646_Implementasi_Nilai -
nilai_Moral_dan_Agama_pada_Anak_Usia_Dini

21

Anda mungkin juga menyukai