Anda di halaman 1dari 324

MAKALA

ANALISI ELEMENT VEKTOR

DISUSUN OLEH

NAMA KELOMPOK :1. ZADZA AZARAH RASYID

2. JASMINRA KULU PAEMBONAN

3. AGUNG SELAMAT GINTING

4. SABILLAN

5. BELLA AULIYA

6. ASWADI

7. SYAIFUL

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN


JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “analisis elemen vektor”. Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan

makalah ini. Tentunya tidak akan maksimal jika tidak mendapatkan dukungan dari berbagai

pihak. Sebagai penulis, kami menyadari masih terdapat kekurangan, baik dalam penyusunan

maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, dengan rendah hati kami

menerima saran dan kritik dari para pembaca agar makalah ini dapat kami perbaiki. Semoga

makalah-makalah yang telah kami susun dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi para

pembaca.

Kendari, 11 maret, 2023

Kelompok 1 (A)
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbicara mengenai fungsi vektor, ada baiknya jika kita mengetahui apa itu vektor.

Dalam fisika kita mengenal vektor sebagai besaran yang memiliki besar dan arah. Sedangkan

dalam matematika, vektor merupakan anggota ruang vektor. Secara geometris, vektor dapat

diwakili oleh segmen garis berarah. Panjang ruas garis menunjukkan besarnya vektor dan panah

menunjukkan arah vektor.

Pada dasarnya, setiap bagian dari matematika memiliki fungsinya masing-masing. Baik

fungsi matematisnya, penerapannya dalam kehidupan maupun kaitannya dengan ilmu agama.

Vektor tidak terkecuali. Secara matematis, terkadang kita mengatakan bahwa fungsi vektor

A(x,y,z) mendefinisikan medan vektor karena ia mengasosiasikan vektor dengan setiap titik di

suatu area. Sedangkan dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, fungsi vektor misalnya

dalam hal teknologi GPS. Sedangkan dari segi agama, vektor dapat menunjukkan betapa

mulianya Tuhan yang telah menciptakan alam semesta dan manusia dengan sempurna.

Terkadang, muncul pertanyaan dari kalangan mahasiswa, dimana mereka menanyakan

apa tujuannya, atau apa pentingnya bagi kita mempelajari bidang pembelajaran semacam ini?

Vektor, fungsi vektor, turunan fungsi vektor, bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita tidak

ditanya apa itu vektor? Atau mereka tidak akan bertanya, berapakah hasil turunan vektor berikut.

terdengar lucu memang, namun akan lebih baik jika kita bisa menjelaskan sedikit bagaimana

penerapan vektor ini dalam kehidupan manusia. Jadi belajar itu tidak sia-sia. Oleh karena itu,

penulis akhirnya memutuskan untuk membahas Fungsi Vektor dari segi matematika, dalam

aplikasi sehari-hari dan dalam agama.


1.2 Perumusan Masalah

1. apa yang dimaksud dengan elemen analisis vektor?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Menulis

1. mengetahui apa yang dimaksud dengan elemen analisis vektor


BAB II
PENDAHULUAN
SAIFUL

II. 1 Analisi Elemen Vektor


Landasan teori potensial dalam geofisika didasarkan pada potensi skalar dan vektor,
catatan pengantar singkat tentang analisis vektor diberikan. Selain pendahuluan aljabar vektor,
divergensi gradien dan curl didefinisikan. Teorema divergensi Gauss untuk mengubah integral
volume menjadi integral permukaan dan teorema Stoke untuk mengubah integral permukaan
menjadi integral garis diberikan. Beberapa relasi terkenal dalam analisis vektor diberikan sebagai
referensi siap pakai.

II.2 Skalar Dan Vektor


Dalam analisis vektor, kita kebanyakan berurusan dengan skalar dan vektor.
Skalar: Besaran yang hanya dapat diidentifikasi dengan besaran dan tandanya disebut sebagai
skalar. Seperti misalnya jarak suhu, massa dan perpindahan adalah skalar.
Vektor: Besaran yang memiliki besaran, arah, dan pengertian disebut sebagai vektor. Sebagai
contoh: Gaya, medan, kecepatan dll adalah vektor.
II.3 Sifat Vektor
 ⃗ adalah vector⃗⃗⃗⃗
Tanda vector jika 𝐴𝐵 ⃗
𝑉 maka 𝐵𝐴 adalah vector- 𝑉
 Jumlah dari dua vector (fig.1.1)
⃗⃗⃗⃗⃗ + 𝐵𝐶
𝐴𝐵 ⃗⃗⃗⃗⃗ = 𝐴𝐶
⃗⃗⃗⃗⃗
⃗⃗⃗
AB⃗⃗⃗⃗ + ⃗⃗⃗⃗
BC ⃗⃗⃗⃗ = ⃗⃗⃗⃗⃗⃗
BC + ⃗⃗⃗⃗⃗⃗⃗
AB
 Perbedaan dua vaaktor
⃗ = 𝐴 + (−𝐵
𝐴−𝐵 ⃗)
1. analisis element vektor

Fig. 1.1 menunjukkan resultan dua vektor

𝐴 = 𝑏𝐶

yaitu, produk dari vektor dan skalar adalah vector


 Satuan vektor
Vektor satuan didefinisikan sebagai vektor dengan besaran satuan sepanjang ketiganya
arah yang saling tegak lurus 𝑖, ⃗𝑗, ⃗⃗𝑘. Komponen vektor bersama arah x, y, z dalam
koordinat Cartesian adalah

𝐴 = 𝑖𝐴𝑥 + 𝑗𝐴𝑦 + 𝑘⃗𝐴𝑧 .

 Komponen Vektor: Tiga skalar 𝐴𝑥 , 𝐴𝑦 , dan 𝐴𝑧 adalah tiga komponen dalam sistem
koordinat cartisian (fig. 1.2). besarnya vector A adalah |A|

√𝐴𝑥2 + 𝐴𝑦2 + 𝐴𝑧2

 Ketika A membuat sudut tertentu α, β dan γ dengan tiga arah yang saling tegak lurus x, y
dan z, cosinus dari sudut-sudut ini masing-masing adalah diberikan oleh (fig. 1.3)

Fig.1.2 Menunjukkan tiga komponen vektor dalam sistem koordinat Cartesian


SABILLAN

Fig.1.3 Menunjukkan arah cosinus vector

𝐴𝑥 𝐴𝑦 𝐴𝑧
cos 𝛼 = , cos 𝑑𝑎𝑛 cos 𝛾 = .
𝐴 𝐴 𝐴

Secara umum cos α, cos β, cos γ dilambangkan sebagai lx, ly dan lz dan mereka adalah
dikenal sebagai kosinus arah.

 Perkalian skalar atau perkalian titik: Perkalian skalar dari dua vektor adalah a skalar dan
diberikan oleh (fig.1.4)
𝐴. 𝐵 = 𝐴𝐵 cos 𝜃
yaitu produk dari dua vektor dikalikan dengan cosinus dari sudut antara kedua vektor.
Beberapa sifat produk dot adalah

a) 𝐴. 𝐵 = 𝐵. 𝐴,

b) 𝑖. ⃗ 𝑘⃗ = 𝑘⃗. 𝑖= 0 dan
⃗ 𝑗 = 𝑗.

⃗ .𝐾
c) 𝑖. 𝑖 = 𝑗. 𝐽 = 𝐾 ⃗ = 1.

Di sini i, j, k adalah vektor satuan dalam tiga arah yang saling tegak lurus.

d.) 𝐴. 𝐵 = 𝐴𝑥 𝐵𝑥 + 𝐴𝑦 𝐵𝑦 + 𝐴𝑧 𝐵𝑧.

 Perkalian vektor atau perkalian silang:


Perkalian silang atau perkalian vektor dari dua vektor adalah vektor dan arahnya tegak
lurus dengan arah kedua vektor tersebut (fig.1.5)
𝐴

Fig.1.4. Menampilkan produk skalar dari dua vector

1.Element of vector analysis

AxB

Fig.1.5. Menunjukkan produk vektor dari dua vector


|𝐴 × 𝐵 = 𝐴𝐵 sin ψ
di mana ψ adalah sudut antara dua vektor A dan B.
Beberapa sifat perkalian silang adalah
⃗ = −𝐵
a) 𝐴 × 𝐵 ⃗ × 𝐴,

b) 𝐴 × 𝐴 = 0,
c) 𝑖 × 𝑗 = 𝑘⃗,
d) 𝑗 × 𝑘⃗ = 𝑖,
e) 𝑘⃗ × 𝑖 = 𝑗,
f) 𝑖 × 𝑖 = 0,
g) 𝑗 × 𝑗 = 0,
h) 𝑘⃗ × 𝑘⃗ = 0 𝑑𝑎𝑛
⃗ = (𝐴𝑦 𝐵𝑧 − 𝐴𝑧 𝐵𝑦 )𝑖 + (𝐴𝑧 𝐵𝑥 − 𝐴𝑥 𝐵𝑧 )𝑗 + (𝐴𝑥 𝐵𝑦 − 𝐴𝑦 𝐵𝑥 )𝑘⃗.
i) 𝐴 × 𝐵
Dalam bentuk matriks, dapat ditulis sebagai
𝑖 𝑗 𝑘⃗

𝐴 × 𝐵 = |𝐴𝑥 𝐴𝑦 𝐴𝑧 |.
𝐵𝑥 𝐵𝑦 𝐵𝑧
1.3 Gradien Skalar
Gradien skalar didefinisikan sebagai tingkat maksimum perubahan skalar apapun
berfungsi sepanjang arah tertentu dalam domain ruang. Gradiennya adalah a operasi matematika.
Ini beroperasi pada fungsi skalar dan menjadikannya vektor. Jadi gradien memiliki arah. Arah ini
bertepatan dengan arah kemiringan maksimum atau laju perubahan maksimum fungsi skalar apa
pun. Misalkan φ(x, y, z) adalah fungsi skalar posisi dalam ruang koordinat x, y, z. Jika
koordinatnya ditambah dengan dx, dy dan dz, (fig. 1.6) then

𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
𝑑𝜙 = 𝑑𝑥 + 𝑑𝑦 + 𝑑𝑧
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
1.3 gradian of a scalar

𝑢 + 𝑑𝑢
𝑝(𝑥 + 𝑑𝑥, 𝑦 + 𝑑𝑦, 𝑧 + 𝑑𝑧)

u 𝑝(𝑥, 𝑦, 𝑧)

fig.1.6. Perubahan posisi fungsi skalar dalam suatu bidang

Jika kita mengasumsikan perpindahan menjadi dr, maka


⃗⃗⃗⃗
𝑑𝑟 = 𝑖𝑑𝑥 + 𝑗𝑑𝑦 + 𝑘⃗𝑑𝑧
Dalam aljabar vektor, operator diferensial ∇ didefinisikan sebagai
𝜕 𝜕 𝜕
⃗=𝑖
∇ +𝑗 + 𝑘⃗
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
dan gradien fungsi skalar didefinisikan sebagai
𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜙 = 𝑖 +𝑗 + 𝑘⃗ .
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
Operator ∇ juga ketika beroperasi pada fungsi skalar φ(x, y, z), kita dapatkan
𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
⃗𝜙=𝑖
∇ +𝑗 + 𝑘⃗
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
Dimana , 𝑑𝑎𝑛 𝜕𝑧 adalah tingkat perubahan fungsi skalar sepanjang tiga arah yang saling
𝜕𝑥 𝜕𝑦

tegak lurus. Kita sekarang bisa menulis

Fig.1.7. Gradien fungsi skalar, arah laju perubahan maksimum fungsi: Ortogonal terhadap garis
atau permukaan ekuipotensial
𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
𝑑𝜙 = (𝑖 +𝑗 + 𝑘⃗ ) (𝑖𝑑𝑥 + 𝑗𝑑𝑦 + 𝑘⃗𝑑𝑧) = (∇. 𝜙). 𝑑𝑟
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
di mana dr sepanjang normal fungsi skalar 𝜙(𝑥, 𝑦, 𝑧) = konstanta. Kami dapatkan gradien fungsi
skalar sebagai 𝑑𝜙 = (𝛻𝜙). 𝑑𝑟 = 0, ketika vector 𝛻𝜙 normal terhadap permukaan 𝜙 =
konstan. Ini juga disebut sebagai grad 𝜙 atau gradien 𝜙. (fig.1.7)

ZADZA AZ ZAHRA RASYID

1.4 Divergensi vector


Divergensi suatu vektor adalah perkalian skalar atau titik dari operator vektor ∇ dan
vektor A memberikan skalar. Itu adalah
𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑧
∇. 𝐴 = + + = 𝑑𝑖𝑣𝐴
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
Konsep divergensi ini berasal dari dinamika fluida. Pertimbangkan cairan dari kerapatan
𝜌(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡) mengalir dengan kecepatan 𝑉 (𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡). dan misalkan 𝑉 = 𝑣𝜌. 𝑣 adalah volume.
Jika S adalah penampang permukaan bidang (Gbr. 1.8) maka V.S adalah massa fluida yang
mengalir melalui permukaan dalam satuan waktu (Pipa, 1958).
Mari kita asumsikan paralelepiped kecil dengan dimensi dx, dy dan dz. Massa fluida
yang mengalir melalui permukaan 𝐹1 per satuan waktu adalah 𝑉𝑦 𝑑𝑥 𝑑𝑧 = (𝜌𝑣)𝑦 𝑑𝑥𝑑𝑧(𝑆 =
𝑑𝑥𝑑𝑧).
Cairan keluar dari wajah 𝐹2

Fig.1.8. Inflow dan out aliran fluida melalui parallelepiped untuk menunjukkan divergensi dari
sebuah vector

𝜕𝑉𝑦
Vy+dy dx dz = dx dz(𝑉𝑦 + ). (1.21)
𝜕𝑦

Oleh karena itu peningkatan bersih massa fluida per satuan waktu adalah
𝜕𝑉𝑦 𝜕𝑉𝑦
Vy dx dz −(𝑉𝑦 + 𝜕𝑦
) dx dz =
𝜕𝑦
dxdydz. (1.22)

Mempertimbangkan peningkatan massa cairan per satuan waktu yang masuk melalui dua pasang wajah
lainnya, kami memperoleh

𝜕𝑉𝑥 𝜕𝑉𝑦 𝜕𝑉𝑧


−( + + ) dxdydz = −(∇. V)dx dy dz (1.23)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧

sebagai peningkatan total massa cairan per satuan waktu. Menurut prinsip kekekalan materi, ini harus
sama dengan laju peningkatan kepadatan dengan waktu dikalikan dengan volume paralelepiped.

Maka
𝜕𝜌
−(∇. V)dx dy dz = ( ) dx dy dz.
𝜕𝑡
(1.24)

Jadi
𝜕𝜌
∇. V =− 𝜕𝜌 . (1.25)

Ini dikenal sebagai persamaan kontinuitas dalam medan aliran fluida. Konsep ini juga berlaku di bidang
lain, yaitu medan aliran arus searah, medan aliran panas dll. Divergensi mewakili aliran di luar volume
apakah itu muatan atau massa. Divergensi vektor adalah produk titik antara operator vektor ∇ dan vektor
V dan pada akhirnya menghasilkan skalar.

1.5 Integral Permukaan

Pertimbangkan permukaan seperti yang ditunjukkan pada (Gbr. 1.9). Permukaan dibagi menjadi vektor
representatif ds 1, ds 2, ds3.... dll (Pipa, 1958).

Biarkan V 1 menjadi nilai fungsi vektor posisi V1(x, y, z) pada dsi .


Kemudian
lim ∑𝑛
𝑉 = (1,26)∬ 𝑉. 𝑑𝑆. (1.26)
∆𝜎 → 0 𝑖=1 𝑖 𝑑𝑆𝑖
𝑛→∞

Tanda integral tergantung pada wajah permukaan mana yang diambil positif. Jika permukaan ditutup,
normal luar dianggap positif.
Sejak
𝑑𝑆⃗⃗⃗ = 𝑖𝑑𝑆𝑥 + + . (1.27)𝑗𝑑𝑆𝑦 𝑘⃗𝑑𝑆𝑧 (1.27)

Kita bisa menulis

Gambar. 1.9. Menunjukkan integral permukaan sebagai vektor

∫ ∫𝑆 𝑉. 𝑑𝑠 = ∬𝑆 (𝑉𝑥 𝑑𝑠𝑥 + 𝑉𝑦 𝑑𝑠𝑦 + 𝑉𝑧 𝑑𝑠𝑧 ). (1.28)

Integral permukaan vektor V disebut sebagai fluks V melalui permukaan.


JASMINRA KULU PAEMBONAN

1.6 Teorema Divergensi Gauss

Teorema divergensi Gauss menyatakan bahwa integral volume divergensi vektor A yang diambil alih
volume V sama dengan integral permukaan A yang diambil alih permukaan tertutup yang mengelilingi
volume V, yaitu,

∭𝑉 (∇. 𝐴 ) dv = Ds. (1.29)

∬𝑆 ⃗⃗⃗
𝐴.

Oleh karena itu ini adalah hubungan penting dimana seseorang dapat mengubah integral volume menjadi
integral permukaan dan sebaliknya. Kita akan melihat seringnya penerapan teorema ini dalam teori
potensial.

Teorema Gauss dapat dibuktikan sebagai berikut. Mari kita perluas sisi kiri (1.29) sebagai

𝜕𝐴 𝜕𝐴𝑌 𝜕𝐴𝑍
∭𝑉 (∇. 𝐴 ) dv = + ∭ ( 𝜕𝑋𝑥 + 𝜕𝑌 𝜕𝑍
) dxdydz

𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑧


= + ∭𝑉 𝜕𝑋
. 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 + ∭𝑉 𝜕𝑦
. 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 ∭𝑉 𝜕𝑧
. 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 (1.30)

Fig.1.10. menunjukkan divergensi suatu vector


Mari kita ambil integral pertama di ruas kanan. Kita sekarang dapat mengintegrasikan integral
pertama terhadap x, yaitu sepanjang potongan melintang dy dz membentang dari P1 ke P2.
(fig.1.10).
demikian kami peroleh
𝜕𝐴𝑥
∭ 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 = ∬[𝐴𝑋 (𝑥2, 𝑦, 𝑧) − 𝐴𝑥 (𝑥1, 𝑦, 𝑧)]𝑑𝑦𝑑𝑧.
𝜕𝑥
𝑣 8

Di sini (𝑥1, 𝑦, 𝑧) dan (𝑥2, 𝑦, 𝑧) masing-masing adalah koordinat P1 dan P2. Pada P1, kita punya
𝑑𝑦 𝑑𝑧 = −𝑑𝑆𝑥 ,
Dan di 𝑃2
𝑑𝑦 𝑑𝑧 = 𝑑𝑆𝑥
Karena arah vektor permukaan berlawanan arah.
Karena itu :
𝜕𝐴𝑥
∭ 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 = ∬ 𝐴𝑥 𝑑𝑆𝑥
𝜕𝑥
𝑣 8

i mana integral permukaan di sisi kanan dievaluasi secara keseluruhan permukaan. Dengan cara
ini kita bisa mendapatkan:
𝜕𝐴𝑦
∭ 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 = ∬ 𝐴𝑦 𝑑𝑆𝑦 𝑑𝑎𝑛
𝜕𝑦
𝑣 8

𝜕𝐴𝑧
∭ 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧 = ∬ 𝐴𝑧 𝑑𝑆𝑧
𝜕𝑧
𝑣 8

Jika kita menjumlahkan ketiga komponen ini, kita mendapatkan teorema Gauss

∭(∇. 𝑉 )𝑑𝑣 = ∬(𝐴𝑥 𝑑𝑆𝑥 + 𝐴𝑦 𝑑𝑆𝑦 + 𝐴𝑧 𝑑𝑆𝑧 ) = ∬ 𝐴. 𝑑𝑆


𝑣 8 8

1.7 Integral Linear


Biarkan A menjadi bidang vektor dalam ruang dan MN adalah kurva yang dijelaskan dalam arti
M ke N. Biarkan kurva kontinu MN dibagi menjadi vektor sangat kecil elemen (fig.1.11)
𝑑𝐼1 , 𝑑𝐼2 , 𝑑𝐼3 − − − − − − − 𝑑𝐼𝑛
Jumlah produk skalar ini adalah
𝑁 𝑁

⃗⃗⃗⃗ 𝑟 = ∫ 𝐴. 𝑑𝐼
∑ 𝐴𝑟 𝑑𝐼
𝑀 𝑀

Jumlah ini sepanjang seluruh panjang kurva dikenal sebagai integral garis dari A sepanjang
kurva MN. Dalam hal sistem koordinat Cartesian, kita dapat menulis
𝑁 𝑁

∫ 𝐴. 𝑑𝐼 = ∫(𝐴𝑥 𝑑𝑥 + 𝐴𝑦 𝑑𝑦 + 𝐴𝑧 𝑑𝑧)
𝑀 𝑀

BELLA AULIYA
Misalkan A adalah gradien dari φ, fungsi skalar dari posisi
⃗ 𝜙
𝐴=∇
Dan
𝑁 𝑁 𝑁
𝜕∅ 𝜕𝜙 𝜕𝜙
∫ 𝐴. 𝑑𝐼 = ∫(∇∅) 𝑑𝐼 = ∫ ( 𝑑𝑥 + 𝑑𝑦 + 𝑑𝑧) .
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
𝑀 𝑀 𝑀

Fig.1.11. . Shows the paths of movement for line integral of a vector


Sejak
𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
𝑑𝑥 + 𝑑𝑦 + 𝑑𝑧 + 𝑑𝜙
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
Kita mendapatkan
𝑁 𝑁

∫ 𝐴. 𝑑𝐼 = ∫ 𝑑𝜙 = 𝜙𝑁 − 𝜙𝑀
𝑀 𝑀

di mana nilai ϕM dan ϕN adalah nilai ϕ pada titik M dan N. Oleh karena itu, integral garis dari
gradien fungsi skalar sembarang posisi ϕ di sekitar kurva tertutup menghilang. Karena jika kurva
tertutup, titik M dan N berimpit dan integral garisnya sama dengan ϕM - ϕN dan sama dengan
nol. Dengan kata lain

∫ 𝐴. 𝑑𝐼 + ∫ 𝐴. 𝑑𝐼 = 0.
𝑀𝑂𝑁 𝑁𝑃𝑀

Karena itu
∫ 𝐴 𝑑𝑙 = − ∫ 𝐴 . 𝑑𝐼.
𝑀𝑂𝑁 𝑁𝑃𝑀

Konsep integral garis ini dengan fungsi vektor, yang merupakan gradien dari fungsi skalar
lainnya, digunakan nanti untuk menentukan potensial dalam potensial scalar bidang.
1.8 keriting vector
Curl atau sirkulasi vektor beroperasi pada vektor dan menghasilkan yang lain vektor (Gbr. 1.12).
Itu ditulis sebagai × 𝐴 , yaitu, itu adalah hasil kali silang dari vektor operator ∇ dan vektor A.
Curl vektor dapat dijelaskan menggunakan konsep integral garis. Jika A adalah vektor, curl atau
rot dari A (circulation atau rotasi) didefinisikan sebagai fungsi vektor ruang yang diperoleh
dengan mengambil produk vektor operator ∇ dan 𝐴 dan arahnya tegak lurus ke vektor asli. Itu
ditulis sebagai × 𝐴 . Jadi kita bisa menulis
𝜕𝐴𝑧 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑧 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑧
⃗ = 𝑖(
𝑐𝑢𝑟𝑙𝐴 = ∇ − )+𝑗 ( − ) + 𝑘⃗ ( − )
𝜕𝑦 𝜕𝑥 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦
Dapat dituliskan dalam bentuk matriks sebagai
𝑖 𝑗 𝑘⃗
𝜕 𝜕 𝜕|
∇ × 𝐴 = || |
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
𝐴𝑥 𝐴𝑦 𝐴𝑧

Curl A

Fig.1.12. Menunjukkan sirkulasi vector


If A = ∇ϕ, then
𝜕 𝜙2 𝜕 𝜙 2 𝜕 𝜙 2
𝜕 𝜙 2 2
𝜕 𝜙 𝜕 𝜙2
∇ × 𝐴 = ∇ × (∇𝜙) = 𝑖 (𝜕𝑦𝜕𝑧 − 𝜕𝑧𝜕𝑦) + 𝑗 (𝜕𝑧𝜕𝑥 − 𝜕𝑥𝜕𝑧 ) + 𝑘⃗ (𝜕𝑥𝜕𝑦 − 𝜕𝑥𝜕𝑦) = 0

Curl vektor adalah nol jika vektor itu dapat didefinisikan sebagai gradien vektor lainnya fungsi
skalar.
ASWADI

1.9 Integral Garis pada Bidang (Teorema Stoke)

Untuk menunjukkan hubungan antara integral garis dan kurva vektor, mari kita menghitung

integral garis dari bidang vektor A di sekitar persegi panjang sangat kecil sisi ∆x dan ∆y terletak

pada bidang xy seperti yang ditunjukkan pada (Gbr. 1.13).

Gambar 1.13. Menunjukkan integral garis pada bidang untuk menjelaskan teorema stokes

Kita bisa menghitung ∮ A.dl di sekitar persegi panjang menuliskan kontribusi terhadap integral

ini dari sisi yang berbeda sebagai berikut:

𝐴𝑙𝑜𝑛𝑔 𝐴𝐵 → 𝐴𝑥 ∆𝑥

𝜕𝐴𝑦
𝐴𝑙𝑜𝑛𝑔 𝐵𝐶 → (𝐴𝑦 + ∆𝑥) ∆𝑦
𝜕𝑥

𝜕𝐴𝑥
𝐴𝑙𝑜𝑛𝑔 𝐶𝐷 → − (𝐴𝑥 + ∆𝑦) ∆𝑥
𝜕𝑦

𝐴𝑙𝑜𝑛𝑔 𝐷𝐴 → −𝐴𝑥 ∆𝑦
Di sini ∆x dan ∆y sangat kecil. Menambahkan berbagai kontribusi, kami memperoleh

𝑦 𝜕𝐴𝑥
∮ 𝐴. 𝑑𝐼 = ( − ) ∆𝑥∆𝑦
𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝐴𝐵𝐶𝐷

Itu dapat ditulis sebagai


⃗ × 𝐴) 𝑧 𝑑𝑆𝑥𝑦
∮ 𝐴. 𝑑𝐼 = (∇
𝐴𝐵𝐶𝐷

di mana 𝛻 × 𝐴𝑧 adalah komponen z dari curl A dan ds xy adalah luas dari persegi panjang

ABCD. Jika kita mengambil permukaan tertutup s pada bidang xy (Gbr. 1.14) dan ruangnya

adalah dibagi menjadi beberapa elemen persegi panjang dari area yang sangat kecil, yaitu jumlah

integral garis dari berbagai mata jaring diberikan oleh

Fig.14. Menunjukkan bahwa vektor hanya tersisa pada batas dan vector dalam dibatalkan
∞ ∞

∑ ∮ 𝐴. 𝑑𝑙 = ∑(∇ × 𝐴)𝑧 𝑑𝑠𝑥𝑦


𝑟=1 𝑟 𝑟=1

Kontribusi ke integral garis dari mata jaring yang berdampingan saling meniadakan. Hanya

integral garis di pinggiran yang tersisa

Karena itu

∑ ∮ 𝐴. 𝑑𝑙 = ∮ 𝐴. 𝑑𝑙
𝑟=1 𝑟 𝑐

Dan

AGUNG SELAMAT GINTING


∮ 𝐴. 𝑑𝑙 = ∬ (∇ × 𝐴)𝑧 𝑑𝑆𝑥𝑦
𝑠

Relasi ini berlaku untuk semua komponen. Oleh karena itu kita bisa menulis
∮ 𝐴. 𝑑𝑙 = ∬ (∇ × 𝐴) 𝑑𝑆

Ini adalah teorema Stoke. Ini menyatakan bahwa integral permukaan dari kurva vector sama

dengan integral garis dari vektor itu sendiri. Ini adalah alat matematika untuk mengubah integral

permukaan menjadi integral garis dan sebaliknya.

1.10 Penerapan Berturut-turut dari Operator ∇

Dalam analisis vektor, untuk penerapan operator ∇ secara berturut-turut, kita dapat mengambil

⃗ untuk × 𝛻 × 𝐴 . di mana B adalah 𝛻 × 𝐴 . Jika kita memperluas persamaan ini


vektor 𝛻 × 𝐵

dalam koordinat cartisian, kita dapatkan


𝑖 𝑗 𝑘⃗
𝜕 𝜕 𝜕|
⃗ ×𝐴=|
∇ |𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧 |
𝐴𝑥 𝐴𝑦 𝐴𝑧
Di sini Ax, Ay dan Az masing-masing adalah komponen x, y dan z dari A dalam a koordinat
kartisius. Persamaan (1.54) adalah
𝜕𝐴𝑧 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑧 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑧
⃗ = 𝑖(
𝑐𝑢𝑟𝑙𝐴 = ∇ − )+𝑗 ( − ) + 𝑘⃗ ( − )
𝜕𝑦 𝜕𝑥 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦
⃗ adalah
Dan curl 𝐵
𝑖 𝑗 𝑘⃗
| 𝜕 𝜕 𝜕 |
∇×∇×𝐴= 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧
| 𝜕𝐴 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑧 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑥 |
𝑥
( − ) ( − ) ( − )
𝜕𝑦 𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦

𝜕 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑥 𝜕 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑧 𝜕 𝜕𝐴𝑧 𝜕𝐴𝑦 𝜕 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑥


=> 𝑖 { ( − )− ( − )} + 𝑗 { ( − )− ( − )}
𝜕𝑦 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑧 𝜕𝑦 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝜕 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑧 𝜕 𝜕𝐴𝑧 𝜕𝐴𝑦
+ 𝑘⃗ { ( − )− ( − )}
𝜕𝑥 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑦 𝜕𝑧
𝜕𝐴𝑦 𝜕 2 𝐴𝑥 𝜕 2 𝐴𝑥 𝜕 2 𝐴𝑧 𝜕 2 𝐴𝑧 𝜕 2 𝐴𝑦 𝜕 2 𝐴𝑦 𝜕 2 𝐴𝑥
=> 𝑖 { − − + } + 𝑗 { − − + }
𝜕𝑦𝜕𝑥 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2 𝜕𝑧𝜕𝑥 𝜕𝑧𝜕𝑦 𝜕𝑧 2 𝜕𝑥 2 𝜕𝑥𝜕𝑦
𝜕 2 𝐴𝑦 𝜕 2 𝐴𝑧 𝜕 2 𝐴𝑧 𝜕 2 𝐴𝑦
+ 𝑘⃗ { − − + }
𝜕𝑦𝜕𝑥 𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2 𝜕𝑦𝜕𝑧
Komponen ke-i dapat ditulis sebagai
𝜕 𝜕𝐴𝑥 𝜕𝐴𝑦 𝜕𝐴𝑧 𝜕 2 𝐴𝑥 𝜕 2 𝐴𝑥 𝜕 2 𝐴𝑧
=> 𝑖 { ( + + )−( 2 − + )}
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2
Menuliskan komponen ke-j dan ke-k seperti pada rumus di atas kita dapat menulis
∇ × ∇ × 𝐴 = ∇(∇. 𝐴) − ∇2 𝐴

𝑜𝑟 𝑐𝑢𝑟𝑙 𝑐𝑢𝑟𝑙 𝐴 = 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝑑𝑖𝑣 𝐴 − ∇2 𝐴

KELOMPOK 1 A

1.11 Relasi Penting dalam Aljabar Vektor

Beberapa relasi penting dalam aljabar vektor, yang diperlukan dalam teori potensial, adalah

disajikan di bagian ini. Beberapa hubungan diturunkan dalam teks. Itu hubungan lain dapat

diturunkan. Mereka

 𝑎. 𝑏⃗ × 𝑐 = 𝑏⃗. 𝑐 × 𝑎 = 𝑐 . 𝑎 × 𝑏⃗

 𝑎 × (𝑏⃗ × 𝑐 ) = (𝑎. 𝑐 )𝑏⃗ − (𝑎 . 𝑏⃗)𝑐

 (𝑎 × 𝑏⃗ ). (𝑐 × 𝑑 ) = 𝑎. 𝑏⃗ × (𝑐 × 𝑑 ) = 𝑎. (𝑏⃗. 𝑑 𝑐 − 𝑏⃗. 𝑐 𝑑 ) = (𝑎. 𝑐 )(𝑏⃗. 𝑑 ) − (𝑎. 𝑑 )(𝑏⃗ 𝑐 )

 (𝑎 × 𝑏⃗ ) × (𝑐 × 𝑑 ) = (𝑎 × 𝑏⃗. 𝑑 )𝑐 − (𝑎 × 𝑏⃗. 𝑐 )𝑑
 ⃗ (𝜙 + 𝜓) = ∇𝜙 + ∇𝜓

 ⃗ (𝜙𝜓) = 𝜙∇𝜓 + 𝜓∇𝜙


 ⃗ (𝑎 + 𝑏⃗) = ∇
∇ ∇. 𝑏⃗
⃗ . 𝑎 + ⃗⃗⃗

 ⃗ . (𝜙𝑎) = 𝜙∇. 𝑎 + a.
∇ ⃗⃗ ∇𝜙

 ⃗ (𝑎 + 𝑏⃗) = 𝑏.
∇ ⃗⃗⃗ ∇ ⃗ × 𝑏⃗
⃗ . 𝑎 − 𝑎. ∇

 ⃗ × (𝑎 + 𝑏⃗) = ∇
∇ ⃗ × 𝑏⃗
⃗ ×𝑎+∇

 ⃗ × (𝜙𝑎) = 𝜙∇
∇ ⃗ 𝑎 + ∇𝜙 × 𝑎

 ⃗ × (𝑎. 𝑏⃗) = (𝑎. ∇)𝑏⃗ + (𝑏⃗. ∇)𝑎 + (𝑎 × (∇ × 𝑏⃗) + 𝑏⃗ × (∇ × 𝑎))


 ⃗ × (𝑎 × 𝑏⃗) = 𝑎. ∇. 𝑏⃗ − 𝑏⃗∇. 𝑎 + (𝑏⃗∇)𝑎 − (𝑎∇)𝑏⃗


 ⃗ × (∇
∇ ⃗ × 𝐴) = ∇∇. 𝐴 − ∇2 𝐴

 ⃗ × (∇𝜙) = 0

 ⃗ .∇
∇ ⃗ ×𝑎 =0
BAB III
PENUTUPAN
Vektor adalah besaran yang memiliki besar dan arah. Untuk merepresentasikan vektor dapat
dilakukan pada bidang datar atau bidang koordinat XOY Cartesian dengan menggambar ruas
garis dengan anak panah di salah satu ujungnya. Panjang ruas garis mewakili besar (panjang)
vektor dan panah mewakili arah vektor. Vektor diwakili oleh huruf tebal atau garis bawah Jika
untuk setiap nilai skalar u dihubungkan dengan vektor A, maka A disebut fungsi u yang
dilambangkan dengan A(u). Dalam tiga dimensi ditulis A(u) = A(u); + A2(u)] + [u]k. Contoh
fungsi vektor, misalnya persamaan gerak bebas suatu partikel dalam ruang. Jika setiap titik
dalam suatu ruang (R) diasosiasikan dengan suatu vektor, maka ruang tersebut disebut medan
vektor. Contoh vektor medan misalnya aliran fluida (gas, kalor, air dan sebagainya) dalam suatu
ruangan.
MAKALAH

"BIDANG KEKUATAN"

TEORI MEDAN POTENSIAL

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II A

ISNA MUTHMAINAH (R1A121003)

ABIDIN (R1A121011)

NURUL IZZATI (R1A121021)

FARHANA R.MONTANGA (R1A121041)

MOH SADIRGA KARIM (R1A121051)

RAHMAD (R1A121057)

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2023

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, terutama
kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah untuk mata kuliah
"Teori Medan Potensial". Kemudian shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita
Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yaitu Al Qur'an dan Sunnah untuk
keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Teori Medan Potensial di Jurusan
Geofisika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Universitas Haluoleo. Selanjutnya penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Rosliana Eso, S,Si., M,Si. selaku
dosen pembimbing mata kuliah Teori Medan Potensial dan kepada semua pihak yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan makalah ini

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.........................................................

1.2. Rumusan Masalah....................................

1.3. Tujuan...........................................................

BAB 2 KEBINGUNGAN

2.1 Bidang Gaya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2 Klasifikasi Bidang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.1 Klasifikasi Tipe A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.2 Klasifikasi Tipe B . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.3 Klasifikasi Tipe C . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.4 Klasifikasi Tipe D . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.5 Klasifikasi Tipe E . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.6 Klasifikasi Tipe F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.7 Klasifikasi Tipe G . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.8 Klasifikasi Tipe H . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


. 2.2.9 Klasifikasi Tipe I . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.10 Klasifikasi Tipe J . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.2.11 Klasifikasi Tipe K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.3 Konsep Potensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.4 Pemetaan Lapangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.5 Sifat Medium Padat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.6 Tensor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.7 Masalah Nilai Batas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.7.1 Masalah Dirichlet . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.7.2 Masalah Neumann . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.7.3 Masalah Campuran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2.8 Dimensi Masalah dan Kemampuan Pemecahannya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Persamaan 2.9. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.9.1 Persamaan Diferensial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. 2.9.2 Persamaan Integral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2.10 Domain Geofisika dalam Teori Potensial . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB 3

3.1 Kesimpulan.................................................................

3.2 Saran..................................................................

BIBLIOGRAFI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Magnet memainkan peran penting dalam teknologi modern, menjadi dasar dari
komponen penting dari banyak perangkat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Magnet
adalah material yang memiliki medan magnet. Bahan tersebut dapat berupa magnet permanen
atau magnet non permanen. Magnet permanen tidak memerlukan bantuan gaya atau daya dari
luar untuk memunculkan sifat kemagnetannya. Magnet tidak tetap bergantung pada medan
magnet eksternal untuk menghasilkan medan magnet material itu sendiri. Magnet dapat menarik
benda lain, beberapa benda bahkan sangat tertarik olehnya. Berdasarkan sifat magnetiknya,
bahan magnet dapat diklasifikasikan menjadi diamagnet, paramagnet, feromagnet,
antiferromagnet, dan ferrimagnet. Bahan yang tidak memiliki momen magnetik permanen
disebut diamagnet. Jika bahan diamagnet diberi medan magnet luar sedemikian rupa, sehingga
momen magnetik bahan tersebut akan menentang medan magnet luar. Jenis magnet yang kedua
adalah paramagnet, jika medan magnet luar diberikan dalam bahan tersebut, maka momen
magnetiknya akan berusaha mensejajarkan diri dengan medan magnet luar. Contoh bahan
paramagnetik seperti magnesium dan lithium.
Klasifikasi bahan magnetik berikutnya adalah feromagnet. Magnetisasi spontan bahan
feromagnetik menyebabkan sifat magnetiknya sangat kuat, bahkan ketika medan magnet
eksternal tidak ada. Contoh bahan feromagnetik adalah Fe, Co dan Ni. Momen-momen magnetik
pada feromagnet sejajar, jika momen-momen magnetik saling berlawanan maka disebut
antiferromagnet atau ferrimagnet. Momen magnetik yang besar Jika momen magnetik yang
berdekatan sama, maka disebut antiferromagnet. Kisi antiferromagnet dapat diperoleh dengan
menumpuk dua sub-kisi feromagnet dengan arah momen magnetik yang berlawanan.
Dari pengelompokan bahan magnetik di atas, diketahui bahwa momen magnetik
mempengaruhi jenis bahan magnetik. Di dalam momen magnetik itu sendiri sebenarnya terdapat
komponen yang berpengaruh, yaitu konfigurasi spin. Orientasi spin akibat pengaruh dari luar
membuat sistem terganggu. Konsekuensi yang timbul akibat gangguan tersebut. Hal ini bisa
bermacam-macam, tergantung dari pengaruh yang diberikan. Sejumlah akibat yang ditimbulkan
oleh konfigurasi spin, yaitu mempengaruhi nilai magnetisasi dan energi. Penilaian pengaruh
bahan magnetik dapat menggunakan beberapa model, seperti model Heisenberg dan model Ising.
Model Heisenberg merupakan bentuk penyelesaian yang lebih rumit dibandingkan model Ising,
dalam hal keterkaitan komponen yang digunakan. Banyak penelitian yang menggunakan model
Ising telah dilakukan, hal ini dikaji oleh para peneliti seperti Fricke (2006), Trohidou &
Vasilakak (2004) dan Mellor (2010) mengenai pengaruh konfigurasi spin pada sistem bahan
feromagnetik. Billoire, dkk. (1993), Wessel (2010) mengkaji material antiferromagnetik dengan
simulasi tanpa pengaruh medan magnet luar dengan model Heisenberg, sedangkan eksperimen
dilakukan oleh Tsukan dkk. (2006). Pengkajian simulasi dengan menggunakan model Ising pada
material antiferromagnetik dengan pengaruh medan magnet luar dan temperatur belum banyak
dilakukan, hal ini didasari karena belum Ada beberapa referensi yang menyatakan hal ini. Topik
ini dapat diangkat untuk dijadikan dasar dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan simulasi model Ising dan metode Monte Carlo.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan medan gaya?
2. Bagaimana cara mengklasifikasikan bidang?

3. Bagaimana Konsep Potensi?


4. Bagaimana dengan pemetaan lapangan?
5. Apa Saja Sifat-sifat Media Padat?
6. Apa yang dimaksud dengan tensor?
7. Bagaimana dengan Masalah Nilai Batas?
8. Bagaimana Dimensi Masalah dan Kemampuan Pemecahannya?

9. Persamaan?
10. Bagaimana Domain Geofisika dalam Teori Potensial?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari rumusan masalah di atas adalah.
1. Untuk mengetahui apa itu medan gaya.
2. Untuk mengetahui cara mengklasifikasikan bidang.

3. Untuk mengetahui bagaimana Konsep Potensi.


4. Untuk mengetahui bagaimana dengan pemetaan lapangan.
5. Untuk mengetahui apa saja sifat-sifat Media Padat.
6. Untuk mengetahui apa itu tensor.
7. Untuk mengetahui bagaimana dengan Boundary Value Problem.
8. Untuk mengetahui bagaimana Dimensi Masalah dan Kemampuan Pemecahannya.

9. Untuk mengetahui persamaan.


10. Untuk mengetahui bagaimana Domain Geofisika dalam Teori Potensial.
BAB 2

DISKUSI

2.1 Bidang Gaya

Pada titik mana pun dalam suatu medium, massa satuan atau muatan satuan atau kutub
magnet satuan mengalami gaya tertentu. Gaya ini akan menjadi gaya tarik-menarik dalam kasus
medan gravitasi. Gaya ini akan menjadi gaya tarik-menarik atau tolak-menolak ketika dua
muatan satuan atau dua kutub magnet dengan polaritas yang berlawanan atau sama didekatkan
satu sama lain. Gaya-gaya ini adalah medan gaya (Gbr. 2.1, 2.2, 2.3). Sebuah benda pada titik di
luar satu benda atau sekelompok benda akan mengalami gaya tarik-menarik dalam medan
gravitasi. Gaya-gaya ini akan diberikan oleh sebuah benda atau sekelompok benda pada sebuah
massa yang ditempatkan pada suatu titik. Setiap massa di ruang angkasa dikaitkan dengan gaya
tarik gravitasi. Gaya ini memiliki arah dan besar. Untuk medan gravitasi, gaya tarik-menarik
akan berada di antara dua massa di sepanjang garis yang menghubungkan benda-benda tersebut
(Gbr. 2.1). Untuk medan elektrostatik, magnetostatik, dan aliran arus searah, arah medan akan
bersinggungan dengan titik pengamatan mana pun. Gaya-gaya ini adalah medan gaya. Medan-
medan ini bisa berupa medan global atau medan lokal buatan manusia. Dengan demikian kita
sampai pada konsepsi medan gaya. Bidang-bidang ini digunakan untuk memperkirakan secara
kuantitatif beberapa sifat fisik di setiap titik dalam suatu media. Medan fisik penting yang
digunakan oleh para ahli geofisika adalah (i) Medan gravitasi, (ii) Medan magnetostatik, (iii)
Medan elektromagnetik, (iv) Medan aliran arus searah, (v) Medan elektrostatik, (vi) Medan
aliran panas, (vii) Medan aliran fluida, (viii) Medan elektromagnetik alamiah bumi, dan lain-lain.
Masing-masing dari 2 Keterangan Pengantar ini

Gbr. 2.1. Menunjukkan tarikan gravitasi pada titik P akibat massa m1, m2, m3, dan m4
Gbr. 2.2. Menunjukkan medan magnet akibat magnet batang dan gaya tarik dan tolak di sekitar
dua kutub magnet yang tidak sejenis dan sejenis

Gbr. 2.3. Menunjukkan medan elektrostatik akibat muatan titik

Bidang dikaitkan dengan satu atau dua sifat fisik, misalnya, bidang gravitasi dikaitkan
dengan kepadatan atau kontras kepadatan material bumi, bidang aliran arus searah dikaitkan
dengan resistivitas listrik atau konduktivitas listrik, bidang elektrostatik dikaitkan dengan
konstanta dielektrik dan permitivitas listrik, bidang magnetostatik dikaitkan dengan
permeabilitas magnetik, dan bidang elektromagnetik dikaitkan dengan konduktivitas listrik,
permitivitas listrik, dan permeabilitas magnetik suatu media. Fisikawan dan ahli geofisika
menggunakan medan ini untuk menentukan sifat fisik tertentu atau variasinya dalam suatu
medium. Secara matematis, medan ini dinyatakan sebagai fungsi ruang.

2.2 Klasifikasi Bidang

Bidang-bidang ini dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Beberapa klasifikasi ini
adalah sebagai berikut:

2.2.1 Klasifikasi Tipe A

(i) Bidang-bidang yang terjadi secara alami


(ii) Bidang buatan manusia yang dibuat secara artifisial

Medan gravitasi, medan magnet bumi akibat arus dinamo di inti bumi, medan
elektromagnetik luar angkasa yang berasal dari interaksi suar matahari dengan magnetosfer
bumi, medan listrik yang dihasilkan karena aktivitas elektrokimia dan elektrokinetik di dalam
bumi pada kedalaman yang dangkal adalah medan yang terjadi secara alami. Medan ini selalu
ada. Tidak ada sumber buatan manusia yang diperlukan untuk menghasilkan medan ini. Medan
ini menerima energi dari satu bentuk sumber alami atau lainnya.

Medan aliran arus searah, medan elektromagnetik, sebagian besar merupakan medan
buatan manusia. Sumber energi buatan diperlukan untuk menghasilkan medan ini. Biasanya kita
menggunakan baterai (sel) atau generator bensin untuk menghasilkan tenaga ini untuk mengirim
arus melalui tanah.

2.2.2 Klasifikasi Tipe B

(i) Medan potensial skalar

(ii) Bidang potensial vektor

Medan potensial skalar adalah medan yang potensialnya berupa skalar tetapi bidangnya,
karena gradien potensialnya adalah vektor. Medan gravitasi, medan aliran arus searah, medan
elektrostatik, medan aliran panas, medan aliran fluida adalah medan potensial skalar. Dalam
medan potensial vektor, baik potensial maupun medan adalah vektor. Medan magnetostatik dan,
medan elektromagnetik memiliki potensial skalar dan vektor (lihat Bab 5 dan Bab 12, dan 13)

2.2.3 Klasifikasi Tipe C

(i) Bidang statis

(ii) Bidang stasioner

(iii) Bidang variabel

Medan elektrostatik adalah medan statis (lihat Bab 4) di mana muatan tidak bergerak dan
tetap berada di titik tertentu. Medan aliran arus searah dan medan magnetostatik adalah medan
yang tidak bergerak (lihat Bab 5 dan 6) di mana muatan bergerak dengan kecepatan konstan
sehingga menghasilkan medan listrik dan medan magnet yang besarnya konstan. Medan
elektromagnetik adalah medan yang bervariasi terhadap waktu di mana besaran dan arah vektor
listrik dan magnet berubah secara konstan tergantung pada frekuensi medan variabel (lihat Bab
12).

2.2.4 Klasifikasi Tipe D

(i) Bidang rotasi (Gbr. 2.2a)


(ii) Bidang irrotasi (Gbr. 2.1)

Jika curl dari sebuah vektor adalah nol, maka medan tersebut adalah medan irrotasional.
Medan gravitasi, medan aliran arus searah adalah medan irrotasi, misalnya

ikal E = ∇ × E = 0

kurva g = ∇ × g = 0.

Di sini E adalah medan listrik (lihat Bab 4 dan 6) -→g adalah percepatan akibat gravitasi
(lihat Bab 3). Jika curl dari vektor medan tidak nol, maka medan tersebut adalah medan rotasi.
Medan magnetostatik dan medan elektromagnetik adalah medan rotasi karena keriting vektor
medan tidak nol. Di sini, curlH = J dalam magnetostatik (lihat Bab 5) dan curlH = J +
∂D ∂t dalam elektromagnetik (lihat Bab 12) H, J, D, dan
∂D ∂t berturut-turut adalah intensitas medan magnet, kerapatan
arus, (lihat Bab 6), vektor perpindahan (lihat Bab 4), dan vektor arus perpindahan
dD ∂t (lihat Bab 12).

2.2.5 Klasifikasi Tipe E

(i) Bidang konservatif (Gbr. 2.4)

(ii) Bidang non-konservatif

Jika beda potensial antara dua titik dalam sebuah medan tidak bergantung pada jalur yang
dilalui oleh muatan satuan atau massa satuan yang bergerak dari titik A ke titik B, (Gbr. 2.4)
maka medan tersebut dinamakan medan konservatif (lihat Subbab 2.3). Dalam medan
konservatif ketika muatan satuan atau massa satuan bergerak di sekitar lingkaran dekat, kerja
bersih yang dilakukan oleh massa atau muatan akan menjadi nol, jika tidak, medan tersebut akan
menjadi medan non-konservatif.
Gbr. 2.4. Pekerjaan yang dilakukan untuk berpindah dari P1 ke P2 tidak bergantung pada jalur
yang diikuti

2.2.6 Klasifikasi Tipe F

(i) Solenoidal

(ii) Bidang nonsolenoidal

Medan gaya, yang memiliki divergensi nol di seluruh wilayah penyelidikan, disebut
medan solenoidal. Medan gravitasi, medan aliran arus searah, aliran panas kondisi tunak, dan
medan aliran fluida di wilayah bebas sumber adalah medan solenoidal. Medan magnetostatik
selalu merupakan medan bebas divergensi atau medan solenoidal (Gbr. 2.5 dan 2.6). Untuk
medan magnetostatik, div B = 0 atau div H = 0 selalu benar dan oleh karena itu merupakan
medan solenoidal. Untuk medan gravitasi dan elektrostatik, div g dan div E akan bernilai nol jika
tidak mengandung massa atau muatan seperti halnya dalam domain ruang. (lihat Bab 3, 4, 5).

Masalah potensial (dibahas kemudian dalam bab ini), yang mencakup fungsi sumber,
memenuhi persamaan Poisson. Bidang-bidang ini tidak bebas divergensi. Mereka disebut medan
non-solenoidal. Untuk menyelesaikan masalah nilai batas dalam teori potensial menggunakan
metode elemen hingga atau metode beda hingga dalam domain arus searah, kita biasanya
menggunakan persamaan Poisson (lihat Bab 15).

2.2.7 Klasifikasi Tipe G

(i) Medan potensial Newtonian

(ii) Medan potensial non-Newtonian

Potensial Newton adalah potensial yang memenuhi hubungan 1 r. Potensial pada suatu
titik berbanding terbalik dengan pangkat pertama dari jarak (Bagian 2.3). Potensial gravitasi φ =
GM R adalah potensial Newton di mana φ adalah
Gambar 2.5. (A). Menunjukkan wilayah tanpa massa; (B). Menunjukkan daerah yang
mengandung massa; (C). Memperlihatkan daerah yang mengandung muatan

potensial pada suatu titik akibat massa M pada jarak R dari titik pengamatan dan G adalah
konstanta gravitasi universal (lihat Bab 3).

Potensial non-Newtonian adalah potensial yang tidak memenuhi 1 r variasi potensial


dengan jarak. Potensial pada suatu titik akibat sumber garis dan sumber dipol adalah potensial
non-Newtonian. Potensial bersifat logaritmik untuk sumber garis dan mengikuti hukum kuadrat
terbalik untuk sumber dipol (lihat Bab 3, 4, 6). Tetapi semua potensial elektrokimia dan
elektrokinetik adalah potensial non-Newtonian.

2.2.8 Klasifikasi Tipe H

(i) Bidang dipol

(ii) Bidang non dipol

Gbr. 2.6. Menunjukkan medan akibat dipol listrik


Gbr. 2.7. Menunjukkan medan akibat dipol magnet

Medan dipol adalah medan di mana potensial berbanding terbalik dengan kuadrat jarak.
Medan yang dihasilkan oleh loop yang membawa arus dan dua elektroda arus yang ditempatkan
sangat dekat menghasilkan medan dipol (Gbr. 2.6 dan 2.7). Medan yang dihasilkan oleh dua
sumber yang terpisah jauh adalah medan non-dipol. Medan gravitasi, medan aliran arus searah
dengan elektroda arus yang terpisah jauh adalah medan non-dipol.

2.2.9 Klasifikasi Tipe I

(i) Bidang Laplacian

(ii) Bidang Non Laplacian

Medan gravitasi, elektrostatik, aliran arus searah di daerah bebas sumber memenuhi
persamaan Laplace ∇2φ = 0; di mana φ adalah potensial pada suatu titik (Bab 3, 4, 6, 7). Medan
non Laplacian mencakup suku-suku non Laplacian tambahan dalam persamaan diferensial.

1) Medan potensial skalar, di mana sumber-sumbernya dimasukkan, memenuhi persamaan


Poisson. Sebagai contoh, medan gravitasi, elektrostatik dan medan aliran arus searah
memenuhi persamaan Poisson berikut ini: (i) ∇2φg = 4πGm (Medan Gravitasi) (ii) div
gradφ = ∇2φ = - ρ ∈ (Medan Elektrostatik) (iii) divE = div grad φ = ∇2φ = -ρ (Medan
Aliran Arus Searah) Untuk pemodelan matematis, persamaan Poisson digunakan untuk
solusi masalah nilai batas dalam geofisika. Di daerah bebas sumber, persamaan ini
memenuhi persamaan Laplace.
2) Masalah potensial untuk bumi transisi di mana properti fisik berubah secara terus
menerus di sepanjang arah tertentu menghasilkan istilah non-Laplacian dalam persamaan
yang mengatur (lihat Bab 8) Persamaan Laplacian dan non-Laplacian dipecahkan
bersama dengan pengenalan kondisi batas yang tepat.
3) Untuk medan elektromagnetik, persamaan pemandu adalah persamaan gelombang
Helmholtz. Medan listrik, medan magnet, potensial skalar dan vektor memenuhi
4) persamaan ∇2F = γ 2 F di mana F adalah medan magnet, medan listrik, potensial vektor
dan atau potensial skalar. γ adalah konstanta propagasi (lihat Bab 12). Untuk γ = 0, yaitu
untuk frekuensi nol, persamaan Helmholtz berubah menjadi persamaan Laplace. Jadi
medan elektromagnetik adalah medan non-Laplacian.
5) Banyak sekali potensi non-Laplacian yang ada dan digunakan oleh para ahli geofisika.
Potensial ini dikenal sebagai potensial diri dan berasal dari elektrokimia dan
elektrokinetik. Potensiometer yang digunakan untuk mengukur potensial Laplacian juga
dapat mengukur potensial diri ini. Anggota penting dari keluarga ini adalah (i) potensial
sambungan cairan, (ii) potensial membran, (iii) potensial reduksi oksidasi, dan (iv)
potensial elektroda yang berasal dari elektrokimia dan (i) potensial aliran, (ii) potensial
eletrofiltrasi, dan (iii) potensial termal yang berasal dari elektrokinetik. Sumber energi
diperlukan untuk menghasilkan potensi-potensial ini. Dalam kasus medan arus searah,
baterai atau generator digunakan untuk menciptakan medan tersebut. Untuk potensi diri,
sel elektrokimia dihasilkan di dalam bumi untuk mempertahankan aliran arus dalam
waktu yang lama. Sel elektrokimia ini berasal dari kontak dua elektrolit yang berbeda
dari aktivitas kimia yang berbeda atau mereka mungkin berada di lingkungan oksidasi-
reduksi yang berbeda. Sel-sel redoks yang berasal dari oksidasi-reduksi ini
mempertahankan aliran arus melintasi tubuh bijih selama bertahun-tahun. Dalam sistem
termodinamika apa pun, selalu ada sejumlah energi bebas yang dapat dengan mudah
diubah menjadi kerja. Beberapa potensi dihasilkan ketika satu bentuk energi diubah
menjadi bentuk energi lainnya. Sebagai contoh, energi mekanik diubah menjadi energi
listrik untuk menghasilkan potensi aliran di zona batuan yang retak di dalam lubang bor.
Karena pemeliharaan tekanan tinggi di dalam lubang bor, filtrat lumpur masuk ke dalam
formasi melalui rekahan dan menghasilkan potensi aliran. Untuk potensi elektrofiltrasi,
energi gravitasi diubah menjadi energi listrik. Ketika fluida bergerak melalui media
berpori di bawah gradien gravitasi, potensi dikembangkan dan dapat diukur. Gradien
termal di area panas bumi menghasilkan potensi di mana energi termal diubah menjadi
energi listrik. Sel-sel gradien panas bumi dibuat. Potensial ini memenuhi persamaan
Nerst, persamaan Handerson dan persamaan Oksidasi-Reduksi. Mereka membentuk
kelompok besar potensial non-Laplacian. Potensial diri merupakan topik utama dalam
geofisika dan diskusi yang cukup panjang diperlukan untuk membahas topik ini.
2.2.10 Klasifikasi Tipe J

(i) Bidang global

(ii) Bidang lokal

Medan gravitasi adalah medan global, yang ada di seluruh alam semesta. Medan ini
mencakup berbagai bintang, planet, dan satelit. Medan magnet bumi dan medan elektromagnetik
alami bumi yang berasal dari luar bumi, medan aliran panas, dll. adalah medan global.

Medan yang dihasilkan oleh sumber buatan manusia untuk eksplorasi geofisika adalah
medan lokal. Medan aliran arus searah dan medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh sumber
buatan manusia adalah medan lokal.

2.2.11 Klasifikasi Tipe K

(i) Bidang mikroskopis


(ii) Bidang makroskopis

Bidang antar atom dan antar molekul adalah bidang mikroskopis. Pemahaman tentang
bidang-bidang ini berada dalam domain fisika. Para ahli geofisika tertarik untuk mempelajari
bidang-bidang makroskopik ini.

2.3 Konsep Potensi

Jika kita memiliki vektor F dan elemen kecil dengan panjang -→dl yang ingin
dipindahkan dalam sebuah bidang, maka jumlah kerja yang dilakukan diberikan oleh
gaya yang dikalikan dengan jarak, yaitu F. -→dl. Jika kita bergerak dari titik P1 ke P2
(Gbr. 2.8) maka kerja yang dilakukan adalah P 2 P1 F. -→dl. Jika kerja yang dilakukan
ini bergantung pada lintasan, maka medan tersebut non-konservatif. Jika tidak, maka
medan tersebut adalah medan konservatif. Di sini
𝑃2
𝑑𝑤 = ∫𝑃1 → .→ (2.1)
𝐹 𝑑𝑙

di mana dw adalah elemen kerja yang dilakukan dan merupakan perubahan


energi potensial. Potensial pada suatu titik dalam suatu bidang didefinisikan sebagai
jumlah kerja yang dilakukan untuk membawa satuan massa atau muatan dari tak
terhingga ke titik tersebut. Energi potensial di P2 - Energi potensial di P1 adalah jumlah
kerja yang dilakukan untuk berpindah dari P1 ke P2 (Gbr. 2.9). Perbedaan potensial (2.3)

ᴾ𝟐
⃗⃗⃗⃗
⃗⃗⃗ 𝒅𝒍
𝜙₂ − 𝝓₁ = ∫ 𝑭.
ᴾ𝟏

𝑃
𝑚 𝑚 ᵣ₂ 1 1
=∫ . 𝑑𝑟 = |− | = 𝑚( − )
𝑃₁ 𝑟² 𝑟 ᵣ₁ ᵣ₁ ᵣ₂

Beda potensial bergantung pada titik akhir dan bukan pada lintasan. Jika 𝛟 = 0,
ketika titik referensi berada di tak terhingga, 𝛟2 = m / r . Oleh karena itu, potensial pada
sebuah titik pada jarak r adalah m/r dikalikan dengan sebuah konstanta. Konstanta ini
bervariasi dari satu jenis medan ke jenis medan lainnya. Tiga bab berikutnya membahas
Gbr. 2.8. Menunjukkan jalur pergerakan massa satuan atau muatan satuan dalam medan gravitasi
atau elektrostatik yang seragam

dengan konstanta-konstanta ini. Potensial di setiap titik dalam medan gravitasi karena distribusi
massa yang diberikan adalah kerja yang dilakukan oleh tarikan massa pada partikel dengan
massa satuan saat bergerak di sepanjang jalur apa pun dari jarak tak terbatas hingga titik yang
dipertimbangkan.

Untuk medan potensial skalar, prinsip superposisi berlaku. Prinsip superposisi menyatakan
bahwa potensial pada suatu titik akibat sejumlah distribusi massa atau muatan dapat ditambahkan
secara aljabar. Potensial pada suatu titik karena efek gabungan dari volume, permukaan,
distribusi linier, dan beberapa massa titik diskrit adalah

Gbr. 2.9. Menunjukkan kerja yang dilakukan untuk berpindah dari titik P1 ke P2 dalam bidang F;
ds adalah gerakan dasar yang membuat sudut Ψ pada titik tersebut
Gbr. 2.10. Menunjukkan tarikan gravitasi pada suatu titik akibat volume, permukaan, garis, dan
distribusi titik massa
𝜌𝑑𝑣 𝜎𝑑𝑠 𝜆𝑑𝑙 𝑚𝑖
𝜙 = ∬ᵥ ∫ + ∫𝑠 ∫ +∮ + ∑𝑛𝑖=0 (2.4)
𝑟 𝑟 𝑟 𝑟

di mana ρ, σ, λ berturut-turut adalah volume, permukaan, dan kerapatan linear massa. mi adalah
partikel ke-i dalam sebuah keluarga yang terdiri dari n jumlah partikel. (Gbr. 2.10).

2.4 Pemetaan Lapangan

Arah garis medan akibat medan gravitasi, medan magnetostatik, medan


elektrostatik, medan aliran arus searah ditunjukkan pada Gbr. 2.1, 2.2, 2.3, 2.7, dan 2.8.
Gambar 2.11 menunjukkan bagian dari garis medan di mana elemen kecil dl dipilih. Di
sini

Fy/fx = tan ψ = dy/dx (2.5)

di mana fy dan fx adalah komponen garis medan di sepanjang arah y dan x. Ψ adalah sudut yang
dibuat oleh garis medan pada titik dl dengan sumbu x.

Gbr. 2.11. Menunjukkan bahwa vektor medan pada setiap titik bersinggungan dengan arah
medan
Gbr. 2.12. Menunjukkan sifat ortogonal dari garis medan dan garis ekuipotensial

Oleh karena itu, persamaan untuk garis medan adalah

dx/fx = dy/fy (2.6)

Untuk pergerakan satu unit muatan atau satu unit massa yang membuat sudut α dengan arah
⃗⃗ 𝑑𝑙
medan, elemen potensialnya adalah -dφ = 𝑓. ⃗⃗⃗ = 𝑓.
⃗⃗⃗⃗⃗ 𝑑𝑙
⃗⃗⃗ cos α (Gbr. 2.11) di mana α adalah sudut
𝜕𝜑
⃗⃗⃗ . Ketika α = 0, 𝑓
antara 𝑓 dan 𝑑𝑙 ⃗⃗⃗ = ( )maks dan φ = konstan ketika α = π/2. Hal ini
𝜕1
menunjukkan bahwa garis medan dan garis ekuipotensial berada pada sudut siku-siku dalam
medan konservatif dan gradien potensial adalah
∆∅
-grad 𝛟 =𝑎 max ∇𝛟 = ∇𝛟 lim ( ∆𝑙 ) 𝑚𝑎𝑥 (2.7)
∆𝑙→0

dimana 𝑎 𝑚𝑎𝑥 adalah vektor satuan di sepanjang arah garis medan. Gambar 2.12 menunjukkan
sifat garis medan dan garis ekuipotensial untuk medan seragam di mana secara teoritis sumber
dan sink berada pada jarak yang tak terhingga. Gambar 2.13 menunjukkan sifat garis medan dan
garis ekuipotensial untuk sebuah titik sumber dan sink pada jarak yang terbatas.

dan persamaan untuk permukaan ekuipotensial adalah

d𝛟(x, y, z) = 0 (2.8)

Gbr. 2.13. Garis medan dan garis ekuipotensial untuk sumber titik dan sink pada jarak yang
terbatas

Dalam sistem koordinat kutub bola (Gbr. 2.14) (lihat Bab 7), vektor-vektor tersebut
dilambangkan dalam arah R, θ, dan ψ. Vektor-vektor satuannya adalah 𝑎 𝑅 ,𝑎𝜃 ,𝑎𝜓.
⃗⃗⃗ = 𝑎
𝑑𝑙 . 𝑑𝑅 + 𝑎 . 𝑅𝑑𝜃 + 𝑎 𝑅. 𝑆𝑖𝑛𝜃. 𝑑𝜓
ᴿ 𝜃 𝜓

dan komponen lapangan adalah

𝜕𝜙 1 𝜕𝜙
𝑓𝑅 = − , 𝑓𝜃 = −
𝜕𝑅 𝑅 𝜕𝜃
1 𝜕𝜙
𝑓𝜓 = − 𝑅 𝑆𝑖𝑛𝜃 (2.10)
𝜕𝜓

Dalam sistem koordinat kutub silinder (Gbr. 2.15) r² = ρ² + z² dalam sistem (ρ, ψ, z). Dalam
sistem ini vektor satuannya adalah

⃗⃗⃗ →
𝑑𝑙 = −𝑎𝜌→ . 𝑑 𝑟 + 𝑎𝜓 . 𝑟𝑑𝜓 + 𝑎𝑧→ . 𝑑𝑧 (2.11)

Jadi, komponen-komponen lapangannya adalah


𝜕𝜙 1 𝜕𝜙 𝜕𝜑
𝑓𝜌 = − 𝜕𝜌 , 𝑓𝜓 = − 𝜌 𝑎𝑛𝑑 𝑓𝑧 = − 𝜕𝑧 (2.12)
𝜕𝜓

Persamaan untuk garis medan dalam koordinat kutub bola dan koordinat kutub silinder masing-
masing diberikan oleh

𝑑𝑅 𝑅𝑑𝜃 𝑅 𝑆𝑖𝑛 𝜃𝑑𝜑


= = (2.13)
𝑓𝑅 𝑓𝜃 𝑓𝜓
Gbr. 2.14. Menunjukkan tata letak koordinat kutub bola

Kata Pengantar

Gbr. 2.15. Menunjukkan tata letak koordinat kutub silinder

Dan
𝑑𝜌 𝜌𝑑𝜓 𝑑𝑧
= = (2.14)
𝑓𝜌 𝑓𝜓 𝑓𝑧

Dalam kasus massa titik


𝑚 𝑚
𝜙 = −𝐺 𝑎𝑛𝑑 𝑓 = −𝐺 𝑅2 (2.15)
𝑅

Permukaan ekuipotensial untuk sumber titik diberikan oleh


𝑚
𝐺 = 𝐶𝑜𝑛𝑠 𝑡𝑎𝑛 𝑡. 𝑇ℎ𝑒𝑟𝑒𝑓𝑜𝑟𝑒, 𝑅 = 𝐶𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡 (2.16)
𝑅

Untuk massa titik atau sumber muatan titik, permukaan ekuipotensial akan berbentuk bola. Pada
kertas bidang, permukaan ekuipotensial adalah sebuah lingkaran dengan pusat di m dan jari-jari
R. Pada bidang xy
𝑚
𝑓 = −𝐺 𝑥 2 +𝑦 2 (2.17)

𝑚𝑥
𝑓𝑥 = −𝐺 (𝑥 2+𝑦 2 )3/2 (2.18)

𝑚𝑦
𝑓𝑦 = −𝐺 (𝑥 2+𝑦 2 )3/2 (2.19)

Oleh karena itu,


𝑑𝑦 𝑦
= 𝑥 𝑜𝑟 𝑦 = 𝑚𝑥 (2.20)
𝑑𝑥

yaitu, garis lapangan adalah garis radial yang melewati bagian tengah.

2.5 Sifat Medium Padat

Medium padat dikatakan sebagai medium homogen dan isotropik ketika setiap properti fisik
sama di setiap titik serta di setiap arah x, y, z medium. Jika sifat fisik (misalnya konduktivitas
listrik atau permitivitas listrik atau permeabilitas magnetik atau modulus elastisitas) berbeda
pada titik yang berbeda dan berbeda pada arah yang berbeda, maka medium tersebut adalah
medium yang tidak homogen dan anisotropik. Misalkan ρ₁ dan ρ₂ adalah resistivitas di sepanjang
tiga arah yang saling tegak lurus x, y, dan z pada dua titik A dan B dalam sebuah medium. (Gbr.
2.16). Kemudian untuk

(a) media yang homogen dan isotropis

(𝑖 ) 𝜌1 = 𝜌2 (𝑖𝑖 )𝜌1𝑥 = 𝜌1𝑦 = 𝜌1𝑧 = 𝜌2𝑥 = 𝜌2𝑦 = 𝜌2𝑧 (2.21)

(b) media yang tidak homogen dan isotropis

(𝑖 )𝜌1 ≠ 𝜌2 (𝑖𝑖)𝜌1𝑥 = 𝜌1𝑦 = 𝜌1𝑧 𝑎𝑛𝑑 𝜌2𝑥 = 𝜌2𝑦 = 𝜌2𝑧 (2.22)

(c) media yang homogen dan anisotropik


(𝑖) 𝜌1 = 𝜌2 (𝑖𝑖) 𝜌1𝑥 ≠ 𝜌1𝑦 ≠ 𝜌1𝑧 (𝑖𝑖𝑖) 𝜌2𝑥 ≠ 𝜌2𝑦 ≠ 𝜌2𝑧 (2.23)

(iv) 𝜌1 = 𝜌2𝑥′ 𝜌1𝑦 = 𝜌2𝑦 𝑎𝑛𝑑 𝜌1𝑧 = 𝜌2𝑧

(d) tanah yang tidak homogen dan anisotropik

(𝑖) 𝜌1 ≠ 𝜌2 (𝑖𝑖) 𝜌1𝑥 ≠ 𝜌1𝑦 ≠ 𝜌1𝑧 ≠ 𝜌2𝑥 ≠ 𝜌2𝑦 ≠ 𝜌2𝑧 (2.24)

Untuk medium yang homogen dan isotropis (Gbr. 2.16a), konduktivitas listrik atau permitivitas
listrik adalah besaran skalar. Untuk bumi yang tidak homogen dan anisotropik, sifat-sifat ini
menjadi tensor 3 × 3. Untuk bumi yang homogen dan isotropis ⃗𝐽 (= 𝜎𝐸⃗ ) berada dalam arah
yang sama dengan E (lihat Bab 6). Untuk

Gbr. 2.16 (a, b). Menunjukkan model medium homogen dan isotropik serta inhomogen dan
anisotropik

medium anisotropik (Gbr. 2.16b), J memiliki sifat pengarah dan umumnya arah J dan E berbeda.
Oleh karena itu, untuk sistem koordinat persegi panjang, versi modifikasi hukum Ohm dapat
ditulis sebagai:

𝐽𝑥 = 𝜎𝑥𝑥 𝐸𝑥 + 𝜎𝑥𝑦 𝐸𝑦 + 𝜎𝑥𝑧 𝐸𝑧

𝐽𝑦 = 𝜎𝑦𝑥 𝐸𝑥 + 𝜎𝑦𝑦 𝐸𝑦 + 𝜎𝑦𝑧 𝐸𝑧 (2.25)

𝐽𝑧 = 𝜎𝑧𝑥 𝐸𝑥 + 𝜎𝑧𝑦 𝐸𝑦 + 𝜎𝑧𝑧 𝐸𝑧

di mana σik dapat didefinisikan sebagai konduktivitas listrik dalam arah κ ketika aliran arus
dalam arah i. Ini adalah tensor 3 × 3. Ketika σik = σki, . konduktivitas medium anisotropik
adalah tensor simetris yang memiliki enam komponen.

2.6 Tensor

Setiap entitas fisik yang diekspresikan menggunakan n subskrip atau superskrip adalah tensor
dengan orde n dan diekspresikan sebagai𝑇123456.........𝑛 . Setiap sifat fisik bumi, katakanlah
konduktivitas listrik σ atau permitivitas listrik ∈ atau permeabilitas magnetik μ adalah sebuah
skalar dalam medium yang sangat homogen dan isotropik. Dalam medium yang tidak homogen
dan anisotropik, skalar menjadi tensor. Seperti misalnya dalam medan aliran arus searah (lihat
Bab 6), J = σE dalam medium yang homogen dan isotropis di mana J adalah kerapatan arus
dalam amp/meter², σ adalah konduktivitas listrik dalam mho/meter dan E adalah medan listrik
dalam volt/meter. Dalam medium yang tidak homogen dan anisotropik, J = σijE di mana J tidak
lagi searah dengan E dan σ digantikan oleh σij untuk mengakomodasi efek perubahan arah dan
magnitudo. σij adalah tensor dengan pangkat 2. Efek dari ketergantungan arah diberikan dalam
persamaan (2.25). Tensor σij ini memiliki 9 komponen dengan i = x, y, z dan j = x, y, z untuk
koordinat kartesian dalam geometri Euclidean. Di sini σxy adalah konduktivitas listrik untuk
kerapatan arus di sepanjang arah x dan kontribusi medan listrik di arah y. Ketergantungan arah
mengubah skalar menjadi tensor pangkat 2 yang dapat diekspresikan dalam bentuk matriks. Jadi
tensor dengan pangkat atau orde n dapat dituliskan sebagai Ti1i2i3i4....dalam . Dengan
pengenalan singkat tentang sifat tensor ini, kita akan membahas secara singkat beberapa sifat
dasar tensor.

Definisi fundamental yang terlibat dalam analisis tensor berhubungan dengan subjek
transformasi koordinat. Mari kita pertimbangkan satu set variabel (x1 , x 2 , x 3 ) yang terkait
dengan satu set variabel lain (z1 , z 2 , z 3 ) di mana 1, 2, 3 adalah superskrip. Hubungan antara
kedua variabel tersebut adalah dalam bentuk

𝑧 1 = 𝑎11 𝑥 1 + 𝑎12 𝑥 2 + 𝑎13 𝑥 3

𝑧 2 = 𝑎12 𝑥 1 + 𝑎22 𝑥 2 + 𝑎32 𝑥 3

𝑧 3 = 𝑎13 𝑥 1 + 𝑎23 𝑥 2 + 𝑎33 𝑥 3 (2.26)

di mana koefisiennya adalah konstanta. Dalam hal ini dua set variabel (x¹ , x² , x³ ) dan (z¹ , z² ,
z³ ) dihubungkan dengan transformasi linier. Transformasi ini dapat ditulis sebagai
𝑛=3

𝑧 = ∑ 𝑎𝑛𝑟 𝑥 𝑛 𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒 𝑟 = 1,2,3


𝑟
(2.27)
𝑛=1

Persamaan (2.27) dapat ditulis sebagai

𝑧 𝑟 = 𝑎𝑛𝑟 𝑢𝑛 𝑓𝑜𝑟 𝑟 = 1,2,3. (2.28)

Jadi, kita dapat mendefinisikan tensor orde dua sembilan komponen sebagai tij untuk i = 1, 2, 3
dan j = 1, 2, 3 pada kerangka tak tereduksi dan sembilan komponen pada kerangka tereduksi jika
komponen-komponen tersebut berhubungan dengan hukum transformasi koordinat.

𝑇𝑖𝑗 = 𝜇𝑖𝑘 . 𝜇𝑗𝑖 . 𝑇𝑖𝐽 (2.29)


Dalam konteks ini, kami mendefinisikan ulang skalar dan vektor sebagai berikut. Sebuah entitas
fisik disebut skalar jika hanya memiliki satu komponen, katakanlah α dalam sistem koordinat xi
dan diukur sepanjang ui dan komponen ini tidak berubah ketika dinyatakan dalam x/i dan diukur
sepanjang u/i, yaitu
/ / /
𝛼(𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝛼 / (𝑥𝑖 , 𝑦𝑖 , 𝑧𝑖 (2.30)

Skalar adalah tensor dengan orde nol. Sebuah entitas fisik disebut vektor atau tensor orde satu
jika memiliki 3 komponen ξi dan jika komponen-komponen ini dihubungkan oleh transformasi
hukum koordinat

ξ 1 i = uikξk (2.31) di mana uik = Cos u 1 i , ui .

Relasi ini juga dapat ditulis dalam bentuk matriks sebagai ξ 1 i = uξ di mana ξ 1 , u, ξ berisi
elemen-elemen dari (2.29).

Vektor kontravarian: Misalkan entitas fisik memiliki nilai α 1 , α 2 , α 3 dalam sistem koordinat
x1 , x 2 , x 3 dan besaran-besaran ini berubah menjadi bentuk α¯1 , α¯2 , α¯3 dalam sistem
koordinat ¯ x 1 , ¯ x 2 , ¯ x 3 . Sekarang jika

α¯ m = ∂¯x m ∂x i α i untuk m = 1, 2, 3, i = 1, 2, 3 (2.32)

maka besaran-besaran α 1 , α 2 , α 3 adalah komponen-komponen vektor kontravarian atau


tensor kontravarian dari pangkat pertama sehubungan dengan transformasi

¯x r = Fr (x1 , x 2 , x 3 )=¯x r (x1 , x 2 , x 3 ) untuk r = 1, 2, 3 (2.33)

dalam ruang euclidean. Ruang koordinat lengkung ¯x 1 1 , ¯x 1 2 , ¯x 3 dibuat oleh (x1 , x 2 , x


3 ) dengan transformasi koordinat.

Vektor kovarian : Jika sebuah entitas fisik memiliki nilai α1, α2, α3 dalam sistem koordinat (x1,
x2, x3) dan nilai-nilai ini berubah menjadi bentuk (α¯1, α¯2, α¯3) dalam sistem koordinat (¯x1,
¯x2, ¯x3) dan jika

α¯m = ∂x i ∂¯xm αi (2.34)

Maka α1, α2, α3 adalah komponen vektor kovarian atau tensor dengan pangkat 1

Tensor yang memiliki komponen kontravarian dan kovarian disebut tensor campuran. Sebagai
contoh

α¯ m n = ∂¯x m ∂x i . ∂x j ∂¯x n α i j (2.35)

adalah tensor campuran dengan pangkat 2. Delta Kronecker δ m n adalah tensor campuran
dengan pangkat 2. Ini didefinisikan sebagai
δ m n = 1 jika m = n 0 jika m = n (2.36)

Karena bumi adalah medium yang anisotropik dan tidak homogen, untuk masalah yang berkaitan
dengan bumi yang anisotropik, tensor digunakan.

2.7 Masalah Nilai Batas

Solusi masalah nilai batas adalah salah satu subjek penting dalam fisika matematika. Untuk
menentukan potensial atau medan pada titik mana pun di dalam domain tertutup R, yang dibatasi
oleh permukaan S, masalah tersebut harus memenuhi syarat batas tertentu atau beberapa syarat
batas dikenakan pada permukaan atau di dalam medium untuk mendapatkan solusi yang
diperlukan. Pada sebagian besar masalah potensial, konstanta atau koefisien arbitrer tertentu
muncul dalam solusi. Konstanta-konstanta ini dievaluasi dengan menerapkan kondisi batas.
Bahkan melalui kondisi batas ini geometri masalah masuk ke dalam solusi. Diskusi rinci dan
penggunaan kondisi batas tersedia di Bab. 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 15. Kondisi batas lebih banyak
digunakan pada metode elektromagnetik dibandingkan dengan metode arus searah. Hampir
setiap persamaan Maxwell menghasilkan kondisi batas (lihat Bab 12). Aplikasi dan sifat kondisi
batas berbeda dalam masalah yang berbeda. Hanya beberapa pendekatan yang digunakan dalam
geofisika matematis yang dibahas dalam buku ini. Kondisi batas yang diterapkan dalam
memecahkan masalah dalam variabel yang kompleks memiliki tipe yang berbeda (lihat Bab 9)
Tugas penting dalam memecahkan masalah dalam teori potensial adalah membawa sumber dan
potensi gangguan dalam bentuk matematis yang sama sebelum kondisi batas diterapkan. Contoh-
contoh yang telah dipecahkan dalam Bab. 7, 8 dan 13 adalah beberapa demonstrasi ke arah ini.
Untuk pemodelan matematis, kita sering menjumpai tiga jenis masalah nilai batas, yaitu masalah
Dirichlet, masalah Neumann dan masalah campuran (Robin/Cauchy).

2.7.1 Masalah Dirichlet

Pada daerah tertutup R yang memiliki batas tertutup S, ketika menyelesaikan persamaan Laplace
∇2φ = 0 (lihat Bab 7), beberapa nilai yang ditentukan diberikan pada batas-batas tersebut. Ketika
potensial ditentukan pada batas, masalahnya disebut masalah Dirichlet dan kondisi batasnya
adalah kondisi batas Dirichlet. Potensial pada batas mana pun dapat berupa nol atau fungsi jarak
atau konstanta. Jika potensial pada batas tersebut adalah nol maka itu adalah kondisi batas
homogen. Jika tidak, maka kondisi batasnya tidak homogen. Di dalam batas, yang berperilaku
baik pada daerah ini dan mengambil beberapa nilai yang ditentukan pada batas katakanlah φ (x,
y, z) = 0. (Gbr. 2.17a), masalahnya disebut masalah Dirichlet. Sebagai contoh potensial pada
suatu
jarak tak terhingga dari sumber adalah nol. Oleh karena itu, jika kita membuat domain kerja
menjadi sangat besar, kita dapat menentukan φ(x, y, z) = 0 di semua tempat pada batas karena
potensial akan berkurang menjadi nol pada jarak tak hingga dari sumber titik mengikuti hukum 1
r (lihat Bab 3, 4, 6, 9, 15).

2.7.2 Masalah Neumann

Untuk solusi persamaan Laplace atau Poisson, jika turunan normal dari potensial ditentukan pada
batas-batasnya maka masalahnya disebut masalah Neumann dan kondisi batasnya adalah kondisi
batas Neumann. Penerapan syarat batas Neumann ditunjukkan pada Bab. 8, 9 dan 15. (Gbr.
2.17b). Seperti halnya syarat batas Dirichlet, syarat batas Neumann dapat bersifat homogen atau
tidak homogen.

2.7.3 Masalah Campuran

Jika φ ditentukan pada bagian tertentu dari suatu batas dan ∂φ ∂n ditentukan pada bagian lain
dari batas tersebut, maka permasalahan tersebut disebut permasalahan campuran atau Robin.
Sebagian besar persoalan geofisika adalah persoalan campuran di mana φ ditentukan pada satu
bagian dan ∂φ ∂n ditentukan pada bagian lain dari batas. Gambar (2.17c) menunjukkan sebuah
domain bumi di mana permukaan atas adalah batas udara-bumi. Karena kontras resistivitas pada
batas udara-bumi sangat tinggi, maka ∂φ ∂n , turunan normal dari potensial, akan selalu bernilai
nol. Batas-batas lain didorong menjauh dari daerah kerja untuk memaksa potensial φ menjadi
nol.

Untuk solusi persamaan Poisson atau persamaan Laplace, potensial dan turunannya
membuat kondisi k ∂φ ∂n + hφ = 0. Penerapan kondisi batas campuran ditunjukkan pada Bab 15.

2.8 Dimensi Masalah dan Kemampuan Pemecahannya

Untuk interpretasi data lapangan geofisika, seseorang harus melalui penyelesaian masalah maju
dan mundur. Pemilihan masalah maju yang tepat adalah langkah yang sangat penting untuk
memulai. Ahli geofisika membutuhkan bantuan dari teori potensial untuk menyelesaikan
masalah maju. Masalah ruang penuh yang homogen dan isotropis adalah masalah nol dimensi
karena sifat fisiknya tidak berubah ke segala arah. Setengah ruang yang homogen dan isotropis
memiliki dua media dengan sifat fisik yang berbeda dan memiliki batas yang tajam di antara
keduanya. Bumi yang diasumsikan homogen dengan batas udara adalah setengah ruang
homogen. Bumi yang berlapis menghasilkan masalah satu dimensi karena properti fisik hanya
bervariasi sepanjang arah vertikal ke bawah. Oleh karena itu, semua masalah potensial dan
nonpotensial yang terkait dengan bumi berlapis adalah masalah satu dimensi, (Gbr. 2.18a, b).

arah, masalah ini disebut masalah dua dimensi. Di sini x, y, z adalah sembarang arah yang saling
tegak lurus. Sebuah silinder yang panjangnya tak terhingga berbentuk lingkaran atau persegi
panjang atau sembarang penampang yang ditempatkan secara horizontal pada kedalaman tertentu
dari permukaan bumi atau terpapar di permukaan bumi adalah contoh ideal dari masalah dua
dimensi. Banyak model bumi dengan geometri yang jauh lebih rumit yang biasa digunakan untuk
interpretasi data geofisika. (Gbr. 2.18c) Ketika sebuah properti fisik bervariasi di sepanjang arah
x dan z dan struktur silinder memiliki panjang yang terbatas di sepanjang arah y, masalah
1
tersebut disebut sebagai masalah dua setengah dimensi (2 Masalah D).
2

Ketika sebuah properti fisik bervariasi dalam ketiga arah, masalahnya disebut masalah
tiga dimensi (masalah 3-D). (Gbr. 2.18d) Untuk sebagian besar masalah satu dimensi, solusi
analitis bentuk tertutup tersedia. Untuk solusi masalah dua dan tiga dimensi digunakan elemen
hingga, beda hingga, persamaan integral, integrasi volume

Metode Fourier digunakan. Ini adalah metode numerik (Bab 15). Banyak dari masalah
dua dimensi memiliki solusi analitis yang lengkap. Sebagian teknik numerik dan sebagian teknik
analitik digunakan untuk menyelesaikan beberapa masalah (lihat Bab 7, 8, 9).

Dengan munculnya metode numerik dan komputer berkecepatan tinggi, domain dan
kemampuan pemecahan masalah maju telah meningkat secara signifikan dan tidak lagi terbatas
pada benda-benda dengan geometri yang lebih sederhana saja
2.9 Persamaan

2.9.1 Persamaan Diferensial

Persamaan diferensial biasa orde pertama


𝑑𝑦
+ 𝑝(𝑥)𝑦 = 𝑟(𝑥) (2.37)
𝑑𝑥

adalah sebuah persamaan diferensial linear. Fitur penting dari persamaan ini adalah bahwa
𝑑𝑦
persamaan ini linier dalam y dan di mana p dan r adalah fungsi tertentu dari x. Jika ruas kanan
𝑑𝑥
r(x) = 0 untuk semua x dalam suatu daerah kerja, persamaan tersebut dikatakan homogen. Jika
tidak, maka persamaan tersebut tidak homogen. Diferensial biasa

Persamaan dapat dibagi menjadi dua kelas besar, yaitu persamaan linear dan non-linear.

Persamaan diferensial orde dua


𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
+ 𝑝(𝑥) 𝑑𝑥 + 𝑞(𝑥)𝑦 = 𝑟(𝑥) (2.38)
𝑑𝑥 2

disebut persamaan homogen jika r(x) = 0.

Persamaan tersebut tidak linier jika dapat ditulis sebagai

𝑑2 𝑦 𝑑𝑦 𝑑𝑦
𝑥( 𝑑𝑥 2 + (𝑑𝑥 )2 ) + 2 𝑦 = 0. (2.39)
𝑑𝑥

Persamaan diferensial biasa dengan orde ke-n dapat ditulis sebagai

𝑑𝑛𝑦 𝑑𝑛−1 𝑦 𝑑𝑦
+ 𝑃𝑛−1 (𝑥) 𝑑𝑥 𝑛−1 + . . . . . . . . + 𝑃1 + 𝑃𝑜 (𝑥)𝑦 = 𝑟(𝑥) (2.40)
𝑑𝑥 𝑛 𝑑𝑥

di mana r, Po ,P1 ,P2 ... Pn adalah fungsi-fungsi x. Dengan cara yang sama, persamaan ini dapat
bersifat homogen dan tidak homogen. Persamaan diferensial parsial adalah persamaan di mana
fungsi-fungsi yang terlibat bergantung pada dua atau lebih variabel independen. Persamaan ini
digunakan untuk memecahkan banyak masalah fisika, yaitu masalah teori potensial, teori
elektromagnetik, konduksi panas dan teori aliran fluida, mekanika padat, dll. Kami
menggunakan persamaan diferensial parsial ini untuk memecahkan masalah nilai batas dari
berbagai cabang fisika matematika.

Persamaan diferensial parsial adalah linear jika persamaan tersebut atau turunan parsialnya
adalah variabel independen tingkat pertama. Jika tidak, maka persamaan tersebut tidak linier.
Jika setiap suku dari persamaan jenis ini mengandung variabel dependen atau salah satu
turunannya, maka persamaan tersebut dikatakan homogen. Jika tidak, maka persamaan tersebut
tidak homogen.

Sebuah persamaan dalam bentuk

𝜕2𝑢 𝜕 2𝑢 𝜕 2𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑢
𝐴 + 2𝐵 + 𝐶 = 𝐹(𝑥, 𝑦, 𝑢, 𝜕𝑥 , 𝜕𝑦 ) (2.41)
𝜕𝑥 2 𝜕𝑥𝜕𝑦 𝜕𝑦 2

adalah bentuk normal dari persamaan diferensial parsial. Persamaan dikatakan eliptik jika AC-B2
> 0, parabola jika AC-B2 = 0 dan hiperbolik jika AC-B2 < 0. Di sini A, B, C dapat berupa fungsi
dari x, y, z. Sebagai contoh persamaan Laplace

𝜕 2𝑢 𝜕2 𝑢 𝜕 2𝑢
2 + 2 + = 0 (2.42)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧 2

adalah persamaan elips. Persamaan konduksi panas


𝜕𝑢 𝜕 2𝑢
= 𝐶 (2.43)
𝜕𝑡 𝜕𝑥 2

adalah persamaan parabola dan persamaan gelombang


𝜕 2𝑢 𝜕 2𝑢
2 = 𝐶2 (2.44)
𝜕𝑡 𝜕𝑥 2

adalah persamaan hiperbolik.

2.9.2 Persamaan Integral

Teori persamaan Integral berhubungan dengan persamaan di mana fungsi yang tidak diketahui
berada di bawah tanda integral. Subjek ini dikembangkan oleh V. Volterra (1860-1940), E.I.
Fredhom (1866-1927) dan D. Hilbert (1862-1943).

Jika gaya eksternal diterapkan pada sistem linier dan dijelaskan oleh fungsi f(x) (a ≤ x ≤
b), maka hasil atau output diberikan oleh sistem yang dapat ditulis sebagai
𝑏
𝑓(𝑥) = ∫𝑎 𝐺 (𝑥, 𝜉)𝑓(𝜉)𝑑𝜉 (2.45)

di mana G(x, ξ) adalah fungsi Kernel atau fungsi Green yang ditentukan oleh sistem yang
diberikan. Persamaan integral (IE) memiliki peran utama dalam pemodelan geofisika ke depan.
Di sini diperkenalkan kelas persamaan integral tertentu. Persamaan integral muncul dalam kelas
tertentu dari difusi dan masalah potensial dalam geofisika. IE memiliki keberhasilan besar dalam
menangani masalah tiga dimensi baik dalam masalah potensial (skalar dan vektor) dan non
potensial. Jika kedua batas atas dan bawah dari sebuah integral adalah konstan maka persamaan
tersebut adalah tipe Fredhom. Jika salah satu batasnya adalah variabel bebas, maka persamaan
tersebut adalah tipe Volterra. Sebuah persamaan integral dikatakan linear jika semua suku yang
muncul dalam persamaan tersebut adalah linear. Persamaan integral ini dapat berupa jenis
pertama, kedua, dan ketiga sebagai berikut:

(i) Persamaan integral Fredhom jenis pertama.


𝑏
∫𝑎 𝐾 (𝑥, 𝑡)𝑓(𝑡)𝑑𝑡 = 𝑔(𝑥) (2.46)

(ii) Persamaan integral Fredhom jenis kedua


𝑏
∫𝑎 𝐾 (𝑥, 𝑡)𝑓 (𝑡)𝑑𝑡 = 𝑔(𝑥 ) + 𝑓(𝑥) (2.47)

(iii) Persamaan integral Fredhom jenis ketiga


𝑏
∫𝑎 𝐾 (𝑥, 𝑡)𝑓(𝑡)𝑑𝑡 = 𝜆𝑓(𝑥) (2.48)

(iv) Persamaan integral Volterra jenis pertama


𝑥
∫𝑎 𝐾 (𝑥, 𝑡)𝑓(𝑡)𝑑𝑡 = 𝑔(𝑥) (2.49)

(v) Persamaan integral Volterra jenis kedua


𝑥
∫𝑎 𝐾 (𝑥, 𝑡)𝑓(𝑡)𝑑𝑡 = 𝑔(𝑥 ) + 𝑓(𝑥) (2.50)

(vi) Persamaan integral Volterra jenis ketiga


𝑥
∫𝑎 𝐾 (𝑥, 𝑡)𝑓(𝑡)𝑑𝑡 = 𝜆𝑓(𝑥) (2.51)

Dalam persamaan integral Fredhom, batas atas dan bawah masing-masing adalah 'b' dan 'a' di
mana 'a' dan 'b' adalah konstanta. Pada persamaan integral Volterra, batas atas dan bawah
masing-masing adalah 'x' dan 'a' di mana x adalah variabel independen dan 'a' adalah konstanta.
Di sini f(t) adalah fungsi yang tidak diketahui untuk ditentukan. K(x, t) dan g(x) adalah fungsi
yang diketahui. K(x,t) dikenal sebagai fungsi Kernel. Persamaan jenis ketiga adalah versi
homogen dari jenis kedua dan mendefinisikan masalah nilai eigen. Persamaan integral jenis
kedua ini dapat diselesaikan secara iteratif atau menggunakan metode kuadratur Gauss untuk
integrasi numerik atau dengan metode ekspansi deret. Pembahasan lebih lanjut mengenai
persamaan integral dapat dilihat pada Bab 15. Nilai Eigen didefinisikan dalam Bab 17.

2.10 Domain Geofisika dalam Teori Potensial

Teori potensial merupakan subjek yang luas dan digunakan oleh fisikawan, ahli geofisika,
insinyur listrik, insinyur komunikasi listrik, matematikawan yang bekerja di bidang dinamika
fluida, variabel kompleks, aerodinamika, akustik, teori gelombang elektromagnetik, aliran panas,
teori gravitasi, dan magnet, dan lain-lain. Subjek ini menjadi dasar dari banyak cabang ilmu
pengetahuan dan teknik. Hanya sebagian dari geofisika, yang dikendalikan oleh teori potensial,
termasuk gravitasi, magnetik, aliran panas elektromagnetik listrik dan metode aliran fluida ...
Metode seismik dalam geofisika dan geofisika nuklir berada di luar jangkauan teori potensial.
Semua potensi yang berasal dari elektrokimia dan elektrokinetik secara ketat tidak termasuk
dalam teori potensial.

Tugas utama seorang ahli geofisika adalah memahami data yang dikumpulkan dari lapangan dan
menafsirkannya dalam bentuk model geologi yang dapat diterima dalam batas kemampuan
penyelesaian yang terbatas dari berbagai bidang potensial geofisika. Untuk melaksanakan tugas
ini dengan baik, ahli geofisika harus menyusun model bumi dan memiliki beberapa gagasan
tentang sifat respons lapangan. Untuk mendapatkan pemahaman ini, ahli geofisika memecahkan
masalah ke depan untuk berbagai cabang geofisika dengan menggunakan teori potensial
(potensial skalar dan vektor). Oleh karena itu, teori potensial, yang dilengkapi dengan alat
matematika yang berbeda, menjadi dasar untuk menyelesaikan masalah ke depan. Teori potensial
adalah suatu keharusan untuk memahami perilaku data geofisika. Teori inversi muncul
berikutnya sebagai alat

untuk interpretasi. Munculnya teori inversi merevolusi seluruh prosedur interpretasi data
geofisika. Hal ini menjadi mungkin karena perkembangan yang sangat cepat dari ilmu komputer,
teknologi perangkat lunak dan metode numerik dalam pemodelan matematika. Perkembangan
fenomenal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang-bidang ini selama tiga dekade
terakhir telah meningkatkan daya penglihatan para ahli geofisika untuk melihat ke dalam bumi.
Dalam buku ini, selain beberapa pengantar mengenai medan gravitasi, medan magnetostatik,
medan elektrostatik, medan aliran arus searah, dan medan elektromagnetik, kami juga
memperkenalkan (i) solusi persamaan Laplace dan kontribusinya dalam menyelesaikan berbagai
jenis masalah nilai batas, (ii) variabel kompleks dan perannya dalam menyelesaikan masalah
potensial dua dimensi (iii) teorema Green dan aplikasinya dalam menyelesaikan masalah
potensial (iv) konsep gambar dalam teori potensial (v) teori elektromagnetik dan potensial vektor
serta kontribusinya dalam menyelesaikan masalah nilai batas elektromagnetik (vi) metode
elemen hingga dan metode beda hingga serta persamaan integral dalam menyelesaikan masalah
potensial dua dan tiga dimensi (vii) fungsi Green (viii) kelanjutan analitik medan potensial dan
(ix) inversi data medan potensial.

Para ilmuwan dari disiplin ilmu fisika dan teknologi lainnya mungkin tertarik dengan beberapa
topik ini.
BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Gaya ini akan menjadi gaya tarik-menarik dalam kasus medan gravitasi, gaya-gaya ini
merupakan medan gaya, medan fisik penting yang digunakan oleh para ahli geofisika adalah (i)
Medan gravitasi, (ii) Medan magnetostatik, (iii) Medan elektromagnetik, (iv) Medan aliran arus
searah, (v) Medan elektrostatik, (vi) Medan aliran panas, (vii) Medan aliran cairan, (viii) Medan
elektromagnetik alamiah bumi, dan lain-lain.

3.2. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus
dan detail dalam menjelaskan makalah di atas dengan lebih banyak sumber yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk saran, bisa berisi kritik atau saran untuk penulisan, bisa juga
berupa tanggapan atas kesimpulan dari pembahasan makalah yang telah dijelaskan.

BIBLIOGRAFI

Amalendu Roy (1924-2005) Mantan Wakil Direktur Lembaga Penelitian Geofisika Nasional
Hyderabad, India.
MAKALAH

MEDAN DAN POTENSIAL GRAVITASI

OLEH:

KELOMPOK 3A

ANISA PURNAMASARI (R1A121001)

KASMIRAWATI (R1A121059)

WISDA HIKMAWATI (R1A121009)

SITTI HARMING (R1A121061)

NURANISA (R1A121055)

SELFIANA (R1A121025)

YAYAT FAHRIAN (R1A121069)

MUH RIFKI ARDIANSYAH (R1A120043)

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

57
KENDARI

2023

58
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah berjudul "Medan dan
Potensial Gravitasi".

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Medan
Potensial. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan serta pengetahuan tentang mata kuliah yang saat ini sedang dipelajari.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Rosliana


Eso,S.Si.,M.Si.selaku dosen mata kuliah. Kami juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena
itu, kami meminta saran, masukan, dan kritik yang membangun guna perbaikan
makalah.

Kendari, Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..…………..…………………………………………….ii

DAFTAR ISI………………...………………………………………………....iii

3. Medan dan Potensial Gravitasi……………………………………………..1

3.1 Perkenalan…………………………………………………………….…1

3.2 Hukum Newton dan Gravitasi……………………………………..…...3

3.3 Medan Gravitasi di Suatu Titik Karena Angka Sumber Titik…….....5

3.4 Medan Gravitasi untuk Benda Besar………………………………......6

3.5 Medan Gravitasi akibat Sumber Garis………………………...………7

3.6 Potensi Gravitasi Karena Sumber Garis Hingga……………………….9

3.7 Gaya Tarik Gravitasi akibat Silinder Terkubur………………...…….11

3.8 Gravitasi akibat Lembaran Bidang……...……………………………..12

3.9 Gravitasi Akibat Pelat Bundar………………………………………...13

3.10 Medan Gravitasi di Suatu Titik di Luar Sumbu dari Silinder


Vertikal………………………………………………………………...14

3.11 Potensi Gravitasi di Suatu Titik karena Benda Bulat………………17

3.12 Daya Tarik Gravitasi di Permukaan karena Bola yang Terkubur....22

3.13 Anomali Gravitasi karena Tubuh Penampang Trapesium..………...23

3.14 Medan Gravitasi Bumi………………………...……………………….29

3.15 Satuan…………………………………………………………………...33

3.16 Persamaan Dasar……………………………………………………….33

iii
iv
1
 ANISA PURNAMASARI (R1A121001) : 3.1 – 3.2
3. Medan dan Potensial Gravitasi
Dalam bab ini kami memasukkan beberapa pendahuluan tentang potensial dan medan
gravitasi, yaitu, hukum tarik-menarik gravitasi Newton, medan dan potensial gravitasi, konstanta
gravitasi universal dan percepatan gravitasi, sifat medan gravitasi bumi, potensial gravitasi dan
bidang untuk benda dengan geometri yang lebih sederhana dan persamaan pemandu dasar medan
gravitasi. Beberapa poin tentang sifat medan gravitasi bumi dan pendahuluan dasar tentang
penanganan data disebutkan.Topik lanjutan, yaitu teorema harmonik bola Green, lapisan
ekuivalen Green, dan kelanjutan analitik medan potensial diberikan masing-masing dalam Bab.
7, 10 dan 16.

3.1 Pengenalan

Sir Isaac Newton pertama kali menerbitkan Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
pada tahun 1687. Di dalamnya dia memberikan gagasan baik tentang hukum gravitasi maupun
hukum gaya. Disadari bahwa (i) gaya gravitasi selalu merupakan gaya tarik-menarik, (ii) Bukan
hanya gaya global melainkan gaya universal yang ada di seluruh alam semesta, (iii) Ini adalah
salah satu gaya lemah, (iv ) Ada hubungannya dengan massa benda, (v) prinsip superposisi
berlaku untuk medan gravitasi, (vi). Gaya sentrepetal dan sentrifugal memang ada, (vii)
pergerakan planet mengelilingi bintang yang berbeda dan pergerakan satelit mengelilingi planet
yang berbeda dikendalikan oleh gaya tarik-menarik gravitasi. Dua parameter fisik yang penting,
yaitu, 'G' dan 'g' tampil di depan untuk kemajuan lebih lanjut meskipun massa benda,
densitasnya, memiliki hubungan langsung dengan gaya gravitasi telah direalisasikan. Lord
Cavendish secara eksperimental menentukan nilai 'G', konstanta gravitasi universal, di
laboratoriumnya dengan mengukur gaya tarik-menarik antara dua bola timah yang ditempatkan
pada jarak tertentu dan menerbitkan nilai 'G' pada tahun 1798 menjadi 6.754x10 -11 m³kg-1s-2
(satuan MKS atau SI) yang kemudian disempurnakan menjadi 6.672 x 10-11 satuan MKS.
Percepatan gravitasi pertama kali diukur oleh Galileo dalam eksperimennya yang terkenal
dengan menjatuhkan benda dari menara miring Pisa. Nilai numerik 'g' ditemukan sekitar 980
cm/detik². Untuk menghormati Galileo satuan 1 cm/detik², satuan percepatan gravitasi disebut
sebagai 'Gal' atau 'gal'. Sejak awal telah dipahami bahwa gaya gravitasi bersifat global dan gaya
gravitasi selalu merupakan gaya tarik-menarik dan seluruh jaringan miliaran bintang, planet, dan

2
satelit dikendalikan oleh gaya gravitasi. Tiga hukum Kepler yaitu, (i) orbit setiap planet adalah
elips dengan matahari di salah satu fokusnya (ii) jari-jari orbit bumi menyapu luas yang sama
dalam interval waktu yang sama dan (iii) rasio kuadrat dari periode revolusi planet terhadap
pangkat tiga sumbu semi mayor orbit adalah konstan untuk semua planet dan dapat dijelaskan
dari hukum gravitasi Newton.

Putaran penelitian berikutnya di bidang ini dipusatkan pada evaluasi akurat dari nilai
mutlak 'g', percepatan gravitasi, dan G. konstanta gravitasi universal. Segera para fisikawan
mengetahui bahwa periode waktu osilasi bandul sederhana, yang melakukan gerak harmonik
sederhana, dihubungkan dengan percepatan gravitasi g melalui hubungan 𝑇 = 2𝜋√𝑙 ∕ 𝑔 di mana
I adalah jarak antara titik pivot. dari engsel ke pusat massa dan T adalah periode waktu osilasi.
Meskipun ekspresi terlihat sangat sederhana, beberapa tahap pengembangan dan pembuatan
pendulum majemuk diperlukan untuk pengukuran 'g' yang akurat. Dapat diketahui, segera setelah
nilai 'g' diketahui bahwa 'g adalah besaran yang bergantung pada garis lintang dan bentuk bumi
hampir bulat dengan elips tertentu. Sudah diketahui sejak awal bahwa massa dan densitas suatu
benda saling terkait dan berhubungan dengan medan gravitasi bumi. Oleh karena itu baik massa
maupun kerapatan rata-rata bumi dapat diketahui dari 'G' dan 'g.

Belakangan ahli geofisika muncul untuk pengukuran akurat variasi kecil dari nilai 'g'
karena variasi kecil kepadatan batuan dan mineral. Presisi pengukuran telah meningkat
sedemikian rupa sehingga unit praktis pengukuran variasi medan gravitasi dikurangi menjadi
miligal (10−3 ). Variasi menit gravitasi disebut sebagai "Δg", anomali gravitasi dan instrumen
presisi disebut gravimeters. Gravimeters mengukur variasi menit dalam 'g' daripada nilai
absolutnya. Tingkat presisi menuju ke tingkat mikrogal di abad ke-21 Gravimeter ultrasensitif
digunakan untuk survei geodesi, studi kerak bumi dan eksplorasi geofisika Dalam bab ini
diberikan garis besar singkat tentang medan dan potensial gravitasi Beberapa topik tentang
potensial dan medan gravitasi disertakan dalam Bab 10 dan 16 .

3.2 Hukum Newton dan Gravitasi

Hukum Gravitasi Newton menyatakan bahwa “Setiap partikel di alam semesta menarik
setiap partikel lain dengan gaya yang berbanding lurus dengan produk massa partikel dan

3
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar mereka”. Oleh karena itu, Hukum Gravitasi
Newton dapat dinyatakan sebagai

𝑚1 𝑚2
𝐹𝛼
𝑟2

yang dapat ditulis sebagai

𝑚1 𝑚2
𝐹=𝐺 (3.1)
𝑟2

di mana F adalah gaya tarik-menarik antara dua massa m1 dan m2 ditempatkan pada jarak r dari
satu sama lain dan G, konstanta proporsionalitas, adalah konstanta gravitasi universal. Di sini m1
dan m2 adalah dua massa yang dipisahkan oleh jarak r. G ini adalah gaya tarik-menarik antara
dua partikel satuan massa yang dipisahkan oleh jarak satuan. Percepatan gravitasi adalah “g”.
Satuannya adalah cm/sec2 atau Gal. Unit Gal diperkenalkan untuk menghormati Galileo. Satuan
praktisnya adalah miligal = 10 -3 gal. Dengan menganggap bumi sebagai benda bulat dengan
kerapatan 𝜌 dan jari-jari ‘r’, gaya tarik-menarik antara bumi dan benda massa M diberikan oleh

𝑀𝑒 𝑀
𝐺 = 𝑀𝐺 (3.2)
𝑟2

4
di mana Me adalah massa bumi dan sama dengan = 𝜋𝑟 3 𝜌dan 𝜌 adalah kerapatan rata-rata
3

bumi adalah (𝜌 = 5.67 gms/ cc kira-kira). Di sini g adalah percepatan gravitasi dan kira-kira
sama dengan g = 981 cm/sec2. Di Unit C.G.S

3𝑔 1
𝐺= = (𝑘𝑖𝑟𝑎 − 𝑘𝑖𝑟𝑎) (3.3)
4𝜋𝜌𝑟 15,500,000

10−8 𝑐𝑚
= 6.664 × (𝐶𝐺𝑆 𝑢𝑛𝑖𝑡)
𝑔. 𝑠𝑒𝑐 2

10−11 𝑚
6.664 × 𝑘𝑔.𝑠𝑒𝑐 2 (𝑀. 𝐾. 𝑆 𝑈𝑛𝑖𝑡) (3.4)

G dalam dyne -cm2 / gm2 yang setara dengan Newton. Cavendish pertama secara eksperimental
menentukan nilai G seperti yang disebutkan.

4
Medan gravitasi adalah medan potensial konservatif, solenidal (di daerah bebas sumber),
irrotasional, global, dan skalar yang ada secara alami dengan dimensi yang sangat besar. Dua
massa yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh dapat mengalami gaya tarik-menarik sebesar
apa pun besarnya gaya itu. Gaya gravitasi keluar di antara semua benda langit. Itu adalah
kekuatan yang lemah. Tetapi gaya selalu merupakan gaya tarik-menarik dan arah gaya sepanjang
garis yang menghubungkan pusat-pusat dua massa m1 dan m2 (Gambar 3.1) di P(x, y, x) dan di Q
(𝜉, 𝜂, 𝜁) di mana r adalah jarak antara dua titik massa.𝑟vektor gaya arah yang dinyatakan sebagai
jarak kedua massa dapat ditulis sebagai

𝑟= 𝑖(x - 𝜉) + 𝑗(y-𝜂)+ 𝑘⃗(z - 𝜁)(3.5)

Untuk massa titik satuan m2, gravitasi akibat massa titik diberikan oleh

𝑚
𝑙𝑖𝑚 𝐹 = −𝐺 .𝑟
𝑚2 →1 𝑟2

Gambar 3.1 Gaya tarik gravitasi di titik P akibat massa titik m di titik Q yangberjarak r dari P

di mana 𝑟 adalah arah vektor satuan. Medan gravitasi adalah medan potensial skalar i,e.,
potensialnya adalah skalar dan medannya adalah vektor. Mereka terkait dengan relasi 𝐸⃗ =
−grad𝜙. Banyak penulis menggunakan tanda negatif untuk menyatakan,

⃗⃗⃗ =−𝐺 𝑚1 2𝑚2 𝑟


𝐹 (3.6)
𝑟

Seperti yang sudah disebutkan medan gravitasi, selalu merupakan medan irosional yaitu curl 𝑔=
0.

5
Nilai mutlak kerapatan atau variasinya dalam silikat mantel kerak, yang berasal dari
proses termal di dalam bumi maupun karena evolusi tektonik, merupakan generasi yang
bertanggung jawab atas peta gravitasi global. Tujuan investigasi memperbaiki skala pengukuran.

 YAYAT FAHRIAN (R1A121069) : 3.3 – 3.5

3.3 Medan Gravitasi di Suatu Titik Karena Angka Sumber Titik

Misalkan massa m1, m2, m3, m4 didistribusikan dalam ruang dan jaraknya dari titik
pengamatan P masing-masing diberikan oleh r1, r2, r3, r4dll (Gambar 3.2). Misalkan tarikan
gravitasi di titik P untuk massa masing-masing adalah g1, g2, g3, g4. Karena ini akan menjadi
medan vektor, medan total dapat ditentukan dengan menyelesaikan komponen gaya sepanjang
tiga sumbu koordinat.

Misalkan 𝜉𝑖 , 𝜂𝑖 , dan 𝜁𝑖 adalah koordinat partikel dan mi adalah massanya. Gaya yang
𝑚𝑖
bekerja di titik P akibat mi adalah . Komponen gaya sepanjang arah x, y dan z masing-masing
𝑟2

diberikan oleh

𝑚𝑖 𝑚𝑖 𝑥−𝜉
𝑔𝑖𝑥 = 𝑥= . (3.7)
𝑟𝑖2 𝑟𝑖2 𝑟𝑖

𝑚𝑖 𝑚𝑖 𝑦−𝜂
𝑔𝑖𝑦 = 𝑦= . (3.8)
𝑟𝑖2 𝑟𝑖2 𝑟𝑖

𝑚𝑖 𝑚𝑖 𝑧−𝜁
𝑔𝑖𝑧 = 𝑧= . (3.9)
𝑟𝑖2 𝑟𝑖2 𝑟𝑖

Gambar 3.2 Gaya tarik gravitasi di titik P akibat massa m1, m2, m3, dan m4

6
Oleh karena itu, komponen medan gravitasi total gx.gy.gz menggunakan prinsip
superposisi diberikan oleh

(𝑥−𝜉1 ) (𝑦 − 𝜂𝑖 )
gx = ∑𝑛𝑖=1 𝑚𝑖 , 𝑔𝑦 = ∑𝑛𝑖=1 𝑚𝑖
𝑟𝑖3 𝑟𝑖3

dan

(𝑧 −𝜁𝑖 )
gz = ∑𝑛𝑖=1 𝑚𝑖 (3.10)
𝑟𝑖3

Di sini

g = √𝑔𝑥2 + 𝑔𝑦2 + 𝑔𝑧2 (3.11)

Itu memberikan ekspresi untuk gaya tarik-menarik gravitasi pada suatu titik karena n
jumlah massa titik diskrit yang terisolasi.

3.4 Medan Gravitasi untuk Benda Besar

Jika diasumsikan sebuah benda besar padat tiga dimensi dengan kepadatan 𝜌. Mari kita
ambil titik pengamatan P pada koordinat (x, y, z) dan massa elementer di Q yang memiliki
koordinat (𝜉, 𝜂, 𝜁) di dalam benda (Gambar. 3.3). Volume elementer dv = 𝑑𝜉𝑑𝜂𝑑𝜁. Kita dapat
membagi benda menjadi beberapa volume elementer. Kerapatan volume sumber adalah
𝛥𝑚
𝛥𝐿𝑡
𝑣→0 𝜌 = di mana 𝜌 adalah kerapatan benda. Untuk volume kecil dv, massanya adalah 𝜌dv.
𝛥𝑣

Medan akibat seluruh massa sepanjang arah x, y, dan z diberikan oleh

𝜌(𝑥−𝜉) 𝑑𝜉𝑑𝜂 𝑑𝜁
gx =∬𝑉 ∫ (3.12)
[(𝑥−𝜉)2+(𝑦−𝜂)2 +(𝑧−𝜁)2 ]3/2

e«.s.

Gambar 3.3 Tarikan gravitasi di titik P akibat benda padat yang besar

7
𝜌 (𝑦− 𝜂)𝑑𝜉𝑑𝜂𝑑𝜉
𝑔𝑦 = ∫ ∫𝑣 ∫ [(𝑥− 𝜉) 2+ (𝑦− 𝜂)2 + (𝑧− 𝜉)2 ]3/2
(3.13)

𝜌 (𝑧− 𝜉)𝑑𝜉𝑑𝜂𝑑𝜉
𝑔𝑧 = ∫ ∫𝑣 ∫ [(𝑥− 𝜉)2 + (𝑦− 𝜂)2+ (𝑧− 𝜉) 2]3/2
(3.14)

3.5 Medan Gravitasi akibat Sumber Garis

Misalkan AB adalah garis sumber massa yang memiliki kerapatan linier λ dengan λ
(Gambar 3.4). Garis diletakkan pada bidang xy sedemikian rupa sehingga pusat garis berada
pada titik asal. Biarkan garis dibagi menjadi beberapa segmen d𝜉. Dengan demikian komponen
medan sepanjang arah x diberikan oleh

Gambar 3.4 Medan gravitasi di titik luar P akibat sumber garis dengan panjang berhingga

𝜆𝑑𝜉 𝑥− 𝜉
𝐹𝑥 = ( . (3.15)
𝑥 –𝜉 )2+ 𝑦² √( 𝑥− 𝜉 )2+ 𝑦²

Dan
𝜆𝑑𝜉 𝑦
𝐹𝑦 = ( 𝑥 –𝜉 )2+ 𝑦² . (3.16)
√( 𝑥− 𝜉 )2+ 𝑦²

oleh karena itu, total bidang 𝐹𝑥 dan 𝐹𝑦 untuk seluruh massa linier diberikan oleh

𝑎 (𝑥−𝜉)𝑑𝜉
𝐹𝑥 = λ∫−𝑎 [(𝑥−𝜉)2 + 𝑦 2 ]3/2 (3.17)

𝑎 𝑦𝑑𝜉
𝐹𝑦 = λ∫−𝑎 [(𝑥−𝜉)2 (3.18)
+ 𝑦 2]3/2

let
𝑦
cos ⍺ = {(𝑥− 𝜉 )2+ 𝑦² }½

dan

8
2𝑦 (𝑥− 𝜉)𝑑𝜉
– sin ⍺d⍺ = – 2 [(𝑥− 𝜉 )2+ 𝑦 2 ]3/2

karena itu
𝜆 𝑎₂ 𝜆
𝐹𝑥 = 𝑦 ∫𝑎₁ sin ⍺𝑑⍺ = 𝑦 ( cos ⍺₂ – cos ⍺₁ )

𝜆 𝑦 y
= 𝑦[ − ] (3.19)
√(𝑥+𝑎)2+ 𝑦² √(𝑥−𝑎)2+ 𝑦²

Demikian pula untuk


𝑦𝑑𝜉
𝐹𝑦 = λ [[(𝑥− 𝜉)2+ 𝑦 2]3/2] (3.20)

let
𝑥− 𝜉 𝑑𝜉
tan ⍺ = dan sec² ⍺d⍺ = - – 𝑦
𝑦

1
since𝑠𝑒𝑐 3 ⍺ = 𝑦 3 ( (x – ξ)² + y² )3/2 , kita mendapatkan

𝜆 𝑎1 𝜆
𝐹𝑦 = − ∫ 𝑐𝑜𝑠⍺𝑑⍺ = [𝑠𝑖𝑛⍺1 − 𝑠𝑖𝑛⍺2 ]
𝑦 𝑎2 𝑦

𝜆 𝑥−𝑎 𝑥+𝑎
= 𝑦[ − ] (3.21)
√(𝑥−𝑎)2+𝑦 2 √(𝑥+𝑎)2+𝑦 2

atau

F = √𝐹𝑥2 + 𝐹𝑦2

𝜆
= 𝑦 [ 2 – 2 cos ⍺₁ cos ⍺₂ − 2 sin ⍺₁ sin ⍺₂ ]1/2

𝜆
= 𝑦 [2 – 2 cos (⍺₁ − ⍺₂)]1/2

𝜆 (⍺₁− ⍺₂) 1/2 𝜆 (⍺₁ − ⍺₂)


= √2 𝑦 [ 2 sin² ] = 2𝑦 sin ( )
2 2

𝜆 𝐴𝑃̂ 𝐵
= 2 sin (3.22)
𝑦 2

Oleh karena itu, arah gaya tarik menarik gravitasi berada di sepanjang garis bagi segitiga 𝐴𝑃̂𝐵.

 KASMIRAWATI (R1A121059) : 3.6 – 3.7

9
3.6 Potensi Gravitasi Karena Sumber Garis Hingga

Meskipun sekali bidang karena sumber garis terbatas diketahui, potensi gravitasi pada
suatu titik juga diketahui. Namun bagian terpisah diberikan untuk menyoroti beberapa poin
prinsip.

Sumber garis AB dengan panjang L diambil sepanjang arah-z (Gambar 3.5). Dalam
koordinat silinder, potensial tidak bergantung pada sudut azimut Ѱ tetapi pada r dan z. Ambil
elemen kecil d𝜁. Massanya adalah λdζ dimana λ adalah kerapatan linear. Karena potensial
𝑚
gravitasi adalah –G dimana m dan r masing-masing adalah massa dan jarak titik pengamatan.
𝑅

Kita bisa menulis.

𝑙 𝑑𝜁
∅ = −𝐺𝜆 ∫−𝑙 [ 𝑟 2+ (𝒵−𝜁)2]½ (3.23)

let

z – 𝜁 = r tan 𝜃, 𝑠𝑜

-d𝜁 = r sec² 𝜃𝑑𝜃

Gambar 3.5 Potensial gravitasi pada suatu titik akibat sumber garis berhingga

Oleh karena itu

ɸ = Gλ ln [sec 𝜃 + 𝑡𝑎𝑛𝜃 ]1−1

𝑧 −1 √𝑟² −(𝑧−1)² 𝑧+1 √𝑟2 + (𝑧+1)2


ɸ = Gλ [ln{ 𝑟
+ 𝑟
} – ln{ 𝑟
+ 𝑟
}]

10
(𝑧+1)+ √𝑟2 + + (𝑧+1)2
ɸ = −Gλ ln (3.24)
(𝑧−1)+ √𝑟²+ + (𝑧−1)²

Ketika ɸ = konstan

𝑧+1+ √𝑟 2 + (𝑧+1)2
K = 𝑒 −ɸ/Gλ = (3.25)
𝑧−1+ √𝑟²+ (𝑧−1)²

ini adalah persamaan untuk permukaan ekipotensialdan dapat ditulis ulang dengan beberapa
langkah penyederhanaan aljabar dalam bentuk

(𝐾−1)² 𝑧 (𝐾−1)² 𝑟
(𝐾+1)²
. (−1) ² + 4𝐾
. (−𝐿) ² = 1 (3.26)

ini adalah persamaan elips. Sumbu semi mayor dan minor masing-masing diberikan oleh

𝐾+1 2√𝑘
. 1 dan 𝐾−1 1
𝐾−1

𝑏2
Eksentritisnya adalah 𝑒 = √1 − 𝑎2 dan fokusnya ada di ±1.

Komponen lapangan adalah

𝜕ɸ 1 z+1 z−1
𝑓𝑟 = − 𝜕𝑟 = Gλ. 𝑟 [ − ] (3.27)
√ 𝑟²+(𝑧+1)² √ 𝑟²+(𝑧−1)²

𝜕ɸ 1 r r
𝑓𝑧 = − = −Gλ [ − ] (3.28)
𝜕𝑧 𝑟 √ 𝑟²+(𝑧+1)² √ 𝑟²+(𝑧−1)²

Total bidang 𝑓 = √𝑓𝑟2 + 𝑓𝑧2 menggambarkan hiperbola (Gambar 3.6). untuk kawat yang
sangat panjang di mana

2
1 → 𝛼, 𝑔𝑧 = 𝑂 dan 𝑔𝑟 = −𝐺𝜆 𝑟 (3.29)

1
Di sini bidang sebanding dengan 𝑟. Maka potensinya adalah

ɸ = λ ∫ gdr + Constant

= 2Gλ ln r + Constant
𝑟0
= –2Gλ ln (𝑟1
−) (3.30)

11
Ini menyiratkan bahwa potensi menjadi nol pada tak terhingga. Oleh karena itu untuk
sumber garis potensial adalah potensial logaritmik dan medan bervariasi berbanding terbalik
dengan jarak. Untuk sumber garis terbatas, ekspotensialnya adalah elips dan eksentrisitas elips
berkurang dengan jarak dari sumber. Pada jarak tak terhingga eksentrisitas elips akan menjadi
nol dan elips akan berubah menjadi lingkaran. garis medan akan berbentuk radial untuk sumber
garis yang panjangnya tak terhingga, garis medan dan garis ekipotensial akan membentuk kisi-
kisi persegi atau persegi panjang.

Gambar 3.6 Garis medan dan garis ekipotensial karena sumber garis dengan panjang terbatas

3.7 Gaya Tarik Gravitasi akibat Silinder Terkubur

Komponen vertikal tarikan gravitasi pada satuan massa di titik pegamatan ‘p’ akibat
elemen kecil ‘dl’ pada jarak T dari ‘Q’, jarak terpendek silinder dari titik pengamatan adalah
(Gambar 3.7)

𝐺 𝑑𝑚 𝑆𝑖𝑛𝜃 𝑅 𝑅
dg 𝑧 = . 𝑟 = Gλ dl sin𝜃. 𝑟 (3.31)
𝑟²

Disini dm adalah massa elementer dari strip tipis dl. λ adalah kerapatan linear silinder dan
sama dengan 𝜋𝑎²λ untuk satuan panjang dimana ‘a’ adalah jari-jari silinder dan G adalah
konstanta gravitasi universal. Gaya tarik gravitasi vertikal akibat sebuah silinder dengan panjang
tak terhingga adalah

12
𝑎 dl
g 𝑧 = Gλsin𝜃R ∫−𝑎 (𝑅2 + 12 )3/2 (3.32)

z
= 2 G𝜋a²λ (𝑥²+𝑧²)
(3.33)

Gambar 3.7 Anomali gravitasi di permukaan karena benda silinder yang terkubur dengan
panjang terbatas

 WISDA HIKMAWATI (R1A121009) : 3.8 – 3.10

3.8 Gravitasi Akibat Lembaran Bidang

Jika diasumsikan lembaran bidang pada bidang xy dan simetris di sekitar sumbu OP
vertikal terhadap bidang kertas (Gambar 3.8). Kami mengasumsikan area dasar ds pada lembar
bidang. Membiarkan

𝛥𝑚
𝜎 = 𝑙𝑖𝑚
𝛥𝑠→0 𝛥𝑠

13
di mana ∆s adalah luas permukaan dari luas permukaan yang sangat kecil pada lembaran bidang
dan ∆m adalah massanya.

Untuk area kecil ds, massa area adalah 𝜎ds. Medan gravitasi karena elemen kecil ini di P
𝜎ds 𝜎ds
adalah 𝑟 2 . Komponen vertikal bidang ini diberikan oleh fz = cos ∝ dan komponen tegak lurus
𝑟2
𝜎ds
terhadap arah z adalah = sin ∝. Karena titik pengamatan P ditempatkan secara simetris
𝑟2

terhadap pelat, komponen vertikal bidang akan dijumlahkan. Komponen yang tegak lurus
terhadap arah z akan dibatalkan. Komponen vertikal bidang tersebut adalah

𝜎ds cos∝
fz = ∬ = ∫ 𝜎𝑑𝜔 = 𝜎𝜔 (3.34)
𝑟2

Di mana

𝑑𝑠 cos 𝜃
= 𝑑𝜔.
𝑟2

Di sini d𝜔 adalah sudut padat yang dibentuk oleh massa elementer di P,𝜔 adalah sudut
padat total yang dibentuk oleh pelat di titik P. Medan di titik P sama dengan kerapatan dikalikan
dengan sudut padat yang ditempatkan di titik P.Untuk lembaran besar tak terhingga𝜔 = 2π.

fz = 2𝜋𝜎 (3.35)

dan lapangan tidak bergantung pada jarak titik pengamatan dari pelat.

Gambar 3.8 Medan gravitasi pada vertikal pelat horizontal persegi

3.9 Gravitasi Akibat Pelat Bundar

14
Pada bagian ini, kita akan menurunkan ekspresi medan gravitasi akibat pelat bundar. Jika
kita pilih koordinat kutub (r, 𝜓). Medan pada titik P sepanjang garis vertikal yang melintasi
𝜎𝑟𝑑𝑟 𝑑𝜓
bidang pelat pada sudut siku- siku untuk massa elementer adalah . Dimana 𝜎 adalah
𝑅2

kerapatan permukaan (Gambar 3.9). Oleh karena itu, komponen vertikal bidang tersebut adalah

𝜎𝑟𝑑𝑟 𝑑𝜓
∆𝑓𝑧 = cos ∝ (3.36)
𝑅2

Komponen lain akan hilang karena kesimetrisan masalah, karena

𝑎 2𝑥 𝜎𝑟𝑑𝑟 𝑧 𝑧
fz = ∬00 d𝜓. 𝑅 , [∴ 𝑐𝑜𝑠𝛼 = , 𝑅2 = 𝑟 2 + 𝑧 2 ]
𝑅2 𝑅

𝑎
2𝑥
𝜎2𝑟 𝑑𝑟 𝑑𝜓
=∫ ∫ (𝑟 2+𝑧 2 )3
(3.37)
0
0

𝑛
𝑎
𝑟𝑑𝑟 1
= 2𝜋𝜎𝑧 ∫ 2 = 2𝜋𝜎𝑧 [− ]
(𝑟 + 𝑧 2 )3/2 √𝑟 2 + 𝑧 2 0
0

1 1 𝑧
= 2𝜋𝜎𝑧 [ − ] = 2𝜋𝜎 [1 − ]
𝑧 √𝑧 2 + 𝑎2 √𝑧 2 + 𝑎2

Gambar 3.9 Medan gravitasi pada sumbu vertikal pelat lingkaran hizontal

3.10 Medan Gravitasi di Suatu Titik di Luar Sumbu dari Silinder Vertikal

Untuk menghitung medan gravitasi a pada titik P pada sumbu silinder pada titik di
luarnya, kita asumsikan massa elementer 𝜎𝜌𝑑𝜌 𝑑𝜓dz di dalam silinder(Gambar 3.10). Di sini R

15
adalah jari- jari silinder. hu dan hd adalah kedalaman, dari permukaan, ke bidang atas dan bawah
sebuah silinder dengan panjang atau tinggi H. σ adalah kerapatan volume dari massa.

Gambar 3.10 Medan gravitasi pada sumbu benda silinder padat vertikal pada suatu titik di luar
benda

Gaya tarik gravitasi akibat massa elementer pada titik P di luar silinder dan pada
sumbunya adalah

𝐺 𝑑𝑚 𝜎𝜌𝑑𝜌𝑑𝜓𝑑𝑧
𝑑𝑔 = =𝐺 (3.38)
𝑟2 𝑟2

di mana dv = 𝜎𝜌𝑑𝜌𝑑𝜓𝑑𝑧. 𝝆 adalah jarak radial massa elementer dari sumbu silinder. Karena
hanya komponen vertikal yang menarik.

Jadi

𝑧
𝑑𝑔𝑧 = 𝑑𝑔 cos 𝜃 = 𝑑𝑔
𝑟

𝐺𝜎𝜌𝑑𝜌.𝑑𝜓𝑧𝑑𝑧
= (3.39)
𝑟3

Gaya tarik gravitasi total silinder di titik P diberikan oleh

16
𝑅
ℎ𝑑 2𝜋 𝜌𝑑𝜌𝑑𝜓𝑧𝑑𝑧
∆𝑔𝑧 = 𝐺𝜎 ∫ ∫ℎ𝑢 ∫𝜓=0 (𝜌2+𝑧 2 )3∕2 (3.40)
𝜌=0

2𝜋 ℎ𝑑 𝑅 𝜌𝑑𝜌
⇒ 𝐺𝜎 ∫𝑜 𝑑𝛹 ∫ℎ𝑢 𝑧𝑑𝑧 ∫𝑜 (𝜌 2+𝑧 2 )3∕2
(3.41)

ℎ𝑑 𝑅
𝜌𝑑𝜌
⇒ 2𝜋𝐺𝜎 ∫ 𝑧𝑑𝑧 ∫
ℎ𝑢 𝑜 (𝜌 2 + 𝑧 2 )3∕2

ℎ𝑑 𝜌𝑑𝜌 𝑅
⇒ 2𝜋𝐺𝜎 ∫ℎ𝑢 𝑧𝑑𝑧 | − (𝜌 2+𝑧 2)3∕2 | (3.42)
0

ℎ𝑑 ℎ𝑑
𝑧𝑑𝑧 𝑅
⇒ 2𝜋𝐺𝜎 [∫ 𝑑𝑧 − ∫ |
ℎ𝑢 ℎ𝑢 𝑅2 + 𝑧 2 0

ℎ𝑑 1 1
⇒2𝜋G𝜎 ∫ℎ𝑢 𝑧𝑑𝑧 (−𝑧 – )
√𝑅²+𝑧²

⇒2𝜋G𝜎 [ (ℎ𝑑 –ℎ𝑢 ) –√𝑅² + ℎ𝑑2 + √𝑅² + ℎ𝑢2 (3.43)

Jadi

∆𝑔𝑧 = 2𝜋G𝜎 [ H –√𝑅² + ℎ𝑑2 + √𝑅² + ℎ𝑢2 ]

Kasus I

Jika titik pengamatan terletak tepat di permukaan atas silinder. Lalu hu = O, hd = H dan

∆𝑔𝑧 = 2𝜋𝐺𝜎 [𝐻 − √𝑅2 + 𝐻2 + 𝑅] (3.45)

Kasus II

Ketika R>>H

∆𝑔𝑧 = 2𝜋𝐺𝜎𝐻(3.46)

Ini adalah ekspresi untuk anomali gravitasi Bouguer akibat lempeng.

Kasus III

Ketika R<<H

17
∆𝑔𝑧 = 2𝜋𝐺𝜎𝑅 (3.47)

Ini adalah ekspresi medan gravitasi untuk H → ∞, i.e., untuk struktur kolom seperti pipa
vulkanik atau intrusi silinder panjang seperti mantel xenolith dll.

 NURANISA (R1A121055) : 3.11

3.11 Potensi Gravitasi di Suatu Titik karena Benda Bulat

Biarkan kulit lingkaran elementer kecil diasumsikan dalam tubuh bola di a jarak 'a' dari
pusat bola (Gambar 3.11). Titik pengamatan P berada pada jarak R dari pusat bola dan 'r' dari
dasar massa. Jadi

𝑑𝑚 = 𝜌𝑎2 sin 𝜃 𝑑 𝜃 𝑑𝑎 𝑑 𝜓

di mana 𝜌 adalah kerapatan bahan benda bulat (cangkang bola atau bola padat). Potensi gravitasi
di titik P diberikan oleh

Gambar 3.11 Potensi dan medan gravitasi di titik P di luar benda bulat (padat atau berongga)

2𝜋
𝜋
𝜌𝑎 2 𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝑎 𝑑𝜓
∅𝑝 = −𝐺 ∫ ∫ (3.48)
√𝑎 2 +𝑅2 −2𝑎𝑅 cos ∅
0
0

18
Dimana

𝑟 2 = 𝑎2 + 𝑅2 − 2𝑎𝑅 𝑐𝑜𝑠𝜃

Dan

𝑟𝑑𝑟 = 𝑎𝑅 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑 𝜃

Jadi

𝑎
∅𝑝 = −2𝜋𝐺𝜌 𝑅 𝑑𝑎 ∫ 𝑑𝑟 (3.49)

Kasus I

Ketika titik P berada di luar bola

𝑅+𝑎
𝑎
∅0 = −2𝜋𝐺𝜌 𝑑𝑎 ∫ 𝑑𝑟
𝑅
𝑅−𝑎

𝑎2
= −4𝐺𝜌 𝑑𝑎 (3.50)
𝑅

𝑚
Karena massa total cangkang = 4µρa2da, potensial ∅𝑝 = -G 𝑅 seolah-olah massa cangkang

bola diletakkan di tengah.

Kasus II

Jika titik pengamatan P ada di dalam (Gambar. 3.12)

𝑎 𝑎+𝑅
∅𝑖 = −2𝜋𝐺𝜌 𝑅 𝑑𝑎 ∫𝑎−𝑅 𝑑𝑟 = −4𝜋𝐺𝜌𝑎𝑑𝑎(3.51)

𝑚
= −𝐺 di mana m adalah massa total cangkang.
𝑎

19
Gambar 3.12 Perhitungan potensial pada titik P di dalam kulit bola berjari-jari luar a dan
berjari-jari dalam b

Ketika jari-jari terluar dan terdalam dari cangkang masing-masing adalah a dan b
4
massanya adalah M = 3 𝜋(𝑎3 − 𝑏3 )𝜌

Oleh karena itu potensi di luar adalah

4𝜋𝐺𝜌 𝑎 4𝜋 𝐺𝜌 𝑀
∅0 = − 𝑅
∫𝑏 𝑎2 𝑑𝑎 = − 3 𝑅
[𝑎3 − 𝑏3 ] = −𝐺
𝑅
(3.52)

Potensial pada titik internal

𝑎
∅𝑖 = −4𝜋𝐺𝜌 ∫𝑏 𝑎𝑑𝑎 = −2𝜋𝐺𝜌 (𝑎2 − 𝑏2 ) (3.53)

𝜕𝜌𝑖
Since𝑎2 − 𝑏2 = Konstan, medan di dalam ( 𝜕𝑟 = 0) adalah nol untuk bola padat∅𝑖 =

2𝜋𝐺𝜌𝑎2 = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛. Oleh karena itu, bidang di dalamnya akan menjadi nol.

Potensial gravitasi di setiap titik di dalam benda padat ditentukan oleh massa internal ke
titik di dalam bola berjari-jari ‘a’. Massa di luar tidak berpengaruh pada potensial. Itu
menunjukkan bahwa medan gravitasi di pusat bumi adalah nol.

Kasus III

Ketika titik pengamatan p berada di dalam kulit bola

Untuk titik P di luar, potensial

4 𝑅3 −𝑏3
∅0 = 3 𝜋𝐺𝜌 (3.54)
𝑅

Dan untuk di dalam

20
∅𝑖 = 2𝜋𝐺𝜌 (𝑎2 − 𝑅2 ) (3.55)

Jadi total potensi ∅di dalam materi itu sendiri adalah

4 𝑅3 − 𝑏3
∅𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = ∅0 + ∅𝑖 = − 𝜋𝐺𝜌 ( ) − 2𝜋𝐺𝑅 (𝑎2 − 𝑅2 )
3 𝑅

1 1 𝑏3 1
= −4𝜋𝐺𝜌 [2 𝑎2 − 3 − 6 𝑅2 ] (3.56)
𝑅

Medan gravitasi

𝜑 4 𝑏3 4 𝑅3 −𝑏3
𝑔𝑚 = − 𝜗𝑅𝑛 = − 3 𝜋𝐺𝜌 [− 𝑅2 + 𝑅] = − 3 𝜋𝐺𝜌 [ ] (3.57)
𝑅2

Kita sekarang dapat memeriksa kesinambungan potensi di perbatasan

(i) Ketika R>b

∅𝑝 = 2𝜋𝐺𝜌(𝑎2 − 𝑏2 ) (3.58)

Gambar 3.13a Potensial pada suatu titik di dalam kulit bola karena massa kulit bola

(ii) Ketika b < R < a

1 1 𝑏3 1
∅𝑝 = −4𝜋𝐺𝜌 (𝑎2 − 3 − 6 𝑅2 ) (3.59)
𝑅

(iii) Ketika R > a


4 𝑎 3 −𝑏 3
∅𝜌 = − 3 𝜋𝐺𝜌 (3.60)
𝑅2

Ketika R = b, potensial kasus dari (i) dan (ii) menjadi 2𝜋𝐺𝜌 (𝑎2 − 𝑏2 ) dan ketika R = a,
potensial kasus dari (ii) dan (iii) menjadi

21
4 𝑎3 − 𝑏3
− 𝜋𝐺𝜌
3 𝑎
Oleh karena itu, potensial tetap sama di dalam batas. Begitu titik pengamatan muncul di
permukaan, potensial dan intensitas medan berkurang dengan jarak sebagai berikut (Gambar
3.13 a dan Gambar 3.13b):

Gambar 3.13.b Batasan variasi ‘g’ baik di luar maupun di dalam batas udara-bumi, g = 0 di
pusat bumi maupun di luar angkasa; nilai maksimum g berada pada kedalaman tertentu dari
permukaan

(i) untuk R < b

𝑔𝑝 = 0

(ii) for b < R < b

4 𝑅3 −𝑏3
𝑔𝑝 = − 3 𝜋𝐺𝜌 (3.61)
𝑅2

Medan potensial dan gravitasi kontinu melintasi batas.

 SELFIANA (R1A121025) : 3.12

3.12 Daya Tarik Gravitasi di Permukaan karena Bola yang Terkubur


Tarikan gravitasi pada massa satuan pada titik P di permukaan karena bola terkubur jari-jari R,
kepadatan o dan terkubur pada kedalaman z diberikan oleh

22
𝑀 4 𝜋𝐺𝑅3 𝜎
𝐺 2=
𝑟 3 3(𝑧 2 + 𝑥 2 )

di mana M( = ~nR3cr) adalah massa benda bulat dan r = Jz2 + x2. Komponen vertikal dari
tarikan gravitasi akan sama dengan (Gambar. 3.14)

𝑀 𝑧 4 3
𝑔𝑧 = 𝐺 𝑟 2 𝑟= 3 𝜋𝐺𝑅3 𝜎. (𝑧 2+𝑟 2)3⁄2

Gaya gravitasi akan maksimum pada asalnya i.c., pada z = 0 dan x = 0 di permukaan. Nilai akan
mati secara simetris di kedua sisi

Gambar 3.14 Anomali gravitasi dipermukaan petunjuk ketubuh bulat yang terkubur radius R
Massa bola dengan meningkatnya jarak x dari asalnya. Untuk studi lebih lanjut pembaca
dirujuk pada karya-karya Blakely(1996), Talwani dan Ewing(1961), Radhakrishnamurthy(1998)
Telford et al (1976) dan Dobrin dan Sa.vit(l988).

3.13 Anomali Gravitasi karena Tubuh Penampang Trapesium


Tarikan gravitasi pada permukaan pada titik P karena tubuh penampang persegi panjang
yang hadir dalam tingkat kedalaman z2 dan z1 (z2 > z1) (Gambar. 3.15) diberikan oleh

23
𝑧2 𝑥2
𝑧 𝑑𝑥 𝑑𝑧
∆𝑔𝑝 = 2𝐺𝜌 ∫ ∫
𝑥2 + 𝑧2
𝑧1 𝑥1

di mana G adalah konstanta gravitasi universal dan p adalah kontras kepadatan tubuh dengan
batuan inang di sekitarnya Untuk tubuh dua dimensi penampang trapesium seperti yang
ditunjukkan pada Ara. 3.15.
𝑅𝑄 = 𝑟𝑑𝜃 = 𝑑𝑥 𝑠𝑖𝑛𝜃
Anomali gravitasi karena tubuh dua dimensi penampang trapesium diberikan oleh
𝑧
∆𝑔𝑝 = 2𝐺𝜌 ∫ ∫ 𝑑𝑥 𝑑𝑧
𝑥2 + 𝑧2
𝑧 𝑟 sin 𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃
𝑆𝑖𝑛𝑐𝑒 𝑧 = 𝑟𝑠𝑖𝑛𝜃, 𝑎𝑛𝑑 = =
𝑥2 +𝑧 2 𝑟2 𝑟
𝑠𝑖𝑛𝜃
∆𝑔𝑝 = 2𝐺𝜌 ∫ ∫ dx dz
𝑟
𝜃2 𝑧2
= 2𝐺𝜌 ∫ ∫ 𝑑𝜃 𝑑𝑧
𝜃1 𝑧1

Gambar 3.15 Petunjuk anomali gravitasi ke benda dua dimensi penampang trapesium

24
Gambar 3.16 Tampilan yang diperbesar dari penampang tubuh trapesium dan arah integral garis

Integral garis sepanjang penampang trapesium (Gambar 3.16) diberikan oleh

𝜃2 𝑧2 𝜃1 𝑧1
∮ 𝜃𝑑𝑧 = ∫ 𝑜𝑑𝑧 + ∫ +∫ 𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧
𝜃1 𝑧 1𝜃1 𝜃2 −𝑧 2 𝑧 2𝜃1

0++𝜃 2 (𝑧 2 − 𝑧 1 ) + 0 + 𝜃1 (𝑧 1 − 𝑧 2

= (𝑥 2 − 𝑧 1 )( 𝜃 2 − 𝜃 1 )

3.13.1 Kasus Khusus


Kasus I Gaya Tarik Gravitasi Akibat Pelat Horizontal Dua Dimensi
Gambar 3.17 menunjukkan masalah geometri. Anomali gravitasi di titik P.
𝐵 𝐶 𝐷 𝐴

∆𝑔𝜌 = 2𝐺𝜌 [∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧]


𝐴 𝐵 𝐶 𝐷

Gambar 3.17 Tarikan gravitasi di titik P akibat lempengan mendatar dua dimensi

Kasus II Anomali Gravitasi Akibat Sesar dengan Lemparan Kecil


𝜋 𝜋,𝑧2 𝜋,𝑧2 𝜋,𝑧2

= 2𝐺𝜌 [ ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧]


0,𝑧1 𝜋,𝑧1 𝜋,𝑧2 𝜋,𝑧1

= 2𝐺𝜌[0 + 𝜋(𝑧2 − 𝑧1 ) + 0 + 0]
= 2𝜋𝐺𝜌(𝑧2 − 𝑧1 )
Gambar 3.18 menunjukkan geometri gambar. Anomali gravitasi pada titik P adalah

25
𝜃 𝑧2 0 𝑧1

∆𝑔𝜌 = 2𝐺𝜌 [ ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧]


0,𝑧1 𝑧1 ,𝜃 𝑧2 ,𝜃 𝑧2 ,0

= 2𝑔𝜌 [0 + 𝜃2 (𝑧2 − 𝑧1 ) + 0 + 0]
𝑧
= 2𝐺𝜌𝜃ℎ = 2𝐺𝜌ℎ tan−1
𝑥

Gambar 3.18 Anomali gravitasi karena kesalahan dengan lemparan kecil

 MUH RIFKI ARDIANSYAH (R1A120043) : 3.13

Kasus III Anomali Gravitasi karena Tubuh Persegi Panjang Penampang


Gambar 3.19 Menunjukkan geometri masalah. Anomali gravitasi pada titik P diberikan oleh
𝜃1 𝜃2 ,𝑧2 𝜃3 𝜃2 ,𝑧1

∆𝑔𝜌 = 2𝐺𝜌 [ ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧]


𝜃2 ,𝑧1 𝜃1 ,𝑧1 𝜃4 ,𝑧2 𝜃3 ,𝑧2
𝑧2 𝑧2
𝑧 𝑧
= 2𝐺𝜌 [0 + ∫ tan−1 𝑑𝑧 + 0 + ∫ tan−1 2 𝑑𝑧]
𝑥 𝑥
𝑧1 𝑧2

= 2𝐺𝜌[𝑧2 (𝜃4 − 𝜃3 ) + 𝑧1 (𝜃2 − 𝜃1 )]


1 𝑥12 + 𝑧22 𝑥22 + 𝑧12
− (𝑥1 ln 2 + 𝑥2 ln 2 )
2 𝑥1 + 𝑧12 𝑥2 + 𝑧22
𝑥 𝑥 𝑎
Since ∫ tan−1 𝑎 𝑑𝑥 = 𝑥 tan−1 𝑎 − 2 ln(𝑎2 + 𝑥 2 )

Kasus IV Tarikan Gravitasi padaSuatuTitikdiPermukaanakibatPlatTipis


Gambar3.20 menunjukkan geometri masalah. Anomali gravitasi pada titik P karena pelat tipis
dengan panjang terbatas diberikan oleh

26
∆𝑔𝜌 = 2𝐺𝜌[𝑧2 (𝜃4 − 𝜃3 ) + 𝑧1 (𝜃2 − 𝜃1 )]
= 2𝐺𝜌[∆𝑧̇ (𝜃1 − 𝜃2 )]
= 2𝐺𝜌𝑡𝜃
di mana 𝜃 adalah sudut yang dibuat oleh pelat pada titik pengamatan P. t =∆𝑧 adalah ketebalan
pelat.

Gambar 3.19 Geometri prisma terkubur penampang persegi panjang dan titik pengamatan di
permukaan

Gambar 3.20 Geometri pelat tipis yang terkubur dan titik pengamatan di permukaan
Kasus V Tarikan Gravitasi pada Suatu Titik Di muka Pegunungan Dua Dimensi
Gambar 3.21 menunjukan masalah geometri. Gaya tarik gravitasi di titk P pada permukaan
pegunungan dua dimensi diberikan oleh
∞ 𝑧2 𝑥2 𝑥1 ,𝑧1

∆𝑔𝜌 = 2𝐺𝜌 [{ ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 }


𝑥1 ,𝑧1 𝑧1,∞ ∞,𝑧2 𝑥2 ,𝑧2
𝑥0 ,𝑧0 ∞ 𝑧1 𝑥1

+ { ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧 + ∫ 𝜃𝑑𝑧}]


𝑥1,𝑧1 𝑥0,𝑧0 𝑧0 ,∞ 0,𝑧1

27
= 2𝐺𝜌[{0 + 2𝜋(𝑧2 − 𝑧1 ) + 0 + (2𝜋 − 𝛼)(𝑧1 − 𝑧2 )}
+ {(𝜋 − 𝛼 )(𝑧𝑜 − 𝑧1 ) + 0 + 0 + 0}]
= 2𝐺𝜌[(𝑧2 − 𝑧1 )(2𝜋 − 2𝜋 + 𝛼 ) + (𝜋 − 𝛼 )(𝑧𝑜 − 𝑧1 )]
= 2𝐺𝜌[𝛼(𝑧2 − 𝑧1 − 𝑧𝑜 + 𝑧1 ) + 𝜋(𝑧𝑜 − 𝑧1 )]
= 2𝐺𝜌𝛼(𝑧2 − 𝑧𝑜 ) + 𝑧1 ) − 2𝜋𝐺𝜌(𝑧1 − 𝑧𝑜 )

Gambar 3.21 Geometri pegunungan dan titik pengamatan pada permukaan pegunungan

Kasus VI Tarikan Gravitasi pada Permukaan akibat Terkubur Tubuh dua dimensi
penampang heksagonal.
Gambar 3.22 menunjukkan geometri masalah. Di sini tarikan gravitasi pada titik P karena strip
dasar penampang heksagonal diberikan oleh

∆𝑔𝜌 = ∮ 𝜃𝑑𝑧

Di segmen BC
z = x tan θ = (x − ai ) tan Ψ1
= x tan Ψ1 − ai tan Ψi
Dari (3.87) kita dapatkan
x = ai tan Ψi /(tan Ψi − tan θ)
Dan
ai tan θ tan Ψi
z = x tan θ =
tan Ψi tan θ
Oleh karena itu
tan θ tan Ψi
∆g BC = 2Gρ ∮ ai dθ
tan Ψi − tan θ

28
Anomali gravitasi total juga
∆g = ∆g BC + ∆g CD + ∆g DE + ∆g EF + ∆g FA + ∆g AB
cos θi (tan θi − tan Ψi )
∆g BC = ai sin ϕi cos ϕi [θi − θi+1 + tan Ψ1 ln ]
cos θi+1 ( tan θi+1 − tan Ψi )

Gambar 3.22 Geometri struktur silinder dua dimensi yang terkubur dari penampang heksagonal
dan titik pengamatan di permukaan
Sejak
zi zi+1
θi = tan−1 , θi+1 = tan−1
xi xi+1
zi+1 − zi
Ψi = tan−1
xi+1 − xi
Dan
zi −zi+1
𝑎𝑖 = 𝑃𝐶 ′ = 𝑄𝐶 ′ = xi+1 − zi+1 cot Ψi = xi+1 + zi+1
xi+1 − xi
Oleh karena itu ekspresi akhir untuk anomali gravitasi untuk prisma dengan n jumlah wajah
diberikan oleh
𝑛
xi zi+1 − zi xi+1 𝑟𝑖+1
∆𝑔𝜌 = 2𝐺𝜌 ∑ [ 2 2
(xi+1 − xi )(θi −θi+1 ) + (zi+1 − zi ) ln ]
(xi+1 − xi ) + (zi+1 − zi ) 𝑟𝑖
𝑖=1

 SITTI HARMING (R1A121061) : 3.14 – 3.16


3.14 Medan Gravitasi Bumi

Medan gravitasi bumi adalah medan global yang ada secara alami yang menarik massa
apa pun yang memiliki kerapatan dan berat tertentu ke pusat bumi. Seseorang dapat mengukur
bidang ini atau variasinya di permukaan bumi, di udara, di lautan, di dalam lubang bor atau di

29
dalam tambang. Dengan demikian, berbagai cabang pengukuran gravitasi, yaitu, gravitasi aerob,
gravitasi laut, gravitasi lubang bor, dan gravitasi permukaan, telah berkembang. Dalam gravitasi
permukaan juga (i) survei untuk geodesi, (ii) survei untuk studi kerak bumi (iii) survei untuk
eksplorasi minyak dan (iv) survei untuk eksplorasi mineral memiliki dimensi yang sama sekali
berbeda. Itu sebabnya dalam survei gravitasi grid persegi jarak antara dua stasiun gravitasi
berturut-turut bisa sekitar 100 km untuk survei geodesi hingga 10 meter untuk survei mineral.

Medan gravitasi normal bumi bervariasi dari 978,0327 gal di ekuator hingga 981,2186
gal di kutub (Wilcox 1989). Variasi titik ke titik medan gravitasi disebut sebagai anomali
gravitasi ∆g dan satuannya adalah miligal. Data gravitasi memerlukan beberapa koreksi sebelum
dapat digunakan untuk interpretasi rutin menggunakan pemodelan maju dan inversi. Koreksinya
adalah

(i) Koreksi udara bebas

(ii) Koreksi Bouguer

(iii) Koreksi medan

(iv) Koreksi garis lintang

(v) Koreksi pasang surut

(vi) Koreksi isostatik

(vii) Koreksi penyimpangan

3.14.1 Koreksi Udara Bebas

Medan gravitasi normal Bumi bervariasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Oleh
karena itu, perbukitan dan lembah membawa variasi gaya tarik gravitasi bumi. Gravitasi pada
ketinggian 'h' pada setiap garis lintang dapat diwakili oleh perluasan deret Taylor yang terpotong

G(R+ h) = g(R) + hƏg(R)/ ƏR +....................(3.95)

Ini menghasilkan koreksi udara bebas sebagai

G(R+h) = g(R) - (0.30855+.00022 cos 2Ѱ)h+0.073 x 10-6 h2---- (3.96)

30
di mana h dalam meter dan medan gravitasi dalam miligal. Untuk koreksi udara bebas rutin
0,3086 jam miligal ditambahkan ke nilai gravitasi. Itu hanya tergantung pada jarak titik
pengamatan dari pusat bumi.

3.14.2 Koreksi Bouguer

Koreksi Bouguer menyumbang daya tarik lempeng yang diasumsikan pada titik yang
diasumsikan dalam bidang datum dari titik pengamatan di permukaan. Melalui koreksi Bouguer,
semua data gravitasi dibawa kembali ke bidang datum yang sama. Bahan tanah di bawah titik
pengamatan akan menghasilkan gaya tarik tambahan pada titik datum yang tidak diperhatikan
dalam koreksi udara bebas. Material bumi yang ada di bawah titik pengamatan dan di atas bidang
datum yang diasumsikan diberi bentuk perkiraan pelat dengan ketebalan tertentu dan radius besar
tak terhingga. Untuk mereduksi semua data gravitasi ke bidang datum yang sama, koreksi
Bouguer selalu dikurangi dari data gravitasi. Nilainya adalah 0,04188 𝜌 di mana 𝜌 adalah
densitas pelat.

3.14.3 Koreksi Terrain

Topografi yang terjal di medan berbukit dengan variasi ketinggian yang cepat
menyebabkan koreksi tambahan harus ditambahkan. Koreksi medan selalu ditambahkan baik
untuk bukit maupun lembah karena keberadaan massa positif dan negatif akan selalu
menyelaraskan vektor gaya tarik ke arah yang sama. Kelebihan massa di bukit dan defisiensi
massa di lembah akan menentukan penerapan kuantum koreksi. Detail tersedia di Dobrin dan
Savit (1988).

3.14.4 Koreksi Lintang

Bentuk bumi bulat dengan tonjolan ekuatornya dan gaya sentrifugal untuk rotasi bumi
mengelilingi porosnya dan revolusi bumi mengelilinginya matahari dalam orbitnya
menghasilkan koreksi lintang. Ini ketergantungan lintang dinyatakan dengan persamaan
(Heiskanen dan Vening Meinsz 1958).

g(Ѱ)=978,049(1+0,0052884Sin2Ѱ-0,0000059SinѰ (3.97)

31
dimana ' Ѱ ' adalah garis lintang di permukaan bumi. Ini internasionalrumus gravitasi. Jari- jari
bumi bulat diberikan oleh

R(Ѱ)=6378.388(1-0.0033670Sin2Ѱ+0.0000071Sin²2Ѱ)(3.98)

Rumus gravitasi normal untuk sistem referensi geodesi adalah sebagai berikut

g(Ѱ) = 978.0327(1+0.0053024Sin2Ѱ-0.00000071Sin22Ѱ) (3.99)

Untuk koreksi lintang rutin yang diperlukan untuk survei geodesi maupun untuk survei
yang berkaitan dengan studi kerak bumi, koreksi lintang yang digunakan adalah ≈ 1.307 Sin2𝜓.

3.14.5 Koreksi Pasang Surut

Gravimeter sensitif menanggapi posisi matahari dan bulan sehubungan dengan bumi dan
nilai g bervariasi dengan pasang surut di lautan. Ini mungkin sebagian kecil dari miligal tetapi
dapat diukur.

3.14.6 Koreksi Isostatik

Koreksi isostatik berasal dari adanya variasi lateral densitas di dalam kerak bumi. Setelah
koreksi tersebut diterapkan, anomali Bouguer untuk bidang referensi tertentu seharusnya nol
dalam pemetaan skala besar dan mengesampingkan variasi kepadatan lokal. Pada kenyataannya,
diamati bahwa anomali Bouguer negatif ada di dekat pegunungan dan anomali positif keluar di
dekat lautan.

Dua ilmuwan bernama G.B. Airy dan J.H. Pratt mengusulkan dua model berbeda untuk
kerak bumi. Model Airy menunjukkan bahwa kerak tebal di dekat pegunungan dan pegunungan
memiliki akar dan lebih tipis di bawah dasar laut dan di sini kerak memiliki anti- akar.
Kepadatan kerak diasumsikan sama. Pratt mengasumsikan model kerapatan variabel dan variasi
kerapatan ini berhubungan langsung dengan elevasi tanah dari permukaan laut rata- rata.
Kedalaman dasar laut dari mean sea level menyebabkan peningkatan densitas. Gambar 3.23a.b
menunjukkan model isostatik Airy dan Pratt.

32
Koreksi isostatik diperlukan hanya untuk survei geodesi dan juga untuk survei yang
berkaitan dengan studi kerak bumi. Untuk survei eksplorasi rutin, hanya koreksi udara bebas,
Bouguer, dan medan yang diperlukan. Koreksi drift adalah koreksi berbasis instrumen.
Pembacaan sepanjang waktu pada satu titik dapat memberikan gagasan tentang koreksi
penyimpangan untuk ditambahkan atau dikurangi.

Gambar 3.23 (a) model isostatik Airy; (b) modus Pratt

3.15 Satuan

G= cm/ gmsec2 (satuan CGS)

= m/ kgsec² (satuan MKS)

g =cm/ detik² dan gal

Δg= miligal(10-3 gal)

𝜌 =gms/ cc.

3.16 Persamaan Dasar

Persamaan dasar untuk medan gravitasi adalah

(i) 𝑔 = −𝑔𝑟𝑎𝑑 ∅𝑔 (3.100)

dimana∅𝑔 potensi gravitasi skalar.

(ii) 𝐶𝑢𝑟𝑙 𝑔 = 0(3.101)


33
karena gaya tarik- menarik berada di sepanjang garis yang menghubungkan kedua massa.

(iii) 𝑑𝑖𝑣 𝑔𝑟𝑎𝑑 ∅𝑔 = ∇2 ∅𝑔 = 4𝜋𝐺𝑚 (3.102)

bila daerah tersebut mengandung massa. memenuhi persamaan Poisson. Di daerah bebas sumber
∇² Φg = 0 dan memenuhi persamaan Laplace.

34
ELEKTROSTATIKA

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4A

1. MUHAMMAD RABBIL IZAT (R1A121005)


2. SRI NIRDAYANTI (R1A121063)
3. RUSLI (R1A121007)
4. ANDI NURDALIFA SUDI (R1A121035)
5. ALFIN ZULKIFLI (R1A121033)
6. MUHAMMAD ROHIT (R1A121053)
7. MOHAMMAD YAMIN (R1A121019)
8. ANGGI AGINA (R1A121013)

UNIVERSITAS HALU OLEO

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

TEKNIK GEOFISIKA

08/MARET/ 2023

35
DAFTAR ISI

SAMPUL
DAFTAR ISI .................................................................................................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................................................................... 2
A. Latar Belakang ..................................................................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................................. 2
C. Tujuan ........................................................................................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................................................... 4
A. Hukum Coulomb ................................................................................................................................................. 4
B. Potensi Elektrostatik ......................................................................................................................... 4
C. Permitivitas Listrik dan Medan Gaya Listrik .......................................................................... 5
D. Aliran Listrik .......................................................................................................................................... 7
E. Perpindahan listrik 𝜓 dan perpindahan vektor D ......................................... 7
F. Teorema Gauss .......................................................................................................... 9
G. Medan Karena Dipol Elektrostatik ........................................................................................................ 9
H. Persamaan poison dan laplace ..................................................................................................... 12
I. Energi elektrostatik ........................................................................................................................... 13
J. Kondisi batas elektrostatik ............................................................................................................ 14
K. Persamaan Dasar Dalam Medan Elektrostatik ............................................. 15
BAB III PENUTUP ................................................................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ........................................................................................................................................................... 17
B. Saran .......................................................................................................................................................................... 19

36
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada awal 1785 Coulomb quan pertama - titatif mengukur kekuatan tarik
atau tolakan. Itu diamati bahwa ketika batang kaca digosok dengan kain sutra, ia
memperoleh muatan positif. Simi- terutama ketika batang amber digosok dengan
kain katun hitam bermuatan negatif berasal. Ini positif Dan negatif biaya adalah
sewenang-wenang konvensi . Sim - muatan ini ternyata berlawanan polaritas.
Kesepakatan elektrostatik dengan ini tak tergoyahkan listrik biaya dari di depan
atau sama tanda-tanda Dan itu bidang dibuat oleh ini biaya. Itu energi dihabiskan
ke menggosok sebuah amber atau A kaca tongkat sebagian diubah menjadi
energi listrik dan sebagian lagi menjadi energi panas karena gesekan. Energi
listrik ini muncul dalam bentuk muatan listrik. Dia diamati itu itu nomor dari
biaya di dalam itu kaca tongkat adalah tepat sama sebagai itu dalam kain sutera.
Ini membuktikan kekekalan total muatan dan energi tetap sama. Energi bebas
(yang dapat dengan mudah diubah menjadi kerja) di mana saja - sistem
modinamika digunakan untuk memisahkan kedua jenis muatan ini dalam tubuh.
Mereka berasal dari benda netral yang tidak bermuatan. Seperti biaya mengusir
dan tidak seperti biaya menarik. Muatan listrik ini tetap statis dan menghasilkan
Medan listrik. Subjek elektrostatika adalah salah satu sub-dasar yang paling
mendasar proyek di dalam potensi teori. Karena beberapa dari itu paling
mendasar konsep Dan persamaan, digunakan di dalam elektromagnetik teori,
telah datang dari elektrostatika.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah elektrostatika adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan apa itu hukum coulomb?


2. Mendeskripsikan potensi elektrostatik beserta rumusnya?
3. Menjelaskan Permitivitas Listrik dan Medan Gaya Listrik?

37
4. Bagaimana sifat-sifat aliran listrik?
5. Bagaimana proses perpindahan listrik 𝜓 dan perpindahan vektor D?
6. Jelaskan mengenai teori gauss?
7. Menjelaskan medan dipol elektrostatik?
8. Menjelaskan bagaimana persamaan poison dan laplace?
9. Menjelaskan energi elektrostatik?
10. Mendeskripsikan mengenai kondisi batas elektrostatik?
11. Bagaimana Persamaan Dasar Dalam Medan Elektrostatik?

C. Tujuan

Tujuan dari makalah elektrostatika adalah sebagai berikut:

1. Dapat Menjelaskan apa itu hukum coulomb


2. Dapat Mendeskripsikan potensi elektrostatik beserta rumusnya
3. Dapat Menjelaskan Permitivitas Listrik dan Medan Gaya Listrik
4. Dapat Bagaimana sifat-sifat aliran listrik
5. Dapat Bagaimana proses perpindahan listrik 𝜓 dan perpindahan vektor D
6. Dapat Jelaskan mengenai teori gauss
7. Dapat Menjelaskan medan dipol elektrostatik
8. Dapat Menjelaskan bagaimana persamaan poison dan laplace
9. Dapat Menjelaskan energi elektrostatik
10. Dapat Mendeskripsikan mengenai kondisi batas elektrostatik
11. Dapat Bagaimana Persamaan Dasar Dalam Medan Elektrostatik

38
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum coulomb
Hukum Coulomb menyatakan bahwa muatan dua titik q dan q′ dipisahkan oleh
jarak'r' akan memiliki (i) gaya tarik atau tolak yang berbanding lurus dengan perkalian
kedua muatan dan berbanding terbalik dengan kuadrat muatan jarak (ii) gaya tolak
akan analog garis yang menghubungkan dua muatan (iii) konstanta
proporsionalitas k = 1 / 4 π , Di mana permitivitas listrik medium (iv) seperti
biaya menolak dan tidak seperti biaya menarik. Ekspresi untuk gaya elektrostatik
diberikan oleh
qq′
𝑓=k (2.1)
𝑟2

Ini dikenal sebagai hukum gaya Coulomb dan k adalah konstan. Satuan dari q ,r
Dan F adalah masing-masing di dalam coulomb, meter Dan Newton.

B. Potensi Elektrostatik
Potensi pada suatu titik dalam medan elektrostatik adalah jumlah kerja yang
dilakukan bawa muatan satuan dari tak terhingga ke titik itu.
Karena kerja yang dilakukan = gaya x jarak, Kami Bisa menulis
𝑅
kerja selesai =-∫ 𝐹𝑟

𝑑 ⃗⃗⃗
𝑑𝑙. (2.2)

Sejak

q 𝑅 q 1 𝑞
𝐹=
4π ∈ r2
untuk biaya satuan =- ∫∞ 4π ∈ r2 dr. = 4 𝜋 ∈ .𝑟 (2.3)

Oleh karena itu potensial di titik P2 pada jarak r dari muatan tunggal q di P1
1 𝑞 1 𝑞
diberikan oleh . (gambar 2.1). Potensi ∅ (= ) hanya memiliki besaran dan
4𝜋∈ 𝑟 4 𝜋∈ 𝑟

tidak ada arah dan karena itu adalah potensi skalar. Potensi pada suatu titik adalah
independen dari jalur yang diikuti

39
Gambar 2.1 kerja yang dilakukan untuk pergerakan muatan satuan dilapangan

C. Permitivitas Listrik dan Medan Gaya Listrik


Jika dua sisi berlawanan dari isolator (Gambar. 2.2) dibebankan dengan beda
potensial  menerapkan medan listrik eksternal, muatan pada dua sisi yang berlawanan
akan diberikan oleh

Фc=q (2.4)

di mana C adalah kapasitansi dari dielektrik dan ф adalah tegangan pada dua sisi.
Kapasitansi antara dua pelat dapat didefinisikan sebagai muatan yang dibutuhkan

Gambar 2.2 pengisian elektrik (kapasitansi) antara dua sisi yang


berlawanan

40
untuk beda potensial satuan antara dua muka kapasitor yang berlawanan.
Satuan kapasitansi adalah farad. Nama ini dipilih untuk menghormati Michael
Faraday. Satuan farad = 1 coul/volt. Satuan yang lebih praktis adalah mikrofarad (1
μf = 10 − 6 f) Dan picofarad (1 pf = 10 − 12 f). Persamaan (2.4) dapat ditulis
sebagai,

𝜄 ф 𝑞
C. . ( ) = (2.5)
𝐴 𝜄 𝐴

Di sini l adalah jarak antara dua sisi kapasitor yang berlawanan. di mana = C ℓ .
Kapasitansi suatu benda per satuan panjang dan satuan penampang disebut sebagai
permitivitas listrik atau kapasitivitas listrik suatu sedang. Potensi per satuan lebar
kapasitor adalah medan E→ Jadi E = φ dan → ql D = A adalah muatan per satuan luas.
Ini disebut sebagai kerapatan fluks dielektrikIni juga disebut sebagai vektor
perpindahan. Satuannya adalah Coulomb/meter2. Dalam ruang hampa = 0= 8,854
10−12 farad/meter Ketika medan listrik diterapkan di antara dua permukaan bahan
dielektrik yang berlawanan, potensi yang dihasilkan antara dua wajah berlawanan dari
dielektrik tergantung pada kapasitansi dari dielektrik. Konstanta dielektrik diberikan
oleh ∈k=∈0∈r di mana ∈0= 1 936πx10 dan adalah permitivitas listrik ruang bebas dari
medium. r adalah relatif permitivitas listrik benda sehubungan dengan nilai ruang
bebas. Medan elektrostatik karena muatan titik diberikan oleh,
1
𝛦= 4𝜋
𝜖
(2.6)

Garis medan untuk sumber titik (muatan positif) dan tenggelam (muatan
negatif) adalah radial (Gbr. 2.3) dalam dielektrik homogen dan isotropik dan
permukaan ekuipotensial akan berbentuk bola. Arah gaya sepanjang garis yang
menghubungkan dua muatan terlepas dari polaritas muatan.

41
x

Gambar 2.3. Menunjukkan medan elektrostatik akibat dua muatan yang


berlawanan secara homogen Dan isotropik sedang

D. Aliran Listrik
Ketika muatan positif atau negatif yang diisolasi ditempatkan dalam media
dielektrik yang homogen dan isotropik, garis-garis medan yang berasal dari sumber
menyebar sepanjang arah radial dengan muatan di pusat (gambar 2.3). Dalam kasus
muatan negatif, garis-garis medan akan menyatu secara radial ke muatan negatif.
Ketika muatan positif dan negatif ditempatkan dalam media dielektrik garis-garis
medan akan dimulai dari muatan positif dan akan berakhir pada muatan negatif seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Garis medan adalah garis gaya atau garis fluks.
Sifat penting dari fluks listrik ini adalah (i) fluks ini tidak bergantung pada medium, (ii)
besarnya fluks ini semata-mata tergantung pada kekuatan muatan dari mana garis fluks
keluar, (iii) kerapatan fluks listrik harus berbanding terbalik dengan kuadrat jarak jika
sumber fluks ditutupi oleh domain terbatas katakanlah bola. Garis fluks akan tegak
lurus terhadap permukaan bola.

E. Perpindahan Listrik 𝜓 Dan Perpindahan Vektor D


Eksperimen Faraday yang terkenal tentang pergerakan muatan elektrostatik
dalam berbagai kulit bola adalah sebagai berikut: sebuah bola dengan muatan q
ditempatkan di dalam kulit bola lain tanpa menyentuhnya. Bola luar dibumikan sesaat
dan ketika bola dalam dilepas, muatan pada kulit terluar ternyata sama persis dengan
muatan di bola dalam tetapi berlawanan tanda. Itu berlaku untuk semua ukuran bola
dan untuk semua konstanta dielektrik media. Ada perpindahan muatan dari bola dalam
ke bola luar. Jumlah perpindahan tergantung hanya pada besarnya muatan Q. Jadi
perpindahannya dalam Coulomb yaitu, Ψ = q. Perpindahan listrik per satuan luas pada

42
setiap titik pada permukaan bola dengan jari-jari 'r' adalah kerapatan perpindahan
listrik D→ . Ini adalah vektor karena ada arah yang pasti untuk perpindahan ini. Jadi,
𝜓 𝑞
⃗⃗⃗ =
𝐷 2
= (2.7)
4𝜋𝑟 4𝜋𝑟 2
Satuannya adalah Coulomb/meter 2 . Perpindahan per satuan luas di setiap titik
bergantung pada arah luas dan normal terhadap elemen permukaan. Perpindahan ini
sepanjang arah medan dalam dielektrik homogen dan isotropik. Oleh karena itu kita
dapat kembali menulis,
𝑞
⃗⃗⃗
𝐷 = .𝑟 (2,8)
4𝜋𝑟 2

⃗⃗⃗ = ∈ 𝐸.
𝐷 ⃗⃗⃗ (2.8)

Vektor D juga disebut vektor perpindahan. Kita dapat mendefinisikan fluks Ψ =


D. ds di mana ds adalah elemen permukaan diferensial pada permukaan S. Dalam
dielektrik anisotropik, permitivitas listrik menjadi tensor dan hubungan penghubung
antara D dan E dapat dinyatakan sebagai
Dx = ∈11 Ex + ∈12 E y + ∈13 E z

Dy = ∈21 Ex + ∈22 E y + ∈23 E z

Dz = ∈31 Ex + ∈23 Ey + ∈33 E z

Dan di dalam itu matriks membentuk

𝐷𝑥 ∈11 ∈12 ∈13 𝐸𝑥


[𝐷𝑦 ] = [∈21 ∈22 ∈23 ] [𝐸𝑦 ] (2.9)
𝐷𝑧 ∈31 ∈32 ∈33 𝐸𝑧

F. Teorema Gauss
Induksi normal total atau perpindahan total fluks listrik melalui permukaan
tertutup apapun, yang meliputi muatan, sama dengan jumlah muatan yang dilampirkan.
perpindahan atau fluks listrik melalui permukaan dasar ds adalah
dΨ = D ds cos 𝞱
(2.10)

43
Di mana  adalah sudut antara D dan n. di mana n normal ke permukaan ds.
Total induksi normal melalui seluruh permukaan diberikan oleh
⃗⃗ ds cos 𝞱
Ψ= ∮ 𝐷 (2.11)

Karena total sudut solid subtended di titik O (ditempati oleh muatan q) oleh
permukaan tertutup adalah 4, Karena itu
Ψ=q. (2.12)

Jika ada n jumlah muatan dielektrik qi dalam volume terlampir, fluks total pada
permukaan akan menjadi,
𝟁 = ∑𝑛
𝑖=1 𝑞𝑖. (2.13)

G. Medan Karena Dipol Elektrostatik


Dipol dan bipol terdiri dari dua kutub. Perbedaannya terletak pada jarak antara
kedua kutub. Dalam dipol elektrostatik, jarak antara kedua kutub sangat kecil
dibandingkan dengan jarak titik pengamatan. Akibatnya potensial dan medan
bervariasi berbanding terbalik dengan kuadrat dan pangkat tiga dari jarak masing-
masing. Untuk medan bipole, jarak antara dua muatan sebanding dengan jarak kita
mengukur medan. Akibatnya, potensial dan medan berbanding terbalik dengan pangkat
pertama dan kedua dari jarak.
Pada bagian ini, kita akan mengembangkan ekspresi untuk potensial dan
medan untuk medan statis. Biarkan muatan + q dan q dipisahkan oleh jarak 'l'
ditempatkan di sepanjang sumbu z. ql adalah momen dipol. Titik dipol didefinisikan
sebagai Limql = terbatas. Gambar 2.4 menunjukkan lokasi dipol. Titik pengamatan P
adalah terletak di titik tertentu x, y, z dalam koordinat kartesius. Vektor l adalah dari +q
ke −q. Potensi di P diberikan oleh
𝑞 1 1
ф= (𝑟1 − 𝑟2
) (2.14)
4𝜋 ∈

44
Mengganti nilai r1 dan r2, Kita mendapatkan
𝑞 12 12
Ф= [(𝑟 2 + − 1𝑟 𝑐𝑜𝑠𝜃) -1/2 - (𝑟 2 + + 1𝑟 𝑐𝑜𝑠 𝜃) −1/2
]
4𝜋 ∈ 4 4

𝑞 1 12 1 12 1 −1/2
= . [(1 + 2
− 𝑐𝑜𝑠𝜃) -1/2 - (1 + + 𝑐𝑜𝑠𝜃) ] (2.15)
4𝜋 ∈ 𝑟 4𝑟 𝑟 4𝑟 2 𝑟

r1

l
r2

-q

Gambar 2.4. menunjukkan dipol elektrostatik. P adalah titik ukur potensial dan
medan

𝑞 1 12 1 12 1
= 4𝜋 ∈ . 𝑟 [1 − 8𝑟 2 + 2𝑟 cos 𝜃 − 1 + 8𝑟 + 2𝑟 cos 𝜃] + …

(2.16)

𝑞 1 1
= 4𝜋 ∈ . 𝑟 [𝑟 cos 𝜃 + 12 dan istilah orde yang lebih tinggi]

𝑞1 cos 𝜃 → cos 𝜃
= 4𝜋 ∈ . = 4𝜋𝑃 ∈ . P adalah momen dipol.
𝑟2 𝑟2

(2.17)

Ekspresi untuk medan dipol adalah,

→ →
⃗ =
𝐸 𝑃 . 𝑎𝑟
. (2.18)
4𝜋 ∈.𝑟 3

45
𝑞 1
Potensial akibat satu kutub adalah ф = . . Untuk distribusi
4𝜋 ∈ 𝑟

permukaan kutub tunggal, persamaan potensialnya adalah

𝜎𝑑𝑠
Ф=∬ (2.19)
𝑟

Dimana 𝜎 adalah kerapatan permukaan muatan. Untuk dipol, arah


dipol akan tegak lurus terhadap permukaan. Jika P adalah momen dipol
persatuan luas, pds adalah momen dipol untuk area kecil ds. Asumsikan
bahwa setiap dipol normal terhadap permukaan. Jadi potensial di titik p
akibat permukaan dasar ds. (gambar 2.5 ) adalah
⃗⃗ 𝑑𝑠
𝑃 𝜕 1
ф= . ( ) (2.20)
4𝜋 ∈ 𝜕𝑛 𝑟

Total potensi karena distribusi permukaan dipol diberikan oleh

⃗⃗ 𝑑𝑠
𝑃 𝜕 1
ф= ∬ . ( ) (2.21)
4𝜋 ∈ 𝜕𝑛 𝑟

Dimana arah momen tegak lurus terhadap arah permukaan. Karena itu

Gambar 2.5. Permukaan dipol

⃗⃗
𝑃 𝑑𝑠 cos 𝜃 ⃗⃗
𝑃 ⃗⃗ 𝜔
𝑃
Ф = ∬ 4𝜋 ∈ . = 4𝜋 ∈ ∬ 𝑑𝜔 = 4𝜋 ∈ (2.22)
𝑟2

46
Dimana 𝜔 adalah sudut solid subtented pada titik P. p adalah momen dipol
karena permukaan s.

H. Persamaan Poison dan Laplace


Dimulai dari persamaan, yaitu
∇𝐷 = 𝑃,
Kita bisa menulis
⃗ =𝜌
∇. 𝜀𝐸
𝜌
⃗ = .
⇒ ∇. 𝐸 (2.23)

Sejak
E = −∇ф,
Karena itu
𝜌
∇. ∇ф = −

𝜌
⇒ ∇2 ф = − ∈ (2.24)

Ini dikenal sebagai persamaan poisson. Diruang bebas dimana tidak


ada sumber elektrostatik, (2.24) direduksi menjadi,

∇2 ф = 0 (2.25)
Ini adalah persamaan laplace persamaan ini sangat penting dalam
teori medan potensial skalar. Dalam koordinat persegi panjang, persamaan
poisson atau laplace ditulis sebagai

47
𝜕2 ф 𝜕2 ф 𝜕2 ф 𝜌
2
+ 2
+ =− atau 0 (2.26)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧 2 ∈

Tergantung pada apakah sumber dimasukkan atau dikeluarkan dari volume.

Ini adalah persamaan diferensial parsial orde ke dua dan terkait


dengan laju perubahan potensial dalam tiga arah yang saling tegak lurus.
Dalam hal ini medan listrik dapat ditulis sebagai

𝜌
⃗ = atau 0
∇. 𝐸 (2.27)

I. Energi Elektrostatik
Kapasitor terisi daya ketika tegangan  terbentuk di antara kedua pelat. Energi
yang tersimpan dapat diubah menjadi panas dengan melepaskan kapasitor.
Jumlah energi yang tersimpan dapat dihitung dari kerja yang dilakukan dalam mengisi
kapasitor. Karena potensial didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan
dalam memindahkan muatan satuan dari tak terhingga ke titik
tertentu,usaha yang dilakukan dengan memindahkan muatan kecil ∆𝑞
melalui beda potensial 𝜑 adalah 𝜑∆𝑞. Tegangan 𝜑 dapat dinyatakan sebagai
𝑞
∅=𝐶 (2.28)

Usaha yang dilakukan untuk menaikkan muatan dalam sebuah


kapasitor sebesar dq adalah
𝑞
𝐶
dq. (2.29)

Kerja total yang dilakukan telah mengisi kapasitor ke q coulomb


adalah
𝑞 𝑞 1 𝑥2
Kerja total = ∫0 dq = 2 . (2.30)
𝐶 𝐶

Energi yang tersimpan dalam kapasitor bermuatan adalah


1 𝑞2 1 1
=2 = 2 ∅𝑞 = ∅2 𝐶. (2.31)
𝐶 2
ф 𝜄
⃗ =
Karena 𝐸 i.e., yaitu, potensi persatuan panjang dan ∈ = 𝐶 𝐴, kita
1

mendapatkan ekspresi energi tersimpan elektrostatik sebagai


1 1 2 𝐴 1
∅2 C = 2 . 𝐸 . 2
𝜄 . ∈. 𝜄 = 2 =∈ 𝐸 2 𝜄3 (2.32)
2

48
Jadi energi elektrostatik yang tersimpan per satuan volume adalah
1
∈ 𝐸2. (2.33)
2

J. Kondisi Batas
Komponen normal ⃗𝐷
⃗ adalah

∫𝑠 ⃗𝐷
⃗ . ⃗𝑛
⃗ . 𝑑𝑠.
Menerapkan teorema divergensi gauss, kita dapatkan
∫ ⃗𝐷
⃗ . ⃗𝑛 . 𝑑𝑠 = ∫ 𝑑𝑖𝑣 ⃗𝐷
𝑣
⃗ . 𝑑𝑣 = ∫ 𝑝𝑑𝑣 = 𝑞
𝑣
(2.34)
Disini q adalah muatan total dan p adalah kerapatan volume muatan.
Mari kita asumsikan sebuah silinder tipis elementer dengan ketebalan yang
dapat diabaikan dengan dua permukaan pada dua sisi batas (gambar 2.6).
Komponen normal dari perpindahan vector akan keluar dari volume ini
untuk induksi normal. Oleh karena itu Dn1 dan Dn2 akan berlawanan arah.
Dari hukum gauss tentang induksi normal total kita bisa menulis

(𝐷2 . 𝑛2 + 𝐷1 𝑛1 )∆a = 𝑤∆a (2.35)


Dimana D1 dan D2 adalah vector perpindahan, n1 dan n2 adalah
normal vector dari permukaan bawah dan atas silinder, ∆a adalah
permukaan luas silinder dan w adalah kerapatan permukaan muatan. Sejak q
= ∫𝑣 = 𝜌∆1. ∆𝑎 (dimana p adalah kerapatan volume muatan), kita dapatkan

𝑤 = 𝜌∆1,
Dan
(𝐷2 − 𝐷1 ). 𝑛 = 𝑤 (2.36)
Persamaan ini menunjukkan bahwa komponen normal Dn dari vektor D
diskontinu pada antarmuka karena akumulasi muatan permukaan dengan densitas w.
Pada permukaan konduktor, kerapatan muatan permukaan menghilang dengan cepat
tetapi pada permukaan isolator muatan yang terakumulasi tidak menghilang begitu

49
cepat. Karena itu

Dn1 da

𝜇1 , 𝜀1 , 𝜎1

𝜇2 , 𝜀2 , 𝜎2
Dn2

Gambar 2.6. komponen normal dari vector perpindahan pada batas antara
dua media dengan permitivitas listrik yang berbeda

Melintasi antarmuka yang melibatkan semua kecuali konduktor atau


dielektrik termiskin, komponen normal ⃗𝐷
⃗ kontinu melintasi batas yaitu,

𝐷𝑛1 = 𝐷𝑛2 (2.37)

Karena potensial elektrostatik juga kontinu melintasi batas. Kondisi


batas umumnya diterapkan untuk memecahkan masalah elektrostatik
adalah

(i) ф1 = ф2
(ii) ∈1 ( 𝜕∅ ) 𝜕∅ (2.38)
𝜕𝑛 1= ∈2 ( )
𝜕𝑛1 2

K. Persamaan Dasar Dalam Medan Elektrostatik


1 𝑞1𝑞2
⃗ =
1. 𝐹 . 𝑐𝑜𝑢𝑙𝑜𝑚𝑏′𝑠𝑙𝑎𝑤
4𝜋 ∈ 𝑟2

(2.39)
⃗ = 𝑞𝐸
2. 𝐹 ⃗
(2.40)
1 𝑞
⃗⃗ =
3. 𝐸 . .𝑟

4𝜋 ∈ 𝑟3

(2.41)
50
∆𝐹
⃗⃗ = lim
4. 𝐸
∆𝑞→0 ∆𝑞

(2.42)
𝑞𝑣
⃗ =
5. Div 𝐸 Dimana qv adalah kerapatan volume muatan. Atau

𝑞𝑣
∇2 𝐸 = persamaan poisson

(2.43)
⃗⃗ = −𝑔𝑟𝑎𝑑ф𝑒 . ф𝑒 adalah potensial scalar dalam elektrostatika
6. 𝐸
(2.44)
⃗⃗ = 0
7. ∇2 𝐸 persamaan laplace adalah daerah bebas sumber
(2.45)
8. ⃗𝐷
⃗ =∈ 𝐸

(2.46)
9. Div ⃗⃗
𝐷= 𝜌
(2.47)
⃗ =0
10. Curl 𝐸
(2.48)
⃗⃗
𝑃 cos 𝜃
11. Potensi karena dipol = 4𝜋 ∈ 𝑟2

(2.49)
⃗ adalah momen dipol.
dimana 𝑃
⃗⃗ .a
𝑃 ⃗⃗⃗⃗⃗𝑟
12. Medan akibat dipol = 4𝜋 ∈ 𝑟 3

(2.50)

51
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah elektrostatika adalah sebagai berikut:

Pada awal 1785 Coulomb quan pertama - titatif mengukur kekuatan tarik atau
tolakan. Ini positif Dan negatif biaya adalah sewenang-wenang konvensi . Hukum
coulomb menyatakan bahwa dua muatan titik q dan q’ yang dipisahkan oleh jarak’r’
akan memiliki (i) gaya daya tarik atau tolakan secara langsung sebanding ke perkalian
kedua muatan dan berbanding terbalik dengan kuadrat muatan jarak, (ii) gaya daya
tarik atau tolakan akan menjadi bersama itu garis bergabung dua muatan, (iii)
konstanta proporsionalitas k = 1 / 4 π , Di mana adalah permitivitas listrik dari medium
(iv) seperti muatan menolak dan tidak seperti biaya menarik. Ekspresi untuk gaya
elektrostatik diberikan oleh. Ini dikenal sebagai hukum gaya Coulomb dan k adalah
konstan. Potensi pada suatu titik dalam medan elektrostatik adalah jumlah kerja yang
dilakukan bawa muatan satuan dari tak terhingga ke titik itu. Karena kerja yang
dilakukan = gaya x jarak, Kami Bisa menulis. kerja selesai =-. untuk biaya satuan. Oleh
karena itu, potensial pada titik P2 pada jarak r dari muatan tunggal q at P1 diberikan
oleh . Potensi pada suatu titik tidak bergantung pada jalur yang di ikuti. Jika dua
permukaan isolator yang berlawanan (Gbr. Di mana C adalah itu kapasitansi dari A
dielektrik dan ф adalah itu tegangan lintas itu dua wajah. Kapasitansi di antara itu dua
piring Bisa menjadi didefinisikan sebagai itu biaya diperlukan. Untuk beda potensial
satuan antara dua muka yang berlawanan dari a kapasitor. Nama ini dipilih untuk
menghormati Michael Faraday. C. Satuannya adalah Coulomb / meter 2 . Dalam ruang
hampa = 0 = 8 . Garis medan untuk sumber titik (muatan positif) dan tenggelam
(muatan negatif) adalah radial (Gbr. Gambar 2.3. Menunjukkan medan elektrostatik
akibat dua muatan yang berlawanan secara homogen Dan isotropik sedang. Di dalam
itu kasus dari A negatif mengenakan biaya itu bidang baris akan bertemu secara radial
ke itu negatif mengenakan biaya. Garis medan adalah garis gaya atau garis fluks. Itu
benar untuk semua ukuran bola dan untuk semua konstanta dielektrik media. Ada
perpindahan muatan dari bola dalam ke bola luar. Itu satuan sedang dalam Coulomb /

52
meter 2 . (2.8). Itu vektor D adalah Juga ditelepon pemindahan vektor. Kami Bisa
mendefinisikan itu aliran Ψ = D . Induksi normal total atau perpindahan total fluks
listrik melalui sembarang permukaan tertutup yang dilingkupi muatan sama dengan
jumlah muatan diselubungi. Perpindahan atau fluks listrik melalui elemen - tar
permukaan ds adalah. Dimana 𝞱 adalah sudut antara D dan n. Ψ = q . Dipol dan bipol
terdiri dari dua kutub. Perbedaannya terletak pada jarak di antara itu dua tiang. Pada
bagian ini, kita akan mengembangkan ekspresi untuk potensi dan medan untuk medan
statis. Dipol titik adalah didefinisikan sebagai Lim ql = terbatas. Gambar 2.4
menunjukkan itu lokasi dari itu dipol. -1/2 - (2.15). menunjukkan dipol elektrostatik. P
adalah titik ukur potensial dan medan. + … (2.16). = P adalah momen dipol. (2.18).
Potensial akibat satu kutub adalah ф = . Dimana adalah kerapatan permukaan muatan.
Untuk dipol, arah dipol akan tegak lurus terhadap permukaan. (2.20). (2.21). Dimana
arah momen tegak lurus terhadap arah permukaan. Gambar 2.5. = (2.22). Dimana
adalah sudut solid subtented pada titik P. Ini dikenal sebagai persamaan poisson.
Diruang bebas dimana tidak ada sumber elektrostatik, (2.24) direduksi menjadi, . Ini
adalah persamaan laplace persamaan ini sangat penting dalam teori medan potensial
skalar. Dalam koordinat persegi panjang, persamaan poisson atau laplace ditulis
sebagai. Ini adalah persamaan diferensial parsial orde ke dua dan terkait dengan laju
perubahan potensial dalam tiga arah yang saling tegak lurus. Dalam hal ini medan
listrik dapat ditulis sebagaI. Kapasitor diisi ketika tegangan dibuat di antara dua pelat.
Karena potensial didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan dalam memindahkan
muatan satuan dari tak terhingga ke titik tertentu,usaha yang dilakukan dengan
memindahkan muatan kecil melalui beda potensial adalah . Tegangan dapat dinyatakan
sebagai. dq. (2.29). C = . (2.32). Disini q adalah muatan total dan p adalah kerapatan
volume muatan. Oleh karena itu Dn1 dan Dn2 akan berlawanan arah. Dimana D1 dan
D2 adalah vector perpindahan, n1 dan n2 adalah normal vector dari permukaan bawah
dan atas silinder, a adalah permukaan luas silinder dan w adalah kerapatan permukaan
muatan. Sejak q = (dimana p adalah kerapatan volume muatan), kita dapatkan .
Persamaan ini menunjukkan bahwa komponen normal Dn dari vector D adalah
diskontinu ous pada antarmuka karena akumulasi muatan permukaan kerapatan w.
dipermukaan konduktor, kerapatan muatan permukaan menghilang dengan cepat
53
tetapi pada permukaan wajah akumulasi muatan isolator tidak menghilang begitu
cepat. Gambar 2.6. komponen normal dari vector perpindahan pada batas antara dua
media dengan permitivitas listrik yang berbeda. Karena potensial elektrostatik juga
kontinu melintasi batas. Kondisi batas umumnya diterapkan untuk memecahkan
masalah elektrostatik adalah. Div Dimana qv adalah kerapatan volume muatan

B. Saran
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari
tulisan maupun bahasa yang kami sajikan, oleh karena itu mohon diberikan
sarannya agar kami dapat membuat makalah lebih baik lagi, dan semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi kita semua, dan menjadi wawasan kita dalam memahami
paragraf.

54
TUGAS I

TEORI MEDAN POTENSIAL

MEDAN ALIRAN ARUS SEARAH

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1B

MAYA (R1A121018)

SITTI NUR AIN NATASYA (R1A121062)

YARNI SULISTIA (R1A121010)

RISNA YANTI (R1A121022)

MUH. ALIF PRIANSYAH MUHLIS (R1A121052)

MUH. IDUL KURNIAWAN (R1A121054)

DODI IRWAN (R1A120030)

TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023

55
YARNI SULISTIA (R1A121010)
6.1 Medan aliran arus searah

Arus searah mengalir melalui media konduktivitas terbatas atau resistivitas ke


suatu titik atau garis sumber arus menghasilkan medan potensial skalar, dimana medan
listrik data dinyatakan sebagai gradien negatif dari potensial. Medan dan potensial pada
suatu titik memiliki kesamaan dengan yang dieroleh untuk medan elektrostatik atau
1 1
gravitasi, yaitu mengikuti dan hokum masing-masing dalam media homogen dan
𝑟2 𝑟
isotropik. Arus dari sumber titik mengalir secara radial ke luar dan garis ekuipotensial
menglingkar di permukaan bidang (gambar 6.1).

Ini adalah bidang local buatan manusia di sebagian besar kasus. Arus telurik
kuasistatik global mengikuti persamaan medan aliran arus searah. Medan ini dapat
divergensi lebih sedikit atau solenoidal di daerah bebas sumber (gambar 6.2).

Wilayah R tertentu dalam medan aliran arus searah tanpa adanya sumber apapun
atau sink memenuhi persamaan Laplace. Di hadapan satu atau lebih dari satu sumber,
medan aliran DC memenuhi persamaan Poisson. Baik biolar maupun diolar bidang
dihasilkan dalam domain aliran arus searah. Ini adalah irrasional atau bidang bebas
keriting. Dalam hal itu mirip dengan gravitasi, elektrostatik, garis aliran fluida dan, medan
aliran panas. Utuk medan aliran arus searah, prinsipnya superposisi dan prinsip timbal
balik berlaku. Prinsip superposisi menyatakan bahwa potensial pada suatu titik disebabkan
oleh sejumlah sumber arus dan sink

Gambar 6.1. Garis medan dan garis ekipotensial akibat sumber arus di titik a dalam media
homogen dan isotropik.

Akan ditambahkan dan dikurangi karena adanya sumber arus dan sink di titik pengamatan.

Prinsip timbal balik menyatakan bahwa jika kita tukar posisi elektroda arus dan
potensial diukur diantara dua elektroda potensial dalam dua kasus ini akan teta sama.
Secara teoritis memang benar. Dalam praktek laangan yang sebenarnya dengan eningkatan
emisahan elektroda beberaa erbedaan antara dua set pengukuran diamati karena
masuknya tegangan karena telurik atau arus bumi dan kebisingan lainnya di pengukuran.

56
Dalam elektrostatik perindahan listrik dihubungkan ke medan listrik dan scalar
penghubungnya adalah ∈ (4.4); permitivitas listrik adalah

Gambar 6.2a. Sumber wilayah bebas dalam bidang yang seragam

Gambar 6.2b. Wilayah bebas sumber dalam bidang bipole dihasilkan sumber titik

Pada medan aliran arus searah, sifat fisis yang coba kita ukur adalah konduktivitas
listrik atau resistivitas listrik. Resistivitas listrik adalah adalah kebalikan dari konduktivitas
listrik. Dari semua sifat fisik bumi, diukur oleh ahli geofisika, konduktivitas listrik adalah
parameter yang paling sensitive. A gangguan kecil, dalam media yang mengalir arus, dapat
mengubah nilai konduktivitas listrik dengan beberapa urutan besarnya. Rasio dari nilai
ekstrim resistivitas atau konduktivitas adalah urutan 1015 atau lebih.

Kondisi batas dalam medan aliran arus searah adalah (i) potensial harus kontinu
melintasi batas yaitu, 𝜙1 = 𝜙2 dan (ii) komponen normal dari kerapatan arus harus
kontinu melintasi batas yaitu, 𝐽𝑛1 = 𝐽𝑛2 .

57
Gambar 6.3. (a) Konfigurasi dua elektroda (susunan log normal) dengan satu elektroda
arus A dan satu elektroda potensial B; elektroda arus lainnya untuk kembali ke jalur arus
dan elektroda potensial lainnya berada jauh di atas dari set elektroda ini; (b) Konfigurasi
tiga elektroda (susunan log lateral) dengan satu arus dan dua elektroda potensial yang
berjarak dekat, elektroda arus balik lainnya ditematkan jauh di atas dari pengaturan ini; (c)
Konfigurasi empat elektroda (pengaturan elektroda Wenner); A dan B adalah dua
elektroda arus dan M dan N adalah potensial elektroda; elektroda ini berjarak satu sama
lain; (d) Empat konfigurasi elektroda (pengaturan elektroda Schlumberger), A dan B
adalah elektroda arus, M dan N yang berjarak dekat adalah elektroda potensial; (e) Empat
konfigurasi rlrktroda (konfigurasi dipol-dipol collinear) dengan dipol arus AB mungkin
memiliki jarak yang lebar dari dipol potensial MN; (f) Tujuh konfigurasi elektroda (Latero
log pengaturan) dengan elektroda arus pemfokusan sentral, dua elektroda arus bucking
𝐴1 dan 𝐴2 ; dua pasang elektroda potensial 𝑀1 𝑁1 dan 𝑀2 𝑁2 ; kembalinya elektroda arus jauh
dari pengaturan ini; (g) Empat konfigurasi elektroda (metode Unipole); di sini dua
elektroda arus adalah sumber untuk pemfokusan arus; dua elektroda potensial yang
berjarak dekat digunakan untuk mengukur anomaly murni; arus balik elektroda jauh dari
pengaturan ini.

58
Gambar 6.4. Aliran arus searah melalui dua sisi berlawanan dari persegi panjang
paralelipiped

6.2 Aliran arus searah

Dimedan aliran arus searah, aliran arus adalah stasioner. Biarkan konstan arus l
mengalir melalui media homogeny dan isotropic.
∆𝑆.∆𝐼
∆𝑙 = 𝑞𝑣 (6.1)
∆𝑡

Dimana ∆I adalah jarak yang di tempuh oleh muatan dan 𝑞𝑣 adalah kerapatan volume
muatan. Dari (6.1) kita dapatkan
∆𝐼 ∆𝐼
= 𝑞𝑣 (6.2)
∆𝑆 ∆𝑡

⟹ 𝐽 = 𝑞𝑣 𝑣 (6.3)

Dimana 𝐽 adalah kerapatan dan 𝑣 adalah kecepatan. Ekspresi untuk arus diberikan oleh

𝐼 = ∫ 𝐽. 𝑛. 𝑑𝑠 (6.4)

MAYA (R1A121018)
6.3 Bentuk diferensial dari Hukum Ohm

Hukum ohm didefinisikan sebagai suhu teta sama dengan potensial yang dihasilkan
antara dua titik konduktor berbanding lurus dengan arus yang mengalir melalui tanah.
1
𝑆𝑜 𝐼 = (𝜙1 − 𝜙2) (6.5)
𝑅

Dimana 𝐼 adalah arus yang mengalir melalui media ini 𝜙1 dan 𝜙2 adalah potensi pada dua
titik dalam medium dan R, konstanta proposional adalah resistensi yang ditawarkan oleh
tanah. Disini

59
𝑙
𝑅=𝜌 (6.6)
𝐴

Dimana 𝜌 adalah resistivitas spesifik, 𝐼 adalah panjang dan A adalah penampang daerah
aliran arus. Resistivitas spesifik suatu medium didefinisikan sebagai resistivitas yang
ditawarkan oleh dua sisi berlawanan dari kubus satuan. Unit resistivitas adalah Ohm-
meter. Timbal balik resistivitas adalah konduktansi (C). satuannya adalah mho. Kebalikan
dari resistivitas adalah konduktivitas (𝜎). Satuannya mho/meter. Dari (6.5 dan 6.6), kita
bisa menulis
𝐴 ∆𝑆
𝐶=𝜎 =𝜎 . (6.7)
𝐿 ∆𝑙

∆𝑆
∆𝐼 = . (−∆𝜙). 𝜎 (6.8)
∆𝐼

∆𝐼 ∆𝜙
⇒ =− .𝜎
∆𝑆 Δ𝑙

⇒ 𝐽 = 𝜎𝐸. (6.9)

6.4 Persamaan kontinuitas

Karena medan listrik stasioner bersifat konservatif, maka medan listriknya


dinyatakan sebagai gradient potensial scalar (𝜙) yaitu,

𝐸 = −∇Φ. (6.10)

Menggabungkan persamaan (6.9) dan (6.10), kita dapatkan

𝐽 = −𝜎∇Φ. (6.11)

Menerapkan prinsip kekekalan muatan atas suatu volume, yang menyatakan bahwa
muatan tidak dapat dibuat atau dihancurkan, meskipun jumlah yang sama muatan positif
dan negatif dapat dibuat secara bersamaan. Dari (6.8) kita bisa tuliskan

𝐼 = ∮𝑠 𝐽. 𝑛. 𝑑𝑠 (6.12)

Dan aliran keluar muatan positif ini harus diimbangi dengan penurunan muatan positif
(atau peningkatan muatan negatif) dalam permukaan tertutup. Kalau muatan di dalam
permukaan tertutup dilambangkan dengan 𝑞𝑖 , maka tingkat penurunan adalah - 𝑑𝑞𝑖 /𝑑𝑡 dan
prinsip kekekalan muatan membutuhkan

60
𝐼 = ∮𝑠 𝐽. 𝑛. 𝑑𝑠 = −𝑑𝑞𝑖. (6.13)

Tanda negatif menunjukan arah aliran arus. (6.13) ada persamaan kontinuitas. Dengan
mengubah integral permukaan menjadi integral volume menggunakan teorema divergensi,
kita mendapatkan

∮𝑠 𝐽. 𝑑𝑠 = ∫𝑣𝑜𝑙(∇. 𝐽)𝑑𝑣. (6.14)

𝑞𝑖 = ∭ 𝑞𝑑𝑣 , dimana 𝑞𝑣 adalah kerapatan volume muatan, dapat dituliskan


𝑑
∫𝑣𝑜𝑙(∇. 𝐽)𝑑𝑣 = − 𝑑𝑡 ∫𝑣𝑜𝑙 𝑞𝑣 𝑑𝑣 (6.15)

Dimana 𝑞𝑣 adalah kepadatan muatan volume. Untuk aliran arus keluar melalui volume,
turunan dapat ditulis sebagai turunan parsial dan (6.15) menjadi

𝜕𝑞𝑣
∫𝑣𝑜𝑙(∇. 𝐽)𝑑𝑣 = ∫𝑣𝑜𝑙 − 𝜕𝑡
𝑑𝑣 (6.16)

Karena, ungkapan itu benar untuk setiap volume, bagaimanapun kecilnya, dan untuk
sebuah volume tambahan,
𝜕𝑞𝑣
(∇. 𝐽)∇𝑣 = − ∆𝑣 (6.17)
𝜕𝑡

Dan bentuk titik kontinuitasnya adalah


𝜕𝑞𝑣
(∇. 𝐽) = − . (6.18)
𝜕𝑡

𝜕𝑞
∇. 𝐽 = 𝛿 (𝑥 )𝛿 (𝑦)𝛿 (𝑧). (6.19)
𝜕𝑡

SITTI NUR AIN NATASYA (R1A121062)


6.5 Anisotropi dalam konduktivitas listrik

Untuk media homogeny dan isotropic, kerapatan arus 𝐽 dan medan listrik 𝐸
diasumsikan berada ada bidang yang sama. Jika medan listrik 𝐸𝑥 dan konduktivitas (𝜎𝑥𝑥 )
sepanjang arah – x, maka kerapatan arus sepanjang arah x adalah 𝐽𝑥1 . Namun secara umum,
tidak hanya bidang 𝐸𝑥 tetapi juga bidang 𝐸𝑦 dan 𝐸𝑧 dapat memunculkan kerapatan arus
arah-X dalam sebuah media anisotropik. Secara umum, dapat dituliskan

61
𝐽𝑥 = 𝜎𝑥𝑥 𝐸𝑥 + 𝜎𝑥𝑦 𝐸𝑦 + 𝜎𝑥𝑧 𝐸𝑧

𝐽𝑦 = 𝜎𝑦𝑥 𝐸𝑥 + 𝜎𝑦𝑦 𝐸𝑦 + 𝜎𝑦𝑧 𝐸𝑧 (6.20)

𝐽𝑧 = 𝜎𝑧𝑥 𝐸𝑥 + 𝜎𝑧𝑦 𝐸𝑦 + 𝜎𝑧𝑧 𝐸𝑧

Konduktivitas suatu media (𝜎) harus menjadi tensor peringkat 2, yang dalam koordinat
cartesian akan memiliki Sembilan komponen :
𝜎𝑥𝑥 𝜎𝑥𝑦 𝜎𝑥𝑧
𝜎 = (𝜎𝑦𝑥 𝜎𝑦𝑦 𝜎𝑦𝑥 ). (6.21)
𝜎𝑧𝑥 𝜎𝑧𝑦 𝜎𝑧𝑧

Jika tensor konduktivitas simetris, suku-suku diluar diagonal akan memiliki nilai yang
sama secara simetris, yaitu 𝜎𝑥𝑦 = 𝜎𝑦𝑥 , dan seterusnya. Jika dua dari koordinat arah di pilih
untuk diletakan pada arah konduktivitas maksimum dan minimum, (arah utama tensor
konduktivitas), off-diagonal istilah akan menjadi nol dan 𝜎 dapat ditampilkan sebagai
matriks diagonal.

𝜎𝑥𝑥 0 0
𝜎=( 0 𝜎𝑦𝑦 0 ). (6.22)
0 0 𝜎𝑧𝑧

Dalam bahan isotropic, ketiga nilai utama konduktivitas semuanya sama dan
akibatnya, konduktivitas menjadi besaran skalar. Vektor medan listrik dan vektor
kerapatan arus adalah collinear, yaitu aliran arus, seanjang arah medan listrik yang
diterakan. Dalam media anisotropic (permukaan ekipotensial tidak lagi normal terhadap
arah arus mengalir). Arah tidak terduga terjadi hanya Ketika medan listrik di arahkan
bersama salah satu arah utama konduktivitas tensor.

6.6 Potensi di suatu titik karena sumber titik

Potensial pada suatu titik karena sumber titik arus 𝐼 pada jarak ‘r’ dan dalam media
resistivitas homogeny dan isotropik 𝜌 dapat diturunkan dari solusi persamaan laplace
dalam koordinat bola sebagai
𝐼𝜌 𝐼
𝜙= . . (6.23)
4𝜋 𝑟

Oleh karena itu, dalam mefia yang homogen dan isotropik, garis arus akan menjadi garis
radial dan ekuipotensial akan berbentuk lingkaran.

62
Gambar 6.5. Garis arus dan garis ekipotensial karena sumber arus dan sink

Gambar 6.6. Garis medan dan garis ekuipotensial akibat dua sumber yang ditempatkan
pada titik tertentu

Gambar 6.7. Garis medan dan ines arus karena dua sumber dan sink yang berjarak dekat

63
Potensi disuatu titik karena sumber titik ada jarak r di permukaan bumi
𝐼𝜌 1
𝜙= . (6.24)
2𝜋 𝑟

Untuk konfigurasi elektroda Wenner, beda potensial antara dua elektroda


potensial M dan N karena dua elektroda arus ditempatkan di A dan B.
𝐼𝜌 1 1 1 1
∆𝜙 = [( − )−( − )] (6.25)
2𝜋 𝐴𝑀 𝐵𝑀 𝐵𝑁 𝐴𝑁

𝐼𝜌 1
= . dimana ‘a’ adalah jarak antara elektroda. Ini untuk Wenner konfigurasi AM = MN =
2𝜋 𝑎
NB = a. karena itu
Δ𝜙
𝜌 = 2𝜋𝑎 (6.26)
𝐼

Untuk konfigurasi elektroda Schlumberger eksresi untuk resistivitas semu


adalah

𝜌𝑎 = (𝜋/4)((𝐿2 − 𝐼 2 )/1)(Δ𝜙/𝐼 ) (6.27)

RISNA YANTI (R1A121022)


6.7 Potensi untuk jalur konfigurasi elektroda

Mari kita perhatikan elektroda garis panjang tak terhingga yang melalui arus I er
satuan panjang yang dikirim melalui setengah ruang.

Gambar 6.8. Ruang annular silinder untuk elektroda garis panjang

64
Gambar 6.8 menunjukan setengah silinder annular dengan panjang satuan elektroda
ada sumbu dan memiliki jari-jari internal dan eksternal r dan r + dr. jika 𝜌 adalah
𝑑𝑟
resistivitas tanah homogen; hambatan silinder annular adalah 𝑑𝑅 = 𝜌 . Karena arus
𝜋𝑟
keluar dari cangkang annular silinder, potensi penurunan di atasnya
𝐼𝑃 𝑑𝑟
𝑑𝜙 = −𝐼𝑑𝑅 = − . . (6.28)
𝜋 𝑟
𝐼𝑃
Mengintegrasikan 𝜙 = − 𝐼𝑛 𝑟 + 𝐶. (6.29)
𝜋

Potensi dari elektroda posotif dan negative akan berlawanan tanda. Jika kita
memilih 𝐶 = 𝐶∞ , potensial total ada titik tersebut adalah
𝐼𝜌 𝑟
𝜙= 𝐼𝑛 1 . (6.30)
𝜋 𝑟2

Potensial permukaan adalah

Gambar 6.9. menunjukan beda potensial yang terukur antara dua titik pengamatan 𝑃1 dan
𝑃1 antara sumber garis dan garis sink 𝐶1 dan 𝐶2 masing-masing dengan panjang I dan di
tanam di tanah pada jarak L
𝐼𝜌 𝐿−𝑥
𝜙= 𝐼𝑛 (6.31)
𝜋 𝐿+𝑥

Dimana 2L adalah jarak antara dua elektroda dan x diukur dari titik tengah 𝐶1 𝐶2 .

65
6.7.1 Potensi elektroda garis hingga

Elemen kecil dari elektroda garis, memiliki panjang 𝑑𝜆, pada jarak 𝜆 dari 0 dapat
diperlakukan sebagai elektroda titik yang melalui arus I 𝑑𝜆 yang disebarkan ke tanah.
Potensi P kemudian akan
𝐼𝜌 𝑑𝜆
𝑑𝜙 = {𝑥 2 +(𝜆−𝑦)2 }
. (6.32)
2𝜋

MUH. ALIF PRIANSYAH MUHLIS (R1A121052)


6.8 Aliran arus di dalam bumi

Potensial pada titik M (gsmbsr 6.13) dalam media resistivitas semi tak hingga 𝜌
karena sumber +I dan sink (-I) di permukaan bumi

𝜌𝐼 1 1
𝜙𝑚 = ( − ) (6.33)
2𝜋 𝑟1 𝑟2

Gambar 6.10. Elektroda garis berhingga dengan panjang 2b membawa arus I

66
Gambar 6.11. Garis arus dan garis ekipotensial akibat sumber arus garis berhingga panjang

Gambar 6.12. Menunjukan variasi potensial dengan jarak dari titik dan garis elektroda

Gambar 6.13. Menunjukan sifat aliran arus searah melalui media yang homogen

67
Gambar 6.14. Menunjukan variasi kerapatan arus dengan kedalaman dalam lintasan bidang
xz melalui y = 0 pada pusat konfigurasi elektroda

Gambar 6.15. Besarnya arus yang mengalir melalui bumi dengan kedalaman dan
hubungannya dengan pemisahan elektroda

Ini memberikan jumlah total arus yang mengalir di antara permukaan dan kedalaman
tertentu. Gambar 6.15 menunjukan variasi In I dengan h/L. itu diamati bahwa sebagian
besar arus terkonsentrasi di dekat permukaan.

68
MUH. IDUL KURNIAWAN (R1A121054)
6.9 Pembiasan garis langsung

Arus searah dibiaskan melintasi kontak dua media dengan resistivitas berbeda dan
mengikuti hukum ‘tan’ idak seperti hukum ‘sinus’ untuk gelombang seismik atau elastis.
Dua media resistivitas homogen dan isotroik 𝜌1 dan 𝜌2 mengalami kontak horizontal
(gambar 6.16) dengan luas horizontal tak terhingga.

Arus dengan kerapatan arus 𝐽1 datang pada permukaan horizontal disebuah sudut
𝜃1 . 𝐽𝑥1 dan 𝐽𝑧1 masing-masing adalah komponen horizontal dan vertikal. Elemen arus ini
membentuk sudut 𝜃2 dengan vertikal.

Gambar 6.16. Menunjukan pembiasan garis arus pada batas antara dua media yang
memiliki resistivitas 𝜌1 dan 𝜌2

Sekarang untuk medan aliran arus searah, potensialnya harus batas kontinu yaitu, ϕ1 = 𝜙2
dan komponen normal dari kerapatan arus 𝐽𝑛1 dan 𝐽𝑛2 harus kontinu melintasi batas.

69
DODI IRWAN (R1A120030)
6.10 Bidang dipol

Bidang dipol D.C. digunakan oleh ahli geofisika terutama untuk memiliki informasi
bawah permukaan dari kedalaman yang relative lebih besar. Penyelidikan lebih dalam
dimungkinkan dengan mengirimkan lebih banyak arus dan mengukur potensi jauh dari
dipol arus. Konfigurasi dipol-dipol arus searah untuk mengukur kelistrikan resistivitas
kerak bumi. Dalam konfigurasi dipol-dipol, panjang arus dipol AB mungkin jauh lebih besar
dari otensi dipol MN.

Gambar 6.17. Menunjukan konfigurasi dipol DC; (a) Konfigurasi dipol potensial sejajar;
garis yang menghubungkan titik tengah dari elektroda arus dan potensial membuat sudut
𝜃 tidak sama dengan 900 ; (b) Konfigurasi dipol berada di sudut kanan ke dipol saat ini di
semua sudut dipol; (c) Konfigurasi dipol radial : disini potensial dipol berada digaris yang
sama terhubung ke titik tengah arus dan potensial elektroda di semua sudut dipol; (e)
dipol khatulistiwa ; disini dipol arus dan potensial sejajar dan sudut dipol adalah 900

Untuk sistem dipol dipol AB harus hampir sama dengan MN. Dipol ekuatorial dan
dipol azimuth cukup sering digunakan dalam survei dipol karena data tersebut bisa
langsung dikonversi menjadi data Schlumberger dan bisa ditafsirkan.

70
Gambar 6.18. Menunjukan konfigurasi dipol dipol collinear; disini pasangan elektroda arus
dan potensial berada di garis yang sama; pemisahan elektroda meningkat dengan nilai n
yang lebih tinggi; pseudo net untuk memlot data

Pengukuran medan dipol DC pada dasarnya adalah upaya untuk mengukur medan
buatan manusia yang di peroleh dengan daya yang digerakkan oleh generator di titik jauh.

71
Gambar 6.19. Menunjukan perbedaan antar geometri tepat dan perkiraan factor dalam
kasus dipol parallel untuk panjang dipol dan dipol arus yang berbeda pemisahan (oo’);
angka ini untuk ruang setengah homogen dan isotropic dan dipol sudut 700

Gambar 6.20. Menunjukan zona kerja yang beebeda untuk dipol parallel dan tegak lurus;
dipol parallel bekerja untuk sudut dipol 00 hingga 350 dan 700 hingga 900 dan tegak lurus
dipol bekerja paling baik dalam sudut dipol 350 hingga 700

72
Gambar 6.21. Menunjukan variasi potensial untuk sudut dipol dalam ruang setengah
homogeny dan isotropic; itu adalah pedoman perkiraan untuk pemilihan dipol yang
berbeda, perhitungan potensial dibuat untuk panjang dipol arus = 3 km, panjang dipol
potensial = 300 m dan pemisahan dipol R = 00’ = 5 km

Konfigurasi bipol-dipol lebih disukai daripada konfigurasi dipol-dipl untuk kedalaman


studi kerak. Faktor geometri umumnya digunakan untuk perhitungan semu resistivitas
dalam dipol sounding (6,56 hingga 6,59) sebaiknya tidak digunakan untuk yang kecil (00’ <
4AB) pemisahan dipol. Kombinasi parallel dan tegak lurus dipol memiliki beberapa
keuntungan logistic dalam kondisi tanah geologis yang sebenarnya. Pengukuran medan
dipol DC akan mendaatkan kembali tempat yang semestinya setelah peningkatan yang
signifikan dalam bidang logistic sebagai perkembangan dalam perangkat lunak.

73
MAKALAH
TEORI MEDAN POTENSIAL
“Solution of Laplace Equation”

Disusun Oleh:
Kelompok 2B
ALEXANDER MARAMPA (R1A121032)
DZUNUN ALFA RISKY (R1A121040)
HERNI (R1A121044)
LAODE SIRMAN (R1A117051)
PRADIT BAWONO A. R. P (R1A119050)
SEMUEL BUANG (R1A121026)
SILA (R1A121060)
VANESA PARANTE L.A (R1A121066)

TEKNIK GEOFISIKA
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI

74 | K e l o m p o k 2 B
2023

75 | K e l o m p o k 2 B
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat
kebaikan-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat
waktu.

Tidak lupa, tim penyusun kelompok 2B ingin mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Rosaliana Eso, S.Si., M.Si. selaku dosen mata kuliah Teori Medan Potensial yang sudah
membantu kami dalam proses penggarapannya.

Penyusun mengambil materi ini dari bab 7 dan disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Teori Medan Potensial. Semoga hal-hal yang sudah kami tuturkan dalam
makalah ini dapat menambah pengetahuan baru tentang Solution of Laplace Equation bagi
para pembaca. Kami pun mengetahui jika makalah yang sudah digarap ini masih jauh dari
kata sempurna maka dari itu kami sangat berharap saran dan kritikkan agar dikemudian
hari kami bisa membuat makalah yang lebih berkualitas.

Terakhir, semoga makalah ini bisa mempunyai dampak dan manfaat bagi kita para
pembacanya.

Kendari, 4 Maret 2023

Penyusun

i|K el om po k 2 B
ii | K e l o m p o k 2 B
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan................................................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................................................. 2

2.1 Solution of Laplace Equation ................................................................................................... 2

BAB III PENUTUP .......................................................................................................................................... 65

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................................... 65
3.2 Saran.................................................................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA

iii | K e l o m p o k 2 B
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Medan gravitasi adalah suatu ruang dimana dipengaruhi oleh gaya gravitasi.
Metode medan gravitasi adalah metode penyelidikan dalam geofisika yang
didasarkan pada variasi medan gravitasi di permukaan bumi. Medan gravitasi
massa selalu berharga positif, sehingga medannya selalu menuju atau mengarah ke
titik pusat penghasil medannya. Dengan kata lain apabila di dalam lingkungan
medan gravitasi ditempatkan obyek bermassa, maka obyek tersebut akan
mengalami gaya gravitasi yang arahnya menuju penyebab medan gravitasi.
Medan potensial termasuk didalamnya sehingga teori medan potensial dapat
dikatakan bahwa potensial listrik dan magnetik. Beda potensial listrik antara dua
titik A dan B yang berada dalam suatu medan listrik adalah usaha untuk
memindahkan muatan uji dari titik B ke titik A per satuan muatan uji.
Teori medan potensial dalam makalah ini akan berfokus pada Solusi Persamaan
Laplace. Dalam bab ini, solusi persamaan laplace dalam koordinat kartisian, kutub
silinder dan kutub bola menggunakan metode pemisahan variabel dan terdapat juga
sifat solusi masalah nilai batas dalam teori potensial, sifat fungsi bessel
memodifikasi fungsi bessel.
II. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana solusi persamaan
laplace dalam teori medan potensial.
III. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui solusi persamaan laplace
dalam teori medan potensial.

4|K el om po k 2 B
BAB II
PEMBAHASAN

HERNI_R1A121044
Solution of Laplace Equation

In this chapter solutions of Laplaceequation in cartisian, cylindrical polar and


spherical polar coordinates using the method of separation of variables are discussed in
considerable details. The nature of solution of boundary value problems in potential theory
is introduced. The nature of Bessel’s function, modified Bessel’s function, Legendre’s
polynomial and Associated Legendre’s Polynomial are shown. A brief discussion on
Spherical Harmonics is given.

7.1 Equations of Poisson and Laplace

The electric displacement vector is 𝐷 ⃗ = 𝜖 𝐸⃗ { (4.4.)} where 𝐷 ⃗ is the electric


displacement, 𝐸⃗ is the electric field and ∈ is the electrical permittivity of a medium. In
addition to the constitutive relation, we use the Gauss’s flux theorem of total normal
induction on a closed surface due to a charge inside the enclosed volume and it is given by

⃗ 𝑛. 𝐸⃗ = ∫ 𝑑𝑖𝑣𝐷
∫𝐷 ⃗ .𝑑𝑣 = 𝑞 = ∫ 𝜌𝑑𝑣 (7.1)

where ρ is the volume density of charge and dv is the infinitesimal volume.

Hence

∇. 𝐷 = 𝜌 (7.2)

⇒ ∇. (∈ 𝐸 ) = 𝜌

⇒ ∇. (−∈ ∇ϕ) = 𝜌

⇒ −∈ div grad 𝜙 = 𝜌
𝜌
⇒ ∇2 𝜙 = − ∈ (7.3)

=0 when 𝜌 = 0.

In a source free region (Fig . 6.2 a and b)

5|K el om po k 2 B
−∈ ∇2 𝜙 = 0. (7.4)

For a nonhomogenous but isotropic dielectric(7.4) becomes


𝜕 𝜕𝜙 𝜕 𝜕𝜙 𝜕 𝜕𝜙
(∈ )+ 𝜕Ψ (∈ ) + 𝜕x (∈ ) = 0. (7.5)
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑥

For a homogenous and isotropic dielectric

𝜕2 𝜙 𝜕2 𝜙 𝜕2 𝜙
+ + = 0. (7.6)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2

For three principal axes anistropy (7.5) will be


𝜕 𝜕𝜙 𝜕 𝜕𝜙 𝜕 𝜕𝜙
(∈xx )+ (∈yy ) + 𝜕𝑧 (∈zz ) =0. (7.7)
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑥

7.2 Laplace Equation in Direct Current Flow Domain

When current is flowing out of a closed region, the flow of a charge will be guided by the
relation
𝜕𝜌
div𝐽= − 𝜕𝑡 (7.8)

Where 𝜌 is the volume density of charge in coulomb/meter 3 and 𝐽 is current density in


ampere/meter2.Since this relation satisfies the law of conservation of charge, it is termed
as the equation of continuity. In a source free region

div𝐽 =0 (7.9)

Where 𝐽 = 𝜎𝐸⃗ = −𝜎 𝑔𝑟𝑎𝑑𝜙, where 𝜙 is the potential (in volt) and 𝐸⃗ is the electric field in
volt/meter. Equation(7.9) can be written as

Div (𝜎 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜙) = 0 (7.10)

⇒ grad(𝜎)grad 𝜙 + (𝜎)div grad 𝜙 = 0. (7.11)

For an homogeneous and isotropic medium (7.11) reduces to Laplace equation

∇2 𝜙 = 0. (7.12)

Non laplacian Character of (7.11) is demonstrated in Chap. 8.

7.3 Laplace Equation in Generalised Curvilinear Coordinates

6|K el om po k 2 B
Fig. 7.1. A cuboid with curve sides to represent the curvilinear coordinates

7.3 Laplace Equation in Generalised Curvilinear Coordinates

Laplace equations in cartesian, cylindrical polar and spherical polar coordinates can be
expressed from the expression of Laplace equation in generalized curvilinear coordinates
(Fig. 7.1).

In orthogonal curvilinear coordinate, the Laplace equation is


1 𝜕 ℎ2 ℎ3 𝜕 𝜕 ℎ1 ℎ3 𝜕𝜙
∇2 𝜙 = ℎ [ ( ) + 𝜕𝑢 ( )]
1 ℎ2 ℎ3 𝜕𝑢1 ℎ1 𝜕𝑢1 2 ℎ2 𝜕𝑢2

𝜕 ℎ1 ℎ2 𝜕𝜙
+ 𝜕𝑢 [ . 𝜕𝑢 ]. (7.13)
3 ℎ3 3

Here the value of h1, h2, h3, and u1, u2, and u3 can be expressed as:

(a) in cartesian coordinates (Fig. 7.2)

u1= x, u2 = y and u3 =z

h1=1, h2=1, and h3=1 (7.14)

7|K el om po k 2 B
Fig. 7.2. A three dimensional elementary volume in Cartisian coordinatea (x,y,z)

(b) in cylindrical polar coordinates (Fig. 7.3)

u1 =𝜌, u2 =Ψ and u3 = z

h1= 1, h2 = 𝜌 and h3 = 1 (7.15)

(c) in spherical polar coordinates (Fig. 7.4)

u1 = r, u2 =𝜃 and u3 = Ψ

h1= 1, h2 =r, and h3 = r sin Ψ (7.16)

Therefore, the expressions for the Laplace equation in three coordinate systems are
respectively given by

𝜕2𝜙 𝜕2𝜙 𝜕2𝜙


(a) ∇2 𝜙 = + 𝜕𝑦 2 + =0 (7.17)
𝜕𝑥 2 𝜕𝑧 2

In cartesian coordinate, where 𝜙 =f(x, y, z).


1 𝜕 𝜕𝜙 𝜕 1 𝜕𝜙 𝜕 𝜕𝜙
(b) ∇2 𝜙 = 𝜌 [𝜕𝜌 (𝜌 𝜕𝜌 ) + 𝜕Ψ (𝜌 𝜕Ψ) + 𝜕𝑧 (𝜌 𝜕𝑧 )] = 0

1 𝜕𝜙 𝜕𝜙 1 𝜕 2𝜙 𝜕2𝜙
⇒ 𝜌 𝜕Ψ (𝜌 𝜕𝜌 ) + 𝜌2 (𝜕Ψ2 ) + =0 (7.18)
𝜕z2

In cylindrical polar coordinates where 𝜙 = f (𝜌, 𝜓, 𝑧. ).

8|K el om po k 2 B
Fig. 7.3. A three dimensional elementary volume in cylindrical polar coordinates(𝑟, 𝜓, 𝑧. )

7.3 Laplace Equation in Generalised Curvilinear Coordinates

Fig. 7.4. A three dimensional elementary volume in spherical polar coordinates (𝑟, 𝜃, 𝜓)

1 𝜕 𝜕 𝜕 𝜕𝜙 𝜕 1 𝜕𝜙
(c) ∇2 𝜙 = 𝑟 2 sin 𝜃 [𝜕𝑟 (𝑟 2 sin 𝜃 𝜕𝑟) + 𝜕𝜃 (𝑠𝑖𝑛𝜃 ) + 𝜕Ψ (𝑠𝑖𝑛𝜃 𝜕Ψ)] = 0
𝜕𝜃

1 𝜕 𝜕𝜙 1 𝜕 2𝜙 1 𝜕2𝜙
⇒ 𝑟 2 [𝜕𝑟 (𝑟 2 𝜕𝑟 ) + 𝑠𝑖𝑛𝜃 . 𝜕𝜃2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 . 𝜕Ψ2 ]=0 (7.19)

in spherical polar coordinates where 𝜙= f(r, θ,ψ). Most of the geophysical problems,
dealing with scalar potential field satisfy Laplace equation in a source free region i.e. the

9|K el om po k 2 B
region which excludes the source (field exists but not the source) (Fig. 2.5 a and 6.2 a,b).
Therefore, the solution of Laplace equation forms a significant part of the potential theory
in geophysics. In this chapter we shall deal with the solution of Laplace equation by the
method of separation of variable in (i) cartesian (ii) cylindrical polar and (iii) spherical
polar coordinates depending upon the nature of the problems. One has to choose the
proper coordinate system for solving a particular problem A few simpler problems are
included.

7.4 Laplace Equation in Cartesian Coordinates

The solution of the laplace equation by the method of separation of variables in certesian
coordinate is demonstrated in this secion. When potential 𝜙 is a function of x, y and z
where X, Y, Z are independent variables, we can write:

𝜙 = 𝑋(𝑥 ) 𝑌(𝑦) 𝑍(𝑧) (7.20)


𝜕𝜙 𝜕𝑋
And = 𝑌𝑍 (7.21)
𝜕𝑥 𝜕𝑥

𝜕2𝜙 𝜕 2𝑋
Or, = YZ 𝜕𝑥 2 . (7.22)
𝜕𝑥 2

Substituting these values in (7.17) we get

𝜕2 𝜙 𝜕2 𝜙 𝜕2 𝜙
∇2 𝜙 = + + =0 (7.23)
𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2

𝑑2 𝑋 𝑑2 𝑌 𝑑2 𝑍
YZ 𝑑𝑥 2 + ZX 𝑑𝑦 2
+ 𝑋𝑌 𝑑𝑧 2
=0
(7.24)

Dividing the wolw (7.24) byy XYZ, we get:

1 𝑑2 𝑋 1 𝑑2 𝑌 1 𝑑2 𝑍
. +𝑌 . 𝑑𝑦 2 + . =0.
𝑋 𝑑𝑥 2 𝑍 𝑑𝑧 2
(7.25)

The sum of these terms will never be zero unless each individual terms are constants and
the sum of these constants is zero i.e., if
1 𝑑2 𝑋
. = 𝛼2
𝑋 𝑑𝑥 2

1 𝑑2 𝑌
. = 𝛽2 (7.26)
𝑌 𝑑𝑦 2

10 | K e l o m p o k 2 B
1 𝑑2 𝑍
. = 𝛾2
𝑍 𝑑𝑍 2

Then 𝛼 2 + 𝛽 2 +𝛾 2 =0.
(7.27)

We shall now examine the nature of the expressions for potentials for their dependence on
the different axes:

7.4.1 When Potential is a Function of Vertical Axis z, i.e., φ = f(z)


𝜕 2𝜙
The Laplace equation reduces down to = 0 and the solution is
𝜕𝑧 2

𝜙 = 𝑐𝑧 + 𝑑 (7.28)

where c and d are two arbitrary constants. Here potential is increasing with z, i.e., higher
the value of z, higher will be the potential. One encounters this kind of situation while
computing gravitational potentials due to a hypothetical infinite plate. Here
𝜕𝜙
𝐸⃗ = − 𝜕𝑍 =c (7.29)

i.e., the field is constant at any distance from the plane

7.4.2 When Potential is a Function of Both x and y, i.e., φ = f(x, y)

Putting𝜙 = 𝑋 (𝑥 )𝑌 (𝑦)

The Laplace equation reduces down to:

1 𝑑2 𝑋 1 𝑑2 𝑌
. + . = 0. (7.30)
𝑋 𝑑𝑥 2 𝑌 𝑑𝑦 2

1 𝑑2 𝑋 1 𝑑2 𝑌
If . = 𝛼 2, then𝑌. = −𝛼 2
𝑋 𝑑𝑥 2 𝑑𝑦 2
(7.31)

1 𝑑2 𝑋 1 𝑑2 𝑌
And if . = −𝛽 2 , then𝑌 . 𝑑𝑦 2 = 𝛽 2 . (7.32)
𝑋 𝑑𝑥 2

Therefore, we can write:

11 | K e l o m p o k 2 B
𝑑2 𝑋
− 𝛼 2𝑋 = 0
𝑑𝑥 2

𝑑2 𝑌
+ 𝛼 2𝑌 = 0
𝑑𝑦 2
(7.33)

The solutions are:

𝑋 = 𝑒 𝛼𝑥 , 𝑒 𝛼𝑥 , cosh 𝛼𝑥 , sinh 𝛼𝑥
(7.34)

Ans 𝑌 = 𝑒 𝑖𝛼𝑦 , 𝑒 𝑖𝛼𝑦 , cos 𝛼𝑦 , sin 𝛼𝑦

The most general solution of Laplace equation for these two equations are:

𝜙 = ∑∞𝑛=0 (𝑎𝑛 𝑒 𝛼𝑛 𝑥 + 𝑏𝑛 e −𝛼𝑛 𝑥) (𝑐𝑛 cosh 𝛼𝑛 𝑦 + 𝑑𝑛 sin 𝛼𝑛 𝑦)


(7.34)

And

𝜙 = ∑∞𝑛=0 (𝑎𝑛 cos 𝛽𝑛 𝑦 + 𝑏𝑛 sin 𝛽𝑛 𝑦) (𝑐𝑛 cosh 𝛼𝑛 𝑥 + 𝑑𝑛 sinh 𝛼𝑛 𝑥)


(7.35)

7.4.3 Solution of Boundary Value Problems in Cartisian Coordinates by the Method of


Separation of Variables

Let us find out the potential at any point in a two dimensional space when the size of the
conductor and the potentials on the boundaries are prescribed.

Problem 1

A rectangular block of a conductor of thickness ‘b’ is placed in the xy plane. The prescribed
values at different boundaries are:

𝑥 = ∞, 𝜙 = 0
𝜋𝑦′
𝑥 = 0, 𝜙 = 𝑃 cos 𝑏

𝑏
𝑦=− , 𝜙=0
2
𝑏
𝑦=+ , 𝜙=0
2

12 | K e l o m p o k 2 B
Find the potential at any point in the rectangular plate. Figure (7.5) shows the nature of the
problem. Since φ = 0 at x = ∞, the general solution of the two dimensional potential
problem takes the form:

𝜙 = ∑∞
𝑛=0 𝑏𝑛 𝑒−𝛼𝑛 𝑥 (𝑐𝑛 cosh 𝛼𝑛 𝑦 + 𝑑𝑛 sin 𝛼𝑛 𝑦)
(7.37)

Applying the second boundary condition, we get :


𝜋𝑦
𝑃 𝑐𝑜𝑠 = ∑(𝑐 ′ 𝑛 cos 𝛼𝑛 𝑦 + 𝑑′𝑛 sin 𝛼𝑛 𝑦)
𝑏
(7.38)

where c′ n =𝑏𝑛 𝑐𝑛 and d′ n = 𝑏𝑛 𝑐𝑛 . These are arbitrary constants to be determined from the
boundary conditions. Since the source potential contains ‘cos’ term, we have to drop the
‘sin’ terms from the solution. Therefore, the expression for the potential reduces to:

Fig. 7.5. A two dimensional Dirichlet’s problem with potentials prescribed in all the
boundaries

𝜙 = ∑ 𝑐′𝑛 𝑒−𝛼𝑛 𝑥 cos 𝛼𝑛 𝑦.


(7.39)

Applying the third boundary condition, we get:


𝛼𝑛 𝑏
0 = ∑ 𝑐′𝑛 𝑒−𝛼𝑛 𝑥 𝑐𝑜𝑠 .
2
(7.40)

Therefore
𝛼𝑛 𝑏
𝑐𝑜𝑠 =0
2

13 | K e l o m p o k 2 B
𝑛𝜋
⇒ 𝛼𝑛 = 𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒 𝑛 = 1, 3, 5, 7, … … … … ..
𝑏
The expression for the potential changes to the form
𝑛𝜋
𝑛𝜋
𝜙 = ∑ 𝑐′𝑛 𝑒 − 𝑏
𝑥
cos .𝑦 .
𝑏
(7.41)

Applying the second boundary condition, (7.41) becomes:


𝜋𝑦 𝑛𝜋𝑦
𝑃 cos = 𝑐′𝑛 cos
𝑏 𝑏
𝜋𝑦 3𝜋𝑦 5𝜋𝑦
=(𝑐′1 𝑐𝑜𝑠 + 𝑐′3 cos + 𝑐′5 cos + ⋯ ).
𝑏 𝑏 𝑏
(7.42)
𝜋𝑦
Equating the coefficients of cos on both the sides, one gets:
𝑏

𝑃 = 𝑐′1 𝑓𝑜𝑟 𝑛 = 1, therefore 𝑐′3 = 𝑐′5 = 𝑐′7 = 𝑐′9 ……………..=0.

Therefore the final solution of the problem is:


𝜋𝑥
𝜋𝑦
𝜙 = 𝑃 𝑒 − 𝑏 cos .
𝑏
(7.42)

Problem 2

A finite rectangular conductor of length ‘a’ and width ‘b’ is placed in the xy plane placing
the corner A of the rectangle at the origin. The prescribed potentials at the boundaries are
as follows (Fig. 7.6)

Φ = 0 𝑎𝑡 𝑥 = 0

𝜙 = 0 𝑎𝑡 𝑥 = 𝑎

𝜙 = 0 𝑎𝑡 𝑦 = 𝑎

𝜙 = 𝑓 (𝑥 ), 𝑎𝑡 𝑦 = 𝑎

Find the potential at any point on the plate. The solution of the Laplace equation :

14 | K e l o m p o k 2 B
𝜕2𝜙 𝜕2𝜙
+ =0
𝑑𝑥 2 𝑑𝑦 2
(7.44)

Fig. 7.6. A two dimensional potential problem with potentials prescribed in all the
boundaries

Are

(i) 𝒆𝛼𝑥 ,𝑒 −𝛼𝑥 , sin 𝛼𝑦, sin 𝛼𝑦


(ii) 𝑠𝑖𝑛 𝛼𝑥, 𝑐𝑜𝑠 𝛼𝑥, 𝑒 𝛼𝑦 ,
(7.45)

and the general solution of the problem is written as : 𝑥

𝜙 = ∑∞
𝑛=0(𝐴𝑛 cos 𝛼𝑛 𝑥 + 𝐵𝑛 sin 𝛼𝑛 𝑥 ) (𝐷𝑛 e
αny
+𝐷𝑛 𝑒 −𝛼𝑛𝑦 ).
(7.46)

Values of these arbitrary constants are determined using the boundary conditions.

Applying the first boundary condition, we get:

𝜙 = ∑∞
𝑛=0 𝐵𝑛 sin 𝛼𝑛 𝑥(𝐶𝑛 𝑒
𝛼𝑛𝑦
+ 𝐷𝑛 𝑒 −𝛼𝑛𝑦 ).
(7.47)

The right hand side expression of (7.47) will be zero when An = 0. Therefore the general
expression for the potential reduces to

𝜙 = ∑∞
𝑛=0 𝐵𝑛 sin 𝛼𝑛 𝑥 (𝐶𝑛 𝑒
𝛼𝑛𝑦
+ 𝐷𝑛 𝑒 −𝛼𝑛 𝑦).
(7.48)

Applying the second boundary condition, we get:

𝜙 = ∑ sin 𝛼𝑛 𝑎(𝐶 ′ 𝑛 𝑒 𝛼𝑛𝑦 + 𝐷′ 𝑛 𝑒 −𝛼𝑛𝑦 )


(7.49)
15 | K e l o m p o k 2 B
Where 𝐶′𝑛 = 𝐵𝑛 𝐶𝑛 𝑎𝑛𝑑 𝐷′𝑛 = 𝐵𝑛 𝐷𝑛.

Equation (7.49) will be 0 if sin 𝛼𝑛 𝑎 = 0

⇒ 𝛼𝑛 𝑎 = 𝑛𝜋
𝑛𝜋
⇒ 𝛼𝑛 = 𝑎 .
(7.50)
𝑛𝜋𝑦 𝑛𝜋𝑦
𝑛𝜋𝑥
𝜙 = ∑ sin (𝐶 ′ 𝑛 𝑒 𝑎 + 𝐷′ 𝑛 𝑒 − 𝑎 )
𝑎
(7.51)

SILA_R1A121060

Applying the third boundary condition, we get:


𝑛𝜋𝑥
0 = ∑ 𝑠𝑖𝑛 (𝐶𝑛′ + 𝐷𝑛′ ) (7.52)
𝑎

Equation (7.52) will be 0 if,

𝐶𝑛′ + 𝐷𝑛′ = 0

→ 𝐶𝑛′ = −𝐷𝑛′ (7.53)

Hence the expression for the potential becomes


𝑛𝜋𝑥 ′ 𝑛𝜋𝑦 −𝑛𝜋𝑦
𝜙 = ∑ 𝑠𝑖𝑛 𝐶𝑛 (𝑒 𝑎 − 𝑒 𝑎 )
𝑎
𝑛𝜋𝑥 𝑛𝜋𝑦
= ∑ 𝐹𝑛′ 𝑠𝑖𝑛 𝑠𝑖𝑛ℎ
𝑎 𝑎
(7.54)

where, F′ n is a new constant.

Now applying the fourth boundary condition, we get:


𝑛𝜋𝑏 𝑛𝜋𝑥
𝑓 (𝑥 ) = ∑ 𝐹𝑛′ 𝑠𝑖𝑛ℎ . 𝑠𝑖𝑛 (7.55)
𝑎 𝑎

𝑚𝜋𝑥
Multiplying both the sides by sin and integrating from a to 0, we get:
𝑎

∫ sin 𝑛𝑥 sin 𝑚𝑥 𝑑𝑥 = 0 𝑓𝑜𝑟 𝑚 ≠ 𝑛


0

16 | K e l o m p o k 2 B
𝑎
= 2 𝑓𝑜𝑟 𝑚 = 𝑛

therefore, from (7.55), one can write


2 1 𝑎 𝑚𝜋𝑥
𝐹𝑛′ = 𝑎 . 𝑚𝜋𝑏 ∫0 𝑓(𝑥 ) 𝑠𝑖𝑛 𝑑𝑥 (7.57)
𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑎
𝑎

Hence, the general solution of the problem is


𝑚𝜋𝑥 𝑛𝜋𝑦
∅ = ∑ 𝐹𝑛 𝑠𝑖𝑛 𝑠𝑖𝑛ℎ (7.58)
𝑎 𝑎

Fig. 7.7. A break up of a two dimensional problem into four parts to make it a easily
solvable problem

Problem 3

Find the potential at any point inside a rectangular conductor of length ‘a’ and width ‘b’
placed in the xy planes when the following boundary conditions are prescribed, i.e., for
(Fig. 7.7)

𝑥 = 0, 𝜙 = 𝑓1 (𝑥 )

𝑦 = 0, 𝜙 = 𝑓2 (𝑥 )

𝑥 = 𝑎, 𝜙 = 𝑓3 (𝑥 )

17 | K e l o m p o k 2 B
𝑦 = 𝑏, 𝜙 = 𝑓4 (𝑥)

This problem can be solved by breaking the problem into four problems similar to that
discussed in the previous section, get the potential at a point for four problems and add
them up. Since the potentials are scalars and the principle of superposition is valid, we
can get

ϕ = ϕ1 + ϕ2 + ϕ3 + ϕ4 (7.59)

7.5 Laplace Equation in Cylindrical Polar Coordinates

Laplace equation in cylindrical coordinate is :

∂2 ϕ 1 ∂ϕ 1 ∂2 ϕ ∂2 ϕ
∇2 ϕ = + ρ ∂ρ + ρ2 . ∂Ψ2 + ∂z2 = 0 (7.60)
∂ρ2

where the coordinates are 𝜌 (along the radial direction), Ψ (along the azimuthal
direction) and z (along the vertical direction). Applying the method of separation of
variables we can write :

ϕ = R(ρ)Ψ(ψ)Z(z)

where, R, Ψ and Z are respectively the functions of 𝜌, Ψ and z only. Therefore, from
(7.60) we can write

𝑑2 𝑅 ΨZ 𝑑𝑅 1 𝑑2 Ψ 𝑑2 𝑍
ΨZ 𝑑𝜌2 + + 𝜌2 𝑅𝑍 dψ2 + 𝑅ψ 𝑑𝑧 2 = 0 (7.61)
𝜌 𝑑𝜌

Now dividing the equation by RΨZ, we get

1 𝑑2 𝑅 1 𝑑𝑅 1 1 𝑑2 Ψ 1 𝑑2 𝑍
+ 𝑅𝜌 𝑑𝜌 + 𝜌2 . Ψ . dψ2 + 𝑧 . 𝑑𝑧 2 = 0 (7.62)
𝑅 𝑑𝜌 2

Let us choose

1 𝑑2 𝑍
= 𝛼2 (7.63)
𝑍 𝑑𝑧 2

Multiplying the (7.62) by 𝜌2 , we get :

18 | K e l o m p o k 2 B
𝜌 2 𝑑2 𝑅 ρ 𝑑𝑅 1 𝑑2 Ψ
. 𝑑𝜌2 + 𝑅 . 𝑑𝜌 + 𝛼 2 𝜌2 + Ψ . dψ2 = 0 (7.64)
𝑅

We, next put

1 𝑑2 Ψ
. = −𝛽 2 (7.65)
ψ 𝑑ψ2

And obtain:

𝜌 2 𝑑2 𝑅 ρ 𝑑𝑅
. 𝑑𝜌2 + 𝑅 . 𝑑𝜌 + 𝛼 2 𝜌2 −𝛽 2 = 0 (7.66)
𝑅

which can be rewritten as

𝑑2 𝑅 1 𝑑𝑅 𝛽2
+ 𝜌 . 𝑑𝜌 + (𝛼 2 − 𝜌 2 ) 𝑅 = 0 (7.67)
𝑑𝜌 2

This equation is known as Bessels equation.


Alternately, we can have the second set of equations as follows:

1 𝑑2 𝑍
. = −𝛼 2 (7.68)
𝑍 𝑑𝑧 2

1 𝑑2 Ψ
. = −𝛽 2 (7.69)
ψ 𝑑ψ2

𝑑2 𝑅 1 𝑑𝑅 𝛽2
+ 𝜌 . 𝑑𝜌 − (𝛼 2 − 𝜌2 ) 𝑅 = 0 (7.70)
𝑑𝜌 2

Equation (7.70) is a modified Bessels equation.

Now let us examine the dependence of potential function on 𝜌, ψ, z and the


corresponding changes in the expressions for potentials.

7.5.1 When Potential is a Function of z ,i.e., 𝛟 = f(z)

The Laplace equation takes the form

𝑑2 ϕ
= 0, 𝑜𝑟 ϕ = Az + B (7.71)
𝑑𝑧 2

19 | K e l o m p o k 2 B
where A and B are constants. The potential at a point is gradually increasing with z.
This is the potential function due to an infinite plate, discussed in the previous section.

7.5.2 When Potential is a Function of Azimuthal Angle Only i.e., 𝛟 = f(𝛙)

The Laplace equation changes to the form

𝑑2 ϕ
= 0, 𝑜𝑟 ϕ = Cψ + D (7.72)
𝑑ψ2

where C and D are constants. A circular resistance carrying current can create this type
of potential functions.

7.5.3 When the Potential is a Function of Radial Distance, i.e., Φ= f(𝝆)

The Laplace equation becomes

𝜕2ϕ 1 𝜕ϕ
+ 𝜌 𝜕𝜌 = 0 (7.73)
𝑑𝜌 2

∂ 𝜕ϕ
⇒ (𝜌 ) = 0
∂ρ ∂ρ

𝜕ϕ ∂ρ
𝜌 = 𝑁, 𝜕ϕ = +𝑁
∂ρ ρ

Therefore the solution of this equation is :

ϕ = M1nρ + N (7.74)

where M and N are constants to be determined from the boundary conditions. Let us
take an example.

Problem
Two infinitely long cylinders of radius ‘a’ and ‘b’ are placed co-axially. The potentials at
the outer boundary at radius ‘b’ and the inner boundary at radius ‘a’ are respectively 0
and Vo. Find the potential at any point in the

20 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.8. Potential inside a cylinderical shell when the potentials are prescribed in the
inner and outer boundaries

annular space between the two cylinders (Fig. 7.8) Applying the boundary conditions,
we get:

0 = M1n b + N

𝑉𝑜 = M1n a + N (7.75)

a
Therefore, 𝑉𝑜 = M1n ,
𝑏

𝑉𝑂 𝑉𝑂
𝑀= 𝑎 𝑎𝑛𝑑 𝑁 = 𝑎 . 𝐼𝑛 𝑏 (7.76)
𝐼𝑛( ) 𝐼𝑛( )
𝑏 𝑏

The potential at any point at a radial distance 𝜌 from the axis of the coaxial cylindrical
bodies is given by

𝑉𝑂 𝑉𝑂 𝐼𝑛 𝑏
= 𝑎 𝐼𝑛 𝜌 − 𝑎
𝐼𝑛 (𝑏 ) 𝐼𝑛 (𝑏 )

𝜌
𝐼𝑛( )
𝑏
= 𝑉𝑂 𝑎 (7.77)
𝐼𝑛( )
𝑏

PRADIT BAWONO_R1A119050

7.5.4 When Potential is a Function of Both 𝝆 and 𝛙 , i.e., 𝛟 = f(𝝆,𝛙)

The Laplace equation become

𝜕2ϕ 1 𝜕ϕ 1 𝜕2ϕ
+ 𝜌 𝜕𝜌 + 𝜌2 . 𝜕ψ2 = 0 (7.78)
𝑑𝜌 2

21 | K e l o m p o k 2 B
Applying the method of separation of variables i.e.,

ϕ = R(ρ)Ψ(ψ)

we get two equations

1 𝑑2 Ψ
. = −𝑛2 (7.79)
ψ 𝑑ψ2

And

𝑑2 R 1 𝑑𝑅 𝑛2
+ ρ . 𝑑𝜌 − 𝜌2 𝑅 = 0 (7.80)
𝑑ρ2

The solution of the (7.79) is

ϕ = (A cos 𝑛ψ + 𝐵 sin 𝑛ψ) (7.81)

The solution of the (7.80) can be determined as follows:

Multiplying the (7.80) by 𝜌2 , we get

𝑑2 R 𝑑R
𝜌2 +𝜌 − 𝑛2 𝑅 = 0 (7.82)
𝑑ρ2 𝑑𝜌

Let

𝜌
0 = 𝑙𝑜𝑔𝑒 , 𝑡ℎ𝑒𝑛 𝜌 = 𝑒 𝜃

So,

𝑑R 𝑑R 𝑑θ 𝑑R
= . = . 𝑒 −𝜃
𝑑𝜌 𝑑𝜃 𝑑𝜌 𝑑𝜃

𝑑2R 𝑑 𝑑R 𝑑 𝑑R
⇒ 2
= ( )= (𝑒 −𝜃 )
𝑑ρ 𝑑𝜌 𝑑𝜌 𝑑𝜌 𝑑𝜃

𝑑 𝑑R
= 𝑒 −𝜃 (𝑒 −𝜃 )
𝑑𝜃 𝑑𝜃

𝑑2R 𝑑R
= 𝑒 −𝜃 (𝑒 −𝜃 2
− 𝑒 −𝜃 )
𝑑𝜃 𝑑𝜃

22 | K e l o m p o k 2 B
−2𝜃
𝑑2R 𝑑R
= 𝑒 ( 2 − )
𝑑𝜃 𝑑𝜃

Substituting these values one gets

𝑑2R 𝑑R 𝑑R
2
− + − 𝑛2 𝑅 = 0
𝑑𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝜃

Or,

𝑑2R
− 𝑛2 𝑅 = 0
𝑑𝜃 2

Or,

𝑅 = 𝐴1 𝑒 𝑛𝜃 + 𝐴2 𝑒 −𝑛𝜃

= 𝐴1 𝜌𝑛 + 𝐴2 𝜌−𝑛 (7.83)

Therefore, the general solution of Laplace equation when Φ = f(ρ, ψ), is

ϕ = ∑∞ n −n
1 (An cos nψ + Bn sin nψ) (Cn ρ + Dn ρ ) (7.84)

Problem 1

An infinitely long cylinder of dielectric constant ∊2 is placed in a medium of dielectric


constant ∊1 with the axis of the cylinder oriented along the zdirection. The cylinder is
placed in an uniform field, i.e., the source and sink are assumed to be at infinity (Fig.
7.9).

Find the potential at any point both inside and outside the cylindrical
body.

In a direct current flow field, we assume a cylindrical conductor of electrical


conductivity 𝜎2 is placed in an homogeneous medium of conductivity 𝜎1 . The
boundary value problem will essentially remain the same. The field is assumed
to be perpendicular to the axis of the cylinder and is assumed to be parallel
to the x-axis.

23 | K e l o m p o k 2 B
Since

𝜕ϕ
𝐸 = −𝑔𝑟𝑎𝑑ϕ = − (7.85)
𝜕𝑥

Where ϕ is the potential function. We get

𝐸𝑥. 𝑥 = −ϕ + Constant (7.86)

Therefore, the source potential is :

ϕ𝑜 = 𝐸𝑥. 𝑥 + 𝐴
where A is a constant and x is the of the point assumed origin. A is dropped while
computing the perturbation potential. In an uniform field Ex, in a medium of dielectric
constant, ∊1 and in the presence of an anomalous body of contrasting physical property
∊2 , an anomalous or perturbation potential will be generated. It will be added up to the
source potential in an uniform field. This perturbation potential will gradually die
down with distance of the point of observation from the centre of the cylinder,the
anomalous body.

Fig. 7.9. An infinately long cylinder of dielectric constant ∊2 is placed in a medium of


dielectric constant; ∊1 in the presence of an uniform field

Potential at a point both outside and inside a cylinder can be written as

ϕ1 = ϕ𝑂 + ϕ′ (potential outside)

24 | K e l o m p o k 2 B
ϕ2 = ϕ𝑂 + ϕ′′(potential inside) (7.87)

Here ϕ′ and ϕ′′ are the perturbation potentials outside and inside the body.

The perturbation potential part also must satisfy Laplace equation.


Therefore

∇2 ϕ′ = 0 and ∇2 ϕ′′ = 0 (7.88)

assuming the radius vector is at an angle ψ with the x-axis

ϕ1 = −𝐸𝑜 𝑥 = −𝐸𝑜 𝜌 cos ψ (7.89)


where Ψ is the angle between the radius vector 𝜌 and the x-
axis. Since the source potential has a cos Ψ term, the
perturbation potential will also have cos Ψ terms only. The
general expression for the perturbation potential, when it is a
function of 𝜌 and Ψ and independent of z, reduces down to

ϕ′ = ∑∞
𝑛=0 𝑓𝑛 cos 𝑛ψ , 𝜌
−𝑛
(potential outside) (7.90)
Here 𝜌 is the radial distance from the axis of the cylinder. Since the perturbation
potential will gradually die down with distance from the centre of the
cylinder 𝐷𝑛 𝜌−𝑛 will be the appropriate potential function for outside region.
Similarly, the perturbation potential inside the body will be given by 𝐶𝑛 𝜌𝑛 as
the appropriate potential function. Hence

ϕ′′ = ∑∞
n=0 g n cos nψρ
n
(7.91)
Because when 𝜌 tends to zero, 𝐷𝑛 𝜌−𝑛 in (7.84) tends to infinity. Since potential inside a
body, when placed in an uniform field, cannot be infinitely high
Therefore, 𝜌 −𝑛 cannot be a potential function inside the body. Here fn = An Dn and g n =
An Cn We can now write down the potentials outside and inside the
body respectively as:

ϕ1 = −𝐸𝜌 cos ψ + ∑ fn cos nψρ−n


n=0

25 | K e l o m p o k 2 B
And

ϕ1 = −𝐸𝜌 cos ψ + ∑ g n cos nψρn


n=0

Fig. 7.10. Field line distortions in the presence of a cylinder of contrasting dielectric
constant
Applying the boundary conditions :

i)

ϕ1 = ϕ2

And

ii)

𝜕ϕ 𝜕ϕ
∊1 (𝜕𝜌 ) =∊2 ( 𝜕𝜌 ) (7.92)
1 2

at 𝜌 = a. i.e., on the surface of the cylinder of radius ‘a’, we get

∑ 𝑓𝑛 cos 𝑛ψ , 𝑎−𝑛 = ∑ 𝑔𝑛 cos nψ, an

And

−∊1 𝐸 cos ψ + ∑(−𝑛)𝑓𝑛 cos 𝑛ψ , 𝑎−(𝑛+1) ∊1

= −∊2 𝐸 cos ψ + ∑ 𝑛𝑔𝑛 cos 𝑛ψ 𝑎𝑛+1 ∊2 (7.93)

26 | K e l o m p o k 2 B
Since the source potential contains cos Ψ, the perturbation potential will also have the
cos ψ term, therefore n = 1. The summation sign vanishes and we obtain, ultimately

𝑓1 𝑎−1 = 𝑔1 𝑎

And

−∊1 𝐸⃗ +𝑓1 𝑎−2 ∊1 = −∊2 + 𝐸⃗ +𝑔1 ∊2 (7.94)

From (7.94) the values of the arbitrary constants f1 and g1 are obtained respectively as
:

∊2 −∊1
𝑔1 = 𝐸⃗
∊2 +∊1

And

∊ −∊
𝑓1 = 𝐸⃗ 𝑎2 ∊2 +∊1 (7.95)
2 1

in terms of the contrast in physical properties, size of the body and strength of the
uniform field. Potentials both outside and inside the body can now be written as :

∊ −∊
ϕ1 = −𝐸⃗ 𝜌 cos ψ + 𝐸⃗ 𝑎2 . ∊2 +∊1 . cos ψ. ρ−1 𝑝𝑜𝑡𝑒𝑛𝑡𝑖𝑎𝑙 𝑜𝑢𝑡𝑠𝑖𝑑𝑒 (7.96)
2 1

And

∊ −∊
ϕ2 = −𝐸⃗ 𝜌 cos ψ + 𝐸⃗ ∊2+∊1 . cos ψ. ρ. 𝑝𝑜𝑡𝑒𝑛𝑡𝑖𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒 (7.97)
2 1

Equations (7.96) and (7.97) can be written in the form

𝑎2
ϕ1 = −𝐸 (1 + 𝐾 ) 𝜌 cos ψ
𝜌2

And

ϕ2 = −𝐸 (1 + 𝐾 )𝜌 cos ψ (7.98)

∊2 −∊1
Where 𝐾 = , the reflection factor
∊2 +∊1

27 | K e l o m p o k 2 B
Since the potential is dependent on 𝜌 and ψ, the field inside the body can be written as
:

𝜕ϕ 𝜕ϕ
𝐸⃗1 = +𝑎𝜌 (− 𝜕𝜌 ) + 𝑎ψ (− 𝜌𝑎ψ) (7.99)

Therefore, the fields on both inside and outside the body are respectively
given by

𝑎2 𝑎2
𝐸⃗1 = +𝑎𝜌 . 𝐸⃗ (1 + 𝐾 ) cos ψ − 𝑎ψ 𝐸. 𝐾 2 sin ψ
𝜌2 𝜌

𝑎 2
⇒ 𝐸⃗1 = +𝑎𝜌 . 𝐸 cos ψ − 𝐸𝐾 𝜌2 (𝑎ρ cos ψ − 𝑎ψ sin ψ) (7.100)

And

𝐸⃗2 = −𝑎𝜌 . 𝐸⃗ (1 + 𝐾) cos ψ + 𝑎ψ 𝐸⃗ (1 + 𝐾)sin ψ)

= 𝐸⃗ (1 + 𝐾)(−𝑎𝜌 . cos ψ + 𝑎ψ sin ψ)

= 𝐸(1 + 𝐾)𝑎𝑥 (7.101)

Here 𝑎𝜌, 𝑎ψ are the unit vectors along the radial and azimuthal direction and 𝑎𝑥 is the
unit vector along the x direction (Fig. 7.10).

Here

𝑎𝑥 = 𝑎𝜌 cos ψ + 𝑎ψ sinψ (7.102)


Equation (7.101) shows that the field inside the body is parallel to the external and
uniform field. Figure 7.11 shows the nature of distortions in the uniform field and
equipotentials due to presence of an infinitely long cylinder of contrasting physical
property.

28 | K e l o m p o k 2 B
VANESA PARANTE LIMBONG ALLO_R1A121066

Fig. 7.11. Bessel’s function of first kind and 0,1,2,3,4 order

7.5.5 When Potential is a Function + of all the Three Coordinates,


i.e., ∅ = 𝐟(𝛒, 𝛙 , 𝐳)

The next problem is to obtain the generalised solution of the Laplace equation
in cylindrical coordinates when the potential function (∅) is dependent on all
the three coordinates ρ, ψ and z

Laplace’s equation in cylindrical coordinates is

𝜕2 ∅ 1 𝜕∅ 1 𝜕2 ∅ 𝜕2 ∅
+ + . + =0 (7.103)
𝜕𝜌 2 𝜌 𝜕𝜌 𝜌2 𝜕𝜑 2 𝜕𝑧 2

Using the method of separation of variables, discussed in the previous section, we


have

∅ = 𝑅 (𝜌)Ψ(ψ)𝑍(𝑧)

We obtain the three equations

𝑑2 Ψ
+ 𝑛2 + Ψ = 0 (7.104)
𝑑ψ 2

29 | K e l o m p o k 2 B
𝑑2Z
+ 𝑚2 + Z = 0 (7.105)
𝑑z 2

𝑑2R 1 𝑑𝑅 𝑛2
+ 𝜌 𝑑𝜌 + (𝑚 2 − 𝜌 2 ) R = 0 (7.106)
𝑑ρ 2

where R, Ψ or Z are respectively the functions of only. The solutions of equations


7.104 and 7.105 are discussed in the previous section. Equation 7.106 can be
rewritten in the form

𝑑2R 1 𝑑𝑅 𝑛2
+ (𝑚𝜌) . 𝑑(𝑚𝜌) + (1 − (𝑚𝜌)2 ) R = 0 (7.107)
𝑑(𝑚ρ )2

Equation 7.107 is of the form

𝑑2y 1 𝑑𝑦 𝑛2
+ 𝑥 𝑑𝑥 + (1 − )y = 0 (7.108)
𝑑x 2 𝑥

or,

𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
𝑥2 +𝑥 + (𝑥 2 − 𝑛 2 )y = 0 (7.109)
𝑑𝑥 2 𝑑𝑥

It is a Bessel’s equation of order n. The standard approach for solution of this


type of second order differential equation is to assume a power series. It is
known as Frobenius power series.

7.5.6 Bessel Equation and Bessel’s Functions

Let us take Y in the power series form as

𝑌 = 𝑥 𝑃 (𝑎0 + 𝑎1 𝑥 + 𝑎2 𝑥 2 + ⋯ )


= 𝑥 𝑃 ∑∞
𝑜 𝑎𝑆 𝑥𝑆 = ∑𝑂 𝑎𝑆 𝑥
𝑃+𝑆
, (7.110)

𝑑𝑦
= ∑ 𝑎𝑠 (𝑃 + 𝑆)𝑥 𝑃+𝑆 𝑎𝑛𝑑
𝑑𝑥

𝑑2 𝑦
= ∑ 𝑎𝑠 (𝑃 + 𝑆)(𝑃 + 𝑆 − 1)𝑥 𝑃+𝑆−2 (7.111)
𝑑𝑥 2

Substituting these values in (7.109), we get

30 | K e l o m p o k 2 B
𝑌 = ∑[𝑎𝑆 (𝑃 + 𝑆)(𝑃 + 𝑆 − 1) + 𝑎𝑆 (𝑃 + 𝑆) − 𝑎𝑆 𝑛2 ]𝑥 𝑆

+ ∑ 𝑎𝑆 𝑥 𝑆+2 = 0 (7.112)

The following steps are necessary to evaluate the co-efficients as:.

i) Equating the co-efficient of xo, when S = 0, we get

𝑎 𝑜 (𝑃 2 − 𝑛 2 ) = 0 (7.113)

Since ao is kept arbitrary at this stage and non-zero, therefore

𝑃2 − 𝑛 2 = 0

𝑃 = ±𝑛

ii) Equating the co-efficient of x1 when S = 1, we get :

𝑎1 [(P + 1)P + (P + 1) − 𝑛2 ] = 0
⇒ a1[(P + 1)2 − n2 ] = 0 (7.114)
Substituting P = n, we get a1[(n2 + 1)2 − n2] = 0. Since the second factor cannot
be zero even if n = 0, therefore a1 = 0.
iii) Equating the co-efficient of x2 and higher order terms, we get :

𝑎𝑆 [(𝑃 + 𝑆)(𝑃 + 𝑆 − 1) + (𝑃 + 𝑆) − 𝑛2 ] + 𝑎𝑆−2 = 0

Therefore,

𝑆 𝑎 −2
𝑎𝑆 = − (𝑃+𝑆) 2−𝑛 2 . (7.115)

Since ao is arbitrarily chosen to be not equal to zero, therefore P2 = n2 or, P


= ±n. Hence the order of equation is either n or −n. We then have

𝑎1 [(𝑛 + 1)2 − 𝑛2 ] = 0.

Now, since ((𝑛 + 1)2 − 𝑛2 ) ≠ 0, therefore 𝑎1 = 0. One gets the same result by choosing
P = -n, i.e., 𝑎1 = 0, for P = -n also. Hence, we write

𝑎
𝑆−2
𝑎𝑆 = − 𝑆(𝑆+2𝑛) . (7.116)

31 | K e l o m p o k 2 B
Since

𝑎1 = 0.

Therefore,

𝑎3 = 𝑎5 = 𝑎7 = ⋯ = 0.

With non-zero ao, one gets

𝑎𝑜 𝑎𝑜
𝑎2 = − =− 2
2(2 + 2𝑛) 2 (𝑛 + 1)

𝑎𝑜 𝑎2
𝑎4 = − =− 2
4(4 + 2𝑛) 2 . 2(𝑛 + 2)

𝑎𝑜
=+
24 . 2. (𝑛 + 1)(𝑛 + 2)

𝑎4 𝑎4
𝑎6 = − =− 3
6(6 + 2𝑛) 2 . 3. (𝑛 + 3)

𝑎𝑜
=+
26 . 2.3. (𝑛 + 1)(𝑛 + 2)(𝑛 + 3)

And
𝑎
𝑎2𝑆 = (−1)𝑆 22𝑆 .𝑠!(𝑛+1)(𝑛+2)......(𝑛+𝑆)
𝑜
(7.117)

Now from Frobeneous power series

𝑌 = 𝑥 𝑃 ∑ 𝑎𝑆 𝑥 𝑆

one gets a2S to be the co-efficient of xn+2S (∵ P = n).

Therefore,

(−1)𝑆.2𝑛 .𝑎
𝑜
𝑎2𝑆 = 22𝑆+𝑛 .𝑆!(𝑛+1)(𝑛+2)......(𝑛+𝑆) (7.118)

where n is an integer. We can write the (7.118) as

32 | K e l o m p o k 2 B
(−1)𝑆 .2𝑛 Γ(𝑛+1)
𝑎2𝑆 = 22𝑆+𝑛𝑆!Γ(𝑛+𝑆+1) (7.119)

So far 𝑎𝑜 was kept arbitrary. Now we are assigning a certain value to 𝑎𝑜 i.e.,

1
𝑎𝑜 = 2𝑛 Γ(𝑛+1) (7.120)

such that

𝑥 2 𝑥 4
1 ( ) ( )
𝑛 2 2
𝑌 = 𝑥 [2𝑛 Γ(𝑛+1) − 2𝑛 Γ(𝑛+1) + 2𝑛.2!Γ.2!(𝑛+3) −. . . . ] (7.121)

Since all the terms are defined now, we can write the (7.121) as

𝑥 2𝑆+1
( )
𝑌= ∑∞ 𝑆 2
𝑆=𝑂 (−1) 𝑆!Γ(𝑛+𝑆+1) (7.122)

Here Γ = (𝑛 + 1) etc. are gamma functions.

For many of the physical problems n is put as an integer, therefore we can


rewrite the formula as :

𝑥 2𝑆+𝑛
( )
𝑌= ∑∞ 𝑆 2
𝑆=𝑂 (−1) 𝑆!(𝑛+𝑆)! (7.123)

It is denoted as Jn, the Bessel’s function of order n. Hence

𝑌 = 𝐶𝐽𝑛 (𝑥) (7.124)

We got the solution taking P = n. A similar solution can be obtained for


𝑃 = −𝑛

Therefore the general solution is

𝑌 = 𝐶 𝐽𝑛 (𝑥) + 𝐷 𝐽−𝑛 (𝑥) (7.125)

where n is an integer, it can be very easily shown that

𝐽𝑛 (𝑥 ) = (−1)𝑛 𝐽−𝑛 (𝑥)

= 𝐹 𝐽𝑛 (𝑥)

33 | K e l o m p o k 2 B
where 𝐽𝑛 (𝑥 ) is the Bessel’s function of order n and is given by

(−1)𝑆 𝑥 𝑛+2𝑆
𝐽𝑛 (𝑥 ) = ∑∞
𝑆=𝑂 . (7.126)
2𝑛+2𝑆 𝑆!(𝑛+𝑆+1)

Now let

𝑌 = ∅(𝑥 )𝐽𝑛 (𝑥 ),

𝑌 ′ = ∅′ 𝐽𝑛 (𝑥) + ∅′ 𝐽𝑛 (𝑥 )

𝑌 ′′ = ∅′′ 𝐽𝑛 + 2∅′ 𝐽𝑛′ + ∅𝐽𝑛′′ (𝑥 )

Substituting the values in the original equation, we have

∅′ ∅ 𝑛2
∅′′ 𝐽𝑛 + 2∅′ 𝐽𝑛′ + ∅𝐽𝑛′′ + 𝐽𝑛 + 𝑥 𝐽𝑛′ + ∅𝐽𝑛 − 𝑥 2 ∅𝐽𝑛 = 0 (7.127)
𝑥

We can isolate the part

1 ′ 𝑛2
∅ [𝐽𝑛′′ + 𝐽𝑛 + (1 − 2 ) 𝐽𝑛 ] = 0
𝑥 𝑥

This is equal to zero because 𝐽𝑛 is the solution of the differential equations


and

Equation 7.127 reduces to the form

∅′
∅′′ 𝐽𝑛 + 2∅′ 𝐽𝑛′ + . 𝐽𝑛 = 0 (7.128)
𝑥

Rewriting the (7.128), we get

2𝐽𝑛′ 1 ′
′′
∅ +( + )∅ = 0
𝐽𝑛 𝑥

Or

𝑑∅′ 2𝐽𝑛′ 1 ′
+( + )∅ = 0
∅′ 𝐽𝑛 𝑥

Integrating, one gets

𝑙𝑜𝑔∅′ + 2𝑙𝑜𝑔𝐽𝑛 + 𝑙𝑜𝑔𝑥 = 𝑙𝑜𝑔𝐸

34 | K e l o m p o k 2 B
Or

𝐸
∅′ =
𝑥𝐽𝑛2

Or

𝑑𝑥
∅ = 𝐸 ∫ 𝑥 𝐽2 + 𝐺 (7.129)
𝑛

This part is termed as 𝑌𝑛 . It is

𝑑𝑥
𝑌𝑛 = 𝐸𝐽𝑛 ∫ 𝑥 𝐽2 + 𝐺 𝐽𝑛 (7.130)
𝑛

This is the Bessel’s function of nth order and second kind. Hence the general
solution of the Bessel’s equation is

𝑌 = 𝐶𝐽𝑛 (𝑥 ) + 𝐷𝑌𝑛 (𝑋) (7.131)

where 𝐽𝑛 and 𝑌𝑛 are respectively the Bessel’s function of the first and second
kind and of nth order.

The most general solution of the Laplace equation in cylindrical co-


ordinates is

∅ = [𝐴 cos 𝑚ψ + 𝐵 sin 𝑚ψ] [C 𝐽𝑛 (𝑚𝜌) + 𝐷 𝑌𝑛 (𝑚𝜌)]

[𝐾𝑒 𝑛𝑍 + 𝐿𝑒 −𝑛𝑍 ] (7.132)

where A, B, C, D, K, L are co-efficients, generally determined from the bound-


ary conditions. For some type of boundary value problems, these co-efficients
may turn out to be the Kernal functions in Frehdom’s integral equations, to
be discussed later.

In most of the problems of geophysical interest, the potential generally


becomes independent of ψ, when ∅ = f(𝜌, Z), the Bessel’s equation reduces to the
form

𝑌 = 𝐶 𝐽𝑜 (𝑥) + 𝐷 𝑌𝑜 (𝑥) (7.133)

35 | K e l o m p o k 2 B
where Jo and Yo are the Bessel’s function of first and second kind and of order
zero.
For ∅ = f(𝜌, z), the expression for the potential simplifies down to

∅ = [𝐶 𝐽𝑜 (𝑚𝜌) + 𝐷𝑌𝑜 (𝑚𝜌)][𝐾𝑒 𝑚𝑍 + 𝐿𝑒 −𝑚𝑍 ] (7.134)

The general expressions for Jo and Yo are respectively, given by

𝑥 2𝑆
𝐽𝑜 = ∑∞
𝑆=𝑜 22𝑆 (𝑆!)2 (7.135)

𝑥2 𝑥4 𝑥6
𝐽𝑜 = 1 − + − +. . . ..
(2!)2 24 (2!)2 26 (3!)2

𝑥2 𝑥4 𝑥6
= 1 − 22 + 22 .42 − 22 .42 .62 +. . . .. (7.136)

And

1
2 𝑥 𝑥2 𝑥 4(1+ )
2
𝑌0 = 𝜋 [𝐼𝑛 2 𝐽0 + 22 − ....] (7.137)
24 (2!)2


2 𝛾𝑥 𝑆
𝑥 4𝑆 1 1 1
⇒ 𝑌0 = [(𝐼𝑛 ) − ∑(−1) 2𝑆 (1 + + +. . . )]
𝜋 2 2 (𝑆!) 2 3 𝑛
𝑆=𝑜

Where

1 1 1
𝛾 = 𝐿𝑖𝑚 (1 + 2 + 3 +. . . 𝑛 − log 𝑛) (7.138)

= 0.5772157 and is known as Euler’s Contant

36 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.12. Bessel’s function of second kind and 0,1,2,3,4 order

Figures 7.11 and 7.12 shows the behaviour of Jo and Yo for increasing val-
ues of x. Both the functions behave as damped oscillatory functions for larger
values of x and the oscillatory characters die down with distance. These points
are taken into consideration before choosing them as potential functions. For
larger values of x, Jo and Yo can be computed approximately as

2 𝜋
𝐽𝑜 (𝑥 ) = √ cos (𝑥 − )
𝜋𝑥 4

And

2 𝜋
𝑌𝑜 (𝑥 ) = √𝜋𝑥 sin (𝑥 − 4 ) (7.139)

𝑎𝑠 𝑥 → ∞

For large values of x, the oscillatory behaviour vanishes, the potential


functions become zero at infinity. In a source free region, where potential
function satisfies Laplace equation, has a finite value at x = 0. Therefore
for most of the geophysical problem J n or Jo are treated as more appropriate
potential functions. 𝑌𝑜 = ∞ 𝑎𝑡 𝑥 = 0. Therefore near the vicinity of a source
𝑌𝑜 can be taken as a potential function.

37 | K e l o m p o k 2 B
7.5.7 Modified Bessel’s Functions

If we take

𝑑2𝑍
+ 𝑚2 𝑍 = 0
𝑑𝑧 2

Instead of

𝑑2 𝑍
− 𝑚2 𝑍 = 0 (7.140)
𝑑𝑧 2

the Bessel’s equation changes to the form

𝑑2 𝑦 1 𝑑𝑦 𝑛2
+ 𝑥 𝑑𝑥 − (1 + 𝑥 2) 𝑦 = 0 (7.141)
𝑑𝑥 2

This equation is called the modified Bessel’s equations and is of the form The
(7.142) can be rewritten in the form

𝑑2 𝑦 1 𝑑𝑦 𝑛2
+ 𝑖 2 𝑥 𝑑 (𝑖𝑥) + [1 − (𝑖𝑥)2 ] 𝑦 = 0 (7.142)
𝑑(𝑖𝑥)2

The solution of (7.142) is 𝐽𝑛 (𝑖𝑥) and 𝑌𝑛 (𝑖𝑥). We can write 𝐽𝑛 (𝑖𝑥) as


(−1)𝑆 (𝑖𝑥)𝑛+2𝑆
𝐽𝑛 (𝑖𝑥 ) = ∑
2𝑛+2𝑆 𝑆! Γ(𝑛 + 𝑆 + 1)
𝑆=𝑜

(−1)𝑆 𝑥 𝑛+2𝑆
= 𝑖 𝑛 ∑∞
𝑆=𝑜 2𝑛+2𝑆 𝑆!Γ(𝑛+𝑆+1) ( 7 .1 4 3 )

We, therefore, define the modified Bessel’s function of the first kind as

(−1)𝑆 .𝑥 𝑛+2𝑆
𝐼𝑛 (𝑥 ) = 𝑖 −𝑛 𝐽𝑛 (𝑖𝑥) = ∑∞
𝑆=𝑜 2𝑛+2𝑆 𝑆!Γ(𝑛+𝑆+1) ( 7 .1 4 4 )

i.e.

𝐼𝑛 (𝑥 ) = 𝑖 −𝑛 𝐽𝑛 (𝑖𝑥)

Modified Bessel’s function of the second kind and nth order 𝐾𝑛 (𝑥), is
38 | K e l o m p o k 2 B
𝐾𝑛 (𝑥) = 𝑖 −𝑛 𝐽−𝑛 (𝑖𝑥 ) (7.145)

Therefore, the general solution of the modified Bessel’s equation is

𝐶𝑛 𝐼𝑛 (𝑥) + 𝐷𝑛 𝐾𝑛 (𝑥) (7.146)

When a potential function is independent of , n will be 0, we get the modified


Bessel’s equation as

𝑑2 𝑦 1 𝑑𝑦
+ 𝑥 𝑑𝑥 − 𝑦 = 0 (7.147)
𝑑𝑥 2

and the solution is

𝑌 = 𝐶𝑜 𝐼𝑜 (𝑥) + 𝐷𝑜 𝐾𝑜 (𝑥)

where,

𝑥2 𝑥4 𝑥6
𝐼0 (𝑥 ) = [1 + 22 + 22 42 + 22 42 62 +. . . . ]

(7.148)

And

𝛾𝑥 𝑥2
( )
𝐾𝑜 𝑥 = −𝐼𝑜 𝐼𝑛 ( ) + ( 2 )
2 2

𝑥4 1 𝑥6 1 1
+ 24 .(2!)2 (1 + 2) + 26 .(3!)2 (1 + 2 + 3 +. . . . ) (7.149)

Figures 7.13 and 7.14 show the behaviours of Io and Ko with x. At larger
distances from the source, one can write
1
1 2
𝐼𝑛 (𝑥 ) = (2𝜋𝑥 ) 𝑒 𝑥 (7.150a)

And
1
𝜋 2
𝐾𝑛 (𝑥 ) = (2𝑥 ) 𝑒 −𝑥 (7.150b)

𝑎𝑠 𝑥 → ∞
39 | K e l o m p o k 2 B
The general solution of Laplace equation

𝜕2𝜙 1 𝜕𝜙 𝜕2𝜙
𝜕𝜌 2 + 𝜌 𝜕𝜌
+
𝜕𝑧 2
= 0 𝑓𝑜𝑟 𝜙 = 𝑓(𝜌, 𝑧) (7.151)

i.e. when potential is independent of ψ, the azimuthal angle, the expression


for the potentials using Bessels functions and modified
Bessel’s functions are

Φ = ∑∞
1 (𝐴𝑒
𝑚𝑧
+ 𝐵𝑒 −𝑚𝑧 )[𝐶𝐽0 (𝑚𝜌) + 𝐷𝑌0 (𝑚𝜌)] (7.152)

Fig. 7.13. Modified Bessel’s function of the first kind and of zero order I0 and its
variation with x

40 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.14. Variation of modified Bessel’s function of the second kind and zero
order with x

Or

Φ = ∑∞
1 (𝐴 cos 𝑚𝑧 + 𝐵 sin 𝑚𝑧)[𝐶𝐼0 (𝑚𝜌) + 𝐷𝐾0 (𝑚𝜌)] (7.153)

Instead of taking the potential functions in the form of A cos mz, B sin mz, we
can always express the potential functions in the complex form eimz where the
real and imaginary parts can be separated. We now define two new functions
of the form

𝐻01 (𝑚𝜌) = 𝐽0 (𝑚𝜌) + 𝑖 𝑌(𝑚𝜌)

And

𝐻02 (𝑚𝜌) = 𝐽0 (𝑚𝜌) − 𝑖 𝑌(𝑚𝜌) (7.154)

This two functions are called Henkel’s functions of the first and second kind.
Henkel’s functions are also the potential functions and the general solution for
the Laplace equation in cylindrical co-ordinates can also be written as

Φ = ∑(𝐴𝑒 𝑚𝑧 + 𝐵𝑒 −𝑚𝑧 ) [𝐶𝐻01 (𝑚𝜌) + 𝐷𝐻02 (𝑚𝜌)] (7.155)

Here

41 | K e l o m p o k 2 B
(1) 2 𝜋
𝐻0 (𝑥) = √ 𝑒 𝑖(𝑥− 4 )
𝑥→∞ 𝜋𝑥

And

𝜋
(2) 2
𝐻0 (𝑥) = √𝜋𝑥 𝑒 −𝑖(𝑥− 4 ) (7.156)
𝑥→∞

DZUNUN ALFA RISKY_R1A121040

We find that as

ρ → 0, J0 → 1, 𝑌0 → ∞, 𝐼0 → 1, 𝐾0 → ∞ and 𝐻0 → ∞. And for ρ → ∞, 𝜌 → ∞, 𝐽0 → 0. 𝑌0 →


0. 𝐼0 → ∞, K → 0 and 𝐻0 → 0. Therefore, remembering the behaviours of these Bessel’s
function we have to choose the proper potential function dictated by the nature of the
boundary value problems. Bessels function of the first kind are generally used. However in
problems where modified Bessel’s function are needed both first and second kind of are
used in the geophysical problems as will be shown in the later chapters. Bessels functions
of imaginary and fractional orders are also used in solving geophysical problems(see Chap.
8 and 13).

7.5.8 Some Relation of Bessel’s Function

From

𝑥 𝑛+2𝑠
𝐽𝑛 (𝑥 ) = ∑𝛼𝑠=0(−1)𝑠 ( 2)
(7.157)
𝑑
we get, talking 𝐽/ 𝑛 (𝑥 ) = 𝑑𝑥 𝐽𝑛 (𝑥),

(−1)𝑠 (𝑛+2𝑆) 𝑥 𝑛+2𝑠−1


𝐽/ 𝑛 (𝑥 ) = ∑𝛼𝑠=0 . ( 2) .
Π(s)Π (n+s)
(7.158)

(−1)𝑠 𝑥 𝑛+2𝑠−1
= 𝑛𝐽𝑛 − 𝑥 ∑𝛼𝑟=1 Π (𝑠−1)Π (𝑛+1) . ( 2) .
(7.159)

If in (7.159), we put S = r + 1, we obtain

42 | K e l o m p o k 2 B
(−1)𝑟 𝑥 𝑛+𝑟+1
𝑥𝐽/ 𝑛 = 𝑛𝐽𝑛 − 𝑥 ∑𝛼𝑟=0 Π (𝑟)Π(𝑛+𝑠) . (2) .
(7.160)

= 𝑛𝐽𝑛 − 𝑛𝐽𝑛+1 .
(7.161)

In the same way we can prove that

𝑥𝐽/ 𝑛 + 𝑛𝐽𝑛 = 𝑥𝐽𝑛−1 .


(7.162)

If we add (7.161) and (7.162) and get

2𝐽/ 𝑛 + 𝐽𝑛−1 − 𝐽𝑛+1 .


(7.163)

If we put n = 0, we have

𝐽/ 0 = 𝐽1 .
(7.164)

If we multiply (7.162) by 𝑥 −𝑛−1 , we get

𝑥 −𝑛 𝐽/ 𝑛 + 𝑥 −𝑛−1 𝑛 𝐽𝑛 −𝑥 −𝑛 𝐽𝑛+1 .
(7.165)

Hence
𝑑
(𝑥 −𝑛 )𝐽𝑛 = −𝑥 −𝑛 𝐽𝑛+1 .
𝑑𝑥
(7.166)

Similarly, it can be proved that

If we substract (7.165) from (7.162), we get

1
Expression for Jn(x) when n is half and odd integer will be as follows. If we put n= 2 , in the
general series for 𝐽𝑛 (x), we obtain

Since Π(𝑟) = 𝑟Π(𝑟 − 1)


43 | K e l o m p o k 2 B
And Π(s) = S, if S = 1,2,3.

We have

1 √𝜋
Π (𝑛 ) = 𝑎𝑛𝑑
2

sin 𝑥 𝑥2 𝑥4
= (1 − + −∙∙∙∙∙∙∙∙∙∙∙∙∙).
𝑥 3! 5!

Hence 𝐽1 3
(𝑥)=√ sin 𝑥 .
2 𝜋𝑥

(7.167)

1 2
If 𝑛 = − 2 , 𝐽−1 (𝑥 ) = √ΠX cos 𝑥.
2

(7.168)
11
From the recurrence formulae, we get for 𝑛 = 2 𝑥 𝐽1 (𝑋) = 𝐽− 1 (𝑋) = 𝐽3 (𝑋)
2 2 4

1
𝐽3 (𝑋) = 𝑥 𝐽1 (X)
4 2

(7.172)

2 sin 𝑥
= √ΠX ( − cos 𝑥).
𝑥

(7.173)

7.6 Solution of Laplace Equation in Spherical Polar Co-ordinates

𝜕 𝜕𝜙 1 𝜕 𝜕𝜙 1 𝜕2𝜙
Lapalce equation ∇2 𝜙 = 𝜕𝑟 (𝑟 2 𝜕𝑟 ) + sin 𝜃 (sin 𝜃 ) + 𝑆𝑖𝑛2 𝜃 =0
𝜕𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜓 2
(7.174)

This equation can be soulf appliying the method of separation of variable choosing

𝜙 = 𝑅(𝑟)Θ (𝜃) Ψ(𝜓)

where R, Θ and Ψ are respectively the functions of r, θ and ψ only.

7.6.1 When Potential is a Function of Radial Distance r i.e., φ = f(r)

44 | K e l o m p o k 2 B
When potential is a function of r i.e., φ = f(r) only and is independent of θ and Ψ. The
Laplace equation reduces to
𝜕 𝜕𝜙
(𝑟 2 )=0
𝜕𝑟 𝜕𝑟
(7.175)
𝜕𝜙
⇒ 𝑟 2 𝜕𝑟 𝐶1 where 𝐶1 is a constant.
(7.176)

From the (7.176), we can get


𝐶1
𝜙 = 𝐶2 − 𝑟
(7.177)

where C2 is another constant. This is the potential at a point at a distance r from the source
due to a point source of current. Since the potential will be zero at r = ∞. Therefore C2 = 0,
and the potential reduces to

Fig. 7.15. Spherical polar coordinate


𝐶1
𝜙=− 𝑟
(7.178)

Since
𝐶
𝐸⃗ = −𝑔𝑟𝑎𝑛𝑑𝜙 = − 𝑟 21 𝑎𝑛𝑑 𝐼 = ∫ 𝐽 𝑛.
⃗⃗⃗ ds

𝐶 𝐶
= ∫ 𝜎𝐸⃗ . 𝑛⃗. 𝑑𝑠 = −𝜎 ∫ 𝑟12 𝑑𝑠 = −𝜎 𝑟12 4𝜋𝑟 2

𝐼
= −4𝜋𝜎𝐶1 . 𝐻𝑒𝑛𝑐𝑒 𝐶1 = − 4𝜋𝜎

45 | K e l o m p o k 2 B
And
𝐼 1 1𝜌 1
𝜙 = 4𝜋𝜎 , 𝑟 = 4𝜋 . = 𝑟.
(7.179)

where ρ is the resistivity of the medium and ρ=. 1 σ .

This is the expression for potential at a point at a distance ‘r’ from a point source in an
homogeneous and isotropic full space. The solid angle subtended at the source point is 4π.
For an air-earth boundary, when the point electrode is on the surface the potential at a
point at a distance ‘r’ from a point source is
1 1 𝐼𝜌 1
𝜙 = 4𝜋𝜎 , 𝑟 = 4𝜋 = 𝑟.
(7.181)

where the solid angle subtended at a point source is 2π on the surface of a homogeneous
and isotropic half space.

7.6.2 When Potential is a Function of Polar Angle, i.e., φ = f(θ)

When potential is independent of r and Ψ and is a function of θ only (Fig. 7.15) the Laplace
equation reduces to
1 𝜕 𝜕𝜙
. (sin 𝜃 − 𝜕𝜃 )
sin 𝜃 𝜕𝜃

From (7.181), we get


𝜕𝜙
sin 𝜃 = 𝐶2 .
𝜕𝜃
(7.182)

Integrating (7.182), we get


𝜃
𝜙 = 𝐶1 + 𝐶2 𝐼𝑛 𝑡𝑎𝑛 2
(7.183)

Here the equipotentials form cones at the centre.

7.6.3 When Potential is a Function of Azimuthal Angle i.e., ϕ = f(ψ)

Here potential is a function of Ψ only, the Laplace equation is

46 | K e l o m p o k 2 B
1 𝜕 2𝜙
. 𝜕𝜓2 = 0
𝑠𝑖𝑛 2 𝜃

𝜕 2𝜙
⇒ 𝜕𝜓2 = 0 or ϕ = A + Bψ.
(7.184)

7.6.4 When Potential is a Function of Both the Radial Distance and Polar Angle i.e., φ = f(r, θ)

And is independent of the azimuthal angle, the Laplace equation is


𝜕 𝜕𝜙 1 𝜕 𝜕𝜙
= (𝑟 2 𝜕𝑟 ) + sin 𝜃 𝜕𝜃 (sin 𝜃 𝜕𝜃 ) = 0
𝜕𝑟
(7.185)
𝜕2𝜙 2 𝜕𝜙 1 𝜕2𝜙 1 𝑑Θ
⇒ +𝑟 + 𝑟 2 𝜕𝜃2 + 𝑟 2 cot 𝜃 𝜕𝜃 = 0.
𝜕𝑟 2 𝜕𝑟
(7.186)

Now applying the method of separation of variables, we get φ(r, θ) = R(r)Θ(θ) where R
and Θ are functions of r and θ only. We have
𝜕𝜙 𝑑𝑅 𝜕 2 𝜙 𝜕2𝑅 𝜕 2𝜙 𝜕 2Θ
=Θ ; =Θ 𝑎𝑛𝑑 =𝑅 .
𝜕𝑟 𝑑𝑟 𝜕𝑟 2 𝑑𝑟 2 𝜕𝜃2 𝑑𝜃2

Substituting these values in the Laplace equation, we get


𝜕2𝑅 2Θ 𝑑𝑅 𝑅 𝑑2 Θ 𝑅 𝑑Θ
Θ 𝑑𝑟 2 + + 𝑟2 + 𝑟 2 Cot 𝜃 𝜕𝜃 = 0.
𝑟 𝑑𝑟 𝑑𝜃2
(7.187)

Dividing (7.187) by R and

1 𝑑2 𝑅 2 𝑑𝑅 1 𝑑2 Θ 1 𝑑Θ
Θ 𝑅 𝑑𝑟 2 + 𝑑𝑅 𝑑𝑟 + 𝑟 2 Θ 𝑑𝜃 2 + 𝑟 2Θ Cot 𝜃 𝜕𝜃 = 0.
(7.188)

Equation (7.188) can be rewritten as

𝑟 2 𝑑2 𝑅 2𝑟 𝑑𝑅 1 𝑑2 Θ 𝑑Θ
[ + ]+ [ + Cot 𝜃 𝑑𝜃 ] = 0
𝑅 𝑑𝑟 2 𝑅 𝑑𝑟 Θ 𝑑𝜃2
(7.189)

𝑟 2 𝑑2 𝑅 2𝑟 𝑑𝑅 1 𝑑2 Θ 𝑑Θ
⇒ [𝑅 + ]=− [ + Cot 𝜃 𝑑𝜃 ] = 𝑛2
𝑑𝑟 2 𝑅 𝑑𝑟 Θ 𝑑𝜃2
(7.190)

These two independent equations are function of r and θ respectively and are equal. They
are written as

47 | K e l o m p o k 2 B
𝑑2 𝑅 𝑑𝑅
𝑟 2 𝑑𝑟 2 + 2𝑟 𝑑𝑟 − 𝑛2 𝑅 = 0
(7.191)

1 𝑑2 Θ 𝑑Θ
− Θ [ 𝑑𝜃2 + Cot 𝜃 𝑑𝜃 ] = 𝑛2 .
(7.192)

For solving (7.191), we take


𝑑𝑅 𝑑2 𝑅
𝑅 (𝑟) = 𝑟 𝛼 , 𝑡ℎ𝑒𝑛 𝑑𝑟 = 𝛼𝑟 𝛼−1 𝑎𝑛𝑑 = 𝛼(𝛼 − 1)𝑟 𝛼−2 .
𝑑𝑟 2

Substituting these values in (7.191), we get

𝑟 2 [𝛼(𝛼 − 1) + 𝑟 𝛼−2 ] + 2𝑟[𝛼𝑟 𝛼−1 ] − 𝑛2 𝑟 𝛼 = 0.


(7.193)

⇒ 𝛼(𝛼 − 1)2𝛼 − 𝑛2 = 0 ⇒ 𝛼 2 + 𝛼 − 𝑛2 = 0

−1±√1−4𝑛 2
⇒𝛼= .
2

Therefore, the two roots are

1 1 1 1
𝛼1 = − 2 + √4 + 𝑛2 and 𝛼2 = − 2 − √4 + 𝑛2 .
(7.194)

If α1 = α, then 𝛼2 = −(α + 1), therefore the two solution are R(r) = 𝑟 𝛼 and 𝑟 −(𝛼+1) taking α
= n, the general solution of the first equation is
𝐵
𝑅 = (𝐴𝑟 𝑛 + 𝑟 𝑛+1 )
(7.195)

where A and B are arbitrary constants to be determined from the boundary conditions.

The second differential equation is

1 𝑑2 Θ 𝑑Θ
− Θ [ 𝑑𝜃2 𝐶𝑜𝑡𝜃 ] = (𝑛 + 1)
𝑑𝜃
(7.196)

𝑑2 Θ 𝑑Θ
⇒ + Cot 𝜃 𝑑𝜃 + 𝑛(𝑛 + 1)Θ = 0
𝑑𝜃2

1 𝑑 𝑑Θ
⇒ . (sin 𝜃 𝑑𝜃 ) + sin 𝜃. 𝑛(𝑛 + 1)Θ = 0
sin 𝜃 𝑑𝜃
(7.197)

48 | K e l o m p o k 2 B
𝑑 𝑑Θ
⇒ 𝑑𝜃 (sin 𝜃 𝑑𝜃 ) + sin 𝜃. 𝑛(𝑛 + 1)Θ = 0.

𝑑 𝑑 𝑑𝜇 𝑑
Let 𝜇 = 𝑐𝑜𝑠𝜃, 𝑇ℎ𝑒𝑛 = . = −𝑆𝑖𝑛𝜃
𝑑𝜃 𝑑𝜇 𝑑𝜃 𝑑𝜇

Substituting, these values


𝑑 𝑑Θ
−𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑𝜇 [sin 𝜃(−𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑑𝜇 ] + 𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑛 (𝑛 + 1)Θ = 0

𝑑 𝑑Θ
= 𝑑𝜇 (𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑𝜇 ) + 𝑛(𝑛 + 1) = 0.
(7.198)

Since 𝑠𝑖𝑛𝜃 = √1 − 𝜇2 ,(7.199) changes to the form


𝑑 𝑑Θ
[(1 − 𝜇2 ) ] + 𝑛 (𝑛 + 1)Θ = 0
𝑑𝜇 𝑑𝜇
(7.199)
𝑑2 Θ 𝑑Θ
⇒ (1 − 𝜇 2 ) − 2𝜇 𝑑𝜇2 + 𝑛(𝑛 + 1)Θ = 0.
𝑑𝜇 2
(7.200)

This is termed as the Legendre’s differential equations. It is written as


𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
(1 − 𝑥 2 ) − 2𝑥 𝑑𝑥 + 𝑛(𝑛 + 1)𝑦 = 0.
𝑑𝑥 2
(7.201)

LAODE SIRMAN_R1A117051
7.6.5 Legender’s Equation and Legender’s polynomial

To solve the (7.201), we use Frobeneous power series and put

𝑌 = 𝑎0 + 𝑎1 + 𝑎2 𝑥 2

= ∑ 𝑎𝑠 𝑥 𝑠 .
(7.202)

Substituting this value of Y in (7.202), we get

∑ 𝑎𝑠 𝑠(𝑠 − 1)𝑥 𝑠−2 − ∑ 𝑎𝑠 𝑠(𝑠 − 1)𝑥 𝑠 − ∑ 2𝑎𝑠 𝑠𝑥 𝑠

49 | K e l o m p o k 2 B
+ ∑ 𝑛 ( 𝑛 + 1 ) 𝑎𝑠 𝑥 𝑠 = 0
(7.203)

⇒ ∑ 𝑎𝑠 𝑠(𝑠 − 1)𝑥 𝑠−2 + ∑ 𝑛(𝑛 + 1) − 𝑠(𝑠 + 1)]𝑎𝑠 𝑥 𝑠 = 0.


(7.204)

If we put S = 2 and equate the co-efficients of x0 , we get


𝑛 (𝑛+1)
𝑎2 = − . 𝑎0. (7.205)
2

Equating the co-efficient of x1 , we get


(𝑛−1)(𝑛+2)
𝑎3 = − . 𝑎1. (7.206)
2.3

Equating the Co efficient of x2 , we get


[𝑛 2 +𝑛±6]𝑎2
𝑎4 = − 3.4

(𝑛−2)(𝑛+3) 𝑛(𝑛+1)
= 𝑎0
3.4 2

(𝑛−2) (𝑛+3) (𝑛+1) (𝑛)


⇒ 𝑎0.
2.3.4
(7.207)

Here a0 and a1 are two arbitrary constants is terms of which we can collect the terms and
present in the following way
𝑛(𝑛+1) 𝑛(𝑛−2)(𝑛+1)(𝑛+3)
𝑦 = 𝑎𝑜 [1 − 𝑥2 + 𝑥 4 −⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅]
∠2 ∠4

𝑛−1)(𝑛+2) (𝑛−1)(𝑛+2) (𝑛−3) (𝑛+4)


+𝑎1 𝑥 [1 − 𝑥2 + 𝑥 4 −⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅].
∠3 ∠5
(7.208)

Till now we have not made any restriction on ‘n’ . But for most of the physical problems, n
is an integer. When n is even, i.e. 0, 2, 4, . . . . . . . . . . . . .. the first series terminates after a few
terms. When n is odd the second series terminates after a few terms. Therefore, we get one
polynomial and one infinite series.

For n = 0,

𝑥2 𝑥4
𝑦0 = 𝑎0 + 𝑎1 𝑥 [1 + + +⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅]
3 5
(7.209)

For n = 1

50 | K e l o m p o k 2 B
𝑥4 𝑥6
𝑦1 = 𝑎1 𝑥 + 𝑎0 [1 − 𝑥 2 − − −⋅⋅⋅⋅⋅⋅]
3 5
(7.210)

For n = 2

2 𝑥2 4𝑥 6
𝑦0 = 𝑎0 (1 − 3𝑥 2 ) + 𝑎1 𝑥 [1 − 3 𝑥 2 − − +⋅⋅⋅⋅⋅⋅⋅]
5 35
(7.211)

Therefore the general solution must be constituted of an infinite series and a polynomial. If
we take the polynomial part, we can write

5𝑥 2
𝑦0 = 𝑎0 , 𝑦1 = 𝑎1 𝑥, 𝑦2 = 𝑎2 (1 − 3𝑥 2 ), 𝑦3 = 𝑎1 𝑥 (1 − )⋅
3
(7.212)

The polynomial part of the solution can be written as


1
𝑌0 = 1 = 𝑃0 (𝑥 ), 𝑌1 = 𝑥 = 𝑃1 (𝑥 ), 𝑌2 = 2 (3𝑥 2 − 1) = 𝑃2 (𝑥)

1
𝑌3 = 2 (3𝑥 3 − 3𝑥 2 ) = 𝑃3 (𝑥 ).
(7.213)

These polynomials are known as the Legendre’s polynomial (Fig. 7.16). These polynomials
are termed as the Legendre’s function’s of the first kind. The infinite series is the
Legendre’s function of the second kind and is denoted by Q.

When
1 1+𝑥
𝑛 = 0, 𝑄0 (𝑥 ) = tan ℎ−1 𝑥 = 2 𝑙𝑛 1−𝑥.

When

𝑛 = 1𝑄1 (𝑥) = 𝑥 𝑄0 (𝑥 ) − 1.

When
3
𝑛 = 2, 𝑄2 (𝑥 ) = 𝑃2 (𝑥 )𝑄0 (𝑥) − 2 𝑥.

51 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.16. Conical equipotential surface for 𝜃 dependence

Similarly one can have the value of Qn (x) for any value of n. The solution of the Legendre’s
equation is

∑𝛼𝑛=0{𝐴𝑛 𝑃𝑛 (𝑥 ) + 𝐵𝑛 𝑄𝑛 (𝑥)}.
(7.214)

Therefore the general solution of the Laplace equation in spherical co-ordinates can be
written as
𝐵
𝜙 = ∑𝛼0 (𝐴𝑛 𝑟 𝑛 + (𝑟 𝑛+1
𝑛
) (𝐶𝑛 𝑃𝑛 (cos 𝜃) + 𝐷𝑛 𝑄𝑛 (cos 𝜃))

(𝐸𝑛 𝐶𝑜𝑠 𝑚Ψ + 𝐹𝑛 Sin 𝑚ψ) (7.215)

Now

𝑃𝑛 (1) = 1, 𝑃𝑛 (−1) = (−1)𝑛 , 𝑃𝑛 (0) = 0,

𝑄𝑛 (1) = ∞, 𝑄𝑛 (0) = 0, 𝑄𝑛 (−1) = ∞. In general 𝑃𝑛 behaves as a better potential function.


Therefore in potential theory involving spherical polar coordinates Legendre’s polynomials
are used in general as potential functions. These polynomials in the Table 7.1 are
Legendre’s polynomials from 0 to 6th degree. Each of these polynomials satisfy Legendre’s
differential equations for any value of n. The general expression of the Legendre’s
polynomial 𝑃𝑛 (𝑥 )is given by
(2𝑛−2𝑟)!
𝑃𝑛 (𝑥 ) = ∑𝑁 𝑟
𝑟=0(1) 2𝑛 𝑟!(𝑛−𝑟)!(𝑛−2𝑟)! 𝑥
𝑛−2𝑟
(7.216)

Table 7.1.

52 | K e l o m p o k 2 B
n 𝑃𝑛 (𝑥)

0 𝑃0 (𝑥 ) = 1

1 𝑃1 (𝑥 ) = 𝑥

2 𝑃2 (𝑥 ) = 1/2(3𝑥 2 − 1)

3 𝑃3 (𝑥 ) = 1/2(5𝑥 3 − 3𝑥)

4 𝑃4 (𝑥 ) = 1/8(35𝑥 4 − 30𝑥 2 +
3)

5 𝑃5 (𝑥 ) = 1/8(63𝑥 5 −
70𝑥 3 15𝑥)

6 𝑃6 (𝑥 ) = 1/16 (231𝑥 6 + 𝑛
Where 𝑁 = 2 when n is even and N
10𝑥 2 5)
= (n − 1)/2 when n is odd. Figure
(7.17) shows that the Legendre’s polynomials are orthogonal to each other. The Radriques’
formula for the Legendre’s polynomial is
1 𝑑𝑛
𝑃𝑛 (𝑥 ) = 2𝑛 𝑛! . 𝑑𝑥 𝑛 (𝑥 2 − 1)𝑛
(7.217)

where n is the degree of the polynomial.

One can prove that (Ramsay 1940),

1
0, 𝑖𝑓 𝑛 ≠ 𝑚
∫−1 𝑃𝑛 (𝑥 )𝑃𝑚 (𝑥) = { 2 .
𝑖𝑓 𝑛 = 𝑚
2𝑛+1
(7.218)

53 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.17. Legendre’s polnomial for P(0) to P(6)

ALEXANDER MARAMPA_R1A121032
The general expression for the Legendre’s function of the second kind is given by
2n (n+1)!(n+2r)! −h−2r−1
Q n (x) = ∑r=∞
r=0 x (7.219)
r!(2n+2r+1)!

𝑄𝑛 (𝑥 ) is an infinite series as mentioned and is generally not used as a potensial function. So


the general solution of the Legendre’s equation

𝑌 = 𝐴 𝑃𝑛 (𝑥) + 𝐵𝑄𝑛 (𝑥 ) (7.220)

Reduces to

𝑌 = 𝐴 𝑃𝑛 (𝑥)

Problem 1

Find out the nature of distortion of the potential field when a sphere of electrical
permittivity ∈2 is placed in a medium ∈1 in the presence of an uniform field (Fig. 7.18)

A spherical body of electrical permittivity ∈2 is placed in a medium of electrical


permittivity ∈1 in the presence of an uniform field 𝐸0 along the z direction. Here the
perturbation potential will be a function of r and 𝜃.

54 | K e l o m p o k 2 B
Hence

ϕ = −E0 Z + Constant

= −E0 r cos θ + Constant (7.221)

This is the expression for the potential in an uniform field. When we introduce the
anomalous body, having different physical property, in the field, the perturbation potential
will get added in the vicinity of the body. The perturbation potentials outside and inside the
body will be different and are given by

ϕ1 = ϕ0 + ϕ′

and

ϕ2 = ϕ0 + ϕ′′ (7.222)

Where ϕ0 is the source potential, ϕ′ and ϕ′′ are respectively the perturbation potentials
outside and inside the body.

In the medium 1, i.e., outside the body, the perturbation potential is


1
ϕ′ = ∑∞
n=1 An rn+1 Pn (cos θ). (7.223)

1
Since the potential outside dies down with distance, 𝑟 𝑛+1 is the solution and 𝑃𝑛 (cos 𝜃 ) is a
better potential function. The potential inside is given by

55 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.18. Distorsion in current flow field in the presence of a spherical body

ϕ′′ = ∑∞ n
n=1 Bn r Pn (cos θ). (7.224)

Therefore, potentials both outside and inside are given by


1
ϕ1 = ∑∞
n=1 An . rn+1 . Pn (cos θ) − E0 r cos θ (Potential outside) (7.225)

and

ϕ2 = ∑an=1 Bn . r n . Pn (cos θ) − E0 r cos θ (Potential inside) (7.226)

Applying in the two boundary conditions, i.e.,

i) ϕ1 |r=a = ϕ2 |r=a′
∂ф ∂ф
ii) ∈1 ( ∂r1 ) |r=a =∈2 ( ∂r ) |r=a
1 2

Where ‘a’ is the radius of the sphere, we get


1
∑ An . P (cos θ) = ∑ Bn an Pn (cos θ) (7.227)
an+1 n

and

1
−∈1 E0 P1 (cos θ) +∈1 ∑ An . −(n + 1). . Pn (cos θ)
an+2

= −∈2 E0 P1 (cos θ) +∈2 ∑ Bn na−(n+1) Pn (cos θ). (7.228)

Since the source potential is 𝐸0 𝑟 cos 𝜃 𝑎𝑛𝑑 cos 𝜃 can be expressed as 𝑃1 (cos 𝜃 ), it became
possible to bring the source and perturbation potentials in the same format before the
boundary conditions are applied. Here 𝑃1 is the Legendre’s polynomial of the first order.
Since the source potential is in Legendre’s polynomial of first order, the order will remain
the same in the perturbation potential also. Therefore n = 1. So the equations (7.227) and
(7.288) simplifies down to
A1
= B1 a (7.229)
a2

2∈
−∈1 ⃗E0 − A1 a31 = −∈2 ⃗E0 +∈2 B1 (7.230)

From these two equations, the values of 𝐴1 𝑎𝑛𝑑 𝐵1 , 𝑎𝑟𝑒

𝐴1 = 𝐵1 𝑎3 (7.231)

and

56 | K e l o m p o k 2 B
∈ 2−∈1
A1 = ⃗E0 a3 ∈ (7.232)
2 +2 ∈1

∈2 −∈1
⃗0
B1 = E . (7.233)
∈2 +2 ∈1

Substituting the values of 𝐴1 𝑎𝑛𝑑 𝐵1, in (7.225) and (7.226), we get


∈ −∈ a3
ϕ1 = −E0 r cos θ + E0 ∈ 2+2 ∈1 cos θ (Potential outside) (7.234)
2 1 r2

and
∈ −∈
ϕ2 = E0 r cos θ + E0 ∈ 2+2 ∈1 r cos θ (Potential inside). (7.235)
2 1

3 ∈1
= −E0 ∈ . r cos θ.
2 +2 ∈1

The fields inside the body are


∂ϕ 3∈1
Er = − ( ∂r2 ) = E0 ∈ cos θ (7.236)
2 +2 ∈1

and
∂ϕ 3∈1
Eθ = − (r ∂θ2 ) = −E0 ∈ sin θ. (7.237)
2+2 ∈1

Therefore, the field inside the body can be written as

3 ∈1
⃗E = (a⃗r cos θ − a⃗θ sin θ)⃗E0
∈2 + 2 ∈1
3∈1
= a⃗ z . ∈ ⃗ 0.
E (7.238)
2+2 ∈1

Hence the field inside will be parallel to the field outside.

Corollary

Potential at a point on the surface of the earth due to a buried spherical inhomogeneity of
conductivity 𝝈𝟐 is placed in a medium of conductivity 𝝈𝟏 in the presence of an uniform field
in direct current domain.

This is the same problem as given in the previous section. Here the direct current is
flowing from a source at infinite distance to generate the uniform field (Fig. 7.19).

57 | K e l o m p o k 2 B
The potential will be symmetrical with respect to the polar axis. So the potential will
be independent of the azimulhal angle Ψ.

The solution of the problem is

ϕ = ∑[An r n + Bn r −(n+1) ] Pn (cos θ). (7.239)

The constants 𝐴𝑛 𝑎𝑛𝑑 𝐵𝑛 can be found out from the boundary conditions.
1 ∂ϕ1 1 ∂ϕ2
ϕ1 = ϕ2 and =ρ . at r = a where ‘a’ is the radius of the sphere.
ρ1 ∂r 2 ∂r

Since

E 1 ∂ϕ0
J = ρ = −ρ therefore ϕ0 = −Jρx (7.240)
1 ∂x

The potentials outside and inside the body are given by


ϕ1 = −Jρ1 x + ∑ Bn r −(n+1) Pn (cos θ) − Potential outside


n=1

ϕ2 = −Jρ1 x + ∑∞ n
n=1 An r Pn (cos θ) − Potential inside. (7.241)

Applying the boundary condition we get

Fig. 7.19. Distortion of the equipotential lines due to the presence of a spherical
inhomogenity in an uniform field

∑ Bn a−(n+1) Pn (cos θ) = ∑ An an Pn (cos θ) (7.242)

and

58 | K e l o m p o k 2 B
Jρ ρ
−Jρ1 + ∑ Bn . −(n + 1) a−(n+2) , Pn = − ρ 1 . ρ1 + ρ1 ∑ Ann an−1 . Pn (cos θ). (7.243)
2 2

Since the source potential has 𝑃1 terms, (the Legendre’s polynomial of the first order) the
perturbation potential also will have only 𝑃1 terms. Only 𝐴1 and 𝐵1 will exist and other
terms, viz 𝐴2 , 𝐴3 ⋯ 𝐴𝑛 , 𝐵2 , 𝐵3 ⋯ 𝐵𝑛 are all zero.

Therefore
ρ1 −ρ2 ρ1 −ρ2
A1 = Jρ1 and B1 = Jρ1 . a3 (7.244)
ρ1 +2ρ2 ρ1 +2ρ2

Hence the potentials outside and inside are given by


ρ −ρ a3
ϕ1 = −Jρ1 r cos θ + Jρ1 ρ 1+2ρ2 . cos θ (7.245)
1 2 r2

ρ −ρ
ϕ2 = −Jρ1 r cos θ + Jρ1 ρ 1+2ρ2 . r cos θ (7.246)
1 2

3ρ1 ρ2
= −J ρ r cos θ.
1 +2ρ2

Problem 2

Find the potentials at a point on the surface of the earth in the presence of a buried
spherical inhomogeneity of resistivity 𝜌2 in a half space of resistivity 𝜌1 due to point source
of current.

A sphere of radius ‘a’ and resistivity 𝜌2 is placed at a depth Z (i.e., the depth to the
centre of the sphere from the surface i.e. air earth boundary) in a medium of resistivity 𝜌1
(Fig. 7.20). The distances between the current electrode at A and potential electrode at P is
R, the electrode separation. The distance from the source to the center of the sphere and
from ‘O’ to ‘P’ are respectively ‘d’ and ‘r’. ∠AOP is the angle subtended by A and P at the
center ‘O’. We have to determine the angle θ for each move of the current and potential
electrodes together or separately.

To solve this problem, we shall first consider the medium to be a homoge-nous and
isotropic free space. A spherical body of resistivity 𝜌2 and radius ‘a’ is embedded in a
medium of resistivity 𝜌1 . Once the problem is solved in full pace, the air earth boundary can
be brought.

Considering the effect of image, the potential can be doubled and the solution can be
obtained within 5 % error.

The perturbation potential function is


59 | K e l o m p o k 2 B
ϕ = ∑(An r n + Bn r −(n+1) )Pn (cos θ) (7.247)

Fig. 7.20. Two electrode response due to a buried spherical body having conduc-tivity
contrast with the host rock; Geometry of the problem is shown=

in this problem also. Figure (7.20) shows the geometry of the problem and the location of
the current and potential electrodes. In a full space the potential at P due to a current
electrode at A is given by
Iρ1 1
ϕ0 = (7.248)
4π R

where R = AP. Here R2 = r 2 + d2 − 2rd cos θ. So

1 1
=
R √r 2 + d2 − 2rd cos θ

60 | K e l o m p o k 2 B
1 1
⇒R= d 2
(7.249)
√1+ r 2−2 r cos θ
d d

𝑟
Let u = 𝑑 𝑎𝑛𝑑 𝑥 = cos 𝜃, Then

1 1
2
= √1+𝑢2 (7.250)
−2𝑢𝑥
√1+ 𝑟 2−2 𝑟 cos 𝜃
𝑑 𝑑

Let v = 2ux − 𝑢2

So,

1 1 1
= = (1 − v)−2
2 √1 − v
√1 + r 2 − 2 r cos θ
d d

After binomial expansion and substituting the values of v we get


𝑢2
=1+𝑢𝑥+ (3𝑥 2 − 1) (7.251)
2

Since
1 1
P0 (x) = 1, P1 (x) = x, P2 (x) = 2 (3x 2 − 1), P3 (x) = 2 (5x 3 − 3x),

We can write

1
= 𝑃0 (𝑥 )𝑢0 + 𝑃1 (𝑥 )𝑢1 + 𝑃2 (𝑥 )𝑢2 + 𝑃3 (𝑥)𝑢3
√1 + 𝑟2 𝑟
− 2 cos 𝜃
𝑑2 𝑑

𝑟 𝑛
= ∑ 𝑃𝑛 (𝑥 ) 𝑢𝑛 = ∑ 𝑃𝑛 (𝑥 ) (𝑑 ) . (7.252)

So, the source potential is

ρ1 I 1 r 2
ϕ0 = ∑∞ P (cos θ) ( ) .
4π d n=0 n d

Therefore the potential inside and outside assuming full space condition is

Iρ1 1 r n
ϕ1 = ∑∞ ( ) Pn (cos θ) + ∑∞
n=1 Bn r
−(n+1) (
Pn cos θ) (Potential outside)
4π d n=0 d
(7.253)

and

61 | K e l o m p o k 2 B
Iρ1 1 r n
ϕ1 = ∑∞ ( ) Pn (cos θ) + ∑∞ n
n=0 An r Pn (cos θ). (Potential inside)
4π d n=0 d
(7.254)

Now applying the boundary conditions, at r = a where ‘a’ the radius of the sphere.

Iρ1 1 a n
. ∑ ( ) Pn (cos θ) + ∑ Bn a−(n+1) Pn (cos θ)
4π d d
Iρ1 1 a n
= . ∑ ( ) Pn (cos θ) + ∑ An an Pn (cos θ) (7.255)
4π d d

From the first boundary conditions. i.e., ϕ1 = ϕ2 at r = a

1 Iρ1 n an−1 1
. ∑ n+1 . Pn (cos θ) + ∑ −(n + 1) Bn a−(n+2) . Pn (cos θ)
ρ1 4π d ρ1
1 Iρ n an−1 1
= ρ . 4π1 ∑ . Pn (cos θ) + ρ ∑ n An an−1 . Pn (cos θ) (7.256)
2 dn+1 2

From the second boundary conditions, i.e., 𝐽𝑛1 = 𝐽𝑛2 at r = a, we write the nth tern (these
boundary conditions hold good for all the terms) as follows

I nan−1 Bn −(n+2) 1 ρI nan−1


− ( n + 1 ) a = [ . + nAn an−1 ]
4π dn+1 ρ1 ρ2 4π dn+1

I nan−1 ρ1 I nan−1 1 1
⇒ . n+1 − . n+1 = (n + 1)An an−1 + n An an−1
4π d ρ2 4π d ρ1 ρ2
1 n an−1 ρ2 −ρ1
⇒ 4π . [ ]
dn+1 ρ2

ρ2 n+ρ2 +ρ1 n
⇒ An an−1 [ ]
ρ1 ρ2

Iρ1 (ρ2 −ρ1 ) 1 Iρ 1


⇒ An = . . = ρn . 4π1 . dn+1 (7.257)
4π ρ2 n+ρ1 n+ρ2 dn+1

where

(ρ2 − ρ1 )n
ρn =
(ρ2 n + ρ1 n + ρ2 )

Iρ1 ρn
Bn = An a2n+1 = . . a2n+1
4π dn+1
Therefore

62 | K e l o m p o k 2 B
𝜌 𝐼 1𝜌 1
1
ϕ2 = 4𝜋𝑅 + ∑ 4𝜋 . 𝑑𝑛+1 𝜌𝑛 𝑟 𝑛 𝑃𝑛 (cos 𝜃 ). (7.258)

and

𝐼𝜌1 1 𝐼𝜌1 𝑎2𝑛+1 1
ϕ1 = . + ∑ 𝜌𝑛 𝑛+1 . 𝑛+1 𝑃𝑛 (cos 𝜃)
4𝜋 𝑅 4𝜋 𝑑 𝑟
𝑛=1

(Potential outside) (7.259)

Now if we bring the air earth boundary, we get


𝐼𝜌1 1 𝑎 2𝑛+1 1
ϕ1 = [ + ∑∞
𝑛=0 𝜌𝑛 . . 𝑟 𝑛+1 𝑃𝑛 (cos 𝜃 )]. (7.260)
2𝜋 𝑅 𝑑𝑛+1

With this approximation the solution can be obtained within 5% error. Once the response
for two electrode configuration is obtained (Fig. 7.21), one can compute the response for
any other electrode configuration since the principle superposition is valid.

7.6.6 When Potential is a Function of all the Three Coordinates Viz, Radial Distance, Polar
Angle and Azimuthal Angle,i.e., 𝛟 = f(r, θ, ψ)

When potential is a function of all the three coordinates, i.e. = f(r, θ,ψ), the Laplace
equation in spherical polar coordinate (7.174) can be solved applyingthe method of
separation of variables in the form

63 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.21. Two electrode apparent resistivity anomaly on the surface due to a buried
spherical inhomogeneity

ϕ = R(r)Θ(𝞱)Ѱ(ѱ) (7.261)

It can be rewritten as

ϕ = R(r)S(𝞱, ѱ) (7.262)

Keeping the surface components together. Equation (7.174) changes to the form
1 𝑑 𝑑𝑅 1 𝜕 𝜕𝑆 1 𝜕2𝑆
[𝑟 2 ]=− [𝑆𝑖𝑛𝜃 ]− (7.263)
𝑅 𝑑𝑅 𝑑𝑟 𝑆𝑆𝑖𝑛𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 𝑆𝑆𝑖𝑛 2 𝜃 𝜕ѱ2

Equation (7.174) breaks into two parts as discussed earlier


𝑑 𝑑𝑅
[𝑟 2 ] − 𝑅𝑛 (𝑛 + 1) = 0 (7.264)
𝑑𝑅 𝑑𝑟

1 𝜕 𝜕𝑆 1 𝜕2𝑆
[𝑆𝑖𝑛𝜃 ]+ + 𝑆𝑛 (𝑛 + 1) = 0 (7.265)
𝑆𝑖𝑛𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 𝑆𝑖𝑛 2 𝜃 𝜕ϕ2

The solutions of (7.191) are in the form 𝑟 𝑛 𝑎𝑛𝑑 𝑟 −(𝑛+1) as discurred earlier.

Now

S (𝞱, ѱ) = Θ(𝞱)Ѱ(ѱ) (7.266)

Therefore (7.263) can be rewritten in the form

𝑆𝑖𝑛 𝜃 𝑑 𝜕𝛩 1 𝑑2 ѱ
[𝑆𝑖𝑛𝜃 ] + 𝑆𝑖𝑛2 𝜃𝑛(𝑛 + 1) = − (7.267)
𝛩 𝑑𝜃 𝑑𝜃 ѱ 𝑑ѱ2

Both sides of this (7.267) are equated to a constant m 2 . We get two differential equastions
as follows:
𝑑2 ѱ
+ 𝑚2 ѱ = 0 (7.268)
𝑑ѱ2

and

64 | K e l o m p o k 2 B
𝑑 𝑑𝛩 𝑚2
[𝑆𝑖𝑛𝜃 ] + 𝛩 [𝑛(𝑛 + 1)𝑆𝑖𝑛𝜃 − ( )] = 0 (7.269)
𝑑𝜃 𝑑𝜃 𝑆𝑖𝑛𝜃

The solutions of (7.268) are sin mΨ and cos mψ.

Equation (7.269) is termed as the Associated Legandre’s equation. The solution of this
equation are 𝑃𝑛𝑚 (𝐶𝑜𝑠 𝜃) 𝑎𝑛𝑑 𝑄𝑛𝑚 (𝐶𝑜𝑠 𝜃). Here 𝑃𝑛𝑚 (𝐶𝑜𝑠 𝜃) 𝑎𝑛𝑑 𝑄𝑛𝑚 (𝐶𝑜𝑠 𝜃) are known as the
Associated Legendre’s function of the first kindand second kind. It has already been
mentioned that 𝑄𝑛𝑚 (𝐶𝑜𝑠 𝜃) is an infinite series and is generally not considered for solution
of any kind of potential problem. Therefore, the most general solution of Laplace equation
in spherical polar coordinate is

1
ϕ(r, θ, ѱ) = ∑∞ n m n m m m m
n=0 ∑m=0 [(An r + Bn rn+1) (Cn Cos mѱ + Dn Sin mѱ)] Pn (Cos θ)

(7.270)

This series expansion of the general solution of the Laplace equation in spherical polar
coordinate is termed as spherical harmonic expansion as discussed in the next section.
Here n is the degree and m is the order of the Associated Legendre’s polynomial. When m =
0, Associated Legendre Polynomial changes to Legendre Polynomial. The coefficients
𝐴𝑚 𝑚 𝑚 𝑚
𝑛 , 𝐵𝑛 , 𝐶𝑛 , 𝐷𝑛 are generally determined either from detailed spherical harmonic analysis
or by applying suitable boundary conditions depending upon the nature of the problem.

7.6.7 Associated Legendre Polynomial

If a Legendre Polynomial in spherical polar coordinate depends both on colatitude and


longitude, the polynomial is termed as Associated Legendre Polynomial. Associated
Legendre Polynomial is denoted by 𝑃𝑛𝑚 (𝜃) 𝑜𝑟𝑃𝑛 , 𝑚(𝜃) is the degree and m is the order of
the polynomial. If we differentiate theLegendre equation
𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
(1 − 𝑥 2 ) − 2𝑥 𝑑𝑥 + 𝑛(𝑛 + 1)𝑦 = 0 (7.271)
𝑑𝑥 2

m times, with respect to x, we get


𝑑2 𝜉 𝑑𝜉
(1 − 𝑥 2 ) − 2𝑥(𝑚 + 1) + (𝑛 − 𝑚)(𝑛 + 𝑚 + 1)𝜉 = 0 (7.272)
𝑑𝑥 2 𝑑𝑥

Where
𝑑𝑚 𝑦 𝑑𝑚 𝑃𝑛 (𝑥)
𝜉 = 𝑑𝑥 𝑚 = (7.273)
𝑑𝑥 𝑚

If we take

65 | K e l o m p o k 2 B
ƞ = ξ(1 − x 2 )m/2

Then it can be shown that (7.272) changes to the form


𝑑2 ƞ 𝑑ƞ 𝑚2
(1 − 𝑥 2 ) − 2𝑥 𝑑𝑥 + [𝑛(𝑛 + 1) − 1−𝑥 2 ] ƞ = 0 (7.274)
𝑑𝑥 2

This is the Associated Legendre equation. It is observed that


𝑑𝑚
ƞ = (1 − 𝑥 2 )𝑚/2 𝑃 (𝑥 ) (7.275)
𝑑𝑥 𝑚 𝑛

This is ƞ the Associated legendre Polynomial and is denoted by 𝑃𝑛𝑚 (𝑥 ) 𝑜𝑟 𝑃𝑛𝑚 (𝜃). Therefore
𝑑𝑚
𝑃𝑛𝑚 (𝑥 ) = (1 − 𝑥 2 )𝑚/2 𝑑𝑥 𝑚 𝑃𝑛 (𝑥 ) (7.276)

SEMUEL BUANG_(R1A121026)
7.7 Spherical Harmonics

A function is said to be harmonic if the function and its first derivative are continuous
within the domain and it satisfies Laplace equation ∇2φ = 0. Many such functions exist
which satisfy these conditions and many of those functions can be expressed in series
forms. Harmonic functions which satisfy Laplace equation in spherical polar coordinates (r,
θ,ψ) are called spherical harmonics where the potential function is dependent upon the
radial direction, latitude or colatitude and longitude or the azimuthal direction. Harmonics
which are functions of r, θ,ψ are called spherical solid harmonics in a three dimensional
space. Harmonics on the surface, which are function of θ and ψ are called spherical surface
harmonics. If φ is a spherical harmonics of degree n, then it satisfies the following two
conditions

𝜕2 𝜙 𝜕2 𝜙 𝜕2 𝜙
+ + =0
𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2
(7.277)
𝜕𝜙 𝜕𝜙 𝜕𝜙
And 𝑥 𝜕𝑥 + 𝑦 𝜕𝑦 + 𝑧 𝜕𝑧 = 𝑛𝜙.
(7.278)

A spherical surface harmonics is the set of values of solid spherical harmonics takes on the
surface of unit radius with its origin at the centre. Equation (7.174) is the Laplace equation
in spherical polar coordinate. Now if the potential φ = Hn = rnSn where Hn is the solid
spherical harmonics and Sn is the surface spherical harmonics. Sn is a function of φ and Ψ
alone and of 202 7 Solution of Laplace Equation degree n. From (7.264) and (7.265). it can
be shown that ‘r’ dependence part of the Laplace equation can be written in the form

66 | K e l o m p o k 2 B
𝜕 2 (𝑟Ψ) 𝜕 2(𝑟 𝑛+1 𝑆𝑛 )
=𝑟 = 𝑛(𝑛 + 1)𝑟 𝑛 𝑆𝑛
𝜕𝑟 2 𝜕𝑟 2
(7.279)

After removing the rn part, the radial component, the surface component of the Laplace
equation in spherical coordinate changes to the form.

1 𝜕 2𝑆𝑛 1 𝜕 𝜕𝑆𝑛
+ 𝑆𝑖𝑛 𝜓 (𝑆𝑖𝑛 𝜓 ) + 𝑛(𝑛 + 1)𝑆𝑛 =0.
𝑆𝑖𝑛 2 𝜓 𝜕𝜃2 𝜕𝜓 𝜕𝜓
(7.280)

Every spherical surface harmonics of degree n satisfies this equation and every solution of
this equation is a surface harmonics of degree n (Macmillan, 1958).

7.7.1 Zonal, Sectoral and Tesseral Harmonics

A spherical harmonic which can be expressed as a function of r and θ and independent of Ψ


the longitude, is a zonal harmonic (Fig. 7.22). Legendre polynomials Pn(θ) of degree n are
independent of Ψ and are zonal harmonics.

The guiding equation for zonal harmonics is


𝑑2 𝑃𝑛 𝑑𝑃 𝑛
(1 − 𝜇 2 ) − 2𝜇 + 𝑛(𝑛 + 1)𝑃𝑛 = 0
𝑑𝜇 2 𝑑𝜇
(7.281)

The zonal harmonics from degree 0 to 6 in the form suitable for hand computations are
given as

𝑃0 = 1

𝑃1 = 𝜇
3 1
𝑃2 =2 𝜇2 − 2

5 3
𝑃3 = 2 𝜇3 − 2 𝜇

7 5 5 3 3 1
𝑃4 = . . 𝜇4 − . . 𝜇2 + .
2 2 2 2 2 4
(7.282)
9 7 7 5 5 3
𝑃5 = 2 . 4 . 𝜇5 − 2 . 2 . 𝜇3 + 2 . 4 𝜇

11 9 7 9 7 5 7 5 3 5 3 1
𝑃5 = . . 𝜇6 − . . 𝜇4 + . . 𝜇2 − . .
2 4 6 2 4 2 2 2 4 2 4 6

67 | K e l o m p o k 2 B
A few points about zonal harmonics are :

(a) Zonal harmonics are orthogonal (Fig. 7.17)

(b) Zeros of zonal harmonics are real and they all lie between 0 and 1.

(c) A recurrence relation of the Legendre polynomial or zonal harmonics is

𝑃𝑛 + 1 − 2𝜇𝑃𝑛 + 𝑃′ 𝑛+1 = 𝑃𝑛
(7.282)

where primed P ′ is the first derivative of P.

Fig. 7.22. Nature of the xonal harmonics

(d) The general formula for Legendre polynomial or zonal harmonics is


(2𝑛−2𝐽−1)
𝑃𝑛 (𝐶𝑜𝑠𝜃 = ∑𝑛𝐽=0(−1)𝐽 [𝑛−2𝑗][𝑛=2𝑗−1][2𝑗]𝑛−2𝑗
(7.285)

(e) Legendre polynomial or zonal harmonics are better potential functions.

(f) On the surface, Pn vanishes along the n circles of latitude θ. One of which is the equator.

Legendre polynomial is used for analysing a set of data collected on the surface of a
spherical earth when the function is dependent only on the latitude or colatitude. If the
surface harmonics is dependent both on θ and ψ, then more powerful orthogonal
polynomials are used. They are Associated Legendre Polynomial and can be denoted by

68 | K e l o m p o k 2 B
𝜕𝑚
𝑃𝑛,𝑚 (𝜃) = 𝑆𝑖𝑛𝑚 𝜃 𝜕(𝐶𝑜𝑠𝜃)𝑚 𝑃0 (𝐶𝑜𝑠𝜃)
(7.285)

where m is the degree and n is the order of the Legendre Polynomial. Associated Legendre
polynomials are more powerful in the sense that Legendre Polynomial is only a special case
of Associated Legendre Polynomial. Because when m, the order is zero, i.e., when the
dependence on longitude vanishes ALP changes to LP as mentioned.

The general solution of surface harmonics is

𝜙(𝜃, 𝜓) = ∑∞ ∞
𝑚=0 ∑𝑛=0[(𝐶𝑛,𝑚 𝐶𝑜𝑠 𝑚𝜓 + 𝐷𝑛,𝑚 𝑆𝑖𝑛 𝑚𝜓) 𝑃𝑛,𝑚 (𝜃)]
(7.286)

The surface harmonics φ(θ, Ψ) is represented by an infinite sum of Associated Legendre


Polynomials, sines and cosines. Here Pn,m(θ)Cos mΨ and Pn,m(θ)Sin mψ are the
components of the surface spherical harmonics. If m = 0, the surface harmonics depends
only on the colatitude and is called a zonal harmonics as mentioned already. If n = m, it
depends on the longitude ψ, it is then termed as the sectoral harmonics. If m > 0 and n > m,
then the harmonics is termed as tesseral harmonics(Figs. 7.23, 7.24).Tesseral harmonics
are those which becomes zero both in latitude and longitude. In a spherical polar
coordinate system we express the harmonic function of degree n or order k as

𝜙 (𝜃, 𝜓) = 𝑟 𝑛 𝑒 𝑖𝑘𝜃 , 𝑆𝑖𝑛𝑘 𝜓𝑃𝑛𝑘


(7.287)

Where Pnk is the Legendre Polynomial of degree n, and order k, SinkΨ shows the
longitudinal dependence, 𝑒 𝑖𝑘𝜃 is the dependence on colatitude and 𝑟 𝑛 is the radial
dependence part. If we remove rn , the surface harmonics part can be written as

𝜙 (𝜃, 𝜓) = 𝑒 𝑖𝑘𝜃 , 𝑆𝑖𝑛𝑘 𝜓𝑃𝑛𝑘 .


(7.288)

69 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 7.23. Nature of the sectoral harmonics

Fig. 7.24. Nature of the tesseral harmonics

The real and imaginary parts of (7.288) is given by

Real part of 𝜙(𝜃, 𝜓) = 𝑆𝑖𝑛𝑘 𝜓𝑃𝑛𝑘 𝐶𝑜𝑠 𝐾𝜃

Imaginary part of 𝜙(𝜃, 𝜓) = 𝑆𝑖𝑛𝑘 𝜓𝑆𝑖𝑛 𝑘𝜃


(7.289)

These real and imaginary parts are the two Tesseral harmonics.

Fairly detailed description on the procedures for determining the spherical harmonic
components are available in Blakely (1996). Materials for further studies on spherical
harmonics are available in Macmillan (1958), Kellog (1953) and Ramsay (1940).

70 | K e l o m p o k 2 B
71 | K e l o m p o k 2 B
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah solusi persamaan laplace digunakan
untuk mengetahui distribusi potensial yang mengandung muatan listrik
II. SARAN
Setelah selesainya makalah yang kami susun ini semoga dapat berkenan di hati
para pembaca agar bisa memahami maksud dari makalah ini. Saran dari kami
penyusun makalah ini adalah hanya ditelaah dengan baik agar dapat mengambil
maksud dari makalah ini. Walaupun jauh dari kata sempurna tetapi kami yakin
para pembaca bisa lebih mengembangkan lagi materi yang terasa kurang dalam
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Roy, Kalyan Kumar. 1965. Potential Theory in Applied Geophysics. India:


Springer-Verlag Berlin Heidelberg

72 | K e l o m p o k 2 B
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

In this chapter the basic nature of DC resistivity boundary value problems mostly in
one dimensional domain are demonstrated. Nature of the surface and subsurface kernels for an
N-layered earth in DC field domain, nature of boundary value problem with cylindrical symmetry
needed in borehole geophysics, nature of boundary value problems where resistivity or
conductivity varies continuously along the vertical or horizontal direction in the presence of
both Laplacian and nonlaplacian terms are discussed. The last two problems are on the potential
problems for dipping contacts and layered anisotropic beds.
One example that can be applicated is the electrical resistivity method used in
geophysical exploration. The method uses an artificial DC power source to create an electric
field in the subsurface by injecting current into the ground between two metallic electrodes. By
measuring and analyzing the potential (voltage) response on the ground surface or underground
(in boreholes or in a mine), one can obtain a resistivity distribution map of the subsurface. This
map is then used with other information to help identify and delineate geological structures.

BAB II

PEMBAHASAN

73 | K e l o m p o k 2 B
CHAPTER 8 : DIRECT CURRENT FIELD RELATED POTENTIAL PROBLEMS

(HAYYAN FIDHAR-R1A121002)

Direct current field related potentials in a layered earth model can be evaluated as
follows. Figure 8.1 shows the geometry of the problem. We assume the earth to be horizontally
layered and the number of layers is N. ρ1, ρ2, ρ3, . . . . . . ..ρN, are the resistivities of the first,
second, third and Nth layer and h1, h2, h3 are their corresponding thicknesses. Thickness of the
last layer is assumed to be infinity. Potential at a point due to a point source of CurrentI will
have cylindrical symmetry, over a layered earth therefore, the Laplace equation in cylindrical
coordinates are chosen. Since potential is independent of the azimuthal angle, therefore, the
Laplace equation in cylindrical coordinates reduce down to

𝜕2 𝜑 1 𝜕𝜑 𝜕2 𝜑
+ + =0 (8.1)
𝜕𝑟 2 𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑧 2

and the general solution of the equation from (7.153) is


𝜑 = ∫ (𝐴(𝑚 )𝑒 −𝑚𝑧 + 𝐵(𝑚 )𝑒 𝑚𝑧 )𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 (8.2)


0

1𝜌 1
𝜑0= . (8.3)
2𝜋 𝑟
The potential at a point due to a point source at a distance r from the point source of
Current I on the surface of the earth (from 7.181) is given by
While dealing with the air earth boundary, we often use the term half space problem
because the electrical resistivity of the air is infinity. The earth has finite resistivity. The solid
angle subtended at the current source is 2π. For surface geophysics, when measurements are
1𝜌
taken on the surface of the earth, 2𝜋 becomes the multiplication factor. In well logging or
borehole geophysics when electrode is placed inside a borehole, potential at a point at a
1𝜌 1
distance r from the source is 4𝜋 . 𝑟 as shown in the next section. Equation (7.180).
For surface geophysics, the potential due to a point source on the surface of an N-
layered earth is

1𝜌 1
𝜑0 = 1/2
(8.4)
2𝜋 (𝑟2 + 𝑧2 )
where r and z are respectively the radial and vertical distances from the source and𝑅 =
√𝑟 2 + 𝑧 2 . Potentials in the different layers can, therefore, be written as

74 | K e l o m p o k 2 B
Φ1 = Φ𝑜 + Φ′1
Φ2 = Φ𝑜 + Φ′ 2
⋯⋯⋯⋯⋯⋯⋯
⋯⋯⋯⋯⋯⋯⋯
Φ𝑖 = Φ𝑜 + Φ𝑖
Φ𝑁 = Φ𝑜 + Φ′ N′

where φo is the source potential and φ′ 1, φ′ 2, φ′ 3 . . . ..φ′ N are the perturbation potentials in
different media. Potential at the ith media can be written as

1𝜌 1 (8.5)
𝜑0= 2 1/2
+ ∫(𝐴𝑖 (𝑚)𝑒−𝑚𝑧 + 𝐵(𝑚)𝑒𝑚𝑧 )𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚
2𝜋 (𝑟2 + 𝑧 )
0

where Ai and Bi are the arbitrary constants determined from the boundary conditions. At the air
earth boundary, the current density vector𝐽 (= 𝜎𝐸⃗ ) cannot cut across the air earth boundary
1 𝜕𝜑1
because resistivity of air is infinitely high. Therefore, = 0 at 𝑧 = 0 where 𝜌1 and 𝜑1 are
𝜌1 𝜕𝑧
respectively the resistivity and potential of the first medium


𝜕𝜑 𝐼𝜌1 𝑧 −𝑚𝑧
( ) = { (
1 + ∫ −𝐴𝑖 𝑒 + 𝐵1𝑚𝑧 )𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑚𝑑𝑚 } (8.6)
𝜕𝑧 𝑧=0 2 2
2𝜋 (𝑟 + 𝑧 )2 0

= ∫0 (𝐵1 − 𝐴1)𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑚𝑑𝑚 = 0

Since the relation is true for any value of r,

𝐵1 = 𝐴1 (8.7)

Therefore, expression for potential in the first medium is



1𝜌 1 (8.8)
𝜑1= 2 2 1/2
+ ∫(𝐴1 (𝑚) (𝑒−𝑚𝑧 + 𝑒𝑚𝑧 )𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚
2𝜋 (𝑟 + 𝑧 )
0

Last layer thickness ℎ𝑁 is infinitely high. In this layer the perturbation potential decays down with depth.
Therefore, 𝑒 −𝑚𝑧 will be the appropriate potential function and the expression for potential in the last
layer is

75 | K e l o m p o k 2 B

Iρ1 1 (8.9)
𝜑𝑁= 2 2 1/2
+ ∫ 𝑒−𝑚𝑧 𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚
2π (𝑟 + 𝑧 )
0

To get the expressions for the unknown functions A1(m), A2(m) . . . AN(m), it is necessary to apply the
boundary conditions (i) φi = φi+1 and (ii) Jni = Jni+1 at each boundary. Before applying the boundary
conditions, it is necessary to bring the source and perturbation potential in the same format. This is an
important task in these boundary value problems. This point is highlighted for all the problems discussed
in this volume. In this problem, we use the Weber Lipschitz identity to bring the source potential and
perturbation potential in the same format, i.e.,

1
= ∫ 𝑒 −𝑚𝑧 𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 (8.10)
r
0


Substituting 𝑞 = 2π

we can write the expression for potentials in different media as,


∞ ∞

𝜑1 = 𝑞 ∫ 𝑒−𝑚𝑧 𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 + ∫ 𝐴1 (𝑒−𝑚𝑧 + 𝑒𝑚𝑧 )𝐽0 (𝑚𝑟)𝑑𝑚


0 0

∞ ∞

𝜑2 = 𝑞 ∫ 𝑒−𝑚𝑧 𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 + ∫(𝐴2 𝑒−𝑚𝑧 + 𝐵2 𝑒𝑚𝑧 )𝐽0 (𝑚𝑟)𝑑𝑚


0 0

∞ ∞

𝜑𝑖 = 𝑞 ∫ 𝑒−𝑚𝑧 𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 + ∫(𝐴𝑖 𝑒−𝑚𝑧 + 𝐵𝑖 𝑒𝑚𝑧 )𝐽0 (𝑚𝑟)𝑑𝑚


0 0

∞ ∞

(8.11)
𝜑𝑁= 𝑞 ∫ 𝑒−𝑚𝑧 𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 + ∫ 𝐴𝑁 𝑒−𝑚𝑧 𝐽𝑜 (𝑚𝑟)𝑑𝑚
0 0

Applying the boundary conditions at each boundary i.e.,

𝜑𝑖 = 𝜑𝑖+1
76 | K e l o m p o k 2 B
And

1 𝜕𝜑𝑖 1 𝜕𝜑𝑖+1
( )= ( ) at z = hi
ρ𝑖 𝜕𝑧 ρ𝑖+1 𝜕𝑧 (8.12)

One gets

𝐴1 (𝑒 −𝑚ℎ1 + 𝑒 𝑚ℎ1 ) − 𝐴2 𝑒 −𝑚ℎ1 − 𝐵2 𝑒 𝑚ℎ1 = 0

𝐴1 𝜌2 (𝑒 −𝑚ℎ1 + 𝑒 𝑚ℎ1 ) − 𝐴2 𝜌1 𝑒 −𝑚ℎ1 − 𝐵2 𝜌1 𝑒 𝑚ℎ1 = 𝑞( 𝜌1 − 𝜌2 )𝑒 −𝑚ℎ1

𝐴𝑖 𝑒 −𝑚ℎ𝑖 + 𝐵2 𝑒 𝑚ℎ𝑖 − 𝐴𝑖+1 𝑒 −𝑚ℎ𝑖 − 𝐵𝑖+1 𝑒 𝑚ℎ𝑖 = 0

𝜌1+1 (−𝐴𝑖 𝑒 −𝑚ℎ1 + 𝐵𝑖 𝑒 𝑚ℎ1 ) + 𝜌1 ( 𝐴𝑖+1 𝑒 −𝑚ℎ1 − 𝐵𝑖+1 𝑒 𝑚ℎ1 ) = 𝑞( 𝜌𝑖+1 − 𝜌𝑖 )𝑒 −𝑚ℎ𝑖

𝐴𝑁−1 𝑒 −𝑚ℎ𝑁−1 + 𝐵𝑁−1 𝑒 𝑚ℎ𝑁−1 − 𝐴𝑁 𝑒 𝑚ℎ𝑁−1 = 0

𝐴𝑁−1 𝜌𝑁 𝑒 −𝑚ℎ𝑁−1 + 𝐵𝑁−1 𝜌𝑁 𝑒 𝑚ℎ𝑁−1 + 𝐴𝑁 𝜌𝑁−1 𝑒 −𝑚ℎ𝑁−1 = 𝑞( 𝜌𝑁 − 𝜌𝑁−1 )𝑒 𝑚ℎ𝑁−1


(8.13)
From this system of equations, it is possible to find out potential at a point in any medium for an N-
layered earth due to a point source. The factors Ais and Bis are to be determined from the boundary
conditions. They are termed as the kernel functions because they carry information about all the 2N-1
layer parameters. Here ρ1 to ρN are the layer resistivities and h1 to hN−1 the thicknesses. Thickness of
the Nth layer is infinitely high.

8.1.1 Cramer’s Rule

Cramer’s rule for evaluation of determinants states that if we have a set of linear equations

𝑎11 𝑥1 + 𝑎12 𝑥2 + 𝑎13 𝑥3 … … … … … … … . +𝑎1𝑛 𝑥𝑛 = 𝑘1

𝑎21 𝑥1 + 𝑎22 𝑥2 + 𝑎23 𝑥3 … … … … … … … . +𝑎2𝑛 𝑥𝑛 = 𝑘2

𝑎𝑛1 𝑥1 + 𝑎𝑛2 𝑥2 + 𝑎𝑛3 𝑥3 … … … … … … … . +𝑎𝑛𝑛 𝑥𝑛 = 𝑘𝑛


(8.14)

and if determinant of the coefficients is not equal to zero, i.e., if


𝑎11 𝑎12 …. 𝑎1𝑛
|𝑎| = |𝑎21 𝑎22 …. 𝑎2𝑛 | ≠ 0 (8.15)
𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 …. 𝑎𝑛𝑛

Then

|𝐷1 | |𝐷2 | |𝐷𝑛 |


𝑥1 = , 𝑥2 = … … . 𝑥𝑛 =
|𝑎 | |𝑎 | |𝑎 | (8.16)

77 | K e l o m p o k 2 B
Where Dr is the determinant formed by replacing the elements a1r,a2r,………anr of the clumn of |a| by
k1,k2,k3……..kn.

8.1.2 Two Layered Earth Model

For a two layered earth problem, resistivity and thickness of the first layer are ρ1 and h1. Resistivity of
the second layer is ρ2.h2, the thickness of the second layer is infinitely high. Equations for potentials in
the two media can easily be obtained from (8.11) and (8.13). Only the kernels A1 and A2 are to be
evaluated and they can be expressed as the ratio of the two determinants. Let the denominator of the
quotient be D2, thus

𝑥 ℎ1 + 𝑥 −ℎ1 −𝑥 ℎ1
𝐷2 = | |
𝜌2 (−𝑥 + 𝑥 ) 𝜌1 𝑥 ℎ1
ℎ 1 −ℎ 1 (8.17)

obtained from (8.13) where 𝑢 = 𝑥 2 = 𝑒 −2𝑚 .

Let

𝐷2 = 𝑃2 (𝑥) + 𝐻2 (𝑥)

Then

𝑥 ℎ1 −𝑥 ℎ1
𝑃2 (𝑥) = | |
−𝜌2 𝑥 ℎ1 𝜌1 𝑥 ℎ1

= (𝜌1 − 𝜌2 )𝑥 ℎ1 = − (𝜌2 − 𝜌1 )𝑢ℎ1

= (𝜌2 + 𝜌1 )𝑘1 𝑢 ℎ1 = −(𝜌2 + 𝜌1 )𝑃2 (𝑢)


(8.18)
Where P2 (𝑢) = K1 𝑢 ℎ1 and
𝜌2 − 𝜌1
𝐾1 =
𝜌2 + 𝜌1

𝐾1 is termed as the reflection factor. Similarly

𝑥 −ℎ1 −𝑥 ℎ1
𝐻2 (𝑥) = | |
𝜌2 𝑥 −ℎ1 𝜌1 𝑥 ℎ1
= (𝜌2 + 𝜌1 ) = (𝜌2 + 𝜌1 )𝐻2 (𝑢)
(8.19)
Where H2 (𝑢) = 1. H2 (𝑢) is introduced to generate the Kernel function in the form of a recurrence
formula for an N-layered earth. For a two-layer earth 𝐷2 becomes

𝐷2 = (𝜌2 + 𝜌1 ) [𝐻2 (𝑢) − 𝑃2 (𝑢)]


(8.20)
Surface Kernel A1

78 | K e l o m p o k 2 B
For a two-layer earth, the numerator of the quotient of the (8.13) obtained from (8.11) is given by

0 −𝑥 ℎ1
𝑁21 = | ℎ |
(𝜌2 − 𝜌1 )𝑥 1 𝜌1 𝑥 ℎ1 (8.21)
By adding the second column of the determinant with the first column, we get

𝑁21 = −𝑃2 (𝑥) = (𝜌2 + 𝜌1 )𝑃2 (𝑢)


(8.22)
Therefore the Kernel A1 for a two layer earth is

𝑁21 𝑃2 (𝑢)
= −𝑞
𝐷2 𝐻2 (𝑢) − 𝑃2 (𝑢) (8.23)
This is a surface kernel because for surface geophysics where the measurements are taken on the
surface of the earth, we are mostly interested in A1.

Subsurface Kernel A2

For the Kernel A2, the numerator N22 from (8.13) is given by

𝑥 ℎ1 + 𝑥 −ℎ1 0
𝑁22 = [ ] (8.24)
𝜌2 (−𝑥 −ℎ1 +𝑥 −ℎ1 ) (𝜌2 − 𝜌1 )𝑥 ℎ1
Let

𝑁22 = (𝑁22 )1 + (𝑁22 )2

Where
ℎ1
(𝑁22 )1 = [ 𝑥 ℎ1 0
]
−𝜌2 𝑥 (𝜌2 − 𝜌1 )𝑥 ℎ1

And
−ℎ1
(𝑁22 )2 = [ 𝑥 −ℎ1 0
]
−𝜌2 𝑥 (𝜌2 − 𝜌1 )𝑥 ℎ1 (8.25)

By adding the first column of (N22), to its second column it can be shown that (N22)1 = −P2(x) = (ρ2 +
ρ1)P2(u) and

(𝑁22 )2 = (𝜌2 + 𝜌1 )𝑘1 = (𝜌2 + 𝜌1 ) [1 + 𝑘1 − 𝐻2 (𝑢)]

where H2(u) = 1. Therefore, we can write down the expression for subsurface Kernel A2 as

𝑁22 1 + 𝑘1
𝐴2 = = 𝑞[ − 1]
𝐷2 𝐻2 (𝑢) − 𝜌2 (𝑢) (8.26)

8.1.3 Three Layered Earth Model

For a three layered earth, the kernels to be determined from the (8.13) are A1, A2, B2 and A3. Only A1 is
the surface kernel. The denominator D3 of (8.13) can be written as

79 | K e l o m p o k 2 B
𝑥 ℎ1 + 𝑥 −ℎ1 −𝑥 ℎ1 −𝑥 −ℎ1 0
ρ (−𝑥 ℎ1 + 𝑥 −ℎ1 ) ρ1 𝑥 ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1 0 (8.27)
𝐷3 = 2
0 𝑥 ℎ2 𝑥 −ℎ2 −𝑥 ℎ2
[ 0 −ρ3 𝑥 ℎ2 ρ3 𝑥 −ℎ2 ρ2 𝑥 ℎ2 ]
Let 𝐷3 = 𝑃3 (𝑥) + 𝐻3 (𝑥)

Where

𝑥 ℎ1 −𝑥 ℎ1 −𝑥 −ℎ1 0
−ρ2 𝑥 ℎ1 +ρ1 𝑥 ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1 0 (8.28)
𝑃3 (𝑥) =
0 𝑥 ℎ2 𝑥 −ℎ2 −𝑥 ℎ2
[ 0 −ρ3 𝑥 ℎ2 ρ3 𝑥 −ℎ2 ρ2 𝑥 ℎ2 ]

and

𝑥 ℎ1 −𝑥 ℎ1 −𝑥 −ℎ1 0
ρ 𝑥 −ℎ1 ρ1 𝑥 ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1 0 (8.29)
𝐻3 (𝑥) = 2
0 𝑥 ℎ2 𝑥 −ℎ2
−𝑥 ℎ2

[ 0 −ρ3 𝑥 ℎ2 ρ3 𝑥 −ℎ2 ρ2 𝑥 ℎ1 ]

Let us now consider the determinant 𝑃3 (𝑥). Multiplying the third row by ρ2 and adding it to the fourth
row, we get

𝑃2 (𝑥) −𝑥 −ℎ1 0
−ℎ1 (8.30)
−ρ1 𝑥 0
𝑃3 (𝑥) = ℎ2 −ℎ2
0 𝑥 𝑥 −𝑥 ℎ2
[0 −(ρ3 − ρ2 )𝑥 ℎ2 (ρ3 + ρ2 )𝑥 −ℎ2 0 ]

Developing it with respect to the last column, we get

−𝑥 −ℎ1
𝑃3 (𝑥) = −𝑥 ℎ2 | 𝑃2 (𝑥) ρ1 𝑥 −ℎ1 | (8.31)
0 (ρ3 − ρ2 )𝑥 ℎ2 (ρ3 + ρ2 )𝑥 −ℎ2

Developing next with respect to the last row, we get

𝑥 ℎ1 −𝑥 −ℎ1
𝑃3 (𝑥) = (ρ3 + ρ2 ) 𝑃2 (𝑥) + (ρ3 − ρ2 )𝑥 2ℎ2 | |
−ρ2 𝑥 ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1

= (ρ3 + ρ2 )[𝑃2 (𝑥) − 𝑘2 𝑥 2ℎ2 𝐻2 (𝑥 −1 ) ] (8.32)

where

80 | K e l o m p o k 2 B
𝑥 ℎ1 −𝑥 −ℎ1 (8.33)
𝐻2 (𝑥 −1 ) = | |
ρ2 𝑥 ℎ1 ρ1 𝑥 −ℎ1

It differs from the determinant 𝐻2 (𝑥) only in the power of x. Here k2, the reflection factor at the
boundary between the second and third layer is equal to

𝑘2 = (ρ3 − ρ2 )/(ρ3 + ρ2 )

Therefore

𝑃3 (𝑥) = −(ρ2 + ρ1 )(ρ3 + ρ2 ) [𝑃2 (𝑢) + 𝑘2 𝑢 ℎ2 𝐻2 (𝑢−1 ) ] (8.34)


= −(ρ2 + ρ1 )(ρ3 + ρ2 )𝑃3 (𝑢)
where

𝑃3 (𝑢) = 𝑃2 (𝑢) + 𝑘2 𝑢ℎ2 𝐻2 (𝑢 −1 )


= 𝑘1 𝑢 ℎ1 + 𝑘2 𝑢 ℎ2
(8.35)
Similarly

−𝑥 −ℎ1
𝐻3 (𝑥) = 𝑥 ℎ2 | 𝐻2 (𝑥) −ρ1 𝑥 −ℎ1 |
0 −(ρ3 − ρ2 )𝑥 ℎ2 (ρ3 + ρ2 )𝑥 −ℎ2
𝑥 −ℎ1 −𝑥 −ℎ1
= (ρ3 + ρ2 ) 𝐻2 (𝑥) + (ρ3 − ρ2 )𝑥 2ℎ2 | |
ρ2 𝑥 −ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1
= (ρ3 + ρ2 )[𝐻2 (𝑥) − 𝑘2 𝑥 2ℎ2 𝑃2 (𝑥 −1 ) ] (8.36)

where

𝑥 −ℎ1 −𝑥 −ℎ1
𝑃2 (𝑥 −1 ) = | |
−ρ2 𝑥 −ℎ1 ρ1 𝑥 −ℎ1
= (ρ2 + ρ1 )(ρ3 + ρ2 )𝐻3 (𝑢) (8.37)
Here

𝐻3 (𝑢) = 𝐻2 (𝑢) + 𝑘2 𝑢 ℎ2 𝑃2 (𝑢−1 )


= 1 + 𝑘1 𝑘2 𝑢ℎ2 −ℎ1
(8.38)
and

𝐷3 = (ρ2 + ρ1 )(ρ3 + ρ2 )[𝐻3 (𝑢) − 𝑃3 (𝑢)] (8.39)

Surface Kernel 𝑨𝟏

For the Kernel 𝐴1 , in a three layered earth model the numerator of the quotient from (8.13) is given by

81 | K e l o m p o k 2 B
0 −𝑥 −ℎ1 −𝑥 −ℎ1 0
(ρ2 − ρ1 )𝑥 ℎ1 ρ1 𝑥 ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1 0 (8.40)
𝑁31 =
0 𝑥 ℎ2 𝑥 −ℎ2 −𝑥 ℎ2
[(ρ3 − ρ2 )𝑥 ℎ2 −ρ3 𝑥 ℎ2 ρ3 𝑥 −ℎ2 ρ2 𝑥 ℎ2 ]

The value of this determinant is

𝑁31 = −𝑃3 (𝑥) = (ρ2 + ρ1 )(ρ3 + ρ2 )𝑃3 (𝑢)

Therefore

𝑁31 𝑃3 (𝑢) (8.41)


𝐴1 = =𝑞
𝐷3 𝐻3 (𝑢) − 𝑃3 (𝑢)

Surface Kernel 𝑨𝟐

The numerator for the Kernel 𝐴2 , may be written from (8.13) as

𝑥 ℎ1 + 𝑥 −ℎ1 0 −𝑥 −ℎ1 0
ρ (−𝑥 + 𝑥 ) (ρ2 − ρ1 )𝑥 ℎ1
ℎ 1 −ℎ 1 −ρ1 𝑥 −ℎ1 0 |
𝑁32 = || 2 | (8.42)
0 0 𝑥 −ℎ2 −𝑥 ℎ2
0 (ρ3 − ρ2 )𝑥 ℎ2 ρ3 𝑥 −ℎ1 ρ2 𝑥 ℎ1
= (𝑁32 )1 + (𝑁32 )2

where

𝑥 ℎ1 0 −𝑥 −ℎ1 0
−ρ 𝑥 −ℎ1 (ρ2 − ρ1 )𝑥 ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1
0 | (8.43)
(𝑁32 )1 = || 2 |
0 0 𝑥 −ℎ2 −𝑥 ℎ2
0 (ρ3 − ρ2 )𝑥 ℎ2 ρ3 𝑥 −ℎ2 ρ2 𝑥 ℎ1

and

𝑥 ℎ1 0 −𝑥 −ℎ1 0
ρ 𝑥 −ℎ1 (ρ2 − ρ1 )𝑥 ℎ1 −ρ1 𝑥 −ℎ1 0 |
(𝑁32 )2 = || 2 ℎ2 | (8.44)
0 −𝑥 ℎ2 𝑥 −ℎ2
−𝑥
0 ρ3 𝑥 ℎ2 ρ3 𝑥 −ℎ2 ρ2 𝑥 ℎ1
(𝑁32 )1 can be shown to be equal to

= −𝑃3 (𝑥) = (ρ2 + ρ1 )(ρ3 + ρ2 )𝑃3 (𝑢) (8.45)

AYU WULANDARY (NIM R1A121038)

82 | K e l o m p o k 2 B
Subsurface Kernel B2

The determinant N33 for the numeraotor of the kernel B2 is

𝑥 ℎ1 + 𝑥 −ℎ1 0 −𝑥 ℎ1 0
ℎ1 −ℎ1
−𝑥 + 𝑥
|𝜌 ( ) (𝜌2− 2 )𝑥 ℎ1 − 1 𝑥 − ₕ1 0|
𝑁32 = 2 0 (8.42)
| 0 |
0
(3 − 2 )𝑥ₕ2 3 𝑥 − ₕ1 ₂𝑥ₕ¹

= (N₃₂)₁ + (N₃₂)₂

Where

𝑥 ℎ1 0 −𝑥 ℎ1 0
(𝑁32 )1 = |
−𝜌2 𝑥ₕ1
(𝜌2− ₁ )𝑥 ℎ1
− 1 − 1
𝑥 ₕ 0
| (8.43)
0 0 ⁻𝑥ₕ₂
0 (3 − 2 )𝑥ₕ2 3 𝑥 − ₕ2 2 𝑥ₕ1

and

𝑥 ℎ1 0 −𝑥 ℎ1 0
−𝜌2 𝑥ₕ1 (𝜌2−  )𝑥 −  𝑥 ₕ 0 |
1 ℎ1 1 − 1
(𝑁32 )1 = | − (8.44)
| 0 0 𝑥 ₕ2 |
3
0 3 𝑥 − ₕ2 3 𝑥 − ₕ2  𝑥ₕ2

(𝑁32 )1 can be shown to be equal to

= −𝑃 3 (𝑥) = (2 + 1 )(3 + 2 )𝑃 3 (𝑢). (8.45)

83 | K e l o m p o k 2 B
General Expressions for the Surface and Subsurface Kernels for an N-Layered Earth
After deriving the expressions for the surface and subsurface kernels upto a three
layered earth, we write down the recurrence formulae for the kernels for an N-layered earth
and write down the expressions for the potentials in different media.

84 | K e l o m p o k 2 B
85 | K e l o m p o k 2 B
where BNN(u) = 1, it should be noted that BN(N−1)(u) = 1. For the kernels BiN and DiN where I
stands for the ith layer and N stands for the total number of layers.
Kernels in Different Layers for a Five Layered Earth
In this section we are presenting the values of the kernels PN (u), HN (u), BiN (u) and
DiN (u) for a five layered earth model. One can just write down the expressions of the surface
and subsurface kernels for any number of layers. Let ρ1 , ρ2 , ρ3 , ρ4 , ρ5 are the restivities of
the five layers and h1, h2, h3, h4 and h5 are the thicknesses of the five layer where the last layer
thickness is infinitely large. From the general expressions for the kernels for an N-layered earth,
we can write the expressions for these surface and subsurface kernels as follows:
A. Surface Kernels
B. Subsurface Kernels

Potentials in Different Media

Substituting the values of surface and subsurface kernels, we can write the expressions
for the potentials in different media as

86 | K e l o m p o k 2 B
Kernel A1 is regularly used by the geophysicists to compute the apparent resistivity for
an one-dimensional N-layered earth problem. Apparent resistivity is defined as the resistivity of
a fictitious homogeneous medium, which generates the same potential in the potential
electrodes as one gets for an inhomogeneous earth. Apparent resistivity is expressed as ρa = K
∆φ I , where K is the geometric factor, I is the current and ∆φ is the potential difference
between the two potential electrodes created by the direct current flow field. For two electrode
system, i.e. for one current and one potential electrodes ∆φ = φ, because the other potential
electrode is kept away by about 10 time the distance between current and potential electrodes.
Once the expression for potential for an N layered earth for two-electrode system is obtained,

87 | K e l o m p o k 2 B
one can compute potential for any other electrode configuration. Potential at a point due to
different sources and sinks can be added or subtracted as the case may be (mentioned in Chap.
7). One can get deeper and deeper information about the subsurface by gradual increase in
electrode separation. Further details about D.C. resistivity sounding, electrode configuration,
concept of apparent resistivity is outside the scope of this book. The readers may consult Keller
and Frisehknect (1966), Bhattacharya and Patra (1968), Koefoed(1979) and Zhdanov and Keller
(1994). The constants in potential functions, which are determined applying boundary
conditions, are kernel functions because they contain information about all the layer
parameters. The expressions of the kernels are shown in (8.66) to (8.85).

Subsurface Kernel B2

The determinant N33 for the numeraotor of the kernel B2 is

KAMELYA SURATMAN (R1A121048)

zone is surrounded by uncontaminated zone of resistivity ρ3 . Radii of the inner and outer boundaries
are respectively given by r2 and infinity. Thickness of the bed is also assumed to be infinitely high so that
the effects of shoulder beds are negligibly small. Effect of the transitional invaded zone in between the
flushed zone and the uncontaminated zone is discussed in the next section where nonlaplacian equation
will be involved in generating potential functions. Here the potential φ is a function of r and z. In a
source free region the potential satisfies Laplace equation,

88 | K e l o m p o k 2 B
The solutions of this equation are sin mz and cos mz.

The solution of the second equation is

I0(mr) and K0(mr) (8.92)

where I0(mr) and K0(mr) are respectively the modified Bessel’s function of first and second kind and of
zero order. Since inside a borehole, the potential will be independent of sign of Z, i.e. with respect to the
source point, the potential above or below the source point will be same provided the distance from the
source remains the same. Therefore cos mz will be the proper potential function and not sin mz. The
general solution of the potential function is

8.2 Potential due to a Point Source in a Borehole

89 | K e l o m p o k 2 B
where A(m) and B(m) are arbitrary kernel functions. For this problem, the Weber Lipschitz’s integral can
be written as

Therefore, the potential due to a point source is

90 | K e l o m p o k 2 B
Since I0(mr) will be the better potential function within the borehole or medium 1.

Therefore the potential in medium 1 is

Φ1 = φ0 + φ/

where φ0 is the source potential and φ / is the perturbation potential. Here

8 Direct Current Field Related Potential Problems

Where,

where

91 | K e l o m p o k 2 B
Where

8.2 Potential due to a Point Source in a Borehole

MUHAMMAD ICKSAN AKBAR (R1A121020)

92 | K e l o m p o k 2 B
This section deals with the boundary value problems where resistivity of a medium is assumed to vary
continuously with depth or radial distance. The place where physical property of the earth changes
continuously with depth, the nature of the boundary value problem changes because of the inclusion of
nonlaplacian terms. The resistivity ρ is assumed to be a function of depth Z. There are some zones in the
subsurface where resistivity varies continuously with depth. As for example, in a hard rock area,
weathered granite overlies hard and compact granite. It may be a transitional zone where resistivity
increases continuously with depth. In a borehole the mud filtrate invades through the porous and
permeable zone because of high borehole pressure andan invaded zone is formed surrounding the
borehole wall. It is always a transition zone, where resistivity varies continuously along the radial
direction.

For a transitional earth ρ is either a function of z or r or both r, z. In this section treatments for both ρ =
f(z) and f(r) are given. When ρ = f(z), the starting equation in a source free region and for an isotropic
earth is

𝑑𝑖𝑣 𝑗 = 0

⇒ 𝑑𝑖𝑣(𝜎 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜑) = 0

⇒ 𝜎 𝑑𝑖𝑣 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜑 + 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜎 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜑 = 0

1
⇒ 𝛻2𝜑 + 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜎 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝜑 = 0
𝜎 (8.123)
If we take cylindrical co-ordinates with z axis downward for φ = f(r, z), (8.123) can be written as

𝜕𝜎 𝜕𝜑 𝜕𝜎 𝜕𝜑
𝜎𝛻 2 𝜑 + . + . =0
𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑧 𝜕𝑧 (8.124)

𝜕𝜎
If we assume that ∂r
= 0 i, e., the lateral variation in conductivity or resistivity is absent (8.124) changes
to the form

1 𝜕𝜎 𝜕𝜑
𝛻2𝜑 + . . =0
𝜎 𝜕𝑧 𝜕𝑧 (8.125)

Here conductivity varies continuously with depth (Fig. 8.4). Therefore, we can write (8.125) as

𝜕2𝜑 1 𝜕𝜑 1 𝜕𝜎 𝜕𝜑 𝜕 2 𝜑
+ . + . + =0 (8.126)
𝜕𝑟 2 𝑟 𝜕𝑟 𝜎 𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑧 2

Using the method of separation of variables, we obtain

𝜑 = 𝑅 (𝑟)𝑍(𝑧)

d2 𝑅 1 𝑑𝑅
2
+ . − 𝑚2 𝑅 = 0 (8.127)
𝑑𝑟 𝑟 𝑑𝑟

93 | K e l o m p o k 2 B
d2 𝑍 1 𝑑𝜎 𝑑𝑍
+ . . − 𝑚2𝑍 = 0 (8.128)
𝑑𝑧 2 𝜎 𝑑𝑧 𝑑𝑧

To solve this problem, we need to know the value of dσ/dz . Let the solution of the second (8.128) be
Z(m,z). The solution of the first equation is J0(mr) and Y0(mr).Since J0(mr) is a better behaved potential
function at r = 0, the expression for the potential is
𝛼
𝜑 = ∫ 𝐴(𝑚 )𝑍 (𝑚𝑧) 𝐽0 (𝑚𝑟) 𝑑𝑚
0
(8.129)
Now applying the first boundary condition i.e.

𝜕𝜑
= 0 𝑎𝑡 𝑧 = 0
𝜕𝑧

we get
𝛼
𝜕𝜑
= ∫ 𝐴(𝑚 )𝑍′ (𝑚𝑧) 𝐽0 (𝑚𝑟) 𝑑𝑚
𝜕𝑧 0
(8.130)


𝑑𝑍 (𝑚, 𝑧)
𝑍′ =
𝑑𝑧

From this boundary condition, we can write


𝛼
∫ 𝐴(𝑚 )𝑍 ′ (𝑚𝑧) 𝐽0 (𝑚𝑟) 𝑑𝑚 = 0 𝑎𝑡 𝑧 = 0
0
(8.131)
𝛼
Since ∫0 𝑚𝐽0 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 = 0 always from the theory of Bessel’s function, (Watson 1966), therefore

𝐴(𝑚 )𝑍 ′ (𝑚𝑧)(𝑚, 0) = 𝐴 (𝑚 )𝑍 ′ (𝑚, 0) = 𝐶𝑚. 𝑚

Where Cm is a Constant.

Hence

𝐶𝑚. 𝑚
𝐴(𝑚 ) =
𝑍′(𝑚, 0) (8.132)
And
𝛼
𝐶𝑚. 𝑚
𝜑(𝑟, 𝑧) = ∫ 𝑍 (𝑚𝑧)𝐽0 (𝑚𝑟)𝑑𝑚
0 𝑍′(𝑚, 0)
𝛼

= 𝐶 ∫ 𝑘 (𝑚𝑧) 𝐽0 (𝑚𝑟)𝑑𝑚 (8.133)


0

SELFIA ( R1A121024)

94 | K e l o m p o k 2 B
Therefore, the general solution of the equation

𝜙(𝑟, 𝑧) = ∫ 𝐴(λ) 𝑍(𝑧, λ)𝐽0 (λ𝑟)𝑑𝓍


0

(8.168)
𝜕𝜙
Since at the air-earth boundary vanishes, we have
𝜕𝓏

𝜕𝜙
= (λ, 𝑟)𝑍′ (𝓏, λ)𝑑λ = 0 (8.169)
𝜕𝓏

where
dZ
Z ′(z,λ) = .

We get
𝐵 (λ)
A (λ) =
𝑍′(0, λ)

Since
∞ ∞

∫ λ𝐽0 (λr)𝑑λ = 0, ϕ(𝑟1 , 𝓏) = 𝐵 ∫ λ𝐽0(λr)𝑘(𝓏, λ)𝑑λ


0 0

(8.170)

Where

𝑍(𝑧, λ)
κ (z, λ) =
𝑍′(𝑧, λ)
From homogeneous earth analogy, we get
Ip0
B=

95 | K e l o m p o k 2 B
The solution of the equation is


Ip0 Z(z, λ)
ϕ(r, z) = ∫λ . J (λ, r) dλ.
2π Z′(0, λ) 0
0

(8.171)

8.3.2 Potential for a Layered Earth with a Sandwitched Transitional Layer


In this section, a three layer earth is assumed in which the second layer is a transitional layer where σ =
f(Z) (Fig. 8.5). The conductivity of the first and second layer are respectively σ1 and σ3. Thickness of the
first and second layer are respectively h1 and h2; thickness of the third layer is infinitely high. Laplace
equation is satisfied in the first and third layer. For the second layer the non Laplacian governing
equation is (Mallick and Roy, 1968).

1 ∂σ ∂ϕ
∇2 ϕ + . = 0. (8.172)
σ ∂𝓏 ∂𝓏

In the transitional layer, the conductivity is assumed to vary linearly with depth; so we get
𝜎2−𝜎1
𝜎 = 𝜎1 + (Ζ − ℎ1 ) (8.173)
ℎ2−ℎ1

𝜎 = 𝜎1 𝑎𝑡 Ζ = ℎ1 𝑎𝑛𝑑 𝜎2 𝑎𝑡 Ζ = ℎ.

The guiding equations for solving the potential problems for the first, second and third layers are
respectively given by

∇2 ϕ1 = 0
1 ∂σ ∂ϕ
∇2 ϕ + . = 0∇2ϕ2 = 0
σ ∂𝓏 ∂𝓏

∇2 ϕ2 = 0 (8.174)
where ϕ1 and ϕ2 are the potentials in the three regions

Here

96 | K e l o m p o k 2 B
∞ ∞
−mz
ϕ1 = 𝑞 ∫ 𝑒 J0 (mr)dm + ∫ A(m)[e−mz + emz ] J0 (mr) dm (8.175)
Ο 0

ϕ2 = ∫ D (m) e−mz J0 (mr)dm (8.176)


0

In the transitional zone

𝜕 2 ϕ 1 𝜕ϕ 𝜕 2 ϕ α ∂ϕ
2
+ + 2+ =0 (8.177)
𝜕r r 𝜕r 𝜕Z σ1 + α (z − h1 ) ∂Z

Where

(𝜎2 − 𝜎1 )
α= .
(ℎ2 − ℎ1 )

Fig. 8.5. A model of a three layer earth with middle layer as a transitional layer

Applying the method of separation of variables φ = R(r) Z (z), one gets,

dR2 1 dR
+ + m2 R = 0 (8.178)
dr 2 r dr

and

dR2 α dZ
2
+ − m2 Z = 0. (8.179)
dr σ1 + α(Z − h1 ) dz

In the (8.179), we substitute

Dτ = σ1 + α(Z − h1 ).
One gets


= α.
dz

Therefore

97 | K e l o m p o k 2 B
dZ dZ dτ dΖ
= . =α
dz dτ dz dτ

and (8.179) changes to the form

𝑑 2 𝑍 1 𝑑𝑍 𝑚 2
+ − 𝑍 = 0. (8.180)
𝑑𝑟 2 𝜏 𝑑𝜏 𝛼 2

The solution of (8.180) is


ϕ = ∫ (B (m) Io (mτ/α) + C (m) 𝐾o (mτ/α))Jo (mr)dm . (8.181)


0

Now the constants A (m), B (m), C (m) and D (m) are to be evaluated from the boundary conditions.

∂ϕ1 ∂ϕ
ϕ1 = ϕ and = at Z = h1
∂Z ∂Z
∂ϕ ∂ϕ2
ϕ2 = ϕ and = at Z = h2 .
∂Z ∂Z

Applying the boundary conditions, we get

𝑚𝜏1 𝑚𝜏1
𝑞𝑒 −𝑚ℎ1 + 𝐴 (𝑚)[𝑒 −𝑚ℎ1 + 𝑒 𝑚ℎ1 ] = 𝐵 (𝑚)𝐼0 [ ] + 𝐶 (𝑚)𝐾0 [ ]
𝛼 𝛼
(8.182)
𝑚𝜏1 𝑚𝜏1
−𝑞𝑒 −𝑚ℎ1 + 𝐴(𝑚)[−𝑒 −𝑚ℎ1 + 𝑒 𝑚ℎ1 ] = 𝐵 (𝑚)𝐼1 [ ] − 𝐶 (𝑚)𝐾1 [ ]
𝛼 𝛼
(8.183)
𝑚𝜏2 𝑚𝜏2
𝐷 (𝑚)𝑒 −𝑚ℎ2 = 𝐵 (𝑚)𝐼0 [ ] + 𝐶 (𝑚)𝐾0 [ ]
𝛼 𝛼

(8.184)
𝑚𝜏2 𝑚𝜏2
−𝐷 (𝑚)𝑒 −𝑚ℎ2 = 𝐵 (𝑚)𝐼1 [ ] − 𝐶 (𝑚)𝐾1 [ ]
𝛼 𝛼

(8.185)

For surface geophysics, we are interested in A (m). It can be shown that

98 | K e l o m p o k 2 B
𝛾 − 1 −2𝑚ℎ1
𝑒
𝛾+1
𝐴(𝑚) = (8.186)
𝛾 − 1 −2𝑚ℎ1
1− 𝑒
𝛾+1

Where
𝑚𝜎 𝑚𝜎
𝐾0 [ 1] + 𝑢𝐼0 [ 1 ]
𝛾= 𝛼 𝛼
𝑚𝜎1 𝑚𝜎1
𝐾1 [ ] − 𝑢𝐼1 [ ]
𝛼 𝛼
Here
mσ mσ
K 0 [ 2 ] + K1 [ 2 ]
u=− α α
mσ2 mσ2 .
I0 [ ] + I1 [ ]
α α
Substituting the value of A (m) and putting z = 0, one gets the value of potential at a point on the surface
of the earth as

γ − 1 −2mh1 ∞
I 1 e
γ+1
ϕ1 (r, 0) = { +2 ∫ J (mr)dm}.
2πσ1 r γ − 1 −2mh1 0
0 1 − γ+ 1e

(8.187)

8.3.3 Potential with Media Having Coaxial Cylindrical Symmetry with a


Transitional Layer in Between
Figure (8.6) explains the geometry of the problem. In borehole geophysics an one dimensional problem
will have cylindrical boundaries. The maximum numbers of layers generally created are five. They

99 | K e l o m p o k 2 B
include (i) borehole mud, (ii) mud cake, (iii) flushed zone, (iv) invaded zone and (v) uncontaminated
zone. Figure (8.6) explains the presence of these different zones. However the readers should consult
any text book on borehole geophysics to understand these well logging terminologies. In borehole
geometry, these layers are coaxial cylinders. The effect of mud cake is negligible in the normal (two
electrode) or lateral (three electrode) log response curves. Therefore, the problem is presented as a four
layer problem. However, it can be extended to any number of layers. (Dutta, 1993, Roy and Dutta
1994).This problem is presented to show that a differential equation, not having an easy solution, can be
handled using Frobeneous power series.

The problem is framed as a boundary value problem with a point source of current on the borehole axis
having cylindrical coaxial layered media with infinite bed thickness. Invaded zone is present as one of
those layers as a transitional zone where nonlaplacian term appears. Potentials satisfy Laplace equation
in all the homogenous and isotropic media where resistivities are assumed to be constant.

Potential in the medium 1 (i.e. in the borehole) is given by


Rm I
ϕ1 = 2 ∫ K 0(mr) cos mz dm
2π rm
0

+ ∫ C1 (m) I0 (mr) cos mz dm. (8.188)


0

Fig. 8.6. A cross section of a borehole with transitional invaded zone

100 | K e l o m p o k 2 B
The first integral is a potential due to a point source. This expression is obtained after applying the
Weber Lipschitz identity. The second integral is the perturbation potential. I0 (mr) and K 0 (mr) are
respectively the modified Bessel functions of the first and second kind of order zero. Here the parameter
Rm is the resistivity of the borehole mud and rm is the radius of the borehole. m is the integration
variable, z is a point of observation in the assumed borehole, r is the radial distance from the axis of the
borehole. C1 (m) is the kernel function to be evaluated applying suitable boundary conditions. Potentials
in the second and fourth media are given by
∞ ∞

ϕ2 = ∫ C2(m)K 0 (mr) cos mz dm + ∫ C3 (m)I0 (mr) cos mz dm (8.189)


0 0

And

ϕ4 = ∫ C6 (m)K 0(mr) cos mz dm. (8.190)


0

For 𝛟𝟒 there is no integral involving I0 (mr) which tend to become infinite for large values of the
argument r.

Potential in the transitional invaded zone is derived from,

1
ϕ2 ϕ3 + grad σtr grad ϕ3 = 0 (8.191)
σtr

Where, 𝜎𝑡𝑟 is the conductivity of the transition zone and grad 𝜎𝑡𝑟 is non zero. Simplification of the
differential equation by a suitable substitution, like previous problems, was not possible in this case.
Two different situations can exist for the transition zone i.e., i) when 𝑅𝑡 < 𝑅𝑥0 𝑎𝑛𝑑 𝑖𝑖) 𝑅𝑡 > 𝑅𝑥0 . Here
Rt is the resistivity ofthe uncontaminated zone or zone 4 and Rx0 is the resistivity of the flushed zone or
zone 2. Resistivities of these two zones are assumed to be fixed. For these two cases, two different
modes of solution are presented. In the first case resistivity in the transition zone is varying linearly with
radial distance and in the second case conductivity has a linear gradient with radial distance as shown in
Part I and Part II.

Part 1: Potential Function in Transition Zone where 𝑹𝒕 < 𝑹𝒙𝟎


Since the potential is independent of the azimuthal angle, (8.191) reduces to the form, taking 𝜎𝑡𝑟 =
1⁄𝑅𝑡𝑟.

∂2 ϕ 1 ∂ϕ3 ∂2ϕ 1 ∂Rtr ∂ϕ3


∂r2
+r ∂r
+ ∂z2
−R =0 (8.192)
tr ∂r ∂r

where, R tr is the resistivity of the transition zone.

101 | K e l o m p o k 2 B
Applying the method of separation of variables, i.e., ϕ3 = R (r) Z (z), (8.192) reduces to

d2 Z
+ m2 Z = 0 (8.193)
dz2

and

d2 R 1 dR 1 dRtr dR
+ − − m2 R = 0 (8.194)
dr2 r dr Rtr dr dr

Equation (8.194) can be modified assuming linear transition in the invaded zone, i.e.,

Rt −R𝓍0
R tr = R 𝓍0 + (r − r𝓍0) (8.195)
rtr −r𝓍0

where, 𝑅𝑡𝑟 , the resistivity of the transition zone or invaded zone is a function of radial distance
𝑟. 𝑟𝑡𝑟 𝑎𝑛𝑑 𝑟𝓍0 are the radial distances of the boundaries between (i) uncontaminated zone and invaded
zone and (ii) invaded zone and flushed zone, we write

R tr = a1 + αr

Rt −R𝓍0
Where, a1 = R 𝓍0 − αr𝓍0 and α = .
rtr −r𝓍0

After a few steps of algebraic simplifications, (8.194) reduces to the form

d2 R a dR
+ = m2 R = 0. (8.196)
dr2 r(a+r) dr

Here 𝑎(= 𝑎1 /𝛼 ) is also a constant. Equation (8.195) is solved by Frobenious extended power series
assuming

R = ∑∞
P=0 AP r
p+q
(8.197)
(Kreyszig, 1985; Ayres, 1972). In this case (8.194), at r = 0, the coefficient of dR/dr is not analytic and the
extended power series method is considered for solution.

Equation (8.195) is rewritten as

r 2 R′′ + ar R′′ + a R′ − m2 r 2 R − a m2 R = 0. (8.198)


Substituting the values of R′′, R′ and R obtained from (8.197) and (8.198), where R′′ and R′ are the
second and first derivatives of R with respect to r, one gets,

102 | K e l o m p o k 2 B
∞ ∞

∑(𝑝 + 𝑞)(𝑝 + 𝑞 − 1)𝐴𝑝 𝑟 𝑝+𝑞


+ 𝑎 ∑(𝑝 + 𝑞)(𝑝 + 𝑞 − 1)𝐴𝑝 𝑟 (𝑝+𝑞−1)
𝑃=0 𝑝=0

(𝑝+𝑞−1) (𝑝+𝑞+2) (𝑝+𝑞+1)


+𝑎 ∑∞
𝑝=0(𝑝 + 𝑞 )𝐴𝑝 𝑟 − 𝑚 2 ∑∞
𝑝=0 𝐴𝑝 𝑟 − 𝑎𝑚 2 ∑∞
𝑝=0 𝐴𝑝 𝑟 = 0. (8.199)

The normal procedure is to equate the smallest power of r to zero and taking p = 0, we get

Aq(q − 1)A0 + aq A0 = 0. (8.200)


Since a and A0 are not zero, hence q has distinct double roots and both of them are zero. In order to find
out the generalised form of the expression for the coefficient A p, we equate the coefficients of r q+r−1
to obtain

(q + p − 1)(q + p − 2)Ap−1 + a(q + p − 1)(q + p)Ap + a(q + p)Ap − m2 Ap−3 − am2 = 0

(8.201)

From (8.201), one gets


1
Ap = a(q+p)2 [m2 Ap−3 + am2 Ap−2 − (q + p − 1)(q + p − 2)Ap−1 ]. (8.202)

Since (8.196) can be solved by taking the solution in the form of a Frobenious extended power series.
One of the solutions will be the (8.197) provided we can determine the coefficient 𝐴𝑝 . Since the indicial
equation has two distinct roots, (8.194) must have

∂R1
R2 =
∂q


∂ q
= [r ∑ 𝐴𝑝 𝑟 𝑃 ]
∂q
𝑃=0
∞ ∞
𝜕𝐴𝑃
= 𝑟 𝑞 ln 𝑟 ∑ 𝐴𝑃 𝑟𝑃 + 𝑟𝑞 ∑ 𝑟𝑃 (8.203)
𝜕𝑞
𝑃=0 𝑃=0

Therefore, q = 0, the two solutions are

𝑇1(𝑚, 𝑟) = 𝑅1 |𝑞=0 = ∑∞
𝑃=0 𝐴𝑝 𝑟
𝑃
(8.204)

103 | K e l o m p o k 2 B

𝑇2 (𝑚, 𝑟) = 𝑅2 |𝑞=0 = 𝑙𝑛 𝑅1 + ∑ 𝐾𝑝 𝑟𝑃 (8.205)


𝑃=0

Where

∂AP
KP = .
∂q
The generalised expression for Kp can be shown, after a few steps of simple differentiation and algebraic
simplification. Taking 𝐴0 = 1, we get

∂A1 ∂ q(q − 1)
K1 = = [− ]
∂q ∂q a(q + 1)2

1 (q+1)(2q2 −1)−2q(q−1)(q+1)
= − (q+1)⁴
. (8.206)
a

Therefore at q = 0

𝐾1 = 1⁄𝑎
and

∂A2
K2 =
∂q

2 q(q−1)
=− [am2 + ] +
a (q+q ) a[q+1]^3
1 1 (q+1)(3q2 −2q)−q2 (q−1)
[− ]. (8.207)
a(q+2)2 a (q+1)2

At q = 0

m2
K2 = −
4
∂A3
K3 = [am2 A1 + m2 A0 − (q − 2)(q + 1)A2 ]
a(q + 3)^3
104 | K e l o m p o k 2 B
MAKALAH

TEORI MEDAN POTENSIAL

OLEH

KELOMPOK 4B

1. LAODE SUMARDIN (R1A121004)


2. EMELIA KARTIKA (R1A121014)
3. NURUL YAKIN (R1A121056)
4. SUDIRMAN (R1A121064)
5. WINDA MAHYULI (R1A121068)
6. MUH. RAYHAN ABDILLAH.H (R1A121070)

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023

105 | K e l o m p o k 2 B
9.0 Variabel kompleks dan transformasi konformal dalam teori potensial

Dalam bab ini, kami telah menunjukkan (i) bagaimana varibles kompleks dapat
digunakan untuk memecahkan beberapa masalah dalam teori potensial, (ii) bagaimana kuantitas
nyata dan imajiner bersama-sama dapat mewakili garis medan dan garis ekuipotensial dan
memenuhi persamaan laplace, (iii) bagaimana fungsi analitik dan persamaan cauchy rieman
dalam variabel kompleks dapat digunakan untuk memecahkan jenis masalah dimensi tertentu.
Metode Schwarz Cristoffel transformasi konformal dapat digunakan untuk memecahkan masalah
geolektrik dimensi. Tiga jenis masalah diberikan di mana transformasi S-C digunakan. Masalah
nilai boudary ini adalah (i) di mana solusi bentuk tertutup dimungkinkan (ii) di mana solusi
bentuk tertutup tidak dimungkinkan dan seseorang harus menggunakan metode numerik dan (iii)
di mana solusi bentuk tertutup dimungkinkan menggunakan integral elips dan fungsi elips.
Untuk kepentingan siswa, pengenalan singkat tentang integral elips dan fungsi elips
ditambahkan.

9.1 Definisi fungsi analitik

Jika E adalah titik karta yang diatur dalam bidang komplax (z = x + iy), jika untuk setiap
z, rlthere ada satu atau lebih bilangan kompleks w, jika fungsi variabel kompleks z dengan nilai
ITS sama dengan w didefinisikan dalam E atau secara singkat jika w = f (z) dan jika z = x + iy
dan w = u + iy, maka kami memiliki Anda dan v sebagai fungsi x dan y (Gbr.9.1 a,b). Fungsi w
dikatakan countinuous pada suatu titik = Z0 (X0+iy0+) jika u (x, y) cenderung U0 (Xo,Y0) dan v0
(x0, y0) ketika x cenderung xo dan y cenderung y0. Fungsi seperti itu dikatakan analitik dalam
domain tertentu jika cofficient diferensial f (z) yaitu i.e.,

𝑓(Ζ)−𝑓(z0 )
𝑓 ′ (Z) = Ζ lim (9.1)
𝑧→Ζ0 𝑧−𝑧0

Exixts untuk semua jalur yang bergabung dengan z ke 𝑧0 . Kondisi neccesary dan cukup untuk
diferensiasi adalah

106 | K e l o m p o k 2 B
Gambar, 9.1 a,b. Bidang z dan w kompleks; pemetaan titik demi titik di bidang z dan w

𝜕𝑢 𝜕𝑣 𝜕𝑢 𝜕𝑣
= 𝜕𝑦 ; 𝜕𝑦 𝜕𝑥 ; (9.2)
𝜕𝑥

Dan turunan parsial ini diperhitungkan. Ketika konisi ini terpenuhi f (z) dikatakan
analitik pada titik 𝑧0

9.2 Fungsi kompleks dan turunannya

Kita dapat mendefinisikan w sebagai fungsi dari variabel z kompleks jika untuk setiap
nilai z, milik himpunan S yang ditentukan, akan ada nilai w yang sesuai atau lebih. Definisi
seperti itu terbukti terlalu umum untuk menjadi sangat berguna untuk aplikasi fisik. Jadi kita
akan membatasi atau memperhatikan kelas fungsi yang jauh lebih terbatas. Mereka yang
merupakan nilai tunggal dihitung dan memiliki satu kelas fungsi umumnya dipilih.

Dalam mendefinisikan turunan dari fungsi yang kompleks, kita harus memperkenalkan konsep
batas. Biarkan f (z) didefinisikan sebagai nilai tunggal di semua titik di nightbourhood z0 kecuali
mungkin pada dirinya sendiri. Daripada kita mengatakan bahwa f (z) mendekati batas w0. Ini
ditulis sebagai

lim → 𝑓 (Ζ) = 𝑤0 (9.3)


𝑧→Ζ0

Jika f (z) dapat dibuat sewenang-wenang dekat dengan maka di lingkungan ,z - diambil
cukup kecil. Secara aritmatika ini dinyatakan sebagai folows: sesuai dengan setiap numerik
positif yang telah ditandatangani sebelumnya tidak peduli seberapa kecil, ada angka positif
sedemikian rupa sehingga | 𝑤0 𝑧0 𝑧0 ℰ𝛿f() - | || di mana sangat kecil. Agar suatu fungsi menjadi
kontinu pada suatu titik yaitu, agar f (z) kontinu pada , persyaratan dasarnya adalah f () harus ada
pada yaitu,𝓏𝑤0 < ℰ𝑤ℎ𝑒𝑛𝑒𝑣𝑒𝑟0 < 𝓏 − 𝓏0 < 𝛿, 𝛿𝑧0 𝑧0 𝑧0

107 | K e l o m p o k 2 B
lim → 𝑓 (Ζ) = 𝑓(𝑧0 ).
𝑧→Ζ0

Definisi ini juga berlaku di mana lics pada batas wilayah tertutup.𝑧0

Mari kita letakkan

W = f(z) = u(x, y) + iv(x, y). (9.4)

Dua bilangan kompleks al sama jika dan hanya jika bagian nyata dan imajinernya secara terpisah
sama,

9.2 Fungsi kompleks dan turunannya

lim u(x, y) = u( (9.𝑥0 , y0 ) (9.5)


𝑥→0
𝑦→0

lim 𝜐(x, y) = ( (9.𝜐𝑥0 , y0 ) (9.6)


𝑥→0
𝑦→0

Dan jalan pergerakan mereka terletak di dalam wilayah definisi. Turunan dari f(z) sehubungan
dengan z diberikan oleh

𝑑𝑓(𝓏) 𝑓(𝓏+𝑑𝓏)− 𝑓(𝓏) Δ𝑓


𝑓 ′ (𝓏) lim lim (9.7)
𝑑𝓏 Δ𝓏→0 Δ𝓏 Δ𝓏→0 Δ𝓏

Karena ∆z = ∆x + i∆y, kita melihat bahwa ada jumlah jalur yang tak terbatas di bidang z
di mana ∆z dapat mendekati nol. Nilai unik dari turunan terlepas dari mode pendekatan,
seperangkat kondisi yang diperlukan untuk keberadaan turunan unik pada suatu titik diperoleh
(Gbr. 9.2). Tentu saja jika nilai batas yang diperoleh dengan terlebih dahulu menetapkan ∆y = 0
dan kemudian mengizinkan ∆x mendekati nol, turunannya tidak independen dari jalur. Jika kita
pertama kali menempatkan ∆x = 0, (9,7) menjadi

d𝑓 f(𝓏+𝑖Δ𝑦)−𝑓(𝑧)
= (9.8)
d𝓏 𝑖Δ𝑦

u(x,y+Δ𝑦)−𝑢(𝑥,𝑦) i[u(x,y+Δ𝑦)−𝑣(𝑥,𝑦)]
= + lim (9.9)
Δ𝑦→0 𝑖Δ𝑦 𝑖Δ𝑦

108 | K e l o m p o k 2 B
𝜕𝑢 𝜕𝑣
= -i + . 𝜕𝑦 𝜕𝑦 (9.10)

Ara. 9.2. Pergerakan di bidang-z untuk menentukan turunannya (Kondisi Cauchy Reimann)

Demikian pula, menempatkan ∆y → 0 dan mengambil batas

d𝑓 𝑓(𝑧+Δ𝑥,𝑦)−𝑓(𝑧)
= lim
d𝓏 Δ𝑥→0 𝑖Δ𝑥

(9.11)

u(x+Δ𝑥,𝑦)−𝑢(𝑥,𝑦) i [u(x+Δ𝑥,𝑦)−𝑢(𝑥,𝑦)]
⇒ lim +. (9.12)
Δ𝑥→0 Δ𝑥 Δ𝑥

𝜕𝑢 𝜕𝑣
= +.𝜕𝑥 𝑖 𝜕𝑥

Kedua ekspresi untuk turunan ini sama jika dan hanya jika

𝜕𝑢 𝜕𝑣 𝜕𝑢 𝜕𝑣
= = - 𝜕𝑦 ; 𝜕𝑦 (9.13)
𝜕𝑥 𝜕𝑥

𝑑𝑓 𝜕𝑢 𝜕𝑣 𝜕𝑣 𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑣 𝜕𝑣
⇒ 𝑑𝑧 = + i = i i𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑦 − 𝜕𝑦 = 𝜕𝑥 − 𝜕𝑦 𝜕𝑦 + 𝜕𝑥. = i (9,14)

109 | K e l o m p o k 2 B
Fungsi f (z) dari variabel kompleks z dikatakan analitik pada titik z0, jika bernilai tunggal
dan memiliki turunan tidak hanya pada z0 tetapi pada setiap titik di lingkungan z0. Jika tidak,
titik z0 adalah titik tunggal dari fungsi analitik. Jika f (z) adalah analitik pada setiap titik domain
D, maka, membedakan persamaan pertama sehubungan dengan persamaan x dan kedua
sehubungan dengan y, kita memiliki,

𝜕 2v 𝜕 2v 𝜕 2 u 𝜕 2u
𝜕𝑥 2 = dan = - . 𝜕𝑥𝜕𝑦 𝜕𝑦 2 𝜕𝑥𝜕𝑦

Jadi

𝜕 2v 𝜕2v
+ = 0. 𝜕𝑦 2 (9.15)
𝜕𝑥 2

Demikian pula, kami mendapatkan

𝜕2u 𝜕2u
+ = 0. 𝜕𝑦 2 (9.16)
𝜕𝑥 2

Baik bagian nyata dan imajiner dari fungsi kompleks adalah fungsi analitik, dan mereka
memenuhi persamaan Laplace dalam dua dimensi

ν(x, y) = C1 adalah keluarga kurva di mana C1 konstan.

𝜕𝑦
𝔪1 = = + (/)/ (𝜕𝑥 𝜕𝑢𝜕𝑥𝜕𝑢𝜕𝑦) (9.17)

𝜕𝑦
𝔪1 = = + (/)/ (/). 𝜕𝑥 𝜕𝑢𝜕𝑥𝜕𝑢𝜕𝑦 (9.18)

Demikian pula u(x, y) = C2, di mana C2 adalah konstanta lain

𝜕𝑦
𝔪2 = = + (/)/ (/). 𝜕𝑥 𝜕𝑣𝜕𝑥𝜕𝑣𝜕𝑦 (9.19)

Sekarang mengambil produk m1 dan m2, kami memiliki

110 | K e l o m p o k 2 B
Ara. 9.3. Properti ortogonal Anda dan v fungsi

𝜕𝑢/𝜕𝑥.𝜕𝑣/𝜕𝑥
𝔪1 . 𝔪2 = = -1. 𝜕𝑢/𝜕𝑦.𝜕𝑣/𝜕𝑦 (9.20)

Kedua set garis singgung ini bersifat ortogonal (Gbr. 9.3). Oleh karena itu, jika Anda (x, y)
adalah garis ekuipotensial maka ν, (x, y) akan menjadi garis bidang. Dengan demikian terbukti
bahwa jika U dan v adalah fungsi analitik dalam bidang yang kompleks maka mereka memenuhi
persamaan Laplace dan kemiringan garis singgung saling ortogonal. Oleh karena itu Anda dan v
dapat digunakan untuk menunjukkan ekuipotensial dan garis bidang.

9.3 Pemetaan Konformal

Persamaan (9.14) biasanya dikenal sebagai persamaan Cauchy Riemann. Interpretasi


geometris turunan | |= |f ′ (z)| adalah ukuran pemanjangan elemen dalam bidang-z ketika
dipindahkan ke bidang-w. Arg {f ′ (z)} ditafsirkan sebagai rotasi elemen dz sehubungan dengan
elemen dw. Arg adalah singkatan dari argumen dalam jumlah yang kompleks. Ini diwakili dalam
𝑑𝑤
bentuk sudut yang mirip dengan sudut fase dalam elektromagnetik. 𝑑𝑧

Jika kita menggambar dua kurva melalui titik z0 di bidang z dan menggambar dua garis
singgung pada z0 dan memetakan dua kurva di bidang w dengan fungsi w = f(z) yang analitik di
suatu wilayah sehingga f′ (z) tidak lenyap (karena jika tidak, pemetaan tidak akan menjadi satu
banding satu) dan menggambar garis singgung ke masing-masing kurva pada titik persimpangan,
sudut antara kedua garis singgung tetap invarian di bawah pemetaan. Properti pemetaan ini
disebut pemetaan konformal dalam domain analitik (Gbr. 9.4 a,b). Jika indera sudut
dipertahankan bersama dengan besarnya, itu disebut pemetaan konformal dari jenis pertama dan
jika indera dipertahankan menjaga besarnya konstan, itu disebut pemetaan konformal dari jenis
kedua.

Potensi kompleks, yang merupakan fungsi analitik, harus memiliki singularitas pada tak
terhingga jika tidak maka akan berkurang menjadi konstanta. Interpretasi fisik dari singularitas
dapat diberikan. Menurut definisi, singularitas adalah titik-titik di mana suatu fungsi berhenti
menjadi analitik. Titik-titik tersebut justru merupakan titik-titik di mana sumber-sumber fisik

111 | K e l o m p o k 2 B
yang menimbulkan potensi berada. Titik tunggal dalam bidang kompleks dapat berupa kutub,
nol, singularitas esensial atau titik cabang Spiegel (1964).

Ara. 9.4. a,b. Tunjukkan pergerakan suatu titik di bidang Z dan gerakan yang sesuai di bidang
W di mana sudut gerakan dipertahankan

Pemetaan dikatakan satu lawan satu di atas domain terbatas bidang-z jika ada fungsi
transformasi terbalik z = f−1 (w) yang akan memetakan bidang-w ke bidang-z. Biarkan w(z) =
u(x, y) + iν(x, y). Kita dapat menemukan nilai pada x dan y jika Jacobians bukan nol. yaitu J

𝜕𝑢 𝜕𝑢
𝑢,𝑣 𝜕𝑥 𝜕𝑦
J| 𝑥,𝑦| = . |𝜕𝑣 𝜕𝑣
| ≠0 (9.21)
𝜕𝑥 𝜕𝑦

Saat memanfaatkan kondisi Cauchy Riemann ke dalam (9.20), Jacobian dapat ditunjukkan
sebagai

𝑢,𝑣
J|𝑥,𝑦| = . |𝑓’(𝑧)|2 (9.22)

Ini berarti bahwa fungsi transformasi terbalik ada jika f′ (z) = 0.

Sekarang dengan asumsi bahwa fungsi transformasi terbalik ada dan dapat ditemukan, mari kita
ambil transformasi fungsi potensial yang kompleks. Biarkan φ (z) menjadi potensi kompleks di
bidang-z

Φ(𝑧) = U(x,y) + iV(x,y). (9.23)

Kita akan mengganti z dengan w menggunakan fungsi pemetaan terbalik

Φ(𝑓 −1 (𝑤)) = U(u,v) + iV(u,v). (9.24)

112 | K e l o m p o k 2 B
Dapat ditunjukkan bahwa U(u, ν) dan V(u, ν) memenuhi persamaan Laplace.

Kami tahu

𝜕2 𝜕2 𝜕 𝜕 𝜕 𝜕
(𝜕𝑥 2 + 𝜕𝑦 2 ) = (𝜕𝑥 + i 𝜕𝑦) (𝜕𝑥 − i 𝜕𝑦) (9,25)

sekarang

𝜕 𝜕𝑢 𝜕 𝜕𝑣 𝜕
= + 𝜕𝑥 𝜕𝑢 𝜕𝑥 𝜕𝑢 (9,26)
𝜕𝑥

dan

𝜕 𝜕𝑢 𝜕 𝜕𝑣 𝜕
i = +. i i (9.27)
𝜕𝑦 𝜕𝑦 𝜕𝑢 𝜕𝑦 𝜕𝑣

Dengan menambahkan dan mengurangi (9.26) dan (9.27) dan menggunakan 9.22 kita
memperoleh

𝜕 𝜕 𝜕 𝜕
(𝜕𝑥 + i 𝜕𝑦) = 𝑓 ′ (𝑧) (𝜕𝑢 + i 𝜕𝑣) (9.28)

𝜕 𝜕 𝜕 𝜕
(𝜕𝑥 + i 𝜕𝑦)= 𝑓 ′ (𝑧) (𝜕𝑢 + i 𝜕𝑣). (9.29)

Oleh karena itu dari (9.28) dan (9.29) adalah dapatkan

𝜕2 𝜕2 𝜕 2𝑈 𝜕 2𝑈
(𝜕𝑥 2 + i 𝜕𝑦 2 )u = |. 𝑓 ′ (𝑧)|2 ( 𝜕𝑢2 + i 𝜕𝑉 2 ) (9.30)

Dari (9.30) kita dapatkan

𝜕 2𝑈 𝜕 2𝑢 𝜕 2𝑈 𝜕2𝑈
( 𝜕𝑥 2 + i 𝜕𝑉 2 ) = 0 =| 𝑓 ′ (𝑧)|2 ( 𝜕𝑢2 + i 𝜕𝑉 2 ). (9.31)

Sejak f′ (z) 0,≠

𝜕2𝑈 𝜕 2𝑉
+ = 0 dan dari (9.14) dapat ditunjukkan bahwa
𝜕𝑢 2 𝜕𝑣 2

𝜕2𝑈 𝜕2𝑈 𝜕2 𝑉 𝜕2𝑉


+ = 0 dan + 0 = (9.32)
𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2 𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2

113 | K e l o m p o k 2 B
Oleh karena itu baik U(u, ν) dan V(u, ν) akan memenuhi persamaan Laplace. Ini adalah
pendekatan alternatif untuk membuktikan bahwa fungsi analitik dalam media dua
dimensi dalam bidang kompleks memenuhi persamaan Laplace.

9.4 Transformasi

Himpunan persamaan

u = u(x,y)

v = v(x,y) (9.33)

Mendefinisikan secara umum transformasi atau pemetaan yang menetapkan


korespondensi antara titik-titik di bidang Uν dan XY. Ini (9,32) disebut persamaan transformasi.
Jika ke setiap titik bidang uv ada satu dan hanya satu titik di bidang xy dan sebaliknya, kita
berbicara tentang transformasi atau pemetaan satu lawan satu, dalam kasus seperti itu satu set
titik di bidang xy dipetakan ke satu set titik di bidang uv. Kumpulan titik yang sesuai sering
disebut gambar satu sama lain. Ketika Anda dan V adalah bagian nyata dan imajiner dari fungsi
analitik, variabel kompleks W = U + IV = F (Z) = F (x + iy) dan transformasi akan menjadi satu
lawan satu di wilayah di mana f′ (z) = 0

Pemetaan dalam bidang dikatakan sebagai pengawet sudut atau konformal jika
mempertahankan sudut antara kurva berorientasi dalam besarnya dan juga dalam arti yaitu,
gambar dari dua kurva berorientasi berpotongan yang diambil dengan orientasi yang sesuai
membuat sudut persimpangan yang sama dengan kurva baik dalam besarnya maupun arah.

Corollary 1 – Jika f (z) adalah analitik dan f′ (z) = 0 di wilayah R, maka pemetaan w = f (z)
adalah konformal di semua titik R.
Corollary 2 – Pemetaan yang didefinisikan oleh fungsi analitik f (z) adalah konformal kecuali
titik-titik di mana turunan f′ (z) adalah nol.
9.4.1 Transformasi Sederhana

Pada bagian ini kita memilih dua hubungan matematika sederhana dalam domain yang
kompleks untuk menunjukkan bahwa hubungan ini dapat menunjukkan sifat garis bidang dan
garis ekuipotensial dalam masalah dua dimensi.

114 | K e l o m p o k 2 B
Masalah 1
Dalam masalah ini, kami memilih transformasi sederhana z = k coshw (Pipes 1953) dan
menunjukkan bagaimana garis arus ortogonal dan garis ekuipotensial dalam kotak persegi di
bidang w (= u + iv) berubah menjadi elips dan hiperbola di bidang z (= x + iy) untuk mewakili
garis ekuipotensial dan garis arus untuk sumber garis terbatas.
Biar

Z = k cos w = k cos(u+iv) (9.34)

di mana k adalah konstanta nyata. (Gbr. 9.5 a,b) Untuk mempelajari transformasi ini, kita harus
menentukan kurva u = const dan v = const. Memperluas cosh(u + iv) ke dalam bagian nyata dan
imajinernya, kita dapatkan.

x + iy = k(cos u cos v + I sin u + sin v) (9.35)

x = k cos u cos v (9.36)

y = k dosa u dosa v

Ini dapat ditulis dalam bentuk

𝑋
Kos v = 𝑘 cos 𝑢

(9.37)

𝑦
Dosa v =𝑘 sin 𝑢

Oleh karena itu, pada kuadrat persamaan ini dan menambahkannya, kami memiliki

𝑥2 𝑦2
+ 𝑘 2 𝑠𝑖𝑛2 𝑢 = 1 (9.38)
𝑘 2 𝑐𝑜𝑠 2 𝑢

115 | K e l o m p o k 2 B
Ara. 9.5. a,b. Transformasi hiperbolik kosinus sederhana mengubah elips dan hiperbola di
bidang z menjadi kotak persegi di bidang w -

Jika kita menempatkan

A = k cos u (9.39)

B = k dosa u

dapat ditulis sebagai

𝑥2 𝑦2
+ = 1. 𝑏2 (9.40)
𝑎2

Ini adalah persamaan elips dengan pusatnya berada di asal dan memiliki sumbu utama panjang
2a dan sumbu minor panjang 2b. Oleh karena itu kurva u = konstanta adalah keluarga elips
confocal.

Untuk mendapatkan kurva u = konstanta, kami menulis dalam bentuk

𝑋 𝑦
Cos h u = 𝑘 cos 𝑢 dan dosa u = 𝑘 sin 𝑣 (9,41)

𝑥2 𝑦2
Cos u – dosa u = - = 1. ℎ2 ℎ2 𝑘 2 𝑐𝑜𝑠 2 𝑢 𝑘 2 𝑠𝑖𝑛2 𝑣 (9.42)

Jika kita menetapkan a′ = k cos ν dan b′ = k sin ν,

Kami punya

𝑥2 𝑦2
- = 1. 𝑏′2 Ini adalah persamaan hiperbola. (9.43)
𝑎 ′2

Untuk bidang aliran arus searah garis ekuipotensial adalah garis elips dan bidang dan garis aliran
arus hiperbolik karena sumber garis dengan panjang terbatas.

Masalah 2
Transformasi sederhana dari sumber garis dan wastafel di bidang z memetakan garis bidang dan
garis ekuipotensial dalam bidang-w.

116 | K e l o m p o k 2 B
Biar

𝑧−𝑎
W = A Masukz+ 𝑎. (9.44)

Kita telah melihat bahwa persamaannya

𝑞
W = -2𝜋𝑘 Dalam z = u + iv (9.45)

memberikan transformasi yang tepat untuk mempelajari medan listrik di wilayah sekitar silinder
melingkar bermuatan dengan pusatnya di asal dan memiliki muatan Q per satuan panjang (Gbr.
9.6a dan b). Dalam hal ini bagian sebenarnya dari transformasi adalah.

𝑞
u =- 2𝜋𝑘

In r dan bagian imajinernya adalah

−𝑞
V = 2𝜋𝑘 Dalam𝜃. (9.46)

Sekarang mari kita pertimbangkan bidang yang dihasilkan oleh muatan garis +q per satuan
panjang pada z = a dan muatan garis lain sebesar −q per satuan panjang pada z = −a. Bidang
yang dihasilkan oleh kedua biaya baris akan dijumlahkan dan diberikan oleh

𝑞 𝑞 𝑧−𝑎
W = + Dalam (z-a)-Dalam ( 2𝜋𝑘 z+a) = - Dalam ( ) (9.47)
2𝜋𝑘 z+ 𝑎

Persamaan (9,47) mewakili transformasi yang tepat untuk menentukan bidang dan ekuipotensial
dari dua muatan garis.

Biar

𝑞
A = - 2𝜋𝑘′ (9.48)

kami kemudian memiliki

𝑧−𝑎
u + iv = A Masukz+ 𝑎 (9.49)

Jika kita sekarang membiarkan jarak titik P (Gbr. 9.6 a,b) dari titik z = a dan z = −a masing-
masing menjadi r1 dan r2, kita memiliki

117 | K e l o m p o k 2 B
Z – a = 𝑟1𝑒 𝑖𝜃1 (9.50)

Z + a = 𝑟2𝑒 𝑖𝜃2 (9.51)

di mana θ1 = arg(z − a) dan θ2 = arg(z + a).


Oleh karena itu u + iν = A [ln (z - a) - ln (z + a)]
= A [Dalam-𝑟1+𝑖𝜃1 -]. 𝐼𝑛 𝑟2 𝑖𝜃2 (9.52)

Jadi

𝑟
U = A Dalam 𝑟1 (9.53)
2

Ara. 9.6. a,b. Transformasi logaritmik sederhana mensimulasikan bidang dan ekuipotensial
untuk sumber garis dan sink

Dan

V = A() 𝜃1 − 𝜃2 (9.54)

118 | K e l o m p o k 2 B
Ini adalah kurva untuk Anda = konstanta dan ν = konstanta.

Jika kita menempatkan

𝑟1
= ln u/A (9.55)
𝑟2

kemudian

𝑟1 (𝑥−𝑎)2 +𝑦 2
= 𝑒 𝑢/𝐴 = (𝑥+𝑎)2 +𝑦 2 = 𝑒 2𝑢/𝑘 =K (9.56)
𝑟2

Jadi

(1+𝐾) 2 4𝑎 2 𝐾
𝑦 2 + [𝑥 − (1−𝐾)] = (1−𝐾)2 (9.57)

Dengan demikian kita melihat bahwa kurva u = konstanta adalah keluarga lingkaran dengan
pergeseran pusat bertahap eksentrik di sepanjang garis yang bergabung dengan sumber dan
tenggelam.

2𝑎√𝑘
x = a(1 + k)/(1− k) dan r = (9.58)
1−𝑘

Lingkaran eksentrik ini adalah ekuipotensial karena sumber garis dan garis tenggelam dalam
media homogen dan isotropik.

9.5 Transformasi Schwarz Christoffel

9.5.1 Pendahuluan

Schwarz dan Christoffel secara independen mengusulkan bahwa fungsi transformasi atau
fungsi pemetaan yang sesuai dapat ditentukan untuk mentransfer masalah di bidang z ke bidang
w sedemikian rupa sehingga masalah diselesaikan di bidang w dan pada akhirnya kita dapat
kembali ke bidang-z lagi dan menyajikan jawaban akhir. Jika perlu, seseorang mungkin harus
melakukan transformasi berturut-turut tergantung pada sifat masalahnya. Seperti misalnya dalam
kasus-kasus tertentu seseorang mungkin harus pergi dari pesawat w ke pesawat t ,dari pesawat t
ke pesawat t', mendapatkan solusi di bidang t' dan akhirnya kembali ke pesawat z untuk
menyajikan jawaban akhir.
119 | K e l o m p o k 2 B
9.5.2 Transformasi Schwarz-Christoffel dari Interior Poligon

Masalah untuk menemukan fungsi pemetaan untuk memetakan interior poligon sisi-n di
bidang-z ke bagian atas bidang-w sedemikian rupa sehingga batas poligon pergi ke sumbu
sebenarnya dari bidang-w. Bagian atas bidang-w masuk ke bagian dalam poligon. Biarkan w =a 1,
a 2, a 3,...... gambar be pada sumbu nyata dari simpul poligon z = z 1, z 2, z3,...... zn. Kita akan
berasumsi bahwa 1 < a2 < 3 ....... an (Gbr. 9.7 a,b). Fungsi pemetaan harus sedemikian rupa
sehingga (i) Segmen sumbu nyata dari bidang-w yang dibatasi oleh dua gambar simpul
mengatakan, ak, ak +1 harus melewati sisi poligon yang sesuai yang bergabung dengan titik zk
dan zk +1. Ini mensyaratkan bahwa argumen fungsi pemetaan f′ (w) harus tetap konstan untuk a
𝑑𝑧
=k < w < ak+1.
𝑑𝑤

(ii) Saat kita melintasi gambar simpul, katakanlah k+1, argumen fungsi pemetaan harus
berubah secara terputus-putus dengan jumlah yang sama dengan sudut luar poligon pada z = z
k+1 katakanlah θ = πα k+1(−1 < α k+1 < 1 ) sedemikian rupa sehingga = 2 di mana (− ∑𝑛𝑘=1 𝛼𝑘 1<
α k < 1). Perhatikan bahwa w =a 1, a 2,a 3,...... an harus menjadi titik cabang dari fungsi pemetaan
karena pada titik-titik ini sudut antara garis singgung sumbu nyata tidak tetap konstan selama
transformasi.

(iii) Bagian atas bidang-w dan interior harus memiliki hubungan satu lawan satu.
Mempertimbangkan fungsi pemetaan berikut dari

𝑑𝑧
𝑑𝑤
= 𝐴(w − 𝑎1 )−𝛼1 (w − 𝑎2 )−𝛼2 (w − 𝑎3 )−𝛼3 ............,(w − 𝑎𝑛 )−𝛼𝑛

Argumen f′ (w) akan diberikan oleh (9.59)

Arg f′ (w) = Arg A − α 1 Arg ( w − a 1) − α 2 Arg (w − a2) ......... α n Arg (w − an)

(9.60)

120 | K e l o m p o k 2 B
Ara. 9.7 a,b. Tunjukkan transformasi konformal dari geometri kompleks poligon ke sumbu nyata
bidang-w

Dengan demikian perubahan bersih dalam argumen adalah πα1. Argumen tetap con-stant
sementara1 < w < 2, tetapi ketika kita melewati 2 ada peningkatan lebih lanjut dalam argumen
oleh πa2. Dengan demikian ada peningkatan argumen f′ (z) pada masing-masing simpul gambar
dengan jumlah yang sama dengan mengatakan παk pada simpul kth. Peningkatan total dalam
argumen setelah melewati n adalah

∑𝑛𝑘=1 𝜋𝛼𝑘 = 2𝜋 = 𝐴𝑟𝑔 𝐴 (9.61)

Karena argumen f′ (w) tetap konstan untuk interval apa pun pada sumbu sebenarnya dari
bidang-w, interval itu harus dipetakan ke sisi poligon. Misalnya, interval (a k + 1 - a k) harus
dipetakan ke sisi kth panjang 1 k. Ini memberi kita n hubungan.


|𝑓 𝑤| 𝑑𝑤 (𝑤𝑘 + 1) (𝑘 = 1, 2, 3 … 𝑛)
𝑎𝑘+1
1𝑘 = |𝐴| ∫𝑎𝑘 (9.62)
𝑤 𝑤𝑘

Persamaan n ini digunakan dalam menentukan n jumlah yang tidak diketahui a 1, a 2,a 3 ...... an
gambar simpul poligon.

Fungsi pemetaan f (z) adalah analitik di bidang setengah atas dan sumbu nyata kecuali pada
gambar simpul a1, 2,3 . . . . . . . . . . . Sebuahn. Titik-titik ini adalah titik cabang dalam memetakan
sumbu sebenarnya dari bidang-w. Kita harus menghindari titik-titik cabang ini dengan mengikuti
setengah lingkaran kecil yang tak terbatas dengan pusat di titik-titik cabang ini.

9.5.3 Penentuan konstanta yang tidak diketahui

Integrasi (9.58), fungsi pemetaan dapat ditulis sebagai berikut

121 | K e l o m p o k 2 B
𝑤
Z = A ∫𝑤𝑜(𝑤 − 𝑎1 )−𝛼1 (𝑤 − 𝑎2 )−𝛼2 .......... Dw. (9.63)

(𝑤 − 𝑎𝑛 )−𝛼𝑛

Oleh karena itu n + 2 yang tidak diketahui adalah A, w0, a 1, a2, . . . . . . . an.α1, α 2, α3, αn
adalah eas-ily yang diberikan oleh sudut eksternal poligon. Oleh karena itu kami tidak
menganggapnya sebagai hal yang tidak diketahui. Konstanta-konstanta ini dapat ditentukan
dengan menerapkan kondisi batas yang sesuai seperti yang ditunjukkan dalam berbagai masalah
yang disajikan dalam bab ini.

9.5.4 Teorema Transformasi S-C

Ini adalah salah satu teknik transformasi paling kuat dalam domain yang kompleks. Ini
mengubah interior poligon di bidang-z ke bagian atas bidang lain, katakanlah bidang w1,
sedemikian rupa sehingga sisi poligon di bidang-z diubah menjadi sumbu sebenarnya dari
bidang-w. (Gbr. 9.7 a,b) Schwarz dan Christoffel secara independen telah menunjukkan bahwa
mengingat poligon yang diperlukan, persamaan diferensial tertentu dapat ditulis yang ketika
diintegrasikan memberikan secara langsung transformasi yang diinginkan. Pertimbangkan
ekspresinya

dz
= (𝑤 − 𝑎1 )∅1 (𝑤 − 𝑎2 )∅2 (𝑤 − 𝑎𝑛 )∅𝑛 (9.64)
dw

di mana A adalah konstanta yang kompleks; a 1,2,...... an dan φ1 , φ2 ,...... φn adalah


bilangan real dan argumennya. Karena argumen produk dari bilangan kompleks sama dengan
jumlah faktor individu, kami memiliki

dz
= arg A + φ 1 arg (w − a1) + φ 2 arg (w −a 2) (9.65)
dw

+ ...... + φn arg(w − an).

Bilangan real a1,2,...... an diplot pada sumbu sebenarnya dari bidang-w (Gbr. 9.7b). Jika w
adalah bilangan real maka argumen N r = w − ar adalah

122 | K e l o m p o k 2 B
0 𝑖𝑓 𝑤 > 𝑎𝑟
arg (w - ar) = [ ]. (9.66)
𝜋 𝑖𝑓 < 𝑎𝑟

Mari kita misalkan bahwa w melintasi sumbu sebenarnya dari bidang-w dari kiri ke kanan.
Kemudian (w − ar) akan menjadi positif jika w lebih besar dari ar dan akan negatif ketika w
kurang dari ar.

Biarkan θr = arg dz dw ketika a r < w < ar +1 .

Kami memperoleh

θr = arg A + (φ r+1 + φ r+2 + . . . . . . . . + φn )π

θ r+1 = arg A + (φ r+2 + φ r+3 + . . . . . . . .. + φn )π (9.67)

Karenanya

θ r+1 − θr = −πφr+1

Sekarang

dz dx+idy dy
Argdw = arg = tan−1 dx (9.68)
du

Kita melihat bahwa ini adalah sudut elemen dz di bidang-z berputar ke dalam pemetaan dw
di bidang w oleh transformasi S-C. Saat kita bergerak di sepanjang sisi poligon di bidang-z,
gerakan yang sesuai di bidang-w untuk korespondensi satu lawan satu akan berada di sepanjang
sumbu nyata.

Ketika titik w melewati dari kiri r +1 ke kananr +1 di bidang w, arah titik z di bidang-z
tiba-tiba berubah dengan sudut – πφr+1 diukur secara matematis dalam arti positif. Jika kita
membayangkan garis putus-putus untuk membentuk poligon tertutup maka sudut αr+1 yang
diukur antara dua sisi poligon yang berdekatan disebut sudut interior.

Kami, kemudian memiliki

αr+1 − πφr+1 = π (9.69)

123 | K e l o m p o k 2 B
Oleh karena itu =

𝛼𝑟+1
φr+1 = -1. (9.70)
𝜋

Mengganti nilai-nilai ini, kami memiliki

𝛼1−1 𝛼2−1 𝛼3−1 𝛼1−1


dz
= A (w − 𝑎1 ) 𝜋 (w − 𝑎2 ) 𝜋 (w − 𝑎3 ) 𝜋 =Sebuah dw + B ∏𝑛𝑟=1 (w − 𝑎1 ) 𝜋
dw

(9.71)

Mengintegrasikan ekspresi sehubungan dengan w, kami memiliki

𝛼1−1
Z = 𝐴 ∫ ∏𝑛𝑟=1 (w − 𝑎1 ) 𝜋 dw + B (9.72)

di mana B adalah konstanta sewenang-wenang. Transformasi ini mengubah sumbu


sebenarnya dari bidang-w menjadi poligon di bidang-z. Sudut αr adalah sudut interior poligon.
Modulus konstanta A menentukan ukuran poligon dan argumen konstanta A menentukan
orientasi poligon. Konstanta B menentukan lokasi poligon.

9.6 Masalah Geofisika pada Transformasi S-C

Masalah nilai batas dua dimensi, yang memenuhi persamaan Laplace, disajikan dalam
bagian ini dengan detail yang cukup besar hanya untuk empat masalah. Keempat masalah ini
dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu, (i) masalah di mana solusi bentuk tertutup
tersedia (ii) masalah di mana solusi bentuk tertutup tidak memungkinkan dan integrasi numerik
diperlukan untuk solusinya (iii) masalah di mana solusi bentuk tertutup dapat diperoleh dengan
menggunakan integral elips dan fungsi elips. 9.6.1 Masalah 1 Transformasi Konformal untuk
Substratum Ketebalan Terbatas Dalam masalah ini diasumsikan dua batas paralel bidang.
Wilayah di antara batas-batas tersebut merupakan bagian dalam poligon dengan satu sudut hanya
saat kita bergerak dari satu titik poligon ke titik lainnya. Wilayah ini diasumsikan memiliki
resistivitas yang terbatas. Resistivitas di luar sangat tinggi. Dalam simulasi model geofisika
resistivitas ruang bawah tanah kristal diasumsikan sangat tinggi dibandingkan dengan sedimen
dengan resistivitas dan ketebalan terbatas. Di atas batas bumi udara, resistivitas udara sangat
tinggi (Roy 1967).

124 | K e l o m p o k 2 B
Gambar 9.8 a,b menunjukkan geometri masalah pada bidang Z dan transformasinya pada
sumbu sebenarnya dari bidang w. Di sini ketebalan dan resistivitas lapisan atas masing-masing
adalah 'h' dan 'ρ'. Sumber titik arus I terletak di (0, h). Untuk setiap masalah kita harus
memperbaiki asal pada z-plane. Di sini asal ditetapkan pada kedalaman 'h' dari permukaan dan di
atas ruang bawah tanah. Sekarang kondisi batasnya adalah dv/dy = 0 pada y = 0 dan h. Metode
transformasi konformal Schwarz Christoffel, untuk mengubah geometri bidang-z ke sumbu nyata
bidang-w dibatasi oleh persamaan berikut

dz
A (w − a)−𝛼/𝜋 (w − b)−𝛽/𝜋 (w − c)−𝛾/𝜋 (w − d)−𝛿/𝜋 (9.73)
dw

di mana 'a', 'b', 'c', 'd' adalah nilai w di sudut poligon dan 'A' adalah konstanta seperti yang
dibahas. Saat kita bergerak dari A ke C, kita melintasi sudut BB' hanya karena tidak ada sudut
lain. Oleh karena itu (9,73) berkurang menjadi bentuk

dz
A (w − a)−𝛼/𝜋 . (9.74)
dw

Sekarang saat kita bergerak melintasi BB′, gerakan kita telah berubah melalui sudut 180 atau π
karena kita mulai bergerak ke arah yang berlawanan. Oleh karena itu α = π. Karena kita bergerak
menuju poligon (ditunjukkan oleh garis putus-putus) tanda argumen 'α' akan menjadi + atau
positif. Oleh karena itu (9,74) mengurangi, ke bentuk°

125 | K e l o m p o k 2 B
Ara. 9.8. (a) Transformasi S-C dari lapisan penutup horizontal dari thichness seragam di atas
ruang bawah tanah resistif di bidang Z; (b) Petakan ke sumbu sebenarnya dari bidang W

dz
A (w − 0)−𝜋/𝜋 karena w = 0 pada BB′ (9.75)
dw

dz
dz = A dw

z = Aln w + C1 (9.76)

Ini adalah fungsi transformasi yang memetakan bidang z = x + iy ke sumbu sebenarnya dari
bidang w = u + iν. Sekarang untuk menyelesaikan masalah sepenuhnya kita harus menentukan
'A' dan 'C1'. Konstanta 'A' dapat ditentukan sebagai berikut. Saat kita bergerak dari A′ ke C′ di
atas setengah lingkaran besar dari π ke 0, gerakan di bidang-z adalah – 'ih', di mana 'h' adalah
ketebalan substratum dan sumbu vertikal adalah sumbu imajiner.

Biarkan w = Reiθ . Seperti yang → ∞ R (9,75) berkurang ke bentuk

0 𝑖 𝑅𝑒 𝑖𝜃 𝑑𝜃 0
-ih = A ∫𝜋 = A ∫𝜋 𝑖𝑑𝜃 (9.77)
𝑅𝑒 𝑖9

Atau

126 | K e l o m p o k 2 B
A = h/𝜋

Kita dapat memilih asal sedemikian rupa sehingga konstanta integrasi menjadi nol. Jika kita
memilih z = 0 pada w = 1. Maka C1 = 0. Dan asal kita ditetapkan pada w = 1. Jadi


Z = 𝜋 ln w (9.78)

Dan

u = 𝑒 𝜋𝑥/ℎ . cos(𝜋𝑦/ℎ ) (9.79)

v = 𝑒 𝜋𝑥/ℎ . sin(𝜋𝑦/ℎ ) (9.80)

Posisi sumber saat ini I adalah u = −1, dan potensi dalam bidang-w φw diberikan oleh

𝐼𝜌 1
∅𝑤 = ln (9.81)
𝜋 𝑟

di mana jarak antara posisi sumber dan titik pengukuran. Di pesawat-w

2
r = {(𝑢 + 𝐼) + 𝑣 2 }1/2

jadi

𝐼𝜌
∅𝑧 = ln [(u+1)2− 2𝜋 +v2]

Di bidang z

𝐼𝜌
∅𝑧 = ln. − 2𝜋 ⌊𝑒 2𝜋𝑥/ℎ + 2. 𝑒 𝜋𝑥/ℎ cos(𝜋𝑦/ℎ ) + 1⌋ (9.82)

Untuk y = h

𝐼𝜌
∅𝑧 = ln − 2𝜋 ⌊𝑒 2𝜋𝑥/ℎ + 2. 𝑒 𝜋𝑥/ℎ + 1⌋ (9.83)

𝐼𝜌
= ln2𝜋 ⌊𝑒 𝜋𝑥/ℎ − 1⌋ (9.84)

127 | K e l o m p o k 2 B
9.6.2 Masalah 2 Bidang Tellurik di Atas Sesar Basement Vertikal

Geometri masalah yang ditampilkan adalah Gambar. (9,9 a, b,). Masalah ini diselesaikan
secara independen oleh Kunetz dan de Gery (1956), Berdichevsku, M.N. (1950), Li. Y. Shu
(1963). Di sini ruang bawah tanah diasumsikan rusak secara vertikal. Ketebalan lapisan sedimen
pada sisi downthrow dan upthrow masing-masing adalah 'H' dan 'h'. ρ1 , resistivitas kolom
sedimen, diasumsikan sebagai kesatuan. ρ 2 , resistivitas ruang bawah tanah, dianggap sangat
tinggi (ρ2 = ∞). Karena daerah yang berdekatan dengan bidang patahan adalah lokasi yang cocok
untuk akumulasi minyak, metode arus telluric digunakan sebagai alat pengintai untuk lokasi
bidang patahan ini.

Arus telluric atau arus bumi berasal karena interaksi medan elektromagnetik alami bumi
dengan kerak bumi. Medan elektromagnetik alami Bumi berasal karena interaksi suar matahari
dengan magnetosfer bumi. Sumber saat ini telluric diasumsikan sebagai

Ara. 9.9. (a) S - C Transformasi jenis struktur patahan vertikal di bidang; (b) Petakan ke sumbu
sebenarnya dari bidang W

128 | K e l o m p o k 2 B
sumber arus garis panjang tanpa batas ditempatkan pada tak terhingga sehingga bidang seragam
dibuat.

Fungsi transformasi Schwarz-Christoffel, yang memetakan struktur di bidang-z ke sumbu


nyata dari bidang-w, diberikan oleh

dz
A w −1 (w − a)1/2 (w − b)−1/2 (9.85)
dw

karena sudut yang dilintasi berada di BB', C dan D; sudut yang sesuai adalah π, - π/2 dan
+ π/2. Perubahan sudut pada C dan D adalah π/2 dalam kedua kasus. Pada titik C gerakan
menjauh dari poligon dan pada titik D gerakan menuju poligon. Oleh karena itu akan ada
perubahan tanda di C dan D. Langkah ini penting untuk mendapatkan integral awal dengan benar
sebelum transformasi SC dimulai.

Sini

(𝑤−𝑎)1/2
z = A ∫ 𝑤 (𝑤−𝑏)1/2 dw + C1 (9.86)

di mana A adalah konstanta yang harus ditentukan. Menerapkan kondisi batas pertama, yaitu kita
mengintegrasikan (9,86) di atas setengah lingkaran besar jari-jari R(→ ∞) karena w berubah dari
− ∞ menjadi + ∞ dan θ bervariasi dari 0 hingga π. Gerakan di z-plane adalah – iH. Oleh karena
itu, kami memiliki

0 (𝑅𝑒 𝑖𝜃−𝑎)𝑦2
−iH = A∫𝜋 i d. 𝑅𝑒 𝑖𝜃 𝜃 (9.87)
𝑅𝑒 𝑖𝜃 (𝑅𝑒 𝑖𝜃 −𝑏)1/2

Karena R sangat besar, (9.87) berkurang menjadi bentuk

0 (𝑅𝑒 𝑖𝜃 )1/2
−iH = A∫𝜋 i d.𝑅𝑒 𝑖𝜃 𝜃
𝑅𝑒 𝑖𝜃 (𝑅𝑒 𝑖𝜃 )1/2

Atau

𝐻
A = 𝜋. (9.88)

129 | K e l o m p o k 2 B
Selanjutnya kita menerapkan kondisi batas kedua yaitu kita mengintegrasikan (9,86) di atas
setengah lingkaran tak terbatas di sekitar BB' dengan w = reiθ di mana → 0 dan θ bervariasi dari
π ke 0. Gerakan di z-plane adalah –ih. Maka

𝐻 0 (𝑅𝑒 𝑖𝜃 −𝑎)1/2
−ih = A∫𝜋 i d𝑅𝑒 𝑖𝜃 𝜃
𝜋 𝑅𝑒 𝑖𝜃 (𝑅𝑒 𝑖𝜃 −𝑏)1/2

𝐻 𝑎 0
= √ ∫𝜋 𝑖𝑑𝜃
𝜋 𝑏

𝐻 𝑎
= 𝜋 √𝑏 (9.89)

Karena dalam masalah ini salah satu nilai a atau b dapat dipilih secara sewenang-wenang. Kami
memilih nilai a = 1, oleh karena itu

𝐻
√𝑏 = ℎ (9.90)

Integral (9,86) dapat diselesaikan dengan substitusi

𝑤−1
t = √𝑤−𝑏

karena a = 1, kita bisa menulis

𝐻 (𝑤−1)1/2 𝑑𝑤 𝐻 2𝑡 2 (1−𝑏)𝑑𝑡
z = 𝜋 ∫ 𝑤 (𝑤−𝑏)1/2 = 𝜋 ∫ (𝑡 2 −1) (𝑏𝑡 2 −1) (9.91)

Karena

𝑏𝑡 2 −1
W= 𝑡 2 −1

dan

2𝑡(1−𝑏)
dw = .
(𝑡 2 −𝑡)2

Integral dapat diselesaikan dengan metode fraksi parsial yang terkenal dan berkurang menjadi
bentuk

130 | K e l o m p o k 2 B
𝐻 1 √𝑏𝑡−1 1+1
Z=𝜋[ In + In 1−1] +𝐶1 (9.92)
√𝑏 √𝑏𝑡+1

𝐻 1 √𝑏 √𝑤−1 –√𝑤−𝑏 √𝑤−𝑏 +√𝑤−1


Z= 𝜋[ In + ln ] + 𝐶1 (9.93)
√𝑏 √𝑏√𝑤−1 +√𝑤−𝑏 √𝑤−𝑏 –√𝑤−1

Equeation (9,93) adalah fungsi pemetaan yang diperlukan untuk transformasi geometri
dari yhe z-plane ke w-plane. Sekarang untuk menentukan nilai , kami memperbaiki asal di z-
plane di . Memperbaiki asal dalam geometri yang ditentukan dari bidang-z tidak tersedia. Kita
dapat memperbaiki asal kapan saja kita mau. Sekarang jika di , kita dapatkan dari (9,93).𝐶1 𝑤 =
1𝑧 = 0𝑤 = 1

𝐻 1
0= [ 𝑙𝑛(−1) + 𝑙𝑛(1)] + 𝐶1
𝜋 √𝑏

Atau

𝐻 1
0= [ ∙ 𝑖𝜋] + 𝐶1
𝜋 √𝑏

𝐻
𝐶1 = −𝑖 = −𝑖ℎ. (9.94)
√𝑏

Komputasi Bidang Telluric

Untuk menghitung medan telluric, sumber dan wastafel diasumsikan berada pada tak
terhingga. Sumbernya ada di , di dan wastafel ada di , dan , ekspresi untuk bidang telluric di
berikan oleh𝑧 = −∞𝑤 = 0𝑧 = +∞𝑤 = −∞

Iρ1 1
ϕ= ln w. (9.95)
π

Karena sumber dan wastafel diasumsikan sebagai elektroda garis yang sangat panjang, oleh
karena itu

𝑑ϕ Iρ1 1
= ln w (9.96)
𝑑𝑤 π

131 | K e l o m p o k 2 B
Ekspresi untuk bidang telluric di z-plane adalah

𝑑ϕ 𝑑ϕ 𝑑ϕ
=
𝑑𝑧 𝑑𝑤 𝑑𝑧

Atau

𝑑ϕ 𝑑ϕ 𝑑u
= 𝑑𝑢 𝑑𝑥 (9.97)
𝑑𝑤

Karena pengukuran dilakukan di permukaan dan pada sumbu nyata dari bidang w ν = 0, oleh
karena itu

𝑑w 𝑑u
= (9,98)𝑑𝑥
𝑑𝑧

Sekali lagi untuk geometri tertentu dari struktur y = const ≡ ih dan dz = dx. Oleh karena itu
𝑑ϕ 𝑑u
bidang telluric dapat dihitung dari (9,97) di mana ekspresi untuk 𝑑𝑢 dan 𝑑𝑥 diketahui.

9.6.3 Masalah 3 Bidang Tellurik dan Resistivitas Nyata Di Atas Antiklin

Ini juga merupakan jenis masalah nilai batas yang serupa seperti yang dibahas pada
bagian sebelumnya yaitu, sehubungan dengan aliran arus telluric di atas struktur basement. Poin-
poin penting yang harus disorot adalah: (i) solusi bentuk dekat dari masalah ini tidak mungkin,
oleh karena itu seseorang harus menggunakan metode numerik untuk solusi dari bagian dari
masalah ini (ii) gerakan di bidang kompleks dari ujung antiklin dan lintasan gerakan ditunjukkan
.

Model dua dimensi antiklin ditunjukkan dalam (Gbr. 9.11 a,b) ECABD adalah ruang
bawah tanah resistif tanpa batas dan D′ E′ adalah permukaan bumi. Domain yang digambarkan
oleh batas poligonal ECABD D′E ′ diisi dengan media resistivitas terbatas (ρ = 1). Arus telluric,
jauh dari struktur, diasumsikan sebagai lembaran arus horizontal yang terbatas pada saluran yang
dibatasi oleh permukaan dan ruang bawah tanah. Ketebalan lapisan penutup, jauh dari struktur,
diasumsikan sebagai kesatuan. (Roy dan Naidu 1970).

132 | K e l o m p o k 2 B
Distribusi potensial dalam media homogen dan isotropik dan di wilayah bebas sumber diberikan
oleh persamaan Laplace.

𝜗 2ϕ(x,y) 𝜗 2 ϕ(x,y)
2 + = 0. (9.99)
𝜗𝑥 𝜗𝑦 2

Metode transformasi Schwarz-Christoffel digunakan untuk pemetaan konformal.


Transformasi memetakan geometri kompleks masalah ke geometri sederhana yang terdiri dari
seluruh bidang-w positif dan batas di sepanjang sumbu u sambil menjaga persamaan Laplace dan
kondisi batas invarian. Karena ECABD D′E ′ adalah poligon bersudut lima, akan ada lima istilah
tipe (w − di mana n = 1 ...... 5, di mana tiga di antaranya dapat dipilih secara sewenang-wenang.
Pilihannya adalah sebagai berikut (9.10 a,b)𝑎𝑛 )−𝑎𝑛/𝜋

𝑎1 = (Sesuai dengan EE')±∞

𝑎2 = -k (Sesuai dengan C)

𝑎3 = 0 (Sesuai dengan A)

𝑎4 = 1 (Sesuai dengan B)

𝑎5 = 1 (Sesuai dengan DD')

133 | K e l o m p o k 2 B
Ara. 9.10. (a) Peta antiklin asimetris bawah tanah di bidang Z; (b) petanya ke sumbu sebenarnya
dari bidang W; (c) lintasan di bidang W gerakan vertikal dari ujung antikle A ke pusat A di
permukaan di bidang Z.

dan argumen α1, α2, α3, α4, α5 diberikan sebagai berikut

𝑎5 = (Sesuai dengan EE') 𝜋

𝑎2 = (Sesuai dengan C)𝛼

𝑎3 = () (Sesuai dengan A)−𝛼 + 𝛽

𝑎4 = (Sesuai dengan B)𝛽

𝑎5 = (Sesuai dengan DD')𝜋

Oleh karena itu fungsi transformasi Schwarz - Christoffel untuk masalah saat ini dapat
diekspresikan dalam bentuk diferensial sebagai.

𝜶+𝜷
𝒅𝒛
= (w + (w – ( 𝐴𝟏 𝒘 𝝅 W – 𝑘)−𝑎/𝜋 𝑘)−𝛽/𝜋 1)1 (9.100)
𝒅𝒘

yang dapat ditulis ulang sebagai

𝑎+𝛽
𝑤 𝑤 𝜋 𝑑𝑤
z=𝐴 ∫0 (𝑤+𝑘)𝛼/𝜋(𝑤−1)𝛽/𝜋(𝑤−1) + 𝐶. (9.101)

Istilah yang sesuai dengan titik EE′ tidak masuk ke dalam persamaan diferensial karena nilai
w pada E dan E′ ±∞. Konstanta integrasi adalah C = 0 karena asal di bidang-z tetap.

Evaluasi yang tidak diketahui A1,... k dicoba menggunakan kondisi batas berikut. Persamaan
(9.101) diintegrasikan pada titik A di sepanjang lingkaran tak terbatas di bagian atas bidang-w.
Mengganti w = Reiθ dan R → ∞.

Seseorang mendapat
𝑎+𝛽
𝑤 (𝑅𝑒 𝑖𝜃 ) 𝜋 𝑖 𝑅𝑒 𝑖𝜃 𝑑𝜃
z=𝐴 ∫0 𝑖𝜃 + 𝐶. (9.102)
(𝑅𝑒 𝑖𝜃 +𝑘)𝛼/𝜋 (𝑅𝑒 𝑖𝜃 −1)𝛽/𝜋(𝑅𝑒 −1)

134 | K e l o m p o k 2 B
Dengan bergerak dalam setengah lingkaran yang sangat besar dari ke 0 hingga π di
sepanjang bagian atas bidang-w, gerakan yang sesuai dalam bidang-z adalah dari E ke E′ yaitu
'iH' di mana 'H' adalah ketebalan lapisan penutup (diasumsikan sebagai kesatuan).

Jadi z = iH = i

Sebagai R → ∞ integral berkurang menjadi


0 1
I = 𝐴1 ∫𝜋 𝑖 𝑑𝜃 𝑜𝑟 𝐴1 = − 𝜋 (9.103)

Selanjutnya (9.101) diintegrasikan sepanjang setengah lingkaran tak terbatas di sekitar DD′ di
bagian atas bidang-w. Mengganti w = 1 + reiθ sebagai r → 0, seseorang mendapat

𝑎+𝛽
0 (𝑅𝑒 𝑖𝜃) 𝜋 𝑖 𝑅𝑒 𝑖𝜃 𝑑𝜃
z=𝐴 ∫π 𝑖𝜃
(1+𝑅𝑒 +𝑘)𝛼/𝜋 (1+𝑅𝑒 𝑖𝜃 − ℓ)𝛽/𝜋(1+𝑅𝑒 −1)
𝑖𝜃

0 𝑖𝑑𝜃
i = 𝐴∫ (1+𝑘)𝛼/𝜋 (1− ℓ)𝛽/𝜋

karena gerakan di z-plane adalah dari D ke D' yaitu 'iH' atau hanya 'i'.
Jadi
𝐼 1
i = 𝜋 (1+𝑘)𝛼/𝜋(1− ℓ)𝛽/𝜋 − 𝑖𝜋

Atau

k = (1 − ℓ)𝛽/𝛼 − 1. (9.104)

Satu persamaan lagi diperlukan untuk menyelesaikan untuk 'k' dan '1' secara unik. Prosedur
berikut diadopsi. Kebalikan dari (9.98) ditulis sebagai

−(𝛼+𝛽) 𝛼 𝛽
𝑑𝑤
𝐴−1
1 𝑤 𝜋 𝑤 + 𝑘)𝜋 (𝑤 − ℓ)𝜋 (𝑤 − 1). (9.105)
𝑑𝑧

Solusi persamaan diferensial dalam bentuk tertutup tidak dimungkinkan kecuali ketika α/π dan
β/π dapat dinyatakan sebagai rasio dua bilangan bulat. Oleh karena itu (9.105) harus diselesaikan
secara numerik.

Sejak

135 | K e l o m p o k 2 B
𝑑𝑤 𝑑𝑣 𝑑𝑢
= −𝑖
𝑑𝑧 𝑑𝑦 𝑑𝑦

Seseorang mendapat

−(𝛼+𝛽) 𝛼 𝛽
𝑑𝑣
= +𝑅𝑒𝑎𝑙 {𝐴−1
1 𝑤 𝜋 (𝑤 + 𝑘)𝜋 (𝑤 − ℓ)𝜋 (𝑤 − 1)} (9.106)
𝑑𝑦

−(𝛼+𝛽) 𝛼 𝛽
𝑑𝑢
= +𝐼𝑚𝑎𝑔 {𝐴−1
1 𝑤 𝜋 (𝑤 + 𝑘)𝜋 (𝑤 − ℓ)𝜋 (𝑤 − 1)}. (9.107)
𝑑𝑦

Nilai 'k' dan '1' dipilih dan sistem (9,106) dan (9,107) diintegrasikan dari y = 0 hingga y = h
menjaga x konstan (di sini x = 0). Sementara mengintegrasikan secara numerik, titik dalam
bidang-w menggambarkan lintasan yang dimulai pada asalnya dan berakhir di suatu tempat pada
bagian positif dari sumbu nyata (Gbr. 9.11c). Titik ini mewakili proyeksi simpul segitiga, disebut
sebagai 'episentrum' U0. Tentu saja, kondisi awal adalah u = v = 0 ketika y = 0. Tetapi pada titik
ini integrands (9.106) dan (9.107) adalah tunggal. Mereka memiliki singularitas aljabar dan
sebagai hasilnya solusi numerik tidak dapat dimulai pada saat ini. Kesulitan ini dihindari dengan
mendapatkan solusi asimptotik. Alih-alih memulai y = 0, perlu untuk memulai dari y = ∂y di
mana ∂y << 1 sebagai berikut.

−(𝛼+𝛽) 𝛼 𝛽
𝑑𝑧
= +𝐴−1
1 𝑤 𝜋 (𝑤 + 𝑘)𝜋 (𝑤 − ℓ)𝜋 (𝑤 − 1)−1 (9.108)
𝑑𝑤

−(𝛼+𝛽) 𝛼 𝛽
𝑑𝑧
= +𝐴1−1 𝑤 𝜋 (𝑤 + 𝑘)𝜋 (𝑤 − ℓ)𝜋 (𝑤 − 1)−1 . (9.109)
𝑑𝑤𝑤=0

Oleh karena itu

𝛼+𝛽
𝛽 (1+ )
−𝛼/𝜋 ( 𝑤 𝜋
Z= −𝐴1 𝑘 ℓ) 𝜋 𝛼+𝛽 (9.110)
(1+ )
𝜋

𝛼+𝛽
𝛼 𝛽 (1+ )
− (𝑢+𝑖𝑣) 𝜋
= −𝐴1 𝑘 𝜋 ( ℓ) 𝜋
𝛼+𝛽 . (9.111)
(1+ )
𝜋

Karenanya

136 | K e l o m p o k 2 B
𝛼+𝛽
(1+ )
−𝛼/𝜋 [√𝑢 2 +𝑣 2 ] 𝜋
x = −𝐴1 . (𝑘) (ℓ)−𝛽/𝜋 𝛼+𝛽 (9.112)
(1+ )
𝜋

𝑉 𝛼+𝛽
cos {tan−1 𝑥 (1 + ) − 𝛽}
𝑢 𝜋

𝛼+𝛽
(1+ )
−𝛼/𝜋 [√𝑢 2 +𝑣 2 ] 𝜋
y = −𝐴1 . (𝑘) (ℓ)−𝛽/𝜋 𝛼+𝛽 (9.113)
(1+ )
𝜋

𝑉 𝛼+𝛽
sin {tan−1 𝑢 𝑥 (1 + ) − 𝛽}.
𝜋

Karena x = 0 melalui jalur

𝑉 𝛼+𝛽
cos {tan−1 𝑢 𝑥 (1 + ) − 𝛽} = 0 (9.114)
𝜋

Atau

𝑉 𝛼+𝛽
{tan−1 𝑥 (1 + ) − 𝛽} = 𝜋/2.
𝑢 𝜋

Karenanya

𝜋
𝑣 +𝛽
2
= tan ( 𝛼+𝛽 ). (9.115)
𝑢 1+
𝜋

Baik v atau u dapat dipilih secara sewenang-wenang sehingga hampir sama dengan nol.
Kemudian

𝜋
𝑣 +𝛽
2
V0 = 𝑢 𝑢0 𝑡𝑎𝑛 ( 𝛼+𝛽 ). (9.116)
1+
𝜋

𝛼+𝛽
(1+ )
[√𝑢 2 2 ] 𝜋
0 + 𝑣0
y0 = −A1. (𝑘)−𝛼/𝛽 (ℓ)−𝛽/𝜋 𝛼+𝛽 . (9.117)
1+
𝜋

Sekarang dimungkinkan untuk mengintegrasikan (9.116) dan (9.117) secara numerik. Proyeksi
pusat gempa diberikan b

137 | K e l o m p o k 2 B
ℎ −𝛼+𝛽 𝛼 𝛽
1
U0 = − ∫0 𝑙𝑚 𝑎𝑔 {𝐴 𝑤 𝜋 (𝑤 + 𝑘)𝜋 (𝑤 + ℓ)𝜋 (𝑤 − 1)} 𝑑𝑦. (9.118)
1

Dan

ℎ −𝛼+𝛽 𝛼 𝛽
1
0= − ∫0 𝑅𝑒𝑎𝑙 {𝐴 𝑤 𝜋 (𝑤 + 𝑘)𝜋 (𝑤 + ℓ)𝜋 (𝑤 − 1)} 𝑑𝑦. (9.119)
1

Pada prinsipnya, (9.118) dan (9.119) sekarang dapat digunakan untuk memecahkan untuk 'k' dan
'l' secara unik. Untuk solusi nilai masalah 'k' dan 'l' memuaskan (9,118) dan (9,119) dipilih dan
'h', yang (9,104) puas, ditentukan. Dengan memvariasikan 'k' 'l' , 'h' dapat bervariasi; Namun,
metode ini tidak terlalu nyaman jika diinginkan untuk memvariasikan H dalam langkah-langkah
biasa. Dapat dicatat bahwa (9.118) dan (9.119) tidak linier dan hanya dapat diselesaikan secara
numerik. Metode Runge-Kutta orde empat digunakan. Gambar 9.11c menunjukkan lintasan jalur
di bidang-W saat titik bergerak dari A (Gbr. 9.11a) ke pusat titik A di permukaan. Hal ini
diperlukan untuk pemetaan point to point.

Komputasi Bidang Tellurik dan Resistivitas Nyata


Setelah mengubah geometri kompleks masalah menjadi sederhana, masalah lapangan di
bidang-w diselesaikan terlebih dahulu dan kemudian dipindahkan ke bidang-z. Bidang telluric di
bidang-z dapat dipandang sebagai karena sumber titik dan wastafel titik ditempatkan di ±∞
masing-masing. Setelah transformasi, sumber titik di +∞ dipetakan ke DD′ sementara wastafel
masih di tak terhingga. Kondisi batas di bidang-w adalah: Gradien potensial melintasi sumbu
nyata adalah nol dan potensial menjadi nol pada setengah lingkaran dengan jari-jari tak terbatas
di bagian atas bidang-w. Potensi karena sumber titik, memenuhi kondisi batas di atas dan
persamaan Laplace adalah
𝑰 1
∅ = 𝝅 ln [𝑤−1]. (9.120)

Gradien ditransfer ke bidang-z dan persamaan bidang adalah

−𝛼+𝛽 𝛼 𝛽
𝑑∅ 𝑑∅ 𝑑𝑤 𝐼
E=− = − = 𝐴−1
1 (𝑤 ) 𝜋 ( 𝑤 + 𝑘 ) 𝜋 ( 𝑤 + ℓ) 𝜋 . (9.121)
𝑑𝑧 𝑑𝑤 𝑑𝑧 𝜋

138 | K e l o m p o k 2 B
Karena medan telluric diukur di permukaan bumi (di mana y = 0 dan v = 0), (9,121)
selanjutnya dapat disederhanakan menjadi

−𝛼+𝛽 𝛼 𝛽
𝑑∅ 𝐼
E=− = 𝐴−1
1 )(𝑤 ) 𝜋 ( 𝑤 + 𝑘 ) 𝜋 ( 𝑤 + ℓ) 𝜋 . (9.122)
𝑑𝑥 𝜋

Untuk menentukan bidang telluric pada titik tertentu pada sumbu x, peta x pada sumbu u
dihitung dan kemudian (9.122) dievaluasi mengambil titik demi titik pemetaan. Dari (9.120) kita
dapat menulis bidang telluric sebagai

𝑑∅ 𝑰 1
E = − 𝑑𝑊 = 𝝅 [𝑤−1]. (9.123)

(9.105) berubah menjadi

−𝛼+𝛽 𝛽
𝑑𝑥 𝛼/𝛽
= 𝐴1 (𝑢) 𝜋 (𝑢 + ℓ)𝜋 (𝑢 − 1)−1 (9.124)
𝑑𝑢

untuk tujuan pemetaan pada sumbu nyata. Mengambil kebalikannya persamaannya adalah

−(𝛼+𝛽) 𝛼 𝛽
𝑑𝑢
= 𝐴1−1 (𝑢) 𝜋 (𝑢 + k)𝜋 (𝑢 + ℓ)𝜋 (𝑢 − 1)−1 (9.125)
𝑑𝑥

yang dapat dianggap sebagai persamaan diferensial non-linier yang menghubungkan Anda dan x.
Dengan mengintegrasikan (9,118) dan (9,119) secara numerik dengan kondisi awal, yaitu u = u0
pada x = 0 yang ditentukan sebelumnya, peta titik mana pun pada sumbu x nyata diperoleh.
Gambar 9.10d menunjukkan respon medan telluric pada struktur antiklinal.

9.6.4 Masalah 4 Bidang Telluric Di Atas Ruang Bawah Tanah yang Rusak (Horst)

Pada bagian ini masalah disajikan di mana solusi bentuk tertutup diperoleh dan
transformasi konformal digunakan bersama dengan integral elips dan fungsi elips. Untuk
kepentingan pembaca, garis besar singkat dari integral elips dan fungsi elips diberikan dalam
Sekte. 9.7. (Roy 1973).
Model dua dimensi horst ditunjukkan pada (Gbr. 9.12 a, b). Pada bagian ini dipilih
struktur ruang bawah tanah persegi panjang. Seperti pada kasus sebelumnya diasumsikan bahwa
139 | K e l o m p o k 2 B
resistivitas 'ρ' dan ketebalan 'H' dari lapisan sedimen keduanya adalah kesatuan. 'h' dan 'd'
masing-masing adalah lemparan patahan dan setengah lebar horst. Pada z-plane sumber dan sink
diasumsikan berada pada ±∞ sehingga pada w-plane masing-masing dipetakan pada DE (w = )
1
dan pada D′E ′ (w = −1/k1). 𝑘
1

Karena ruang bawah tanah diasumsikan memiliki resistivitas tak terbatas, masalah berkurang
menjadi masalah Neumann, yaitu, potensi harus memenuhi Laplace

Ara. 9.11. (d)Anomali medan telluric di atas antiklin asimetris

140 | K e l o m p o k 2 B
Ara. 9.12. a, b. Tunjukkan ruang bawah tanah yang rusak dengan jenis struktur horst di bidang-Z
dan petanya pada sumbu sebenarnya dari bidang-W; peta permukaan dan bawah permukaan ke
sumbu nyata dari bidang-w ; aliran arus searah dari tak terhingga; sumber garis panjang dan
wastafel ditempatkan pada jarak tak terbatas di bidang-z dan masing-masing dipetakan pada DE
dan E'D' pada sumbu nyata

persamaan dengan syarat bahwa gradien normal = 0 di seluruh batas FEDCBA B′C ′D′E
′F ′ . Distribusi potensial dua dimensi dalam isotropik homogen dan di wilayah bebas sumber
diberikan oleh persamaan Laplace. Solusi matematika bentuk tertutup dapat diperoleh dengan
menggunakan integral dan fungsi trans-formasi konformal dan elips. Masalah-masalah ini
𝜕∅
memenuhi persamaan Laplace𝜕𝑛

𝜕 2 ∅ (𝑥,𝑦) 𝜕 2 ∅ (𝑥,𝑦)
+ =0 (9.126)
∂x2 ∂y2

Menggunakan metode transformasi schwarz – Christoffel. Fungsi transformasi untuk masalah


saat ini dapat dinyatakan dalam bentuk diferensial sebagai

𝑑𝑧
= Sebuah (𝑊 − 1)1/2 (𝑊 − 1)−1/2 (𝑊 − 𝑏)−1 (𝑊 + 1)1/2 (𝑊 + 𝑎)−1/2 (𝑊 + 𝑏)−1
𝑑𝑤

(𝑊²−1)1/2
=A (9.127)
(𝑊²−𝑎²)1/2 (𝑊²−𝑏²)

1
𝑤 (𝑤 2−1)2 𝑑𝑤
z=A+ C₁∫0 1 (9.128)
(𝑤 2−𝑎²)2 (𝑤 2−𝑏2 )

Di sini C₁ = 0, karena asal di bidang-z tetap. Persamaan (9,128) berbentuk integral elips.
Integral di atas dibawa ke dalam bentuk standart dengan mengganti a = 1/k dan b = 1/k₁ (Kober
1957) dan Byrd Friedman (1954). Pada bagian selanjutnya, diskusi tingkat pengantar tentang
integral elips dan fungsi elips diberikan. Untuk latar belakang yang lebih baik, pembaca harus
membaca buku teks standar tentang integral dan fungsi elips. Oleh karena itu, persamaan (9.128)
berkurang menjadi

1
𝑤 (1−𝑤 2)2 𝑑𝑤
z=C ∫0 1 (9.129)
(1−𝑘 2 𝑤 2)2 (1−𝑘 2 𝑤 2)

141 | K e l o m p o k 2 B
di mana C = - adalah konstanta baru. Oleh karena itu nilai C, k dan k₁ harus diketahui sebelum
menyelesaikan masalah nilai batas. Untuk mengevaluasi konstanta C, kondisi batas berikut
diterapkan. Tercatat dari (9.129) bahwa pada titik w = 1/k₁ singularitas aljabar hadir. Di sana-
kedepan, (9.129) terintegrasi di sekitar setengah lingkaran tak terbatas dari w = - ɛ di mana ɛ →
0 dan dengan demikian titik tunggal dihindari. Namun, pendekatannya berbeda dari yang
ditunjukkan pada masalah sebelumnya. Karena pergeseran dalam bidang-z adalah iH, maka
𝐴 1
(9.129) dapat ditulis sebagai :𝑘12 𝑘 𝑘₁

1
(1−1/𝑘12 )1/2 𝑤 𝑑𝑤 1+ɛ
iH = C 1 {∫0 }𝑘
(1−𝑘 1 𝑤) 1 −ɛ
(1−𝑘 2 /𝑘12 )2 (1+𝑘₁𝑤) 𝑘1

1
(1−1/𝑘12 )1/2 1 1+ɛ
= Log C (k₁w – 1 ) 1 {− }𝑘1 (9.130)
𝑘₁ 1−ɛ
(1−𝑘 2 /𝑘12 )2(1+𝑘₁𝑤) 𝑘

Sekarang ketika w melewati titik tunggal (w = 1/k1), ekspresi (k 1 w− 1)mengubah tandanya,


1
yaitu, log (k 1 w −1) meningkat dengan jumlah −iπ. Oleh karena itu, perubahan nilai –() log (k
𝑘1
1 1 𝜋
1 w − 1) dari − ε menjadi + ε adalah i . 𝑘
1 𝑘1 𝑘1

Maka

𝐶(1−𝑘12)1/2 𝜋
iH = . saya 1/2
2(𝑘 2−𝑘12 ) 𝑘₁

Dan

2𝐻 (𝑘 2 −𝑘12 )𝑘1
C= 𝜋 . (9.131)
(1+𝑘12 )1/2

Mengganti k1 = k snα yang didapat


Atau
2𝐻 (𝑘 2 −𝑘 2 𝑠𝑛 2 )𝑘1/2
C= 𝜋 𝑘 𝑠𝑛 ∝ (9.132)
(1−𝑘 2 𝑠𝑛 2∝)1/2

142 | K e l o m p o k 2 B
di mana snα, cnα dan dnα adalah fungsi elips Jacobian. Untuk mengevaluasi konstanta k dan k1
(atau k dan α karena k1 = ksnα), perlu untuk mengintegrasikan (9, 129) dan kemudian untuk
menerapkan kondisi batas yang sesuai.

Persamaan (9.129) dapat ditulis ulang dalam bentuk

𝑤 (1−𝑤 2)𝑑𝑤
z=C ∫0 1 (9,133)
(1−𝑘 2 𝑤 2 )2 (1−𝑘12 𝑤 2)(1−𝑤 2)1/2

Bentuk integral menunjukkan bahwa itu adalah integral elips dari jenis ketiga yang dapat
dipisahkan menjadi dua bagian:

w dw
11 = C ∫0 1 (9.134)
(1−k2 w2 )2 (1−k21 w2 )(1−w2 )1/2

Dan

𝑤 𝑤 2 𝑑𝑤
12 = C ∫0 1 (9.135)
(1−𝑘 2 𝑤 2)2 (1−𝑘12 𝑤 2)(1−𝑤 2)1/2

Di sini I1 = Cπ (w, k, k1), yaitu Legendre standar dari integral elips dari jenis ketiga. Namun,
sulit untuk mengekspresikan I2 dalam bentuk Legendre. Untuk menghindari kesulitan ini, kedua
integral diubah menjadi bentuk Jacobian dengan mengganti

w = snλ

jadi

dw = cn λ dn λ dλ.

Sejak

dn λ = (1 − k 2 sn2 λ)1/2

dan

cn λ = (1 − sn2λ)1/2

Integral dapat ditulis ulang sebagai𝐼1

143 | K e l o m p o k 2 B
λ (1−k2 sn2 λ)1/2dλ
I1 = C ∫0 1 1 (9.136)
(1−k21 sn2 λ)2 (1−k2 sn2 λ)2 (1−sn2 λ)1/2

λ

= C∫
(1 − k12 sn2 λ)
0

λ sn2 λdλ
= C {λ + k 2 sn2 ∝∝ ∫0 } di mana k1 = ksnα
(1−k21 sn2 λ)

sn∝
= C {λ + cn∝dn∝ π(λ, ∝)} (9.137)

di mana π(λ, α) adalah bentuk Jacobian dari integral elips dari jenis ketiga.

λ 1
(sn2 λ)(1 − sn2 λ)2 (1 − k 2 sn2 λ)1/2 dλ
I2 = C ∫ 1 1
0 (1 − k 2 sn2 λ)2 (1 − k12 sn2 λ )2 (1 − sn2 λ)

λ
sn2 λdλ
= C∫
(1 − k12 sn2 λ)
0

π(λ,∝)
= C k2sn∝cn∝dn∝ (9.138)

Maka

sn∝ π(λ,∝)
z = C {λ + π(λ, ∝) − k2 sn∝cn∝dn∝} (9.139)
cn∝dn∝

Persamaan (9.139) adalah fungsi yang diperlukan untuk memetakan bidang-z ke sumbu
sebenarnya dari bidang-w. Sekarang pada w = 1/k, z=d − ih seperti yang ditunjukkan pada
Gambar. 11 b, c. Jadi

1/k
−1
dw
λ = sn w = ∫ 1
0 (1 − w 2 )2 (1 − k 2 w 2 )1/2

= K + iK ′ . (9.140)

144 | K e l o m p o k 2 B
Di sini K dan K′ adalah integral elips lengkap dari jenis pertama dari definisi. Oleh karena itu
(9.139) dapat ditulis ulang sebagai

sn∝ π(K+iK′ ,∝)


d − ih = C {(K + iK′) + π(K + iK ′ , ∝) k2 sn∝cn∝dn∝} (9.141)
cn∝dn∝

Dari hubungan yang terkenal antara integral elips Jacobi dari jenis ketiga dan fungsi theta dan
zeta-nya orang dapat menulis.

1 θ(K+ik′ −α)
π(K + iK ′ , ∝) = log θ(K+iK′ +α) + (K + iK′)Z(α) (9.142)
2

yang menyederhanakan menjadi

𝜋∝
KZ(∝) + 𝑖 (2𝐾 𝐾′𝑍(∝)) (9.143)

di mana z (α) adalah fungsi zeta Jacobi. Pada substitusi nilai C dan π(K + iK′ , α) (9,139)
menjadi

2H cn∝sn∝ sn∝
d-ih = k2 [(K + iK′) + ] (9.144)
π dn∝ cn∝dn∝

π∝ 1
{K Z (∝) + i ( + K′Z(∝))} − 2
2K k

π∝
{K Z(∝) + i ( + K′Z(∝))} (9.145)
2K

Memisahkan bagian nyata dan imajiner seseorang mendapatkan dua persamaan berikut

d 2K k2 sn2 ∝ Z(∝)
= πdn∝ [k 2 cn ∝ sn ∝ + Z(∝) − dn∝ ] (9.146)
H dn∝

h 2 1 π∝ k2sn2 ∝ π∝ 2
= πdn∝ [dn∝ ( 2K + K′Z(∝)) − ( 2K + K ′ Z(∝)) − K ′k cn ∝ sn ∝] (9.147)
H dn∝

Disebutkan dapat dibuat bahwa semua faktor, misalnya, K, K′ , snα, cnα, dnα, Z(α)
tergantung pada nilai k dan α. Hanya dua persamaan yang tersedia dan ada beberapa yang tidak
diketahui. Belum mungkin untuk menentukan nilai k. dan k1 (atau k snα) dari nilai d/H dan h/H

145 | K e l o m p o k 2 B
yang diketahui yang ditetapkan oleh geometri struktur. Untuk menghindari kesulitan ini,
prosesnya terbalik. Dalam hal itu, serangkaian nilai k dan α diasumsikan dan nilai yang sesuai
dari d/H dan h/H ditentukan. Nilai k dan α dapat ditetapkan untuk satu set rasio d/H dan h/H
tertentu. Untuk nilai k dan α yang dipilih, nilai C dapat ditentukan sebagai

2H k2sn∝cn∝
C = (9.148)
π dn∝

Memetakan wilayah yang diinginkan ke bagian atas bidang-w di sepanjang seluruh sumbu u,
masalahnya sekarang dapat diselesaikan. Untuk memplot bidang telluric poin demi titik di
permukaan, nilai Anda untuk nilai x yang berbeda harus diketahui. Untuk tujuan ini, fungsi
transformasi terbalik (ditunjukkan dalam masalah sebelumnya), dari (9.127) dapat ditulis
sebagai:

1
dw 1 (1−k2 w2 )2 (1−k21w2 )
=C
dz (1−w2 )1/2

(9.149)

Sejak

dw du dv
= +i
dz dx dx

Ara. 9.13. Anomali medan telluric atas jenis struktur horst

(9.149) berkurang menjadi

146 | K e l o m p o k 2 B
1
du 1
= C (1 − k 2 u2 )2 (1 − k12 u2 (1 − u2 )−1/2 (9.150)
dx

karena v = 0 pada sumbu u yang sesuai dengan batas bumi udara pada bidang-z (untuk ∞ > u >
1/k1). Persamaan (9.150) adalah persamaan diferensial non-linier dan, pada prinsipnya, dapat
diintegrasikan secara numerik. Meskipun perlu untuk mengetahui nilai-nilai 'u' dan 'x' pada titik
menatap, untuk menentukan bidang telluric seperti yang dijelaskan sebelumnya, sumber dan
wastafel ditempatkan pada ±∞ di bidang-z sedemikian rupa sehingga mereka berada di w = 1/k1
dan w = −1/k1 masing-masing di bidang-w. Potensi penyaluran diberikan oleh

𝐼 𝐼
∅ = − 𝜋 log(𝑤 −/𝑘1 ) + 𝜋 log(𝑤 + 1/𝑘1 ) (9.151)

Oleh karena itu, bidang telluric di permukaan (Gbr. 9.13) diberikan oleh

d∅ d∅ du
E=− =− .
dx du dx

1 1 2k1 (1−k2 u2 )1/2


= −π.C (1−u2 )1/2

(9.152)

Pada bagian ini satu masalah disajikan di mana transformasi konformal digunakan bersama
dengan integral elips dan fungsi elips. Para peneliti tentang komunikasi listrik, teknik tenaga
listrik dan matematika-ics terapan membutuhkan solusi masalah nilai batas semacam ini. Hasil
solusi analitis dapat dibandingkan dengan yang diperoleh secara numerik untuk kalibrasi elemen
hingga atau diferensi hingga

9.7 Integral Elips dan Fungsi Elips

Mari kita pertimbangkan integral

𝑤 𝑑𝑤
𝜆 = ∫0 1 . (9.153)
(1−𝑤 2 )2(1−𝑘 2 𝑤 2 )2

Konstanta k disebut modulus λ. Dalam masalah fisik yang sebenarnya, nilai k ditemukan
bervariasi antara nol dan kesatuan. Untuk alasan ini k dapat, dan seringkali, dirancang oleh dosa
θ di mana θ disebut sudut modulus. Integral ini disebut integral elips dari jenis pertama. Integral

147 | K e l o m p o k 2 B
semacam itu disebut elips karena pertama kali ditemui dalam penentuan panjang busur elips.
Bentuk integral (9,153) dikenal sebagai notasi Jacobi tentang integral elips.

9.7.1 Persamaan Legendre

Notasi kedua adalah notasi Legendre. Itu dapat diperoleh dari Jacobi dengan menempatkan

w = dosa φ (9.154)

di mana φ disebut sudut amplitudo. Sudut ini dapat diperoleh dari θ sudut modulus. Kami
mendapatkan

∅ 𝑑𝑤
𝜆 = ∫0 . (9.155)
(1−𝑘 2 𝑠𝑖𝑛 2 ∅)1/2

Integral dalam (9,155) adalah integral elips dari jenis pertama. Dalam notasi Legendre φ = amα
yang menandakan bahwa φ adalah amplitudo α.

9.7.2 Integral Lengkap

Jika batas atas integral dibuat kesatuan, integral dikatakan lengkap. Integral elips lengkap
dari jenis pertama selalu dilambangkan dengan K dan karenanya

1 𝑑𝑤
K = ∫0 (9,156)
(1−w2 )½ (1−k²w2 )½

Persamaan (9,156) memberikan k dalam notasi Jacobi. Dalam notasi Legendre sejak w = dosa ,
batas integrasi adalah dari nol hingga . Oleh karena itu dalam notasi Legendreɸ𝜋/2

𝜋/2 𝑑ɸ
K = ∫0 (9,157)
(1−k²sin2 ɸ )½

Kadang-kadang mungkin perlu untuk menyatakan modulus K. Kami kemudian menulis K (k)
untuk integral elips lengkap dari jenis modulus k pertama.

Modulus Komplementer

148 | K e l o m p o k 2 B
Kita sekarang perlu mendefinisikan modulus komplementer k' yang terkait dengan modulus k
dengan persamaan K² + K'² = 1 atau

K' =(1 − k 2 )½ (9.158)

Dari (9.158), ketika k ditulis sebagai dosa harus ditulis sebagai cos Integral elips lengkap
dari jenis ke-1 ke modulus k' harus sama sekali berbeda dari K yang memiliki modulus k.𝜃, 𝑘´𝜃.

K'(k) = K(k'). (9.159)

Oleh karena itu K dan K' terkait melalui modulus mereka dan K, K' harus berupa bilangan real.

Dengan definisi ini K' diberikan oleh integral

1 𝑑𝑤
K' = ∫0 (9.160)
(1−w2 )½ (1−k²w2 )½

Hal berikutnya yang harus ditemukan adalah persamaan yang mendefinisikan K' dalam hal
modulus normal k. Dalam (9.160), biarkan

1
t = (1−k´²w2 )½

1 1
−)
w² = 𝑘´² ( 1– 𝑡²

𝑡²–1
= 𝑘´²𝑡² (9.161)

Jadi

𝑘´²𝑡² –𝑡²+1
1–w² = 𝑘´²𝑡²

1–𝑡² (1–𝑘´2) 1–𝑘²𝑡²


= = 𝑘´²𝑡² 𝑘´²𝑡²

dan karenanya

(1−k2´t²)½
(1 − w 2 )½ = (9.162)
𝑘´𝑡

149 | K e l o m p o k 2 B
Selanjutnya dari (9.161)

(t2 − 1)½
w=
𝑘´𝑡

Jadi

𝑡² (t2− 1)−½ (t2− 1)−½


d=𝜔 𝑑𝑡 (9.163)
𝑘´𝑡²

𝑡² –(t2− 1)
→ 𝑘´𝑡² (t2− 1)½

𝑑𝑡
→ 𝑘´𝑡² (t2− 1)½

Mengganti nilai-nilai ini, kita dapatkan

𝑑𝑡 𝑘´𝑡
k' = ∫ 𝑘´𝑡² (t2− 1)½ (1−k´²t²)½

dengan batasan baru. Untuk menemukan batas baru, perhatikan bahwa ketika w = 0,t = 1 dan
ketika w = 1

1 1
t = = .(1−k´²)½ 𝑘

Oleh karena itu, menyederhanakan integrand dan menambahkan batas baru, kami mendapatkan

1/𝑘 𝑑𝑡
k' = ∫1 (t2− 1)/2 (1−k´²t2 )½

1/𝑘 𝑑𝑡
k' = ∫1 (9.164)
i (1−t²)/2 (1−k´²t2 )½

dan ini adalah hubungan yang diperlukan. Perhatikan bahwa integral sama dengan yang
untuk k tetapi batasnya diubah dan integralnya imajiner. Menggabungkan integrasi K dan K' satu
mendapatkan integrasi total dari batas bawah nol ke batas atas 1/k dan itu adalah bilangan
kompleks

1/𝑘 𝑑𝑤
K + iK' =∫1 (9.165)
(1−w²)1/2 (1−k´²w2 )½

9.7.3 Fungsi elips

150 | K e l o m p o k 2 B
Fungsi elips yang menarik bagi para insinyur adalah fungsi elips Jacobi.

𝜔 𝑑𝑤
𝜆 = =∫0 𝑠𝑖𝑛−1 𝑤. (9.166)
(1−w²)1/2

Dengan demikian efek dari menyingkirkan k adalah menjadikan λ fungsi hanya dari w
dan lebih dari fungsi elementer dari w. kita mendapatkan

w = dosa λ.

Dapat ditunjukkan bahwa bentuk integral Legendre dapat diperoleh dengan meletakkan

w = dosaɸ

= dosa am λ

= sn λ

= sn λ (k)

= sn (λ,0) = dosa λ (9.167)

Sekarang

(1 − w²)1/2 = cos ɸ = cos am λ

= cnλ = cn (λ,k). (9.168)

Karena dosa² ɸ + cos² ɸ = 1, dapat disimpulkan bahwa

sn²λ + cn²λ = 1 (9.169)

dn λ = (1 − k²w²)1/2

= (1 − k 2 sin2 ɸ)1/2

= (1 − k 2 sn²λ)1/2 (9.170)

151 | K e l o m p o k 2 B
Tiga fungsi snλ, cnλ, dnλ adalah fungsi elips Jacobian utama

𝑠𝑛 𝜆
tn λ = (9.171)
𝑐𝑛 𝜆

Kami telah mendefinisikan

𝜋/2 𝑑ɸ
K = ∫0 (1−k²sin2 ɸ )½

Jika batas atas integral adalah beberapa nilai ɸ kurang dari , integral tidak lengkap dan kemudian
ditulis sebagai F (ɸ,k). Sehingga𝜋/₂

ɸ 𝑑ɸ
F (ɸ,k) = ∫0 (9.172)
(1−k²sin2 ɸ )½

Integral sering ditulis dalam hal sudut amplitudo dan sudut modular sebagai F (ɸ,) dan
agak lebih jarang dalam hal amplitudo dan modulus sebagai F (w, k). Sini𝜃

F (w,k) = F(k) ≡ K(k) = K𝜋/2, (9.173)

F (w,k) = F (ɸ, k) = λ (9.174)

Kami punya

λ = (w, k)𝑠𝑛−1 (9.175)

Jadi

𝑠𝑛−1 (w, k) = F (w, k)

𝑤 (1−k²w²)1/2
I = dw∫0 (9.176)
(1−w²)1/2

Ini adalah bentuk Jacobi dari integral elips dari jenis kedua dan dilambangkan dengan E
(w,k) di mana, seperti sebelumnya, w adalah argumen atau amplitudo dan k adalah modulus.
Bentuk Legender diberikan oleh

ɸ
E (ɸ, k) = ∫0 (1 − 𝑘 2 𝑠𝑖𝑛2 ɸ)𝑑ɸ (9.177)

152 | K e l o m p o k 2 B
Bentuk lain diperoleh dengan memperkenalkan variabel u di mana ɸ adalah amplitudo
Anda.

dosa ɸ = snu

dan dengan membedakan kedua belah pihak

cnɸ dɸ = cnu dnu du

𝑐𝑛𝑢 𝑑𝑛𝑢 𝑑𝑢
dɸ = = dnu du (9.178)
(1−sn²u)½

Integral (9.177) dapat ditulis sebagai

𝑢
E(u, k) = dnu du∫0 (1 − k²sn²u)½

𝑢
=∫0 𝑑𝑛²𝑢 𝑑𝑢. (9.179)

Ini mendefinisikan integral elips dari jenis kedua dalam hal fungsi elips.

Integral elips lengkap dari jenis kedua dinyatakan sebagai

E(1,k) ≡ E (, k) ≡ E(k) ≡ E 𝜋/2 (9.180)

9.7.4 Fungsi Zeta Jacobi

𝐸
Z (ɸ) = E(ɸ) = Z (ɸ) 𝐾 (9.181)

Semua ke Modulus K.

9.7.5 Fungsi Theta Jacobi

Yang lebih penting lagi adalah Fungsi Theta Jacobi. Fungsi theta aslinya dilambangkan dengan
dan banyak digunakan dan mereka memang hampir sangat diperlukan.𝛩

𝛩´ (ɸ)
Z (ɸ) = 𝛩 (ɸ)

hubungan yang diberikan oleh

153 | K e l o m p o k 2 B
ɸ
∫0 𝑍 (ɸ)𝑑ɸ = log 𝛩 (ɸ) + C (9.182)

di mana seri untuk fungsi theta adalah

𝑚𝜋ɸ
Θ (ɸ) = 1 + 2 . Kos ∑∞ 𝑚 𝑚²
𝑚=1(−1) 𝑞 (9.183)
𝑘

𝑘´
dimana q= .𝑒 −𝜋 𝑘

Integral Elips dari jenis Ketiga adalah

𝑤 𝑑ɸ
𝜋 (w, k₁ , k) = ∫0 1 (9.184)
(1−𝑘12 𝑤 2) (1−𝑘 2 𝑤 2)2 (1−𝑤²)1/2

Sekarang menempatkan w = dosa ɸ memberi

ɸ 𝑑ɸ
𝜋 (ɸ, k₁ , k) = ∫0 (9.185)
(1−𝑘12 𝑠𝑖𝑛 2 ɸ) (1−𝑘 2 𝑠𝑖𝑛 2ɸ)1/2

jika kita menempatkan w = snu

dw = cnu dnu du

𝑢 𝑑𝑢
𝜋 (u, k₁ , k)∫0 (9.186)
1−𝑘12𝑠𝑛²𝑛

Semua ini adalah tiga bentuk integral elips Legendre.

9.7.6 Integral Elips Jacobi dari Jenis Ketiga

Jacobi mengadopsi tidak hanya bentuk yang berbeda tetapi cara penyajian integral elips
yang sama sekali berbeda dari jenis ketiga.

Menempatkan

k1 = k sn ∝ to mod k,

integrandnya adalah

154 | K e l o m p o k 2 B
du
= 1−k2sn2 ∝sn2 u (9.187)

Dengan substitusi ini Jacobi mendefinisikan integral elipsnya dari jenis ketiga sebagai

u sn2 u du
π(u, ∝) = k 2 sn ∝ cn ∝ dn ∝ ∫0 (9.188)
1−k2sn2 u

(H.E.I.E.P. Handbook of Elliptic Integrals for Engineers and Physicists 400.01).

Definisi Jacobi tentang integral elips dapat diekspresikan dalam hal fungsi zeta-nya dan
juga dalam hal fungsi theta-nya

2 snu cn ∝ dn ∝
sn (u+∝) + sn (u−∝) =
1 − k 2 𝑠𝑛2 𝑢 𝑠𝑛2 ∝

(H.E.I.E.P.123.02) (9.189)

Dan karenanya menggantikan nilai-nilai ini

1 𝑢
𝜋(𝑢 ∝) = 𝑘 2 𝑠𝑛 ∝ ∫0 𝑠𝑛𝑢{𝑠𝑛(𝑢+∝) + 𝑠𝑛(𝑢−∝)} 𝑑𝑢. (9.190)
2

Tetapi dari (H.E.I.E.P. 142.02)

𝑘2 𝑠𝑛 ∝ 𝑠𝑛𝑢 𝑠𝑛 (𝑢+∝) = −𝑍(𝑢+∝) + 𝑍(𝑢) + 𝑍(∝)

Dan

𝑘2 𝑠𝑛 ∝ 𝑠𝑛𝑢 𝑠𝑛 (𝑢−∝) = −𝑍(𝑢−∝) − 𝑍(𝑢) − 𝑍(∝)

Maka

1 𝑢
𝜋(𝑢, ∝) = ∫0 {𝑍(𝑢−∝) − 𝑍(𝑢+∝) + 2𝑍(∝)} 𝑑𝑢 (9.191)
2

Ini memberikan definisi integral elips Jacobi dari jenis ketiga dalam hal fungsi zeta ini.

Sejak

155 | K e l o m p o k 2 B
𝑢
∫0 𝑍(𝑢) 𝑑𝑢 = log ∅ (𝑢) + 𝐶 (9.192)

Kami mendapatkan

1 𝑢
𝜋(𝑢, 𝛼 ) = {log Θ (u − α) − log Θ (u + α)} + ∫0 𝑍(𝛼) dua
2

1 Θ (u − α)
= catatan2 + 𝑢𝑧 (𝛼 ). (9.193)
Θ (u+ α)

Ini memberikan definisi lain tentang integral elips dari jenis ketiga dalam hal fungsi zeta dan
theta-nya.

Bagian nyata dan imajiner dari π(K + iK′ , α)


1
𝜋(𝐾 + 𝑖𝐾′, 𝛼 ) == {log Θ (𝐾 + 𝑖𝐾′, 𝛼 ) − log Θ (𝐾 + 𝑖𝐾′, 𝛼 )} + (𝐾𝑖𝐾 ′ )𝑧 (𝛼).
2

(9.194)

Dari H.E.I.E.P. 141.01

Z(K − α + iK′ ) − Z(K − α) + cs(K − α) du(K − α) − iπ/2K. (9.195)

Mengintegrasikan kedua sisi persamaan ini sehubungan dengan (K−α), integrasi fungsi zeta
dapat diambil.
Integrasi csu dnu dapat ditemukan sebagai
𝑐𝑠𝑢 𝑑𝑛𝑢
∫ 𝑐𝑠 𝑢 𝑑𝑛 𝑢 𝑑𝑢 = ∫ 𝑑𝑢 (𝐻. 𝐸. 𝐽. 𝐸. 𝑃. 120.120)
𝑠𝑛𝑢
𝑑𝑠𝑛𝑢
= ∫ = log 𝑠𝑛 𝑢. (9.196)
𝑠𝑛𝑢

Oleh karena itu, integrasi lengkap menghasilkan

log Θ(K − α + iK′ )+C1 (9.197)

= log Θ(K + α)+C2 + log sn(K + α ) - iπ(K + α)/2K. (9.198)

Dengan pengurangan

log Θ(K − α + iK′ ) − log Θ(K + α + iK′ )

156 | K e l o m p o k 2 B
Θ (K − α) sn(K − α) 𝑖𝜋
= log ) Θ (K+ α) + 𝑙𝑜𝑔 sn(K+ α) + 2𝑘 (2𝛼 (9.199)

Dari H.E.I.E.P. 1051.03


Θ (K − α) Θ 1 ( − α)
= log + 𝑙𝑜𝑔 = log 1 = 0.
Θ (K+ α) Θ 1 ( α)

Serupa.
Θ (K − α)
=catatan Θ (K+ α) = log 1 = 0

Oleh karena itu log Θ(K − α + iK′ ) - log Θ(K + α + iK′ )=iπα/K.

Dan

π(K − iK′ , α) = (K + iK′ ) Z(α)+iπα/2K. (9.200)

Formula yang diperlukan untuk menurunkan ekspresi tersedia dalam 'Handbook of elliptic
integrals for engineers and physicists, oleh Byrd, P.F. dan Friedman, M.D. (1954) dan 'Elements
of the theory of elliptic and associated functions with applications by Dutta, M., Debnath, L.
(1965). Semua nilai snα, cnα, dnα, Z(α) dibaca dari 'tabel fungsi elips Jacobian' oleh Milne-
Thomson Dover New York (1950).

157 | K e l o m p o k 2 B
TUGAS 1

TEORI MEDAN POTENSIAL

GREEN’S THEOREM IN POTENTIAL THEORY

OLEH

KELOMPOK 5B

7. RAFLI (R1A117038)
8. NI MADE RAI ARYANTI (R1A121006)
9. ANDRI SUDARSONO (R1A121012)
10. TAZKIA RAMADHANI (R1A121028)
11. ABDUL WAHID (R1A121030)
12. RIFAIS (R1A121058)

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023
158 | K e l o m p o k 2 B
ANDRI SUDARSONO (R1A121012)
In this chapter Green’s first second and third identities are defined. Using Green’s theorem one
can arrive at Poisson’s equation. Gauss’ theorem of total normal induction in gravity field,
estimation of mass of a subsurface body from gravitational potential are given. It could be shown
that the basic formula of analytical continuation of potential field can be derived from Green’s
theorem. Two dimensional nature of the Green’s identities are shown Theory of Green’s
equivalent layer which explains the ambiguity in interpretation of gravitational potentials is
discussed. Application of Green’s theorem for deriving Green’s function and analytical
continuation are respectively given in Chaps. 14 and 16. Nature of the vector Green’s theorem is
shown.

10.1 Green’s First Identity

Let a region R includes the Vol. V enclosed by the surface S. Let φ (x, y, z) and ψ (x, y, z) are
two scalar functions and we assume that both ψ and φ are continuous and have non-zero first and
second derivatives(Fig. 10.1). We can define a vector in the form

where a and A are respectively a scalar and a vector. Applying divergence operation on both the
sides of (10.1), we get,

From Gausses divergence theorem , we get

𝐹 = Φ grad ψ

Since

𝑑𝑖𝑣 (𝑎𝐴) = 𝑎 𝑑𝑖𝑣 𝐴 + 𝐴 𝑔𝑟𝑎𝑑 𝑎

where a and A are respectively a scalar and a vector. Applying divergence operation on both the
sides of (10.1), we get,

𝑑𝑖𝑣 𝐹 = 𝑔𝑟𝑎𝑑 Φ grad ψ + Φ div grad ψ

Integrating both the sides, we get

159 | K e l o m p o k 2 B
∫ 𝑑𝑖𝑣 𝐹 𝑑𝑣 = ∫ (𝑔𝑟𝑎𝑑 Φ grad ψ) 𝑑𝑣 + ∫ Φ∇2 ψ 𝑑𝑣
ϑ ϑ ϑ

Fig. 10.1. A region R is having Vol. V and surrounded by the surface S

From Gausses divergence theorem , we get

∂ψ
∫ 𝑑𝑖𝑣 𝐹 𝑑𝑣 = ∫ 𝐹𝑛 𝑑𝑠 + ∫ Φ 𝑑𝑠
∂n
v s

This is known as the Green’s Theorem in non-symmetrical form. It is also known as the Green’s
first identity.

If we write

𝐹 = ψ grad Φ

we get a complementary equation which can be written in the form as

∂Φ
∫ψ 𝑑𝑠 = ∫ (grad ψ 𝑔𝑟𝑎𝑑 Φ ) 𝑑𝑣 + ∫ ψ∇2 Φ 𝑑𝑣
∂n
𝑠 v ϑ

Subtracting (10.7) from (10.5) , we get

160 | K e l o m p o k 2 B
∂ψ ∂Φ
∫ (Φ∇2 ψ − ψ∇2 Φ)𝑑𝑣 = ∫ (Φ −ψ ) 𝑑𝑠
∂n ∂n
𝑣 s

This is known as the Green’s second identity or Green’s theorem in symmetrical form.

10.2 Harmonic Function

Harmonic function is defined as the function which is continuous within a finite region R, it has
non zero first and second derivatives and it satisfies Laplace equation within the region.

10.3 Corollaries of Green’s Theorem

Some of the Corollaries of Green’s theorem are as follows: Cor. 1 If φ and ψ are both harmonic
and continuous within the region R, then

∂ψ ∂Φ
∫ (Φ −ψ ) 𝑑𝑠 = 0
∂n ∂n

since both ∇2 Φ = ∇2 ψ = 0 and φ and ψ satisfy Laplace equation.

Cor. 2 If φ is harmonic and continuously differentiable in a closed region then the integral of the
normal derivative of φ over the boundary vanishes.

∂Φ
If we put ψ = 1, then ∫ ∂n 𝑑𝑠 = 0

This region does not include any source. The surface integral of the normal derivative of a
harmonic function over any closed surface is zero.

Cor. 3 If a function φ is harmonic in a closed sphere of radius ‘a’ with the centre at the point C,
then φc is equal to the average of its values on the boundary surface. This is known as the mean
value theorem or the average value theorem in potential theory. If this theorem is applied in the

161 | K e l o m p o k 2 B
case of bodies of simpler geometrics, say, in the case of a sphere (Fig. 10.2) then for a sphere, the
∂Φ ∂ψ
normal is along the radial direction, = . Elementary area ds = r2 sin θ dθ dψ, where θ and ψ
∂n ∂n

are respectively the polar and azimuthal angles.

Hence

∂Φ ∂Φ 2
∫ 𝑑𝑠 = ∫ 𝑟 sin θ dθ dψ
∂n ∂n

2π π
∂Φ 2
= ∫ ∫∫ 𝑟 sin θ dθ dψ = 0
∂n
0 0

Fig. 10.2. A sphere of outer and inner radii ‘a’ and ‘r’ respectively

RAFLI (R1A117038)

Multiplying both the sides of (10.11) by dr and integrating with in the region, we get

𝑟 2π π
∂Φ 2
∫ 𝑑𝑟 = ∫ ∫ ∫ 𝑟 sin θ dθ dψ = 0
∂n
0 0 0

2π π

⇒ ∫ ∫ ∫(Φ𝑟 − Φ0 ) 𝑟 2 sin θ dθ dψ = 0
0 0

162 | K e l o m p o k 2 B
2π π

⇒ ∫ ∫ ∫ Φ𝑟 𝑟 2 sin θ dθ dψ − 4π𝑟 2 Φ (c) = 0


0 0

2π π
1
⇒ Φ𝑐 = ∫ ∫ ∫ Φ𝑟 𝑟 2 sin θ dθ d Φ
4π𝑟 2
0 0

1
= ∫ ∫ ∫ Φ𝑠 𝑑𝑠
4π𝑟 2

This gives the value of the potential at the centre which is the average of its potential on the
surface i.e., the mean value theorem is

1
Φ𝑐 = ∮ Φ𝑠 𝑑𝑠
𝑆
𝑠

Cor. 4 If a function φ is harmonic in a closed sphere, then φc at the centre is equal to the average
of its value through out the sphere. This is the second average value or mean value theorem.

From (10.12), we can write

𝑎 𝑎

∫ Φ𝑐 4π𝑟 2 𝑑𝑟 = ∫ ∫ Φ dsdr = ∫ Φ dv
0 0 𝑠 𝑣

where a is the radius of the sphere. Therefore

1
Φ𝑐 = = ∫ Φ dv
𝑣
𝑣

Here the sphere considered is a solid sphere and ν is the volume of the sphere. Cor. 5 If φ is a
harmonic function and not constant in a closed region, then φ cannot have maximum or
minimum inside the region.

Cor. 6 A maximum or a minimum value of a harmonic function occurs at a boundary of the


region.

163 | K e l o m p o k 2 B
Cor. 7 If a function is harmonic in a region and is constants on the surface, then it is constant
throughout the region.

Cor. 8 Two functions and w which are harmonic in a region and are equal at every point in the
boundary are equal at every point in the region.

Cor. 9 If a solution of Laplace equation is found and has prescribed values on the boundary, then
the solution is unique. This is known as the uniqueness theorem in potential theory.

Cor. 10 If a function is harmonic in a closed region and its normal derivatives vanish in the
boundary, then the function is constant throughout the region.

Cor. 11 If two functions are harmonic in a closed region and have the same normal derivative at
the boundary, then they differ by a constant.

10.4 Regular Function

The space outside the closed volume (Fig. 10.1) is called the infinite region where r → ∞. If
there be any function 𝜙 such that Lim 𝑟𝜙 = finite or lim 𝑟 grad 𝜙 = finite then is 𝜙 called a
𝑟→∞ 𝑟→∞

regular function at infinity. A potential function is a regular function provided the source does
not exist in the region.

Cor. 12 A function is harmonic in an infinite region if it has continuous second derivative,


satisfies Laplace equation and is regular at infinity. With this definition of the harmonic and
regular function, the theorem. which we get is valid for infinite region. For an infinite region, the
value of a harmonic function is uniquely determined by the values of the normal derivatives at
the boundary.

Cor. 13 If and y are harmonic functions within a closed surface S and has a single pole on S so
that

1
𝜓= + 𝜌
𝑟

Where 𝜌 is harmonic, then

164 | K e l o m p o k 2 B
1 ∂𝜓 ∂𝜙
𝜙 (x, y, z) = ∫ [𝜓 −𝜙 ] 𝑑𝑠. (10.16)
4𝜋 ∂n ∂n
𝑠

Cor. 14 If φ and ψ are harmonic within a closed surface and φ and ψ have single poles at ρ1 and
ρ2 respectively and

1 1
𝜙= + ρ1 and ψ = + ρ2
𝑟1 𝑟2

Then

1 ∂ψ ∂φ
∫ (𝜙 −ψ ) 𝑑𝑠 = 𝜙 (ρ1 ) − ψ (ρ2 ) (10.17)
4𝜋 ∂n ∂n
𝑠

where φ (ρ2 ) is the value of the function φ at the point ρ2 .

10.5 Green’s Formula

Let a finite region R is bounded by the surface S. The point Q may be within the volume or
outside the region. The point P also may be within or outside the region (Fig. 10.3). The
coordinates of P and Q are respectively (x, y, z) and (ξ, η, ζ). Here P is the observation point.
1
Then the value of 𝑟 which behaves as a potential function, is given by.

1 1
=
𝑟 [(𝑥 − ξ) + (𝑦 − η)2 + (𝑧 − ζ)2 ]1/2
2
(10.18)

(a) When the point P is outside


1
Let us take as a harmonic function and ψ as any other function. From
𝑟

Green’s theorem, we get

165 | K e l o m p o k 2 B
1 1 dψ ∂ 1
∫ ∇2 ψ dν = ∫ [ − ψ ( )] 𝑑𝑠. (10.19)
𝑟 𝑟 ∂n ∂n 𝑟
𝑣 𝑠

Fig. 10.3. Observation point P is outside the region R

NI MADE RAI ARYANTI (R1A121006)

166 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 10.4. Observation point P is inside the region

(b) When the point P is inside the body, ‘r’ may or may not be harmonic strictly. We can
isolate the point with a small semicircle (Fig. 10.4). In the rest of the region 1 r is
harmonic. For this region, the normal is always outside the region. The boundary, which
demarcates the region, and the boundary, which isolates the point P, should be taken into
consideration separately. Using ∇2 1 r = 0, we get

1 1 ∂ψ ∂ 1
∫ ∇2 ψ dν = ∫ [ − ψ ( )] 𝑑𝑠
𝑟 𝑟 ∂n ∂n 𝑟
𝑠 𝑠

1 dψ ∂ 1
+∫[ − ψ ( )] 𝑑𝑠 (10.20)
𝑟 ∂n ∂n 𝑟
𝑠,

Let

1 ∂ψ ∂ 1
𝐼1 = ∫ [ − ψ ( )] 𝑑𝑠
𝑟 ∂n ∂n 𝑟
𝑠

167 | K e l o m p o k 2 B
1 ∂ψ
𝐼2 = ∫ 𝑑𝑠
𝑟 ∂n
𝑠,

And

∂ 1
𝐼3 = ∫ [ ψ ( )] 𝑑𝑠
∂n 𝑟
𝑠,

Let us first evaluate the second integral, which entered into the (10.20) due to the origin of
the second surface, which isolates the point P. The circle which isolates the point P is of
radius ‘a’. Therefor

1 ∂ψ
𝐼2 = ∫ (− ) 𝑎2 sin 𝜃 𝑑𝜃 dψ. (10.21)
𝑎 ∂r
𝑠,
∂ψ
Here− ∂r is the normal towards the centre because the movement is in the clockwise

direction as indicated by the arrows. Therefore

2𝜋 𝜋
∂ψ
𝐼3 = 𝑎 ∫ ∫ − ( ) sin 𝜃 dθ dψ (10.22)
∂r
0 0

Now lim 𝐼2 → 0.
𝑎→0

In the limit r → 0

𝜕 1
𝐼3 = ∫ [−ψ ( )] 𝑑𝑠. (10.23)
𝜕𝑛 𝑟
𝑆

𝜕 1 1 1
Since 𝜕𝑛 (𝑟) = − 𝑟 2 = − 𝑤ℎ𝑒𝑛 𝑟 → 𝑎, (10.23) reduces to
𝑎2

168 | K e l o m p o k 2 B
2𝜋 𝜋

𝐼3 = − ∫ ∫ ψ sin θ dθ dψ. (10.24)


0 0

Now taking the limit a → 0, the integral reduces to 4πψρ when the point P is inside. Green’s
theorem changes to the form

1 1 1 1 ∂ψ 𝜕 1
ψ𝑝 = − ∫ ∇2 ψ dν + ∫[ − ψ ( )] 𝑑𝑠 (10.25)
4𝜋 𝑟 4𝜋 𝑟 ∂n 𝜕𝑛 𝑟
𝑣 𝑠

This is the expression for the potential at a point when the point P is inside the region R.

(c) When the point is on the boundary


When the point P is right over the boundary, the function 1 r is not strictly harmonic.
Approaching in a similar way, we get the expressions for the potentials as

1 1 1 1 ∂ψ 𝜕 1
ψ𝑝 = − ∫ ∇2 ψ dν + ∫( − ψ ( )) 𝑑𝑠 (10.26)
2𝜋 𝑟 2𝜋 𝑟 ∂n 𝜕𝑛 𝑟
𝑣 𝑠

because the solid angle subtended at the point P is 2π and not 4π. If ψ is a potential
function which is harmonic within the region then ∇2 ψ = 0 and

1 1 ∂ψ 𝜕 1
ψ𝑝 = ∫[ − ψ ( )] 𝑑𝑠. (10.27)
2𝜋 𝑟 ∂n 𝜕𝑛 𝑟
𝑠

Now we can summarise the Green’s formulae for potential as follows.

a) When the point P is outside

1 𝜕ѱ 𝜕 1
∫ [ − ѱ ( )] 𝑑𝑠 = 0.
𝑟 𝜕𝑛 𝜕𝑛 𝑟
𝑠

b) when the point P is Inside, then

169 | K e l o m p o k 2 B
1 1 𝜕ѱ 𝜕 1
ѱ𝑝 = ∫ [ − ѱ ( )] 𝑑𝑠.
4𝜋 𝑟 𝜕𝑛 𝜕𝑛 𝑟
𝑠

This is the green’s third formula.

c) when the point P is on the boundary

1 1 𝜕ѱ 𝜕 1
ѱ𝑝 = ∫ [ − ѱ ( )] 𝑑𝑠.
2𝜋 𝑟 𝜕𝑛 𝜕𝑛 𝑟
𝑠

Green’s first and second identities are also known as Green’s formulae. The second
identity i.e., the Green’s symmetrical formula is more frequently used. Only the first and
second derivatives of φ and ψ enter in the surface integrals and they are the normal
derivatives φ and ψ have continuous second derivatives in the interior of the region V (entire
𝜕φ 𝜕ѱ
volume). Φ, ѱ, 𝜕𝑛 and remains continuous in the closed region v+s, i.e. volume plus surface.
𝜕𝑛

The second derivatives of φ and ψ are piecewise continuous in the volume V.


Green’s theorem is valid for each of the subregions into which the V is divided by the
surface of discontinuity. By addition of these formulae for each subregions, we can obtain
the theorem for the entire region.

10.6 Some Special Cases in Green’s Formula

a. When ѱ = 1, then

𝜕Φ
∭ ∇2 Φ dv = ∫ 𝑑𝑠
𝜕𝑛
𝑣 𝑠

b. If φ = ѱ, then

𝜕ɸ
∭(∇ɸ)2 𝑑𝑣 = ∬ ɸ 𝑑𝑠 − ∭ ɸ∇2 ɸ𝑑𝑣
𝜕𝑛
𝑣 𝑠 𝑣

c. if ɸ is a regular harmonic function in v, then ∇ ɸ = 0, and one gets

𝜕ɸ
∭(∇ɸ)2 𝑑𝑣 = ∬ ɸ 𝑑𝑠.
𝜕𝑛
𝑣

170 | K e l o m p o k 2 B
d. If ɸ and ψ are both harmonic functions inside the closed surface S, then

𝜕ѱ 𝜕ɸ
∬ (ɸ − ѱ ) 𝑑𝑠 = 0.
𝜕𝑛 𝜕𝑛
𝑠

ABDUL WAHID (R1A121030)


10. 7 Poisson’s Equation from Green’s Theorem

Let φ(ξ, η, ζ) is a function at a coordinate ξ, η, ζ which is continuous in a vol- ume and is


bounded by a closed surface S. Its first derivative is also continuous. From Green’s
theorem, we can write

𝜕ɸ
∫ ∇2 ɸ 𝑑𝑣 = ∫ 𝑑𝑠
𝜕𝑛
𝑣 𝑠

for continuous and finite distribution of matters. Here φ is a potential function for
continuous and finite distribution of matters. From Gauss’s theorem, we c a n wr it e

𝜕ɸ
∫ 𝑑𝑠 = −4𝜋 𝑀 𝑜𝑟 ∫ ∇2 ɸ 𝑑𝑣 = −4𝜋 𝑀.
𝜕𝑛

Here M stands for the distribution of mass and is equal to M =∫𝑣 𝜎𝑑𝑣.σ(ξ, η, ζ) is the
density of the matters distributed in the volume We can rewrite (10.36) in the form

∫(∇2 ɸ + 4𝜋𝜎) 𝑑𝑣 = 0
𝑣

It reduces to

∇2 ɸ = −4𝜋𝜎

This is the Poisson equation and it is valid for any kind of distribution of matters.

10.8 Gauss’s Theorem of Total Normal Induction in Gravity Field

171 | K e l o m p o k 2 B
Let φ be the gravitational potential due to certain distribution of masses both inside and
outside the domain R. Let ψ, the other scalar potential function is assumed to be
constant both outside and inside the region S. We can write from Green’s second identy.

172 | K e l o m p o k 2 B
𝜕ɸ
∫ ∇2 ɸ𝑑𝑣 = ∫ 𝑑𝑠
𝜕𝑛
𝑣 𝑠

where ɸ is a harmonic function. Since ψ is assumed to be constant, its


deriva- tive with respect to the direction normal to the surface is zero. Let ɸin
and ɸout are respectively the potential both inside and outside S. ɸout

obeys Laplace equation is a source free region and ɸin obeys Poisson’s
equation because the masses are included within the domain

∭ ∇2 ɸ𝑜𝑢𝑡 𝑑𝑣 = 0
𝑣

And

∭ ∇2 ɸ𝑜𝑢𝑡 𝑑𝑣 = −4𝜋𝐺𝑀
𝑣

Here M is the total mass included by the surface. It is important to note


these Green’s formulae is independent of the sizes and shapes of the
distribution of masses and sizes and shapes of the boundaries. Hence

𝜕ɸ
∭ ∇2 ɸ𝑜𝑢𝑡 𝑑𝑣 = ∬ 𝑑𝑠 = −4𝜋𝐺𝑀
𝜕𝑛
𝑣

This is Gauss’ law of total normal induction. It states that the total normal
gravitation flux on a closed bounded surface is equal to 4πG times the total
M of one body or multiple bodies inside the closed domain. Here G is the
universal gravitational constant.

10.9 Estimation of Mass in Gravity Field

173 | K e l o m p o k 2 B
Since Gauss’ law of total normal induction is valid in gravity field also,
we can assume that the anomalous masses which are generating gravity
anomaly because of density contrast are relatively nearer to the surface and
we estimate the total normal induction on the surface of a sphere of
infinite radius. We divide this sphere into two hemispheres and the central
horizontal plane which cuts the sphere into two parts.The first part
represent the surface of the earth, where we seek the mass to be estimated.
And the second part is upper hemisphere of infinite radius.We can now
write the total normal induction as

174 | K e l o m p o k 2 B
𝜕ɸ 𝜕ɸ
∫ 𝑑𝑠 + ∫ 𝑑𝑠 = −4𝜋𝐺𝑀
𝜕𝑛 𝜕𝑛
𝑝𝑙𝑎𝑛𝑒 𝐻𝑒𝑚𝑖𝑠𝑝ℎ𝑒𝑟𝑒

We can divide the total normal induction equally in upper and lower hemi- sphere and
each sector will have −2πGM where M is the total anomalous mass. This induction is
independent of the total number of bodies present and their sizes and shapes. Therefore,
on the surface, we can write the expression for the integral on gravity anomaly as

∫ ∆𝑔𝑑𝑠 = 2𝜋𝐺𝑀

where ∆g is the gravity anomaly and M is the mass excess due to density contrast
with the host rock. Surface integration is carried over the plane of observation.

10.10 Green’s Theorem for Analytical Continuation

By analytical continuation we mean potential measured in one plane or level can be


transferred to another plane or level mathematically or analytically (see Chap. 16). If

P is any point outside the domain with surface S and φ/ = 1 where r is the distance
2
of P from any volume element dv at Q inside the domain bounded by S (Fig. 10.4).

Since φ/ is an harmonic function, it satisfies Laplace equation ∇ φ/ = 0 at all points


throughout V. Inside the volume v 1 the potential satisfies poisson’s equation. Therefore we can
write ∇ 2 φ =−4πGM, where G is the universal gravitational constant and M is the
total mass. From Green’s second identity or symmetrical form of Green’s theorem, we can
write

𝐺𝑝 𝑑𝑣 𝜕 1 1 𝜕ɸ
4𝜋 ∭ = ∬ [ɸ ( ) − ] 𝑑𝑠
𝑟 𝜕𝑛 𝑟 𝑟 𝜕𝑛
𝑣 𝑠

1 𝜕 1 1 𝜕ɸ
⟶ ɸ𝑝 = ∫ [ɸ ( ) − ( )] 𝑑𝑠
4𝜋 𝑟𝑛 𝑟 𝑟 𝜕𝑛
𝑠

175 | K e l o m p o k 2 B
Where

𝐺𝑑𝑚
ɸ𝑝 = ∫
𝑟

is the potential at P due to mass distribution inside S. One can estimate the potential at
𝜕ɸ
any point outside a closed surface S if the potential φ and it normal darivative 𝜕𝑛 are
known at all points on the surface. The potential φ is the combined potential due to the
masses inside and outside S. φ is the potential due to the masses enclosed by the surface
only.

Now on the surface of a hemisphere

𝜕 1 𝜕ɸ
ɸ ( ) = 0 𝑎𝑛𝑑 (1⁄𝑟) ( ) = 0
𝜕𝑛 𝑟 𝜕𝑛

because the hemisphere radius is infinitely high. Hence (10.47) becomes

1 𝜕 1 1 𝜕ɸ
ɸ𝑝 = ∫ [ɸ ( ) − ] 𝑑𝑠 /
4𝜋 𝜕𝑛 𝑟 𝑟 𝜕𝑛
𝑃𝑙𝑎𝑛𝑒

Figure 10.5 shows that the images of mass distribution are within the enclosed volume of
the upper hemisphere. These images also produce the potential on the boundary surface
of the two hemisphere. If φ1 is the potential due to the distribution of images in the
upper hemisphere, the potential and its normal derivatives must be equal on the plane
which divides the two hemispheres. Since the normals n and n1 are in the opposite
direction, we can write.

176 | K e l o m p o k 2 B
Fig. 10.5 Distribution of messes in the lower half space and their images in the upper half spacer
RIFAIS (R1A121058)
  1
   1 and 
n n1
On the plane. For upper hemisphere
   1  1  1 
  n1  r   r n1 ds  0
 1 (10.49)

With no masses inside. Thus


 1 1 

plane
  ds   
rn  r  plane
r n
ds (10.50)

Therefore (10.49) can be rewritten as


1 1 
p 
2 
plane
r n
ds (10.51)

Taking z axis as positive vertically downward and normal to the plane we get
1 1 
p 
2 s r n ds (10.52)

This is the upward continuation integral. This integral is valid for the upper hemisphere
where(10.52) is valid. The plane of observation at any height in the upper hemisphere doest not
contain any mass responsible for the potential  . Futher details on the topic is discussed in chap.
16
10.11 Green’s Theorem for Two Dimensional Problems
For a two-dimensional problem, the potential is logarithmic

177 | K e l o m p o k 2 B
c
  2Gm n  (10.53)
r
This is the expression for gravitational potential due to a long line source of mass m . C is any
arbitrary constant. For two-dimensional problems
(a) the laplace and other connecting equations are
 2  2
(i)  2 0 (10.54)
x 2 y

 1
(ii)  2  n   0 (10.55)
 r
(b) Gauss’s divergence theorem is


 F . dl
Div F  lim
v  0  S
(10.56)

Where as for three dimensional problems it is



 F. dl
Div F  lim
v 0 
s
V
(10.57)

(c) gren’s second identity can be obtained from



F   grad Ѱ
where both  and are functions of x and y. It is given by
   
  
   2  ds      d
2
(10.58)
s  
n n 

(d) The mean value theorem is the value of the logarithmic potential at the centre of the circle
and it is the average of potential at the circumference.
1
(e) For green’s formula in two dimensions   n and is any function
r

r  (x   ) 2  y  ) 2 .
1
If the point P is outside (Fig. 10.4) the closed surface, ℓn 𝑟 is continuous

and harmonic. When the point P is inside, we shall have to draw a small
circle surrounding the point P to avoid singularity as it is done in the 3-D

178 | K e l o m p o k 2 B
case. Green’s formula for the 2-D case is given by
1   1    1     
p 
2  n r  n  n r d  2    n nr  n  d
 
(10.59)

When the point P is outside, we get


1    
0
2    n nr  n  d

(10.60)

When the point P is on the boundary of an area in two dimensions


1    
p 
    n nr  n  d

(10.61)

If the point Plies on the boundary C, thw point P is excluded from the region of integration by
1
endclosing it in a small circle of radius ‘a’ and the ‘a’ is made to approach zero. The factor
2
1
enters here instead of , since 2 is the circumference of an unit circle. Every potential
4
possessces continous partial derivatives.

10.12 Three to Two Dimensional Conversion


For the to two dimensional conversional of the potential problems the following factors are t be
changed i.e.
3-D 2-D
(i) Volume  area
(ii)surface  curve lines
(iii)sphare  circle
1 1
(iV)   n  (10.62)
r r
(v) 4 2
(vi) 2 
 2  2  2  2  2
(vIi)   2 or 2  2
z 2 y 2 z x z

179 | K e l o m p o k 2 B
10.13 Green’s Equivalent Layers
For poisson’s field when the source is include
 2   4 (10.63)

Where  is the volume density of mass and  2   0 for laplace field in a source free region. Let
us assume a certain region R has the volume V and is bounded by the surface S. Some masses
are present inside and some are P due to the distribution of mass using green’s theorem is
1  1    1  dv
p 
4    r
s
n
   ds    
n  r  v
r
dv (10.64)

I2 incidates the components of potential at a point P due to all the source included in the volume
V. The surface S is drawn to separate the volume V that contains all the inside and the sources
outside the region.

1 1 𝜕Φ Φ 𝜕 1
𝐼1 = ∫ ∫ ( ) 𝑑𝑠 − ∫ ∫ ( ) 𝑑𝑠 (10.65)
𝑟 2π 𝜕n 4π 𝜕n 𝑟
𝑠 𝑠

σ𝑠 ↓ ↓
Surface distribution of masses Double layer distribution

The first integral represents the potentials due to simple surface distribution 𝜎𝑠 . The
second integral represents the potential due to surface distribution of double layer dipoles of
charge or mass distribution of moment m. Hence we can show the redistribution of masses as

180 | K e l o m p o k 2 B
shown in the Fig. 10.7. We can divide the total normal induction equally in upper and lower
hemisphere and each sector will have −2𝜋𝐺𝑀 where M is the total anomalous mass. This
induction is independent of the total number of bodies present and their sizes and shapes.
Therefore, on the surface, we can write the expression for the integral on gravity anomaly as

∫ Δgds = 4𝜋𝐺𝑀 (10.66)


𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒

where Δg is the gravity anomaly and M is the mass excess due to density contrast with the host
rock. Surface integration is carried over the plane of observation.

ρdν 𝜎𝑠 𝑑𝑠
∫∫∫ + ∫∫ +
𝑟 𝑟
↓ ↓
Volume distribution of masses Surface distribution of masses

Fig. 10.7. Mass distribution in the region both inside and outside the region can be changed to
mass distribution inside, surface distribution of masses and dipolar distribution

TAZKIA RAMADHANI (R1A121028)

m 𝜕 1
∫∫ ( ) 𝑑𝑠
4π 𝜕n 𝑟

181 | K e l o m p o k 2 B
Double layer
distribution of masses

The sources outside the surface can be redistributed and taken on the bounding surface S as a
simple surface distribution and a double layer distribution. In a source free region where ∇2 Φ =
0 ,the potential is

1 1 𝜕Φ 𝜕 1 (10.67)
Φ𝑃 = ∫ ∫[ − Φ ( )] 𝑑𝑠
4π 𝑟 𝜕n 𝜕n 𝑟
𝑠

This is known the Green's third formula. From this equation, we can see that the value of a
harmonic function in the interior region of volume V, where it is regular, is determined. We
know the value of the function and its normal derivatives on the boundary. We assumed also that
𝜕Φ
Φ and are continuous on approaching the boundary S.
𝜕n

Green's third formula states that: every regular harmonic function can be represented as
the sum of the potentials due to a surface distribution and a double layer distribution on the
surface.

Green's theorem of equivalent layer states that

(a) the effect of matter lying outside of any closed surface S may be replaced at all the interior
points by the superposition of a single layer and a double layer on S.
(b) The effect of matter lying within a closed surface may be replaced at all the exterior points
by the superposition of a single layer and a double layer.
(c) The matter contained outside (or inside) any closed equipotential surface S in a given field
1 𝜕Ψ
can be spread over the surface with a surface density - at a point on the surface
4π 𝜕n

without altering the potential at any point in the field inside (or outside) S. Some parts of the
𝑚
matter are also distributed in the form of double layer with dipole moment distribution

and is knows as Green's equivalent layers and it explains the ambiguity in the potential fields
i.e., many different sets of distribution of masses can generate the same type of gravity
responses on the surface. Ambiguity do exist in other scalar and vector potential fields also.

182 | K e l o m p o k 2 B
10.14 Unique Surface Distribution

In a region bounded by S (Fig. 10.8), if Φ0 is harmonic outside and Φ𝑖 is harmonic inside, then
one can write from Green's theorem

1 1 𝜕ϕ𝑖 𝜕 1 (10.68)
ϕ𝑖 = ∮[ − ϕ𝑖 ( )] 𝑑𝑠
4π 𝑟 𝜕n0 𝜕n𝑖 𝑟

Fig. 10.8. Unique surface distribution when the potential is harmonic both inside and outside

when the observation point is also outside, one gets

1 1 𝜕ϕ𝑖 𝜕 1 (10.69)
0= ∮[ − ϕ𝑖 ( )] 𝑑𝑠
4π 𝑟 𝜕n0 𝜕n𝑖 𝑟

The two formulae are for potential inside and outside when the observation point is inside. When
the observation point is outside, One gets

1 1 𝜕ϕ0 𝜕 1
0= ∮[ − ϕ0 ( )] 𝑑𝑠 → 𝑖𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒 (10.70)
4π 𝑟 𝜕𝑛 𝜕n𝑖 𝑟
183 | K e l o m p o k 2 B
and

1 1 𝜕ϕ0 𝜕 1 (10.71)
ϕ0 = ∮[ − ϕ0 ( )] 𝑑𝑠 → 𝑜𝑢𝑡𝑠𝑖𝑑𝑒
4π 𝑟 𝜕𝑛 𝜕n0 𝑟

Hence we get

1 1 𝜕ϕ𝑖 𝜕ϕ0 1 𝜕 1 𝜕 1
ϕ𝑖 = ∮ ( + ) 𝑑𝑠 − ∮ [ϕ𝑖 ( ) + ϕ0 ( )] 𝑑𝑠 (10.72)
4π 𝑟 𝜕n0 𝜕n𝑖 4π 𝜕n0 𝑟 𝜕n𝑖 𝑟
𝜕 𝜕
Now 𝜕n = − 𝜕n and on the surface ϕ𝑖 = ϕ0
𝑖 0

Therefore,

1 1 𝜕ϕ𝑖 𝜕ϕ0 (10.73)


ϕ𝑖 = ∮ ( − ) 𝑑𝑠
4π 𝑟 𝜕n0 𝜕n0
𝑠

1 1 𝜕ϕ𝑖 𝜕ϕ0
ϕ0 = ∮ ( − ) 𝑑𝑠 (10.74)
4π 𝑟 𝜕n0 𝜕n0
𝑠

by adding the terms. Both values in (10.73) and (10.74) are exactly equal. If ϕ0 be the potential
at any point outside a closed surface S due to masses inside the surface and ϕ𝑖 is the potential at
points inside the surface due to masses outside and if ϕ0 = ϕ𝑖 on the surface then the expression
1 𝜕ϕ 𝜕ϕ0 ds

∫ ( 𝜕𝑛𝑖 − 𝜕𝑛
) r
has the value ϕ0 at the external point and the value ϕ𝑖 at the internal points.

Here r denotes the distance from the point source at any point on the surface. n is the direction of
the normal.

If in a closed surface S there are certain distribution of mass and if ϕ𝑖 , is harmonic inside
and ϕ0 is harmonic outside and if ϕ𝑖 = ϕ0 on the surface, then there exists one and only one
surface distribution for which ϕ𝑖 is the internal potential and ϕ0 is the external potential.

10.15 Vector Green's Theorem

Tai (1992) first demonstrated that if we take

184 | K e l o m p o k 2 B
𝐹 = 𝑃⃗ × ∇ × 𝑄⃗ (10.75)

where 𝑃⃗ and 𝑄⃗ are two vectors. Applying the vector identity we get

∇. 𝐹 = (∇ × 𝑃⃗). (∇ × 𝑄⃗) − 𝑃⃗ . ∇ × ∇ × 𝑄⃗ (10.76)

Substituting these values in Gauss's divergence theorem we get

∫ ∫ ∫[(∇ × 𝑃⃗) • (∇ × 𝑄⃗) − 𝑃⃗ • ∇ × ∇ × 𝑄⃗ ] 𝑑𝑣 =


𝑣
(10.77)

∫ ∫(𝑃⃗ × ∇ × 𝑄⃗) 𝑑𝑠 = ∮ ∫ 𝑛̂. (𝑃⃗ × ∇ × 𝑄⃗)𝑑𝑠


𝑠 𝑠

where 𝑛⃗ denotes the outward normal unit vector on the surface.

By interchanging the role of 𝑃⃗ and 𝑄⃗, the way it was done for scalar Green's function,
and taking the difference of the two resultant equations, we get the vector Green's theorem of
second symmetrical formula as

∫ ∫ ∫(𝑃⃗. ∇ × ∇ × 𝑄⃗ − 𝑄⃗. ∇ × ∇ × 𝑃⃗)𝑑𝑣


𝑣

= ∫ ∫ (𝑄⃗ × ∇ × 𝑄⃗ − 𝑃⃗ × ∇ × 𝑄⃗) 𝑑 𝑠
𝑠

− ∫ ∫ (𝑛⃗. (𝑄⃗ × ∇ × 𝑃⃗ − 𝑃⃗ × ∇ × 𝑄⃗)𝑑𝑠 (10.78)


𝑠

185 | K e l o m p o k 2 B
186 | K e l o m p o k 2 B
187 | K e l o m p o k 2 B
188 | K e l o m p o k 2 B

Anda mungkin juga menyukai