Anda di halaman 1dari 16

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI

YANG TERDAPAT DI WILAYAH KELURAHAN LERE

UNIVERSITAS TADULAKO

KEWIRAUSAHAAN B
KELOMPOK II
“nama” “nim”

PRODI HUKUM
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 20222
Daftar Isi

Kata Pengantar......................................................................................................1

Bab 1 Pendahuluan................................................................................................2

1.1. Latar Belakang.......................................................................................2

1.1. Tujuan Pengkajian.................................................................................3

1.2. Lingkup Pembahasan.............................................................................3

1.3. Waktu dan Lokasi Wawancara..............................................................3

Bab 2 Wawancara..................................................................................................4

Bab 3 Pembahasan.................................................................................................9

3.1. Gambaran Umum Kelurahan Lere.........................................................9

3.2. Kelembagaan Adat Kaili Di Kelurahan Lere.......................................10

3.3. Sikap Masyarakat Kelurahan Lere Atas Keberadaan Lembaga Adat. 11

Bab 4 Penutup......................................................................................................12

Daftar Referensi...................................................................................................13

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


Kata Pengantar
“ketik di sini”

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang

Adat merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan


sosial masyarakat di Indonesia. Adat merupakan aturan, kebiasaan –
kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang
dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat dan
memiliki sanksi sosial.1 Agar merupakan sesuatu yang diwariskan secara
turun – temurun dan bersumberkan dari nilai moralitas yang terdapat dalam
masyarakat. Di dalam adat terdapat aturan yang mengikat dan pun
konsekuensi yang dijatuhkan kepada pelanggarannya, yang mana hal tersebut
dikenal dengan sebutan hukum adat. Hukum adat adalah seperangkat norma
atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku
untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya yang
diwariskan secara turun temurun yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk
keadilan dan ketertiban masyarakat dan mempunyai akibat hukum atau
sanksi.2

Wilayah pengkajian eksistensi adat ini, ialah Kelurahan Lere yang


terdapat di Kota Palu. Dengan menimbang bahwa kondisi yang tampak pada
Kelurahan ini terkait degan pengaruh masyarakat adatnya masih sanggatlah
kental dan mengambil pengaruh yang signifikan dalam kehidupan
masyarakat.

Untuk menghasilkan pengkajian yang kredibel dan tepat, maka


diperlukanlah juga narasumber yang spesifik memiliki kredibilitas terhadap
kaitannya dengan tema yang dibahas. Berkaitan dengan itu maka narasumber
yang diwawancarai dalam pengkajian ini ialah bapak H. M. Shafei
Datupalinge, SE, yang mana beliau selaku sebagai ketua dari lembaga adat
yang berada di Kelurahan Lere dan pun sebagai salah satu toko masyarakat.
1
Wulansari, Hukum Adat Indonesia.
2
Pide, Hukum Adat.

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


1.1. Tujuan Pengkajian

Tujuan pengkajian ialah untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai


bagaimana bentuk eksistensi adat, seberapa jauh pengaruhnya terhadap
masyarakat Kelurahan Lere. Juga untuk mengetahui bentuk dari kelembagaan
adat kaili sendiri, baik itu yang bersifat secara umum ataupun yang lebih
spesifiknya yang terdapat di Kelurahan Lere sendiri.

1.2. Lingkup Pembahasan

Pembahasan yang terdapat dalam kajian ini ialah mengenai


kelembagaan adat kaili terkait dengan kondisi, pengaruh dan dampaknya
terhadap dalam kehidupan masyarakat Kelurahan Lere.

1.3. Waktu dan Lokasi Wawancara

Wawancara berlokasi di kediaman dari narasumber sendiri yaitu berada


di Kelurahan Lere, tepatnya di Jalan Pangeran Hidayat. Rumah dari
narasumber ialah bersebelahan dengan Cagar Budaya Souraja atau Banua
Oge. Wawancara dilakukan pada tanggal 23 April 2022, bertepatan dengan
hari Sabtu. Yaitu dengan 2 sesi, sesi pertama ialah mulai dari jam 11:20
berlangsung selama 50 menit hingga jam 12:10. Sesi kedua berlangsung
selama 80 menit yaitu dari jam 14:40 hingga 16:00.

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


Bab 2
Wawancara

No
Pertanyaan Jawaban Narasumber
.
Bagaimana pengaruh dari adat “Dampak adat dalam kehidupan
yang berlaku, dalam kehidupan masyarakat Kelurahan Lere masih
masyarakat di Kelurahan Lere? memiliki imbas dan masih berperan
besar dalam kehidupan masyarakat di
sini (kelurahan Lere). Khususnya di
Lere adat di pandang keberadaannya
bertautan dengan keyakinan atau
dengan nilai-nilai agama, terutama itu
agama Islam karena di Lere ini
masyarakat aslinya semuanya
memeluk agama Islam. Jika dilihat
juga ada beberapa nilai adat yang
nilai-nilai itu adalah bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Tapi, dari
1
aspek sosial masyarakat, apalagi di
Lere sendiri adat itu masih sangat
diperlukan. Dari aspek sejarahnya
dulu di sini (Lere) dulu ada yang
namanya ka magaua, sebelum
pemerintah di Lere ada yang biasa
dibilang magau, artinya itu seorang
atau orang yang menjadi pemimpin.
Jadi adat itu pada masyarakat
kelurahan Lere bisa disamakan dengan
hukum positif pada masa sekarang,
hanya saja pada masa dulunya itu
hukum positif belum ada, yang ada
hanya hukum adat.”
2 Bagaimana makna dari adat itu “Yang disebut degan adat atau
sendiri, dalam pemahaman sebutannya dalam bahasa kaili ada,
masyarakat kaili khususnya yang yaitu ada di dalam dua pemahaman.
berada di Kelurahan Lere? Adat hanya bisa sesuai dengan
undang-undang ataupun hukum yang
menjadi bagian dari kearifan lokal.
Adat kalau dalam hukum Islam adalah
akhlakul karimah, kalau prinsip saya
(narasumber) seperti itu. Misalnya
saya punya anak perempuan,
kemudian datang seorang laki-laki
melamar, pertanyaannya pertama itu

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


bagi orang tua perempuan berimba
tonana? (bagaimana orangnya?),
berimba ampena? (bagaimana sifat-
sifatnya?), dalam pandangan adat
setidaknya dari pertanyaan-pertanyaan
itu, jika dalam situasi seperti itu orang
tua perempuan agar mengizinkan
anaknya dilamar dengan seorang laki-
laki pasti akan mempertimbangkan si
laki-laki itu topoada tinana, atau
artinya itu orangnya adalah orang
yang beradat, tidak kurang ajar.
Setelah dari situ nanti kalau disetujui
maka barulah upacara-upacara adat
berikutnya akan digelar, dengan di
sesuaikan dengan apa yang sudah
diatur dalam tradisi perkawinan adat
kaili. Adat lagi misalnya di tengah-
tengah masyarakat di sini itu dulunya
adat upacara tolak sial atau bahasa
kailinya balia. Tapi seharusnya hal itu
haruslah disesuaikan agar tidak
menyimpang dari nilai-nilai agama.”
3 Bagaimana hubungan dari “Yang pertama, ditekankan kalau adat
kelembagaan adat terkait dengan itu sangat perlu untuk dipertahankan.
peranya dalam masyarakat Karena adat sangat membantu sekali
Kelurahan Lere dengan dengan suasana kemasyarakatan,
pemerintah daerah kota Palu? khususnya dewan adat yang ada di
Lere sendiri. Sebelum adanya Perda
keadatan kepemimpinan adat itu di
Lere sudah berjalan dari dulu, karena
pada masa itu di Lere sendiri sudah
ada yang namanya magau dan juga
kemagaua. Tinggal sekarang ini
pemerintah mengintegrasikan kearifan
ke dalam Perda keadatan itu. Sekarang
itu lembaga adat kapasitasnya adalah
sebagai mitra dari pemerintah daerah.
Misalnya saja dalam kaitannya itu
pernah ada beberapa kasus yang
terjadi di sini seperti konflik antar
keluarga, saudara kemudian sampai
saling lapor di kepolisian, begitu
dilapor ke kepolisian karena
mengingat yang berkonflik tadi ini
masih kerabat atau keluarga dari situ

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


pihak kepolisian menyerahkan
kasusnya ke kami, ke lembaga adat
untuk diselesaikan secara
kekeluargaan. Yang dalam tradisi adat
kaili itu istilahnya itu Givu. Dari situ
kemudian kami yang dari dewan adat
mempertemukan pihak-pihak yang
berkonflik untuk sama-sama mencari
penyelesaiannya secara baik-baik.”
Bagaimana dewan adat juga “Memang dalam hukum adat itu masih
dapat mengambil peran dalam terdapat beberapa keterbatasan yang
menyelesaikan permasalahan ada, misalnya saja sebelumnya di Lere
baru atau modern yang sendiri pernah ada masalah
sebelumnya aturan adatnya kesalahpahaman antar masyarakat
belum ditentukan? karena postingan-postingan yang ada
di media sosial misalnya. Jadi untuk
penyelesaiannya kami lakukan dengan
mengundang mereka ke balai
pertemuan adat. Di situ mereka
ditanyai baik-baik seperti kronologi
atau bagaimana kejadiannya bisa
terjadi dan juga apa maksud dari
memposting hal-hal seperti itu.
Memang kalau permasalahan sepeti itu
4
kalau di bawa penyelesaiannya ke
kepolisian itu bisa saja diselesaikan
dengan hukum negara yang sudah
mengatur hal-hal seperti begitu,
undang-undang ITE misalnya. Hanya
saja kami yang dari dewan adat ingin
tetap agar permasalahan-permasalahan
seperti itu tetap dapat diselesaikan
secara adat, dengan cara kekeluargaan.
Karena mengingat pihak-pihak yang
berselisih juga masih kena sanak
saudara. Jadi biar nantinya setelah
konfliknya diselesaikan hubungan
kekerabatan dan silaturahmi itu tetap
bisa terjaga.”
5 Bagaimana dewan adat “Terkait dengan tugas lembaga adat
berkoordinasi dengan pihak yang seperti itu, dalam adat kaili
kepolisian dalam permasalahan sendiri di dalam dewan adatnya itu ada
atau pelanggaran hukum yang yang namanya pila-pila nuada yang
ada di Kelurahan Lere? artinya itu anggota-anggota lembaga
adat, termaksud juga struktur-
strukturnya. Kami sendiri punya orang

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


yang tugasnya itu untuk melakukan
kontak ke kepolisian, melaporkan ke
kepolisian jika memang misalnya
terjadi konflik di Lere sini. Dengan
pihak kepolisian juga ada komitmen
bersama dengan lembaga adat untuk
jika terjadi permasalahan maka akan
sebisa mungkin diselesaikan secara
kekeluargaan. Terkadang juga pihak
kepolisian juga meminta kepada kami
(dewan adat) untuk menyelesaikan
permasalahan yang sifatnya itu sosial.
Misalnya saja beberapa waktu yang
belum lama, sewaktu pemerintah Kota
Palu menjalankan proyek tanggul
untuk pencegahan tsunami, banyak
dari nelayan yang melakukan
penolakan. Bahkan sampai
menghentikan pengerjaan proyek. Dari
situ kemudian kepolisian dan dari
pihak pemerintah kota, minta agar
dewan adat agar membantu
menyelesaikan permasalahan. Dari
situ kemudian dewan adat
mempertemukan mereka semua.
Kemudian kami mendengarkan alasan
penolakannya karena anggapan
nelayan jika tanggul di bangun, akses
mereka untuk turun ke laut dan tempat
mereka menyimpan perahu jadi tidak
ada. Setelah bicara baik-baik, singkat
cerita akhirnya bisa ada kesepakatan
kalau pembangunan tanggul tetap
lanjut. Sedangkan nelayan akan
dibuatkan tempat mereka menyimpan
perahu, termaksud juga jalan mereka
untuk membawa perahunya melewati
tanggul agar mereka bisa turun ke
laut.”
6 Bagaimana kondisi koordinasi “Hubungan lembaga adat kaili dengan
kelembagaan adat kaili terhadap pemerintah kota dalam perundagan-
pemerintah kota? undagan sendiri itu sudah diatur secara
jelas. Misalnya dalam perda kota palu
tentang kelembagaan adat (PERDA
Kota Palu Nomor 9 Tahun 2016
Tentang Kelembagaan Adat Kaili) di

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


situ sudah disebutkan pembagian dan
juga tugas-tugas dari lembaga adat itu
sendiri. Juga di atur juga mengenai
keanggotaan kelembagaan adat,
seperti syarat untuk menjadi anggota,
batas usia, juga jabatan-jabatan yang
ada. Misalnya saja diatur itu jika
kelembagaan adat kaili terbagi 3,
kalau di tingkat kota atau daerah ada
yang namanya dewan adat, tingkat
kecamatan adalah majelis adat dan
kalau di tingkat kelurahan sendiri
sebutannya lembaga adat. Kalau
dalam undang-undang disebut
kelembagaan adat itu berada di luar
dari struktur pemerintahan. Hanya saja
kelembagaan adat tetap dapat menjadi
pihak penyelesai terhadap konflik-
konflik sosial yang bisa saja terjadi.
Dalam kapasitasnya di situ
kelembagaan adat sebagai mitra dari
pemerintah dan juga kepolisian.”

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


Bab 3
Pembahasan

3.1. Gambaran Umum Kelurahan Lere

Kelurahan Lere merupakan salah satu wilayah administrasi yang berada


di dalam Kecamatan Palu Barat di Kota Palu. Di tinjau dari lokasi geografis
Kelurahan ini merupakan wilayah yang dikategorikan sebagai daerah pesisir,
karena letaknya yang tepat berada di pinggir pantai Teluk Palu. Berhubungan
dengan letak geografis tersebut, maka banyak masyarakatnya yang berprofesi
sebagai nelayan tradisional, serta juga bekerja pada kegiatan ekonomi yang
masih berhubungan dengan hasil laut lainnya.3

Sebagian besar masyarakat Kelurahan Lere merupakan suku Kaili


dengan dialek Topo Ledo. Yang mana jika ditinjau dari aspek historis
Kelurahan Lere merupakan wilayah yang dulunya menjadi pusat
pemerintahan dari Kerajaan Palu. Dulunya Kelurahan Lere pada masa
tersebut dikenal dengan nama wilayah Panggovia. Kerajaan palu sendiri
merupakan salah satu kerajaan yang pernah terdapat di Sulawesi Tengah dari
awal abad ke-18 hingga tahun 1960. Wilayahnya sendiri meliputi sebagian
besar wilayah administrasi Kota Palu sekarang. Jejak kelurahan Lere sebagai
pusat kerajaan Palu ialah terdapatnya Souraja atau Banua Oge, dari namanya
berarti tempat tinggal raja atau juga rumah besar. 4 Yang pada masa
pemerintahan kerajaan Palu merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya,
sekaligus sebagai pusat pemerintahan raja. Aspek historis kelurahan Lere
tersebut berdampak pada kondisi kehidupan sosial dan budaya
masyarakatnya. Di kelurahan ini nilai budaya dari masyarakatnya sendiri
masih sangat kental dan tampak. Dan mengambil peran yang lebih kuat di
dalam masyarakat, adat dan tradisi yang masih dijunjung tinggi oleh
masyarakatnya.
3
Tanod dkk., “Iptek bagi Masyarakat Kelurahan Lere dalam Pengembangan Usaha Berbahan
Baku Lamale (Penaeus sp.),” 12.
4
Herniwati, “Penghematan Energi Pada Arsitektur Tradisional Suku Kaili (Rumah Panggung
Souraja).”

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


3.2. Kelembagaan Adat Kaili Di Kelurahan Lere

Kelembagaan adat kaili dapat diartikan sebagai salah satu organisasi


masyarakat, yang secara sengaja dibentuk maupun yang telah secara wajar
telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat suku Kaili
dengan wilayah hukum adat hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum
adat, serta berhak dan berwenang mengatur, mengurus dan menyelesaikan
berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada
adat dan adat istiadat yang berlaku.

Di wilayah Kota Palu sendiri organisasi masyarakat yang bercorak akan


adat diatur dalam Perda Kota Palu Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Kelembagaan Adat Kaili. Di dalamnya diatur jika kelembagaan adat kaili
bersifat struktural, pada tingkat kota terdapat dewan adat, pada tingkat
kecamatan terdapat majelis adat dan pada tingkat kelurahan terdapat lembaga
adat. Bersesuaian dengan hal tersebut, di kelurahan Lere sendiri terdapat
lembaga adat yang bernama Panggona. Anggota dari lembaga adat tersebut
merupakan tokoh – tokoh masyarakat Kelurahan Lere sendiri, termaksud
sebagai ketuanya, disebut juga sebagai balengga nu ada ialah masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan raja terakhir dari Kerajaan Palu.

Peran dari lembaga adat tersebut ialah: a) Membantu pemerintah


Kelurahan dalam penyelenggaraan pembangunan segala bidang dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b) Melaksanakan penegakan hukum
adat kaili dalam penyelesaian perselisihan dan permasalahan sosial dilakukan
secara adil, jujur, dan tidak diskriminatif; c) Menetapkan keputusan lembaga
adat; d) menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat; e)
menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis dan selaras antara
lembaga adat, pasipi nuada dan lembaga kemasyarakatan lainnya, dan; f)
Menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan alam untuk keseimbangan
dan keberlangsungan kehidupan masyarakat.

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


3.3. Sikap Masyarakat Kelurahan Lere Atas Keberadaan Lembaga Adat

Jika sebelumnya meninjau dari aspek historis masyarakat kelurahan


Lere, dapat dikatakan bahwa eksistensi masyarakat adat terhadap pengaruh
sikap masyarakatnya masih sanggatlah kental dan berpengaruh kuat. Bagi
masyarakat kelurahan Lere lembaga adat dipandang sebagai simbol
pemersatu masyarakat dan merupakan kekayaan budaya masyarakatnya. Bila
melihat sikap masyarakatnya dengan menggunakan salah satu tugas esensi
dari lembaga adat yaitu sebagai lembaga adat sebagai instrumen peradilan,
masyarakatnya masih menaruh kepercayaan terhadap lembaga adat untuk
menyelesaikan permasalahan sosial secara hukum adat. Jika terdapat kasus
atau konflik sosial antara masyarakat di kelurahan Lere maka akan sebisa
mungkin diselesaikan secara adat dengan menggunakan asas kekeluargaan.
Mengingat bahwa sebagian besar masyarakat kelurahan Lere masih terdapat
hubungan kekerabatan antar satu dengan yang lainnya.

Lembaga adat yang terdapat di Kelurahan Lere juga mengambil peran


yang kuat terhadap aspek pelestarian budaya. Dengan berhubungan erat
dengan organisasi masyarakat berbasis seni seperti karang taruna ataupun
sanggar seni yang berada di Kelurahan Lere, lembaga adat berperan dalam
mendukung dan mengkoordinasikan kegiatan – kegiatan yang berkaitan
dengan itu. Misalnya saja di Kelurahan Lere setiap beberapa kali dalam
setahun, diadakan festival kebudayaan yang berlokasi di cagar budaya
Souraja/Banua Oge degan tujuan untuk mengenalkan kebudayaan kaili,
khususnya yang terdapat di Kelurahan Lere sendiri kepada khalayak umum.
Agar kebudayaan yang ada tidak menjadi hilang dan harapannya dapat selalu
diteruskan oleh generasi muda. Dalam fungsi lembaga adat untuk
meningkatkan kualitas daerah, di Kelurahan Lere sendiri lembaga adat yang
ada selalu partisifatif dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, dengan
selalu berkoordinasi dengan pemerintah kota untuk menentukan dan
menyelesaikan berbagai dinamika yang bisa saja muncul dalam kehidupan

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


masyarakatnya, misalnya saja dalam hal perekonomian, penyelesaian konflik
dan hal – hal sosial lainnya.

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


Bab 4
Penutup

Adat merupakan nilai – nilai yang di dalamnya terdapat panduan moral


dalam kehidupan masyarakat, yang mana didasarkan pada kebiasaan dan hal yang
telah dianggap lumrah di dalamnya. Di dalam adat terdapat hukum adat yang
merupakan ketentuan atau aturan terhadap suatu hal dengan konsekuensi tertentu
terhadap pelanggarannya. Lembaga adat merupakan salah satu instrumen dalam
praktisi hukum adat tersebut. Selain itu lembaga adat memiliki nilai tanggung
jawab moral untuk membimbing masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat dengan menggunakan nilai – nilai moral yang terdapat dalam adat
sebagai dasar panduannya. Hal tersebut bersesuaian dengan apa yang terjadi pada
lembaga adat yang terdapat di Kelurahan Lere di mana lembaga adat selain
berperan dalam penyelesaian konflik sosial juga berperan dalam pelestarian
budaya serta dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya.

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.


Daftar Referensi

Herniwati, Andi. “Penghematan Energi Pada Arsitektur Tradisional Suku Kaili


(Rumah Panggung Souraja).” SMARTek 6, no. 1 (28 April 2012): 63–70.
Pide, A. Suriyaman Mustari. Hukum Adat: Dahulu, Kini Dan Akan Datang. Ed. 1.
Cet. 3. Jakarta: Kencana, 2014.
Tanod, Wendy Alexander, Anita Treisya Aristawati, Deddy Wahyudi, dan Yeldi S
Adel. “Iptek bagi Masyarakat Kelurahan Lere dalam Pengembangan
Usaha Berbahan Baku Lamale (Penaeus sp.).” Agrokreatif Jurnal Ilmiah
Pengabdian kepada Masyarakat 5, no. 1 (2 April 2019): 11–18.
https://doi.org/10.29244/agrokreatif.5.1.11-18.
Wulansari, C. Dewi. Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar. Ed. 1. Bandung:
Refika Aditama, 2010.

EKSISTENSI KELEMBAGAAN ADAT KAILI Hal.

Anda mungkin juga menyukai