Electronic Health Records (EHRs) atau Rekam Medis Elektronik (RME) adalah sebuah metode informasi
dalam bentuk catatan kesehatan elektronik yang digunakan dalam tatanan kesehatan yang berfokus
pada pasien, melibatkan berbagai profesi kesehatan (dokter, perawat, farmasi dan kesehatan
masyarakat) terdiri dari informasi klinis pasien, mendukung kolaborasi antar profesi kesehatan untuk
pertukaran informasi dan mampu menjalin hubungan antar lembaga/ organisasi (Capello, Rinaldi, &
Gatti, 2017).
Electronic Health Records dikatakan pula sebagai sistem komputasi catatan kesehatan yang memuat
riwayat kesehatan seseorang untuk membantu penyedia layanan kesehatan dalam memberikan
perawatan. EHRs menggunakan komputer, baik untuk masyarakat sehat atau yang pernah dirawat
dirumah sakit, berasal dari semua lokasi, dan dikumpulkan dalam sebuah sistem (Weaver et al., 2016).
EHRs mencakup semua data yang berhubungan dengan kesehatan pasien seperti diagnosis, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan rencana pengobatan (Capello et al., 2017)
EHR bukanlah sistem informasi yang dapat dibeli dan diinstall seperti paket word-processing
atau sistem informasi pembayaran dan laboratorium yang secara langsung dapat dihubungkan
dengan sistem informasi lain dan alat yang sesuai dalam lingkungan tertentu.
EHR merupakan sistem informasi yang memiliki framework lebih luas dan memenuhi satu set
fungsi harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
Mengintegrasikan data dari berbagai sumber (Integrated data from multiple source)
Mengumpulkan data pada titik pelayanan (Capture data at the point of care)
Sedangkan Gemala Hatta menjelaskan bahwa EHR terdapat dalam sistem yang secara khusus dirancang
untuk mendukung pengguna dengan berbagai kemudahan fasilitas untuk kelengkapan dan keakuratan
data; memberi tanda waspada; peringatan; memiliki sistem untuk mendukung keputusan klinik dan
menghubungkan data dengan pengetahuan medis serta alat bantu lainnya.
WHO juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian EHR, yang berlandaskan pada
beberapa perbedaan penerapan EHR di beberapa negara. Namun demikian, WHO menjelaskan bahwa
EHR idealnya harus mampu:
Sistem EHR secara umum merupakan suatu sistem pencatatan kesehatan pasien yang yang terdapat
pada berbagai lembaga kesehatan seperti administratif, klinik, farmasi, radiologi, laboratorium dan
sebagainya. Secara definisi, sistem EHR merupakan kumpulan sistematis informasi kesehatan elektronik
pasien secara individu maupun dalam populasi, yang merupakan rekaman dalam format digital dan
dapat di share dalam berbagai media, melalui sistem informasi yang terhubung dalam jaringan. Catatan
tersebut dapat berisi berbagai jenis data komprehensif maupun ringkasan, termasuk demografis,
rekaman medis, pengobatan dan alergi, status imunisasi, hasil tes laboratorium, gambar radiologi,
tanda-tanda vital, status personal seperti usia dan berat badan, serta informasi tagihan.
Sistem EHR dikenal juga sebagai EPR (Electronic Patient Record) atau EMR (Electronic Medical Record).
Arsitektur rancangan dalam sistem EHR terdiri dari beberapa komponen dan pengaksesan secara
bersama-sama. Adapun komponen utama pada sistem EHR, antara lain yaitu administratif, klinik (rumah
sakit, puskesmas dan klinik), radiologi, laboratorium, farmasi, input order dokter dan klinis.
Electronic Health Record (EHR) merupakan rekam kesehatan elektronik dalam bentuk digital yang
merekam status kesehatan klien dan intervensi petugas kesehatan yang dapat di akses oleh penyedia
layanan kesehatan (Takian, 2012).
Secara umum manfaat EHR adalah mencegah kehilangan data rekam medis, meningkatkan aksisibilitas
data oleh petugas kesehatan, memperbaiki pengobatan, mengurangi kesalahan, dan menurunkan biaya.
Manfaat lain dari EHR adalah membantu klien untuk menentukan perawatan dirinya melalui portal
pasien yang disebut dengan Personal Health Record (PHR). Portal pasien memungkinkan klien dapat
mengelola informasi kesehatan, berkomunikasi dengan tenaga kesehatan, mengetahui jadwal
pengobatan dan mendapatkan informasi pendidikan kesehatan tentang penyakit dan pengobatan yang
diterima.
Dari segi legal dan etik, penerapan EHR sangat mempertimbangkan moral dan privasi klien. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Kozier (2007) yang menjelaskan bahwa penerapan teknologi informasi harus
mempertimbangkan etik dan moral. Privasi klien harus diperhatikan, termasuk akses terhadap
dokumentasi klien.
Menurut Amany et al (2012) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menggunakan EHR dalam praktik
keperawatan penting untuk meningkatkan praktik klinis dan kualitas perawatan pasien. Ukuran manfaat
EHR yang relevan secara klinis dan berguna untuk evaluasi kualitatif persepsi keperawatan tentang
efektivitas di rumah sakit juga sangat penting.
Menurut Seymor (2012) EHR memiliki beberapa komponen yang di kelompokkan menjadi lima
kelompok besar, yaitu:
Menurut Abdrbo (2011) penggunaan EHR akan memberi manfaat dalam hal peningkatan kualitas
layanan, efisiensi waktu, komunikasi dan dokumentasi serta praktek profesional. Dalam hal peningkatan
kualitas pelayanan EHR memungkinkan perawat tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengkaji
kembali data demografi dan riwayat kesehatan karena semuanya sudah terdokumentasikan dalam EHR.
Perawat bisa langsung fokus pada pengkajian saat ini, menentukan diagnosa keperawatan dan
kemudian melakukan tindakan keperawatan.
Dalam keadaan darurat, tindakan yang cepat dan tepat sangat diperlukan. Seymour (2012) menjelaskan
bahwa EHR memungkinkan perawat mendapatkan informasi tentang penyakit kronis pasien, alergi (obat
dan makanan), pasien dengan diagnosa khusus, misalnya pasien dengan resiko bunuh diri, resiko
terjatuh, kontaindikasi obat dan informasi lainnya sehingga tindakan yang tepat dan cepat dapat
diberikan oleh perawat.
Terkait dengan komunikasi dan dokumentasi, penggunaan EHR juga dapat menghapus penggunaan
kertas yang digunakan untuk pendokumentasian. Hal ini akan menekan biaya perawatan secara
keseluruhan. Adanya terminologi standar dalam EHR membuat informasi yang didapatkan oleh petugas
kesehatan menjadi seragam. Hal ini akan meminimalkan dualisme pencatatan, tumpang tindih informasi
serta kesalahan pengertian antar petugas kesehatan.
Hasil penelitian Tom Seymour et al (2012) menjelaskan bahwa Catatan kesehatan elektronik akan
meningkatkan dokumentasi klinis, kualitas, pelacakan pemanfaatan perawatan kesehatan, penagihan
dan pengkodean, dan membuat catatan kesehatan portabel. Komponen inti dari catatan kesehatan
elektronik termasuk fungsi administrasi, entri pesanan dokter terkomputerisasi, sistem laboratorium,
sistem radiologi, sistem farmasi, dan dokumentasi klinis. Manfaat dari catatan kesehatan elektronik
termasuk keuntungan dalam efisiensi perawatan kesehatan, keuntungan besar dalam kualitas dan
keselamatan, dan biaya perawatan kesehatan yang lebih rendah bagi konsumen.
Electronic Health Records (EHRs) memiliki banyak manfaat tetapi ada faktor otonomi dan privasi yang
harus dihormati. Schawart (2015) melakukan penelitian terhadap 105 pasien yang didokumentasikan
dengan menggunakan EHRs. Hasil penelitian menyatakan bahwa 65 orang tidak membatasi akses untuk
penyedia layanan. Empat puluh lima pasien memilih membatasi akses setidaknya untuk satu penyedia
layanan, dan 9 orang membatasi akses ke beberapa penyedia layanan kesehatan, dan 5 orang
memblokir semua akses ke semua dokter, perawat dan staf. Ketika pasien diberikan kesempatan untuk
membatasi akses EHRs ada beberapa pasien yang melakukan pembatasan akses. Pasien membutuhkan
metode untuk mengontrol informasi pribadinya. (Schwartz et al., 2015).
Ada suatu metode untuk menjaga keamanan data pasien, aksesibilitas data pasien untuk kontrol akses
salah satunya menggunakan mediTrust. MediTrust mengumpulkan data pasien dalam satu sistem,
kemudian kontrol keamanan menggunakan chaptcha untuk memastikan siapa yang akan menggunakan.
Kontrol selanjutnya menggunakkan kata kunci yang masuk lewat email pasien. Penggunaan sistem ini
terus diperbaiki untuk memudahkan penggunaan (Tembhare, Sibi Chakkaravarthy, Sangeetha, Vaidehi,
& Venkata Rathnam, 2019). Ada beberapa alasan pasien membatasi akses data kesehatannya. Pasien
mengontrol akses data untuk data yang berkaitan dengan penyakit infeksi seksual, penggunaan narkoba,
HIV/AIDS, dan penyakit mental.
Penelitian oleh Tierney (2014) menunjukkan hasil bahwa 54% penyedia layanan kesehatan setuju bahwa
pasien harus memiliki kendali atas siapa yang melihat informasi EHRs mereka, 58% percaya bahwa
membatasi akses EHRs dapat membahayakan pasien, hubungan penyedia dan pasien memburuk dan
71% merasa kualitas pelayanan akan buruk. Penghambatan akses informasi dapat mengganggu
hubungan antara dokter dan pasien. Dokter juga kesulitan untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang terbaik jika akses informasi terbatas.
Penggunaan EHR memiliki keterbatasan yang perlu mendapat perhatian dari perawat, khususnya
perawat jiwa. Terdapatnya dekstop dimeja perawat akan menganggu interaksi antara perawat dengan
pasien saat melakukan konsultasi atau terapi. Perangkat dekstop yang diletakkan diatas meja konsultasi
membuat perawat cenderung lebih fokus kepada pengisian data ke dalam EHR, dibandingkan dengan
fokus kepada pasien.
Keterbatasan lain adalah biaya yang besar di awal penggunaan EHR, kegagalan sistem komputer, serta
sulitnya perawat menyesuaikan diri untuk berpindah dari dokumentasi tertulis ke EHR. Aplikasi yang
tidak ramah bagi pengguna menuntut perawat untuk belajar menggunakan aplikasi ini. Dibutuhkan
tekad dari sumber daya manusia untuk berpindah menggunakan EHR.
Bisa kita contohkan dalam Keperawatan Kesehatan Jiwa, EHR dapat meningkatkan kualitas
keperawatan. Menurut penelitian Takian (2012), klien dengan gangguan jiwa memiliki keterbatasan
dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan status kesehatan dan riwayat medis. EHR
menjadi solusi yang sangat membantu dalam menyediakan data klien, sekaligus meningkatkan
keamanan klien itu sendiri atau patient safety (Sheridan, 2012) . EHR dapat memperbaiki legalitas dan
aksesibilitas data pasien serta proses perawatan yang pernah diberikan. Hal ini sejalan dengan penelitian
Schwartz (2015) yang menjelaskan bahwa 57 % klien yang menggunakan EHR menginginkan dapat
mengakses semua daftar penyedia layanan kesehatan yang menyediakan infomasi kesehatan yang tepat
untuk mereka.
Penerapan EHR di indonesia bisa dilakukan dengan dukungan dari beberapa pihak, yaitu pemerintah,
penyedia layanan, sampai dengan pengguna di lapangan. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan
tentang penggunaan EHR yang mencangkup standar, pelaksanaan dan pedoman penggunaan EHR. Di
penyedia layanan, penggunaan EHR mungkin bisa diterapkan di RS dengan keuangan yang baik, karena
investasi awal EHR membutuhkan biaya yang besar. Perpindahan dari paper based ke EHR akan
membawa dampak bagi pengguna di lapangan. Khusus untuk tenaga perawat, diperlukan pelatihan,
penyesuaian, dan kedisiplinan penggunaan EHR.
Ada banyak contoh penggunaan EHRs di negara lain, untuk mendapatkan data dan bukti epidemiologi
dalam kesehatan komunitas. Perawat sebagai pemberi pelayanan terdepan diharapkan mampu
mengembangkan EHRs untuk memudahkan pencarian data kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan komunitas. EHRs juga mampu memperkuat
kolaborasi antar tim kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.