Pendahuluan
Limfoma plasmablastik (PBL), menurut klasifikasi dari World Health
Organization (WHO) pada tahun 2016, ditandai dengan proliferasi difus
dari sel neoplastik besar yang secara morfologis menyerupai imunoblas B
dengan imunofenotipe sel plasma. Pasien yang menderita PBL sering
berada dalam kondisi imunokompromis yang mendasar terjadinya infeksi,
seperti HIV. Karena hubungannya yang kuat dengan HIV, diagnosis PBL
harus selalu disertai dengan kecurigaan terhadap infeksi HIV yang tidak
terdiagnosis.
Presentasi Kasus
Pasien laki-laki berusia 58 tahun datang ke klinik bedah rawat jalan
dengan demam tinggi yang tidak terdokumentasi dan pembengkakan pada
paha kanan yang menyakitkan selama satu bulan. Dia memiliki riwayat
diabetes melitus yang dikontrol dengan diet dan pernah mengalami
tabrakan kendaraan bermotor (motor vehicle collision/MVC) pada tahun
2003 serta dilakukan open reduction and internal fixation pada tulang paha
kanan. Menurut pasien, dia berada dalam kondisi kesehatan yang biasa
sampai sebulan yang lalu ketika terjadinya pembengkakan, yang mana
sekarang melibatkan hampir seperlima dari paha, mulai berkembang pesat.
Dia juga melaporkan demam tinggi dan nyeri paha yang tajam dan tidak
menyebar, yang akan diperparah dengan ambulasi.
Pembahasan
PBL adalah bentuk agresif limfoma sel B besar yang menyebar. Penyakit
ini ditandai dengan ekspresi bertahap faktor transkripsi yang terkait dengan
diferensiasi plasmasitik, CD38, CD138, MUM1, Blimp1, dan XBP1,
dengan penurunan ekspresi CD20 dan PAX5. Meskipun kebanyakan kasus
terjadi pada pasien dengan HIV, infeksi EBV, atau pasien
imunokompromis, sekitar 35% subjek dalam meta-analisis baru-baru ini
terjadi pada individu imunokompeten. Rongga mulut adalah tempat yang
paling umum terkena PBL, diikuti oleh saluran pencernaan, kelenjar getah
bening, dan kulit. Sama seperti kasus limfoma lainnya, pasien biasanya
datang dengan gejala yang bergantung pada organ yang terkena, diikuti
dengan demam, penurunan berat badan, dan keringat malam (gejala B).
Karena PBL sangat jarang ditemukan, tidak mudah untuk menetapkan
rejimen kemoterapi yang dianggap sebagai pengobatan standar.
Tatalaksana yang diberikan termasuk CHOP (siklofosfamid, doksorubisin,
vinkristin, dan prednison), rejimen ECHOP atau CHOP-like regiments,
Hyper-CVAD-MA (siklofosfamid hyper-fractionated, vinkristin,
doksorubisin, deksametason, dan metotreksat dan sitarabin dosis tinggi),
CODOX -M/IVAC (siklofosfamid, vinkristin, doksorubisin,
metotreksat/ifosfamid dosis tinggi, etoposida, dan sitarabin dosis tinggi),
COMB (siklofosfamid, Oncovin, metil-CCNU, dan bleomisin), dan
ECHOP infus (etoposida, prednison, vinkristin siklofosfamid, dan
doksorubisin). Prognosis pasien dengan PBL biasanya buruk dengan rata-
rata kelangsungan hidup keseluruhan antara enam dan 19 bulan, terlepas
dari status HIV-nya.
Hanya dua kasus PBL yang muncul sebagai massa jaringan lunak pada
pasien imunokompeten yang telah dipublikasikan sejauh ini. Kasus kami
unik karena terjadi pada otot paha, sedangkan dua laporan sebelumnya
yang dilaporkan sebagai PBL melibatkan lengan dan tumit. Selain itu, ini
adalah kasus pertama yang terjadi di lokasi penyisipan pelat DCP. Pasien
kami awalnya menunjukkan gejala sugestif osteomyelitis dari DCP yang
mungkin terinfeksi. Riwayat pasien, presentasi klinis, dan gambaran umum
dari lesi juga konsisten dengan diagnosis ini. Namun, biopsi jaringan
mengungkapkan diagnosis PBL. Salah satu diagnosis banding yang
penting dalam kasus kami adalah mieloma plasmablastik. Tidak adanya
keterlibatan sumsum tulang atau hiperkalsemia, disfungsi ginjal, dan CD56
positif pada pasien kami membuat diagnosis mieloma plasmablastik tidak
mungkin ditegakkan karena sebagian besar ahli menganggap ECHOP
sebagai tatalaksana lini pertama untuk PBL. Pasien ini memulai
tatalaksana dengan ECHOP selama enam siklus.
Kasus kami menyoroti pentingnya evaluasi histopatologis yang memadai
untuk diagnosis PBL yang akurat dan penatalaksanaan PBL yang tepat.
Dokter harus mengingat kemungkinan diagnosis ini dalam kasus seperti
itu. Singkatnya, kasus kami menegaskan peran penting kecurigaan klinis
awal PBL dan diagnosis yang benar dalam memilih pengobatan yang
paling tepat.
Kesimpulan
Diagnosis PBL membutuhkan tingkat kecurigaan dan perhatian yang
tinggi dari dokter umum dan ahli bedah ortopedi. Karena PBL adalah NHL
yang agresif, keterlambatan diagnosis dapat berdampak negatif pada
pengobatan dan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, secara khusus, ahli
bedah ortopedi harus menyadari variasi dari penyakit ini, yang sering
disalahartikan sebagai abses jaringan lunak, osteomielitis, atau implan
yang terinfeksi, yang menyebabkan keterlambatan dalam evaluasi
diagnostik dan pengobatan yang paling tepat.