Anda di halaman 1dari 12

GERAKAN SALAFIYAH

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu: Drs. Halimah

Disusun oleh:

KELOMPOK 10

FUAD SIROJ 1119034000117


MUHAMMAD AULIA 11190340000192
RIFQI FAVIAN 11190340000111
ASEP JAMALUDDIN 1115040000267

JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2
021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
penulis mengucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah tentang “Salafiyyah”. Selawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan bertujuan untuk
memenuhi memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Kalam. Harapan penulis semoga
makalah ini membantu dalam menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dapat lebih baik. Terlepas
dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memberi masukan untuk makalah
ini.

Tangerang, 15 Maret 2021

Penulis
PEMBAHASAN
A. Pengertian Salafiyyah

Istilah Salafiyah berasal dari akar kata bahasa Arab, salafa-yaslufu-salaf, berarti
mendahului, nenek moyang, leluhur, dan mazhab salaf. Istilah ini muncul karena adanya
sabda Nabi Muhammad saw: sebaik-baik masa (qurun) adalah masaku, kemudian yang di
belakangnya, kemudian yang di belakangnya lagi. Sabda nabi ini menjadi pedoman bagi
orangorang yang akan diteladani (generasi salaf).
Menurut Ensiklopedi Dunia Islam Modern, generasi salaf terdiri atas tiga generasi
Muslim pertama. Masa itu membentang tiga abad, abad pertama para sahabat nabi
Muhammad saw (sahabah), yang berakhir dengan Anas ibn Malik (w. 91 H/710 M atau 93
H/712 M); selanjutnya pengikut mereka (tabi’in) (180 H/796 M); dan selanjutnya pengikut
dari pengikut mereka (tabi’ al-tabi’in) (241 H/855 M). Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-
955 M) dianggap sebagai orang terakhir dari generasi salaf .Generasi ini dikenal kaum
Muslim selanjutnya karena persahabatan mereka dengan nabi Muhammad saw dan kedekatan
mereka dengan masa hidup nabi.
Pemahaman dan praktik Islam mereka yang murni, serta sumbangan mereka bagi Islam
kemudian digunakan aliran salaf sebagai dasar ajaran mereka yang bertujuan untuk
mengembalikan ajaran Islam seperti yang dilakukan generasi salaf, maka gerakan ini dikenal
dengan nama gerakan Salafiyah. Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj
Salaf adalah sabda Nabi Saw. kepada putrinya Fatimah az-Zahra: ‫ن َ◌ ُه‬ ‫ﻢ َﻓ ِﺈ ﱠ‬ ُ َ‫اﻟﺲ َ◌ﻟ‬
َ ‫ﻒ ﻧِ ِﻌ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﻚ أَﻧَﺎ‬
ِ َ‫ﻟ‬
"Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya".

Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang
pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang
muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari
Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah di bawa
Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an, khurafat, syirik dalam agama Islam‛.

Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran


rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql
dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk
didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan
menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain
adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak
cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat.

Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa Salafiyah adalah orang-orang yang mengikuti
manhaj sahabat, tabi’in dan tabi’i tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
Pencakupan generasi Salaf sampai tabi’ tabi’in tak lepas dari ketersambungan manhaj mereka
dengam manhaj para tabi’in.

Ketika islam telah berkembang dan berhasil menerobos daerah-daerah luas diluar
semenanjung Arabia, yang pedunduknya telah memiliki tingkat kebudayaan dan kemajuan
tertentu, pola pemahaman terhadap islam merasa perlu, terhadap metode dan cara baru dalam
memahami dan menjelaskan islam untuk meyakinkan penduduk negeri taklukkan yang telah
terbiasa menggunakan argument dan bukti rasional dalam perdebatan disekitar persoalan
Agama. Dengan demikian, sebagian tokoh islam terdorong mempelajari ilmu mantiq serta
filsafat, oleh mereka, ajaran Agama tidak melulu dipahami berdasarkan argument nash yang
lazim dipahami secara harfiah, seperti yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi`in,
melainkan tidak jarang harus diahami secara rasional berdasarkan takwil dan qiyas.

Dalam perkembangan selanjutnya, kecendrungan mempelajari dan menggunakan mantik


serta filsafat ini tidak lagi sekedar kebutuhan untuk mengimbangi orang-orang diluar islam,
melainkan sudah menjadi kegiatan tetap bagi kalangan tertentu, khususnya oleh para tokoh
mutazilah. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab yang melatar belakangi lahirnya gerakan
salafiyah, karna seperti yang kita tahu bahwa Aliran Salaf mencela metode pemikiran
Rasional, seperti yang dikembangkan oleh para pilosof dan para mutakallimin terutama
Muktazilah, termasuk pula Asy`ariyah dan al maturidiyah. Aliran salaf datang dengan seruan
agar kembali kepada metode pemahaman akidah yang digunakan oleh generasi salaf, para
sahabat dan tabi`in. mereka menyandarkan masalah akidah hanya kepada al-quran dan al-
sunnah, dan melarang para ulama memikirkan lebih jauh dalil-dalil al-quran.

Paham atau golongan salaf pertama kali muncul pada abad ke-4/IV H yang kesemuanya
adalah pengikut mazhab Hambali (Hanabilah). Mereka beranggapan bahwa Imam Ahmad ibn
Hanbal (169-241 H) telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama-ulama salaf.
Karena pemikiran keagamaan ulama-ulama salaf menjadi motivasi gerakannya, maka
golongan Hanabilah itu menamakan gerakannya sebagai paham atau aliran salaf.

Terjadinya persaingan dan konflik antara golongan hanabilah dengan golongan


Asy’ariyah secara fisik, bahkan orang-orang Hanabilah memandang mereka sebagai kafir.
Masing-masing melakukan klaim kebenaran bahwa dirinyalah yang lebih berhak mewarisi
ulama salaf. Pada abad VII Hijriyah, gerakan salaf memperoleh kekuatan baru, dengan
munculnya Ibnu Taimiyah (661-728 H) di syiria dan gerakan Wahabi (1115-1201 H) di Saudi
Arabia.

Selain itu, pada masa khalifah al-Ma’mun dari bani Abbas yang dimana aliran mu’tazilah
mencapai puncaknya, pada masa itu aliran mu’tazilah mengkampanyekan pemikiran ‚Al-
Qur’an adalah makhluk‛, semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran
tersebut melalui Inquisition kepada mereka. Namun ada salah satu ulama’ yang menentang
dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan
tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn
Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran Salaf.

Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam
Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh
imam Ahmad dan Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan
reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah. Dalam
perkembangannya, sejarah mencatat bawa salafiyah tumbuh dan berkembang menjadi aliran
(madzhab) atau paham golongan, sebagaimana golongan khawarij, mu’tazilah, maturidiyah
dan kelompok-kelompok lainnya.

B. Sejarah Salafiyyah

1. Sejarah salafiyah secara umum

Dilihat dari sejarah, gerakan untuk memurnikan agama Islam sudah ada sejak zaman
Ahmad Ibn Hanbal. Ketika kelompok Mu’tazilah dibawah kepemimpinan Khalifah Al-
Ma’mun menyebarkan ideologinya ke seluruh daerah kekuasaan Abbasiyah. Dan puncaknya
terjadi pada perisitiwa mihnah yaitu ketika Khalifah ingin agar semua umat muslim
menerima keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk. Para ulama banyak yang disiksa,
dipenjara bahkan dieksekusi jika mereka tidak mau mengakui kemakhlukan al-Quran,
termasuk juga Imam Ahmad. Namun, karena keteguhan iman beliau yang luar biasa dan
pertolongan Allah atasnya, Imam Ahmad bisa melewati peristiwa tersebut. Sampai Imam ‘Ali
al-Madini berkata ‚Allah telah meneguhkan agama ini dengan dua orang laki-laki dan tidak
ada yang seperti mereka, yaitu Abu Bakar alSiddiq ketika hari ridda dan Ahmad Ibn Hanbal
ketika peristiwa mihnah.1

Setelah masa itu, gerakan pemurnian digagas oleh Imam Ibn Taimiyah. Pemikiran Ibn
Taymiyah ini dipengaruhi oleh kondisinya saat itu, di antaranya adalah ekspansi bangsa
mongol ke daulah Islam dan menyebarnya berbagai bid’ah dan khufarat di kalangan umat
Islam dan serangan yang dilakukan oleh bangsa Mongol di Palestina. Demi mempertahankan
negara dan persatuan kaum muslim, Ibn Taymiyyah mengeluarkan fatwa ‚Sungguh, orang-
orang Tatar sama seperti kaum Khawarij yang berontak kepada ‘Ali dan Mu’awiyah dan
memandang bahwa golongan mereka yang berhak mendapatkan kekuasaan.2

Selain itu, Ibn Taymiyyah juga banyak berkontribusi dalam peperangan antara umat
Islam dan bangsa Mongol, Ibn Taymiyyah bahkan mengajak orang-orang Islam untuk
berjihad serta menghancurkan gelas-gelas minuman yang berisi arak dan mencela pemilik
toko tersebut. Sekalipun memiliki kedudukan yang cukup dekat dengan pemerintah, Ibn
Taymiyyah banyak membuat pernyataan-pernyataan konrovesional yang menyebabkan
kerajaan murka kepadanya. Kritikannya kepada para sufi, pernyataannya bahwa Allah itu
bertempat dan lainnya. Seorang penjelajah Islam, Ibn Batutah berpendapat bahwa Imam Ibn
Taymiyyah mempunyai sesuatu yang mengganjal di kepalanya ‚Ada gangguan di kepalanya‛.

Meski begitu, banyak ulama-ulama zaman sekarang baik dari kalangan Hanbali maupun
lainnya yang mengutip pendapat-pendapat dari Ibn Taimiyyah. Hal ini karena beliau tidak
hanya ahli dalam masalah akidah dan teologi saja, beberapa disiplin ilmu seperti tafsir, hadis,
fiqh dan lainnya juga dikuasai dengan baik, seperti Imam al-Suyuti yang juga mengambil
pendapatnya dalam bidang tafsir.3

Setelah sekian lama, pada pertengahan abad ke-18 Masehi, Syekh Muhammad Ibn Abd
al-Wahhab menyuarakan pemurnian ajaran agama Islam khusunya dalam bidang akidah. Hal
ini karena saat itu banyak masyarakat yang dianggap telah menyeleweng dari ajaran tauhid.
Diantara mereka ada yang mendatangi pohon-pohon bahkan kuburan para wali untuk
meminta berkah.4 Karena berbagai masalah itu, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab ingin agar
mereka kembali ke ajaran tauhid seperti yang diajarkan oleh para salaf al-Salih. Setelah
wafatnya beliau, ajaran dan pemikirannya banyak diikuti oleh orang-orang zaman sekarang,

1
Nimrod Hurvitz, The Formation of Hanbalism: Piety Into Power, (New York: Routledge,
2002), h. 1
2
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam, (Jakarta: Pusataka al-Kautsar,
2005), jil. 1, h. 486
3
H. Masyhud, Pemikiran Ibn Taimiyah tentang Metode Penafsiran al-Qur’an Sebagai Upaya
Pemurnian terhadap al-Qur’an, Jurnal Penelitian Agama, vol. 9, no. 2, 2008, h. 4
4
Romadhoni Wakit Wicaksono, Skripsi: ‚Muhammad Abdul Wahab dan Muhammad Abduh:
Studi Perbandingan Pemikiran Pembaharuan Islam‛, (Surabaya: UIN Surabaya, 2019), h. 23
di antara mereka ada yang sangat fanatik bahkan menyalahkan kelompok yang berbeda
pendapat dan mereka yang moderat serta menerima pendapat-pendapat yang tidak sama.
2. Sejarah Salafiyah di Indonesia

Pada mulanya, di Indonesia sendiri pada tahun 1980-an, terjadi perkembangan dakwah
yang agak berbeda, karena saat itu mulai berdatangan cikal bakal pergerakan dakwah islam
yang berasal dari luar negri ke Indonesia. Dan di tahun itu juga muncul berbagai
kelompokkelompok dakwah seperti Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Jamaah Tabligh (JT),
Hidzbut Tahrir (HT), dll
Adapun kemunculan gerakan salafi ini bermula dari kembalinya beberapa pemuda yang
berasal dari Sumatera Barat yang pergi haji sekaligus menuntut ilmu di Arab Saudi pada awal
abad ke-19 yang pada saat itu banyak dipengaruhi oleh ide pembaharuan yang dilakukan oleh
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arab. Para pemuda itu adalah Haji
Miskin, H. Abdurrahman, dan H. Muhammad Arif.
Mereka terlena dan terpesona dengan ideologi yang disebarluaskan oleh Muhammad ibn
‘Abd al-Wahhab (ideologi wahabi) selama mereka disana, sehingga mereka menyebarkan
ideologi ini setibanya mereka di tanah air. Inilah gerakan salafiyah pertama di Indonesia atau
yang lebih dikenal dengan nama gerakan kaum padri.
Jika mengingat kembali sejarah yang telah dipelajari, perang padri adalah perang
melawan tentara Belanda yang terjadi di Sumatera Barat. Namun selain itu, ada juga sebuah
kejadian peperangan antara sesama muslim yang mengatasnamakan pemurnian akidah.
Adapun gerakan salafiyah ini sendiri terpecah menjadi dua kubu yang besar, yaitu kubu
Salafi Yamani, yang dimana kubu ini terkenal dengan salafi garis keras atau ekstrem. Adapun
tokoh yang paling banyak berpengaruh dalam kelompok ini adalah Syekh Rabi’ al-Madkhali
dan Syekh Muqbil al-Wadi’i.
Dan di kubu kedua ada salafi haraki atau yang sering kali disebut dengan sururi
(sururiyah). Dinamai dengan sururiyah sebab kata sururi sendiri merupakan penisbatan
kepada Muhammad Surur Ibnu Nayef Zainal Abidin, seorang mantan tokoh Ikhwanul
Muslimin (IM). Beliau ini dianggap sebagai pelopor faham yang mengambil dan
menggabungkan ajaran salafi dengan ikhwanul muslimin. Selain itu, salafi haraki (sururiyah)
ini sendiri adalah sebuah gerakan dakwah salafiyah yang menerapkan metode pergerakan
(harakah). Dengan kata lain, mereka menggunakan metode mengikatkan diri ke dalam sebuah
organisasi seperti Jama’ah Tabligh (JT), Hidzbut Tahrir (HT), Ikhwa>n al-Muslimi>n (IM),
dll. Metode haraki (pergerakan) inilah yang membedakan mereka dengan kelompok salafi
yang lain yang independen.
C. Tokoh-tokoh Salafiyyah
1. Ahmad Ibn Hanbal
Dalam ajaran ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, Imam Ahmad merupakan salah satu dari 4
imam mazhab fiqh yang diakui kredibilitasnya. Nama aslinya adalah Ah{mad Ibn
Muh{ammad Ibn Hanbal, beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H/780 M. Beliau adalah
orang yang alim, zuhud, kuat imannya dan tidak diragukan lagi kualitas ilmunya. Imam al-
Syafi’i berkata ‚Aku tidak pernah melihat yang lebih cerdas dari Ahmad Ibn Hanbal dan
Sulaiman Ibn Dawud alHasyimi‛.5 Beliau termasuk orang yang sabar ketika berhadapan
dengan fitnah mihnah pada saat itu.
Salah seorang yang bersama dengan beliau di penjara pernah menyarankan agar Imam
Ahmad mengambil rukhsah (keringanan) yakni dengan mengatakan bahwa al-Quran itu
makhluk tapi hatinya tetap yakin bahwa al-Quran adalah kalam Allah. Namun, beliau berkata
‚Jika saya mengatakan kalau al-Quran itu makhluk, maka orang-orang awam di luar sana

5
Ali Jum’ah, Tarikh Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Muqattam, 2015), hal. 322
akan mengikuti pendapatku sehingga menjadi sesatlah mereka semua hanya karena
pendapatku‛.
Para ulama kebanyakan mengenal Imam Ahmad sebagai seorang muhaddits dari pada
seorang faqih. Hal ini karena beliau lebih banyak menulis hadis dari pada
permasalahanpermsalahan fiqh serta tidak ditemukannya karya-karya beliau yang fokus
dalam kajian fiqh Ia lebih banyak menulis hadis-hadis Nabi, sementara pendapat-
pendapatnya dalam bidang fiqh lebih banyak ditulis dan diriwayatkan oleh para muridnya.
Salah satu pernyataannya yang sangat menyukai hadis adalah apa yang diriwayatkan oleh
Abd Allah Ibn Ahmad, ia berkata ‚Saya mendengar ayahku berkata: Hadis yang dhaif lebih
saya sukai dari pada pendapat (manusia)‛.6
3. Ibn Taimiyyah
Taqiyuddin Ahmad bin Abi al-Halim bin Taimiyah, atau yang lebih familiar dipanggil
dengan Ibnu Taimiyyah ini dilahirkan pada hari Senin, 10 Rabi’ul Awal 661 H atau 22
Januari 1263 M di Harran, sebuah daerah yang terletak di Tenggara negeri Syam. Ibnu
Taimiyah ini lahir dari sebuah keluarga cendikiawan dan ilmuan yang terkenal. Ayahnya
bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam ibn Abdillah bin
Taimiyah, yang merupakan seorang syekh, khatib dan juga hakim di kotanya. Sedangkan
pamannya terkenal sebagai seorang cendikiawan dan penulis muslim ternama.7
Ibnu Taimiyah ini sendiri sejak kecil sudah terkenal dengan kecerdasannya. Karena
kecerdasannya itulah, beliau dapat menghapalkan al-Qur’an, mempelajari hadits, fiqh,
aqidah dan juga tafsir. Ketika beliau berumur 7 tahun, ia beserta ayahnya pindah ke
Damsyik karena melarikan diri dari para tentara tartar.
Di usianya yang ke-17, beliau dipercaya oleh gururnya, yaitu Syamsuddin al-Maqdisi
untuk memberikan fatwa. Kemudian, pada usia ke-21, ayahnya meninggal dunia dan
beliaulah yang ditunjuk untuk menjadi pengganti dari ayahnya yang merupakan seorang
pemuka agama sekaligus mengawali karirnya yang kontrovesial sebagai teolog yang
aktif. Menurut orangorang yang mengenalnya, beliau adalah sosok yang pemikir,
berintuisi yang tajam, serta pemikirannya yang bebas.8
Lalu pada tanggal 26 September 1328 M atau yang bertepatan dengan tanggal 20
Dzulhijjah 728 H, beliau mengehmbuskan nafas terakhirnya di dalam penjara setelah
beliau membaca alQur’an.
4. Masa Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab
Namanya adalah Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab Ibn Sulaiman al-Tamimi. Tokoh
bersejarah ini lahir di Najd, Hijaz pada 1115 H / 1703 M. Ia berasal dari keluarga yang
cinta. ilmu pengetahuan dan ayahnya juga seorang qadli terkenal di Najd. Sejak kecil Ibn
‘Abd alWahhab sudah menekuni berbagai jenis ilmu agama seperti tafisr, hadis, akidah,
dan lainnya serta belajar kepada ulama di Hijaz. Sejak kecil, ia sudah mempelajari
berbagai kitab-kitab karya Ibn Taimiyyah dan ajaran mazhab Hanbali.11Selain itu ia juga
melakukan rihlah ke berbagai daerah seperti Bashrah, Baghdah, Kurdistan, Isfahan dan
Hamadan.9

6
Abd Allah Ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turki, Ushul Madzhab al-Imam Ahmad: Dirasah
Ushuliyyah Muqarinah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1990), h. 303
7
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah,terj Anas M, (Bandung: Pustaka,
1983), hal. 11
8
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam : Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
Pemerintahan Islam, (Jakarta: Risalah Gusti, 1995), hlm. 20
9
Romadhoni Wakit Wicaksono, Skripsi: ‚Muhammad Abdul Wahab dan Muhammad Abduh:
Studi Perbandingan Pemikiran Pembaharuan Islam‛, h. 22
Setelah pengembaraan yang cukup lama demi mencari ilmu, Ibn ‘Abd al-Wahhab
kembali lagi ke daerahnya dan berniat untuk menyebarkan ajaran-ajaran serta ilmu-ilmu
yang telah ia peroleh. Latar belakangnya yang banyak mendalami pemikiran-pemikiran
Ibn Taimiyyah serta kondisi masyarakat di sekitar daerahnya yang banyak melakukan
penyimpangan akidah, membuatnya berfokus pada pemurnian ajaran tauhid.
Sementara itu, menurut Natana J. Delong-Bas, biografi Muhammad Ibn ‘Abd al-
Wahhab didasarkan pada 4 sumber yang berbeda; pertama dari para pendukungnya
seperti Husain Ibn Ghannam dan Ustman Ibn Bishr. Kedua tulisan dari para oposisinya
seperti Ahmad Zaini Dahclan. Ketiga dari orang-orang Barat yang berpergian ke Hijaz.
Keempat buku/karya tulis beliau sendiri. 10

D. Ajaran dan Doktrin Salafiyyah


1. Prinsip Dakwah serta Ajaran Salafiyyah
Salafi lahir dan berkembang dari kajian-kajian dan majelis ilmu. Mereka hidup secara
alami,dan masih terus berlangsung dari generasi ke generasi hingga saat ini. Dakwah
salafi memiliki dua prinsip yang dijadikan pijakan, yaitu Tashfiyah dan Tarbiyah yang
berarti pemurnian dan pendidikan. Ajaran salafiyah lebih bersifat mengajak kepada
aqidah dan cara beribadah yang benar, yaitu mengajak untuk menuntut ilmu, mempelajari
kitab-kitab para ulama dan memberitahu seluruh manusia untuk mempejari arti
ketauhidan.
Pemusatan ajaran salafiyah difokuskan kepada apa-apa yang Rasulullah saw ajarkan,
berdasarkan pemahaman para sahabat yang kebanyakan adalah kaum yang paling
mengerti tentang Islam. Munculnya sikap keras dari para pengajar atau para pendakwah
salafi ini terkait dengan dua hal:
Pertama, dakwah salafi ini konsisten dan tegas menyatakan antara yang haq dan yang
batil.
Kedua, dakwah salafi memegang teguh prinsip tashfiyah (Pemurnian). Ajaran
salafiyah sangat konsisten dengan pemurnian islam, oleh karena itu sudah sangat wajar
bila ada ajaranajaran diluar islam ketika masuk langsung ditolak
Dakwah salafiyah mempunyai prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dan harus
dipegang dalam melaksanakan tugas mulia dan suci tersebut. Di antara prinsip-prinsip
yang dipegang oleh dakwah atau ajaran salafiyah dalam melaksanakan tugasnya adalah:
a) Berdakwah kepada tauhid
Dakwah atau ajaran salafiyah mengajak kepada para da'i untuk memulai
dakwahnya dengan tauhid. Ini bukan berarti menghiraukan konsekwensi tauhid
ataupun aplikasi tauhid, akan tetapi menjadikan dakwah tauhid sebagai prioritas
utama. Memulai dari yang paling penting kepada yang penting, melaksanakan
yang waji-wajib, yang sunah-sunah dan lain sebagainya. Seorang da'i wajib
memulai dakwahnya dengan tauhid, dan setiap dakwah yang tidak tegak di atas
asas tauhid pada setiap tempat dan waktu, maka dakwahnya kurang dan membawa
terhadap kegagalan, serta menyimpang dari jalan yang lurus.
Dakwah tauhid merupakan prinsip yang cukup besar dalam agama Islam.
Banyak da'i yang tidak mengetahui prinsip ini sehingga mereka terjerumus dalam
kesyirikan, sedangkan mereka tidak menyadarinya (Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
tt.: 264). Allah telah menjelaskan manhaj para rasul dalam berdakwah pada Al-
Qur'an. Para rasul memulai dakwahnya dengan tauhid, yakni memberikan
penghambaan diri kepada Allah yang Esa, yang mana hal tersebut tidak untuk

10
Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and reform to gilobal jihad, (New
York, Oxford University Press, 2004), h. 14
selain-Nya dari tuhan-tuhan buatan manusia lalu mempersembahkan
penghambaan diri baginya disertai keyakinan bahwa ia dapat memberikan
kemanfaatan, kemadharatan, memberi, menahan, memuliakan dan menghinakan.
Semua orang yang berakal mengetahui bahwa kemenangan yang gemilang ini,
yang Allah merealisasikan melalui tangan-tangan mereka tidaklah terjadi dengan
begitu saja. Itu semua terjadi dengan sebab bersandarnya mereka kepada Allah,
bertawakal kepada-Nya dengan melakukan upaya-upaya yang disyari’atkan. Yaitu
mereka memulai dengan hal yang terpenting sebelum hal yang penting. Titik tolak
mereka dalam berdakwah dimulai dengan merealisasikan dua kalimah tauhid, ‚La
Ilaha illa Allah Muhammad Rasul Allah‛, karena ini merupakan prinsip yang
mereka diperintahkan untuk memulai dengannya.
b) Berdakwah dengan ikhlas
Seorang da'i harus memurnikan atau meluruskan niatnya untuk mengajak
kepada Agama Allah, mencari ridla-Nya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri,
kelompoknya atau pendapat dan pikirannya.
Seorang da'i tidak akan berhasil dalam melaksanakan dakwahnya kecuali
ikhlas kepada Allah, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun keinginan dan
kemauannya. Sebab berdakwah dengan niat supaya mendapat ridla-Nya adalah
suatu ibadah, yang mana suatu ibadah itu akan dianggap benar jika syaratnya
terpenuhi, yaitu ikhlas kepada Allah dan ittiba’ kepada Nabi.
Keridhaan Allah itu harus dijadikan tujuan dan maksud dari dakwah,
keberhasilan hanya akan tercapai dengan keridhaan Allah, diwujudkan dalam
kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dengan demikian kalau terjadi
kegagalan di dalam tujuan jangka pendek yakni mengajak manusia beribadah
kepada Allah serta mengokohkan agamanya di muka bumi, maka tidak tersia-
siakan tujuan jangka panjang, yakni keridhaan Allah dan kebahagiaan di akhirat.
c) Berdakwah dengan ilmu Pertama,
seorang da'i dalam berdakwah harus mempunyai ilmu yang cukup. Ilmu yang
bersumber dari al-Qur'an dan hadits, dua perkara tersebut menjadi patokan dasar
dalam berdakwah. Dengan ilmu seorang da'i mengetahui arah tujuan yang benar,
sedangkan tanpa ilmu seorang da'i akan mendatangkan bahaya besar bagi agama
dan umat.
Ilmu merupakan dasar bagi dakwah dan inti utama dari dakwah, dan tidak
mungkin sebuah dakwah akan sempurna sesuai dengan ridha Allah kecuali bila
dibangun di atas ilmu. Imam Bukhari menuliskan sebuah bab dalam kitab
shahihnya dengan judul bab pentingnya ilmu sebelum berkata dan berbuat. Setiap
dakwah tanpa ilmu pasti akan mengalami penyimpangan dan kesesatan. Nabi
pernah mengingatkan hal tersebut, bahwa bila para ulama telah diambil oleh Allah
sehingga tidak tersisa lagi selain para pemimpin yang bodoh, yang memberikan
fatwa tanpa landasan ilmu hingga tersesat dan menyesatkan.
Kedua, seorang da’i harus mengetahui dengan jelas kondisi orang yang akan
diberi masukan, diberi pencerahan dan diberi ajaran atau orang yang akan
didakwahi. Dengan mengetahui kondisi orang yang hendak didakwahi, seorang
da'i bisa mempersiapkan dirinya untuk menghadapi medan dakwah di depannya
dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Ketika Nabi mau mengutus Muadz
ke Yaman Beliau berpesan : ‚Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari
Ahli kitab‛. Dalam hadits tersebut Nabi mengabarkan kepada Muadz, kepada
siapa ia akan diutus. Sehingga dia mengetahui siapa yang akan dihadapinya,
kemudian mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya jika seorang
da'i tidak mengetahui kondisi orang yang akan didakwahi, maka akan berakibat
buruk terhadap dakwahnya, sehingga mungkin tidak tepat mengambil langkah dan
menyebabkan kegagalan.
Ketiga, Seorang da'i harus mengetahui dengan jelas bagaimana cara
berdakwah. Hal ini sering tidak dimiliki oleh sebagian juru dakwah. Sehingga
sering ditemukan kasus seorang da'i yang memiliki semangat, ghirah (rasa marah
ketika melihat hukum Allah dilanggar), dan dorongan sangat berlebihan sehingga
ia tidak dapat menahan dirinya untuk melakukan apa saja yang ia inginkan.
Akibatnya ia pun mengajak ke jalan Allah tanpa diiringi hikmah. Ketika ia
menemukan kemungkaran ia akan menyerangnya, ia tidak memikirkan akibat
yang akan muncul dari hal tersebut, baik yang akan menimpa dirinya maupun
orang-orang yang seprofesi dengannya sebagai da'i kepada kebenaran.
2. Manhaj Salaf
Istilah ‚manhaj‛ yaitu salah satu kata yang sering dikemukakan di kalangan
Salafi, sehingga membedakan mereka dengan lainnya. Arti dari kata manhaj
secara bahasa yaitu alṭarīq al-wāḍiḥ atau jalan yang jelas. Kata ini sering
digunakan untuk menjelaskan suatu metode atau sistem pemikiran dan kaidah
yang digunakan oleh seorang penulis buku, seorang tokoh, atau aliran. Akhir-
akhir, istilah ini menjadi buah bibir yang sering didengar dari kajian-kajian Salafi
ataupun kata utama yang paling banyak ditemukan dalam karya-karya mereka.
Besar kemungkinan digunakan sebagai penghindar dari kata madzhab yang
diidentikkan dengan taqlīd.
Dalam konteks ini, kata manhaj lebih identik dengan sistem berpikir atau
kaidah yang digunakan oleh Salafi. Walaupun penyusunannya terlambat
dibandingkan aliran teologi lain, seperti Mu‘tazilah, Ash‘arīyah, dan Shī‘ah,
rumusan manhaj Salafi secara rapi, komprehensif, dan sistematis mulai didalami
oleh tokoh-tokoh Salafi kontemporer. Selain itu, setiap penulis Salafi memiliki
rumusan yang secara ungkapan berbeda dengan yang lain, tetapi mempunyai
kesamaan dalam banyak hal.
‘Abd Allāh Ṣalfīq al-Ẓufayrī berpendapat bahwa perkembangan manhaj Salafi
terbagi menjadi dua marhalah atau tahapan. Pertama, tahapan tabyīn wa-tawḍīḥ
atau penjelasan terhadap kaidah-kaidah keagaman dan dasar-dasarnya. Masa ini
merupakan abad-abad awal kemunculan Islam yang ia sebut dengan ‘ahd al-Salaf
al-Ṣāliḥ (masa Salaf yang salih). Masa mereka adalah standar dalam penimbang
kebenaran seseorang, jamaah atau aliran. Hal tersebut disebabkan karena agama
pada masa mereka dipahami sebagaimana mestinya.
Kedua, tahapan tadwīn atau kodifikasi terhadap manhaj Salafi. Masa ini
ditandai dengan pengodifikasian Sunnah, penulisan pandangan ulama Salaf
terhadap persoalan teologi, taḥdhīr (peringatan untuk mewaspadai) persoalan yang
tergolong bid‘ah.
3. Gerakan Salafiyah
Salafiyyah berpendapat bahwa tidak ada jihad syar’i dalam artian melawan
orang kafir untuk negara Indonesia sekarang. Adapun menegenai kondisi umat Islam
yang terzalimi seperti di Suriah, Palestina, Yaman, Irak, Afghanistan, Bosnia ataupun
di tempat manapun di dunia ini maka senantiasa dido’akan. Bagi umat Islam yang
berada di sana wajib berjihad, adapun yang berada di negara Indonesia yang aman
seperti ini maka tidak menjadi kewajiban, karena jihad syar’i salah satu syaratnya
harus bersama waliy al-amr (pemerintah).
Mereka sangat menolak dan mengingkari pemahaman ekstrem radikal yang
mengatakan masih ada jihad syar’i dan wajib bahwa jihad pada zaman sekarang
adalah fardhu ‘aîn untuk semua negara, dan kaum muslimin tidak perlu izin orang tua,
suami ataupun waliy al-amr. Mereka menolak beberapa faham ekstem radikal yang
menurut mereka salah dalam memaknai jihad. Dalam setiap kajian mereka senantiasa
mengingatkan tentang bahaya faham tersebut yang berpotensi melahirkan terorisme
atas nama jihad.
E. Pandangan Ulama dan Tokoh Islam terkait Gerakan Salafiyah
Adapun pandangan para ulama dan tokoh-tokoh terkemuka tentang gerakan
salafiyah ini adalah sebagai beikut:
1. Harun Nasution, beliau menyatakan bahwa pada mulanya salafiyah ini
berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal, yang kemudian dikembangkan ajaran tersebut
oleh Imam Ibnu Taimiyah, dilebarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan
kemudian disebarluaskan di dunia islam lainnya.11
2. Prof Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam bukunya, as-Salafiyah Marh{alah
Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami mengatakan bahwa wahabi ini mengubah
stateginya dalam berdakwah dengan mengganti namanya menjadi ‚salafi‛ karena
mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan nama panggilan wahabi
yang dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Maka
dari itu, kaum muslimin menyebut mereka dengan salafi palsu.
3. Dr. Ahmad Tayyib, beliau mengatakan bahwa wahabi tidak pantas
menyebut dirinya sebagai salafi sebab mereka tidak berpahamkan manhaj salaf.
4. Dr. Yusuf Qardhawi, beliau mengatakan bahwa salafi-wahabi adalah
gerakan fanatik buta yang menganggap dirinya yang paling benar dan menganggap
yang selainnya salah dan tanpa ada kebenaran sedikitpun.

KESIMPULAN –
Menurut Ensiklopedi Dunia Islam Modern, generasi salaf terdiri atas tiga
generasi Muslim pertama. Masa itu membentang tiga abad, abad pertama para sahabat
nabi Muhammad saw (sahabah), yang berakhir dengan Anas ibn Malik (w. 91 H/710
M atau 93 H/712 M); selanjutnya pengikut mereka (tabi’in) (180 H/796 M); dan
selanjutnya pengikut dari pengikut mereka (tabi’ al-tabi’in) (241 H/855 M). Ahmad
ibn Hanbal (164-241 H/780-955 M) dianggap sebagai orang terakhir dari generasi
salaf .
- Kemunculan gerakan salafi di Indonesia bermula dari kembalinya beberapa
pemuda yang berasal dari Sumatera Barat yang pergi haji sekaligus menuntut ilmu di
Arab Saudi pada awal abad ke-19 yang pada saat itu banyak dipengaruhi oleh ide
pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan
Jazirah Arab. Para pemuda itu adalah Haji Miskin, H. Abdurrahman, dan H.
Muhammad Arif.
- Tokoh-tokoh gerakan Salafiyah adalah Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Taimyah,dan
Muhammad Ibn ‘Abd Al-Wahhab.
- Prinsip dakwah serta ajaran Salafiyah mencakup 3, yaitu; Berdakwah pada
tauhid, berdakwah dengan ikhlas, dan berdakwah dengan Ilmu.
- Salafiyyah berpendapat bahwa tidak ada jihad syar’i dalam artian melawan
orang kafir untuk negara Indonesia sekarang. Adapun menegenai kondisi umat Islam
yang terzalimi seperti di Suriah, Palestina, Yaman, Irak, Afghanistan, Bosnia ataupun
di tempat manapun di dunia ini maka senantiasa dido’akan.
- Harun Nasution, beliau menyatakan bahwa pada mulanya salafiyah ini
berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal, yang kemudian dikembangkan ajaran tersebut

11
14 Rosihon Anwar & Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 134-
135
oleh Imam Ibnu Taimiyah, dilebarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan
kemudian disebarluaskan di dunia islam lainya.

Anda mungkin juga menyukai