Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

BUDAYA DAN PERKEMBANGAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi


tugas mata kuliah Psikologi Lintas Budaya

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Nazila Zahrina 2007101130004
Misbahul Jannah 2007101130011
Suri Akyun 2007101130027
Annisa 2007101130034
Febriyani 2007101130039
Putri Octaviani 2007101130064
Ainun Na’im Alfian 2007101130094

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah dengan judul “Budaya dan Perkembangan” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga
kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Psikologi Lintas Budaya Selain itu, pembuatan makalah ini
juga bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca. Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman yang ada maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para
pembaca.

Banda Aceh, 04 September 2023

Penulis

2
DAFTAR IS DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................I

DAFTAR ISI......................................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................III

1. Latar Belakang.........................................................................................................................1
2. Rumusan Masalah....................................................................................................................1
3. Tujuan......................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................3

1. Tahapan Perkembangan...........................................................................................................3
1.1 Perkembangan Fisiologis...................................................................................................3
1.2 Kaitan Antara Budaya dan Perkembangan Fisiologis......................................................4
1.3 Perkembangan Kognitif.....................................................................................................5
1.4 Perkembangan Sosioemosional.........................................................................................8
1.5 Perkembangan Moral........................................................................................................11
2. Budaya dapat Mempengaruhi Kehidupan Seseorang.............................................................13
3. Budaya dan Kelekatan...........................................................................................................15

BAB III PENUTUP..........................................................................................................................18

1. Kesimpulan.............................................................................................................................18
2. Saran........................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Manusia terus mengalami perkembangan sepanjang kehidupannya, bahkan sejak
dalam kandungan hingga ia meninggal. Banyak studi dan para ahli percaya bahwa
perkembangan manusia sama-sama dipengaruhi oleh nature dan nurture. Artinya, selain
faktor-faktor internal dan nature seseorang misalnya genetik dan temperamen, hal-hal yang
bersifat eksternal juga mempengaruhi perkembangan manusia, salah satunya adalah budaya.
Budaya membentuk pola perilaku tertentu pada masyarakat dengan budaya tersebut.
Misalnya, standar moral yang berkaitan dengan pergaulan antara lawan jenis pada masyarakat
dengan budaya timur, misalnya Indonesia berbeda dengan masyarakat dengan budaya barat
sehingga akan berbeda cara individu dalam dua budaya ini memperlakukan lawan jenis
mereka. Orang-orang dengan budaya timur lebih konservatif tentang hal ini dibandingkan
dengan orang-orang di budaya barat, sehingga orang-orang dari budaya timur menganggap
kontak fisik dengan lawan jenis sebagai perilaku yang kurang pantas, dibanding dengan
orang-orang dengan budaya barat.
Berbagai studi lintas budaya telah dilakukan untuk mengkaji bagaimana budaya
berdampak pada berbagai aspek perkembangan manusia. Misalnya, beberapa studi mengkaji
bagaimana perkembangan kognitif Piaget berlaku dalam setiap budaya. Studi lintas budaya
menemukan bahwa dalam beberapa budaya, hanya beberapa orang yang mampu
menyelesaikan empat tahapan perkembangan kognitif Piaget. Lalu, apakah kemudian ini
berarti bahwa orang- orang dalam budaya tersebut memiliki perkembangan kognitif yang
rendah? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu lebih dulu mempertanyakan apakah tugas-
tugas Piaget ini tepat secara budaya untuk mengukur tingkat kognitif. Faktanya, tugas-tugas
dalam teori kgnitif Piaget mungkin tidak bermakna secara signifikan dalam kehidupan budaya
tertentu, sehingga tidak secara krusial harus dipenuhi.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya mempengaruhi perkembangan manusia,
sehingga dalam makalah ini akan dikaji lebih lanjut bagaiman budaya mempengaruhi
berbagai aspek perkembangan.
2. Rumusan Masalah
1. Mengapa budaya mempengaruhi seseorang dan kelekatan pada seorang anak ?
2. Bagaimana budaya mempengaruhi seseorang dan kelekatan pada seorang anak ?

4
3. Bagaimana perkembangan kelekatan pada anak jika ia lahir di Aceh dengan suku Aceh
namun karena kesibukan orang tua yang bekerja sejak taman kanak-kanak ia dititipkan
dan dibesarkan oleh neneknya yang tinggal di Medan sampai sekarang ia kuliah ?

3. Tujuan
1. Untuk mengetahui sebab budaya mempengaruhi seseorang dan kelekatan pada seorang
anak
2. Untuk mengetahui bagaimana budaya mempengaruhi seseorang dan kelekatan pada
seorang anak
3. Untuk mengetahui perkembangan kelekatan pada anak jika ia lahir di Aceh dengan suku
Aceh namun karena kesibukan orang tua yang bekerja sejak taman kanak-kanak ia
dititipkan dan dibesarkan oleh neneknya yang tinggal di Medan sampai sekarang ia kuliah

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tahap Perkembangan
1.1 Perkembangan Fisiologis
Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,
kapasitas sensorik dan keterampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan
pada tubuh/fisik ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh,
pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi
reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya
adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah
kematangan.
Fisik atau tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan
terbentuk pada periode prenatal. Menurut Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956)
bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu sebagai berikut :
a. Sistem syaraf (perkembangan kecerdasan dan emosi)
b. Otot – otot (kekuatan dan kemampuan gerak motorik)
c. Kelenjar Endokrin (perubahan – perubahan pola tingkah laku baru)
d. Struktur fisik/tubuh (perubahan tinggi, berat, dan proporsi)

Perubahan fisik (otak) juga merupakan aspek yang sangat penting bagi
kehidupan manusia karena otak adalah sentral perkembangan dan fungsi
kemanusiaan sehingga semakin sempurna struktur otak maka akan meningkatkan
kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

Perkembangan fisik (motorik) meliputi perkembangan motorik kasar dan


motorik halus.

a. Perkembangan motorik kasar


Kemampuan anak untuk duduk, berlari, dan melompat termasuk contoh
perkembangan motorik kasar. Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh
anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan tubuh.
Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak.
Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan
seorang anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya.
b. Perkembangan motorik halus
6
Adapun perkembangan motorik halus merupakan perkembangan gerakan anak
yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu.
Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar
dan berlatih. Kemampuan menulis, menggunting, dan menyusun balok
termasuk contoh gerakan motorik halus.

1.2 Kaitan Antara Budaya dan Perkembangan Fisiologis


Budaya dan perkembangan memiliki kaitan yang erat. Setiap budaya
memiliki cara atau tujuan perkembangan yang berbeda-beda tergantung berasal
dari mana budaya tersebut. Perkembangan pada anak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan sosial ekonominya dan pada saat ini perkembangan dunia banyak
memberikan sumbangan terbaik untuk anak. Perbedaan budaya dalam interaksi
antara orang dewasa dan anak-anak juga mempengaruhi bagaimana seorang anak
berperilaku sosial. Isu budaya dalam psikologi perkembangan meliputi perubahan
fisik, psikologis, dan perilaku sosial yang dialami individu selama hidupnya.
Perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial anak pada masa 2-6 tahun sangat
penting dalam perkembangan anak. Kebudayaan memuat seluruh peri kehidupan
masyarakat, baik bentuk maupun isi dari kebudayaan itu.
Budaya mempengaruhi perkembangan fisik seseorang melalui beberapa
cara, antara lain:
a. Gaya hidup : Budaya dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang, seperti jenis
makanan yang dikonsumsi, aktivitas fisik yang dilakukan, dan kebiasaan tidur.
Gaya hidup yang tidak sehat dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang.
b. Lingkungan : Budaya juga mempengaruhi lingkungan di mana seseorang
tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang tidak sehat, seperti polusi udara
dan air yang tercemar, dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang.
c. Perawatan kesehatan : Budaya juga mempengaruhi cara seseorang merawat
kesehatannya. Beberapa budaya mungkin lebih cenderung menggunakan
pengobatan alternatif daripada pengobatan medis modern, yang dapat
mempengaruhi kesehatan fisik seseorang.
d. Aktivitas fisik : Budaya juga dapat mempengaruhi aktivitas fisik seseorang.
Beberapa budaya mungkin lebih cenderung melakukan aktivitas fisik yang
lebih intensif, seperti olahraga, sementara budaya lain mungkin lebih
cenderung melakukan aktivitas fisik yang lebih ringan, seperti yoga.

7
e. Genetik : Meskipun budaya dapat mempengaruhi perkembangan fisik
seseorang, faktor genetik juga memainkan peran penting. Faktor genetik dapat
mempengaruhi tinggi badan, berat badan, warna kulit, dan bentuk tubuh
seseorang.
1.3 Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif merupakan spesialisasi dalam psikologi yang
mempelajari cara berpikir keterampilan berkembang seiring berjalannya waktu.
Teori perkembangan kognitif sudah ada secara tradisional berfokus pada masa
bayi hingga dewasa. Teori yang mendominasi bidang ini selama setengah abad
terakhir adalah teori tahapan perkembangan kognitif Piaget.
Piaget mendasarkan teorinya pada pengamatan anak-anak Swiss dan
menemukan hasil pengamatan bahwa anak-anak ini cenderung memecahkan
masalah dengan cara yang sangat berbeda pada usia yang berbeda. Piaget (1952)
mengusulkan agar anak-anak mengalami kemajuan empat tahap saat mereka
tumbuh dari bayi hingga remaja yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Sensorimotor
Tahap ini biasanya berlangsung sejak lahir hingga sekitar usia 2 tahun.
Pada tahap ini anak memahami dunia melalui indranya, persepsi, dan perilaku
motorik. Dengan kata lain, anak memahami dengan cara menerima dan
melakukan. Pencapaian terpenting pada tahap ini adalah kemampuan
menggunakan simbol-simbol (pemikiran simbolis) untuk mewakili objek dan
peristiwa. Akuisisi kekekalan objek—yakni, mengetahui bahwa objek tetap
ada meskipun objek tersebut tidak ada dilihat—menggambarkan pencapaian
ini. Pada awal tahap ini, anak-anak tampak berasumsi bahwa ketika sebuah
mainan atau benda lain disembunyikan (misalnya, ketika sebuah bola
menggelinding, di bawah sofa), itu tidak ada lagi. Nanti di tahap ini, anak-
anak akan mencari di bawah sofa untuk bola yang hilang, menunjukkan bahwa
mereka telah memahami hal itu benda-benda ada secara terus-menerus.
b. Tahap Pra-operasional
Tahap ini berlangsung sekitar usia 2 hingga 6 atau 7 tahun. Piaget
menggambarkan pemikiran anak-anak pada tahap ini dalam lima ciri yaitu :
 Konversi adalah kesadaran atau tidaknya bahwa besaran fisik tetap sama
meskipun berubah bentuk atau penampakannya.

8
 Pemusatan adalah kecenderungan untuk fokus pada satu aspek dari suatu
masalah.
 Irreversibilitas adalah ketidakmampuan untuk membayangkan atau
membatalkan suatu proses.
 Egosentrisme adalah ketidakmampuan untuk melangkah menjadi orang
lain dan memahami sudut pandang orang lain.
 Animisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu termasuk benda mati
adalah hidup. Misalnya, anak-anak pada tahap ini mungkin menganggap
buku yang tergeletak miring sebagai “lelah” atau “perlu istirahat”, pada
tahap ini anak belum berpikir logis dan sistematis.
c. Tahap Operasional Konkret
Tahap ini berlangsung dari sekitar 6 atau 7 tahun hingga sekitar usia 11
tahun. Pada tahap ini, anak memperoleh keterampilan berpikir baru untuk
bekerja dengan objek dan peristiwa aktual. Mereka dapat membayangkan
kehancuran sebuah tindakan, dan mereka dapat fokus pada lebih dari satu ciri
suatu masalah. Anak-anak juga mulai memahami bahwa ada sudut pandang
yang berbeda dari mereka sendiri. Kesadaran baru ini membantu anak-anak
menguasai prinsip konservasi. Anak dalam tahap operasi konkrit akan
memahami bahwa tanah liat tidak berubah ketika bongkahan dibentuk menjadi
berbagai bentuk. Kemampuan ini tidak hadir dalam tahap praoperasional.
Namun, alih-alih memikirkan masalah secara menyeluruh, anak-anak pada
tahap ini cenderung mengandalkan strategi coba-coba.
d. Tahap Operasional Formal
Tahap ini berlangsung sekitar 11 tahun usia hingga dewasa. Pada tahap
ini, individu mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu berpikir
logis tentang konsep-konsep abstrak, seperti perdamaian, kebebasan, dan
keadilan. Individu juga menjadi lebih sistematis dan bijaksana dalam
pendekatannya penyelesaian masalah. Peralihan dari satu tahap ke tahap
lainnya sering kali terjadi secara bertahap, anak-anak mengembangkan
kemampuan- kemampuan baru bersamaan dengan cara berpikir yang lebih
awal. Jadi, perilaku beberapa anak mungkin mewakili "perpaduan" dua tahap
ketika mereka berada dalam satu periode transisi dari satu ke yang lain. Piaget
berhipotesis bahwa dua mekanisme utama bertanggung jawab atas
perpindahan

9
dari satu tahap ke tahap berikutnya: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
proses menyesuaikan ide-ide baru ke dalam pemahaman yang sudah ada
sebelumnya dunia. Akomodasi merujuk pada proses perubahan pemahaman
seseorang dunia untuk mengakomodasi ide-ide yang bertentangan dengan
konsep yang ada. Piaget percaya bahwa tahapan-tahapan tersebut bersifat
universal, dan perkembangannya terus berlanjut tahapan-tahapan ini tidak
berubah-ubah.
Namun teori Piaget menimbulkan berbagai postulat-postulat yang
perlu diuji dalam telaah lintas budaya. Hal-hal yang perlu diuji meliputi :
 Apakah keempat tahap itu selalu terjadi dalam urutan sebagaimana yang
dirumuskan Piaget?
 Apakah rentang usia yang dihubungkan dengan tahap-tahap itu universal
untuk semua budaya?
 Apakah variasi dalam tiap - tiap tahap secara lintas budaya?
 Akhimya, apakah semua kebudayaan memandang penalaran ilmiah
menjadi titik terakhir dalam perkembangan kognitif?

Dalam survei lintas budaya, studi komparatif anak-anak suku Inuit di


Kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia menunjukkan bahwa
setengah dari anak-anak suku Inuit dapat menyelesaikan tugas-tugas spasial
pada usia 7 tahun. Namun, setengah dari anak-anak suku Aranda baru dapat
memecahkan masalah spasial pada usia 12 tahun. Sementara anak-anak dari
suku Baoul tidak dapat mencapai setengah anak yang dapat menyelesaikan
tugas itu sampai usia 12 tahun. Hal ini dapat terjadi karena anak-anak suku
Inuit dan Aranda hidup dalam masyarakat nomadic (berpindah-pindah)
dimana anak-anak perlu mempelajari keterampilan spasial sejak dini karena
hidupnya berpindah-pindah. Sementara untuk anak-anak suku Baoul hidup
pada masyarakat yang menetap, dimana mereka jarang berpergian tapi hampir
selalu ditugaskan mengambil air dan menyimpan butiran padi. Keterampilan
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari inilah yang mempengaruhi
urutan untuk dapat menyelesaikan tugas- tugas Piaget dalam tahap operasional
konkret. Dengan demikian telaah lintas budaya membuktikan bahwa
kemampuan berpikir secara abstrak atau penalaran ilmiah oleh Piaget sebagai
titik akhir perkembangan kognitif tidak berlaku secara universal.

10
1.4 Perkembangan Sosioemosional
Anak-anak memiliki beberapa aspek perkembangan, salah satunya adalah
aspek sosial-emosional. Meski sosial dan emosional adalah dua kata yang
memiliki makna yang berbeda, tetapi sebenarnya aspek sosial emosional ini tidak
dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan kedua aspek ini saling bersinggungan satu
sama lain (Mulyani, 2014: 145). Perkembangan sosial emosional menurut
American Academy of Pediatrics (2012) dalam Nurmalitasari (2015) adalah
kemampuan anak untuk memiliki pengetahuan dalam mengelola dan
mengekspresikan emosi secara lengkap baik emosi positif, maupun negatif,
mampu berinteraksi dengan anak lainnya atau orang dewasa di sekitarnya, serta
aktif belajar dengan mengeksplorasi lingkungan. Perkembangan sosial emosional
adalah proses belajar menyesuaikan diri untuk memahami keadaan serta perasaan
ketika berinteraksi dengan orang- orang di lingkungannya baik orang tua, saudara,
teman sebaya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran sosial emosional
dilakukan dengan mendengar, mengamati dan meniru hal-hal yang dilihatnya.
Menurut Dodge, Colker, dan Heroman (2002) dalam Hildayani (2009:
10.3), pada masa kanak-kanak awal perkembangan sosial emosional hanya seputar
proses sosialisasi. Dimana anak belajar mengenai nilai-nilai dan perilaku yang
diterimanya dari masyarakat. Pada masa ini, terdapat tiga tujuan perkembangan
sosial emosional. Pertama, mencapai pemahaman diri (sense of self) dan
berhubungan dengan orang lain. Kedua, bertanggungjawab atas diri sendiri yang
meliputi kemampuan mengikuti aturan dan rutinitas, menghargai orang lain, dan
mengambil inisiatif. Ketiga, menampilkan perilaku sosial seperti empati, berbagi,
dan mengantri dengan tertib.
Hurlock (1993) perkembangan emosi terjadi sangat kuat pada usia 2,5-3,5
dan 5,5 – 6,4 tahun.
 Reaksi emosi anak sangat kuat, anak akan merespon peristiwa dengan kadar
emosi yang sama. Semakin bertambah usia anak semakin mampu untuk
mengontrol emosinya.
 Reaksi emosi muncul setiap peristiwa dengan cara yang diinginkannya dan
dengan waktu yang diinginkannya pula.
 Emosi mudah berubah dan memperlihatkan reaksi spontanitas atau kondisi asli
dan anak sangat terbuka dengan pengalaman-pengalaman hatinya.

11
 Reaksi emosi bersifat individual dan pemicu emosi yang sama, namun reaksi
yang ditimbulkan berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh faktor pemicu emosi
 Keadaan emosi anak dikendalikan dengan gejala tingkah laku yang
ditampilkan dan anak sulit mengungkapkan emosi secara verbal dan emosi
mudah dikenali melalui tingkah laku yang ditunjukkan.

Hurlock (1978) perilaku prososial yang umum terjadi pada diri anak
diantaranya:

 Meniru : melakukan perilaku orang dewasa disekitarnya


 Persaingan : keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain
 Kerja sama : bermain kooperatif bersama teman
 Simpati : menggambarkan perasaan belas kasih atas kesedihan orang lain
(KBBI)
 Empati : menempatkan diri pada posisi kesedihan orang tersebut (KBBI)
 Dukungan sosial : dukungan dari orang sekitar
 Berbagi : memberikan miliknya kepada teman atau orang dewasa sebagai
bentuk kepedulian
 Perilaku akrab : hubungan erat dan personal dengan orang lain atau teman
sebaya.

Budaya dan Perkembangan Sosial-Emosional Anak

Perkembangan sosio-emosional kemungkinan besar dipengaruhi oleh


konteks budaya. Para ahli teori dan peneliti perkembangan telah lama mengakui
peran komprehensif budaya dalam perkembangan sosial anak-anak di tahun-tahun
awal. Budaya dapat mendorong atau membatasi penampilan aspek-aspek tertentu
dari fungsi sosio-emosional melalui proses fasilitasi atau penekanan. Selain itu,
norma-norma dan nilai-nilai budaya dapat memberikan panduan untuk interpretasi
dan evaluasi perilaku sosial dan dengan demikian memberikan makna pada
perilaku tersebut. Argumen-argumen ini didukung oleh temuan-temuan dari
sejumlah penelitian dalam balita di Tiongkok dan Korea menunjukkan reaksi rasa
takut, waspada, dan cemas yang lebih tinggi dibandingkan balita di Australia,
Kanada, dan Italia dalam situasi stress baru. Anak-anak Tiongkok juga
menunjukkan kontrol atau pengaturan mandiri yang lebih berkomitmen dan
terinternalisasi dalam hal
12
kepatuhan dan penundaan tugas dibandingkan anak-anak Amerika Utara pada
tahun-tahun awal. Demikian pula, balita Nso di Kamerun menunjukkan perilaku
yang lebih diatur dibandingkan balita di Kosta Rika yang juga lebih diatur
dibandingkan balita di Yunani, seperti yang ditunjukkan oleh kepatuhan mereka
terhadap permintaan dan larangan ibu dalam dua dekade terakhir.

Perbedaan lintas budaya dalam karakteristik awal mungkin terkait dengan


harapan, sikap dan praktik sosialisasi orang tua. Chen dkk. menemukan bahwa
perilaku anak-anak yang waspada dan reaktif dikaitkan dengan kekecewaan dan
penolakan orang tua di Kanada, sedangkan perilaku ini dikaitkan dengan sikap
orang tua yang hangat dan menerima di Tiongkok. Dibandingkan dengan orangtua
Euro-Amerika, orangtua Tiongkok dan Korea juga lebih cenderung menekankan
kontrol perilaku dalam mengasuh anak. Selain itu, menurut Keller et al., Ibu Nso
di pedesaan Kamerun lebih cenderung menggunakan gaya pengasuhan proksimal
(kontak tubuh, stimulasi tubuh) dibandingkan ibu di Kosta Rika, yang juga lebih
mungkin menggunakan gaya pengasuhan proksimal dibandingkan ibu di Yunani
kelas menengah, yang diyakini dapat memfasilitasi kepatuhan dan peraturan.
Karakteristik sosio-emosional pada tahun-tahun awal dapat berimplikasi pada
perkembangan perilaku sosial. Edwards menemukan bahwa anak-anak di
komunitas yang relatif terbuka (misalnya, Taira di Okinawa, salah satu prefektur
di bagian selatan Jepang, dan Orchard Town di AS) yang mendorong interaksi
dengan teman sebaya memiliki skor yang jauh lebih tinggi dalam keterlibatan
sosial secara keseluruhan dibandingkan anak-anak di komunitas yang lebih
“dekat” dan lebih terbuka. komunitas pertanian (misalnya, Nyansongo di Kenya
dan Khalapur di India). Interaksi sosial yang relatif rendah juga ditemukan pada
anak-anak Tiongkok dan Indonesia, dibandingkan dengan anak-anak Amerika
Utara.

Perbedaan lintas budaya tidak hanya terdapat pada keterlibatan sosial


secara keseluruhan namun juga pada kualitas interaksi sosial. Suatu bentuk
interaksi teman sebaya yang berbeda-beda antar budaya adalah aktivitas sosio-
dramatis dalam permainan anak-anak. Anak-anak di Barat cenderung terlibat
dalam perilaku yang lebih sosio-dramatis dibandingkan anak-anak di banyak
budaya lain, terutama yang berorientasi kelompok. Farver, Kim dan Lee
menemukan bahwa anak-anak prasekolah Korea-Amerika kurang menunjukkan

13
permainan sosial dan permainan pura-pura dibandingkan anak-anak Anglo-
Amerika. Terlebih lagi, ketika anak-anak

14
Korea terlibat dalam permainan pura-pura, permainan tersebut lebih berisi
aktivitas peran sehari-hari dan keluarga serta tema-tema yang kurang fantastis
(misalnya, tindakan yang berkaitan dengan legenda atau tokoh dongeng yang tidak
ada). Gosso Lima, Morais dan Otta menemukan bahwa anak-anak pedesaan di
Brasil menunjukkan perilaku yang kurang berpura-pura atau sosio-dramatis
dibandingkan anak-anak perkotaan. Selain itu, kegiatan sosiodrama anak
perkotaan lebih banyak melibatkan tokoh atau tema fantastik dibandingkan anak
pedesaan. Selain itu, karakter yang lazim dalam permainan pura-pura anak-anak
pantai adalah hewan peliharaan (anjing dan kuda), yang menurut Gosso dkk. ,
disebabkan oleh seringnya kontak anak-anak tersebut dengan mereka dalam
kehidupan sehari-hari.

Anak-anak dalam masyarakat dimana keluarga besar tinggal bersama


dalam gaya tradisional cenderung menunjukkan perilaku yang lebih prososial-
kooperatif dibandingkan anak-anak dalam masyarakat yang secara ekonomi
kompleks dengan struktur kelas dan pembagian kerja berdasarkan pekerjaan.
Sosialisasi awal mengenai tanggung jawab dikaitkan dengan pengembangan
perilaku prososial- kooperatif. Budaya yang menghargai daya saing dan mengejar
tujuan pribadi tampaknya memungkinkan terjadinya perilaku yang lebih koersif
dan agresif dibandingkan budaya yang menekankan keharmonisan kelompok. Para
peneliti telah melaporkan bahwa anak-anak Amerika Utara cenderung
menunjukkan tingkat perilaku agresif dan eksternalisasi yang lebih tinggi
dibandingkan anak-anak di beberapa negara Asia seperti Tiongkok, Korea, Jepang
dan Thailand, di Australia dan di beberapa negara Eropa seperti Swedia dan
Belanda.

Peran budaya dapat tercermin tidak hanya dalam tampilan karakteristik


sosio-emosional tertentu, tetapi juga dalam makna fungsionalnya dalam
pembangunan di berbagai masyarakat. Misalnya, hambatan perilaku pada masa
balita dikaitkan dengan kesulitan sosial dan psikologis di negara-negara
Barat. Namun, penelitian longitudinal di Tiongkok mengungkapkan bahwa
hambatan perilaku dini memprediksi secara positif kompetensi sosial, prestasi
sekolah, dan penyesuaian psikologis pada masa kanak-kanak dan remaja.

1.5 Perkembangan Moral


Teori perkembangan moral dalam perspektif psikologi budaya merupakan
15
pendekatan yang memahami bagaimana nilai-nilai moral dan norma-norma sosial

16
berkembang dalam berbagai budaya. Salah satu teori yang relevan adalah teori
perkembangan moral Lawrence Kohlberg yang menciptakan model
perkembangan moral yang terdiri dari tiga tingkatan utama, yaitu:
 Tingkat prakonvensional: Pada tingkat ini, individu berfokus pada hukuman
dan imbalan pribadi. Mereka memandang moralitas dalam konteks
keuntungan pribadi dan perasaan takut terhadap hukuman.
 Tingkat konvensional: Di tingkat ini, individu mulai memperhatikan norma-
norma sosial dan kepatuhan terhadap otoritas dan hukum. Mereka memahami
pentingnya menjaga harmoni sosial dan peran dalam masyarakat.
 Tingkat pasca konvensional: Pada tingkat ini, individu mengembangkan
pemahaman moral yang lebih kompleks dan berlandaskan prinsip-prinsip etika
abstrak. Mereka dapat menilai tindakan moral berdasarkan prinsip universal
seperti keadilan dan hak asasi manusia.

Dalam perspektif psikologi budaya, teori ini dapat diterapkan dengan


memperhatikan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma moral berbeda antara
budaya-budaya yang berbeda. Pengaruh budaya dapat memengaruhi
perkembangan moral individu, dan konsep seperti kehormatan, keluarga, dan
agama dapat berperan penting dalam membentuk moral seseorang.

Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg memandang moral sebagai


proses pembelajaran yang berkembang seiring waktu. Dalam perspektif psikologi
budaya, teori ini dapat diinterpretasikan dengan mempertimbangkan pengaruh
budaya dalam perkembangan moral individu. Ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan:

 Peran Budaya: Dalam konteks psikologi budaya, budaya memiliki peran


penting dalam membentuk nilai, norma, dan sistem moral individu.
Pengalaman dan norma-norma sosial yang berbeda dalam berbagai budaya
dapat memengaruhi cara individu mengembangkan pemahaman moral mereka.
 Level Perkembangan: Kohlberg mengidentifikasi tiga level perkembangan
moral, yaitu prekonvensional, konvensional, dan postkonvensional. Budaya
dapat mempengaruhi sejauh mana individu mencapai level tertentu dan
bagaimana mereka mengartikulasikan nilai moral dalam konteks budaya
mereka.

17
 Nilai Budaya: Nilai-nilai yang dipegang oleh suatu budaya dapat
mempengaruhi proses pembentukan moral individu. Misalnya, budaya yang
menekankan pentingnya keluarga dapat memengaruhi individu untuk
mengembangkan pemahaman moral yang berfokus pada hubungan sosial.
 Konflik Budaya: Terkadang, individu mungkin mengalami konflik moral
antara nilai-nilai budaya mereka dan nilai-nilai yang dianut secara lebih
universal. Konflik semacam ini dapat memengaruhi perkembangan moral dan
proses pengambilan keputusan.
 Pendekatan Fleksibel: Dalam psikologi budaya, diperlukan pendekatan yang
fleksibel dan sensitif terhadap konteks budaya individu. Artinya,
pengembangan moral seseorang harus dipahami dalam konteks budaya
mereka sendiri dan tidak secara kaku diterapkan dari satu budaya ke budaya
lain.

Dengan demikian, teori Kohlberg tentang perkembangan moral dapat


diperkaya dengan mempertimbangkan faktor-faktor budaya yang memengaruhi
proses ini. Pengaruh budaya dapat membentuk nilai-nilai dan pemahaman moral
individu, yang menjadi bagian penting dalam studi psikologi budaya.

Temuan dari sejumlah studi lintas budaya menunjukkan bahwa banyak


aspek dari teori moralitas Kohlberg bersifat universal. Snarey (1985), misalnya,
meninjau 45 penelitian yang melibatkan partisipan di 27 negara dan
menyimpulkan bahwa dua tahap pertama Kohlberg dapat dianggap bersifat
universal.

Salah satu dari Asumsi yang mendasari teori Kohlberg adalah bahwa
penalaran moral berdasarkan prinsip-prinsip individu dan hati nurani, terlepas dari
hukum masyarakat atau budaya, adat istiadat, mewakili tingkat penalaran moral
tertinggi. Asumsi ini adalah didasarkan pada lingkungan budaya di mana
Kohlberg mengembangkan teorinya yaitu berakar pada penelitian yang melibatkan
laki-laki Amerika di wilayah barat tengah pada tahun 1950 an dan 1960 an.
Meskipun demokratis paham individualisme dan uniknya, hati nurani pribadi
mungkin tepat untuk menggambarkan perasaannya sampel pada waktu dan tempat
itu, tidak jelas apakah gagasan yang sama mewakili prinsip-prinsip moral
universal yang berlaku untuk semua orang dari semua budaya.

18
2. Budaya dapat Mempengaruhi Kehidupan Seseorang

19
Budaya adalah sebuah ciri atau identitas sari sekumpulan orang yang mendiami
wilayah tertentu. Budaya ini timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat secara
berulang-ulang sehingga membentuk suatu kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah
budaya dari masyarakat itu sendiri.
Budaya yang sudah masuk tersebut dapat mengakar dalam kehidupan manusia,
sehingga tanpa kita sadari budaya ini telah mempengaruhi kehidupan manusia. Berikut
perilaku-perilaku seseorang yang dapat dipengaruhi oleh budaya: yang pertama adalah
budaya mempengaruhi perilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain,
kebiasaan perilaku manusia suka berinteraksi dengan manusia lain telah merubah perilaku
manusia ketika bersosialisasi. Saat ini juga zaman sudah canggih, semua aspek kehidupan
manusia tidal luput dari teknologi, salah satu teknologinya adalah gadget. Karena budaya
menggunakan gadget untuk berkomunikasi sehingga terbentuklah budaya media sosial.
Manusia kini lebih memilih untuk bersosialisasi dengan sosial media seperti facebook,
Instagram, dan lainnya yang menyebabkan budaya pasif terhadap lingkungan sekitarnya.
Budaya mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat, akibat teknologi yang
makin canggih manusia yang dulunya hidup dengan sederhana, kini berubah menciptakan
masyarakat yang modern, yang dikelilingi oleh teknologi-teknologi yang canggih.maka
dapat disimpulkan bahwa budaya dapat mempengaruhi kehidupan manusia, oleh karena
itu budaya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena budaya terus
berkembang maka perilaku manusia akan terus berkembang pula.
Budaya juga secara langsung dapat mempengaruhi kepribadian individu, karena
individu tinggal di lingkungan yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan norma dalam
masyarakat. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari
satu generasi ke generasi lainnya, yang kemudian disebut dengan superorganic. Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religious, dan lain
sebagainya.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hokum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat. Adapun hubungan manusia dengan kebudayaan adalah, manusia
adalah produk kebudayaan sedangkan kebudadayaan itu sendiri adalah produk manusia.
Dengan kata lain, budaya ada karena adanya manusia.

20
Perbedaan budaya dalam interaksi antara orang dewasa dan anak-anak juga
mempengaruhi bagaimana seorang anak berperilaku sosial. Misalnya, dalam budaya Cina,
di mana orang tua memikul banyak tanggung jawab dan otoritas atas anak-anak, orang tua
berinteraksi dengan anak-anak dengan cara yang lebih berwibawa dan menuntut
kepatuhan dari anak-anak mereka. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan seperti itu lebih
cenderung mematuhi permintaan orang tua mereka, bahkan ketika mereka enggan untuk
melakukannya. Sebaliknya, anak-anak imigran Cina yang tumbuh di Inggris berperilaku
lebih mirip dengan anak-anak Inggris, yang cenderung tidak mengikuti tuntutan orang tua
jika tidak mau.

3. Budaya dan Kelekatan

Kelekatan merujuk pada hubungan atau ikatan spesial yang berkembang antara
bayi dan pengasuh utamanya. Kelekatan memberikan bayi kenyamanan dan keamanan
emosional. Studi yang dilakukan Harlow (1969) menyorot pentingnya kontak dan
kenyamanan fisik dalam perkembangan kelekatan.
Mary Ainsworth (1967,1977) berdasarkan penelitian mengklasifikasikan tiga tipe
kelekatan yaitu secure, ambivalent, dan avoidant. Ambivalen dan avoidant attachment
kemudian dianggap sebagai jenis kelekatan yang tidak aman atau insecurely attached.
Beberapa studi lainnya dalam budaya lain kemudian menemukan kesamaan dalam
klasifikasi kelekatan, dan yang lainnya menemukan beberapa perbedaan. Beberapa gaya
kelekatan justru tidak ditemukan dalam beberapa budaya, misalnya tidak ada bayi dengan
gaya kelekatan avoidant ditemukan dalam sampel penelitian Dogon of Mali (True, 1994),
dan sebagainya. Dalam kajian pada 65 studi tentang attachment, ditemukan bahwa
sensitifitas orangtua berhubungan dengan security of attachment (Dewolff & van
Ijzendoorn, 1997).
Pertanyaannya kemudian adalah apakah secure attachment ini ideal secara
universal? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya memiliki ideal attachment
yang berbeda. Artinya, tidak semua budaya menganggap apa yang kita sebut sebagai
secure attachment menjadi gaya attachment yang ideal dalam konteks budaya mereka.
Misalnya, ibu-ibu di Jerman menganggap avoidant attachment sebagai gaya attachment
yang ideal, dan menganggap anak-anak dengan gaya secure attachment sebagai anak-
anak manja (Grossmann, Grossmann, Spangler, Suess & Unzer, 1985). Anak-anak yang
dibesarkan dalam keluarga tradisional Jepang dikarakteristikkan dengan anxious
ambivalent

21
attachment yang tinggi, dan tidak ada yang memiliki gaya kelekatan avoidant (Miyake,
Chen, & Campos, 1985). Crittenden mengusulkan bahwa penggunaan istilah “secure” dan
“insecure” dalam menggambarkan kelekatan sebaiknya diganti menjadi “adaptif” dan
“maladaptif” terhadap konteks secara spesifik, dan memfasilitasi bagaimana gaya
kelekatan tertentu mungkin lebih tepat untuk budaya tertentu.
Meski demikian, beberapa penelitian lain menemukan bahwa secure attachment
mungkin memang ideal dalam lintas budaya. Misalnya, dalam studi yang melibatkan
pakar dalam bidang kelekatan dan ibu-ibu dari China, Colombia, Germany, Israel, Japan,
dan U.S, Pospada dan rekan-rekannya (1995) melaporkan bahwa pada setiap negara
tersebut, anak-anak dengan gaya kelekatan yang secure dianggap paling dekat dengan
karakteristik anak yang ideal. Sehingga, bahkan budaya yang berbeda dalam dimensi
individualisme dan kolektivisme mungkin memiliki pandangan yang serupa dalam
pentingnya secure attachment.
Lebih lanjut, menariknya, hubungan kelekatan yang dimiliki anak dengan
pengasuh yang berbeda memiliki implikasi pada area yang berbeda terhadap
perkembangan. Dalam studi yang melibatkan suku di Afrika, yaitu suku Efe
menunjukkan pola yang berbeda (Tronic, Morelli, & Ivey, 1992). Bayi-bayi dalam suku
tersebut diasuh oleh banyak pengasuh selain oleh ibu mereka. Waktu yang mereka
habiskan dengan pengasuh selain ibu mereka meningkat dari 39% pada 3 minggu menjadi
60% dalam 18 minggu. Mereka ikatan emosional yang dekat dengan banyak orang selain
ibu mereka dan menghabiskan sedikit waktu dengan ayah mereka. Meski demikian,
ketika usia mereka satu tahun, mereka menunjukkan preferensi untuk diasuh oleh ibu
mereka dan menjadi tidak nyaman ketika ditinggalkan ibu mereka. Sehingga ada bukti
bahwa kelekatan terhadap pengasuh utama masih terbentuk, dan bahwa anak-anak sehat
secara emosional meski diasuh oleh banyak pengasuh.
Lalu bagaimana perkembangan kelekatan anak jika anak yang terlahir dari suku
tertentu, misalnya suku Aceh namun diasuh sejak taman kanak-kanak oleh nenek yang
tinggal di daerah dengan suku yang berbeda, misalnya Medan, hingga iya dewasa?
Berdasarkan teori dan berbagai penemuan di atas, perlu digaris bawahi bahwa kelekatan,
sesuai dengan definisinya adalah ikatan spesial yang terbentuk antara anak dan pengasuh
utamanya. Definisi tentang kualitas kelekatan dan prosesnya adalah penilaian kualitatif
yang dibuat dari masing-masing sudut pandang budaya. Lebih jauh lagi, karena
pengasuhan non-orang tua adalah salah satu norma atau bentuk pengasuhan yang sering
terjadi di sebagian besar budaya (Weisner, & Gallimore, 1977) meneliti network

22
menjadi penting

23
(van Ijzendoorn & Sagi, 1999). Perbedaan dalam kelekatan menyediakan wadah belajar
untuk anak-anak yang memungkinkan mereka meraih tujuan perkembangan dalam
budaya mereka. Sehingga, pada dasarnya temperamen bawaan anak, respon pengasuh
terhadap temperamen anak dan hasil kelekatan yang dibangun anak dengan pengasuh
memainkan peran penting dalam bagaimana anak mengambil aspek-aspek spesifik dalam
budaya mereka.
Sehingga, sulit untuk memutuskan dengan tepat dan spesifik bagaimana
perkembangan kelekatan anak sebelum mengetahui bagaimana temperamen bawaanya,
respon pengasuh utamanya terhadap temperamen anak, dan bagaimana gaya kelekatannya
dengan orang tuanya yang sempat mengasuh anak tersebut hingga taman kanak-kanak
sebelum ia kemudian diasuh oleh neneknya yang tinggal di wilayah dengan budaya yang
berbeda. Meski demikian, jika merujuk pada studi yang dilakukan pada suku Efe di
Afrika, maka ada kemungkinan bahwa anak pada dasarnya mungkin memiliki preferensi
untuk diasuh oleh ibunya sebagai pengasuh utama, namun tetap sehat secara emosional
meski diasuh oleh neneknya di wilayah dan suku yang berbeda, namun bagaimana
tepatnya hal ini dapat terjadi atau bagaimana hasil yang selanjutnya harus dikaji lebih
lanjut dengan detail. Perlu diingat pula bahwa ada kemungkinan anak mengalami
separation distress atau kecemasan jika terpisah dari pengasuh setelah mereka merasa
melekat pada pengasuh. Penelitian Harlow (1969) misalnya, telah menggaris bawahi
kontak dan kenyamanan fisik sangat penting dalam perkembangan kelekatan, sehingga
jika anak terpisah secara fisik (dan mungkin emosional) dengan orang tua setelah
mengembangkan kelekatan maka anak akan mengalami ketidaknyamanan. Namun
demikian, hal ini tidak bisa sepenuhnya diputuskan begitu saja apakah kemudian anak
mengembangkan bentuk kelekatan yang tepat atau tidak dan bagaimana bentuk kelekatan
yang dikembangkan mempengaruhi hidupnya (dalam konteks budaya tempatnya tinggal),
sehingga perlu dikaji lebih mendalam.
Dalam mengasuh anak, orang tua biasanya mengajarkan nilai-nilai yang mereka
yakini benar dan tepat kepada anak-anak mereka. Budaya menjadi salah satu "media"
yang memberikan standar benar dan salah, tepat dan tidak tepat, sehingga secara tidak
langsung budaya mempengaruhi bagaimana orang tua mengasuh anak mereka. Kelakatan
atau attachment kemudian terbentuk dari interaksi anak dan pengasuh, yang umumnya
adalah orang tua. Interaksi fisik dan emosional yang baik diyakini membentuk secure
attachment pada anak. Budaya Aceh dan Medan, secara stereotip dilihat sebagai budaya
dimana orang-orangnya memiliki watak keras dan cukup menuntut dalam pengasuhan

24
anak, namun disaat yang sama juga cenderung tidak menunjukkan afeksi dan cinta
mereka secara langsung dan hangat (verbal maupun nonverbal), sehingga anak-anak yang
diasuh dalam dua budaya ini sering kali tumbuh menjadi anak yang memiliki watak keras,
sulit juga untuk mengungkapkan kasih sayang termasuk terhadap orang tua mereka,
menghormati orang tua meski dalam beberapa kasus justru menjadi takut kepada orang
tua, sehingga jika seauatu terjadi mereka memiliki pertimbangan begitu besar apakah
mereka akan bercerita atau tidak kepada orang tua.
Meski relatif mirip secara stereotip budayanya, berdasarkan beberapa keterangan
individu yang pernah diasuh dalam dua budaya ini, mereka mengaku bahwa pengasuhan
orangtua di Medan, atau Sumatra Utara secara umum, terasa lebih keras dan menuntut
dibandingkan dengan di Aceh. Sehingga mereka cenderung tumbuh menjadi individu
yang keras saat berhadapan dengan orang lain, namun terkadang kesulitan mendekati
orang tua mereka. Sementara itu, perbedaan lain dirasakan melalui tingkat religiutas di
keluarga muslim. Muslim di Aceh dirasa lebih religius, penerapan tentang menghormati
orang tua juga cukup kuat, sehingga konsep-konsep tersebu diterapkan dengan lebih baik.

25
BAB III

PENUTU

1. Kesimpulan

Budaya pada dasarnya dapat memberikan hasil yang sama atau berbeda dalam
berbagai bidang perkembangan selain juga memberikan tuntutan-tuntutan perkembangan
tertentu yang harus dipenuhi berdasarkan tuntutan budaya masing-masing, misalnya
bagaimana budaya tertentu menuntut perkembangan moral individu terpenuhi sesuai
dengan standar budayanya. Berbagai penelitian perkembangan manusia dalam setting
lintas budaya mencoba memberikan gambaran yang komprehensif pandangan tentang
bagaimana budaya mempengaruhi sejumlah proses psikologis perkembangan.
Beberapa perbedaan karakteristik detail perkembangan dalam aspek-aspek
tertentu menunjukkan bagaimana sebuah budaya berkembang dalam diri kita masing-
masing. Ketika budaya memberikan pengaruhnya dalam kehidupan secara khusu dan
unik, budaya menghasilkan kecenderungan, tren, dan perbedaan tertentu pada kelompok
budayanya dibandingkan dengan kelompok budaya lain
Perkembangan kognitif merupakan spesialisasi dalam psikologi yang mempelajari
cara berpikir keterampilan berkembang seiring berjalannya waktu. Perkembangan ini
dibagi menjadi 4 tahapan yaitu : tahap sensorimotor, tahap pra-operasional, tahap
operasional konkret, dan tahap operasional formal.
Budaya yang sudah masuk tersebut dapat mengakar dalam kehidupan manusia,
sehingga tanpa kita sadari budaya ini telah mempengaruhi kehidupan manusia. Berikut
perilaku-perilaku seseorang yang dapat dipengaruhi oleh budaya: yang pertama adalah
budaya mempengaruhi perilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain, budaya
mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat, dan budaya juga secara langsung dapat
mempengaruhi kepribadian individu.
Untuk kasus apakah secure attachment ini ideal secara universal? Pertanyaan ini
dijawab oleh beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya memiliki ideal attachment
yang berbeda. Artinya, tidak semua budaya menganggap apa yang kita sebut sebagai
secure attachment menjadi gaya attachment yang ideal dalam konteks budaya mereka.
Meski demikian, beberapa penelitian lain menemukan bahwa secure attachment mungkin
memang ideal dalam lintas budaya.

26
2. Saran
Saran san harapan yang bisa kami berikan adalah kita sebagai calon Psikolog harus
bisa mengerti dan menerapkan transisi biologis dan kulturual. Serta, mempelejaran dan
menerapkan pola perkembangan dan pengasuhan usia dini.

27
DAFTAR PUSTAKA

Chen, Xinyin. (2023). Culture: Early socio-emotional development. Encyclopedia.


https://www.child-encyclopedia.com/

28

Anda mungkin juga menyukai