Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KESANTUNAN BERBAHASA MELAYU

Makalah ini dibuat untuk memenuhi

Tugas mata Pelajaran BMR

DISUSUN OLEH KELOMPOK :

ADITYA ZAHER MAULANA

M.REHAN REHANDRI

M.ALIF

AGNES SAPUTRI

YOSSI YOLANDA

YOSI PARDINI

AYU INTAN NURAINI

Guru Pembimbing :

MISSELIA NOFITRI

SMK NEGERI 01 KAMPAR

TP. 2023 / 2024


KATA PENGANTAR

Assalammua’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah hirabbil’alamin , puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah


swt yang telah memberi nikmat iman dan kesehatan serta kesempatan kepada
penulis , sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya tulis yang berjudul
“Sopan Santun Berbahasa Melayu“.

Salawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi junjungan


alam Nabi besar Muhammad saw atas berkata jasa Beliau kita dari zaman
kebodohan menuju zaman yang penuh dengan kemajuan ilmu penegetahuan dan
tekhnologi seperti yang kita rasakan saat ini .

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada karya


tulis ini sebagimana kata pepatah “ tak ada gading yang tak retak“. oleh karena itu
penulis mengharap dari pembaca untuk memberikan kritikan dan saran yang
bersifat membangun Atas kritikan dan saran dari pembaca saya ucapkan
terimakasih.

Kampar, 05 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian Bahasa melayu................................................................3
2.2 Perkembangan Bahasa melayu.........................................................4
2.3 Varian-varian Bahasa melayu...........................................................5
2.4 Adat dan kesantunan melayu ………………………………………8

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan.......................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pada prinsipnya bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan sebagai


salah satu cara untuk menunjukaan identitas dari suatu Negara, begitu juga dengan
bahasa daerah. Indonesia memiliki 748 bahasa daerah yang beragam-ragam dalam
pengucapannya. Salah satunya adalah bahasa Melayu.

Masyarakat melayu sekarang ini sangat jauh dari harapan dalam


penggunaan bahasa. Mayoritas masyarakat sekarang ketika berbicara asal-asalan
saja tanpa memikirkan nilai sopan santunnya, baik itu berkomunikasi sesama
teman sebaya, kepada yang lebih muda ataupun kepada yang lebih tua. Berbeda
dengan masyarakat melayu zaman dahulu.

Masyarakat Melayu dahulu ketika berbicara sangat sopan santun , penuh


lemah lembut, dan setiap kata demi kata dirangkai dengan seindah mungkin,
sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain. Dan ketika berbicara mayarakat
Melayu dahulu mempergunakan bahasa kiasan dan perumpamaan yang maknanya
jauh lebih dalam. Sehingga ketika diucapkan enak untuk didengarkan.

Ciri-ciri seperti ini sudah tidak tampak lagi pada masyarakat Melayu
Lingga khususnya para remaja sekarang ini karena sudah banyak masyarakat
Melayu Lingga yang menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan ketentuan
bahasa Melayu. Seperti bahasa alay, bahasa gaul dan bahasa campuran yang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian Bahasa melayu
2. Perkembangan Bahasa melayu
3. Varian-varian Bahasa melayu
4. Adat dan kesantunan melayu
BAB II
ADAT DAN KESANTUNAN MELAYU

 Pengertian Bahasa Melayu


Bahasa Melayu mencakup sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di
wilayah Nusantara dan di Semenanjung Melayu. Sbg bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa
ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), dan Malaysia (juga
dikenal sbg bahasa Malaysia); bahasa nasional Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor
Leste (sebagai bahasa Indonesia). Bahasa Melayu adalah lingua franca bagi perdagangan dan
hubungan politik di Nusantara semenjak sekitar A.D 1500-an [1]. Migrasi kemudian juga turut
memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang disebut sebelumnya, bahasa Melayu
dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar
selatan, sebagian kecil Kamboja, sampai Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh
warga Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang menjadi ronde Australia.

 Perkembangan bahasa melayu


Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun
bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu
diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam
urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia.
Prasasti Telaga Batu, salah satu catatan bahasa Melayu terawal.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuno berasal dari abad ke-7 Masehi, dan
tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatra
dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara
Pallawa. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun
dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa
yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap
utama, yaitu
 Bahasa Melayu Kuno (abad ke-7 hingga abad ke-13)
 Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
 Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut
saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan
berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun
melalui pengkreolan.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul
semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16
menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi
perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya
berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, serta selatan
Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-
menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa

5
Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu
yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih
populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah
menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf
setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana
dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu
(Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga
penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika
sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara
sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini
terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan
alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-
sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran
dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian
bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti
sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka" atau
"bahasa Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901
menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Ia
juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20 tahun
berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-
orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya
adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan,
"menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat
menjadi bahasa kebangsaan.
Pengenalan varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain,
termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang
telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi pada dasawarsa-
dasawarsa akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain varian kebangsaan
dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu baku (bahasa Melayu Riau) terjaga akibat meluasnya
penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang Belanda yang pada waktu
itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa
Melayu menjadi semakin populer.
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis Bahasa
Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia (MABBIM) berencana menjadikan bahasa Melayu
sebagai bahasa resmi dalam organisasi ASEAN, dengan memandang lebih separuh jumlah
penduduk ASEAN mampu bertutur dalam bahasa Melayu. Rencana ini belum pernah
terwujud, tetapi ASEAN sekarang selalu membuat dokumen asli dalam bahasa Inggris dan
diterjemahkan ke dalam bahasa resmi masing-masing negara anggotanya.

6
 Varian-Varian Bahasa Melayu
Bahasa Melayu sangat bervariasi. Penyebab yang utama adalah tidak adanya institusi
yang memiliki kekuatan untuk mengatur pembakuannya. Kerajaan-kerajaan Melayu hanya
memiliki kekuatan regulasi sebatas wilayah kekuasaannya, padahal bahasa Melayu dipakai
oleh orang-orang jauh di luar batas kekuasaan mereka. Akibatnya muncul berbagai dialek
(geografis) maupun sosiolek (dialek sosial). Pemakaian bahasa ini oleh masyarakat berlatar
belakang etnik lain juga memunculkan berbagai varian kreol di mana-mana, yang masih
dipakai hingga sekarang. Bahasa Betawi, suatu bentuk kreol, bahkan sekarang mulai
memengaruhi secara kuat bahasa Indonesia akibat penggunaannya oleh kalangan muda
Jakarta dan dipakai secara meluas di program-program hiburan televisi nasional.
Ada kesulitan dalam mengelompokkan bahasa-bahasa Melayu. Sebagaimana beberapa
bahasa di Nusantara, tidak ada batas tegas antara satu varian dengan varian lain yang
penuturnya bersebelahan secara geografis. Perubahan dialek sering kali bersifat bertahap.
Untuk kemudahan, biasanya dilakukan pengelompokan varian sebagai berikut:
a. Bahasa-bahasa Melayu Tempatan (Lokal)
b. Bahasa-bahasa Melayu Kerabat (Paramelayu, Paramalay = Melayu "tidak penuh")
c. Bahasa-bahasa kreol (bukan suku/penduduk melayu) berdasarkan bahasa Melayu
Jumlah penutur bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi jumlah
melampaui jumlah penutur bahasa Melayu di Malaysia maupun di Brunei Darussalam.
Bahasa Melayu dituturkan mulai sepanjang pantai timur Sumatra, Kepulauan Riau,
Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung hingga pesisir
Pulau Kalimantan dan kota Negara, Bali.

Dialek Melayu Indonesia


Dialek Melayu Indonesia di Regional Sumatra
 Dialek Tamiang: dituturkan di kabupaten Aceh Tamiang, Aceh
 Dialek Langkat: dituturkan di kawasan Langkat, Sumatra Utara
 Dialek Deli: dituturkan di Medan, Deli Serdang dan Serdang Bedagai
 Dialek Asahan: dituturkan di sepanjang wilayah pesisir kabupaten Asahan dan
Kabupaten Batubara
 Dialek Kualuh: dituturkan di sepanjang wilayah aliran hulu sampai hilir sungai
Kualuh kabupaten Labuhanbatu Utara
 Dialek Bilah: dituturkan di sepanjang wilayah hilir aliran sungai Bilah kabupaten
Labuhanbatu
 Dialek Panai: dituturkan di sepanjang wilayah hilir aliran sungai Barumun kabupaten
Labuhanbatu
 Dialek Kotapinang: dituturkan di sepanjang wilayah aliran sungai Barumun
kabupaten Labuhanbatu Selatan
 Dialek Melayu Riau: dituturkan di kawasan Kepulauan Riau
 Dialek Riau Kepulauan dan beberapa kawasan di Riau Daratan dituturkan sama
seperti Dialek Johor.
 Dialek Melayu Riau Daratan: terbagi atas beberapa dialek lainnya tergantung
wilayah (Siak, Rokan, Inderagiri, Kuantan dan Kampar)

7
 Dialek Anak Dalam: kemungkinan termasuk kelompok Kubu, Talang Mamak di
kawasan Riau dan Jambi
 Dialek Melayu Jambi: dituturkan di provinsi Jambi
 Dialek Melayu Bengkulu: dituturkan di kota Bengkulu
 Dialek Melayu Palembang: dituturkan di kota Palembang dan Kota Muara Enim dan
sekitarnya
 Dialek Bangka-Belitung: dituturkan di provinsi Bangka-Belitung sedikit perbedaan
antara pengucapan kata sebagai contoh kata "APA-Ind" bangka menggunakan "APE"
seperti mengucapkan kata "PEPES" dan Belitung "APE" seperti mengucapkan kata
"Remang".
Dialek Melayu Indonesia di Regional Kalimantan
 Dialek Melayu Pontianak: dituturkan di kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu
Raya dan kota Pontianak, Kalimantan Barat
 Dialek Melawi (MLW): kabupaten Melawi dan sekitarnya, Kalimantan Barat[11]
 Dialek Landak: kabupaten Landak dan sekitarnya, Kalimantan Barat[12]
 Dialek Melayu Sambas: dituturkan di kabupaten Sambas, Kota Singkawang,
Kabupaten Bengkayang dan sekitarnya, Kalimantan Barat
 Dialek Melayu Sanggau: dituturkan di kabupaten Sanggau[13]
 Dialek Melayu Sintang: dituturkan di kabupaten Sintang[14]
 Dialek Ketapang: dituturkan di kabupaten Ketapang dan sekitarnya, Kalimantan
Barat terdiri 2 dialek kota Ketapang dan Balai Berkuak.[15][16][17]
 Dialek Berau: dituturkan di kabupaten Berau dan sekitarnya, Kalimantan Timur
 Dialek Kutai: dipakai di kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur
Dialek Melayu Indonesia Indonesia Timur
 Dialek Loloan: dituturkan di kota Negara, Jembrana, Bali.

 Adat Dan Kesantunan Melayu


Terdapat pelbagai takrifan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh negara mengenai
konsep kesantunan berbahasa. Budi bahasa merupakan gabungan daripada perkataan budi
dan bahasa. Budi merupakan perlakuan yang baik manakala bahasa ialah pertuturan.
Gabungan perkataan ini membambawa maksud percakapan yang baik yang membawa
maksud yang sempurna dan menyenangkan, penuh dengan sifat-sifat menghormati pihak lain,
bersopan santun diiringi dengan akhlak yang mulia. Peribadi seseorang dapat dinilai menerusi
bahasanya, kalau bahasanya santun dan halus, maka dia dikatakan berbudi bahasa, sebaliknya
kalau bahasa yang digunakan itu kasar dan tidak menyenangkan, maka dia dikatakan kurang
ajar. Kepentingan budi bahasa jelas terbukti melalui peribahasa tersebut :
Yang kurik itu kundi,
Yang merah itu saga;
Yang cantik itu budi,
Yang indah itu bahasa.
Menurut Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka (2005), santun ialah halus budi bahasa dan
atau budi pekerti, beradab atau sopan. Istlah kesantunan pula membawa maksud perihal (sifat
dsb) santun, kesopanan, kehalusan (budi bahasa atau budi pekerti).

8
Awang Sariyan (2007) mendefinisikan kesantunan sebagai penggunaan bahasa yang
baik, sopan, beradap, mamncarkan peribadi mulia dan menunjukkan penghormatan kepada
pihak yang menjadi teman berbicara. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan
dan disepakati bersama oleh susuatu masyarakt sehingga menjadi prasyarat dalam kehidupan
bermasyarakat.
Leech (1983:104) menyatakan bahawa kesantunan berupa perlakuan yang
mewujudkan dan mengekalkan pengiktirafan diri dalam sesuatu interaksi sosial. Beliau
seterusnya berpendapat bahawa kesantunan bukan sekadar bermaksud berbaik-baik sahaja
tetapi yang penting adalah menjalinkan prinsip kerjasama dengan menghubungkannya
dengan maksud dan kuasa. Hal ini melibatkan pemilihan strategi untuk mengelakkan konflik.
Menurut dua orang tokoh bahasa yang terkenal, iaitu Brown dan Levinson (1987:62)
mengaitkan kesantunan sebagai usaha untuk mengurangkan Tindakan Ancaman Muka
(TAM) kepada pendengar. Pada merekan, setiap orang mempunyai kehendak muka yang
terbahagi kepada dua, iaitu muka positif dan muka negatif yang merupakan kehendak
masyarakat sejagat. Sehubungan itu, penutur perlu mengurangkan ancaman muka pendengar
dengan memilih strategi kesantunan.
Held (1992:133) mendefinisikan kesantunan sebagai suatu fenomena bahasa yang boleh
dikaji secara emprikal menerusi pemerhatian terhadap komunikasi lisan yang melibatkan
interaksi bersemuka antara penutur dengan pendengar. Lakoff (1975:64) pula
menginterpretasikan kesantunan sebagai perlakuan yang mengurangkan pergeseran dalam
suatu interaksi.
Menurut Asmah Haji Omar (2000:88), kesantunan berbahasa ialah penggunaan bahasa
sehari-hari yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan dan rasa tersinggung daripada
pihak pendengar. Beliau menjelaskan bahawa penjagaan air muka dalam kalangan orang
Melayu bukan setakat menjaga air muka sendiri malahan turut meliputi air muka keluarga
dan masyarakat. Beliau juga telah membahagikan kesantunan kepada dua aspek, iaitu
kesantunan asas dan kesantunan berkala. Kesantunan asas merujuk kepada kesantunan sedia
ada yang merupakan pedoman bagi masyarakatberhubung antara satau sama lain. Manakala
kesantunan berkala pula merujuk kepada kesantunan yang menggambarkan ucapan yang
dilakukan oleh masyarakat dalam hubungan antara satu sama lain.
Kesantunan berbahasa merupakan kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan
bahasa ketika berkomunikasi sama ada melalui lisan atau tulisan(Amat Juhar Moain, 1992).
Konsep kesantunan berbahasa merupakan satu konsep yang berkait rapat dengan aspek
bersopan santun dalam berbahasa terutamanya ketika berkomunikasi dengan orang lain,
menyampaikan mesej kepada audiens dan berinteraksi dengan seseorang. Kesantunan
berbahasa merangkumi aspek pemilihan kata, nada, gerak laku dan gaya.
a. Kesantunan Berbahasa Dari Aspek Verbal
Kesantunan berbahasa dari aspek verbal merujuk kepada semua aspek komunikasi
secara lisan, pertuturan atau percakapan. Contohnya dapat dilihat melalui media massa
seperti radio, televisyen, internet, pengucapan awam dan ceramah seminar serta ucapan.
Kesemua komunikasi ini memerlukan penggunaan bahasa yang sopan. Kesantunan berbahasa
juga dikaitkan dengan penggunaan bahasa halus termasuklah bahasa istana.
Semasa berkomunikasi, komponen-komponen bahasa seperti fonetik dan fonologi,
semantik, morfologi dan sintaksis digunakan. Fenotik dan fonologi adalah berkaitan dengan

9
penebutan dan bunyi-bunyi bahasa. Sintaksis merujuk kepada ayat-ayat yang digunakan
secara betul. Morfologi pula berkaitan dengan struktur, bentuk dan golongan kata. Semantik
adalah berkaitan dengan makna kata atau ayat.
Dalam masyarakat Melayu, kesantunan ini penting bagi melambangkan kehalusan budi,
kesopanan dan tingkah laku penutur dan masyarakat Melayu. Misalnya, amalan bertanya
khabar apabila bertemu dengan sahabat handai atau memberi salam ketika bertemu dengan
orang yang lebih tua merupakan tanda hormat masyarakat melayu terhadap orang lain.
Aspek kesantunan berbahasa verbal yang perlu dititikberatkan adalah penggunaan
bahasa yang halus. Mengikut Asmah Haji Omar (2000), bahasa halus disamakan dengan
pendidikan yang penuh dengan adab tatatertib.
Orang Melayu amat memandang berat terhadap nilai berbahasa. Nilai terhadap bahasa
menentukan jenisjenis bahasa seperti bahasa halus, bahasa kesat, bahasa kasar, dan bahasa
biadab. Setiap kata ada nilainya. Sehubungan itu, penggunaan bahasa perlu disesuaikan
dengan keadaan, suasana serta golongan, dan peringkat yang berbeza (Amat Juhari,
2001 :286). Seseorang perlu memahami sebab ia berkata-kata, apa yang dikatakan,
bagaimana mengatakannya, kepada siapa ia berkata dan semua ini bergantung kepada
konteks pertuturan tersebut (Kramsch, 1998:26).
Dalam kesantunan berbahasa, masyarakat Melayu mempunyai sistem sapaan dan
panggilan yang tersendiri. Bahasa lisan atau bertulis haruslah digunakan dengan sopan santun
suoaya tidak dianggap sebagai kurang ajar atau biadap. Sistem sapaan dan panggilan
melibatkan penggabungan gelaran, rujukan hormat dang anti nama. Kesantunan ini bukan
sahaja melibatkan penggunaan bahasa dalam pertuturan malahan juga dalam bentuk bertulis.
Kesantunan berbahasa memiliki ciri-ciri tertentu. Penggunaan kosa kata dan ganti nama
diberi perhatian khusus agar sesuai dengan kedudukan, pangkat, umur dan keakraban
hubungan. Aspek kesantunan berbahasa dalam masyarakat Melayu dapat dilihat seperti
gambar dia atas.
penggunaan kata sapaan dan gelaran.
 sistem panggilan dalam keluarga
GELARAN HURAIAN
Pak cik Digunakan untuk orang lelaki yang sebaya dengan ayah sendiri
Mak cik Digunakan untuk orang perempuan yang sebaya dengan ibu sendiri
Tok Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang kira-kira sebaya dengan
datuk atau nenek sendiri
Abang Digunakan untuk orang lelaki yang tidak setua ayah sendiri dan juga tidak
sebaya
Kakak Digunakan untuk orang perempuan yang tidak setua ibu sendiri dan juga tidak
sebaya
Adik Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang lebih muda daripada sendiri
 gelaran pergaulan secara formal
GELARAN HURAIAN
Tuan Digunakan untuk lelaki yang lebih tinggi pangkatnya dan orang lelaki
yang bergelar Haji, Doktor, Profesor atau Syed

10
Encik Digunakan untuk orang lelaki yang lebih tinggi pangkatnya
Puan Digunakan untuk perempuan yang lebih tinggi pangkatnya
Saudara Digunakan untuk orang lelaki atau perempuan yang sebaya atau lebih
muda dan hubungannya belum rapat atau digunakan dalam rujukan
kepada ahli-ahli dalam mesyuarat, perbahasan dan sebagainya.

Saudari Digunakan untuk perempuan sahaja dalam konteks yang sama dengan
penggunaan gelaran saudara
Tetuan Hanya digunakan dalam surat rasmi yang ditujukan kepada para pemilik
atau pentadbir syarikat perniagaan (termasuk syarikat guaman)
 gelaran warisan
GELARAN HURAIAN
Raja (Perak,Selangor), Pangeran,Pangeran Anak, Digunakan untuk pemerintah
Pangeran Muda ( Brunei Darussalam), Tengku tertinggi
(Kelantan)
Megat dan puteri (Perak), Abang (Sarawak), Datu Digunakan untuk keturunan orang-
(Sabah), Wan (Kelantan, Terengganu),Pangeran dan orang besar
Dayangku (Brunei Darussalam), Tan (Kedah), Tun
(Terengganu)
Syed dan Syarifah Digunakan untuk waris keturunan
Nabi Muhammad saw

 gelaran kurniaan
Gelaran kurniaan adalah seperti Tun, Toh Puan, Puan Sri, Datuk dan Datin Paduka. Selain
itu, pendeta Za’ba merupakan gelaran kurniaan yang diberikan oleh pertubuhan seperti
Kongres Bahasa Melayu Ketiga (1956). Seterusnya, gelaran Bapa Kemerdekaan pula
diberikan kepada Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj.
 kata panggilan dalam majlis rasmi
ORANG YANG DISAPA RUJUKAN HORMAT
Yang di-Pertuan Agong dan Raja Permaisuri Kebawah Duli Yang Maha Mulia Seri
Agong Paduka Baginda
Sultan, Raja, Sultanah, Tengku Ampuan, Raja Duli Yang Maha Mulia
Permaisuri
Perdana Menteri,Timbalan Perdana Menteri, Yang Amat Berhormat
Menteri Besar
Hakim, Kadi Yang Arif
Mufti dan pemimpin Islam Sahibul Sumahah
Ketua Polis Negara Yang Amat Setia
Ketua jabatan tanpa gelaran Yang Berusaha
 Penggunaan kata sesuai daripada Bahasa Arab
Penggunaan kata-kata bahasa Arab yang merupakan kata-kata dalam Al-Quran.
BAHASA BIASA BAHASA BERSANTUN

11
Saya berpuas hati dengan usaha itu Saya bersyukur dengan usaha itu
Saya berjanji akan membantu saudara Saya berjanji akan membantu saudara.
Insya-Allah
Mendiang Razif pasti gembira atas kejayaan Allahyarham Razif pasti atas gembira
anaknya kejayaan anaknya
 Penggunaan kata ganti nama
Ganti nama diri ialah perkataan yang digunakan untuk merujuk kepada diri seseorang. Kata
ganti nama diri terbahagi kepada tiga iaitu, kata ganti nama diri pertama(merujuk kepada diri
sendiri seperti saya, aku, kita hamba, patik dan beta), kata ganti nama diri kedua (merujuk
kepada pendengar seperti anda, kamu, awak, tuan hamba) dan kata ganti nama diri yang
ketiga(merujuk kepada orang yang dicakapkan seperti dia, mereka, beliau, nya)
penggunaan kata dan ungkapan yang beratatasusila.
Selamat pagi dan terima kasih merupakan ungkapan yang bertatasusila.

b. Kesantunan Berbahasa Dari Aspek Non Verbal


Kesantunan berbahasa dari aspek non verbal merujuk kepada semua perlakuan yang
tidak menggunakan bahasa lisan untuk menyampaikan mesej yang dapat difahami.
Kesantunan non verbal memerlukan peranan bahasa tubuh untuk menyampaikan sesuatu
mesej tanpa menggunakan kata-kata. Bahasa tubuh merupakan proses pertukaran fikiran dan
idea di mana mesej yang disampaikan adalah melalui isyarat, ekspresi wajah, pandangan
mata, sentuhan dan gerakan tubuh. Aplikasi melalui bahasa tubuh ini dapat menggambarkan
emosi, personaliti, tujuan dan status sosial seseorang.
Dalam konteks masyarakat Melayu, kesantunan berbahasa dari aspek non verbal dapat
dilihat melalui amalan kebudayaan masyarakat Melayu. Misalnya, masyarakat Melayu
digalakkan mengutamakan penggunaan tangan kanan untuk melakukan sesuatu perkara yang
dianggap mulia. Budaya ini perlu diamalkan dalam kehidupan seharian kerana amalan
tersebut merupakan sunnah Rasulullah saw. Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di
rahimahullah berkata: “Jika kalian mentaati Rasulullah saw niscaya kalian akan
mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus, baik ucapan mahupun perbuatan. Dan tidak
ada jalan untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan mentaatinya, dan tanpa
(mentaatinya) tidak mungkin (akan mendapatkan hidayah) bahkan mustahil.” (Tafsir As
Sa’di, hal. 521)
Tafsiran tersebut jelas menggambarkan bahawa orang yang mengikuti peribadi
Rasulullah, maka dia akan sentiasa berada di landasan yang betul dan mendapat petunjuk
daripada Allah. Dalam hal ini, masyarakat Melayu yang mengikuti sunnah Rasulullah
secara tidak langsung akan sentiasa mengamalkan akhlak mulia dan berbudi bahasa
dalam menjalin hubungan sesama manusia. Contoh amalan penggunaan tangan kanan
dalam kalangan masyarakat Melayu dapat dilihat daripada aspek cara pemakanan, iaitu
makan menggunakan tangan kanan.
Selain itu, masyarakat Melayu juga dididik dan diajar supaya menggunakan anggota
badan dengan cara yang sopan. Gerakan anggota badan perlu dijaga supaya tidak

12
menimbulkan sebarang spekulasi terhadap respon yang diberikan. Hal ini demikian kerana
gerakan badan juga mencerminkan peribadi seseorang.
Bangsa Melayu menggesa masyarakatnya agar tidak menunjukkan sesuatu dengan
menggunakan jari telunjuk sebaliknya menggunakan ibu jari. Penggunaan ibu jari dianggap
lebih sopan kerana isyarat ini tidak akan mewujudkan salah faham dalam komunikasi non
verbal. Contohnya, sekiranya terdapat pelancong yang bertanyakan arah sesuatu jalan,
masyarakat Melayu perlulah memberikan bantuan menunjukkan arah yang diminta dengan
menggunakan ibu jari. Dengan ini, para pelancong sama ada dari dalam negara mahupun luar
negara akan merasa lebih selesa dengan layanan mesra yang diberikan oleh orang Melayu di
Malaysia. Kesopanan ini seterusnya akan menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara pusat
pelancongan yang terkenal dengan keindahan alam semula jadi serta kekayaan budi pekerti
masyarakatnya.
Di samping itu, masyarakat melayu juga mengamalkan kebudayaan membongkokkan
badan apabila lalu di hadapan orang yang lebih tua daripadanya. Budaya ini melambangkan
penghormatan orang muda terhadap orang yang lebih tua. Kebudayaan ini merupakan amalan
yang diwarisi secara turun-temurun daripada zaman nenek moyang yang terdahulu. Namun,
terdapat segelintir masyarakat Melayu pada masa kini yang kian melupakan amalan tersebut,
bahkan ada juga segelintir masyarakat Melayu yang hanya lalu di hadapan orang tua tanpa
menunjukkan rasa hormat dan senyuman. Kelunturan amalan kebudayaan masyarakat melayu
dipercayai berpunca daripada pengaruh budaya Barat yang mencemarkan pemikiran generasi
muda.
Cara pemakaian masyarakat Melayu juga merupakan lambang kesopanan masyarakat
Melayu. Kesantunan ini dapat dilihat daripada cara pemakaian orang Melayu yang
mementingkan penjagaan aurat. Pakaian tradisional orang Melayu adalah baju melayu dan
baju kurung. Baju Melayu ialah sejenis kemeja longgar yang dipakai dengan seluar panjang
dan digandingkan dengan kain samping yang diikat di bahagian pinggang. pakaian Melayu
terdiri daripada dua jenis, iaitu Baju Teluk Belanga dan Baju Cekak Musang. Manakala baju
kurung pula ialah sejenis baju longgar yang labuh, kadang kala hingga ke lutut yang
dipadankan kain panjang yang berlipat tepi. Baju kurung boleh digandingkan dengan songket
atau batik.

13
BAB III
PENUTUP

Semua orang harus berbahasa secara santun. Setiap orang wajib menjaga etika dalam
berkomunikasi agar tujuan komunikasi dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk
berkomunikasi dan saat menggunakan bahasa juga harus memperhatikan kaidah-kaidah
berbahasa baik kaidah linguistik maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi
dapat tercapai. Kaidah berbahasa secara linguistik yang dimaksud antara lain
digunakannya kaidah bunyi, bentuk kata, struktur kalimat, tata makna secara benar agar
komunikasi berjalan lancer. Setidaknya, jika komunikasi secara tertib menggunakan
kaidah linguistik, mitra tutur akan mudah memahami informasi yang disampaikan oleh
penutur.

Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena


itu pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang
tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga
merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat
Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan.
Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditolernasi jika penutur tidak bermaksud
megaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang
dimaksudkannya

14
DAFTAR PUSTAKA

Austin ,J.L.1962.How To Things With Words.London:oxford university press

Leech,Geoffrey.1993.Prinsip-Prinsip Pragmatic Jakarta : Ul press

www.google.com

15

Anda mungkin juga menyukai