Anda di halaman 1dari 24

Nama Dhea Novita Sari

NIM 21334769
Kelas Informasi Obat / Kelas L
Tugas Tugas di materi 3

TUGAS 1 (Materi Kuliah 3)


Jawablah dari sumber internet terpercaya bahannya
Carilah informasi obat antivirus :
 Oseltamivir
 Favipiravir
 Remdesivir
 Yang juga dapat digunakan untuk Covid-19
Perihal :
- Bentuk sediaan
- Indikasi
- Mekanisme kerja
- Dan lainnya yang anda anggap perlu
- Sumber pustaka

Jawab

1. Oseltamivir
 Bentuk sediaan : Kapsul 75 mg
 Indikasi :
- Pengobatan influenza
 Digunakan pada dewasa dan anak usia 1 tahun atau lebih yang mengalami gejala
influensa, saat virus influensa sedang mewabah dalam komunitas.
 Manfaat terlihat bila pengobatan dimulai dalam 2 hari sejak munculnya gejala.
 Indikasi didasarkan pada studi klinik influenza yang terjadi secara alami dengan
infeksi utama adalah influensa A.
- Pencegahan influenza
 Pencegahan pasca paparan pada dewasa dan remaja usia 13 tahun atau lebih setelah
berinteraksi dengan pasien influensa saat virus influensa sedang mewabah di
komunitas.
 Penetapan penggunaan oseltamivir untuk pencegahan ditetapkan berdasarkan
kondisi dan populasi kasus yang membutuhkan perlindungan, pada situasi
pengecualian (seperti ketidaksesuaian penyakit dengan ketersediaan vaksin dan
keadaan pandemi), pencegahan sementara dapat dipertimbangkan.
 Oseltamivir bukan pengganti vaksin influensa.
 Pengunaan antivirus untuk pengobatan dan pencegahan influensa harus ditetapkan
berdasarkan rekomendasi pemerintah dengan mempertimbangkan keberagaman
epidemiologi dan dampak penyakit pada wilayah geografi dan populasi pasien
yang berbeda.
 Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap oseltamivir fosfat dan zat tambahan lain.
 Mekanisme kerja :
Oseltamivir fosfat adalah pro-drug dari oseltamivir karboksilat (OC) yang merupakan
inhibitor selektif dan poten dari enzim neuraminidase virus Influensa A dan B, sehingga
menghambat infeksi virus influensa dan replikasi in vitro. Enzim neuraminidase virus
berperan penting dalam pelepasan partikel virus yang baru terbentuk dari sel yang terinfeksi
dan penyebarluasan penularan virus.

 Dosis :
- Pengobatan influensa
Pengobatan dilakukan sesegera mungkin dalam 2 hari sejak munculnya gejala. Dosis
dewasa dan anak ≥13 tahun: 75 mg 2 x sehari selama 5 hari . Dosis anak 1 - 12 tahun
disesuaikan dengan berat badan sebagai berikut :

- Pengobatan COVID-19
 ada studi retrospektif terhadap 99 pasien COVID-19 di Tiongkok, oseltamivir
diberikan dengan dosis 75 mg per oral setiap 12 jam. Hasil evaluasi menunjukkan
58% pasien tetap dirawat di RS, 31% sembuh, dan 11% meninggal.
 Sejumlah uji klinik fase 3 sedang dilakukan terkait penggunaan oseltamivir pada
pasien COVID-19, dosis yang sedang diteliti bervariasi yaitu: 300 mg per oral 1 x
sehari, 75 mg per oral 1 x sehari atau 2 x sehari selama 14 hari, dan 4-6 mg/kg bb
per oral 1 x sehari.
 Berdasarkan Tata Laksana Pasien COVID-19 PDPI40 gejala ringan, sedang, dan
berat: 2 x 75 mg (untuk 5 hari).
 Berbeda dengan virus influensa, virus COVID-19 tidak memerlukan neuraminidase
untuk melepaskan diri dari sel inang. Setelah bereplikasi di dalam sel inang, virus
COVID-19 membutuhkan bantuan protein E virus dan proses eksositosis untuk
melepaskan diri.
 Oleh karena COVID-19 tidak memiliki enzim neuraminidase, maka oseltamivir
tidak efektif untuk virus COVID-19. Tetapi oseltamivir dapat diberikan pada awal
muculnya gejala COVID-19 yang mirip dengan gejala influensa. Jika oseltamivir
tidak efektif, berarti infeksi COVID-19, maka oseltamivir harus segera diganti
dengan obat untuk COVID-19.
 Peringatan :
- Belum ada bukti manfaat dan keamanan oseltamivir untuk:
 pencegahan influensa pada anak <12 tahun.
 pengobatan dan pencegahan influensa pada pasien gangguan sistem imun.
 pengobatan influensa pada pasien jantung kronis dan/atau gangguan pernapasan.
- Kasus anafilaksis dan reaksi kulit serius termasuk toxic epidermal necrolysis, Steven
Johnson’s Syndrome dan eritema multiformis dilaporkan pada pemantauan pasca
pemasaran. Hentikan pemberian oseltamivir bila terjadi reaksi hipersensitivitas serius.
 Sumber Pustaka : file:///C:/Users/acer/Downloads/Informatorium_Obat_Covid-
19_Di_Indonesia-1.pdf

2. Favipiravir
 Bentuk sediaan : Tablet 200 mg
 Indikasi :
- Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
Pengobatan pasien COVID-19 dewasa (usia ≥18 tahun) derajat ringan hingga
sedang dikombinasikan dengan perawatan standar.
- Berdasarkan Manajemen Klinis Tata Laksana COVID-19 di Fasyankes
Pengobatan untuk pasien COVID-19 dewasa derajat ringan hingga berat/kritis,
serta pasien COVID-19 anak derajat ringan hingga sedang dengan komorbiditas/
immunocompromised bila remdesivir tidak tersedia.
 Kontraindikasi
- Favipiravir tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
- Hipersensitivitas terhadap semua komponen dalam tablet favipiravir.
 Mekanisme kerja :
Favipiravir menghambat secara selektif RNA- dependent RNA polimerase (RdRp) dari
virus influenza. Favipiravir adalah prodrug yang mengalami ribosilasi dan fosforilasi
intraseluler serta dikonversi menjadi bentuk ribofuranosil fosfat (favipiravir-RFP) dalam sel
dan dikenali sebagai substrat oleh RdRp virus dengan akibat menghambat aktivitas RdRp
tersebut dan dengan demikian menghambat proses replikasi virus.

 Dosis
- Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
 Favipiravir harus diberikan per oral. Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan
tingkat keparahan ringan hingga sedang adalah 1.600 mg 2x sehari pada hari ke-1
dan selanjutnya 600 mg 2x sehari hingga 7 sampai 14 hari pengobatan berdasarkan
pertimbangan klinis.
 Pemberian favipiravir sebaiknya tidak lebih dari 14 hari.
 Dosis dan durasi pengobatan dapat diubah sesuai dengan hasil penelitian terbaru.
- Di Indonesia, sesuai Tata Laksana Pasien COVID-19 PDPI 40:
 Gejala ringan: bila perlu, favipiravir 600 mg 2 x sehari selama 5 hari.
 Gejala sedang dan berat: favipiravir loading dose 1600 mg 2 x sehari hari ke-1 dan
selanjutnya 600 mg 2 x sehari (hari ke 2-5).
 Peringatan dan Perhatian
Pemberian favipiravir harus hati-hati pada pasien berikut:
- Penggunaan pada wanita yang berpotensi hamil harus dipastikan dulu hasil uji kehamilan
negatif sebelum pengobatan dimulai. Jika terjadi kehamilan saat pengobatan berlangsung,
pengobatan harus segera dihentikan.
- Bila favipiravir akan diberikan pada ibu menyusui, diharuskan untuk berhenti menyusui
karena metabolit aktif favipiravir dalam bentuk hidroksilat ditemukan dalam air susu ibu.
- Favipiravir terdistribusi dalam sperma. Jika obat diberikan pada pasien pria, jelaskan
risikonya dan instruksikan hal-hal sebagai berikut:
 menggunakan metode kontrasepsi yang paling efektif dengan pasangannya selama
dan untuk 7 hari setelah pengobatan berakhir.
 tidak melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil.
- Walaupun tidak diketahui hubungan sebab akibatnya, telah dilaporkan terjadinya gejala
psikoneurotik, seperti perilaku abnormal setelah pemberian favipiravir. Jika diperlukan
pengobatan untuk anak dan bayi, perlu dilakukan tindakan pencegahan jika terjadi
perilaku abnormal. Karena itu, keluarga harus menjaga atau melakukan upaya lain
setidaknya 2 hari bila pengobatannya dilakukan di rumah. Karena gejala serupa terkait
dengan ensefalopati influenza telah dilaporkan, maka harus dilakukan tindakan yang
sama.
- Pemberian favipiravir harus hati-hati pada pasien gout, memiliki riwayat penyakit gout,
serta pasien hiperurisemia karena dapat meningkatkan kadar asam urat dan memperberat
gejalanya.
- Pemberian favipiravir pada pasien lanjut usia perlu dilakukan secara hati-hati disertai
dengan pemantauan kondisi secara umum.
- Belum terdapat studi keamanan favipiravir pada anak.
- Pada studi in-vitro, favipiravir menghambat hERG current pada Cmax 3 kali lebih tinggi
dibandingkan Cmax pada dosis untuk manusia sehingga risiko pemanjangan interval QT
pada dosis terapi tidak besar.
 Interaksi obat
Favipiravir harus digunakan secara hati-hati jika diberikan bersama obat berikut:

Nama obat Tanda dan Gejala Mekanisme dan Faktor


Risiko
Pirazinamid Asam urat darah meningkat. Pada Reabsorpsi asam urat dalam
pemberian pirazinamid 1500 mg sekali tubulus ginjal secara aditif
sehari dan favipiravir 1200 mg/400 mg ditingkatkan.
2x sehari, kadar asam urat darah adalah
11,6 mg/dL ketika pirazinamid
digunakan sendiri, dan 13,9 mg/dL jika
digunakan dalam kombinasi dengan
favipiravir.
Repaglinid Kadar repaglinid dalam darah Penghambatan CYP2C8
meningkat, dan reaksi merugikan meningkatkan kadar repaglinid
terhadap repaglinid dapat terjadi. dalam darah.
Teofilin Kadar favipiravir dalam darah Interaksi dengan xantin
meningkat, dan reaksi merugikan oksidase meningkatkan kadar
terhadap favipiravir dapat terjadi. favipiravir dalam darah.
Famsiklovir/ Khasiat famsiklovir/sulindak berkurang. Penghambatan aldehid
sulindak oksidase oleh favipiravir
menurunkan bentuk aktif
famsiklovir/ sulindak dalam
darah.
Klorokuin Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya belum
(Substrat diketahui dengan pasti.
CYP2C8)
Oseltamivir Potensi interaksi Kemaknaan klinisnya belum
diketahui dengan pasti.

 Efek samping
Pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang tertulis dalam posologi, dilaporkan efek yang
tidak diinginkan, yaitu:
- Hipersensitivitas: ruam, eksem, pruritus
- Hepatik: peningkatan Aspartate Aminotransferase (AST)/Glutamic Oxaloacetic
Transaminase (GOT), Alanine Aminotransferase (ALT)/Glutamic Pyruvic Transaminase
(GPT), dan γ-Glutamyl Transferase (GGT); peningkatan Alkaline Phosphatase (ALP) dan
bilirubin darah.
- Saluran cerna: diare, mual, muntah, sakit perut, perut tidak nyaman, ulkus duodenum,
hematokezia, dan radang perut.
- Hematologi: penurunan jumlah neutrofil dan jumlah leukosit; peningkatan jumlah sel
darah putih dan monosit; serta penurunan jumlah retikulosit.
- Gangguan metabolisme: peningkatan asam urat dalam darah dan trigliserida; adanya
glukosa dalam urin; penurunan kadar kalium dalam darah.
- Saluran napas: asma, nyeri orofaring, rinitis, naso-faringitis.
- Lainnya: peningkatan kadar kreatinin kinase dalam darah (kreatinin fosfokinase), adanya
darah dalam urin, polip tonsil, pigmentasi, dysgeusia, memar, pandangan kabur, sakit
pada mata, vertigo, supraventricular extrasystoles.
 Sumber pustaka : file:///C:/Users/acer/Downloads/16-informatorium-obat-covid19-edisi-4-
naik-cetak.pdf

3. Remdesivir
 Bentuk sediaan : injeksi 100 mg serbuk terliofilisasi
 Indikasi :
- Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
Pengobatan pasien COVID-19 dewasa dan anak (BB 3,5 kg hingga ≤40 kg atau
usia ≤12 tahun dan BB ≥3,5 kg) derajat berat dan dirawat inap. Definisi derajat berat
adalah saturasi oksigen (SpO2) ≤94% atau membutuhkan suplementasi oksigen dan/atau
ventilasi mekanik atau ECMO. Profil keamanan dan efikasi remdesivir pada pasien anak
(BB 3,5 kg hingga ≤40 kg atau usia ≤12 tahun dengan BB ≥3,5 kg) belum diketahui
karena belum ada data pendukung yang tersedia. Oleh karena, penggunaan remdesivir
pada pasien anak tersebut hanya dapat diberikan oleh dokter anak yang memiliki
kemampuan diagnosis dan manajemen pasien yang memiliki penyakit mengancam jiwa
dan KTD yang muncul saat pemberian obat.
- Berdasarkan Manajemen Klinis Tata Laksana COVID-19 di Fasyankes
Pengobatan untuk pasien COVID-19 dewasa derajat sedang hingga berat/kritis,
serta pasien COVID-19 anak derajat sedang dengan komorbid, derajat berat, memiliki
kondisi komorbiditas/ immunocompromised, atau dengan MISC.
 Kontraindikasi : hipersensitivitas iterhadap remdesivir
 Mekanisme kerja :
Remdesivir merupakan prodrug yang dimetabolisme di dalam sel inang untuk
membentuk metabolit aktif adenosin trifosfat. Remdesivir trifosfat bekerja sebagai
analog Adenosin Trifosfat (ATP) dan bergabung ke rantai RNA pada SARS-CoV-2 sehingga
terjadi hambatan enzim RdRp yang menyebabkan terminasi pembentukan rantai RNA pada
saat replikasi RNA virus.
- Aktivitas Antivirus
Remdesivir menunjukkan aktivitas antivirus in-vitro terhadap isolat SARS-CoV-
2 dalam sel epitel dengan EC50 (50% Half Maximal Effective Concentration) sebesar 9,9
nM setelah 48 jam pengobatan. EC50 remdesivir pada sel Vero sebesar 137 nM setelah
24 jam dan 750 nM setelah 48 jam pengobatan. Aktivitas antivirus remdesivir diturunkan
oleh klorokuin fosfat secara dose-dependent (semakin tinggi dosis klorokuin fosfat,
semakin rendah aktivitas antivirus remdesivir) ketika kedua obat diinkubasi bersama pada
konsentrasi yang relevan secara klinis dalam sel HEp-2 yang terinfeksi virus pernapasan
(Respiratory Syncytial Virus/RSV).
- Resistansi
Profil resistansi virus terhadap remdesivir ditunjukkan dengan kultur sel
menggunakan virus hepatitis murine CoV hewan pengerat yang mengidentifikasi adanya
dua substitusi (F476L dan V553L) dalam RdRp Coronavirus yang resistan. Kombinasi
dari dua substitusi ini menyebabkan penurunan kepekaan virus 5,6 kali lipat terhadap
remdesivir. Virus mutan menunjukkan penurunan kepekaan dalam kultur sel, dan
penambahan substitusi yang sesuai (F480L dan V557L) ke dalam SARS-CoV
menghasilkan penurunan kepekaan virus 6 kali lipat terhadap remdesivir dalam kultur sel
dan melemahkan patogenesis SARS-CoV pada hewan uji tikus.
 Dosis
- Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
 Pasien Dewasa
a) Hari ke-1: loading dose 200 mg intravena.
b) Hari ke-2 dan seterusnya: 100 mg intravena 1x sehari.
c) Durasi pemberian remdesivir untuk pasien yang memerlukan ventilasi
mekanik dan/atau ECMO direkomendasikan selama 10 hari.
d) Durasi pemberian remdesivir untuk pasien yang tidak memerlukan ventilasi
mekanik dan/atau ECMO direkomendasikan selama 5 hari atau sampai
pulang mana yang lebih cepat. Jika belum ada perbaikan, maka dapat
diberikan sampai 10 hari.
e) Berikan remdesivir infus intravena selama 30-120 menit.
 Pasien Anak
a) Untuk berat badan ≥3,5 kg hingga <40 kg, remdesivir diberikan dengan
regimen dosis berdasarkan berat badan dengan loading dose remdesivir 5
mg/kg 1x sehari pada hari ke-1 dilanjutkan dengan 2,5 mg/kg 1x sehari pada
hari ke-2 dan seterusnya.
b) Untuk berat badan ≥40 kg, dosis sama dengan dosis pasien dewasa.
c) Durasi pemberian untuk pasien yang memerlukan ventilasi mekanik dan/atau
ECMO selama 10 hari.
d) Durasi pemberian untuk pasien yang tidak memerlukan ventilasi mekanik
dan/atau ECMO selama 5 hari atau sampai pulang, mana yang lebih cepat.
Jika belum ada perbaikan, maka dapat diberikan sampai 10 hari.
e) Remdesivir diberikan dengan infus intravena selama 30-120 menit.
 Populasi Khusus
a) Lanjut Usia. Tidak ada penyesuaian dosis untuk usia ≥65 tahun.
b) Gangguan Ginjal. Tidak direkomendasikan untuk pasien anak usia ≥28 hari
dengan eGFR <30 mL/menit atau bayi baru lahir (≥7 hari dan ≤28 hari)
dengan serum kreatinin ≥1 mg/dL.
c) Gangguan hati. Belum ada studi farmakokinetik pada pasien dengan
gangguan hati.
d) Penggunaan pada Pasien Anak. Keamanan, efikasi, atau farmakokinetik
remdesivir untuk pengobatan COVID-19 belum dievaluasi pada pasien anak.
Dosis remdesivir pada anak ditentukan berdasarkan model Physiologically-
based Pharmacokinetics (PBPK) dan farmakokinetik orang dewasa sehat.
Dosis anak diharapkan dapat mencapai keadaan tunak seperti pada orang
dewasa sehat setelah pemberian remdesivir sesuai rekomendasi regimen
dosis. Pemberian remdesivir pada anak dapat diberikan setelah nilai eGFR
diketahui untuk pasien anak usia 7 hingga 28 hari sebelum dan selama
pemberian remdesivir. Fungsi ginjal pasien anak harus dipantau dan
pemberian remdesivir dapat dihentikan bila terdapat penurunan fungsi ginjal
yang bermakna.
 Interaksi obat
- Pengurangan aktivitas antivirus pemberian bersama klorokuin atau hidroksiklorokuin,
berdasarkan data in-vitro menunjukkan efek antagonis klorokuin dan hidroksiklorokuin
terhadap aktivasi metabolik dan aktivitas antivirus oleh remdesivir.
- Remdesivir merupakan substrat esterase di plasma dan jaringan, juga substrat dari
CYP2C8, CYP2D6, dan CYP3A4, serta OATP1B1 dan transporter P-gp. Penghambat
kuat dari enzim tersebut dapat meningkatkan kadar remdesivir. Penggunaan senyawa
penginduksi kuat (misalnya rifampisin) tidak direkomendasikan karena dapat mengurangi
kadar remdesivir dalam plasma.
- Deksametason merupakan senyawa penginduksi CYP3A dan P-gp tingkat sedang.
Deksametason diperkirakan tidak memiliki efek yang bermakna secara klinis terhadap
remdesivir karena antivirus ini memiliki rasio ekstraksi hati yang sedang-tinggi dan hanya
digunakan dalam durasi singkat untuk pengobatan COVID-19.
- Remdesivir merupakan penghambat CYP3A4, OATP1B1, dan OATP1B3. Remdesivir
dapat meningkatkan kadar plasma obat yang merupakan substrat ketiga enzim tersebut,
sehingga direkomendasikan untuk pemberian obat tersebut 2 jam setelah remdesivir.
- Remdesivir menginduksi CYP1A2 dan berpotensi pula menginduksi CYP3A. Pemberian
bersama dengan substrat kedua enzim tersebut dengan indeks terapi sempit dapat
mengurangi efikasi obat tersebut.
 Efek samping
- Peningkatan transaminase
- Mual
- Hipersensitivitas
- Sakit kepala
- Ruam
 Sumber pustaka : file:///C:/Users/acer/Downloads/16-informatorium-obat-covid19-edisi-4-
naik-cetak.pdf
TUGAS 2 (Materi Kuliah 3)

Carilah obat yang di approval WHO pada tahun 2017-2022

 Obat antivirus
 Antibiotika
 Penyimpanan antivirus
- Nama antivirus
- Suhu penyimpanan
- Lama exp
- Dll
- Sumber pustaka

Jawab :

Obat Antivirus yang disarankah WHO

1. Remdesivir
 Bentuk sediaan : injeksi 100 mg serbuk terliofilisasi
 Indikasi :
- Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
Pengobatan pasien COVID-19 dewasa dan anak (BB 3,5 kg hingga ≤40 kg atau
usia ≤12 tahun dan BB ≥3,5 kg) derajat berat dan dirawat inap. Definisi derajat berat
adalah saturasi oksigen (SpO2) ≤94% atau membutuhkan suplementasi oksigen
dan/atau ventilasi mekanik atau ECMO. Profil keamanan dan efikasi remdesivir pada
pasien anak (BB 3,5 kg hingga ≤40 kg atau usia ≤12 tahun dengan BB ≥3,5 kg) belum
diketahui karena belum ada data pendukung yang tersedia. Oleh karena, penggunaan
remdesivir pada pasien anak tersebut hanya dapat diberikan oleh dokter anak yang
memiliki kemampuan diagnosis dan manajemen pasien yang memiliki penyakit
mengancam jiwa dan KTD yang muncul saat pemberian obat.
- Berdasarkan Manajemen Klinis Tata Laksana COVID-19 di Fasyankes
Pengobatan untuk pasien COVID-19 dewasa derajat sedang hingga berat/kritis,
serta pasien COVID-19 anak derajat sedang dengan komorbid, derajat berat, memiliki
kondisi komorbiditas/ immunocompromised, atau dengan MISC.
 Kontraindikasi : hipersensitivitas iterhadap remdesivir
 Mekanisme kerja :
Remdesivir merupakan prodrug yang dimetabolisme di dalam sel inang untuk
membentuk metabolit aktif adenosin trifosfat. Remdesivir trifosfat bekerja sebagai
analog Adenosin Trifosfat (ATP) dan bergabung ke rantai RNA pada SARS-CoV-2 sehingga
terjadi hambatan enzim RdRp yang menyebabkan terminasi pembentukan rantai RNA pada
saat replikasi RNA virus.
- Aktivitas Antivirus
Remdesivir menunjukkan aktivitas antivirus in-vitro terhadap isolat SARS-
CoV-2 dalam sel epitel dengan EC50 (50% Half Maximal Effective Concentration)
sebesar 9,9 nM setelah 48 jam pengobatan. EC50 remdesivir pada sel Vero sebesar
137 nM setelah 24 jam dan 750 nM setelah 48 jam pengobatan. Aktivitas antivirus
remdesivir diturunkan oleh klorokuin fosfat secara dose-dependent (semakin tinggi
dosis klorokuin fosfat, semakin rendah aktivitas antivirus remdesivir) ketika kedua
obat diinkubasi bersama pada konsentrasi yang relevan secara klinis dalam sel HEp-
2 yang terinfeksi virus pernapasan (Respiratory Syncytial Virus/RSV).
 Dosis
- Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
 Pasien Dewasa
a. Hari ke-1: loading dose 200 mg intravena.
b. Hari ke-2 dan seterusnya: 100 mg intravena 1x sehari.
c. Durasi pemberian remdesivir untuk pasien yang memerlukan ventilasi
mekanik dan/atau ECMO direkomendasikan selama 10 hari.
d. Durasi pemberian remdesivir untuk pasien yang tidak memerlukan
ventilasi mekanik dan/atau ECMO direkomendasikan selama 5 hari atau
sampai pulang mana yang lebih cepat. Jika belum ada perbaikan, maka
dapat diberikan sampai 10 hari.
e. Berikan remdesivir infus intravena selama 30-120 menit.
 Pasien Anak
a. Untuk berat badan ≥3,5 kg hingga <40 kg, remdesivir diberikan dengan
regimen dosis berdasarkan berat badan dengan loading dose remdesivir 5
mg/kg 1x sehari pada hari ke-1 dilanjutkan dengan 2,5 mg/kg 1x sehari
pada hari ke-2 dan seterusnya.
b. Untuk berat badan ≥40 kg, dosis sama dengan dosis pasien dewasa.
c. Durasi pemberian untuk pasien yang memerlukan ventilasi mekanik
dan/atau ECMO selama 10 hari.
d. Durasi pemberian untuk pasien yang tidak memerlukan ventilasi
mekanik dan/atau ECMO selama 5 hari atau sampai pulang, mana yang
lebih cepat. Jika belum ada perbaikan, maka dapat diberikan sampai 10
hari.
e. Remdesivir diberikan dengan infus intravena selama 30-120 menit.
 Interaksi obat
- Pengurangan aktivitas antivirus pemberian bersama klorokuin atau hidroksiklorokuin,
berdasarkan data in-vitro menunjukkan efek antagonis klorokuin dan
hidroksiklorokuin terhadap aktivasi metabolik dan aktivitas antivirus oleh remdesivir.
- Remdesivir merupakan substrat esterase di plasma dan jaringan, juga substrat dari
CYP2C8, CYP2D6, dan CYP3A4, serta OATP1B1 dan transporter P-gp. Penghambat
kuat dari enzim tersebut dapat meningkatkan kadar remdesivir. Penggunaan senyawa
penginduksi kuat (misalnya rifampisin) tidak direkomendasikan karena dapat
mengurangi kadar remdesivir dalam plasma.
- Deksametason merupakan senyawa penginduksi CYP3A dan P-gp tingkat sedang.
Deksametason diperkirakan tidak memiliki efek yang bermakna secara klinis terhadap
remdesivir karena antivirus ini memiliki rasio ekstraksi hati yang sedang-tinggi dan
hanya digunakan dalam durasi singkat untuk pengobatan COVID-19.
- Remdesivir merupakan penghambat CYP3A4, OATP1B1, dan OATP1B3. Remdesivir
dapat meningkatkan kadar plasma obat yang merupakan substrat ketiga enzim
tersebut, sehingga direkomendasikan untuk pemberian obat tersebut 2 jam setelah
remdesivir.
- Remdesivir menginduksi CYP1A2 dan berpotensi pula menginduksi CYP3A.
Pemberian bersama dengan substrat kedua enzim tersebut dengan indeks terapi sempit
dapat mengurangi efikasi obat tersebut.
 Efek samping : Peningkatan transaminase, mual, hipersensitivitas, sakit kepala, ruam.

2. Nirmatrelvir + Ritonavir
 Bentuk sediaan : Nirmatrelvir: Tablet 150 mg, Ritonavir: Tablet 100 mg
 Indikasi : Berdasarkan EUA BPOM Pengobatan COVID-19 pada orang dewasa yang tidak
memerlukan oksigen tambahan dan yang berisiko tinggi terjadi progresivitas menuju
COVID-19 berat. Kondisi kesehatan yang dikaitkan dengan peningkatan
risiko berkembangnya penyakit berat akibat COVID- 19 antara lain: Usia ≥ 60 tahun, BMI >
25, Perokok aktif dan memiliki riwayat minimal pernah mengisap 100 batang rokok,
Penyakit imunosupresif atau penggunaan obat- obatan yang melemahkan sistem imun untuk
waktu yang lama, Penyakit paru kronis. Hipertensi, Penyakit kardiovaskular, Diabetes
melitus tipe 1 atau 2, Penyakit ginjal kronis, Penyakit sel bulan sabit.
 Kontraindikasi : Riwayat reaksi hipersensitivitas terhadap zat aktif (nirmatrelvir atau
ritonavir) atau komponen lainnya. Pemberian bersamaan dengan obat lain yang sangat
tergantung pada CYP3A4 untuk klirens, serta kadarnya yang tinggi berhubungan dengan
reaksi serius dan/atau mengancam nyawa.
 Mekanisme kerja : Nirmatrelvir merupakan penghambat selektif protease utama virus SARS-
CoV-2 (disebut juga Mpro, 3CLpro atau nsp5 protease) yang berperan penting pada replikasi
virus. Penghambatan ini menyebabkan virus tidak mampu memproses prekursor poliprotein
sehingga menghambat replikasi virus. Ritonavir adalah penghambat protease HIV-1 tetapi
tidak aktif melawan Mpro SARS-CoV-2. Ritonavir menghambat metabolisme nirmatrelvir
oleh CYP3A, sehingga menghasilkan peningkatan kadar nirmatrelvir dalam plasma.
 Dosis
- Berdasarkan EUA
Nirmatrelvir 300 mg (2 tablet 150 mg) dan ritonavir 100 mg (1 tablet 100 mg),
diminum 2 (dua) kali sehari selama 5 hari). Dosis nirmatrelvir/ritonavir dikurangi pada
gangguan fungsi ginjal moderate (lihat table 14), serta tidak direkomendasikan pada
pasien dengan gangguan ginjal berat (eGFR <30 mL/menit) dan gangguan fungsi hati
berat (Child-Pugh Class C).99
 Peringatan dan perhatian
- Penggunaan bersama nirmatrelvir/ritonavir dengan obat lain dapat menimbulkan
interaksi obat yang signifikan (lihat Interaksi Obat).
- Reaksi hipersensitivitas dilaporkan pada penggunaan nirmatrelvir/ritonavir. Jika
terdapat gejala dan tanda reaksi hipersensitivitas yang bermansa atau reaksi anafilaksis
terjadi, segera hentikan penggunaan dan berikan pengobatan dan/atau terapi suportif
yang sesuai.
- Mengingat masih terbatasnya data klinis obat ini, KTD (serius dan tidak diharapkan)
yang berbeda dari sebelumnya dilaporkan mungkin dapat terjadi.
 Interaksi obat
Pemberian bersamaan obat lain yang utamanya dimetabolisme oleh CYP3A dengan
nirmatrelvir/ritonavir dapat mengubah kadar plasma keduanya, sehingga perlu
dipertimbangkan potensi interaksi obat sebelum dan selama pengobatan dengan
nirmatrelvir/ritonavir.
 Efek samping
KTD yang dilaporkan saat uji klinik dengan frekuensi yang lebih banyak terjadi pada
kelompok uji dibandingkan kelompok plasebo (dengan perbedaan ≥5 subjek) meliputi
dysgeusia (gangguan indera perasa), diare, hipertensi, dan mialgia.

3. Fapiviravir
 Bentuk sediaan : Tablet 200 mg
 Indikasi : Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19 Pengobatan pasien COVID-19 dewasa
(usia ≥18 tahun) derajat ringan hingga sedang dikombinasikan dengan perawatan standar.
 Kontraindikasi : Favipiravir tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Hipersensitivitas
terhadap semua komponen dalam tablet favipiravir.
 Mekanisme kerja : Favipiravir menghambat secara selektif RNA- dependent RNA
polimerase (RdRp) dari virus influenza. Favipiravir adalah prodrug yang mengalami
ribosilasi dan fosforilasi intraseluler serta dikonversi menjadi bentuk ribofuranosil fosfat
(favipiravir-RFP) dalam sel dan dikenali sebagai substrat oleh RdRp virus dengan akibat
menghambat aktivitas RdRp tersebut dan dengan demikian menghambat proses replikasi
virus.
 Dosis
Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
- Favipiravir harus diberikan per oral. Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan
tingkat keparahan ringan hingga sedang adalah 1.600 mg 2x sehari pada hari ke-1 dan
selanjutnya 600 mg 2x sehari hingga 7 sampai 14 hari pengobatan berdasarkan
pertimbangan klinis.
- Pemberian favipiravir sebaiknya tidak lebih dari 14 hari.
- Dosis dan durasi pengobatan dapat diubah sesuai dengan hasil penelitian terbaru.
 Peringatan dan perhatian
- Penggunaan pada wanita yang berpotensi hamil harus dipastikan dulu hasil uji
kehamilan negatif sebelum pengobatan dimulai. Jika terjadi kehamilan saat
pengobatan berlangsung, pengobatan harus segera dihentikan.
- Bila favipiravir akan diberikan pada ibu menyusui, diharuskan untuk berhenti
menyusui karena
metabolit aktif favipiravir dalam bentuk hidroksilat ditemukan dalam air susu ibu.
- Pemberian favipiravir harus hati-hati pada pasien gout, memiliki riwayat penyakit
gout, serta pasien hiperurisemia karena dapat meningkatkan kadar asam urat dan
memperberat gejalanya.
 Efek samping
- Hipersensitivitas: ruam, eksem, pruritus
- Hepatik: peningkatan Aspartate Aminotransferase (AST)/Glutamic Oxaloacetic
Transaminase (GOT), Alanine Aminotransferase (ALT)/Glutamic Pyruvic
Transaminase (GPT), dan γ-Glutamyl Transferase (GGT); peningkatan Alkaline
Phosphatase (ALP) dan bilirubin darah.
- Saluran cerna: diare, mual, muntah, sakit perut, perut tidak nyaman, ulkus duodenum,
hematokezia, dan radang perut.

4. Molnupiravir
 Bentuk sediaan : Kapsul 200 mg
 Indikasi : Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19. Molnupiravir digunakan untuk
pengobatan pasien COVID-19 dewasa (≥18 tahun) derajat ringan-sedang yang
tidak memerlukan terapi suplementasi oksigen dan memiliki risiko perburukan menjadi
COVID-19 derajat berat.
 Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap molnupiravir atau komponen lainnya dalam
kapsul molnupiravir, Wanita hamil.
 Mekanisme kerja : Molnupiravir merupakan prodrug dengan aktivitas antivirus terhadap
SARS-CoV-2. Molnupiravir dimetabolisme menjadi cytidine nucleoside analogue (N-
hydroxycytidine/NHC) yang didistribusikan ke dalam sel dan mengalami fosforilasi
membentuk ribonucleoside triphosphate (NHC-TP) yang aktif secara farmakologi.
 Dosis : Berdasarkan EUA BPOM untuk COVID-19
Dosis pada pasien dewasa adalah 800 mg (empat kapsul molnupiravir 200 mg)
diminum setiap 12 jam selama 5 hari. Molnupiravir diminum sesegera mungkin
setelah terkonfirmasi COVID-19 dan 5 hari sejak timbulnya gejala. Molnupiravir tidak
disetujui untuk digunakan lebih dari 5 hari berturut-turut karena khasiat dan keamanannya
belum terbukti.
Jika pasien melewatkan dosis molnupiravir dalam waktu 10 jam dari waktu yang
seharusnya, pasien harus meminumnya sesegera mungkin dan melanjutkan jadwal
pemberian dosis yang normal. Jika pasien melewatkan dosis lebih dari 10 jam, pasien tidak
boleh meminum dosis yang terlewat, namun meminum dosis berikutnya sesuai jadwal.
Pasien tidak boleh menggandakan dosis untuk mengganti dosis yang terlewat tersebut.
Jika pasien dirawat inap setelah memulai pengobatan molnupiravir, pasien dapat
menyelesaikan pengobatan selama 5 hari penuh sesuai pertimbangan tenaga kesehatan.
 Interaksi obat
Belum ada interaksi obat yang teridentifikasi berdasarkan data yang tersedia untuk
UEA molnupiravir. Belum ada uji klinis interaksi obat molnupiravir dengan
pengobatan yang diberikan bersamaan, termasuk pengobatan lain untuk COVID-19 derajat
ringan-sedang.
 Peringatan dan perhatian
- Sebelum memulai pengobatan molnupiravir, perlu dipertimbangkan risiko dan
manfaat yang telah diketahui dan masih potensial. Berdasarkan temuan pada studi
reproduksi hewan, molnupiravir dapat menyebabkan gangguan janin bila diberikan
kepada individu hamil.
 Efek samping : Efek samping yang paling umum dilaporkan selama pengobatan dengan 800
mg setiap 12 jam selama 5 hari dan setelah 14 hari sejak dosis terakhir adalah diare, mual,
pusing, dan sakit kepala dengan derajat 1 (ringan) atau derajat 2 (sedang).

5. Proksalutamid
 Bentuk sediaan : Tablet 100 mg
 Indikasi : Pengobatan COVID-19 yang dirawat inap, pengobatan COVID-19 derajat ringan-
sedang yang tidak dirawat inap.
 Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap zat aktif atau salah satu eksipien.
 Mekanisme kerja : Proksalutamid adalah generasi kedua antagonis reseptor androgen (RA).
Obat ini memiliki dualmekanisme dalam menekan RA. Selain menjadi antagonis
langsung RA, proksalutamid juga dapat menurunkan regulasi (down-regulate) ekspresi RA.
Mekanisme yang kedua tersebut tidak ada atau kecil pada bikalutamid atau enzalutamid.
Dengan adanya dual mekanisme ini, diharapkan proksalutamid dapat lebih efektif dan
kurang toksik dibandingkan obat antagonis reseptor androgen lainnya.
 Dosis
- Dosis proksalutamid berdasarkan uji klinik:
a. 200 mg/hari diberikan selama 7 hari untuk pasien dengan gejala ringan rawat
jalan139,140,144; atau
b. 300 mg/hari diberikan selama 14 hari untuk pasien dengan gejala sedang dan
berat rawat inap.145,146,147
- Populasi khusus
a. Anak: belum ada studi pada usia <18 tahun.
b. Usia lanjut: penyesuaian dosis pada usia lanjut tidak diperlukan.
c. Gangguan ginjal: belum ada studi efek proksalutamid pada ginjal.
d. Gangguan Hepatik: belum ada studi efek proksalutamid pada hati.
 Perhatian dan peringatan : Belum ada informasi
 Interaksi obat
- Proksalutamid tidak menunjukkan hambatan bermakna pada CYP1A2 dan CYP2E1,
hambatan lemah pada CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19, dan CYP3A (midazolam), dan
hambatan bermakna pada CYP3A4 (testosteron).
- Potensi induksi CYP3A4 dari proksalutamid teramati pada kadar 10 μM. Tidak ada
efek induksi terhadap CYP1A2 dan CYP2B6 yang teramati pada level aktivitas enzim.
- Pemberian proksalutamid bersamaan dengan inducer dan penghambat kuat/sedang
CYP3A4, serta substrat CYP3A4/CYP2D yang indeks terapinya sempit, harus
dilakukan secara hati-hati
 Efek samping : Berdasarkan data beberapa RCT, pasien pada kelompok proksalutamid lebih
banyak melaporkan treatment-emergent adverse events (TEAE) terkait gangguan saluran
cerna dibandingkan plasebo, seperti diare, mual, nyeri abdominal, muntah, ketidaknyamanan
abdominal, dispepsia, dan heartburn.

Sumber pustaka : file:///C:/Users/acer/Downloads/16-informatorium-obat-covid19-edisi-4-naik-cetak-


1.pdf
Obat Antibiotik yang disarankan WHO

1. Azitromisin
 Sediaan :
- Kapsul 250 mg
- Tablet 500 mg
- Sirup kering 200 mg/ 5 mL
- Larutan infus 500 mg/10 mL
 Indikasi : Infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh galur mikroorganisme yang
peka, seperti infeksi saluran pernapasan atas (tonsillitis, faringitis), infeksi
saluran pernapasan bawah (eksaserbasi bakterial akut, penyakit paru obstruktif kronik,
pneumonia komunitas), infeksi kulit dan jaringan lunak, penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual, uretritis, servisitis yang berkaitan dengan Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealyticum, dan Neisseria gonorrhoea.
 Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap antibiotik golongan makrolida (misal azitromisin,
eritromisin) atau golongan ketolid, atau bahan tambahan.
 Dosis
- Oral
a. Infeksi klamidia genital tanpa komplikasi dan uretritis non-gonococcal: 1.000 mg
sebagai dosis tunggal.
b. Untuk semua indikasi: oral 500 mg 1x sehari selama 3 hari. Alternatif: 500 mg 1x
sehari pada hari-1 diikuti dengan 250 mg 1x sehari pada hari ke-2-5.
c. Anak:
a) anak <6 bulan: tidak ada informasi.
b) Anak >6 bulan: 10 mg/kgBB 1x sehari selama 3hari, atau 10 mg/kgBB
pada hari ke-1 diikuti dengan 5 mg/kgBB pada hari ke 2-5.
- Intravena
a. Untuk dewasa yang mengalami CAP: 500 mg dosis tunggal selama 2 hari dan
dilanjutkan dengan azitromisin oral dosis tunggal 500 mg selama 7 hingga 10
hari.
b. Untuk dewasa dengan penyakit inflamatori pelvis: 500 mg dosis tunggal selama
1-2 hari dan dilanjutkan dengan azitromisin oral 250 mg selama 7 hari.
 Peringatan dan perhatian
- Hipersensitivitas. Reaksi alergi yang jarang dan serius, seperti angioedema dan
anafilaksis, reaksi dermatologis (Acute Generalized Exanthematous Pustulosis, Steven-
Johnson’s Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis, dan Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Syptoms)
- Hepatotoksik. Penggunaan azitromisin harus hati-hati pada pasien dengan penyakit hati.
- Derivat Ergot. Pada pasien yang menerima pengobatan derivat ergot, muncul reaksi
ergotisme ko-administrasi dengan makrolida.
- Superinfeksi
- Penggunaan antibakteri sering menimbulkan Clostridium difficile-associated diarrhea
karena
penggunaan antibakteri mengubah flora normal di usus dan mengakibatkan
pertumbuhan Clostridium difficile yang berlebih.
 Interaksi obat
- Antasida: Dapat menyebabkan penurunan kadar azitromisin dalam darah sebesar 24%.
Tidak dapat diberikan bersamaan.
- Zidovudin: Penggunaan bersama azitromisin meningkatkan kadar zidovudin
terfosforilasi (bentuk
aktif zidovudin).
- Atorvastatin: Muncul kasus rabdomiolisis pada pasien yang menggunakan atorvastatin
dan azitromisin.
- Siklosporin: Penggunaan bersama dengan azitromisin meningkatkan kadar siklosporin
dalam darah.
- Flukonazol: Penggunaan bersama dengan azitromisin dapat menurunkan kadar
maksimal azitromisin sebesar 18%.
 Efek samping : Mual, muntah, nyeri perut, diare, urtikaria, ruam dan reaksi alergi lainnya,
gangguan pendengaran yang reversibel pernah dilaporkan setelah pemberian dosis besar,
ikterus kolestatik dan gangguan jantung (pemanjangan interval QT yang dapat berlanjut
menjadi aritmia dan nyeri dada), anoreksia, dispepsia, flatulens, konstipasi, pankreatitis,
hepatitis, pingsan, pusing, sakit kepala, mengantuk, agitasi, ansietas, hiperaktivitas,
astenia, paraesthesia, konvulsi, neutropenia ringan, trombositopenia, interstisial nefritis,
gagal ginjal akut, arthralgia, fotosensitivitas, gangguan pengecapan, lidah berwarna pucat,
dan gagal hati.

2. Levofloksasin
 Bentuk sediaan :
- Tablet/kaplet 250 mg, 500 mg, 750 mg
- Infus 500 mg/100 mL, 750 mg/150 mL
 Indikasi : Infeksi ringan, sedang, dan berat yang disebabkan oleh mikroorganisme galur yang
rentan untuk penyakit sinusitis bakterial akut, eksaserbasi bakterial akut pada bronkitis
kronik, pneumonia nosokomia, CAP, prostatitis bakterial kronik, Infeksi kulit dan jaringan
lunak dengan komplikasi, dan infeksi ginjal akut.
 Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap levofloksasin atau antimikroba golongan kuinolon
lainnya, menderita epilepsy, ada riwayat penyakit tendon akibat pemberian
fluorokuinolon, anak atau remaja dalam masa pertumbuhan, wanita hamil atau menyusui.
 Dosis
- Tablet 250 mg atau 500 mg diberikan per-oral setiap 24 jam sesuai indikasi berdasarkan
infeksi.
- Injeksi 250 atau 500 mg diberikan secara infus lambat selama lebih dari 60 menit setiap
24 jam atau 750 mg diberikan secara infus lambat selama lebih dari 90 menit setiap 24
jam, sesuai indikasi infeksi.
 Peringatan dan perhatian
- Kejang, psikosis toksik, peningkatan tekanan intrakranial, stimulasi sistem saraf pusat
yang dapat memicu tremor, gelisah, ansietas, sakit kepala ringan, bingung, halusinasi,
paranoid, depresi, mimpi buruk, insomnia, dan pikiran bunuh diri (jarang).
- Pemberian secara hati-hati pada pasien dengan gangguan sistem saraf pusat
ateriosklerosis serebral, epilepsi, disfungi ginjal, dapat memicu terjadinya kejang.
- Hipersensitivitas dan/atau reaksi anafilaksis. Reaksi tersebut dapat terjadi setelah
pemberian dosis pertama. Obat harus dihentikan jika terjadi ruam kulit atau gejala
hipersensitivitas lain.
 Interaksi obat
- Penggunaan bersama NSAID dapat meningkatkan risiko stimulasi Sistem Saraf Pusat
(SSP) dan terjadi kejang.
- Hiperglikemia atau hipoglikemia jika diberikan bersama obat antidiabetik.
- Pemberian levofloksasin bersama warfarin dapat meningkatkan efek warfarin.
- Pemberian bersama teofilin menyebabkan hambatan metabolisme teofilin sehingga
terjadi peningkatan kadar teofilin dalam darah, dan peningkatan risiko efek
samping teofilin.
- Penggunaan bersama obat yang dapat memperpanjang interval QTC (misal antiaritmia)
dapat meningkatkan risiko kejadian aritmia ventrikel.
 Efek samping
- Kejadian efek samping akibat obat selama uji klinik fase II dan III di Amerika Utara
adalah 6,2%. Pada pasien yang mendapat pengobatan dosis berulang, 3,7%
menghentikan pengobatan karena mengalami efek samping.
- Pada uji klinik, KTD yang paling sering terjadi pada >3% pasien, tanpa memperhatikan
hubungannya dengan obat, antara lain: mual 6,6%, diare 5,4%, sakit kepala 5,4%,
konstipasi 3,1%.
- KTD tambahan yang terjadi pada uji klinik antara 0,3-<0,5%: gagal jantung, hipertensi,
leukorea, infark miokard, myalgia, purpura, tinitus, tremor, urtikaria.
- Kimia darah: penurunan kadar gula darah dan jumlah limfosit.

3. Meropenem
 Bentuk sediaan : Serbuk Injeksi 0,5 g, 1 g
 Indikasi : Sebagai terapi tunggal pada orang dewasa dan anak, untuk pengobatan infeksi
yang disebabkan oleh galur bakteri yang peka, baik tunggal ataupun multipel, oleh
mikroorganisme yang sensitif terhadap meropenem: pneumonia dan pneumonia nosokomial,
infeksi saluran kemih, infeksi intra-abdominal, infeksi ginekologik, misalnya endometritis
infeksi kulit dan struktur kulit, meningitis, septikemia, terapi empiris untuk dugaan infeksi
pada pasien dewasa dengan demam neutropenia.
 Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap meropenem dan antibiotic golongan yang sama,277
pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap antibiotik betalaktam.
 Dosis
- Dewasa
a. Infeksi kulit dan struktur kulit, pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi
ginekologik seperti endometritis: injeksi intravena 500 mg tiap 8 jam.
b. Pneumonia nosokomial, peritonitis, dugaan infeksi pada pasien neutropenia,
septikemia: injeksi intravena 1 g tiap 8 jam.
c. Meningitis: 2 g tiap 8 jam.
- Insufisiensi Hati
Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan insufisiensi hati.
- Usia Lanjut
Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien usia lanjut dengan fungsi ginjal
normal atau nilai creatinine clearance >50 mL/menit.
- Anak
a. Dosis yang disarankan untuk meningitis: 40 mg/kgBB tiap 8 jam.
b. Usia 3 bulan-12 tahun: 10-20 mg/kgBB tiap 8 jam, tergantung jenis dan
keparahan infeksi, kepekaan patogen, dan kondisi pasien.
c. Pada anak dengan BB >50 kg: dosis dewasa.
d. Belum ada penelitian pada anak dengan gangguan fungsi ginjal.
 Peringatan dan perhatian
- Seperti halnya dengan antibiotik lainnya, pertumbuhan berlebihan dari organisme
lain yang tidak sensitif dapat terjadi, karena itu setiap pasien memerlukan
pengamatan secara berkelanjutan.
- Kadar transaminase dan bilirubin harus dipantau dengan hati-hati bila meropenem
diberikan pada pasien dengan penyakit hati.
- Tidak disarankan untuk digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh methicillin-
resistant staphylococci.
- Pemberian bersama obat yang berpotensi nefrotoksik harus dipertimbangkan dengan
hati-hati.
- Belum ada data terkait efek pada kemampuan mengendarai dan menjalankan mesin.
 Interaksi obat
- Efek potensial meropenem terhadap ikatan protein dari obat lain atau metabolisme
belum diteliti. Ikatan protein meropenem cukup rendah (sekitar 2%). Oleh
karena itu, kemungkinan tidak akan terjadi interaksi dengan senyawa lain atas dasar
ikatan protein.
- Meropenem dapat menurunkan kadar serum asam valproat sampai kadar subterapi.
 Efek samping
- Reaksi lokal pada tempat suntikan: inflamasi, tromboflebitis, nyeri pada tempat
suntikan.
- Reaksi saluran cerna: nyeri perut, mual, muntah, diare, pseudomembranous colitis.
- Fungsi hati: peningkatan kadar serum bilirubin, transaminase, fosfatase alkali, dan
laktat dehydrogenase.
- Reaksi kulit: ruam, pruritus, urtikaria. Jarang terjadi, reaksi kulit yang berat, seperti
eritema multiformis, sindrom Stevens-Johnson’s, dan nekrolisis epidermal toksik.

4. Sefotaksim
 Bentuk sediaan : Serbuk injeksi 500 mg, 1 g, dan 2 g
 Indikasi : Infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitive terhadap sefotaksim, antara
lain: infeksi saluran pernapasan bawah (termasuk
pneumonia); infeksi kulit dan struktur kulit; infeksi tulang dan sendi; infeksi intra-
abdominal; infeksi saluran kemih; infeksi pada alat kelamin wanita; meningitis; septikemia;
bakteremia; dan pencegahan infeksi pascaoperasi.
 Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap golongan sefalosporin. Hipersensitif terhadap
penisilin, kemungkinan terjadinya reaksi alergi silang harus dipertimbangkan.
 Dosis
- Dosis untuk dewasa dan anak >12 tahun: 1 g/12 jam.
- Infeksi sedang-berat: 1-2 g/6-8 jam.
- Infeksi berat atau mengancam jiwa: 2 g/4 jam.
- Dosis maksimum:12 g/hari.
- Pencegahan infeksi pascaoperasi: 1 g intramuscular atau intravena, diberikan 30-90
menit sebelum tindakan bedah.
- Sectio caesarea: dosis pertama 1 g secara intravena diberikan segera setelah
umbilical cord diklem, kemudian 1 g diberikan intramuskulas atau intravena
pada 6 dan 12 jam setelah dosis pertama.
- Gonore tanpa komplikasi pada orang dewasa: sefotaksim 1 g intramuskular sebagai
dosis tunggal.
- Untuk bakteri yang kurang sensitif, dosis dapat ditingkatkan.
- Periksa adanya infeksi sifilis sebelum pengobatan dimulai.
 Peringatan dan perhatian
- Pada pengobatan dengan sefotaksim, seperti antibiotic sefalosporin lainnya, reaksi
alergi tidak dapat dihindarkan.
- Pada pasien dengan riwayat penyakit saluran cerna, sefotaksim dapat menyebabkan
kolitis.
- Keamanan penggunaan sefotaksim selama masa kehamilan belum diketahui, maka
penggunaan pada masa kehamilan hanya bila sangat diperlukan.
- Penelitian reproduksi pada mencit dan tikus dengan dosis 30x dosis manusia tidak
menunjukkan adanya gangguan fertilitas atau kerusakan janin.
- Sefotaksim harus digunakan secara hati-hati pada wanita yang sedang menyusui
karena sefotaksim didistribusikan ke dalam ASI.

 Interaksi obat
- Studi in vitro menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri sefotaksim dan
aminoglikosida bersifat aditif/sinergis terhadap beberapa organisme, termasuk
beberapa galur Ps. aeruginosa dan S. marcescens. Akan tetapi,
sifat sinergisme tidak dapat diprediksi dan sifat antagonisme juga dapat terjadi bila
sefotaksim dikombinasi dengan aminoglikosida.
- Pemberian bersama probenesid akan meningkatkan kadar sefotaksim dalam serum.
 Efek samping
- Gangguan saluran pencernaan: anoreksia, diare, mual, muntah, nyeri perut dan
kolitis.
- Perubahan hematologi: neutropenia, leukopenia, granulositopenia, trombositopenia.
- Pada pengobatan >10 hari: lakukan monitoring blood count.
- Reaksi hipersensitivitas: ruam (makulopapular atau eritema), pruritus, demam dan
eosinofilia.
- Pada nefritis interstisial dapat terjadi syok anafilaksis yang mengancam jiwa pasien
dan membutuhkan tindakan darurat untuk mengatasinya.

5. seftriakson
 Bentuk sediaan : Serbuk Injeksi 1 g
 Indikasi : Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif terhadap seftriakson:
pencegahan infeksi pada pra operatif; infeksi pada tulang, jaringan lunak, dan kulit; sepsis
meningitis; infeksi yang merusak mekanisme pertahanan; infeksi abdominal (peritonitis,
infeksi jaringan dan saluran gastrointestinal); infeksi ginjal dan saluran kemih; infeksi
saluran pernapasan, paru, telinga, hidung, dan tenggorokan; dan infeksi genital termasuk
gonorrhea.
 Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap sefalosporin.
 Dosis
- Dewasa dan anak (>12 tahun): 1-2 g 1x/hari (tiap 24 jam sekali). Pada beberapa
kasus atau pada infeksi yang disebabkan oleh organisme yang sensitif, dosis
dapat ditingkatkan sampai 4 g/hari.
- Neonatus, bayi dan anak ≤12 tahun: sesuai dosis yang dianjurkan untuk pemakaian
satu kali sehari.
- Neonatus (<14 hari): dosis 20-50 mg/kg BB/hari maksimal 50 mg/kg BB. Tidak
perlu penyesuaian dosis untuk keadaan yang sama pada bayi prematur dan
bayi yang lahir cukup umur.
- Bayi dan anak (15 hari sampai 12 tahun): 20-80 mg/kg BB/hari.
- Anak dengan BB >50 kg: dosis dewasa.
- Dosis intravena ≥50 mg/kg BB harus diberikan dengan infus setidaknya selama 30
menit.
- Pasien geriatri: tidak diperlukan penyesuaian dosis, sama seperti dosis yang
dianjurkan untuk dewasa.
 Peringatan dan perhatian
- Sebelum pengobatan dengan seftriakson, harus dilakukan uji hipersensitivitas
terhadap sefalosporin dan penisilin.
- Seftriakson diekskresikan melalui empedu dan ginjal. Oleh karena itu, pada pasien
gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan pemantauan kadar obat dalam serum.
Jika terjadi akumulasi, dosis sebaiknya diturunkan.
- Hati-hati penggunaan pada penderita dengan riwayat penyakit gastrointestinal,
terutama kolitis.
- Penggunaan pada wanita hamil hanya bila benar- benar diperlukan.
- Jangan digunakan pada wanita menyusui, karena seftriakson diekskresikan ke dalam
ASI.
 Interaksi obat
- Pemberian dengan obat loop diuretik dapat meningkatkan risiko nefrotoksisitas.
- Probenesid dapat menurunkan ekskresi seftriakson.
- Seftriakson dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin.
- Vankomisin dan flukonazol imkompatibel secara fisik dengan seftriakson.
 Efek samping
- Lokasi nyeri pada tempat suntikan, indurasi, sakit reaksi dapat timbul setelah
intravena.
- Reaksi hipersensitivitas: rash, pruritus.
- Hematologis, eosinofilia, leukopenia hemolitik, trombositosis.
- Saluran pencernaan: diare, mual, muntah, dysgeusia.
- Hepatik: peningkatan SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin.
- Ginjal: kenaikan nitrogen urea darah.
- Sistem saraf pusat: sakit kepala, pusing.
- Genitourinary: moniliasis, vaginitis
- Miscellaneous: berkeringat

Sumber pustaka : file:///C:/Users/acer/Downloads/16-informatorium-obat-covid19-edisi-4-naik-cetak-


1.pdf

Penyimpanan Obat Antivirus

Remdesivir (injeksi 100 mg)

 Suhu penyimpanan : dibawah 30˚ C


 Lama penyimpanan setelah dicampur sterile water : dapat disimpan selama 4 jam pada suhu
ruang 20-25˚ C sebelum digunakan, atau disimpan selama 24 jam pada suhu kulkas 2-8˚ derajat
C.
 Expired date : Badan POM menetapkan batas kedaluwarsa vaksin sesuai standar internasional
yaitu 2 (dua) kali waktu pelaksanaan uji stabilitas (2n). Dengan demikian, semua vaksin COVID-
19 yang merupakan vaksin yang baru diproduksi dan memiliki data uji stabilitas dengan durasi 3
(tiga) bulan, diberikan persetujuan masa kedaluwarsa 6 (enam) bulan pada saat pemberian EUA.

Oseltamivir (kapsul 75 mg dan sirup kering 12 mg/ml)

 Suhu penyimpanan : disimpan pada suhu 25˚ C


 Lama penyimpanan sirup kering yang sudah dilarutkan : Sirup kering yang sudah dilarutkan akan
bertahan selama 10 hari apabila disimpan pada suhu ruang, di bawah 25°C, atau 17 hari apabila
disimpan di kulkas dengan suhu antara 2-8°C.

Fapiviravir (tablet 200 mg)

 Suhu pentumpanan : disimpan pada suhu ruang, ditempat yang kering dan sejuk, serta terhindar
dari sinar matahari langsung.

Sumber pustaka : https://www.alomedika.com/obat/antiinfeksi/antiviral/favipiravir/formulasi

TUGAS 3 ( Materi Kuliah 3 )

Kunjungilah situs web kemenkes dan buatlah resume !

Situs web kemenkes

1. Berita rilis sebelumnya


Indonesia-amerika serikat akhiri kemitraan program bantuan COVID-19 (dipublikasi
pada : sabtu, 01 April 2023)

Jakarta, 31 Maret 2023, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menghadiri
peringatan keberhasilan kerja sama program bantuan COVID-19 sekaligus menutup kemitraan
penanggulangan pandemi dari Pemerintah Amerika Serikat untuk Indonesia yang berlangsung di
Perpustakaan Nasional Jakarta, Jumat (31/3).Wamenkes menjelaskan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara yang berhasil dalam penanganan pandemi COVID-19. Bahkan,
keberhasilan ini mendapat pengakuan dari beberapa negara termasuk Badan Kesehatan Dunia
(WHO).
Kementerian Kesehatan mencatat pandemi COVID-19 relatif terkendali dalam 10 bulan
terakhir. Per 30 Maret 2023, kasus harian bertambah 556 kasus dengan jumlah kasus aktif
sebanyak 5.000 kasus. Kesuksesan ini dapat dicapai melalui upaya masif dalam empat pilar yakni
testing atau surveilans, pengobatan, vaksinasi, dan protokol kesehatan.
Selain melalui strategi penanganan pandemi, keberhasilan penanganan COVID-19 turut didukung
oleh kerjasama multisektor, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah, swasta, partisipasi
masyarakat, dan mitra pembangunan, maupun negara sahabat, salah satunya pemerintah Amerika
Serikat melalui USAID.
''Kami mengapresiasi semua dukungan dalam memperkuat strategi surveilans,
pengobatan, vaksinasi, dan protokol kesehatan. Pandemi ini memberikan pelajaran bagi Indonesia
untuk memperkuat kapasitas menghadapi COVID-19 dan mengantisipasi pandemi lainnya di
masa mendatang,'' kata Wamenkes.
Selama pandemi COVID-19, Pemerintah Amerika telah memberi dukungan dan bantuan
yang sangat berarti kepada Pemerintah Indonesia. Total ada sekitar $65 juta dana komitmen yang
diberikan selama tahun 2020-2023. Dukungan tersebut diserahkan melalui Badan Pembangunan
Internasional AS (USAID) mencakup untuk 270 juta masyarakat Indonesia. Pada tahun pertama
pandemi, bantuan tersebut digunakan untuk penanganan kasus, penguatan fasilitas pelayanan
kesehatan dan alat kesehatan, serta penguatan kapasitas laboratorium. Sejak diberlakukan
program vaksinasi COVID-19, bantuan kemudian diperluas untuk mempercepat perluasan dan
pemerataan akses vaksinasi COVID-19 di tingkat pusat maupun daerah.
Wamenkes menyebut bantuan kegawatdaruratan tersebut sangat penting untuk membantu
Indonesia keluar dari pandemi COVID-19 dengan lebih cepat. Kini, Indonesia telah memasuki
masa transisi dari pandemi menuju endemi. Ini menjadi momentum bagi pemulihan sektor
ekonomi yang beriringan dengan sektor kesehatan. Ditengah upaya penanganan pandemi, pada
saat yang sama Kementerian Kesehatan melakukan reformasi sektor kesehatan yang fokus pada
peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia. Untuk itu, Wamenkes
berharap kemitraan yang terjalin antara Pemeritah Indonesia dan Pemerintah Amerika khususnya
bidang kesehatan dapat terus berlanjut, tidak hanya COVID-19 namun juga menangani masalah
kesehatan lainnya di masa depan.
''Mari kita tutup kemitraan penanggulangan pandemi ini, kami percaya bahwa kemitraan kuat kita
akan berlanjut di tahun-tahun mendatang. Hanya bersama kita bisa bangkit dan tumbuh lebih
kuat,'' tutup Wamenkes.
Michael Kleine, Deputy Chief of Mission Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk
Indonesia mengapresiasi keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi pandemi
COVID-19. Sebagai bentuk apresiasi, Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID menyerahkan
penghargaan respons penanganan pandemi COVID-19 yang diserahkan oleh Direktur USAID
Indonesia Jeff Cohen kepada Kepala BKPK, Syarifa Liza Munira. Dilanjutkan dengan, pemberian
sertifikat atas kesuksesan bermitra dan kolaborasi respons COVID-19 dari Direktur USAID
Indonesia Jeff Cohen yang diterima oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono.
Dengan keberhasilan ini, Michael Kleine mengharapkan kemitraan Pemerintah Amerika
Serikat dengan Pemerintah Indonesia di sektor kesehatan semakin kuat dan dapat terus berlanjut.
''Ini merupakan perayaan atas keberhasilan penanganan pandemi COVID-19, dan selanjutnya kita
harus bersiap-siap menghadapi pandemi selanjutnya,'' pungkasnya.

2. Berita terpopuler
Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak Meningkat, Orang Tua Diminta Waspada
( Dipublikasikan pada : selasa, 18 oktober 2022)

Jakarta, 17 Oktober 2022. Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak usia 6
bulan-18 tahun terjadi peningkatan terutama dalam dua bulan terakhir. Per tanggal 18 Oktober
2022 sebanyak 189 kasus telah dilaporkan, paling banyak didominasi usia 1-5 tahun. Seiring
dengan peningkatan tersebut, Kemenkes meminta orang tua untuk tidak panik, tenang namun
selalu waspada. Terutama apabila anak mengalami gejala yang mengarah kepada gagal ginjal
akut seperti ada diare, mual ,muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk
serta jumlah air seni/air kecil semakin sedikit bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali.
''Orang tua harus selalu hati-hati, pantau terus kesehatan anak-anak kita, jika anak mengalami
keluhan yang mengarah kepada penyakit gagal ginjal akut, sebaiknya segera konsultasikan ke
tenaga kesehatan jangan ditunda atau mencari pengobatan sendiri,'' kata Plt. Direktur Pelayanan
Kesenatan Rujukan dr. Yanti Herman, MH. Kes.
Pastikan bila anak sakit cukupi kebutuhan cairan tubuhnya dengan minum air. Lebih
lanjut, gejala lain yang juga perlu diwaspadai orang tua adalah perubahan warna pada urine
(pekat atau kecoklatan). Bila warna urine berubah dan volume urine berkurang, bahkan tidak ada
urine selama 6-8 jam (saat siang hari), orang tua diminta segera membawa anak ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Sampai saat ini kasus gagal ginjal akut pada anak belum diketahui secara pasti
penyebabnya, untuk itu pemerintah bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan tim dokter
RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) membentuk satu tim yang bertugas untuk mengamati dan
menyelidiki kasus gangguan ginjal akut pada anak. Dari data yang ada gejala yang muncul di
awal adalah terkait infeksi saluran cerna yang utama untuk itu Kemkes menghimbau sebagai
upaya pencegahan agar orang tua tetap memastikan perilaku hidup bersih dan sehat tetap
diterapkan, pastikan cuci tangan tetap diterapkan, makan makanan yang bergizi seimbang, tidak
jajan sembarangan, minum air matang dan pastikan imunisasi anak rutin dan lanjuti dilengkapi.
Selain itu, Kemenkes juga telah menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02./2/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Managemen
Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada
Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagai bagian peningkatan kewaspadaan. Surat
keputusan ini memuat serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga
kesehatan lain dalam melakukan penanganan terhadap pasien gagal ginjal akut sesuai dengan
indikasi medis.
''Belajar dari pandemi COVID-19, pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Sinergi dan
kolaborasi dari seluruh pihak sangat diperlukan untuk mencegah agar penyakit ini bisa di cegah
sedini mungkin. Karenanya kami mengimbau kepada Dinas Kesehatan, rumah sakit maupun
pintu masuk negara agar segera melaporkan apabila ada indikasi kasus yang mengarah kepada
gagal ginjal akut maupun penyakit lain yang berpotensi mengalami KLB,'' imbuh dr. Yanti

Anda mungkin juga menyukai