Anda di halaman 1dari 24

PERNIKAHAN

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ilmu Ekonomi dan Bisnis Islam

Dosen pengampu Fahmi Hasan Nugroho, Lc., M.A.

Adhiet Putra Adjie (1229240005)

Arif Saripudin (1229240037)

Anissa Cintami Ismail (1229240027)

Amelia Anastatia (1229240018)

Disusun oleh :

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI


BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk
para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan agar lebih mengerti dan dapat memahaminya.

Bandung, 15 September 2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. I


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ II
BAB 1 ................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
Latar Belakang........................................................................................................................................... 1
Rumusan Masalah ..................................................................................................................................... 2
Tujuan ....................................................................................................................................................... 2
Manfaat..................................................................................................................................................... 2
Metode Penyusunan ......................................................................................................................2
BAB 2 ................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN ...................................................................................................................................3
Pengertian Nikah....................................................................................................................................... 3
Asal hubungan lelaki-wanita ..................................................................................................................... 4
Rukun Nikah ............................................................................................................................................ 10
Syarat Sah Nikah ..................................................................................................................................... 11
Larangan pernikahan .............................................................................................................................. 12
Akibat Hukum Nikah ............................................................................................................................... 16
BAB 3 .............................................................................................................................................. 19
PENUTUP ......................................................................................................................................... 19
Kesimpulan.............................................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 20

II
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan salah satu fitrah manusia yang tujuan utamanya adalah
membentuk keluarga yang sakīnah, mawaddah wa rahmah. Pernikahan yang terjadi pada
manusia khususnya bagi seorang muslim tidak hanya sebagai budaya yang peraturannya
mengikuti perkembangan budaya dan adat istiadat yang berkembang di daerah tersebut,
akan tetapi pernikahan dipandang sebagai ibadah.
Pernikahan juga merupakan babak baru dalam kehidupan baru. Seperti halnya
membangun sebuah bangunan, membutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang.
Mulai dari keindahan dan keanggunan bahan bangunan, kenyamanan dan keramahan
lingkungan hingga pilihan furnitur rumah yang cocok. Semuanya benar-benar perlu
diperhatikan. Jika tidak, gedung yang indah dan mewah akan menjadi sejuta kekecewaan.
Pernikahan juga merupakan babak baru dalam kehidupan baru. Seperti halnya
membangun sebuah bangunan, membutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang.
Nabi telah menegaskan: “Nikah adalah sunnahku. Barangsiapa tidak suka kepada
sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” Mulai dari keindahan dan
keanggunan, kenyamanan dan keramahan . Yakni rumah tangga yang menjadi seperti
surga bagi para penghuninya. Tempat dimana melepas lelah, tempat bekumpul dimana
adanya rasa bahagia, aman tentram dan tempat untuk bersenda gurau yang sebagaimana
dimaksudkan
Untuk melaksanakan dan memenuhi rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa
rohmah baik secara teoritis maupun normatif, suami istri mempunyai tugas dan tanggung
jawab yang besar di dalamnya. Oleh karena itu, syarat dan persiapan yang tepat seperti
kematangan fisik, mental, kesamaan dalam hidup, agama dan banyak aspek lainnya harus
dipenuhi sebelum memasuki tahap pernikahan. Hal ini diperlukan bagi pria dan wanita
masa depan untuk memiliki kesiapan dan kedewasaan fisik dan mental.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan nikah?
2. Apa yang dimaksud dengan hubungan pria dan wanita menurut al-quran?
3. Apa saja pengaturan hubungan pria dan wanita?
4. Bagaimana hukum jika wanita memandang pria?
5. Bagaimana jika kedudukan pria dan wanita dihadapan syari’ah?
6. Hal apa saja yang kita dapat setelah melewati kehidupan suami istri?
7. Apa saja rukun nikah?
8. Apa saja syarat sah nikah?
9. Apa saja larangan dalam pernikahan?
10. Apa akibat dari hukum pernikahan?

C. Tujuan
1. Menjelaskan dari pengertian pernikahan
2. Menjelaskan apa saja yang terdapat pada hubungan pria dan wanita
3. Menjelaskan apa saja yang terdapat pada rukun nikah
4. Menjelaskan dan menyebutkan syarat sah nikah
5. Menjelaskan larangan-larangan apa saja dalam pernikahan
6. Menjelaskan dan menyebutkan akibat dari hukum pernikahan

D. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca dan
penulis mengenai asal hubungan lelaki-wanita, rukun nikah, syarat nikah, larangan
pernikahan, dan akibat hukum nikah.

E. Metode Penyusunan
Dalam makalah ini kami menggunakan studi literatur yaitu mencari dari berbagai
sumber buku dan internet.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Pernikahan adalah tentang terkumpul dan bersatu. Menurut istilah lain, bisa juga
berarti ijab kobul (akad nikah), istilah yang diucapkan dalam bahasa yang dimaksudkan
untuk hubungan antara pasangan manusia untuk mengarah pada pernikahan, menurut
ketentuan Islam, adalah suatu keharusan. Kata zawaj seperti yang digunakan dalam Al-
Qur'an berarti pasangan, dan dalam penggunaannya juga dapat diartikan sebagai
pernikahan. Itu mengikat suami dan istri, membenarkan pernikahan, dan melarang
perzinahan.
Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan
masyarakatagama islam dan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan
untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga
dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta
memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. Secara etimologi bahasa Indonesia
pernikahan berasal dari kata nikah, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan
akhiran “an”.
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata
an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas, menaiki, dan
bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-dhammu,
yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta sikap yang
ramah. adapun pernikahan yang berasalh dari kata aljam’u yang berarti menghimpun
atau mengumpulkan. Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih disebut ) ‫ ( نكاح‬,) ‫( زواج‬
keduanya berasal dari bahasa arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu )
‫ ( الوطء والضم‬baik arti secara hakiki ) ‫ ( الضم‬yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam
kiasan ) ‫ ( الوطء‬yakni perjanjian atau bersetubuh.

3
B. Asal hubungan lelaki-wanita
1. Hubungan Pria dan Wanita Menurut Alquran
Hubungan Pria dan Wanita mendorong manusia untuk mewujudkan
pemuasannya. Jika belum berhasil mewujudkan pemuasan, manusia akan gelisah
selama naluri tersebut masih bergejolak. Setelah gejolak naluri tersebut reda, rasa
gelisah itu pun akan hilang. Tiadanya pemuasan naluri tidak akan menimbulkan
kematian dan gangguan, baik gangguan fisik, jiwa, maupun akal. Naluri yang tidak
terpuaskan hanya akan mengakibatkan kepedihan dan kegelisahan. Dari fakta ini,
pemuasan naluri bukanlah sesuatu keharusan sebagaimana pemuasan kebutuhan-
kebutuhan jasmani. Pemuasan naluri tidak lain hanya untuk mendapatkan ketenangan
dan ketenteraman.
Faktor-faktor yang dapat membangkitkan naluri ada dua macam:
a. fakta yang dapat diindera.
b. pikiran yang dapat mengundang makna-makna (bayangan-bayangan dalam
benak).
Jika salah satu dari kedua faktor itu tidak ada, naluri tidak akan bergejolak.
Sebab, gejolak naluri bukan karena faktor internal, sebagaimana kebutuhan
jasmani, melainkan karena faktor eksternal, yaitu dari fakta-fakta yang terindera
dan pikiran yang dihadirkan. Kenyataan ini berlaku untuk semua macam naluri,
yaitu naluri mempertahankan diri (gharîzal al-baqâ‟(, naluri beragama )gharîzah
at-tadayyun), dan naluri melestarikan keturunan (gharîzah an-naw), Tidak ada
perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.

2. Pengaturan Hubungan Pria dan Wanita


Pengaturan hubungan Pria dan Wanita meruapakan fakta bahwa wanita dapat
membangkitkan naluri seksual pria atau sebaliknya tidak dapat dijadikan alasan
untuk memisahkan pria dan wanita secara total. Dengan kata lain, tidak benar
anggapan bahwa adanya potensi yang dapat membangkitkan naluri seksual
merupakan penghalang bagi bertemunya pria dan wanita dalam kehidupan umum dan
terciptanya sebuah kerjasama. Bahkan, fakta telah menunjukkan bahwa, dalam
kehidupan umum, pertemuan pria dan wanita adalah suatu hal yang pasti terjadi dan

4
masing-masing harus bekerjasama. Sebab, kerjasama merupakan kebutuhan yang
amat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Islam telah menjadikan kerjasama antara pria dan wanita dalam berbagai aspek
kehidupan serta interaksi antar sesama manusia sebagai perkara yang pasti di dalam
seluruh muamalat. Sebab, semuanya adalah hamba Allah swt, dan semuanya saling
menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankn ketakwaan dan pengabdian
kepada-Nya. Ayat-ayat Alquran telah menyeru manusia kepada Islam tanpa
membedakan apakah dia seorang pria ataukah wanita. Allah swt. berfirman dalam
Qs. al-A‟raf.
“Katakanlah, )Muhammad( ‟Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang
berhak disembah) Selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi Yang Ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (Kitab-KitabNya). Ikutila dia, agar kamu
mandapat petunjuk.

3. Kewajiban Pemisahan Pria dan Wanita dalam Kehidupan Islam


Dalam kehidupan Islam, yaitu kehidupan kaum Muslim dalam segala kondisi
mereka secara umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syari‟ah, baik
tercantum dalam Alqur‟an maupun As-Sunnah bahwa kehidupan kaum pria dan
kaum wanita terpisah dengan kaum wanita. Ketentuan ini berlaku dalam kehidupan
khusus seperti di rumah-rumah dan sejenisnya. Ketentuan tersebut merupakan
ketetapan berdasarkan sekumpulan hukum Islam )Majmu‟ Al-Ahkam) yang
berkaitan dengan Pria dan wanita. Allah swt. berfirman:
“Laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehoramtannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan yang besar.”
Sedekah disini adalah sedekah yang baik sedekah yang diberikan kepada orang-
orang yang membutuhkan,yang orang yang tidak mampu,memberikan harta yang
lebih kepada mereka, untuk ta‟at kepada Allah, dan kebaikan kepada dikemudian

5
hari, dan laki-laki dan wanita-wanita yang bersedekah : di dalam hadis yang
diriwayatkan Ibn Majah:”puasa dan zakat badan”,yakni: menyucikan lagi
membersihkan, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya dari dosa
besar yang mengharamkan kecuali ada kebolehan.
Sedekah disini adalah sedekah yang baik sedekah yang diberikan kepada orang-
orang yang membutuhkan,yang orang yang tidak mampu,memberikan harta yang
lebih kepada mereka, untuk taat kepada Allah, dan kebaikan kepada dikemudian hari,
dan laki-laki dan wanita-wanita yang bersedekah : di dalam hadis yang diriwayatkan
Ibn Majah:”puasa dan zakat badan”,yakni: menyucikan lagi membersihkan, laki-laki
dan perempuan yang menjaga kehormatannya dari dosa besar yang mengharamkan
kecuali ada kebolehan.
Laki-laki dan perempuan yang bersedekah, sedekah adalah berbuat baik kepada
orang yang membutuhkan dan lemah dan sesungguhnya Allah telah menyediakan
bagi mereka ampunan dosa dan pahala yang besar, yaitu surga.
Adapun selain mahram, pelamar, dan suami, maka harus dilihat terlebih dahulu.
Jika ada keperluan (hajat) untuk melihat, baik pria melihat wanita atau sebaliknya,
maka ia boleh melihat anggota tubuh sebatas yang dituntut oleh keperluan itu saja. Ia
tidak boleh melihat anggota-anggota tubuh yang lainnya kecuali wajah dan kedua
telapak tangan. Orang-orang yang dituntut oleh keperluan untuk melihat anggota
tubuh )lawan jenisnya( dan yang diperbolehkan oleh syara‟ untuk melihat itu,
mereka misalnya adalah dokter, paramedis, pemeriksa (penyidik), atau yang semisal
mereka yang dituntut oleh suatu keperluan untuk melihat anggota tubuh baik aurat
atau pun bukan aurat.

4. Hukum Melihat Antara Laki-Laki dan Wanita: Laki-Laki Memandang Kepada


Wanita
Pendapat yang tidak diragukan dan tidak diperdebatkan adalah tiodak boleh
memandang dengan hasrat seksual, karena inilah pintu menuju kecelekaan dan
penyulut kejahatan. Oleh karena itu dikatakan pandangan adalah pengantar zina.
Demi Allah, sungguh benar yang orang-orang bijak katakana “Pandangan, senyuman
dan salaman, kemudian pembicaraan, janji, dan pertemuan.”

6
Ada dua kaedah penting yang harus kita pahami dalam masalah ini dan masalah
yang berkaitan dengannya:
a. Hukum larangan berubah menjadi hukum boleh saat mendesak dan dibutuhkan.
Seperti keperluan penyembuhan dan berobat, dan melahirkan, seperti aktivitas
mpribadi maupun bersama yang memang dikehendaki.
b. Hukum boleh berubah menjadi hukum larangan ketika dikahwatirkan akan
terjadi fitnah, baik kekhawatiran itu berasal dari laki-laki maupun perempuan.
Dengan catatan tersebut harus diiringi adanya bukti. Kekhwatiran tersebut tidak
cukup berdasarkan dugaan dan prasangka belaka.
Sumber untuk mengetahui kekhawatiran teradap muncul fitnah adalah hati
terdalam manusi. Biarlah hati terdalam berfatwa dalam hal ini.

5. Kedudukan Pria Dan Wanita Dihadapan Syari’ah


Ketika Islam datang dengan membawa taklif syariah yang dibebankan kepada
kaum wanita dan kaum pria, dan ketika Islam menjelaskan hukum-hukum syari‟ah
yang mensolusi aktivitas masingmasing dari keduanya, Islam sama sekali tidak
memandang masalah kesetaraan atau keunggulan di antara pria dan wanita. Islam
juga tidak memperhatikan masalah kesetaraan dan keunggulan antara pria dan wanta
itu sama sekali. Melainkan Islam hanya memandang bahwa disana terdapat
permasalahan tertentu yang memerlukan solusi. Maka Islam memberikan solusi
terhadap permasalahan itu sebagai suatu permasalahan tertentu tanpa memperhatikan
posisinya sebagai permasalahan bagi pria atau bagi wanita. Atas dasar ini, masalah
kesetaraan atau ketidaksetaraan antara pria dan wanita bukan merupakan topik
pembahasan.
Kata kesetaraan dan ketidaksetaraan pria dan wanita itu juga tidak terdapat di
dalam khazanah perundang-undangan Islami. Yang ada adalah hukum syara‟ untuk
peristiwa tertentu yang telah terjadi dari seorang manusia tertentu, baik pria maupun
wanita.
Islam tidak mengenal istilah-istilah semacam ini. Sebab, Islam telah menegakkan
sistem pergaulannya berdasarkan landasan yang kokoh. Sistem pergaulan Islam
tersebut dapat menjamin keutuhan dan ketinggian komunitas yang ada di dalam

7
masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Sistem ini mampu memberikan kepada kaum
wanita dan kaum pria kebahagiaan yang hakiki sesuai dengan kemuliaan manusia
yang telah dimuliakan oleh Allah swt. Firman Allah swt dalam Qs. al-Isra: 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam”
Islam telah menetapkan berbagai hak bagi kaum wanita sebagaimana juga telah
menetapkan berbagai kewajiban terhadap mereka. Islam pun telah menetapkan
berbagai hak bagi kaum pria sebagaimana juga telah menetapkan berbagai kewajiban
terhadap mereka. Ketika Islam menetapkan semua itu, tidak lain Islam
menetapkannya sebagai hak dan kewajiban terkait dengan kemaslahatan pria dan
wanita menurut pandangan asy-Syâri„ )Sang Pembuat Hukum(. Sekaligus
menetapkannya sebagai solusi atas perbuatan-perbuatan mereka sebagai suatu
perbuatan tertentu yang dilakukan oleh manusia tertentu. Islam menetapkannya satu
bagi pria dan wanita ketika karakter kemanusiaan keduanya mengharuskannya satu.
Sebaliknya Islam menetapkannya berbeda ketika karakter masing-masing
mengharuskannya berbeda.
Kesatuan (kesamaan) dalam berbagai hak dan kewajiban antara pria dan wanita
itu tidak bisa disebut sebagai kesetaraan atau ketidaksetaraan (gender). Demikian
pula adanya perbedaan dalam sejumlah hak dan kewajiban di antara pria dan wanita
tidak bisa dilihat dari ada atau tidak adanya kesetaraan. Sebab, ketika Islam
memandang suatu komunitas masyarakat, baik pria atau wanita, Islam hanya
memandangnya sebagai komunitas manusia, bukan yang lain. Dan karakter
komunitas manusia tersebut bahwa di dalamnya terdapat pria dan wanita. Islam pun
telah mewajibkan aktivitas belajar-mengajar terhadap kaum Muslim, tanpa
membedakan pria dan wanita.
Allah swt menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga adalah bagi
kaum pria, karena Allah swt telah menetapkan berbagai taklif kepada merek, seperti
pemerintahan, imamah shalat, perwalian dalam pernikahan dan hak menjatuhkan
talak ada di tangan pria. Kepemimpinan tersebut juga dikarenkan berbagai beban
yang telah digantungkan oleh Allah di pundak kaum pria berupa taklif nafkah dalam
bentuk mahar, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sebagaimana Allah swt juga
telah menetapkan adanya bagi seorang suami untuk mendidk istrinya dengan cara

8
member nasihat yang baik. Sebaliknya, Allah SWT telah menetapkan bahwa hak
mengasuh anak yang massuh kecil baik laki-laki dan perempuan ada di tangan
wanita.

6. Kehidupan Suami-Istri (Pengertian Suami-Istri)


Suami dan istri dalam Alqur‟an Zauj )bentuk maskulin bagi suami(, dan zaujah
(bentuk feminism yang berarti istri ) dalam bahasa arab merupakan kata saling
berlawanan. Namun, Alqur‟an hanya menggunakan kata zauj, baik untuk menunjuk
suami maupun istri. Alqur‟an tidak pernah menyebut istri dengan zaujah yang
bentuknya jamaknya zaujat, tetapi ia menggunakan azwaj merupakan jamak Jauz.
Dijelaskan bahwa Allah swt. telah menciptakan Adam dan menciptakan Istrinya dari
Unsur tersebut. Allah swt. berfirman, “dan dari padanya Allah menciptakan istrinya
(Q.S:1).
Zauj pada mulanya berarti suatu yang (semula ganjil) menjadi genap, atau
sepasang, setelah bergabung dengan sesuatu yang lain. Maka ketika Allah berbicara
tentang wanita dan pria. Allah swt berfirman:
“lalu dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.”
Begitu pula dengan para perempuan surga Allah menyebut sebagai azwaj
Muthahharah, bukan dengan Zaujah sebagaimana pria adalah Zauj (istri seorang pria)
terkadang bahasa Arab menggunakan kata Zauj dan zaujah hanya untuk menghindari
terjadinya kebingungan saat penggunaannya sehingga bercampur antara panggilan
untuk istri dan suami.
Seorang isteri bukanlah mitra (syarikah). Melainkan isteri lebih merupakan
sahabat suami. Pergaulan di antara keduanya bukanlah pergaulan kemitraan. Mereka
juga tidak paksa untuk menjalani pergaulan itu sepanjang hidup mereka juga tidak
dipaksa untuk menjalani pergaulan sepanjang hidup mereka. Pergaulan diantara
keduanya tidak lain adalah pergaulan pergaulan persahabatan. Satu sama lain
merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Yaitu persahabatan yang dapat
memeberikan kedamaian dan ketentraman satu sama lain. Sebab Allah SWT telah
menjadikan kehidupan suami-isteri itu sebagai tempat yang penuh kedamaian bagi
suami-isteri.

9
Penyebab kegoncangan pemikiran dan penyimpangan pemahaman dari kebenaran
ini, adalah serangan dahsyat atas kita yang dilancarkan oleh peradaban barat.
Peradaban Barat telah mengendalikan cara berpikir dan selera kita sedemikian rupa,
sehingga mengubah pemahaman kita tentang kehidupan, tolok ukur kita terhadap
segala sesuatu, dan keyakinan (qana'at) kita yang telah tertancap di dalam jiwa kita,
seperti semangat kita terhadap Islam atau penghormatan kita terhadap tempat-tempat
kita. Kemenangan peradaban Barat atas kita telah merambat ke seluruh aspek,
termasuk aspek pergaulan wanita.
Semua ini terjadi karena saat peradaban Barat muncul di negeri-negeri kaum
Muslim dan tampak pula produk-produk fisiknya serta keunggulan materialnya.
Banyak mata kaum muslim yang silau. Mereka pun bertaqlid pada produk-produk
fisiknya.

C. Rukun Nikah
1. Mempelai Laki-laki
Syarat sah menikah adalah memiliki pengantin pria pernikahan diawali dengan
akad nikah.

2. Mempelai Perempuan
Sahnya menikah kedua yakni ada mempelai perempuan yang halal untuk dinikahi.
Dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk dinikahi seperti pertalian
darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan.

3. Wali Nikah Perempuan


Syarat sahnya pernikahan selanjutnya adalah adanya wali. Wali adalah orang tua
mempelai wanita: ayah, kakek, saudara kandung (saudara laki-laki atau perempuan),
saudara laki-laki ayah, saudara laki-laki ayah (pakde atau om), anak laki-laki dari
saudara laki-laki ayah.

4. Saksi Nikah
Pernikahan adalah sah jika ada pria terbaik. Tidak sah menikahi seseorang tanpa
saksi. Syarat menjadi laki-laki yang layak dinikahi adalah Islam, pubertas,

10
kecerdasan, kebebasan, kejantanan dan keadilan. Kedua saksi ini diwakili sebagai
saksi oleh anggota keluarga, tetangga, atau orang yang dipercaya.

5. Ijab dan Qabul


Terakhir, syarat sahnya pernikahan adalah ijab dan qabul. Ijab dan Qabul adalah
janji suci kepada Allah SWT di hadapan Penghulu, Wali dan Saksi. Jika kalimat
“Saya terima nikahnya”, maka kedua mempelai dapat secara sah menjadi suami istri
sekaligus.

D. Syarat Sah Nikah


1. Beragama Islam
Syarat calon suami dan istri adalah beragama Islam serta jelas nama dan
orangnya. Bahkan, tidak sah jika seorang muslim menikahi nonmuslim dengan tata
cara ijab kabul Islam.

2. Bukan mahram
Bukan mahram menandakan bahwa tidak terdapat penghalang agar perkawinan
bisa dilaksanakan. Selain itu, sebelum menikah perlu menelusuri pasangan yang akan
dinikahi.
Misalnya, sewaktu kecil dibesarkan dan disusui oleh siapa. Sebab, jika ketahuan
masih saudara sepersusuan maka tergolong dalam jalur mahram seperti nasab yang
haram untuk dinikahi.

3. Wali nikah bagi perempuan


Sebuah pernikahan wajib dihadiri oleh wali nikah. Wali nikah harus laki-laki,
tidak boleh perempuan merujuk hadis:
"Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah SAW: 'Perempuan tidak boleh
menikahkan (menjadi wali)terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan
dirinya." (HR. ad-Daruqutni dan Ibnu Majah).
Wali utama pengantin wanita dalam pernikahan adalah ayah kandungnya. Namun,
jika ayah pengantin wanita sudah meninggal, itu bisa mewakili seorang pria dari
jalan ayah. B. Kakek, kakek buyut, saudara seusia, paman, dll. berdasarkan garis

11
keturunan. Jika dalam garis keluarga tidak ada wali silsilah, maka ada wali hakim,
tetapi juga ditentukan syarat-syaratnya.

4. Dihadiri saksi
Syarat sah nikah selanjutnya adalah ada dua orang saksi yang hadir di Ijab Kabul.
Mengingat saksi memegang peranan penting dalam akad nikah, maka mereka harus
beragama Islam, dewasa, dan mampu memahami makna akad.

5. Sedang tidak ihram atau berhaji


Jumhur ulama melarang nikah saat haji atau umrah (saat ihram), merujuk Islami.
Hal ini juga ditegaskan seorang ulama bermazhab Syafii dalam kitab Fathul Qarib
al-Mujib yang menyebut salah satu larangan dalam haji adalah melakukan akad
nikah maupun menjadi wali dalam pernikahan:
"Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram) yaitu akad
nikah. Akad nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya maupun
bagi orang lain (menjadi wali).”

6. Bukan Paksaan
Syarat nikah yang tak kalah penting adalah mendapat keridaan dari masing-
masing pihak, saling menerima tanpa ada paksaan. Ini sesuai dengan hadis Abu
Hurairah ra:
"Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah atau dimintai
pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya." (HR
Al Bukhari: 5136, Muslim: 3458).
Demikian rukun dan syarat nikah yang perlu diketahui pasangan yang hendak
melangsungkan pernikahan.

E. Larangan pernikahan
1. Nikah Mut’ah
Kata mut’ah dalam Bahasa Arab berasal dari kata mata’a-yamta’u-mat’an wa
muta’atan yang diartikan sebagai kesenangan, kegembiraan, kesukaan. Menurut

12
Sayyid Sabiq, penamaan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-
senang sementara waktu saja.
Oleh sebab itu, nikah mut’ah lebih dikenal dengan istilah nikah kontrak atau
kawin kontrak. Disebut kontrak karena pernikahan ini dilakukan dengan perjanjian dan
jangka waktu tertentu. Setelah perjanjian selesai, maka kedua pasangan bisa berpisah
tanpa adanya talak dan harta warisan. Meskipun ada sejarah dalam Islam
membolehkan nikah mut`ah, tetapi pada akhirnya Rasulullah melarangnya.
Pernikahan ini dilarang karena dinilai lebih banyak merugikan pihak perempuan
karena harus berpindah-pindah kehidupan dari satu pernikahan ke pernikahan lainnya.

2. Nikah Syighar
Pernikahan ini masuk dalam pernikahan yang dilarang dalam Islam. Karena
pernikahan ini terjadi ketika seseorang menikahkan anak perempuannya dengan syarat
orang yang menikahi anaknya itu mau menikahkan putri yang ia miliki dengannya,
dan keduanya dilakukan tanpa mahar.

Para ulama pun sepakat melarang pernikahan ini. Disebutkan dalam sabda Rasulullah
‫ ﷺ‬dalam hadis riwayat Abu Hurairah r.a, berkata:
“Rasulullah ‫ ﷺ‬melarang nikah syighar. Ibnu Namir menambahkan, “Nikah syighar
adalah seorang yang mengatakan kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan anak
perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan anak perempuanku’, atau
‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu
dengan saudara perempuanku’.” (HR. Muslim)

3. Nikah Tahlil
Nikah tahlil adalah menikahi wanita yang telah ditalak tiga kali, dan setelah masa
`iddahnya selesai lalu menceraikannya dan mengembalikannya kepada suami
pertamanya. Ini adalah salah satu perbuatan keji yang dibenci oleh Allah.

Seperti sebuah hadis dari Abu Dawud dan Ibnu Majah, yang artinya:
“Rasulullah ‫ ﷺ‬mengutuk orang yang menjadi muhallil (suami pertama) dan muhallal
lah (suami sementara).”

13
4. Nikah dalam masa Iddah
Berbeda dengan nikah tahlil, pernikahan yang satu ini sudah sangat jelas dilarang
dalam agama Islam. Hal ini dikarenakan menikahi perempuan sedang dalam masa
`iddah. Seperti firman Allah SWT dalam potongan ayat dalam QS. Al-Baqarah ayat
235, yang berbunyi:

ُ‫اب أ َ َجلَه‬
ُ َ ‫َاح َحت َّ ٰى يَ ْبلُ َغ ا ْل ِكت‬
ِ ‫ع ْق َدةَ النِك‬
ُ ‫َو ََل ت َ ْع ِز ُموا‬

Artinya: "… dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa
idahnya."

5. Pernikahan Poliandri
Islam tidak melarang poligami. Tapi lain hal dengan kasus poliandri. Pernikahan
ini jelas dilarang oleh Islam, di mana perempuan menikahi laki-laki lebih dari satu.
Salah satu penyebab dilarangnya pernikahan poliandri ini karena dapat
menghancurkan fondasi dari masyarakat yang sehat. Sama halnya dengan pernikahan
syighar, poliandri dianggap banyak memberikan dampak buruk terhadap seorang istri
yang tentunya bisa berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anaknya.
Potongan ayat dalam QS. An-Nisa ayat 24 yang menyebutkan tentang larangan
pernikahan ini, yang berbunyi:

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu.” Ayat ini menerangkan bahwa salah satu kriteria wanita yang haram
untuk dinikahi adalah perempuan yang sudah memiliki suami.

6. Pernikahan dengan perempuan non-muslim selain Yahudi dan Nasrani atau beda
agama
Dalam pernikahan banyak sekali aturan dan syarat-syarat yang hendak dipenuhi.
Terutama tentang agama yang dianut, tentu saja Islam sudah mengatur semuanya.
Dalam aturan ini ada batasan-batasannya. Seperti, seorang laki-laki muslim dilarang
menikah dengan perempuan non-muslim, begitupun sebaliknya. Namun, jika

14
perempuan tersebut seorang Yahudi atau Nasrani, maka diperbolehkan. Seperti yang
disebutkan dalam firman Allah SWT QS. Al-Maidah ayat 5, yang berbunyi:

"Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli
Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu
menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-
perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas
kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk
menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh
sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi."

Ayat di atas menjelaskan bahwa dibolehkannya menikahi perempuan ahli kitab.


Karena perempuan ahli kitab adalah sosok yang suci dari perzinahan, masuk dalam
kategori muhshanat, dan statusnya bukan penduduk harbiy, walaupun syarat yang
ketiga masih diperselisihkan antara ulama.

7. Pernikahan dengan perempuan yang memiliki hubungan sedarah (nasab)


Pernikahan jenis ini sudah pasti dilarang dalam Islam. Karena dalam pernikahan
ini terdapat hubungan sedarah antara keduanya. Adapun beberapa golongan
perempuan yang tidak boleh dinikahi terdapat dalam firman Allh SWT pada QS. An-
Nisa ayat 23, yang berbunyi:

"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuan, saudara-


saudara perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu
yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sepersusuan, ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu
dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang

15
telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang."

8. Nikah dengan istri yg di talak


Jika perempuan sudah ditalak 3 oleh suami, maka haram bagi suami untuk
menikahinya hingga perempuan tersebut menikah dengan orang lain dengan
pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu kemudian bercerai.

9. Nikah Saat Melaksanakan Ihram


Pernikahan yang dilarang dalam Islam selanjutnya adalah yang dilakukan saat
sedang melaksanakan ibadah ihram. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang sedang
ihram tidak boleh menikah atau melamar.” )HR Muslim, at-Tirmidzi).

10. Nikah dengan Pezina/Pelacur


Allah SWT berfirman: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan
pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak
boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan
yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” )QS An-Nuur: 3).

F. Akibat Hukum Nikah


1. Akibat Hukum Dicatatkannya Sebuah Perkawinan
Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan
yang memenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam)
namun tanpa pencatatan resmi di instansi yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku". Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan peraturan perundang-undangan dan sering kali
menimbulkan dampak negatif (madharat) terhadap istri dan anak yang dilahirkannya
dengan hak - hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain-lain.
Tuntutan pemenuhan hak - hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit
dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah. Ketentuan
Hukum Para ulama bahwa pernikahan harus dicatat secara resmi pada lembaga yang
ada, sebagai pencegahan untuk menolak dampak negatif / saddan lidz - dzari'ah.

16
Pernikahan Dibawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat. Perkawinan semacam ini termasuk
dalam kategori zina, berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
a. Perkawinan ini dilakukan tanpa pengetahuan wali perempuan, setiap perkawinan
yang dilaksanakan tanpa adanya wali maka perkawinan itu tidak sah. Hal ini
sangat bertentangan dengan maksud - maksud syari'ah
b. Karena tidak ada pemberitahuan dan walimah maka perkawinan ini tidak ubahnya
dengan zina tersembunyi.
c. Tanpa ada ketentuan yang menyediakan tempat dan mahar
2. Pentingnya Pencatatan Perkawinan
a. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Tiap - tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama
(KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan
itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
b. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan.
1) Perkawinan Dianggap tidak Sah
2) Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di
mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh
Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
3) Anak Hanya Memiliki Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah baik teri maupun
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah
ataupun warisan dari ayah. Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan Macicha Muktar sehingga anak hasil perkawinan
siri memiliki hubungan perdata dengan ayah.

3. Akibat Hukum Perkawinan yang tidak dicatatkan


sangat merugikan bagi istri, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum,
perempuan tidak dianggap sebagai istri sah la tidak berhak atas nafkah dan warisan

17
dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta
gono - gini jika terjadi perceraian
karena menurut hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pemah terjadi. Secara
sosial, Perempuan yang perkawinan tidak dicatatkan sering dianggap sebagai istri
simpanan. Selain itu status anak yang dilahirkan sebagai anak tidak sah.

18
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia serta menimbulkan
akibat terhadap kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Suatu pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita bertujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta memperoleh keturunan.
Oleh karena itu, maka suatu pernikahan hendaknya dipersiapkan secara baik dan sesuai
dengan peraturan yang ada, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian
hari.
Untuk memelihara kemaslahatan dalam pernikahan, yang bersangkutan mesti
memperhatikan dan mentaati peraturan agama dan negara dalam hal ini fiqih dan aturan
undang-undang. Dalam mencatatkan pernikahan mengandung manfaat atau
kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila
perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan
akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan
pribadi dan merugikan pihak nlain.

19
DAFTAR PUSTAKA

Niken Widya Yunita. 2019. Rukun Nikah. [Online] Tersedia:


https://news.detik.com/berita/d-4830385/rukun-menikah-dan-syarat-sahnya-dalam-
islam/2

Unknown. 2021. Syarat Sah Nikah. [Online] Tersedia: Rukun dan Syarat Sah Nikah
dalam Islam (cnnindonesia.com)

Fia Afifah R. 2022. Pernikahan yang dilarang dalam islam. [Online] Tersedia:
https://www.orami.co.id/magazine/amp/pernikahan-yang-dilarang-dalam-islam

Octri Amelia Suryani. 2021. Pernikahan yang dilarang dalam islam. [Online] Tersedia: 7 Jenis
Pernikahan yang Dilarang dalam Islam (oase.id)

Liky Faizal. Akibat hukum pencatatan perkawinan. [Online] Tersedia: 58206-ID-akibat-


hukum-pencatatan-perkawinan.pdf (neliti.com)

Departemen pendidikan dan kebudayataan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1995.

Kementrian Agama, Syamil Al-Quran Miracle The Referance, Bandung, Sygma Publishing, 2010.

Karim Sa‟dawi Amru Abdul, Wanita dalam Fiqh Al-Qardhawi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2009.

Muhammad Syakir Syaikh Ahmad, Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir Ath-Thabari,
Jakarta, Pustaka Azzam, 2008.

Islam, Mengentaskan Kemiskinan Keluarga dan Bangsa, Muslimah HIzbut Tahrir, 2010.

Jawadi Amuli Ayatuullah, Keindahan Dan Keagungan Perempuan, Jakarta: Sadra Press, 2005.

Qayyim Al-Jauziyyah Ibnul, Raudhatul Muhibbin, Jakarta, Qishti Press, 2011.

Hassan Syamsi Pasha,Menuju Bahagia, Jakarta, Qisthi Press, 2006.

20
Penerangan Hizbut Tahrir, Dari Mesjid al-Aqsha Menuju Khilafah; Sejarah Awal Perjuangan
Hizbut Tahrir, HTI Press: 2006.

M.Natsir, Fiqhud Da‟wah, Jakarta, Yayasan Cipta selecta dan Media Da‟wah, 2008.

Mohammad Herry, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh abad 20, Jakarta, Gema Insani, 2004.

21

Anda mungkin juga menyukai