Anda di halaman 1dari 38

HUBUNGAN KREATININ DAN HEMOGLOBIN DENGAN STADIUM

KEPARAHAN PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE


YANG HEMODIALISA

PROPOSAL SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana kedokteran

Diajukan Oleh:
Sukma Kusuma Ningrum
J500200042

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN
PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN KREATININ DAN HEMOGLOBIN DENGAN STADIUM


KEPARAHAN PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE
YANG HEMODIALISA

Yang diajukan oleh :


Sukma Kusuma Ningrum
J500200042

Telah disetujui untuk diajukan kepada Tim Penguji


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Jum’at, tanggal 6 Oktober 2023

Dosen Pembimbing

Nama : dr. Raafika Studiviani Dwi Binuko, MMR (................................)


NIK : 2026

Penguji I

Nama : Dr. dr. Safari Wahyu Jatmiko, M.Si.Med. (.................................)


NIK : 1362

Penguji II

Nama : dr. Dodik Nursanto, M. Biomed (.................................)


NIK : 1477

ii
KATA PENGANTAR

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL........................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 4
A. Gagal Ginjal Kronis ............................................................................. 4
B. Hemoglobin .......................................................................................... 12
C. Kreatinin............................................................................................... 15
D. Kerangka Teori..................................................................................... 18
E. Kerangka konsep .................................................................................. 19
F. Hipotesis ............................................................................................... 19
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 20
A. Jenis Penelitian ..................................................................................... 20
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 20
C. Populasi Penelitian ............................................................................... 20
D. Sampel dan Teknik Sampel.................................................................. 20
E. Estimasi Besar Sampel ......................................................................... 21
F. Kriteria Retriksi.................................................................................... 23
G. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................ 23
H. Definisi Operasional............................................................................. 24

iv
I. Instrumen dan Intervensi ...................................................................... 24
J. Analisis Data ........................................................................................ 24
K. Alur Penelitian ..................................................................................... 25
L. Jadwal Penelitian.................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori ......................................................................... 18


Gambar 2.2 Kerangka Konsep ..................................................................... 19
Gambar 3.1 Alur Penelitian.......................................................................... 25

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Derajat Penyakit CKD .................................................................... 5


Tabel 2.2 Klasifikasi chronic kidney disease berdasarkan etiologi ................. 7
Tabel 2.3 Kreatinin human metode Jaffe Reaction .......................................... 15
Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................ 24
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian.............................................................................. 26

vii
viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) dikenal sebagai gagal ginjal
kronis adalah penurunan fungsi ginjal berlangsung lebih dari tiga bulan disertai
turunnya Laju Filtrasi Glomerulus <60mL/mnt/1,73m akibat penyakit komorbid
seperti hipertensi dan diabetes mellitus. Penyakit CKD sifatnya progresif dan
ginjal tidak pulih kembali (irreversible), jadi pasien memerlukan hemodialisa
untuk menggantikan kerja ginjal (Weinstein et al., 2018).
Hemodialisa atau cuci darah merupakan terapi utama untuk menggantikan
fungsi ginjal dalam mengekskresikan sisa metabolisme, racun dan cairan. Durasi
hemodialisa dua kali seminggu selama 4-5 jam. Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Perfenefri) mengatakan hemodialisa dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup, memperpanjang harapan hidup dan minimalkan komplikasi
lanjutan akibat CKD (Perfenefri, 2018).
Chronic Kidney Disease mempengaruhi >10% populasi dunia yang tahun
2022 dialami 843,6 juta penduduk dunia. World Health Organization (WHO)
mencatat prevalensi Amerika Serikat 17%, Indonesia mencapai 12,5%. Hanya
4,1 juta pasien yang rutin menjalani hemodialisa di seluruh dunia (WHO, 2022).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 melaporkan
prevalensi CKD di Indonesia mencapai >27 Juta. Insidensi CKD di Jawa Timur
menempati urutan kedua tertinggi dengan presentase 7% sekitar 30.831 pasien.
WHO memperkirakan Indonesia mengalami peningkatan penderita CKD pada
tahun 2025 sebesar 41,4% (RISKESDAS, 2018).
Data rekam medik pada penelitian Isron (2014) di RSUD dr. Harjono
Ponorogo menemukan pasien CKD yang hemodialisa sejumlah 200 pasien.
Angka naik signifikan tiap kuartal tahun. Tahun 2018 sejumlah 2.603 dengan
perbulan rata-rata 407 pasien terkonfirmasi di Ponorogo (Saputra et al., 2019).
Buku Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik (PDS Patklin) tertulis
anemia adalah penurunan hemoglobin pada pria <13 g/dl dan wanita <11,5 g/dl

1
2

(PDS Patklin, 2022). Anemia ialah komplikasi CKD. Mekanisme anemia


disebabkan defisiensi eritopoietin (EPO) akibat rusaknya sel penghasil hormon
di ginjal sehingga pembentukan hemoglobin di sumsum tulang terhambat.
Anemia kerap disertai kenaikan kreatinin. Ditemukan odd ratio risiko pasien
dengan kreatinin tinggi 3 kali berisiko tinggi memiliki Hb rendah dibandingkan
pasien kreatininnya normal (Sofyanita, 2020). Kreatinin ialah sisa metabolisme
otot, normalnya 0,8–1,2 mg/dl. Jika >1,2 indikasi penurunan fungsi ginjal.
Peningkatan serum kreatinin berdampak terganggunya metabolisme sistem
organ yang akhirnya menurunkan kualitas fungsi tubuh (PDS Patklin, 2022).
Penelitian sebelumnya terkait hubungan kreatinin terhadap kualitas hidup
pasien CKD dilakukan oleh Suprianto (2021) di RSD Balung Jember. Hasilnya
ada korelasi signifikan antara penurunan kreatinin dengan kualitas hidup pasien
CKD. Penelitian Lia (2018) terkait korelasi perbandingan hemoglobin pasien
CKD sebelum dan sesudah menjalankan hemodialisa terdapat penurunan Hb
secara signifikan sebagai tanda anemia sebelum terapi hemodialisa pada pasien
CKD RSUD Jombang.
Kebaruan penelitian ini saya menggunakan data sekunder dengan tempat
rujukan RSU Darmayu Ponorogo. Data diambil dalam kurun waktu bulan April
– Juli 2023 yang secara statistik CKD menempati 10 besar penyakit terbanyak.
Saya meneliti hubungan kadar kreatinin dan Hb pasien CKD rawat jalan yang
terapi hemodialisa. Berdasarkan latar belakang diatas tujuan peneliti melihat
hubungan kadar kreatinin dan Hb untuk menentukan derajat anemia dan
hiperkreatinimia pasien CKD sebelum dan sesudah terapi hemodialisa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan serum kreatinin dengan terjadinya CKD ?
2. Bagaimana hubungan hemoglobin dengan terjadinya CKD ?
3. Bagaimana hubungan perubahan hemoglobin dan serum kreatinin dengan
stadium keparahan pasien CKD sebelum dan sesudah terapi hemodialisa ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan CKD yang dipengaruhi kadar serum kreatinin.
2. Mengetahui hubungan CKD yang dipengaruhi kadar hemoglobin.
3

3. Mengetahui hubungan perubahan hemoglobin dan serum kreatinin dengan


keparahan CKD sebelum dan sesudah terapi hemodialisa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian diharapkan memberikan informasi kesehatan secara
ilmiah kepada masyarakat tentang hubungan kreatinin dan hemoglobin
terhadap pasien CKD yang terapi hemodialisa dengan sebelum hemodialisa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Penelitian dijadikan informasi tambahan bagi masyarakat mengenai
komplikasi yang mungkin terjadi terkait perubahan kreatinin dan Hb
sehingga bisa menentukan stadium keparahan CKD.
b. Bagi Penelitian
Penelitian bisa dijadikan acuan riset kesehatan selanjutnya untuk
melanjutkan penelitian tentang komplikasi pasien CKD dengan anemia
yang tidak rutin terapi hemodialisa pada pasien CKD. Jika ditemukan
peningkatan kadar kreatinin diikuti penurunan kadar Hb, klinisi
dipermudah dalam menentukan derajat keparahan penderita CKD
c. Bagi Kemenkes
Bagi Kementrian Kesehatan hasil penelitian ini bisa dijadikan
acuan, tambahan informasi serta pengetahuan untuk deteksi dini
terjadinya komplikasi dan melihat stadium keparahan berupa anemia
dan peningkatan kreatinin sesuai stadium pada pasien CKD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Kronis


1. Definisi Chronic Kidney Disease
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik merupakan
penurunan fungsi dengan atau tanpa abnormalitas struktur ginjal yang
sifatnya ireversibel di stadium tertentu sehingga perlu terapi hemodialisa
untuk menggantikan kerja ginjal. Dikategorikan CKD apabila Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) <60 mL/min/1,73 m² dan penurunan fungsi
berlangsung >3 bulan (Ammirati et al., 2020).
Penurunan fungsi ginjal mengacu dari kelainan yang ditemukan
saat pemeriksaan, sifatnya non spesifik terhadap penyakit penyebabnya.
Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun bersamaan pada pasien
CKD. Stadium keparahan kerap bermanifestasi berupa anemia dengan
hemoglobin berangsur menurun <13,5 g/dl pada pria dan <12 g/dl pada
wanita, albuminuria ≥30 mg/24 jam, hiperkreatinin >1,2 mg/dl, sedimen
urin abnormal, gangguan elektrolit (Anat Gafter-Gvilia, 2019).
Chronic Kidney Disease terjadi secara progresif dan irreversible.
Perjalanan stadium kronik menjadi stadium terminal membutuhkan waktu
2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab utama CKD ialah memiliki
penyakit komorbid hipertensi menempati urutan pertama (36%) dan
diabetes mellitus di urutan kedua (28%). CKD jika tidak di terapi dengan
optimal lalu mencapai stadium tertentu akan menyebabkan komplikasi
(anemia, penyakit tulang, penyakit kardiovaskular) (Perfenefri, 2018).
Penurunan fungsi ginjal pada CKD terjadi secara perlahan. Anemia
sebagai komplikasi lanjutan sehingga bisa dijadikan indikator keparahan
sesuai stadiumnya. Anemia pada CKD berkaitan dengan ginjal manusia
yang menghasilkan hormon penting disebut eritropietin (EPO). Hormon
ini berfungsi merangsang sumsum tulang untuk membentuk eritrosit dan
jika terjadi kekurangan eritrosit maka kadar hemoglobin darah akan

4
5

rendah, sehingga hemodialisa rutin dilakukan sebagai terapi pengganti


fungsi ginjal pada penderita gagal ginjal kronis (Lia et al., 2022).
2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease
Klasifikasi CKD bisa dibagi berdasarkan dua hal yaitu derajat atau
stadium penyakit dan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat stadium
penyakit dilihat pada Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang dihitung
memakai rumus Kockroft-Gault seperti berikut ini :
Pria
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x Berat badan
72 x Kreatinin plasma (mg/dl)
Wanita
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x Berat badan x 0,85
72 x Kreatinin plasma (mg/dl)
Rumus Kockroft-Gault ini tidak berlaku pada pasien di atas 80
tahun atau di bawah 18 tahun dengan berat badan di atas 100 kg atau di
bawah 40 kg, penderita Acute Kidney Injury (AKI), wanita hamil, anggota
tubuh tidak lengkap (amputasi), kerusakan otot yang luas (tetraparesis,
crush syndrome) (Ningsih et al., 2021).
Menurut rekomendasi NKF-DOQI (National Kidney Foundation,
2022) Klasifikasi derajat Chronic Kidney Disease ditinjau dari (LFG)
Laju Filtrasi Glomerolus dan stadium keparahan CKD dibedakan seperti
berikut :
Tabel 2. 1 Derajat Penyakit CKD
LFG
Derajat Deskripsi
(mL/menit/1.73m²)
Keruskan ginjal disertai LFG ≥90
1
normal atau meninggi
Kerusakan ginjal disertai penurunan ringan 60 – 89
2
LFG
3 Penurunan moderat LFG 30 – 59
4 Penurunan berat LFG 15 – 29
5 Gagal ginjal terminal <15 atau dialisis
6

(NKF-KDOQI Guidelines, 2022)


Pada stadium 1 hingga 3 CKD harus dikonfirmasi dengan bukti
diagnostik lain proteinuria atau hematuria, diagnosis genetik penyakit
ginjal (penyakit ginjal polikistik) atau bukti ginjal abnormal struktural
(nefropati refluks), tinjauan pengobatan (obat nefrotoksik) dan pencitraan
untuk menyingkirkan obstruksi. Pasien di stadium 1 hingga 3 bisa dikelola
dalam perawatan primer dengan tujuan mengurangi risiko terkait kejadian
kardiovaskular, yang risikonya meningkat dengan CKD. Pada tahap 4 dan
5 manifestasi klinis CKD terlihat karena fungsi ginjal yang rendah dan
pasien harus segera diperiksa oleh spesialis ginjal dengan LFG yang sangat
rendah (300 mg / 24 jam) (Ikizler et al., 2018).
3. Epidemiologi Chronic Kidney Disease di Indonesia
Menurut hasil konsensus Riskesdas 2018, prevalensi penyakit ginjal
kronis sebanyak 3,8% pada populasi berusia 20 tahun atau lebih yang
didiagnosis gagal ginjal kronis (RISKESDAS, 2018). Hasil dari Riskesdas
juga membuktikan bahwa jumlah meningkat sesuai umur. Prevalensi laki-
laki (0,3%) lebih tinggi daripada perempuan (0,2%), dan jumlah lebih
tinggi di masyarakat desa (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), wiraswasta,
petani / nelayan / kuli (0,3%) (Kemenkes RI, 2018).
Jumlah penderita CKD di Indonesia mencapai >27 Juta. Data pusat
nefrologi Indonesia memperkirakan prevalensi CKD berkisar 100 ribu/1
juta penduduk. Insidensi CKD di Jawa Timur menempati urutan kedua
tertinggi dengan presentase 7% yang pada tahun 2018 tercatat 30.831
pasien. Penelitian WHO memperkirakan Indonesia mengalami
peningkatan penderita CKD di tahun 2025 sebesar 41,4% (RISKESDAS,
2018). Provinsi dengan angka kejadian tertinggi adalah Sulawesi Tengah
sebesar 0,5%, disusul Jawa Timur sebesar 0,3 % (Kemenkes RI, 2018).
4. Etiologi Chronic Kidney Disease
Etiologi CKD bisa disebabkan akibat kelainan ginjal primer atau
sebagai komplikasi dari gangguan multisistem yang berhubungan dengan
penyakit komorbid sebelumnya, seperti hipertensi dan diabetes mellitus
7

yang kini menginisiasi penyebab utama CKD di seluruh dunia. Etiologi


penyakit ginjal terutama disebabkan oleh penyakit kronik
glomerulonefritis diikuti oleh nefropati iskemik, penyakit polikistik ginjal
dan lupus nephritis (Doscas et al., 2017).
Kemudian menurut Habib (2017) etiologi gagal ginjal kronik pada
pasien hemodialisis yaitu hipertensi dengan diabetes mellitus menempati
urutan teratas, diikuti oleh hipertensi dan penyakit arteri koroner.
Klasifikasi chronic kidney disease berdasarkan etiologi
penyebabnya secara spesifik (KDIGO, 2021) :
Tabel 2.2 Klasifikasi chronic kidney disease berdasarkan etiologi
No Penyakit Tipe Mayor
1. Penyakit ginjal Diabetes Mellitus (DM) DM tipe 1 dan tipe 2
2. Penyakit ginjal non diabetes Penyakit vaskuler (mikroangiopathy,
hipertensi, renal artery disease),
Penyakit kistik (ginjal polikistik),
Penyakit glomerular (infeksi sistemik,
obat, neoplasia, autoimun),
Penyakit tubulo interstitial
(pielonefritis kronis, obstruksi, batu,
keracunan obat)
3. Penyakit pada saat transplantasi Keracunan obat (takrolimus,
siklosporin)
Transplant glomerulopathy
Penyakit reccurrent (glomerular)
Rejeksi kronik

5. Patofisiologi Chronic Kidney Disease


Mekanisme terjadinya gagalan ginjal disebabakan karena sebagian
nefron (tubulus dan glomerulus) mengalami penurunan fungsi maupun
karena rusaknya struktur. Nefron yang utuh mengalami hipertropi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorbsi walaupun
dalam keadaan penurunan GFR atau daya saring (Barbara C et al., 2018).
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai
8

dari nefron yang rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorbsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuria dan haus. Karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak
oliguria timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala
pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala khas kegagalan ginjal
apabila fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin klirens turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu (Barbara C et al., 2018).
Fungsi renal normal akan menurun saat produk akhir metabolisme
otot yaitu kreatinin yang secara normal diekskresikan lewat urin malah
tertimbun di aliran darah. Terjadi kreatinimia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan sisa metabolisme yang tidak
berguna bagi tubuh maka gejala gagal ginjal akan semakin berat. Namun
dengan henodialisis gejala hiperkreatinimia mulai membaik. Jadi nilai
LFG yang perlu memakai data kreatinin, hemoglobin, jenis kelamin, umur,
dan berat badan bisa digunakan untuk menentukan stadium gagal ginjal
pasien (Brunner & Suddarth, 2018).
6. Tanda dan Gejala Chronic Kidney Disease
Menurut (Kemenkes RI, 2018) terdapat tanda dan gejala
patognomonik yang timbul akibat penyakit ginjal umumnya terdeteksi
(namun bisa tampak di penyakit lain) seperti :
Gejala (Symptom) awal penyakit Chronic Kidney Disease :
a. Kelelahan ekstrim
b. Rasa tidak enak badan (malaise)
c. Mual
d. Kehilangan nafsu makan
e. Gatal terus menerus pada kulit
f. Kulit menjadi kering
g. Penurunan berat badan tanpa diketahui penyebabnya.
Gejala (Symptom) Chronic Kidney Disease tahap lanjut :
a. Kulit yang lebih gelap dari biasanya
9

b. Nyeri tulang
c. Kesulitan konsentrasi, berpikir atau tetap waspada
d. Mati rasa dan bengkak pada kaki, tangan dan pergelangan kaki
e. Kedutan dan kram pada otot
f. Bau mulut dan rasa haus yang berlebihan
g. Mudah memar dan berdarah
h. Sering cegukan dan sesak nafas
i. Gangguan siklus menstruasi
j. Buang air kecil yang lebih sering atau lebih jarang dari biasanya
k. Muntah dan lemas
l. Sulit tidur (insomnia)
m. Disfungsi seksual
Tanda (Sign) Chronic Kidney Disease :
a. Tekanan darah tinggi (>120/80 mmHg)
b. Perubahan jumlah kencing dan berapa kali kencing dalam sehari
c. Adanya darah dalam urin (Hematuria)
d. Bengkak pada kaki, pergelangan kaki, dan kelopak mata ketika
bangun tidur pagi hari
e. Kadar albumin dalam urin tinggi
f. Ditemukannya kreatinin >1,2 di dalam darah
7. Komplikasi Peningkatan Kreatinin pada Chronic Kidney Disease
Menurunnya fungsi ginjal pada penderita CKD ditandai dengan
adanya peningkatan kadar serum kreatinin. Kreatinin merupakan sisa
metabolisme otot yang dijadikan salah satu indikator untuk melihat adanya
gangguan fungsi ginjal dan indikator perjalanan penyakit diabetes melitus
yang berpotensi mengakibatkan gagal ginjal, apabila penderita diabetes
mellitus memiliki riwayat gagal ginjal kronik (Kusuma, 2020).
Peningkatan kadar serum kreatinin terus menerus akan berdampak
terganggunya metabolisme sistem organ yang pada akhirnya akan
menurunkan kualitas fungsi tubuh yang berdampak pada berkurangnya
kualitas hidup manusia. Dengan bertambahnya kreatinin maka akan
10

meningkatkan gejala dan komplikasi pada gagal ginjal kronis. Peningkatan


kadar kreatinin sama dengan akumulasi racun dalam darah (EHCP, 2019).
Kadar serum kreatinin banyak digunakan untuk mengukur fungsi
ginjal melalui pengukuran laju filtrasi glomerulus. Rehbeg menyatakan
peningkatan kadar kreatinin serum antara 1,2–2,5 mg/ dL berkorelasi
positif terhadap tingkat kematian pasien yang diteliti selama 96 bulan.
Kadar kreatinin berada dalam keadaan relatif konstan, sehingga
menjadikannya sebagai penanda filtrasi ginjal yang baik. Kadar kreatinin
yang digunakan dalam persamaan perhitungan memberikan pengukuran
fungsi ginjal yang lebih baik, karena pengukuran klirens kreatinin
memberikan informasi mengenai glomerulus filtration rate. Kreatinin
adalah zat yang ideal untuk mengukur fungsi ginjal karena merupakan
produk hasil metabolisme tubuh yang diproduksi secara konstan, difiltrasi
oleh ginjal, tidak direabsorbsi, dan disekresikan oleh tubulus proksimal.
Kreatinin serum laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena massa
otot yang lebih besar pada laki-laki (Kusuma, 2020).
8. Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerulus Filtration Rate)
Glomerulus merupakan invaginasi berkas kapiler dengan diameter
200 µm yang mengalami dilatasi dan dikelilingi oleh kapsula Bowman.
Kapiler glomerulus memperoleh suplai darah dari arteriol afferen dan
dialirkan ke arteriol efferent yang ukurannya lebih kecil. Darah yang
memasuki kapiler glomerulus akan mengalami filtrasi sebelum memasuki
kapsula Bowman dengan cara melewati tiga lapisan membran filtrasi
glomerulus, yaitu dinding kapiler glomerolus (sel endotel), lapisan
gelatinosa aseluler disebut membran basal (lamina basalis), dan lapisan
dalam kapsul Bowman. Ketiga lapisan berfungsi sebagai saringan molekul
halus yang menahan eritrosit dan protein plasma, tetapi melewati H2O dan
zat terlarut lain yang ukuran molekulnya cukup kecil (Susanti, 2021).
Sebenarnya pori-pori kapiler glomerulus cukup besar untuk
melewatkan kreatinin, albumin, protein. Namun, glikoprotein bermuatan
sangat negatif sehingga akan menolak kreatinin dan glukosa dari plasma
11

lain yang bermuatan negatif. Sehingga, kreatinin tidak bisa difiltrasi, <1%
molekul kreatinin berhasil lolos masuk ke kapsul Bowman. CKD ditandai
kreatinin berlebihan di darah karena gangguan muatan negatif di membran
glomerulus, menyebabkan membran lebih permeabel terhadap albumin
walaupun ukuran pori-pori tidak berubah (Susanti, 2021).
Terdapat sel mesangial antara membran basal dan endotel yang
mirip dengan sel perisit yang umumnya terdapat pada kapiler lain. Sel
mesangial umumnya berada antara dua kapiler yang berdekatan, bersifat
kontraktil dan berperan dalam mengatur filtrasi glomerulus. Lapisan
terakhir pada membran glomerulus, yaitu sel-sel epitel lapisan dalam
kapsul Bowman, terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang mengelilingi
permukaan luar glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan
memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di
dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan, membentuk celah
yang disebut sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk
keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke lumen kapsul Bowman. Sel
epitel ini juga bermuatan negatif, sehingga ikut serta dalam menghambat
filtrasi protein plasma. Dengan demikian, rute yang diambil oleh bahan
yang terfiltrasi untuk melintasi membran filtrasi glomerulus pertama
melalui pori-pori kapiler glomerulus, kemudian lamina basalis, dan
terakhir melalui celah filtrasi kapsula Bowman.
Laju filtrasi glomerulus (LFG), bergantung tidak saja pada tekanan
filtrasi netto, tetapi juga pada seberapa luas permukaan glomerulus yang
tersedia untuk penetrasi dan permeabilitas membran glomerulus. Sifat-
sifat membran glomerulus ini secara kolektif disebut sebagai koefesien
filtrasi (Kf ). Hubungan antara LFG, Kf dan tekanan filtrasi : LFG =Kf x
tekanan filtrasi netto. Pada orang dewasa dalam keadaan istirahat, ginjal
memperoleh suplai darah 1,2-1,3 liter per menit, atau kurang dari 25% dari
curah jantung. Berdasarkan pengukuran bersihan dari PAH (p-amino
hippuric acid) diketahui bahwa perkiraan aliran plasma ginjal (Estimated
Renal Plasma Flow) sebesar 630 ml/menit. Oleh karena ratio ekstraksi
12

PAH rata-rata 0,9, maka diketahui bahwa aliran plasma ginjal sebesar 700
ml/menit. Dalam keadaan normal, sekitar 20 % plasma yang masuk ke
glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi netto 10 mmHg,
menghasilkan 180 liter filtrasi glomerulus setiap hari untuk GFR rata-rata
125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrasi per hari GFR 115ml/menit
pada wanita (Chung, 2018).
B. Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang mengandung zat besi di dalam
eritrosit berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh
tubuh. Hemoglobin memiliki dua fungsi pengangkutan penting, yaitu
mengangkut karbondioksida dan proton dari jaringan perifer ke organ
respiratori dan mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh.
Kadar normal hemoglobin menurut (WHO, 2022) untuk umur 5-11
tahun <11,5 g/dL, wanita 12-14 tahun >12 g/dL dan pria >13 g/dL. Kadar
Hb dalam darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
aktivitas fisik. Apabila seseorang mengalami penurunan kadar hemoglobin
dalam darahnya maka disebut sebagai anemia (Kosasi et al., 2018).
1. Eritropoetin
Eritropoiesis merupakan proses pembentukan eritrosit, dimana di
dalamnya terkandung hemoglobin sebagai elemen pengangkut oksigen.
Eritroposesis diatur oleh hormon (EPO) atau eritropoietin. Eritropoietin
adalah hormon glikoprotein yang berat molekulnya 30-39 kD yang
berikatan dengan reseptor spesifik progenitor eritrosit, dan memberi sinyal
untuk menstimulasi diferensiasi dan proliferasi (Aliviameita, 2019).
Dalam keadaan normal, 90% hormon eritropoetin dihasilkan oleh
sel peritubular interstisial endothelial ginjal, dan 10% di hasilkan hati.
Eritropoietin akan diproduksi tubuh tergantung stimulus tekanan oksigen
di jaringan ginjal. Bila suplai oksigen tinggi di jaringan (massa eritrosit
meningkat dan Hb mudah melepaskan oksigen) maka terjadi penurunan
produksi hormon EPO. Sebaliknya apabila suplai oksigen rendah misalkan
pada hipoksia dan anemia maka nefron ginjal akan merespon dengan
13

memproduksi EPO dalam kadar tinggi sehingga ada peningkatan produksi


eritrosit di sumsum tulang. Eritropoietin akan meningkat pada hipoksia
jaringan ataupun anemia. Jika terjadi kenaikan volume eritrosit, seperti
akibat transfusi maka aktivitas EPO di sumsum tulang akan menurun.
(Aliviameita, 2019).
2. Mekanisme pembentukan hemoglobin
Proses produksi Hemoglobin sebagai pengangkut oksigen terjadi
pada organ hematopoetik seperti sumsum tulang. Awalnya glisin dan
suksinat bergabung didalam organ hematopoetik membentuk asam amino
levulinat dan asam amino ketaodipat. Kedua asam tersebut dihasilkan
dibawah pengaruh (Amino Laevulinic Acid) ALA sebagai enzim yang
mengatur kecepatan seluruh proses sintesis hemoglobin (Susanti, 2021).
Dua molekul ALA berkondensasi menjadi satu molekul
porfobilinogen, monopirol pengganti dan empat molekul porfobilinogen
berkondensasi menggunakan uroporfirinogen I sintase dan
uroporfirinogen III ko-sintese) membentuk komponen isomer terapirol
(pofirin) siklik, uroporfirinogen seri I dan III. Uroporfirinogen I
merupakan prekursor porfirin lain, tetapi tak berperanan lebih lanjut dalam
sintesis heme. Uroproporfirinogen III merupakan prekursor seri porfirin
III dan dikonversi menjadi koproporfirinogen IX yang mengehelasi besi
(II) (ion ferro) untuk membentuk hame (Wiharmoko, 2018).
Hame menghambat ALA sintase dan membentuk kontrol umpan
balik atas sintesa profirin serta haemoglobin. Fungsi utama eritrosit adalah
mengangkut O2 ke jaringan dan mengembalikan CO2 dari jaringan ke
paru-paru. Untuk mencapai pertukaran gas ini, sel darah merah
mengandung protein khusus, yaitu hemoglobin. Sintesis haem, terjadi
banyak dalam mitokondria oleh sederet reaksi biokimia yang dimulai
dengan kondensasi glisin dan suksinil (Wiharmoko, 2018).
Koenzim A dibawah aksi enzim kunci data-amino laevulinic acid
(Ala) sintase yang membatasi kecepatan. Pridoksal fosfat (Vitamin B)
adalah koenzim untuk reaksi ini yang di stimulus oleh eritroprotein dan
14

dihambat oleh haem. Akhirnya protoporfirin bergabung dengan besi untuk


membentuk hacm yang setiap molekulnya bergabung dengan rantai globin
yang terbuat pada poliribosom. Kemudian tetramer empat rantai globin
dengan masing-masing gugus haemnya sendiri terbentuk dalam “kantong”
untuk membangun molekul hemoglobin (Chung, 2018)
3. Hubungan Chronic Kidney Disease dengan kadar hemoglobin
Hemoglobin merupakan zat organik yang terdapat pada eritrosit
berberfungsi untuk mengikat oksigen dalam darah. Hemoglobin zat yang
menentukan warna pada darah yang berhubungan dengan nilai hematokrit,
eritrosit, dan eritrosit. Darah yang merupakan cairan dengan volume yang
berbeda-beda tergantung pada jenis kelamin, ukuran tubuh, dan usia.
Anemia adalah keadaan kelainan hematologi pada darah yang ditandai
dengan massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Mislina, 2022).
Anemia ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb)
atau hemotokrit nilai ambang batas <13 g/dl pada pria dan <12 g/dl pada
wanita yang disebabkan rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan
Hb, Meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), kehilangan darah
berlebihan (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2018).
Respon tubuh yang normal terhadap anemia adalah merangsang
fibroblas peritubular ginjal untuk meningkatkan produksi eritropoetin
(EPO), yang mana EPO meningkat lebih dari 100 kali dari nilai normal
bila hematokrit dibawah 20%. Pada pasien penyakit CKD, respon ini
terganggu sehingga terjadilah anemia dengan konsentrasi EPO yang
rendah, hal ini dikaitkan dengan defisiensi eritropoietin pada penyakit
CKD (Sukandar, 2018).
Pemeriksaan kadar hemoglobin merupakan salah satu parameter
pemeriksaan dalam hematologi yang bertujuan untuk mendeteksi anemia,
dan mendeteksi adanya gangguan pada ginjal (Aziz, 2020).
C. Kreatinin
Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin yang dilepaskan
15

dari otot dengan dan diekskresi oleh ginjal melalui filtrasi dan sekresi,
sedangkan kreatin adalah zat yang menghasilkan kreatinin. Kreatinin
merupakan zat toksik hasil metabolisme protein yang harus dikeluarkan oleh
ginjal, bila terjadi kerusakan atau gangguan fungsi ginjal maka kadarnya dalam
darah meningkat akan meracuni tubuh (Suprianto, 2021)
Hal yang bisa dilakukan jika kadar kreatinin berlebihan dalam tubuh
normal adalah melakukan pemeriksaan atau hemodialisa untuk membuang
protein berlebih dalam tubuh karena kreatinin menjadi indikator untuk menilai
fungsi ginjal (Siamak, 2019). Kadar kreatinin setiap orang berbeda, biasanya
orang berotot kekar memiliki kreatinin lebih tinggi dibandingkan yang tidak
berotot. Nilai normal kreatinin pada wanita 0,6 – 1,1 mg/dl, sedangkan pria 0,9
– 1,3 mg/dl. Nilai kreatinin melebihi ambang batas menunjukkan semakin
berkurangnya fungsi ginjal progresif (Suprianto, 2021).
Berikut nilai rujukan kreatinin normal berdasarkan (PDS Patklin,
2022).
Tabel 2.3 kreatinin human metode Jaffe Reaction
Serum ( mg/dl ) ( µmol/l)
Laki – laki 0.6 – 1.1 53 – 97
Wanita 0.5 – 0.9 44 – 80

1. Mekanisme pembentukan kreatinin


Proses awal biosintesis kreatinin terjadi di ginjal dengan melibatkan
asam amino glisin dan arginin. Pembentukan kreatinin tidak melalui
mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga semua kreatinin diekskresi
lewat ginjal. Kegagalan fungsi ginjal akan terjadi apabila kemampuan
filtrasi kreatinin di dalam renal berkurang akibat kerusakan struktur, dan
kreatinin serum akan meningkat di dalam darah karena tidak bisa dibuang
bersama urin. Kadar kreatinin yang naik dua kali lipat adanya indikasi
penurunan fungsi ginjal sebanyak 50%, sedangkan peningkatan kreatinin
tiga kali lipat adalah indikator penurunan fungsi ginjal sebesar 75%
(Kusuma, 2020).
16

Kreatinin banyak ditemukan dalam jaringan otot sekitar 94%.


Kreatin dari otot diambil dari darah karena otot sendiri tidak mampu
mensintesis kreatin. Kreatin darah berasal dari makanan dan biosintesis
yang melibatkan berbagai organ terutama hati. Proses awal biosintesis
kreatin berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan
glisin (Kusuma, 2020).
Kreatinin terdapat didalam otot, otak dan darah dalam bentuk
terfosforilasi sebagai fosfokreatin dan dengan keadaan yang bebas.
Kreatinin dalam jumlah sedikit juga terdapat didalam urin normal.
Kreatinin adalah anhidrida dari kreatin, sebagian besar dibentuk di dalam
otot dengan pembuangan air dari kreatin fosfat secara tidak reversibel dan
non enzimatik. Kreatinin bebas terdapat didalam darah dan urin,
pembentukan kreatinin merupakan langkah yang diperlukan untuk
ekskresi sebagian besar kreatinin (Suprianto, 2021)
2. Faktor yang mempengaruhi kreatinin
Sukandar (2018) menjelaskan ada berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi kadar kreatinin dalam darah antara lain :
a. Perubahan masa otot
b. Diet kaya daging meningkatkan kadar kreatinin beberapa jam setelah
makan
c. Aktifitas fisik yang berlebihan dapat meningkatkankan kadar
kreatinin darah
d. Obat seperti sefalosporin, aldacton, aspirin dan co trimexazole dapat
mengganggu sekresi kreatinin sehingga meningkatkan kadar kreatinin
dalam darah
e. Kenaikan sekresi tubulus dan destruksi kreatinin internal
f. Usia dan jenis kelamin pada orang tua kreatinin lebih tinggi daripada
orang muda, serta pada laki – laki kadar kreatinin lebih tinggi daripada
wanita.
17

3. Hubungan Chronic Kidney Disease dengan kadar serum Kreatinin


Penelitian yang dilakukan oleh Apriani (2016) disebutkan ada
hubungan bermakna antara tekanan darah dengan kadar kreatinin pasien.
Hal itu sejalan dengan penelitian Kusmiati & Nurjanah (2018) yang
menyebutkan bahwa kadar kreatinin dikatakan tidak normal jika
mengalami peningkatan melebihi batas >1,2 mg/dl.
Kenaikan kreatinin tersebut dipicu oleh tekanan darah tinggi dan
diabetes mellitus jangka panjang sehingga menyebabkan fungsi ginjal
terganggu. Tekanan dinding lateral pembuluh darah secara berlebihan di
arteri sehingga terjadi penyempitan arteri yang mengakibatkan
kurangnya suplai oksigen keseluruh tubuh termasuk ke ginjal, sehingga
memicu kadar kreatinin meningkat (Kusmiati et al., 2018).
18

D. Kerangka Teori

Hipertensi, DM

Penurunan Area Filtrasi

Terjadi >3 Bulan

Perubahan
Kreatinin >1,2 Hemodinamik Gagal bentuk EPO
LFG <60 mL/mnt Adaptif

Hb <13 g/dl dan


CKD
<11,5 g/dl

Hemodialisa

Deteksi stadium keparahan

Gambar 2.1 Kerangka Teori

= Variabel terikat (dipengsruhi)


= Variabel bebas (mempengaruhi)
19

E. Kerangka konsep

Serum kreatinin

Chronic kidney
disease
Hemoglobin

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

F. Hipotesis
1. H1 : Ada hubungan antara kejadian chronic kidney disease dengan
perubahan kadar serum kreatinin pasien di RSU X Ponorogo, Jawa Timur.
2. H2 : Ada hubungan antara kejadian chronic kidney disease dengan
perubahan kadar hemoglobin pasien di RSU X Ponorogo, Jawa Timur
3. H3 : Ada hubungan antara kejadian chronic kidney disease dengan
perubahan kadar serum kreatinin dan hemoglobin pada pasien dengan
terapi hemodialisa di RSU X Ponorogo, Jawa Timur.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional analitik dengan
melakukan pendekatan cross sectional untuk mempelajari hubungan antara
kadar kreatinin dan hemoglobin dengan angka kejadian Chronic Kidney Disease
(CKD) yang sedang menjalani terapi hemodialisa.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dimulai pada Oktober 2023, penelitian berlangsung selama tiga
bulan. Data sekunder diambil di bagian rekam medik ruang hemodialisa RSU X
Ponorogo, Jawa Timur dengan mengambil data pasien yang periksa di bulan
April – Juli 2023 dengan nilai statistika tertinggi hemodialisa di RSU tersebut
pada kuartal kedua (Q2) tahun 2023.
C. Populasi Penelitian
1. Populasi Aktual
Pasien yang terdiagnosa Chronic Kidney Disease di RSU Darmayu
Ponorogo, Jawa Timur.
2. Populasi Target
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan yang
terdiagnosa Chronic Kidney Disease dan sedang menjalankan terapi
hemodialisa di RSU Darmayu Ponorogo, Jawa Timur.
D. Sampel dan Teknik Sampel
1. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan yang terdiagnosa
Chronic Kidney Disease dan sedang menjalankan terapi hemodialisa.
2. Teknik sampling
Pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling.

20
21

E. Estimasi Besar Sampel


1. Menentukan besar sampel metode cross sectional memakai rumus
penghitungan sampel analitik kategorik tidak berpasangan. Berdasarkan
penelitian sebelumnya proporsi pada kelompok yang diambil dari pustaka
hemoglobin (P2) ialah 0,409 dan perbedaan klinis yang diinginkan (P1-P2)
diharuskan 0,2 (20%). Sedangkan pustaka kreatinin (P2) ialah 0,527 dan
perbedaan klinis yang diinginkan (P1-P2). (Dahlan, 2010)
Rumus :

(𝑍𝛼√2𝑃𝑄 + 𝑍𝛽 √(𝑃1 𝑄1 + 𝑃2 𝑄2 ))2


𝑛1 = 𝑛2 = )
(𝑃1 − 𝑃2)2
n = Besar sampel
Z𝛼 = Standar Deviasi baku a yaitu 1,96
Zβ = Standar Deviasi baku b yaitu 0,84
P1 = Proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement
peneliti
P2 = Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya dari
penelitian sebelumnya
P = Proporsi gabungan P1 dan P2 = (P1 + P2)/2
Jadi besar sampel pada penilitian ini didapatkan
Q =1–P
Q1 = 1 – P1
Q2 = 1 – P2
a. Besar sampel minimal analisis hubungan kadar hemoglobin pada pasien
CKD yang sedang terapi hemodialisa
(1,96√2𝑥0,509𝑥0,491 + 0,84 √(0,609𝑥0,391 + 0,409𝑥0,591))2
𝑛1 = 𝑛2 =
(0,20)2
n = 86,7147 (87)
Zα = Deviat baku a yaitu 1,96
Zβ = Deviat baku b yaitu 0,84
P1 = 0,609 (Clinical judgment)
P2 = 0,409
P = 0,509
22

b. Besar sampel minimal analisis hubungan kreatinin dengan pasien CKD


yang sedang terapi hemodialisa ginjal.
(1,96√2x0,427x0,573+0,84 √(0,527x0,473+0,327x0,673))2
n1 =n2 = )
(0,20)2
n = 84,859 (85)
Zα = Deviat baku a yaitu 1,96
Zβ = Deviat baku b yaitu 0,84
P1 = 0,527 (Clinical judgment)
P2 = 0,327
P = 0,427
c. Besar sampel minimal analisis regresi logistik hubungan kreatinin dan
hemoglobin dengan kejadian CKD yang terapi hemodialisa.
𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 2 1
𝑛= [ ] 𝑥
𝐼𝑛 𝑂𝑅 𝑃𝑋 (1 − 𝑃𝑋 )𝑃𝑌 (1 − 𝑃𝑌 )

n = 114
Zα = Deviat baku a yaitu 1,96
Zβ = Deviat baku b yaitu 0,84
OR =4
PX = 0,609
PY = 0,609
Hasil yang diperoleh :
1,96 + 0,84 2 1
𝑛= [ ] 𝑥
𝐼𝑛3 0,609(1 − 0,609)0,609(1 − 0,609)

n = 114
Berdasarkan rumus diatas maka sampel yang digunakan adalah sampel
terbesar yaitu 114.
23

F. Kriteria Retriksi
Kriteria retriksi ada dua yaitu kriteria inklusi dan eksklusi. Didasarkan
kriteria tersebut, ditentukan apakah sampel bisa digunakan atau tidak. Berikut
kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini :
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien terdiagnosa chronic kidney disease
b. Sedang menjalankan terapi hemodialisa
c. Pasien rawat jalan
d. Pasien berusia rentang 20 – 80 tahun. (Weinstein, 2010)
2. Kriteria Ekslusi
a. Pasien terdiagnosa chronic kidney disease yang rawat inap akibat penyakit
komorbid lain
b. Pasien terdiagnosa chronic kidney disease yang pada bulan April – Juli
yang data rekam mediknya tidak lengkap, melingkupi tes darah lengkap
ataupun renal function test.
G. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
a. Serum kreatinin
b. Hemoglobin
2. Variable terikat
Pasien chronic kidney disease yang menjalani terapi hemodialisa.
3. Variabel luar terkendali :
a. Umur pasien
b. Jenis kelamin
4. Variabel luar tak terkendali
Pekerjaan, pengetahuan, pola hidup, penyakit komorbid, Stadium keparahan
fungsi ginjal
24

H. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Skala
Kreatinin Jumlah kadar Rekam Medis RSU < 0,6 mg/dL Ordinal
kreatinin yang Darmayu Ponorogo (hipokreatinemia),
diukur dengan 0,6-1,1 mg/dL
Blood Chemistry (normokreatin), >
>1,1 mg/dL
(hiperkreatin)
Hemoglobin Jumlah kadar Rekam Medis RSU < 11,5 mg/dL Ordinal
hemoglobin yang Darmayu Ponorogo (anemia),
diukur dengan tes 11,5 – 13,5 mg/dL
sampel darah (normal),
> 13,5 mg/dL
(polisitemia).

Chronic Kidney Penurunana fungsi


Rekam Medis RSU Grade 1 (≥90) Ordinal
Diseaes ginjal >3 bulan
Darmayu Ponorogo Grade 2 (60-89)
ditandai kenaikan
Grade 3 (45-59)
serum kreatinin &
Grade 4 (30-44)
LFG <60ml/
ESRD (<15)
menit/1,73 m
(ml/min/1.73 m2)

I. Instrumen dan Intervensi


Instrumen penelitian ini menggunakan data rekam medis pasien hemodialisa
yang terdiagnosa chronic kidney disease di RSU Darmayu Ponorogo.
J. Analisis Data
a. Data Univariat
Data univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi
masing-masing variabel yaitu variabel bebas (independent) mengenai kadar
serum kreatinin dan hemoglobin dan variabel terikat (dependent) tentang
kejadian Chronic Kidney Disease.
b. Data Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui adanya korelasi antara
variabel bebas dengan variabel terikat. Penelitian ini menggunakan uji statistik
25

chi square. Bila didapatkan p value <0.05 maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat.
c. Data Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui hubungan lebih dari
satu variabel bebas dengan variabel terikat secara bersamaan. Variabel bebas
(kreatinin dan hemoglobin) bersifat ordinal dan variabel terikat (Pasien CKD
terapi hemodialisa) bersifat nominal, sehingga penelitian ini memenuhi syarat
dilakukan analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik.
Penelitian memakai analitik kategorik tidak berpasangan, analisis data
yang digunakan adalah Uji Chi-Square dan alternatif Uji Kolmogorov Smirnov.
Uji data dilanjutkan jika hasil bermakna dengan Analisis Multivariat
menggunakan Uji Regresi Logistik. Penyajian dan analisis data menggunakan
SPSS.
K. Alur Penelitian

Persiapan penelitian

Perizinan pengambilan sampel

Pengumpulan rekam medis pasien CKD yang


menjalani terapi hemodialisa di Rumah Sakit
Umum Darmayu Ponorogo periode April-Juli
2023

Memilah data rekam medis dengan kriteria


inklusi

Analisis Data

Kesimpulan

Gambar 3.1 Alur Penelitian


26

L. Jadwal Penelitian
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian

Bulan ke-
Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8

Penyusunan
proposal
Ujian proposal
Revisi proposal
Pengambilan
dan pengolahan
data
Penyusunan
skripsi
Ujian skripsi
Revisi skripsi
DAFTAR PUSTAKA

Ammirati, A. L. (2020). Chronic Kidney Disease. In Revista da Associacao Medica


Brasileir. Associacao Medica Brasileira. https://doi.org/10.1590/1806-
9282.66.S1.3
Andika, O., & Puspitasari, A. ; (2019). Buku Ajar Mata Kuliah Hematologi
Diterbitkan oleh Umsida Press.
Bina, D., Medik, P., Direktorat, S., & Bina, J. (2008). Pedoman Pelayanan
Hemodialisis Di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Central of Disease Control (CDC). (2019). Chronic Kidney Disease. CDC
Document Title.
Dahlan, S. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Kedokteran
dan Kesehatan (A. Suslia, Ed.; 3rd ed.). Salemba Medika.
Doscas, S., Nekada, C. D., Wijihastuti, W., Studi Keperawatan Program Sarjana
Fikes Unriyo, P., & Prambanan Sleman Yogyakarta, R. (2021).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta 2021.
Dwi Cahyo, V., Nursanto, D., Diana Risanti, E., Masyita Dewi, L., (2019). The
Relationship of Hypertension and Age Against the Chronic Kidney
Failure in The Hospital of Dr. Harjono Ponorogo.
Gafter Gvili, A., Schechter, A., & Rozen-Zvi, B. (2019). Iron Deficiency Anemia
in Chronic Kidney Disease. In Acta Haematologica (Vol. 142, Issue 1,
pp. 44–50). S. Karger AG. https://doi.org/10.1159/000496492
Hanna, R. M., Streja, E., & Kalantar-Zadeh, K. (2021). Burden of Anemia in
Chronic Kidney Disease: Beyond Erythropoietin. In Advances in
Therapy. Adis. https://doi.org/10.1007/s12325-020-01524-6
Hustrini, N. M. (2020). Pengelolaan Predialisis Pasien Penyakit Ginjal Kronik.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(2), 78.
https://doi.org/10.7454/jpdi.v7i2.440
Habib, N. M., Susalit, E., & Rotmans, J. I. (2022). Prevalence and risk factors for
chronic kidney disease in Indonesia: An analysis of the National Basic
Health Survey 2018. Journal of Global Health, 12.

27
28

https://doi.org/10.7189/JOGH.12.04074
Ikizler, T. A., Burrowes, J. D., Byham-Gray, L. D., Campbell, K. L., Carrero, J. J.,
Chan, W., Fouque, D., Friedman, A. N., Ghaddar, S., Goldstein-Fuchs,
D. J., Kaysen, G. A., Kopple, J. D., Teta, D., Yee-Moon Wang, A., &
Cuppari, L. (2020). KDOQI Clinical Practice Guideline for Nutrition in
CKD: 2020 Update. American Journal of Kidney Diseases, 76(3), S1–
S107. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2020.05.006
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes). (2022). Pedoman
Interpretasi Data Klinik. Jakarta.
Kesehatan, K., Penelitian, B., & Kesehatan, P. (2018). Hasil Utama Riskesdas
2018.
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). (2018). Diagnosis And
Evaluation Of Anemia In CKD. Kidney International Supplements,
2(4), 288-91.
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). (2013). Definition and
classification of CKD. The International Society of Nephrology, 3(1),
5-14
Klinik, M. P. (2022). Indonesian Journal Of Clinical Pathology And Medical
Laboratory. 13(3).
Kovesdy, C. P. (2022). Epidemiology of chronic kidney disease: an update 2022.
In Kidney International Supplements. Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/j.kisu.2021.11.003
Lia, C, A. W., & Koesrini, J. (2019). Hubungan Kadar Ureum, Hemoglobin dan
Lama Hemodialisa dengan Kualitas Hidup Penderita PGK. Jurnal Ners
Dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 6(3), 292–299.
https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p292-299
Mislina, S., Purwaningsih, A., & Melani MS, E. (2022). Analisa Perubahan Kadar
Hemoglobin Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisa di Rumah Sakit Annisa Cikarang. Cerdika: Jurnal Ilmiah
Indonesia, 2(2), 191–198. https://doi.org/10.36418/cerdika.v2i2.335
Mohammed, S., Oakley, L. L., Marston, M., Glynn, J. R., & Calvert, C. (2022). The
29

association of breastfeeding with cognitive development and


educational achievement in sub Saharan Africa: A systematic review.
Journal of Global Health, 12. https://doi.org/10.7189/jogh.12.04071
Ningsih, S. A., Rusmini, H., Purwaningrum, R., & Zulfian, Z. (2021). Hubungan
Kadar Kreatinin dengan Durasi Pengobatan HD pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(1), 202–207.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i1.581
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. (2018). Indonesian renal registry 2018. Jakarta:
Perhimpunan Nefrologi Indonesia.
Pratiwi, L. D., Majidah, L., & Ismunanti, I. (2018). Perbedaan Kadar Hemoglobin
Pada Penderita Gagal Ginjal Kronis Sebelum Dan Sesudah
Hemodialisa (Studi di RSUD Jombang ).
Sanjaya, A., Kuswadi, I., & Prasanto, H. (2020). Intisari Hubungan Adekuasi
Hemodialisa Terhadap Kadar Asam Urat Pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Rutin Di RSUP Dr. Sardjito.
http://etd.repository.ugm.ac.id/
Saputra, E., & Isroin, L. (2019). Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Perilaku
Pembatasan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. Penerbit Artikel
Ilmiah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 3(2).
http://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/HSJ
Sofyanita, Naning, E., Palupi, N. I (2020). Hubungan Kadar Hemoglobin dan
Kadar Kreatinin Darah pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Pasca
Transfusi Berulang Correlation Hemoglobin and Blood Creatinine
Level Chronic Kidney Disease Patient. https://ejournal.poltekkes-
smg.ac.id/ojs/index.php/JLM/
Sukandar, H., Sabarudin, A., Istanti, Y. I., Ratri, E., & Wulandari, N. (2018).
Penentuan Kreatinin Dalam Urin Secara Kolorimetri Dengan
Sequential Injection-Flow Reversal Mixing (Si-Frm) Colorimetric
Determination of Creatinine in Urin with Sequential Injection-Flow
Reversal Mixing (SI-FRM). http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jm
Susanti, S., & Sulistyana, C. S. (2021). Pengaruh Coaching Support Terhadap
30

Kepatuhan Penderita Chronic Kidney Disease (CKD). Jurnal


Kesehatan Vokasional, 5(4), 217.
https://doi.org/10.22146/jkesvo.59212
Teknik Sampling Penelitian. (2018). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.19674.24003
Weinstein, J. R., & Anderson, S. (2010). The Aging Kidney: Physiological
Changes. In Advances in Chronic Kidney Disease.
https://doi.org/10.1053/j.ackd.2010.05.002
Weir, M. R. (2021). Managing Anemia across the Stages of Kidney Disease in
Those Hyporesponsive to Erythropoiesis-Stimulating Agents.
American Journal of Nephrology, 52(6), 450–466.
https://doi.org/10.1159/000516901
World Health Organization (WHO). (2022). Incidency of Chronic Kidney Disease
In Global.
Wilson, S., Mone, P., Jankauskas, S. S., Gambardella, J., & Santulli, G. (2021).
Chronic kidney disease: Definition, updated epidemiology, staging, and
mechanisms of increased cardiovascular risk. In Journal of Clinical
Hypertension (Vol. 23, Issue 4, pp. 831–834). Blackwell Publishing
Inc. https://doi.org/10.1111/jch.14186
Yuniarti, W. (2021). Anemia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Anemia In Chronic
Kidney Disease Patients. Journal Health And Science ; Gorontalo
Journal Health & Science Community, 5.

Anda mungkin juga menyukai