Disusun Oleh:
Lia Arian Apriani NIM P1337424718026
Andriana NIM P1337424718027
Siti Nadirah NIM P1337424718028
Diah Ulfa Hidayati NIM P1337424718029
Varisa Nowangi Irianti NIM P1337424718030
Ismi Puji Astuti NIM P1337424718031
Oknalita Simbolon NIM P1337424718032
Miftah Nurlaily El Akhlaq NIM P1337424718033
2018
A. Teori dan Model Implementasi George Edward III
Dalam teori implementasi kebijakan, model implementasi dibutuhkan
untuk mencegah ancaman utama dalam implementasi sehingga di hasilkan
sebuah implementasi kebijakan yang konsistensi.1
Model implementasi Direct and Indirect of Implementation dikembangkan
oleh George C. Edwards III mengandung empat variabel yang menentukan
keberhasilan suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan
struktur birokrasi. Model implementasi ini menggambarkan bahwa
implementasi kebijakan secara linier berjalan dari komunikasi, sumber daya
politik yang tersedia dan pelaksanaan implementasi kebijakan.1
Komunikasi
Sumber Daya
Implementasi
Disposisi
Struktur
Birokrasi
Model konseptual dari Edward III ini dapat digunakan sebagai alat
untuk membandingkan implementasi program diberbagai tempat dan
waktu. Artinya, variabel yang tersedia dalam model dapat digunakan
untuk menggambarkan fenomena implementasi kebijakan publik, sehingga
dalam penelitian ini, model tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk
menggambarkan fenomena implementasi kebijakan SKN di Indonesia
pada Tahun 2012.
Agar SKN berfungsi baik, diperlukan komitmen yang tinggi,
dukungan, dan kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan
tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (good
governance).
Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara demokratis,
berkepastian hukum, terbuka (transparan), rasional, profesional, serta
bertanggung jawab dan bertanggung gugat (akuntabel).
Para pelaksana pengelola SKN di indonesia telah dipilih dan
diangkat sesuai dengan kemampuan dan dedikasi yang dimiliki dan
dipertimbangkan secara selektif oleh pihak – pihak terkait kemudian
dikontrol melalui beberapa kegiatan rapat koordinasi.
4. Struktur Birokrasi
Menurut Edward III dalam Indiahono (2009:32) struktur birokrasi
menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi
kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting yaitu
mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme
implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui Standard
Operating Procedure (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijakan. Seperti yang dikemukakan oleh George C. Edward III
dalam Agustino (2008:153), SOP adalah suatu kegiatan rutin yang
memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada setiap harinya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas,
sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan
menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur
organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit,
panjang dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat
menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam
program secara cepat. Menurut George C. Edward III dalam Agustino
(2008:153), ketika struktur organisasi tidak kondusif pada kebijakan yang
tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumber daya menjadi tidak
efektif dan menghambat jalannya kebijakan.
SOP pada SKN 2012 telah di rangkum secara optimal dan
sistematis, namun hal ini tidak dapat berjalan dengan baik. Salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah belum terpenuhinya Sumber Daya
Kesehatan Manusia (SDKM) yang memadai. Belum terpenuhinya SDKM
ditandai dengan belum tercapainya rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah
penduduk yang merupakan indikator untuk mengukur ketersediaan tenaga
kesehatan dalam mencapai target pembangunan kesehatan, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Rasio dokter terhadap 100.000 penduduk baik secara nasional maupun
provinsi masih jauh dari target rasio dokter pada tahun 2019 yaitu 45
per 100.000 penduduk. Secara nasional, rasio dokter di Indonesia
sebesar 16,02 per 100.000 penduduk tahun 2016. Provinsi dengan
rasio tertinggi yaitu DKI Jakarta (38,27 per 100.000 penduduk) dan
provinsi dengan rasio terendah yaitu Lampung (10,44 per 100.000
penduduk)4.
2) Rasio dokter gigi di Indonesia pada tahun 2016 adalah 4,53 per
100.000 penduduk. Angka ini masih jauh dari target rasio dokter gigi
tahun 2019 yaitu 13 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio
tertinggi yaitu DKI Jakarta sebesar 10,11 per 100.000 penduduk dan
provinsi dengan rasio terendah yaitu Maluku sebesar 1,87 per 100.000
penduduk4.
3) Rasio perawat pada tahun 2016 adalah 114,75 per 100.000 penduduk.
Hal ini masih jauh dari target tahun 2019 yaitu 180 per 100.000
penduduk. Namun ada delapan provinsi dengan rasio perawat yang
sudah memenuhi target tahun 2019 yaitu DKI Jakarta, Kalimantan
Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Aceh, Maluku, Sulawesi Utara,
Bengkulu, dan Jambi. Provinsi dengan rasio perawat terendah yaitu
Lampung sebesar 49,44 per 100.000 penduduk4.
4) Rasio bidan di Indonesia pada tahun 2016 adalah sebesar 63,22 per
100.000 penduduk. Angka ini masih jauh dari target 2019 yaitu 120
per 100.000 penduduk. Ada empat provinsi yang telah memenuhi
target tahun 2019 yaitu Aceh, Bengkulu, Maluku Utara, dan Jambi.
Provinsi dengan rasio terendah yaitu Jawa Barat sebesar 37,21 per
100.000 penduduk4.