Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS SKN 2009 DAN 2012 BERDASARKAN TEORI

GEOGER EDWARD III

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan dan Kepemimpinan


Dosen pengampu: Sri Rahayu, S.Kp, Ns, S.Tr.Keb, M.Kes

Disusun Oleh:
Lia Arian Apriani NIM P1337424718026
Andriana NIM P1337424718027
Siti Nadirah NIM P1337424718028
Diah Ulfa Hidayati NIM P1337424718029
Varisa Nowangi Irianti NIM P1337424718030
Ismi Puji Astuti NIM P1337424718031
Oknalita Simbolon NIM P1337424718032
Miftah Nurlaily El Akhlaq NIM P1337424718033

PROGRAM STUDI MAGISTER TERAPAN KEBIDANAN

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TERAPAN KESEHATAN

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2018
A. Teori dan Model Implementasi George Edward III
Dalam teori implementasi kebijakan, model implementasi dibutuhkan
untuk mencegah ancaman utama dalam implementasi sehingga di hasilkan
sebuah implementasi kebijakan yang konsistensi.1
Model implementasi Direct and Indirect of Implementation dikembangkan
oleh George C. Edwards III mengandung empat variabel yang menentukan
keberhasilan suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan
struktur birokrasi. Model implementasi ini menggambarkan bahwa
implementasi kebijakan secara linier berjalan dari komunikasi, sumber daya
politik yang tersedia dan pelaksanaan implementasi kebijakan.1

Komunikasi

Sumber Daya

Implementasi

Disposisi

Struktur
Birokrasi

Dalam bagan diatas dapat dijelaskan seperti berikut ini:


Komunikasi adalah komponen pertama yang mempengaruhi suatu
keberhasilan implementasi kebijakan. Pencapaian tujuan dari implementasi
kebijakan public sangat ditentukan oleh komunikasi. Komunikasi harus tepat,
akurat, dan konsisten agar para pembuat keputusan dan para implementor
semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan
dilaksanakan. Setelah komunikasi dapat terjalin dengan baik, hal yang harus
diperhatikan lagi dalam keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah
sumber daya. Sumber daya yang dimaksud disini seperti misalnya staf,
informasi, wewenang dan fasilitas.1
Selain komunikasi dan sumber daya, tingkat keberhasilan suatu kebijakan
juga di pengaruhi oleh sikap dari pelaksana kebijakan atau disposisi.
Pelaksana kebijakan harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
kebijakan, sehingga dalam praktiknya tidak menjadi bias. Selanjutnya yang
tidak kalah penting dalam implementasi kebijakan adalah struktur birokrasi.
Dalam struktur birokrasi yang harus diperhatikan adalah mekanisme dan
struktur itu sendiri.1
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model implementasi George C.
Edwards III isi kebijakan harus disesuaikan dengan konteksnya yaitu siapa
SDM yang dituju, bagaimana persepsi dan tanggapan yang diberikan dan
bagaimana sikap dan tanggapan yang diberikan birokratnya dalam mencapai
kesepahaman dalam implementasi kebijakan yang ada sehingga akan
mencapai hasil yang maksimal.1
B. Analisis Sistem Kesehatan Nasional 2009
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2009 merupakan salah satu bentuk
implementasi dengan pendekatan top down (Direct and Indirect Impact In
Implementation), yang mana kebijakan tersebut tersentralisasi dari aktor pada
tingkat pusat dalam hal ini Pemerintah Pusat, selanjutnya diteruskan oleh
administrator dan birokrat di level bawahnya yaitu Pemerintah Daerah, swasta,
hingga pada level masyarakat.
Dari analisis menggunakan keempat variabel Model George C. Edward III
tersebut yang diketahui beberapa hal yang mendukung dan menghambat sistem
kebijakan nasional 2009. Sehingga dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Proses komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan, baik itu terhadap
masyarakat maupun kepada sesama pelaksana kebijakan atau aktor
kebijakan.
Dalam sistem kesehatan nasional perencanaan pembangunan kesehatan
antara pusat dan daerah belum sinkron. Begitu pula dengan perencanaan
jangka panjang / menengah masih belum menjadi acuan dalam menyusun
perencanaan jangka pendek. Demikian juga dengan banyak kebijakan yang
belum disusun berbasis bukti dan belum bersinergi baik perencanaan di
tingkat pusat dan atau di tingkat daerah.
Sistem infromasi kesehatan menjadi lemah setelah menerapkan kebijakan
desentralisasi. Data dan informasi kesehatan untuk perencanaan tidak
tersedia tepat waktu. Sistem informasi kesehatan nasional ( Siknas) yang
berbasis faslitas sudah mencapai tingkat kabupaten / kota namun belum
dimanfaatkan.
2. Keadaan atau ketersediaan sumber daya pendukung pelaksanaan
kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia dan sumber daya
yang berkaitan dengan sarana prasarana.
Sumber daya manusia adalah pelaku penyelenggaraan pembangunan
kesehatan seperti individu, keluarga, dan masyarakat yang meliputi tokoh
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, media massa, organisasi profesi,
akademisi, praktisi, serta masyarakat luas, termasuk swasta yang berperan
dalam advokasi, pengawasan sosial, dan penyelenggaraan berbagai
pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuan
masing-masing,
Peningkatan jumlah Puskesmas ditandai dengan peningkatan rasio
Puskesmas dari 3,46 per 100.000 penduduk pada tahun 2003 menjadi 3,65
per 100.000 pada tahun 2007 (Profil Kesehatan, 2007). Namun pada daerah
terpencil, tertinggal, perbatasan, serta pulau-pulau kecil terdepan dan terluar
masih rendah. Jarak fasilitas pelayanan yang jauh disertai distribusi tenaga
kese-hatan yang tidak merata dan pelayanan kesehatan yang mahal
menyebabkan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan.
Rumah tangga yang telah melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat
meningkat dari 27% pada tahun 2005 menjadi 36,3% pada tahun 2007,
namun masih jauh dari sasaran yang harus dicapai pada tahun 2009, yakni
dengan target 60%.
Jumlah UKBM, seperti Posyandu dan Poskesdes semakin meningkat, tetapi
pemanfaatan dan kualitasnya masih rendah. Hingga tahun 2008 sudah
terbentuk 47.111 Desa Siaga dimana terdapat 47.111 buah Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes).
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat lainnya yang terus berkembang pada
tahun 2008 adalah Posyandu yang telah berjumlah 269.202 buah dan 967
Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Di samping itu, Pemerintah telah
memberikan pula bantuan stimulan untuk pengembangan 229 Musholla
Sehat. Sampai dewasa ini dirasakan bahwa masyarakat masih lebih banyak
sebagai objek dari pada sebagai subjek pembangunan kesehatan.
Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa alasan utama rumah tangga
tidak memanfaatkan Posyandu/Poskesdes walaupun sebenarnya memerlukan
adalah karena: pelayanannya tidak lengkap (49,6%), lokasinya jauh (26%),
dan tidak ada Posyandu/Poskesdes (24%).
3. Proses pendekatan dalam pelaksanaan kebijakan melalui disposisi atau
sikap dari pelaksana kebijakan
Untuk masalah disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan dalam Sistem
Kesehatan Nasional 2009 ditemukan masalah yaitu pemerintah belum
sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif,
efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik (good governance).
4. Proses pembentukan atau ketersediaan suatu struktur birokrasi sebagai
pendukung dalam pembagian tugas dan fungsi dalam pelaksanaan
kebijakan maupun menyusun prosedur standarnya.
Dalam sistem kesehatan nasional tahun 2009 upaya pemenuhan kebutuhan
Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan belum memadai, baik jumlah,
jenis, maupun kualitas tenaga kesehatan yang dibutuhkan. Selain itu,
distribusi tenaga kesehatan masih belum merata. Jumlah dokter Indonesia
masih termasuk rendah, yaitu 19 per 100.000 penduduk bila dibandingkan
dengan negara lain di ASEAN, seperti Filipina 58 per 100.000 penduduk
dan Malaysia 70 per 100.000 pada tahun 2007.
C. Analisis Sistem Kesehatan Nasional 2012
Sistem Kesehatan Nasional merupakan pengelolaan kesehatan yang
diselengggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Dalam mewujudan Sistem Derajat Kesehatan demi
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya diperlukan analisis
kebijakan. Menurut teori kebijakan implementasi yang dikemukakan oleh
George Edward III menggunakan model implementasi Direct and Indirect of
Implementation yang mengandung empat variabel yang menentukan
keberhasilan suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan
struktur birokrasi. Model implementasi ini menggambarkan bahwa
implementasi kebijakan secara linier berjalan dari komunikasi, sumber daya
politik yang tersedia dan pelaksanaan implementasi kebijakan.
1. Komunikasi di Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
Model implementasi kebijakan publik yang berpersfektif top down
yang dikembangkan oleh George C. Edward III, yakni terdiri dari 4
variabel yang menentukan keberhasilan dari kebijakan tersebut: (1)
komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi. Variabel
pertama yakni komunikasi menurut George C. Edward akan menghasilkan
kebijakan yang baik jika komunikasinya efektif antara pelaksana program
(kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan
sasaran dari kebijakan yang dibuat harus disosialisasikan dengan baik
sehingga dapat menghindari adanya distorsi (kesalahpahaman). Hal ini
perlu diperhatikan karena dengan semakin tingginya pengetahuan
kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan
dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program/kebijakan dalam ranah
yang sesungguhnya.
Dalam program Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang
dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Presiden Republik Indonesia) yang
dikelola oleh Menteri kesehatan bersama dengan pemerintah daerah
(gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah lainnya) harus memiliki
komunikasi yang efektif sehingga didapatkan kesepahaman dalam
penerapannya di masyarakat. Bagian pengelola kesehatan melalui
pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya
kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran dan
pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu harus saling
mendukung. Jika para pembuat keputusan dan implementor memiliki
komunikasi yang efektif dan transparan, mereka dapat mengetahui tugas
yang harus dikerjakan, maka pelaksanaanya dapat terlaksana dengan
konsisten sehingga derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dapat terjamin.
2. Sumber Daya
Menurut Edward III dalam Indiahono (2009:31–32), sumber daya
yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang
memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.
Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas
implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Lebih
lanjut dijelaskan menurut George C. Edward III dalam Agustino
(2008:151), kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan
salah satunya disebagiankan oleh karena sumber daya yang tidak
mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan
jumlah sumber daya saja tidaklah cukup, tetapi diperlukan pula kecukupan
sumber daya dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam
mengimplementasikan kebijakan.
Sumber daya finansial menurut George C. Edward III dalam
Indiahono (2009:48) adalah kecukupan modal invertasi atas sebuah
program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi
program/kebijakan pemerintah. Sebab, tanpa kehandalan implementor,
kebijakan berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan sumber daya finansial
menjamin keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan
finansial yang memadai, progam tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam
mencapai tujuan dan sasaran.
Dalam komponen pengelolaan kesehatan yang disusun dalam SKN
dikelompokkan dalam subsistem, yaitu upaya kesehatan, penelitian dan
pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia
kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen,
informasi, dan regulasi kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
3. Disposisi
Menurut Edward III dalam Indiahono (2009:32), disposisi yaitu
menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor
kebijakan/program. Karakter yang paling penting dimiliki oleh
implementor adalah kejujuran, komitmen, dan demokratis. Implementor
yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan
diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran
mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arah program yang
telah digariskan dalam guideline (kerangka kerja) program.
Komitmen dan kejujuran implementor membawanya semakin
antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap
yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan
kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran. Sikap ini akan
menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya
dan kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan
program/kebijakan. Menurut George C. Edward III dalam Agustino
(2008:152), jika pelaksanaan kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana
kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi
juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam
praktiknya tidak bias.
Aplikasi Konseptual George C. Edward III Perspektif Implementasi
Kebijakan (disposisi):

a. Tingkat komitmen dan kejujuran: dapat diukur dengan tingkat


konsistensi antara pelaksanaan kegiatan dengan strandar yang telah
ditetapkan. Semakin sesuai dengan standar semakin tinggi
komitmennya.
b. Tingkat demokratis dapat dengan intensitas pelaksana melakukan
proses sharing dengan kelompok sasaran, mencari solusi dan masalah
yang dihadapi dan melakukan diskresi yang berbeda dengan standar
guna mencapai tujuan dan sasaran program.

Model konseptual dari Edward III ini dapat digunakan sebagai alat
untuk membandingkan implementasi program diberbagai tempat dan
waktu. Artinya, variabel yang tersedia dalam model dapat digunakan
untuk menggambarkan fenomena implementasi kebijakan publik, sehingga
dalam penelitian ini, model tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk
menggambarkan fenomena implementasi kebijakan SKN di Indonesia
pada Tahun 2012.
Agar SKN berfungsi baik, diperlukan komitmen yang tinggi,
dukungan, dan kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan
tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (good
governance).
Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara demokratis,
berkepastian hukum, terbuka (transparan), rasional, profesional, serta
bertanggung jawab dan bertanggung gugat (akuntabel).
Para pelaksana pengelola SKN di indonesia telah dipilih dan
diangkat sesuai dengan kemampuan dan dedikasi yang dimiliki dan
dipertimbangkan secara selektif oleh pihak – pihak terkait kemudian
dikontrol melalui beberapa kegiatan rapat koordinasi.
4. Struktur Birokrasi
Menurut Edward III dalam Indiahono (2009:32) struktur birokrasi
menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi
kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting yaitu
mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme
implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui Standard
Operating Procedure (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijakan. Seperti yang dikemukakan oleh George C. Edward III
dalam Agustino (2008:153), SOP adalah suatu kegiatan rutin yang
memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada setiap harinya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas,
sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan
menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur
organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit,
panjang dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat
menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam
program secara cepat. Menurut George C. Edward III dalam Agustino
(2008:153), ketika struktur organisasi tidak kondusif pada kebijakan yang
tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumber daya menjadi tidak
efektif dan menghambat jalannya kebijakan.
SOP pada SKN 2012 telah di rangkum secara optimal dan
sistematis, namun hal ini tidak dapat berjalan dengan baik. Salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah belum terpenuhinya Sumber Daya
Kesehatan Manusia (SDKM) yang memadai. Belum terpenuhinya SDKM
ditandai dengan belum tercapainya rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah
penduduk yang merupakan indikator untuk mengukur ketersediaan tenaga
kesehatan dalam mencapai target pembangunan kesehatan, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Rasio dokter terhadap 100.000 penduduk baik secara nasional maupun
provinsi masih jauh dari target rasio dokter pada tahun 2019 yaitu 45
per 100.000 penduduk. Secara nasional, rasio dokter di Indonesia
sebesar 16,02 per 100.000 penduduk tahun 2016. Provinsi dengan
rasio tertinggi yaitu DKI Jakarta (38,27 per 100.000 penduduk) dan
provinsi dengan rasio terendah yaitu Lampung (10,44 per 100.000
penduduk)4.
2) Rasio dokter gigi di Indonesia pada tahun 2016 adalah 4,53 per
100.000 penduduk. Angka ini masih jauh dari target rasio dokter gigi
tahun 2019 yaitu 13 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio
tertinggi yaitu DKI Jakarta sebesar 10,11 per 100.000 penduduk dan
provinsi dengan rasio terendah yaitu Maluku sebesar 1,87 per 100.000
penduduk4.
3) Rasio perawat pada tahun 2016 adalah 114,75 per 100.000 penduduk.
Hal ini masih jauh dari target tahun 2019 yaitu 180 per 100.000
penduduk. Namun ada delapan provinsi dengan rasio perawat yang
sudah memenuhi target tahun 2019 yaitu DKI Jakarta, Kalimantan
Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Aceh, Maluku, Sulawesi Utara,
Bengkulu, dan Jambi. Provinsi dengan rasio perawat terendah yaitu
Lampung sebesar 49,44 per 100.000 penduduk4.
4) Rasio bidan di Indonesia pada tahun 2016 adalah sebesar 63,22 per
100.000 penduduk. Angka ini masih jauh dari target 2019 yaitu 120
per 100.000 penduduk. Ada empat provinsi yang telah memenuhi
target tahun 2019 yaitu Aceh, Bengkulu, Maluku Utara, dan Jambi.
Provinsi dengan rasio terendah yaitu Jawa Barat sebesar 37,21 per
100.000 penduduk4.

Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program


Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini
dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan
neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi
tersebut disebabkan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di
Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan
menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan
akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan.
Program EMAS berupaya menurunkan angka kematian ibu dan angka
kematian neonatal dengan cara : 1) meningkatkan kualitas pelayanan
emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 Rumah Sakit
PONEK dan 300 Puskesmas/Balkesmas PONED) dan 2) memperkuat
sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar
setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas,
seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca
persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi
komplikasi, kemudahan mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan
pelayanan keluarga berencana4.
Dampak dari belum berjalan dengan baiknya SOP SKN dapat
diamati dari penyelenggraan upaya kesehatan di Indonesia. Hal ini dapat
diukur dari penyelenggaraan upaya kesehatan ibu dan anak di Indonesia
yang masih belum stabil dengan belum adanya penurunan AKI yang
signifikan. Penurunan AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai
dengan 2007, yaitu dari 390 menjadi 228. Namun demikian, SDKI tahun
2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan
penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup
berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 20154.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali, Muhammad. 2017. Kebijakan Pendidikan Menengah Dalam


Perspektif Governance di Indonesia. UB Press: Malang
2. Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
3. Nuryatin Phaksy Sukowati, dkk. Implementasi Kebijakan Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Miskin Nonkuota (Jamkesda dan SPM). Jurnal
Administrasi Publik (JAP), Vol.1, No.6, Hal. 1195-1202
4. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kemenkes RI
5. Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
6. Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamik
Analysis. Yogyakarta: Gava Media

Anda mungkin juga menyukai