Anda di halaman 1dari 8

PENGANGGURAN DAN KRISIS EKONOMI

Oleh: Eri Hariyanto, Widyaiswara Ahli Madya Pusdiklat Keuangan Umum BPPK

1. Memahami Pengangguran

Pengangguran atau tunakarya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali,
sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang
berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Setiap pemerintahan dari suatu negara pasti
menginginkan agar jumlah pengangguran di negaranya dapat ditekan seminimal mungkin. Bahkan
jika memungkinkan, negara tersebut dapat mencapai penggunaan tenaga kerja secara penuh (full
employment), yaitu kondisi pengangguran yang jumlahnya cukup sedikit pada kisaran 4% dari
jumlah angkatan kerja. Indonesia termasuk negara yang menginginkan agar pengangguran dapat
ditekan serendah mungkin. Tetapi perlu diingat, pengangguran tidak mungkin dihapuskan sama sekali
karena adanya waktu yang dibutuhkan para pencari kerja untuk mencari pekerjaan baru atau pindah
dari pekerjaan lama sehingga para pekerja harus menganggur untuk sementara waktu.

Gambar 1. Tingkat Pengangguran yang Menurun


Sumber: http://indonesiabaik.id/infografis/tingkat-pengangguran-menurun
Pertanyaannya mengapa pengangguran seolah-olah menjadi musuh bagi suatu negara?
Pengangguran biasanya terjadi karena jumlah orang yang mencari pekerjaan tidak sebanding dengan
tawaran lapangan pekerjaan yang tersedia. Pengangguran menyebabkan ketiadaan pendapatan yang
menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya dan menyebabkan
menurunnya tingkat kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan dapat menimbulkan efek
psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu
tinggi juga dapat menyebabkan meningkatnya kemiskinan, masalah kesehatan, angka putus sekolah
bertambah, meningkatnya kriminalitas, hingga kekacauan politik keamanan dan sosial. Pengangguran
yang dibiarkan akan mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka
panjangnya adalah menurunnya produk domestik bruto (PDB) dan pendapatan per kapita suatu
negara.

Secara umum, pengangguran memang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penawaran


lapangan kerja dan pencari pekerjaan. Namun jika ditelusuri lebih mendalam, terdapat tiga penyebab
pengangguran, yaitu:

1. Turunnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh turunnya output dan pengeluaran
total. Berkurangnya permintaan produksi atas barang dan jasa oleh masyarakat akan
menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja yang ujungnya akan menimbulkan
pengangguran. Turunnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi biasanya disebabkan oleh siklus
perekonomian yang terkadang berada pada titik puncak (economic boom) atau sedang
mengalami penurunan (resesi). Pengangguran yang disebabkan oleh siklus perekonomian
yang sedang mengalami resesi disebut dengan pengangguran siklikal.
2. Terjadinya perubahan struktur ekonomi. Perkembangan teknologi mendorong terjadinya
perubahan struktur ekonomi. Misalnya perubahan struktur ekonomi dari agraris menuju
industrialisasi. Perubahan ini menyebabkan banyak sekali pekerjaan yang sebelumnya
dikerjakan secara manual kemudian digantikan oleh mesin yang lebih hemat. Hal ini
menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja menjadi berkurang. Ketidakmampuan tenaga kerja
untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi menyebabkan terjadinya
pengangguran. Pengangguran yang disebabkan oleh perubahan struktur ekonomi disebut
dengan pengangguran struktural.
3. Waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan. Para pencari pekerjaan biasanya akan
mencari pekerjaan yang sesuai dengan preferensinya baik karena pendidikan atau
keterampilan yang dimilikinya. Tidak semua pekerjaan yang sesuai dengan preferensi mudah
didapatkan. Terkadang para pencari kerja menunggu lowongan yang sesuai sehingga harus
menganggur untuk sementara waktu. Demikian halnya
para pekerja yang menginginkan perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, kerap kali
mendapatkan jeda waktu yang menyebabkannya menganggur untuk sementara. Pengangguran
yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan
disebut dengan pengangguran friksional.

Setiap pemerintahan pasti menginginkan agar di negaranya tercipta tingkat pengangguran yang
rendah serta dibarengi dengan tingkat inflasi yang rendah pula. Bila kondisi ini dapat dihadirkan,
maka negara tersebut dapat menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang
tangguh. Namun secara teori, hal tersebut sulit untuk dilakukan. Tingkat inflasi yang rendah biasanya
akan diikuti dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Sebaliknya, tingkat inflasi yang tinggi akan
diikuti dengan tingkat pengangguran yang rendah. Hal ini sejalan dengan ungkapan A.W. Phillips,
seorang ekonom dari London, tentang hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran yang
kemudian lebih dikenal dengan Teori Kurva Phillips.

Hubungan negatif (trade off) antara penganguran dan inflasi disebut dengan Kurva Phillips.
Semakin tinggi tingkat pengangguran, semakin rendah tingkat inflasi upah. Dalam hal ini,
pengangguran dipandang sebagai output dan menerjemahkan inflasi sebagai perubahan harga.
Kondisi dimana terjadi tingkat pengangguran tinggi secara simultan dan diikuti inflasi yang tinggi
disebut sebagai stagflasi.

Gambar 2. Kurva Phillips


Sumber: economicshelp.org

A.W. Phillips menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara inflasi dengan tingkat
pengangguran yang didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan
permintaan agregat. Sesuai dengan teori permintaan, dengan naiknya permintaan agregat maka harga
pun akan naik. Dikarenakan tingginya harga (inflasi), untuk
memenuhi permintaan produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja
(asumsinya tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari
peningkatan permintaan tenaga kerja tersebut pun akhirnya adalah pengangguran berkurang.
Asumsi ini menjadi pegangan pemerintah dan ekonom dalam mengambil kebijakan ekonomi.
Pemerintah dihadapkan pada pilihan untuk menoleransi tingkat inflasi yang tinggi dengan tingkat
pengangguran yang rendah atau tingkat inflasi yang rendah dengan tingkat pengangguran yang tinggi.
Pada perkembangannya, ketika perusahaan semakin maju dalam tekonologi dan pengusaha telah
mengantisipasi tingkat inflasi yang terjadi, teori Kurva Phillips memperoleh banyak kritik. Namun
sampai saat ini teori ini masih relevan untuk digunakan.

2. Dampak Krisis terhadap Pengangguran

Siklus ekonomi yang terus terjadi terkadang menjurus munculnya perubahan secara drastis
atas faktor-faktor ekonomi makro yang mengarah kepada krisis ekonomi. Sepanjang abad 20 telah
terjadi lebih dari 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa
secara rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi
ratusan juta umat manusia. Krisis keuangan yang masih sering terjadi mengindikasikan bahwa
penyelesaian belum menyentuh dasar dari krisis tersebut. Pengulangan krisis juga menunjukkan
rentang waktu yang semakin pendek sehingga krisis semakin sering terjadi. Apabila akar
permasalahan belum ditangani secara tuntas, dikhawatirkan krisis yang timbul akan semakin berat
dengan dampak yang semakin kompleks (Hariyanto, 2018).

Krisis ekonomi biasanya ditandai dengan memburuknya faktor-faktor ekonomi makro seperti
pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, depresiasi mata uang, melemahnya daya beli, dan
sebagainya. Indonesia telah memiliki banyak pengalaman dalam mengatasi krisis. Namun terkadang
krisis terjadi dalam waktu yang tidak diduga dengan penyebab yang berbeda dari krisis sebelumnya.
Kondisi ini menyebabkan para pembuat kebijakan terkejut karena kurangnya antisipasi.

Masyarakat umum biasanya menjadi pihak yang paling menderita dalam merasakan dampak
krisis ekonomi. Turunnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan dampak lanjutan seperti turunnya
daya beli masyarakat, pengangguran, turunnya kualitas gizi dan kesehatan, bahkan dapat berujung
pada masalah sosial dan kriminal.

Indonesia telah mengalami beberapa krisis besar setelah kemerdekaanya tahun 1945. Krisis
tersebut menyebabkan peningkatan pengangguran dan kesmiskinan. Akhir pemerintahan presiden
pertama, Sukarno, diwarnai dengan krisis ekonomi pada kisaran
tahun 1960-an. Krisis tersebut disebabkan oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi dan menyebabkan
jatuhnya daya beli masyarakat serta meningkatnya kemiskinan. Demikian halnya dengan presiden
kedua, Suharto. Akhir masa kepemimpinannya juga diwarnai dengan krisis ekonomi. Masyarakat
mengalami nasib serupa yaitu kondisi di mana terjadi peningkatan jumlah pengangguran dan
kemiskinan serta kehidupan ekonomi yang cukup berat.

Gambar 3. Jumlah dan Tingkat Pengangguran Indonesia (1998 - Feb 2019)

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Melalui grafik di atas dapat kita lihat bahwa setiap krisis yang terjadi diikuti oleh
pengangguran yang meningkat tajam. Misalnya pada krisis tahun 1998, terlihat pada tahun- tahun
berikutnya pengangguran mengalami peningkatan yang cukup tinggi dan memerlukan waktu yang
cukup panjang untuk menurunkannya. Demikian halnya dengan krisis pada tahun 2008, 2010, dan
2013.

Pada tahun 2020 ini dunia kembali mengalami krisis yang disebabkan oleh pandemi. Negara-
negara di dunia berusaha menyelamatkan masyarakatnya dengan mengurangi berbagai aktivitas sosial
maupun ekonomi. Akibatnya, sektor ekonomi menjadi terpuruk karena berkurangnya permintaan
barang dan jasa dari masyarakat. Sektor riil adalah sektor yang pertama kali terhantam oleh krisis ini.
Penutupan aktivitas ekonomi telah menyebabkan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.
Para ekonom memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum pandemi berada di
angka 5,3%. Setelah terjadi pandemi, proyeksi itu ada di angka 2,3% untuk skenario berat dan -0,4%
untuk skenario sangat berat. Demikian pula dengan pertumbuhan ekonomi yang juga diperkirakan
akan turun drastis. Hal ini menjadi penyebab pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan
meningkatnya jumlah pengangguran. Dampaknya, jumlah masyarakat miskin semakin bertambah.
Diperkirakan jumlah kemiskinan akan bertambah sebesar 1,89 juta orang pada skenario berat dan 4,86
juta orang pada skenario sangat berat. Jumlah penganguran pun akan naik sebesar 2,92 juta orang
pada skenario berat dan 5,23 juta orang pada skenario sangat berat.

Data-data menunjukkan bahwa krisis ekonomi biasanya dibarengi dengan penurunan


pertumbuhan ekonomi. Hal ini tergambar dalam grafik di bawah ini:

Gambar 4. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1995-2020


Sumber: BPS & Bank Indonesia

3. Respon Kebijakan

Dalam situasi krisis, pemerintah dituntut untuk merumuskan kebijakan yang tepat agar krisis
dapat ditanggulangi dengan baik. Kebijakan penanggulangan krisis pada tahun 2020 ini ditekankan
pada upaya penyelamatan masyarakat dari pandemi Virus COVID-19. Fokus lain yang menjadi
perhatian pemerintah adalah penyelamatan ekonomi nasional. Pada sisi ekonomi, Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19). Adanya Perpu tersebut menjadi jalan bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan
dalam melakukan langkah
extraordinary menangani pandemi ini. Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 405,1 triliun yang
dilokasikan untuk mengatasi pandemi. Dana tersebut didistribusikan melalui kebijakan kesehatan,
social safety net, dukungan industri, dan Program Pemulihan Ekonomi (PEN).

Dana yang sangat besar tersebut, selain untuk menanggulangi pandemi dari sisi kesehatan,
juga merupakan stimulus perekonomian. Pandemi telah menyebabkan lambatnya roda perekonomian.
Permintaan (demand) akan barang jasa berkurang sangat drastis. Hal itu berdampak terhadap
berkurangnya aktivitas produksi hingga bertambahnya pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.
Pemerintah melalui kebijakan fiskalnya dapat bertindak sebagai “the last demand creator” yaitu
menciptakan demand dari belanja pemerintah. Dana Social safety net yang dibagikan kepada
masyarakat terdampak pandemi merupakan stimulus agar permintaan (daya beli masyarakat) terbantu.
Sehingga menjaga keberlangsungan permintaan barang dan jasa. Sedangkan stimulus dana PEN
digunakan untuk menjaga agar krisis tidak merembet ke sektor keuangan dan perekonomian segera
tumbuh kembali. Dampak yang diharapkan adalah terciptanya kembali lapangan kerja sehingga
mampu mengurangi pengangguran.

Secara teori, Sukirno (2015:340) menyebutkan bahwa penambahan belanja pemerintah (tabel
a) atau pengurangan pajak (tabel b) dapat menyebabkan bertambahnya pendapatan nasional.
Penambahan ini dapat berdampak terhadap meningkatnya kesempatan kerja dan akhirnya dapat
mengurangi pengangguran. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh tabel di bawah ini:

Gambar 5. Efek Kebijakan Fiskal Terhadap Pengangguran


Sumber: Sukirno, 2015:340
Daftar Pustaka

Dornbusch, Fisher, Startz. 2008. Makroekonomi. McGraw-hill Companies, Inc. America, New York

Hariyanto, Eri. 2018., Mewaspadai Terulangnya Krisis Ekonomi dan Upaya Pencegahannya.
Trustco, Jakarta

Sukirno, Sadono. 2015. Makroekonomi Teori Pengantar. Rajawali Pers, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai